Anda di halaman 1dari 146

OPTIMASI PEMISAHAN CAMPURAN HIDROKORTISON ASETAT

DAN KLORAMFENIKOL DALAM KRIM MEREK “X”


MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA
TINGGI FASE TERBALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:
Henny Puspitasari
NIM: 068114045

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
OPTIMASI PEMISAHAN CAMPURAN HIDROKORTISON ASETAT
DAN KLORAMFENIKOL DALAM KRIM MEREK “X”
MENGGUNAKAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA
TINGGI FASE TERBALIK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:
Henny Puspitasari
NIM: 068114045

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009

i
ii
iii
Life is…

Life is an opportunity, benefit from it


Life is beauty, admire it
Life is a dream, realize it
Life is a challenge, meet it
Life is a duty, complete it
Life is a game, play it
Life is a promise, fulfill it
Life is a sorrow, overcome it
Life is a song, sing it
Life is a struggle, accept it
Life is a tragedy, confront it
Life is a adventure, dare it
Life is a luck, make it
Life is too precious, don’t destroy it
Life is life, fight for it

(Mother Theresa)

Karya ini kupersembahkan bagi


Kemuliaan Tuhan,
Mama, Papa, kakak-kakakku
yang luar biasa;
teman-teman dan Almamaterku

iv
v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang penuh kasih, hanya

karena berkat dan kasih karunia-Nya maka skripsi yang berjudul “OPTIMASI

PEMISAHAN CAMPURAN HIDROKORTISON ASETAT DAN

KLORAMFENIKOL DALAM KRIM MEREK “X” MENGGUNAKAN

METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI FASE TERBALIK” ini

dapat diselesaikan oleh penulis. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikannya, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. Sudibyo Martono, M.S., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah

banyak meluangkan waktunya dalam memberikan masukan, kritik, solusi,

semangat baik selama penelitian, penyusunan skripsi maupun saat perkuliahan

dan telah membantu penulis dalam mendapatkan senyawa standar yang

berguna dalam penelitian.

3. Rini Dwi Astuti, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran, kritik dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.

vi
4. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah banyak

memberikan masukan dan semangat baik selama penyusunan skripsi maupun

dalam perkuliahan.

5. Jeffry Julianus, M.Si. dan Lucia Wiwid Wijayanti, M.Si. atas saran dan

diskusi yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi.

6. PT. Kalbe Farma, Tbk. yang telah bersedia memberikan senyawa standar

yang berguna dalam penelitian.

7. Segenap dosen dan karyawan atas ilmu dan pengalaman yang berharga

sehingga berguna dalam proses penyusunan skripsi.

8. Happy Suryawan E.W., S.Farm. yang telah memberikan saran dan semangat

dalam penyusunan skripsi.

9. Oktavianus Tri Harjanto selaku teman seperjuangan selama penelitian dan

penyusunan skripsi.

10. Seluruh staf laboratorium kimia: Bimo, Kunto, Parlan, dan Kasiran yang telah

membantu penulis selama penelitian di laboratorium.

11. Hendro, Hendri, Hendra dan Hendiwan terimakasih telah menjadi kakak-

kakak yang hebat bagi penulis.

12. Novita Dewi atas semangat dan pengertian yang diberikan selama penelitian

dan penyusunan skripsi.

13. Lise Natalia atas pinjaman laporan yang sangat berguna selama perkuliahan,

14. Deden atas pinjaman printer warna.

15. Marissa Winata, Vita Felicia, Handayani atas dukungan, kritik, masukan dan

saran selama penelitian maupun kuliah.

vii
16. Yola, Adit, Nia, Lulu, Shinta, Yosephine, Lia Yumi, Ardani, Robby, Wilasto,

Utami, Nika, Rico, Reni dan Linda sebagai teman yang sering satu kelompok

telah memberikan pengetahuan, pengalaman berharga, dan semangat untuk

ujian skripsi.

17. Jimmy, Eka, Irene, Wiwit, Nisia, Yuvita, dan Bayu terima kasih atas

pengalaman dan kebersamaanya.

18. Teman-teman kos putri 9999 dan kos kana yang pernah menjadi teman

seperjuangan di Yogyakarta.

19. Teman-teman FST angkatan 2006 atas pengalaman dan kebersamaannya.

20. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak tertulis di sini, terima

kasih atas semua bantuannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang disusun ini masih banyak memiliki

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk

perbaikan dan perkembangan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat

demi perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 2 November 2009

Penulis

viii
ix
Intisari

Krim kloramfenikol dan hidrokortison asetat merupakan obat yang


memiliki fungsi sebagai obat dermatitis dan anti infeksi. Kedua zat aktif tersebut
dapat terdegradasi menjadi produk yang tidak diinginkan dalam penyimpanannya.
Metode yang dapat digunakan untuk memisahkan sekaligus menetapkan kadar
kedua zat aktif tersebut adalah metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
fase terbalik dengan detektor UV.
Sistem KCKT yang digunakan adalah kolom Kromasil-100 C18 250 x 4,6
mm, 5µm, fase gerak campuran metanol-aquabides dengan menggunakan detektor
UV pada 255 nm. Parameter yang dioptimasi adalah komposisi fase gerak yaitu
metanol-aquabides dan flow rate. Hasil penelitian menunjukkan kondisi
pemisahan yang baik dicapai pada fase gerak metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
dengan flow rate 1,2 ml/menit. Semua komponen terpisah baik dalam waktu
analisis kurang dari 10 menit.
Parameter validasi yang diteliti meliputi akurasi, presisi, linearity,
spesifisitas, Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ). Hasil
penelitian menunjukkan metode memiliki linearity yang baik pada konsentrasi 10
– 70 ppm untuk kloramfenikol (r = 0,9998) dan 12,5 – 87,5 ppm untuk
hidrokortison asetat (r = 0,9999). Recovery dan CV untuk kadar rendah, sedang
dan tinggi berturut-turut dari kloramfenikol adalah 100,5 %, 1,00 % ; 100,53 %,
0,79 % ; 100,00 %, 1,47 % dan untuk hidrokortison asetat adalah 100,47%, 1,14
% ; 99,44 %, 1,34 % ; dan 99,63 %, 0,62 %. Nilai LOD dan LOQ untuk
kloramfenikol 1,28 ; 4,28 ppm dan hidrokortison asetat 1,44 ; 4,81ppm.

