Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sering terjadi pada lanjut usia
(lansia). Gangguan ini bisa berupa dehidrasi, hipernatremia, dan hiponatremia.
Menurut data di Amerika Serikat, dehidrasi terjadi pada sekitar 7% penderita yang
berusia lebih dari 65 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan rata-rata perawatan 14
hari dan 82% pada pasien demam yang dirawat di rumah. Dehidrasi merupakan salah
satu alasan utama pasien usia lanjut dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD), jika
dehidrasi tidak tertangani, angka mortalitas bisa mencapai lebih dari 50%.(1)

Air adalah komponen utama sel dan jaringan hidup. Keseimbangan air penting
untuk fungsi fisiologis yang tepat dari berbagai sistem organ. Ketidakseimbangan
homeostasis air, dalam bentuk dehidrasi atau kelebihan cairan, dapat menyebabkan
masalah kesehatan yang parah. Bahkan perubahan ringan dari keseimbangan air dapat
secara signifikan mempengaruhi homeostasis ion elektrolit dan mineral, termasuk
natrium, kalium, kalsium, dan fosfor; Selain itu, tubuh membutuhkan jumlah
magnesium, klorida, tembaga, florida, yodium, zat besi, dan selenium yang memadai.
Untuk menjaga fungsi sistem organ yang memadai, tubuh perlu terus mendaur ulang
dan mengganti ion air, elektrolit, dan mineral. Koordinasi unik antara sistem saraf,
endokrin, saluran cerna, dan ginjal menjaga keseimbangan air, elektrolit, dan ion
mineral yang diperlukan dalam tubuh. Seiring bertambahnya usia, sistem ini menjadi
lebih rentan terhadap gangguan yang dapat meyebabkan konsekuensi klinis.(2)
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut data Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2000-2001,


45% pasien lansia yang dibawa ke IGD menderta dehidrasi.(1)

Dalam penatalaksanaan keseimbangan cairan dan elektrolit pada lansia,


pengertian mengenai perubahan fisiologi yang menjadi faktor predisposisi gangguan
tersebut sangat penting. Secara umum, terjadi penurunan kemampuan homeostatik
seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan respon rasa haus
terhadap kondisi hipervolemik dan hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin,
aldosteron, dan penurunan respon ginjal terhadap vasopresin.(1)

Cairan tubuh total pada laki-laki adalah 60% dari total berat badan, sedangkan
pada permpuan 50% dari total berat badan. Volume darah hanya sekitar 11-12% berat
badan. Pada laki-laki, volume darah adalah 66 mL/kgBB, sedangkan pada perempuan
60 mL/kgBB. Air tubuh total dapat dibagi dalam 2 komponen : cairan ekstraseluler,
yaitu cairan yang dapat dibagi atas plasma dan cairan interstisial. Volume plasma,
merupakan 25% dari volume cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler, yaitu yang
berada di dalam sel.(3)

Perubahan normal pada fisiologi tubuh lansia meningkatkan kemungkinan


gangguan cairan dan elektrolit. Hal yang terpenting dalam perubahan tersebut ialah
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), penurunan kemampuan konsentrasi urin
(untuk kepekatan urin), berukurangnya ekskresi cairan, natrium, kalium dan asam.
Untuk memahami perubahan yang terjadi pada lansia penting untuk mengulas tentang
perubahan fisiologi pada fungsi ginjal dan keseimbangan cairan dan elektrolit terkait
penuaan: (4)

- Berkurangnya jumlah cairan total pada tubuh


3

- Berkurangnya LFG
- Berkurangnya kemampuan konsentrasi kepekatan urin
- Peningkatan hormon antidiuretik (ADH)
- Peningkatan Atrial natriuretic peptide (ANP)
- Berkurangnya aldosteron
- Berkurangnya mekanisme haus
- Berkurangnya free-water clearance

Ketidakseimbangan air tubuh akan mengakibatkan: (3)