Kata kunci : hidrokortison asetat, kloramfenikol, KCKT, validasi

x
Abstract
Chloramphenicol and hydrocortisone acetate cream are possessed of
dermatitis and antiinfection functions. The both active ingredients can be
degradated to unwanted product in storage. The method that can be use for
separating and quantifying those two active ingredient is Reversed Phase High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) with UV detector.
The HPLC system were Kromasil-100 C18 250 x 4.6 mm, 5 µm column,
mobile phase of methanol-water and UV detector at 255 nm. Optimizing
parameters were mobile phase; methanol-water composition and flow rate. The
result show conditions to get a good separation were methanol : water (63 : 35
v/v) mobile phase with the flow rate 1.2 ml/menit. All the component were fully
resolved in less than 10 minutes.
Validation parameters studied included accuracy, precision, sensitivity,
Limit of Detection (LOD) and Limit of Quantitation (LOQ). The research result
showed that the method have good linearity in the range 10 – 70 ppm for
chloramphenicol (r = 0.9998) and 12.5 – 87.5 ppm for hydrocortisone acetate (r =
0.9999). The recovery and CV of low, medium and high consentration were 100.5
%, 1.00 % ; 100.53 %, 0.79 % ; 100.00 %, 1.47 % for chloramphenicol and
100.47 %, 1.14% ; 99.44 %, 1.34 % ; 99.63, 0.62 % for hydrocortisone acetate.
Value of LOD and LOQ were 1.28 ; 4.28 ppm for chloramphenicol dan 1.44 ;
4.81 ppm for hydrocortisone acetate.

Keywords: hydrocortisone acetate, chloramphenicol, HPLC, validaton

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................ v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................... ix

INTISARI...................................................................................................... x

ABSTRACT .................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ................................................................................................. xii

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xx

BAB I PENGANTAR.................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

1. Permasalahan............................................................................... 3

2. Keaslian Penelitian ...................................................................... 4

3. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4

B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 4

xii
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ......................................................... 5

A. Hidrokortison Asetat ......................................................................... 5

B. Kloramfenikol ................................................................................... 7

1. Antibiotik .................................................................................... 7

2. Sifat Kimia .................................................................................. 8

C. Krim .................................................................................................. 9

D. Spektrofotometer UV ........................................................................ 10

E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi .................................................... 13

1. Kromatografi Partisi Fase Terbalik ............................................. 13

2. Pemisahan Puncak dalam Kromatografi ..................................... 15

3. Analisis Kualitatif dan Analisis Kuantitatif ................................ 22

F. Kesahihan Metode Analisis Instrumental ......................................... 23

1. Akurasi ........................................................................................ 23

2. Presisi .......................................................................................... 23

3. Linieritas ..................................................................................... 24

4. Spesifisitas .................................................................................. 24

G. Landasan Teori .................................................................................. 25

H. Hipotesis ........................................................................................... 25

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ........................................................ 26

B. Variabel Penelitian ............................................................................ 26

1. Variabel Utama ........................................................................... 26

xiii
2. Variabel Pengacau Terkendali .................................................... 26

C. Bahan-bahan Penelitian..................................................................... 27

D. Alat-alat Penelitian ............................................................................ 27

E. Tata Cara Penelitian .......................................................................... 28

1. Optimasi Metode KCKT ............................................................. 28

2. Verifikasi sistem KCKT.............................................................. 30

3. Validasi Metode .......................................................................... 31

F. Analisis Hasil ................................................................................... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 34

A. Optimasi Metode .............................................................................. 34

1. Penentuan panjang gelombang overlapping .............................. 34

2. Pengamatan waktu retensi hidrokortison asetat dan

kloramfenikol baku ..................................................................... 36

3. Pengamatan waktu retensi hidrokortison asetat dan

kloramfenikol dalam sampel ....................................................... 41

4. Optimasi fase gerak ..................................................................... 43

B. Verifikasi Sistem KCKT Hasil Optimasi .......................................... 55

1. Verifikasi sistem injeksi .............................................................. 55

2. Uji kesesuaian sistem .................................................................. 56

3. Verifikasi pompa ......................................................................... 57

C. Pembuatan Kurva Baku..................................................................... 58

xiv
D. Validasi Metode Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat dan

Kloramfenikol ................................................................................... 62

1. Linearity ...................................................................................... 62

2. Kecermatan (akurasi) .................................................................. 62

3. Keseksamaan (presisi)................................................................. 64

4. Spesifisitas ................................................................................. 64

5. Batas deteksi dan batas kuantitasi ............................................... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 66

A. Kesimpulan ....................................................................................... 66

B. Saran.................................................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 68

LAMPIRAN .................................................................................................. 72

BIOGRAFI PENULIS .................................................................................. 126

xv
DAFTAR TABEL

Tabel I. Karakteristik beberapa pelarut pada KCKT .......................... 14

Tabel II. Pemisahan yang diinginkan dalam metode KCKT ............... 23

Tabel III. Hasil optimasi flow rate fase gerak metanol :

aquabides (60 : 40) ................................................................ 47

Tabel IV. Hasil optimasi komposisi fase gerak pada flow rate 2

ml/menit ................................................................................ 53

Tabel V. Hasil optimasi flow rate fase gerak metanol :

aquabides (65 : 35) ................................................................ 53

Tabel VI. Hasil uji kesesuaian sistem dan verifikasi presisi

sistem injeksi KCKT ............................................................. 56

Tabel VII. Nilai persen penyimpangan flow rate pada uji akurasi

pompa .................................................................................... 58

Tabel VIII. Data kurva baku kloramfenikol ............................................. 59

Tabel IX. Data kurva baku hidrokortison asetat .................................... 60

Tabel X. Hasil penetapan recovery dan CV hidrokortison asetat......... 63

Tabel XI. Hasil penetapan recovery dan CV kloramfenikol.................. 63

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rumus struktur hidrokortison asetat ..................................... 5

Gambar 2. Rumus struktur kloramfenikol .............................................. 8

Gambar 3. Pemisahan dua senyawa ........................................................ 16

Gambar 4. Difusi Eddy ........................................................................... 19

Gambar 5. Transfer massa fase diam ...................................................... 20

Gambar 6. Transfer massa fase gerak ..................................................... 20

Gambar 7. Penentuan peak asymmetry dan peak tailing factor ............. 21

Gambar 8. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam .................. 21

Gambar 9. Gugus kromofor dan auksokrom kloramfenikol dan

hidrokortison asetat ............................................................... 34

Gambar 10. Spektra panjang gelombang maksimum hidrokortison

asetat dan kloramfenikol ....................................................... 35

Gambar 11. Ikatan hidrogen antara kloramfenikol dengan fase gerak

metanol : aquabides ............................................................... 37

Gambar 12. Ikatan hidrogen antara hidrokortison asetat dengan fase

gerak metanol : aquabides ..................................................... 37

Gambar 13. Gugus nonpolar kloramfenikol ............................................. 38

Gambar 14. Gugus nonpolar hidrokortison asetat ................................... 38