- Dehidrasi
- Intoksikasi air
- Edema

Dehidrasi

Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air
lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam
jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium lebih banyak daripada
air (dehidrasi hipotonik). Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium
serum (lebih dari 145 mEq/L) dan peningkatan osmolaritas efektif serum (lebih dari
285 mosmol/liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum
(135-145 mEq/L) dan osmolaritas efektif serum (270-285 mosmol/liter). Dehidrasi
hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum ( kurang dari 135 mEq/L)
dan osmolaritas efektif serum (kurang dari 270 mosmol/liter).(1)

Total cairan tubuh berkurang pada lansia. Pada dewasa muda dengan BB ideal,
kandungan air dalam tubuh merupakan 60-65% dari masa tubuh. Pada lansia usia 80
tahun, komposisi air dalam tubuh berkurang menjadi 50%. Walaupun dengan LFG 30-
50 mL/min, air akan tetap dapat diekskresi dengan baik. Peningkatan ADH atau
4

berkurangnya cairan ekstraselular, kelebihan air dalam tubuh bisa menyebabkan


hiponatremia.(1)

Perubahan fungsi pada ginjal berjalan parallel seiring dengan berubahnya


struktur anatomi ginjal. Ginjal menunjukan penurunan nilai kemampuan konsentrasi
urin dan penurunan aliran darah ginjal sebanyak 10% per dekade setelah usia dewasa
muda. Secara fungional, perubahan yang paling sering ditemukan adalah penurunan
LFG.(4)

Tabel 1. Faktor Yang Mempengaruhi Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit


1 Usia
2 Aktivitas
3 Iklim

4 Diet
5 Stress
6 Penyakit
7 Tindakan Medis
8 Pengobatan

9 Pembedahan

Gejala Klinis Dehidrasi Pada Usia Lanjut

Gejala dan tanda dehidrasi pada lansia sering tidak jelas, samar, atau bahkan
tidak ada sama sekali. Gejala khas pada dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, turgor
kulit melambat, mata cekung, sering tidak ditemukan pada pasien lansia. Gejala yang
dapat dievaluasi yaitu penurunan berat badan secara akut lebih dari 3%. Tanda klinis
lainnya yaitu bila ditemukan hipotensi ortostatik. (1,5)
5

Pada lansia, rasa haus dinyatakan jarang menjadi keluhan dehidrasi. Hampir
semua lansia mengalami penurunan turgor kulit di atas dahi dan di atas sternum, baik
yang dehidrasi maupun tidak, demikian juga dengan mata cekung. (1,3,6)

Derajat kehilangan cairan/darah :

- Derajat 1 : kehilangan cairan/darah 15% (10ml/kgBB), masih dapat digantikan


dengan cairan interstitial sehingga tidak menimbulkan gejala apapun
- Derajat 2 : kehilangan cairan/darah 15-30% (10-20ml/kgBB), terjadi penurunan
volume darah, tetapi tekanan darah menetap karena vasokonstriksi. Dapat
terjadi hipotensi ortostatik, dan penurunan produksi urin (20-30 ml/jam),
vaskularisasi splanikus menurun.
- Derajat 3 : kehilangan cairan/darah 30-45% (20-30ml/kgBB), mengakibatkan
syok hipovolemik, hipotensi, oliguria (produksi urin <15ml/jam), dan
penumpukan laktat (>2mEq/L)
- Derajat 4 : yaitu kehilangan cairan/darah >45% (30ml/kgBB), mengakibatkan
syok hipovolemik yang berat, irreversible dan fatal, hipotensi, oliguria
(produksi urin <5ml/jam), produksi laktat >4-6mEq/L, dan seringkali refrakter
terhadap resusitasi cairan.

Tatalaksana Dehidrasi pada Lansia

Terapi Rehidrasi Oral

Pada dehidrasi ringan terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-
2500 ml/24 jam (30ml/kgBB/24jam) untuk kebutuhan dasar, ditambahn dengan
penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung
kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss (IWL) perlu dilakukan
setiap hari. Perhtikan tanda-tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak nafas,
perubahan pola tidur, atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung
jenis dehidrasi. (1)
6

- Dehidrasi hipertonik : cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan
kandungan sodium yang rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur.
- Dehidrasi isotonik : cairan yang dianjurkan adalah air dan suplemen yang
mengandung sodium (jus tomat), dan juga dapat diberikan larutan isotonik yang
ada di pasaran.
- Dehidrasi hipotonik : cairan yang dianjurkan seperti diatas tetapi dbutuhkan
kadar sodium yang lebih tinggi.