Gambar 15. Kromatogram waktu retensi kloramfenikol baku dengan

fase gerak dan flow rate hasil optimasi ................................. 39

xvii
Gambar 16. Kromatogram waktu retensi kloramfenikol dan

hidrokortison asetat dengan fase gerak dan flow rate

hasil optimasi ........................................................................ 40

Gambar 17. Kromatogram sampel ditambah baku kloramfenikol............ 41

Gambar 18. Kromatogram waktu retensi sampel dengan fase gerak

dan flow rate hasil optimasi .................................................. 43

Gambar 19. Sturktur hidrokortison dan hidrokortison asetat .................... 45

Gambar 20. Kromatogram sampel optimasi fase gerak tahap kedua........ 46

Gambar 21. Kromatogram sampel optimasi fase gerak tahap ketiga ....... 48

Gambar 22. Kromatogram sampel optimasi fase gerak tahap keempat .... 49

Gambar 23. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan

flow rate 1,8 ml/menit ........................................................... 50

Gambar 24. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan

flow rate 1,6 ml/menit ........................................................... 50

Gambar 25. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan

flow rate 1,4 ml/menit ........................................................... 51

Gambar 26. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan

flow rate 1,2 ml/menit ........................................................... 51

Gambar 27. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan

flow rate 1,0 ml/menit ........................................................... 52

Gambar 28. Kurva flow rate vs HETP dengan fase gerak metanol :

aquabides (65 :35) ................................................................. 54

Gambar 29. Kurva teori Van Deemter ...................................................... 54

xviii
Gambar 30. Hubungan antara konsentrasi kloramfenikol dengan

AUC / 10000 (replikasi I) ..................................................... 60

Gambar 31. Hubungan antara konsentrasi hidrokortison asetat

dengan AUC / 15000 (replikasi I) ......................................... 61

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sertifikat analisis hidrokortison asetat ............................... 73

Lampiran 2. Sertifikat analisis kloramfenikol ........................................ 74

Lampiran 3. Kromatogram sampel tanpa penambahan baku

kloramfenikol ..................................................................... 75

Lampiran 4. Kromatogram baku kloramfenikol ..................................... 76

Lampiran 5. Contoh perhitungan N, HETP dan Rs ................................ 77

Lampiran 6. Kromatogram hasil penurunan flow rate fase gerak

metanol : aquabides (60 : 40 v/v) ....................................... 78

Lampiran 7. Kromatogram hasil optimasi flow rate fase gerak

metanol : aquabides (65 : 35 v/v) ....................................... 81

Lampiran 8. Kromatogram dan hasil penetapan presisi injeksi .............. 90

Lampiran 9. Kromatogram kurva baku hidrokortison asetat dan

kloramfenikol replikasi I .................................................... 101

Lampiran 10. Penimbangan baku dan contoh perhitungan kadar

baku .................................................................................... 108

Lampiran 11. Kromatogram hasil validasi metode................................... 110

Lampiran 12. Data penimbangan dan contoh perhitungan

penetapan recovery............................................................. 119

Lampiran 13. Contoh perhitungan LOD dan LOQ ................................... 123

xx
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hidrokortison asetat merupakan obat dermatitis dengan tingkat potensi

lemah yang sering digunakan masyarakat. Jika pada dermatitis tersebut ditemukan

adanya infeksi bakteri, maka dapat diberikan antibiotik (Anonim, 2006).

Kombinasi obat dermatitis dan antibiotik akan memberikan penyembuhan yang

sukses tanpa menyebabkan komplikasi (Orosz et al., 2007). Salah satu antibiotik

yang digunakan bersamaan dengan obat dermatitis adalah kloramfenikol.

Pada penyimpanan lama hidrokortison asetat akan terurai menjadi

senyawa turunannya yaitu hidrokortison dan kortison asetat (Hajkova et al.,

2003). Chauhan dan Conway (2005) menyatakan bahwa produk degradasi

hidrokortison alkohol juga dapat terjadi dalam sediaan farmasi.

Kloramfenikol merupakan antimikroba spektrum luas yang efektif

terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Mekanisme kerjanya

adalah menghambat sintesis protein sel mikroba (Anonim, 2009b). Kloramfenikol

dalam penyimpanannya dapat terdegradasi membentuk produk-produk yang tidak

diinginkan. Produk degradasi kloramfenikol pada berbagai pH (1-14) yang paling

banyak dijumpai adalah produk oksidasi: p-nitrobenzaldehid, produk reduksi:

arilamin (Shih, 1979) dan produk hidrolisis: 2-amino-1-(4-nitrophenyl)-propane-

1,3-diol (Khalil et al, 1993). Penetapan kadar hidrokortison dan kloramfenikol

dalam sediaan tetes telinga dengan metode KCKT fase terbalik pernah dilakukan

1
2

oleh Li X (1998). Fase diam yang digunakan adalah kolom YWG-C18 150 x 5

mm, 5 µm dan fase gerak metanol : aquabides (60 : 40).

Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Li X (1998)

antara lain: dalam penelitian ini akan ditetapkan kadar hidrokortison asetat dan

kloramfenikol sedangkan Li X hidrokortison dan kloramfenikol, sampel yang

digunakan pada penelitian ini adalah krim sedangkan Li X tetes telinga, merek

kolom yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kromasil dengan panjang 25

cm sedangkan Li X menggunakan kolom YWG dengan panjang 15 cm. Adanya

perbedaan tersebut menyebabkan metode Li X tidak dapat digunakan untuk

penetapan kadar hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam krim karena

kondisi optimal pada penelitian Li X belum tentu memberikan kondisi optimal

pada penelitian ini. Hal tersebut menjadi dasar dilakukannya penelitian optimasi

pemisahan kedua senyawa tersebut dengan dengan fase gerak campuran metanol

dan aquabides untuk mendapatkan kondisi optimal dan metode tervalidasi yang

dapat menetapkan kadar kedua komponen tersebut secara simultan.

Validasi metode merupakan proses yang dilakukan melalui penelitian

laboratorium untuk membuktikan bahwa karakteristik kinerja metode itu

memenuhi persyaratan aplikasi analitik yang dimaksudkan. Jenis karakteristik

kinerja metode yang perlu dipertimbangkan dalam validasi meliputi akurasi,

presisi, spesifisitas, limit deteksi, limit kuantitasi, linearity, range dan robustness

(Anonim, 2007). Metode KCKT fase terbalik dipilih karena dengan metode ini

diharapkan dapat dilakukan untuk pemisahan kloramfenikol dan hidrokortison

asetat sekaligus penetapan kadar tiap zat aktif tersebut dalam campuran.
3

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disusun permasalahan

sebagai berikut:

a. Apakah terdapat kondisi yang optimal untuk memisahkan hidrokortison

asetat dan kloramfenikol dalam krim merek “X” secara simultan dengan

metode KCKT fase terbalik menggunakan kolom C18 dan fase gerak

campuran metanol-aquabides?

b. Apakah metode KCKT fase terbalik yang digunakan untuk pemisahan

hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam krim merek “X” secara

simultan memiliki validitas yang baik?