Terapi Rehidrasi Parenteral

Pada dehidrasi sedang – berat, pasien diberikan cairan parenteral. Bila cairan
tubuh yang hilang terutama air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat
dihiung dengan rumus :

- Defisit cairan (liter) : Berat badan total (BBT) yang diinginkan – BBT saat ini
- BBT yang diinginkan : Kadar Na serum x BBT saat ini
140
- BBT saat ini (pria) : 50% x berat badan (kg)
- BBT saat ini (wanita) : 45% x berat badan (kg)

Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis
rehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan NaCl 0.9% atau dextrose
5% dengan kecepatan 25-30% dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi
hipertonik digunakan cairan NaCl 0.45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan
mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu
pemberian cairan hipertonik. (1,5,7)

Kelebihan Volume Cairan (Hipervolemia)


Kelebihan cairan terjadi akibat overload cairan/adanya gangguan mekanisme
homeostasis pada proses regulasi keseimbangan cairan, volume intravascular yang
meningkat, pada kegagalan otot jantung dan penurunan fungsi ginjal dapat
menimbulkan edema paru.(3)
7

Tatalaksana
Penganggulangan yang dilakukan dalam hal ini adalah pemberian diuretik kuat,
furosemid, serta restriksi asupan air. Asupan air yang dianjurkan hanya sebanyak IWL
yaitu + 40 ml/jam. Pasien dengan gagal ginjal akut atau gagal ginjal terminal dengan
hipervolemia memerlukan dialisis. Pasien dengan polidipsia primer, asupan air
melebihi kemampuan pengeluaran melalui ginjal dan kulit, akan menimbulkan gejala
akibat hiponatremia. Penanggulangan pada keadaan ini adalah dengan restriksi asupan
air serta mengatasi gejala akibat hiponatremia akut bila ada. (3)
Penanggulangan edema yang dilakukan meliputi memperbaiki penyakit dasar
bila mungkin, restriksi asupan natrium untuk minimalisasi retensi air, pemberian
diuretik. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian diuretik untuk
penanggulangan edema adalah: saat yang tepat, risiko yang akan dihadapi bila edema
dikurangi, waktu yang dibutuhkan untuk menangani edema, cepat atau lambat. Indikasi
atau saat yang paling tepat untuk menanggulangi edema adalah bila ada edema paru,
merupakan satu satunya indikasi pemberian diuretik yang paling tepat dalam
menanggulangi edema. (3)

Gangguan Keseimbangan Kalium

Hipokalemi

Hipokalemia terjadi bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3,5 mEq/L.
Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :1. Asupan kalium yang kurang, 2.
Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat.
3. Kalium masuk ke dalam sel. (3,8)
Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cerna antara lain muntah,
selang naso-gastrik, diare atau pemakaian pencahar. Pada keadaan muntah atau
pemakaian selang nasogastrik, pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna atas
karena kadar kalium dalam cairan lamtung hanya sedikit (5-10 meq/L), akan tetapi
kalium banyak ke luar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang nasogastrik, terj adi
alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang
8

akan mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga dibantu dengan
adanya hiperaldosteron sekunder dari hipovolemia akibat muntah. Kesemuanya ini
akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan terjadi hipokalemi. (3)

Gejala Klinis

Kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless legs syndrome'
merupakan gejala pada otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3 meq/L.
Penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau rabdomiolisis.
Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardia ventrikular merupakan efek
hipokalemia pada jantung. Hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi ventrikel pada
keadaan hipokalemi yang menimbulkan peningkatan arus re-entry. (3)
Tekanan darah dapat meningkat pada keadaan hipokalemia dengan mekanisme
yang takjelas. Hipokalemia dapat menimbulkan gangguan toleransi glukosa dan
gangguan metabolisme protein. Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya
vakuolisasi pada tubulus proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin
sehingga menimbulkan polyuria dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan
produksi NH4 dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan Menimbulkan
alkalosis metabolik. Meningkatnya NH4 (amonia) dapat mencetuskan koma pada
pasien dengan gangguan fungsi hati. (3,9)