2. Keaslian Penelitian

Metode analisis multikomponen dari campuran hidrokortison dan

kloramfenikol dalam tetes telinga pernah dilakukan oleh Li X dengan metode

KCKT dengan menggunakan kolom YWG-C18 column (5µm, 5 mm x 150 mm)

pada suhu 30oC dan fase gerak metanol : aquabides (60 : 40). Namun optimasi

penetapan kadar campuran hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam krim

dengan metode KCKT menggunakan kolom Kromasil-C18 100 250 x 4,6 mm i.d.,

5 µm dan fase gerak campuran aquabides dan metanol belum pernah dilakukan.
4

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat metodologis. Dapat menghasilkan sumbangan ilmiah

mengenai metode pemisahan hidrokortison asetat dan kloramfenikol secara

simultan.

b. Manfaat praktis. Dapat digunakan sebagai metode untuk analisis

campuran multikomponen hidrokortison asetat dan kloramfenikol.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kondisi yang optimal untuk memisahkan hidrokortison asetat dan

kloramfenikol dalam krim merek “X” menggunakan fase gerak campuran

metanol-aquabides secara simultan dengan metode KCKT.

2. Mengetahui validitas metode KCKT fase terbalik yang digunakan untuk

pemisahan hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam krim merek “X”

secara simultan.
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hidrokortison Asetat

Hidrokortison asetat (Gambar 1) adalah suatu senyawa antiradang dari

golongan kortikosteroid yang sangat efektif untuk pengobatan pada kulit. Pada

penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi, krim hidrokortison asetat akan segera

memberi efek berkurangnya: radang, rasa gatal dan sakit (Anonim, 2009a).

O
HO

HO O O

H H

Gambar 1. Rumus struktur hidrokortison asetat

Hidrokortison asetat mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak

lebih dari 102,0% C23H32O6, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Serbuk

hablur putih hingga praktis putih, tidak berbau. Hidrokortison asetat dalam

metanol memberikan serapan maksimum pada λ 242 nm (Anonim, 1995). Satu

mg hidrokortison asetat dapat larut dalam 100 ml air dan 3,9 mg dapat larut dalam

1 ml metanol (Anonim, 1989). Hidrokortison asetat dapat diekstraksi dari larutan

netral dengan menggunakan etil asetat yang baru didistilasi (Clarke, 1986).

Hidrokortison asetat dalam sediaan farmasi akan terdegradasi menjadi

hidrokortison alkohol. Metode KCKT telah dilakukan untuk mengukur kadar

hidrokortison asetat, hidrokortison alkohol, metil paraben dan propil paraben

dalam sediaan suspensi dengan menggunakan beberapa jenis kolom. Kolom yang

5
6

memiliki selektivitas dan spesifisitas adalah Zorbax SB-Phenyl. Analisis

dilakukan dalam waktu kurang dari 15 menit dengan fase gerak campuran

aquabides dan metanol (40 : 60 v/v) menggunakan detektor UV pada 254 nm

(Chauhan dan Conway, 2005).

Penetapan kadar hidrokortison asetat dan turunannya pernah dilakukan

oleh Kamata et al (1982) menggunakan sitem KCKT fase normal dengan fase

diam Zorbak SIL Column dan fase gerak etanol : kloroform : heksan (1 : 2 : 7).

Linearity metode ditunjukkan pada range kadar 0,01-0,1 µg dan nilai recovery

(dengan metode standar adisi) sebesar 91,0-98,2 %.

Analisis hidrokortison asetat dalam sediaan farmasi menggunakan

metode spektrofotometri kinetik dengan partial least-squares regression pernah

dilakukan oleh Blanco et al. (1999). Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang

baik, namun metode ini tidak praktis dan memerlukan waktu yang cukup lama.

Metode kolorimetri juga dapat digunakan untuk menetapkan kadar

hidrokortison asetat, yaitu melalui reaksi dengan fenilhidrazin dalam suasana

asam selama 20 menit pada suhu 600C. Senyawa berwarna yang terbentuk diukur

pada 410 nm (Bartos dan Pesez, 1979).

Penetapan kadar hidrokortison asetat, produk degradasinya yaitu

hidrokortison dan kortison asetat serta metil paraben dan propil paraben dalam

krim topikal dengan menggunakan dexametason sebagai internal standar telah

dilakukan dengan menggunakan metode KCKT. Sistem KCKT yang digunakan

adalah kolom 5 µm SUPELCO Discovery C18 125 x 4 mm i.d. dan fase gerak
7

campuran metanol, asetonitril, dan aquabides (15 : 27 : 58 v/v) dengan waktu

analisis kurang dari 13 menit (Hajkova et al., 2003).

Penetapan kadar kortikosteroid pernah dilakukan oleh Singh dan Verma

(2008) dengan metode spektrofotometri visibel. Metode ini menggunakan Fe (III)

sebagai agen pengoksidasi kortikosteroid sehingga akan dihasilkan Fe (II) yang

kemudian akan dikompleksasi dengan potassium heksasianoferat membentuk

warna biru hijau yang akan diukur absorbansinya pada 780 nm. Nilai standar

deviasi dari metode ini berkisar antara 0,03-1,06 %. Metode ini dikatakan

memiliki akurasi dan presisi yang baik serta waktu analisis yang cepat.

B. Kloramfenikol

1. Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama fungi,

yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Berdasarkan sifat

toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat menghambat pertumbuhan

mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh

mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Sifat antibiotik dapat berbeda satu

dengan yang lain (Ian, 1995). Kloramfenikol merupakan antibiotik yang pertama

kali ditemukan dan bersifat bakteriostatik (Anonim, 2009c).

Kloramfenikol aktif baik terhadap bakteri Gram positif maupun bakteri

Gram negatif (Ian, 1995), Rickettsia, Mycoplasma, Chlamydia, dan

Chlamydophila spp (Anonim, 2009c).


8

2. Sifat kimia

Kloramfenikol (Gambar 2) adalah senyawa antimikroba yang bekerja

dengan cara menghambat sintesis protein mikroba (Anonim, 2009b).


OH OH

O NH O
N

O
Cl Cl

Gambar 2. Rumus struktur kloramfenikol

Kloramfenikol berbentuk serbuk hablur halus berbentuk jarum atau

lempeng memanjang, putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan, stabil

dalam larutan netral atau larutan sedikit asam (Anonim, 1995). Serapan 1cm tebal

larutan dengan konsentrasi 0,002 % b/v dalam air pada 278 nm adalah 0,58

sampai 0,61 (Anonim, 1979). Kloramfenikol sangat larut dalam metanol dan

setiap 2,5 mg kloramfenikol larut dalam 1 ml air (Anonim, 1989). Kloramfenikol

memiliki berat molekul 323,1; pKa 5,5; kelarutan dalam alkohol 1 : 2-5; dalam air

1 : 400; koefisien partisinya 12, memiliki pH antara 4,5-7,5. Larutan

kloramfenikol stabil bila tidak terkena cahaya. Kloramfenikol dalam etanol

mempunyai λmaks pada 271 nm (E 1%,1cm = 178) (Clarke, 1986).

Proses degradasi kloramfenikol yang sering terjadi adalah hidrolisis,

terdegradasi oleh cahaya dan oksidasi (Boer dan Pijnenburg, 1983). Penetapan

kadar kloramfenikol dan produk hidrolisisnya pernah dilakukan oleh Khalil et al.

dengan menggunakan KCKT fase terbalik. Metode tersebut dikatakan lebih baik

dari pada metode yang disarankan oleh British Pharmacepoeia karena memiliki

akurasi, presisi dan waktu analisis yang lebih singkat.


9

Penetapan kadar deksametason, deksametason sodium fosfat dan

kloramfenikol telah dilakukan dengan metode KCKT menggunakan kolom Shim-

Pack CLC-ODS (6,0 x 150 mm) dan fase gerak terdiri dari campuran larutan bufer

natrium dihidrogen fosfat, asetonitril dan metanol dengan perbandingan 1,73 :

1,16 : 1 (Iqbal et al., 2006).

Analisis kloramfenikol dalam berbagai bentuk sediaan obat pernah

dilakukan dengan menggunakan metode kolorimetri. Titanium (III) klorida

digunakan untuk mereduksi kloramfenikol kemudian senyawa hasil reduksi

tersebut dikopling menggunakan p-dimetilaminobenzaldehid dan diukur pada

panjang gelombang 440 nm (Eboka et al., 2003).

C. Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih

bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar. Istilah ini secara tradisional

telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif

cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air.

Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari

emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol

berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan

untuk penggunaan kosmetik dan estetika (Anonim, 1995).

Stabilitas krim rusak, jika terganggu sistem campurannya terutama

disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan komposisi yang disebabkan


10

penambahan salah satu fase krim secara berlebihan atau pencampuran dua tipe

krim yang zat pengemulsinya tidak saling campur satu dengan yang lainnya. Zat

pengemulsi yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang

dikehendaki. Zat pengemulsi yang dapat digunakan antara lain: emulgid, Lemak

Bulu Domba, setaseum, setilalkohol, stearialkohol, trietanolamin stearat dan

golongan sorbitan, polisorbat, polietilenglikol, sabun. Zat pengawet yang sering

digunakan antara lain: metil paraben dan propil paraben (Anonim, 1979).

Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa

surfaktan-surfaktan anionik (eter alcohol sulfat, alkil sulfat, dan sulfosuccinates),

kationik (quarternary ammonium compounds) dan ninionik (lanolin , polysorbate,

sorbitan ester, polyoxyethilated (POE) alkyl phenols, dan sebagainya) (Anief,

2003).

D. Spektrofotometer UV

Spektroskopi adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang

mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik

(REM). Spektrofotometri ultraviolet adalah salah satu teknik analisis spektroskopi

yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm)

dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektra dengan panjang gelombang

tertentu, dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang

ditransmisikan yang diabsorbsi (Khopkar, 1990).


11

Prinsip kerja spektrofotometri berdasarkan atas interaksi yang terjadi

antara radiasi elektromagnetik dengan atom atau molekul. Adanya interaksi tadi

menyebabkan terjadinya perpindahan energi dari sinar radiasi ke molekul yang

disebut absorbsi. Akibat absorbsi radiasi elektromagnetik oleh molekul tersebut

maka akan terjadi eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai

orbital elektron antibonding. Ada empat tipe transisi elektronik yang mungkin

terjadi yaitu σ→σ*, →


n σ *, →
n π *, dan →π
π *
. Eksitasi elektron →σ
(σ *
)

memberikan energi yang terbesar dan terjadi pada daerah ultraviolet jauh yang
*
diberikan oleh ikatan tunggal, misalnya alkana. Eksitasi elektron
→π (π )

diberikan oleh ikatan rangkap dua dan tiga, juga terjadi pada daerah ultraviolet

jauh. Eksitasi elektron (n→σ *) terjadi juga pada gugus karbonil (dimetil keton dan

asetaldehid) yang terjadi pada daerah ultraviolet jauh (Mulya dan Suharman,

1995).
*
Transisi elektronik yang berguna dalam penelitian adalah transisi n→π

dan π→π * karena memberikan spektra pada 200-700 nm. Kedua transisi ini

membutuhkan adanya kromofor dalam struktur molekulnya, yaitu suatu gugus

fungsional tidak jenuh yang menyediakan orbital π yang dapat menyerap pada

daerah ultraviolet (Skoog, 1985).

Selain kromofor, dikenal juga istilah auksokrom yaitu merupakan gugus

jenuh yang bila terikat pada kromofor mengubah panjang gelombang dan

intensitas serapan maksimum, cirinya adalah heteroatom yang langsung terikat

pada kromofor (Sastrohamidjojo, 2001). Gugus auksokrom paling sedikit


12

memiliki sepasang elektron bebas yang dapat berinteraksi dengan elektron π,

misalnya -OH, -NH2 (Skoog, 1985).

Spektrofotometer ultraviolet melibatkan energi elektronik yang cukup

besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometer ultraviolet lebih

banyak untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif. Analisis kuantitatif

selalu melibatkan pembacaan serapan radiasi elektromagnetik oleh molekul yang

dikenal dengan absorban (A) tanpa satuan atau radiasi elektromagnetik yang

diteruskan yang dikenal dengan transmitan dengan satuan persen (% T). Bouger,

Lambert, dan Beer membuat formula secara matematik hubungan antara

transmitan atau absorban terhadap intensitas radiasi atau konsentrasi zat yang

dianalisis dan tebal larutan yang mengabsorbsi sebagai :

It
T= = 10−Є C b (1)
I0

1
A = log T = ε. C. b (2)

Dimana T = persen transmitan

I0 = intensitas radiasi yang datang

It = intensitas radiasi yang diteruskan

ε = daya serap molar (L mol-1 cm-1)

C = konsentrasi (mol L-1)

b = tebal larutan (cm)

A = serapan/absorbansi

(Mulya dan Suharman, 1995).