Hiperkalemi

Hipokalemia terjadi bila kadar kalium dalam plasma lebih dari 5,5 mEq/L.
Penyebab hiperkalemia dapat disebabkan oleh : l. Keluamya kalium dari intrasel ke
ekstrasel. 2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar dari sel dapat
terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh asidosis organik (ketoasidosis,
asidosis laktat), defisiensi insulin, katabolisme jaringan meningkat, pemakaian obat
penghambat B-adrenergik, pseudo hiperkalemia akibat pengambilan contoh darah di
laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan olahraga. (3)
9

Gejala Klinis

Dalam klinik ditemukan gejala akibat gangguan konduksi listrik jantung,


kelemahan otot sampai dengan paralisis sehingga pasien merasa sesak napas. Gejala
ini timbul pada kadar K> 7 meq/L atau kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. (3)
Tatalaksana

Prinsip pengobatan hiperkalemia adalah: (3,10)


- Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel, dengan cara memberikan
kalsium intravena. Dalam beberapa menit kalsium langsung melindungi
membran akibat hiperkalemia ini. Pada keadaan hiperkalemia yang berat
sambil menunggu efek insulin atau bikarbonat yang diberikan (baru bekerja
setelah 30-60 menit), kalsium dapat diberikan melalui tetesan infus kalsium
intravena. Kalsium glukonat l0 ml diberikan intravena dalam waktu 2-3 menit
dengan monitor EKG. Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada,
pemberian kalsium glukonat dapat diulang setelah 5 menit.
- Memacu masuknya kembali kalium dari ekstrasel ke intrasel. dengan cara :
o Pemberian insulin l0 unit dalam glukosa 40%, 50ml bolus intravena,
lalu diikuti dengan infus Dekstrosa 50% untuk mencegah terjadinya
hipoglikemi. Insulin akan memicu pompa NaK-ATPase memasukkan
kalium ke dalam sel, sedang glukosa/dekstrosa akan memicu
pengeluaran insulin endogen.
o Pemberian Natrium bikarbonat yang akan meningkatkan pH sistemik.
Peningkatan pH akan merangsang ion-H ke luar dari dalam sel yang
kemudian menyebabkan ion-K masuk ke dalam sel.
o Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat diberikan
50 meq i.v selama 10 menit. Bila ada asidosis metabolik, disesuaikan
dengan keadaan asidosis metabolik yang ada.
o Pemberian cx,2-agonis baik secara inhalasi maupun tetesan intravena.
cx, 2-agonis akan merangsang pompa NaK-ATPase, kalium masuk ke
dalam sel. Albuterol diberikan 10 mg-20 mg.
10

- Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh.


o Pemberian diuretik-loop (furosemid) dan tiasid. Sifatnya hanya
sementara.
o Pemberian resin-penukar. Dapat diberikan per oral maupun suposltofla.
o Hemodialisis.

Gangguan Keseimbangan Natrium

Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.


Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu
pengatur :
- Kadar natrium yang sudah tetap pada batas terlentu (Set-Point)
- Keseimbangat arlltara natrium yang masuk dan yang keluar (Steady-State)
Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar hormon
terkait seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron),
atrial natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic peptide (BNP). liormon-hormon ini
akan mempengaruhi ekskresi natrium di dalam urin. (3,11)
Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan
reabsorbsi oleh tubulus ginjal. Peningkatan volume cairan (hipervolemia) dan
peningkatan asupan natrium akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan pada
deplesi volume (hipovolemia) serta asupan natrium yang rendah akan terjadi
penurunan laju filtrasi glomerulus. Perubahan perubahan yang terjadi pada laju filtrasi
glomerulus akan mempengaruhi reabsorbsi natrium di tubulus (glomerulotubular
balance). (3, 12)

Hiponatremi

Hiponatremia terjadi bila : a). Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan


ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan
melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada syndrome of
inappropriate ADH secretion (SIADH). (1,13)
11

Penatalaksanaan Hiponatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia
dengan cara :
- Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretis,
penggunaan manitol) . Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain apakah ada
tanda tanda hipovolemi atau bukan) . Pemeriksaan gula darah, lipid darah.
- Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi).
- Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa BJ (berat
jenis) urin (interpretasi terhadap adakah ADH yang meningkat atau tidak,
gangguan pemekatan).
- Pemeriksaan natrium, kalium dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah
ekskresi elektrolit dalam urin. Langkah selanjutnya adalah melakukan
pengobatan yang tepat sasaran.
- Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia, akut atau kronik.
- Tanda atau penyakit lain yang menyertai hyponatremia perlu dikenali (deplesi
volume, dehidrasi, gagal jantung, gagal ginjal)
- Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan pemberian
larutan natriun, hiperlonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan
sebanyak 5 mEq/L dari kadar natrium awal dalam waktu 1 jam. Setelah itu,
kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 mEq/L setiap 1 jam sampai kadar
natrium darah mencapai 130 mEq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui
jumlah natrium dalam lamtan natrium hiperlonik yang diberikan adalah 0,5 x
Berat Badan (kg) x deltaNa. Delta natrium adalah selisih antara kadar natrium
yang diinginkan denga kadar natrium awal.
- Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaihr sebesar 0,5
mEq/L setiap 1jam, maksimal l0 mEq/L dalam24 1am. Bila delta Na sebesar 8
mEq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai
adalah sama dengan di atas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk
natrium hipertonik intravena atau natrium oral.
12

Hipernatremi

Manifestasi klinis hipernatremi :

- Gangguan central nervous system (CNS) seperti letargi, iritabilits, geliosah,


kejang (pada anak), spastik.
- Demam, mual, muntah, nafas terasa berat, rasa haus yang menetap.
Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Hipernatremi

Gangguan Keseimbangan Kalsium

Hipokalsemia

Etiologi :

- Defisiensi vit. D : akibat mengonsumsi makanan yang tidak mengandung


lemak, malabsorbsi, penyakit riketsia, pemberian obat kejang, gangguan fungsi
ginjal dan hati kronik.
13

- Hipoparatiroidisme : pasca bedah kelenjar tiroid, pengobatan eclampsia dengan


memakai magnesium sulfat dapat menekan sekresi hormon paratiroid.
- Keganasan : karsinoma medular kelenjar tiroid
- Hiperfosfatemia : kadar fosfat berlebih pada penyakit ginjal kronik atau gagal
ginjal akut, pemberian sitotoksik pada limfoma atau leukemia.

Tatalaksana

Gejala hipokalsemia baru timbul bila kadar kalsium-ion kurang dari 2,8 mg/dl
atau kurang dari 0,7 mmol/l atau kadar kalsium-total < 7 mg/dl. Gejala hipokalsemia
berupa parestesi, tetani, hipotensi dan kejang. Dapat ditemukan tanda-Chovstek atau
Trousseau sign, bradikardi dan interval-QT yang memanjang. Pengobatan yang
diberikan bila timbul gejala adalah pemberian kalsium intravena sebesar 100-200 mg
kalsium elemental atau 1-2 gram kalsium glukonas dalam 10-20 menit. Lalu diikuti
dengan infus kalsium glukonas dalam larutan dextrosa atau NaCl isotonis dengan dosis
0,5-1,5 mg kalsium-elemental/KgBB dalam 1 jam. Kalsium infus kemudian dapat
ditukar dengan kalsium oral dan kalsitriol 0,25-0,5ig/hari. (3)
Hipomagnesemia dapat juga menimbulkan hipokalsemi. Bila ada
hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal, dapat diberikan larutan l0% magnesium
sulfat sebesar 2 gram selama l0 menit dan kemudian diikuti dengan I gram dalam 100
cc cairan per 1 jam. Pada keadaan hipokalsemi kronik disertai hipoparatiroid, diberi
kalsium oral seperti kalsium karbonat 250 mg kalsium elemental/650 mg tablet. (3, 14)