13

D. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode

kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan secara cepat dengan bantuan

tekanan, dan hasilnya dideteksi dengan instrumen (Willard et al., 1988). Pada

akhir tahun 1970, perkembangan instrumen ini dapat menghasilkan pemisahan

yang baik atau menghasilkan penampilan peak yang baik sehingga sistem ini lebih

dikenal dengan KCKT (Kromidas, 2000).

KCKT merupakan teknik analisis yang paling sering digunakan dalam

analisis farmasi untuk pemisahan, identifikasi dan determinasi dalam campuran

yang kompleks (Skoog et al., 1998).

1. Kromatografi partisi fase terbalik

Menurut Gritter et al. (1991), konsep pada pengembangan kromatografi

cair partisi yaitu perlakuan sampel dalam kondisi cair-cair tergantung pada

kelarutannya di dalam kedua cairan yang terlibat. Jika solut ditambahkan ke

dalam kondisi yang terdiri atas dua pelarut yang tidak bercampur dan keseluruhan

kondisi dibiarkan seimbang, solut akan tersebar antara kedua fase itu menurut

persamaan:

Cs
K = Cm (3)

K adalah koefesien distribusi, Cs adalah konsentrasi solut dalam fase diam dan

Cm adalah konsentrasi solut dalam fase gerak (Skoog et al., 1998).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan metode kromatografi

partisi fase balik adalah:


14

a. Kolom. Kolom yang digunakan pada jenis kromatografi ini adalah

kemasan fase terikat. Fase diam yang biasa digunakan pada kromatografi partisi

fase balik adalah oktadesilsilan (ODS). Selain ODS, dikenal pula silika dengan

substitusi oktil (C8) (Munson, 1991).

b. Fase gerak. Fase gerak pada KCKT sangat berpengaruh pada tambatan

sampel dan pemisahan komponen dalam campuran. Pada fase terbalik, kandungan

utama fase geraknya adalah air. Pelarut yang dapat campur dengan air seperti

metanol, etanol, asetonitril, dan tetrahidrofuran ditambahkan untuk mengatur

kepolaran fase gerak. Karakteristik beberapa pelarut yang sering digunakan pada

KCKT disajikan pada tabel I.

Tabel I. Karakteristik beberapa pelarut pada KCKT

Indek Nilai eluentropik UV Cut-off


Pelarut
polaritas Alumina C18 Silika (nm)
Heksan 0,1 0,01 - 0,00 195
Sikloheksan 0,2 0,04 - - 200
Toluen 2,4 0,29 - 0,22 284
Tetrahidrofuran 4,0 0,45 3,7 0,53 212
Etil asetat 4,4 0,58 - 0,48 256
Aseton 5,1 0,56 8,8 0,53 330
Metanol 5,1 0,95 1,0 0,7 205
Asetonitril 5,8 0,65 3,1 0,52 190
Dimetilformamida 6,4 - 7,6 - 268
Dimetilsulfoksida 7,2 0,62 - - 268
Air 10,2 - - - 190
(Snyder et al., 1997)

c. Detektor. Detektor yang baik hendaknya memiliki kepekaan tinggi,

rentang respon liniernya lebar, tidak dipengaruhi perubahan suhu dan aliran,

memberikan hasil dengan keterulangan yang baik, dan tidak banyak noise.
15

Secara umum detektor dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:

1) Bulk property detectors, merupakan detektor yang mengukur

perubahan sifat fisik fase gerak dan solut. Detektor tipe ini cenderung

relatif tidak sensitif dan menghendaki suhu yang terkendali. Contoh

detektor jenis ini yaitu detektor indeks bias.

2) Solut property detectors, merupakan detektor yang hanya

mengukur sifat fisik solut. Detektor tipe ini 1000 kali lebih sensitif dan

mampu mengukur solut sampai satuan nanogram atau lebih kecil lagi.

Contoh detektor jenis ini yaitu detektor fluoresensi, detektor penyerapan

(UV-Vis), dan detektor elektrokimia (Munson, 1991).

2. Pemisahan puncak dalam kromatografi

Keberhasilan atau kegagalan analisis tergantung pada pemilihan kolom

dan kondisi kerja yang tepat. Ukuran kinerja kolom dapat dilihat dari kemampuan

kolom dalam memisahkan senyawa. Kolom yang efisien mencegah pelebaran

puncak atau menghasilkan puncak yang sangat sempit (Johnson dan Stevenson,

1978).

Faktor resolusi adalah ukuran pemisahan dari 2 puncak. Daya pisah (R),

dapat diukur dengan persamaan:

(t R 2 −t R 1 ) 2Δt
R= 1 =w (4)
� �(w 1 +w 2 ) 1 +w 2
2

Nilai tR2 dan tR1 adalah waktu retensi senyawa, diukur pada titik

maksimum puncak dan Δt adalah selisih antara tR2 dan tR1. Nilai w2 dan w1 adalah
16

lebar alas puncak. Pemisahan dua senyawa dapat digambarkan sebagai berikut

(Gambar 3):

Gambar 3. Pemisahan dua senyawa (Johnson dan Stevenson, 1978)

Nilai R >1,5 disebut baseline resolution, yaitu pemisahan sempurna dari

dua puncak dengan ukuran yang sama. Dalam praktiknya, pemisahan dengan nilai

R= 1,0 (kedua puncak berhimpit lebih kurang 2%) dianggap memadai (Pescok et

al., 1976).

Pemisahan puncak-puncak dalam kromatografi erat hubungannya dengan

efisiensi kolom. Pada efisiensi kolom terdapat dua teori yang menjelaskan

mengenai pemisahan puncak pada kromatografi, yaitu:

a. Teori lempeng

Dalam teori lempeng dinyatakan bahwa kolom kromatografi

digambarkan sebagai suatu seri lapisan tipis horizontal yang disebut lempeng

teoritis. Setiap molekul analit akan mengalami keseimbangan dalam fase diam dan

fase gerak. Pemisahan akan lebih baik jika terjadi keseimbangan berkali-kali

dalam jumlah yang tinggi. Hal ini terjadi jika jumlah lempeng teoritis juga tinggi.
17

Oleh karena itu, jumlah teoritis juga dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi

kolom (Noegrohati, 1994). Hubungan antara waktu retensi (tR), lebar alas peak

(W), dan jumlah lempeng teoritik (N) dapat dinyatakan dengan persamaan

(Johnson dan Stevenson, 1978):

2 2
t t
N = 16 � wR � = 5,54 �W R � (5)
1/2

Bilangan lempeng teoritis (N) berbanding lurus dengan panjang kolom

(L). Karena panjang kolom yang bermacam-macam, maka diperlukan ukuran

koefisien kolom yang tidak tergantung pada panjang kolom. HETP (Height

Equvalent to a Theoretical Plate) atau H merupakan ukuran koefisien kolom yang

lebih disukai karena memungkinkan perbandingan antara kolom yang panjangnya

berlainan, yang dapat diukur dengan persamaan (Munson, 1991):


L
H = HETP = N
(6)

b. Teori laju

Teori lempeng hanya menggambarkan laju migrasi secara kuantitatif,

tetapi tidak dapat menggambarkan pengaruh variabel-variabel lain yang

menyebabkan terjadinya pelebaran peak, oleh karena itu perlu diketahui teori laju.