Hiperkalsemia

Hiperkalsemia sering menyertai penyakit seperti:

- Hiperparatiroidisme
- Tumor ganas
- Intoksikasi Vitamin D
- Intoksikasi Vitamin A
- Sarkoidosis
14

- Hipertiroidisme
- Insufisiensi renal
- Sindrom “Milk Alkali”

Tatalaksana

- Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal : Dilakukan dengan pemberian


larutan NaCl isotonis.
- Menghambat Resorbsi Tulang
- Mengurangi absorbs kalsium dari usus
- Hemodialisa/dialisis peritoneal
15

BAB III

KESIMPULAN

Lansia cenderung memiliki cadangan air yang berkurang karena kemampuan


mereka untuk memulihkan keseimbangan air terganggu. Mediator hormonal air,
elektrolit, dan keseimbangan mineral kurang responsif dengan usia, membuat orang
tua lebih rentan terhadap penyakit yang berkaitan dengan usia. Selain itu, sensasi haus
berkurang seiring dengan bertambahnya usia, bersama dengan kemampuan konsentrasi
urin; ini semua mengarah pada kemampuan yang berkurang secara signifikan untuk
menjaga keseimbangan air, elektrolit, dan ion mineral, yang memberikan peningkatan
risiko penyakit pada orang tua. Dehidrasi sering dikaitkan dengan infeksi, dan
dikaitkan dengan kematian pada orang tua. Dengan demikian, petugas kesehatan harus
memantau faktor risiko dan tanda-tanda dehidrasi pada pasien usia lanjut untuk
mengurangi beban penyakit yang berkaitan dengan air, elektrolit, dan
ketidakseimbangan mineral.
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setiyohadi B. Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2018.
2. Fillit H, Rockwood K, Woodhouse K. Brocklehurst's Textbook of Geriatric
Medicine and Gerontology. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
3. Setyohadi B, Arsana P, Suryanto A, Soeroto A. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam.
2nd ed. Jakarta: PAPDI Jakarta; 2010.
4. Luckey A, Parsa C. Fluid and Electrolytes in the Aged [Internet]. Sci-hub.tw. 2003
[Diakses tanggal 15 Juni 2018]. Diambil dari : https://sci-
hub.tw/10.1001/archsurg.138.10.1055
5. Harrison T, Kasper D. Harrison's principles of internal medicine. 19th ed. New York
[u.a.]: McGraw-Hill Medical Publ. Division; 2015.
6. Allison S, Lobo D. Fluid and electrolytes in the elderly. Current Opinion in Clinical
Nutrition and Metabolic Care. 2004;7(1):27-33.
7. Bell G. Surgical procedures on aged and poor risk patients; Fluid and Electrolyte
Balance in Elderly Patient. Philadelphia, Pa: Saunders; 1954.
8. El-Sharkawy A, Sahota O, Maughan R, Lobo D. The pathophysiology of fluid and
electrolyte balance in the older adult surgical patient. Clinical Nutrition.
2014;33(1):6-13.
9. Schlanger L, Bailey J, Sands J. Electrolytes in the Aging. Advances in Chronic
Kidney Disease. 2010;17(4):308-319.
10. Seifter, J. (2014). Integration of Acid–Base and Electrolyte Disorders. New England
Journal of Medicine, 371(19), pp.1821-1831.
11. Berl, T. (2016). Vasopressin Antagonists. NEJM, [online] pp.2207-2217. Available
at: https://sci-hub.tw/10.1056/NEJMra1403672
12. Moritz, M. and Ayus, J. (2015). Maintenance Intravenous Fluids in Acutely Ill
Patients. New England Journal of Medicine, 373(14), pp.1350-1360.
17

13. Berend, K., de Vries, A. and Gans, R. (2014). Physiological Approach to


Assessment of Acid–Base Disturbances. New England Journal of Medicine,
371(15), pp.1434-1445.
14. Knepper, M. and Nielsen, S. (2015). Molecular Physiology of Water Balance. New
England Journal of Medicine, 373(2), pp.196-196.

Anda mungkin juga menyukai