Pada waktu migrasi, solut mengalami transfer dalam fase diam dan fase gerak

berkali-kali. Solut hanya dapat bergerak jika berada dalam fase gerak sehingga

migrasi di dalam kolom juga tidak teratur dan mengakibatkan laju rata-rata solut

relatif terhadap fase gerak juga sangat bervariasi, sehingga terjadi pelebaran peak

solut (Noegrohati, 1994).


18

Menurut teori laju ini, efisiensi kolom dinyatakan dengan persamaan

Van Deemter yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Willard et al., 1988):

B
H=A+ µ
+ Cstasionery.µ + Cmobi⸩le .µ (7)

2γD 8k' df2


H = 2λdp + + µ (8)
µ π2 (1 + k' )2 DCairan

Dimana λ = tetapan ukuran ketidakteraturan kemasan

dp = diameter rata-rata partikel penyangga

D = kedifusian linarut dalam fase gerak

k' = faktor kapasitas

µ = kecepatan alir

γ = faktor koreksi kelikuan saluran dalam kolom

Dari persamaan di atas dapat dilihat terdapat tiga variabel yang

mempengaruhi efisiensi kolom, yaitu:

1) Difusi Eddy, yang dinyatakan sebagai A (2λdp). Difusi Eddy

menggambarkan ketidakhomogenan kecepatan alir dan panjang lintasan di

sekitar partikel yang terpack-ing (Gambar 5). Lintasan alir yang tidak sama

pasti ditemukan dalam kolom terpack-ing. Suatu molekul solut dapat melewati

kolom dekat dinding kolom di mana kerapatan kolom rendah dengan cepat

mencapai akhir kolom, khususnya pada kolom dengan diameter kecil. Molekul

solut yang melewati bagian tengah kolom akan mencapai akhir kolom lebih

lambat. Hal ini menyebabkan perbedaan laju tiap molekul melalui kolom

berbeda-beda. Untuk meminimalkan difusi Eddy ini, maka diameter rata-rata


19

partikel dalam kolom harus sekecil mungkin dan seseragam mungkin. Difusi

Eddy yang terjadi di dalam kolom dapat digambarkan sebagai berikut

(Gambar 4):

Gambar 4. Difusi Eddy (Willard et al., 1988)

2) Difusi longitudinal, Nilai B (2γD/µ) menyatakan efek difusi

longitudinal, pergerakan acak molekul dalam fase gerak. Pengaruh difusi

longitudinal terhadap ketinggian lempeng menjadi signifikan hanya pada

kecepatan fase gerak yang rendah/lambat. Kecepatan difusi solut yang tinggi

pada fase gerak dapat menyebabkan molekul solut terdispers secara aksial

sementara dengan lambat bermigrasi melalui kolom.

3) Transfer massa Transfer massa dinyatakan dengan nilai Cstasionery dan

Cmobile. Cstasionery merupakan hasil dari ditahannya solut karena adanya fase

diam. Suatu molekul bergerak lambat dalam fase diam, sementara molekul

lainnya melaju melalui kolom bersama dengan fase gerak. Untuk mengatasi

hal ini diperlukan fase diam yang lebih encer (tidak terlalu kental). Peristiwa

ini dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 5):


20

Gambar 5. Transfer massa fase diam (Willard et al., 1988)

Cmobile menggambarkan adanya peristiwa dimana solut dalam fase diam

bertemu dengan fase gerak yang masih baru. Hal ini dapat digambarkan

sebagai berikut (Gambar 6):

Gambar 6. Transfer massa fase gerak (Willard et al., 1988)

Pada analisis secara KCKT, kondisi percobaan yang menghasilkan puncak

yang simetris selalu lebih disukai, karena puncak yang asimetris dapat

menghasilkan pengukuran bilangan lempeng teoritik dan faktor resolusi yang

tidak akurat, perhitungan yang tidak teliti, penurunan derajat resolusi dan puncak-

puncak minor yang tidak terdeteksi pada ekor puncak, serta waktu retensi yang

tidak reprodusibel. Parameter yang digunakan untuk menilai bentuk puncak

adalah peak asymmetry factor (As), yang diukur pada 10% tinggi puncak. Peak

yang simetri memiliki nilai As sama dengan 1, sedangkan puncak dengan nilai As

pada rentang 0,95-1,1 masih dikatakan baik. Parameter lain yang masih dapat
21

digunakan yaitu peak tailing factor (Tf), yang diukur pada 5% tinggi puncak. Cara

penentuan As dan Tf dapat diamati pada gambar berikut (Gambar 7):

Gambar 7. Penentuan peak asymmetry dan peak tailing factor (Snyder et al., 1997)

Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam pada saat terjadi tailing

dan leading dapat dilihat sebagai berikut (Gambar 8):

Gambar 8. Distribusi analit dalam fase gerak dan fase diam (Kuwana, 1980)

Gugus silanol yang tidak bereaksi karena adanya halangan sterik dapat

memberikan kepolaran yang tidak dikehendaki dan menyebabkan pengekoran

pada puncak kromatogram. Untuk mengurangi gugus silanol yang masih bebas,
22

reaksi dianjurkan dengan penambahan trimetilklorosilan yang dapat mencapai

gugus silanol karena ukurannya yang lebih kecil dibanding organoklorosilan yang

lain. Penambahan trimetilklorosilan dapat menutupi banyak gugus silanol yang

masih bebas, namun tidak semua gugus tersebut dapat tertutupi (Skoog et al.,

1998).

Puncak kromatogram yang tidak simetri (tailing dan leading) sering

dijumpai bila konsentrasi solut dalam fase gerak terlalu besar. Senyawa-senyawa

polar juga berpotensi menimbulkan tailing apabila masih terdapat residu gugus

silanol pada fase diam. Penyebab tailing yang lain yaitu ketidaksesuaian antara

solut dan kolom, pengemasan kolom yang tidak seragam, dan faktor yang terjadi

di luar kolom, seperti injektor (Noegrohati, 1994).

3. Analisis Kualitatif dan Analisis Kuantitatif

Waktu tambat atau waktu retensi adalah selang waktu yang diperlukan

oleh linarut (solut) mulai saat injeksi sampai keluar dari kolom dan sinyalnya

ditangkap oleh detektor dan dinyatakan sebagai tR (Mulya dan Suharman, 1995).

Analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi

senyawa murni dan waktu retensi senyawa yang dimaksud dalam sampel. Respon

yang berupa tinggi peak maupun luas area peak dapat digunakan untuk analisis

kuantitatif (Noegrohati, 1994).


23

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan

pemisahan yang baik tersaji pada tabel II berikut:

Tabel II. Pemisahan yang diinginkan dalam metode KCKT

Tujuan Keterangan
Resolusi Presisi dan ketahanan metode analisis kuantitatif memerlukan
nilai Rs lebih besar dari 1,5
Waktu pemisahan < 5-10 menit merupakan waktu yang diinginkan untuk prosedur
rutin
Kuantifikasi Nilai CV ≤ 2%
Tekanan kolom < 150 bar adalah yang diharapkan, namun biasanya < 200 bar
masih diijinkan
TInggi Peak Bentuk peak yang sempit sangat diharapkan
Konsumsi fase Jumlah fase gerak yang minimum setiap pengujian sangat
gerak diharapkan
(Snyder et al., 1997)

E. Kesahihan Metode Analisis Instrumental

Parameter-parameter yang digunakan sebagai pedoman kesahihan metode

analisis antara lain:

1. Akurasi

Akurasi adalah suatu ukuran kedekatan nilai hasil percobaan dengan nilai

yang sesungguhnya. Akurasi suatu metode biasanya dinyatakan dengan persen

recovery. Rentang perolehan kembali untuk kadar analit pada matriks sampel

sebesar 100% dan lebih dari sama dengan 10% adalah 98-102 % (Harmita, 2004).

2. Presisi

Presisi adalah suatu ukuran kedekatan nilai data satu dengan data lainnya

dalam suatu pengukuran pada kondisi analisis yang sama. Presisi seringkali

diukur sebagai persen Relative Standard Deviation (RSD) atau Coefficient of


24

Variation (CV). Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat

dengan menurunnya konsentrasi analit. Pada kadar 1% atau lebih standar deviasi

relatif antara laboratorium adalah sekitar 2,5%. Secara umum diterima bahwa

RSD harus lebih kecil dari 2% (Harmita, 2004).

3. Linieritas

Linieritas suatu metode analitik adalah kemampuannya untuk memperoleh

hasil uji yang proporsional dengan konsentrasi analit pada sampel yang

dinyatakan dengan koefisien korelasi (r). Persyaratan data linieritas yang bisa

diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0,999 (Snyder et al., 1997).

4. Spesifisitas

Spesifisitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mengukur dengan

akurat respon analit diantara seluruh komponen sampel yang mungkin ada dalam

matriks sampel (Mulja dan Hanwar, 2003). Spesifisitas metode KCKT dapat

dikatakan baik jika nilai resolusi peak analit dengan senyawa lain lebih besar atau

sama dengan 2 (Snyder et al.,1997).


25

F. Landasan Teori

Hidrokortison asetat dan kloramfenikol dapat ditetapkan kadarnya

dengan menggunakan detektor UV karena keduanya memiliki gugus kromofor

yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik yang melewatinya.

Metode KCKT dapat digunakan untuk menetapkan kadar kedua senyawa

tersebut dalam krim merek “X” secara simultan karena adanya perbedaan

interaksi hidrokortison asetat, kloramfenikol dan senyawa lain dalam krim yang

mungkin ikut terekstraksi dalam metanol terhadap fase diam dan fase gerak yang

digunakan. Pada penetapan kadar dengan metode KCKT ini dipilih fase terbalik

karena hidrokortison asetat dan kloramfenikol cenderung bersifat non polar

sehingga kedua senyawa tersebut dapat berinteraksi dengan fase diam melalui

ikatan Van der Waals.

G. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori di atas maka dapat disusun hipotesis sebagai

berikut:

1. Metode KCKT fase terbalik dapat digunakan untuk memisahkan hidrokortison

asetat dan kloramfenikol dalam krim merek “X” secara simultan.

2. Metode KCKT fase terbalik yang digunakan untuk pemisahan hidrokortison

asetat dan kloramfenikol dalam krim merek “X” memiliki validitas yang baik.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis rancangan penelitian eksperimental

deskriptif dua tingkat karena pada subjek uji diberikan dua perlakuan.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel utama

a. Variabel bebas.

1) Jenis dan perbandingan fase gerak yaitu metanol : aquabides

2) Flow rate yang digunakan

b. Variabel tergantung.

1) Pemisahan peak dari masing-masing komponen yaitu hidrokortison

asetat dan kloramfenikol yang dapat dilihat dari waktu retensi masing-

masing senyawa.

2) Nilai recovery dan presisi yang didapatkan dari hasil validasi metode.

2. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali pada percobaan adalah kemurnian pelarut

yang digunakan. Untuk mengatasinya digunakan pelarut yang pro analysis yang

memiliki kemurnian tinggi.

26
27

C. Bahan-bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah hidrokortison asetat dan

kloramfenikol kualitas working standard (Kalbe Farma) dengan Sertificate of

Analysis (CoA) terlampir pada lampiran 1 dan 2, metanol p.a. (E. Merck),

aquabides (PT. Ikapharmindo Putramas), krim merek X dengan berat bersih 10 g

dan tiap gram mengandung kloramfenikol basa 20 mg, hidrokortison asetat 25

mg.

D. Alat-alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah: Spektrofotometer

UV/Vis merek Perkin Elmer Lambda 20, kuvet, seperangkat alat KCKT yang

terdiri dari pompa merek Shimadzu LC-10 AD, detektor UV-Vis merek Shimadzu

SPD 10 AV, CBM 101 merek Shimadzu, seperangkat komputer merek ACER,

printer merek Hewlett Packard Deskjet 670 C, injektor jenis katup suntik model

77251, Kolom Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm i.d., 5µm, syringe merek

Hamilton Part, alat degassing ultrasonik merek Retsch tipe T640, penyaring

Whatmann anorganik dan organik, Membrane filter holder merek Whatman

kapasitas 300 ml, neraca analitik merek Scaltec SBC 22, vakum merek Gast

model DOA-P104-BN, Milipore ukuran pori 0,45 µm, mikropipet 100-1000 µl

merek Biohit, pipet volume, Beaker glass, Erlenmeyer, pipet tetes, flakon, Buret,

labu takar, pengaduk, dan alat-alat gelas lainnya.


28

E. Tatacara Penelitian

1. Optimasi metode KCKT

a. Penentuan panjang gelombang pengamatan hidrokortison asetat dan

kloramfenikol dengan spektrofotometer UV. Timbang seksama masing-masing

kurang lebih 10 mg baku hidrokortison asetat dan kloramfenikol kemudian

diencerkan dengan metanol hingga 10,0 ml. Kemudian masing-masing dipipet

sebanyak 0,1 ml baku kloramfenikol dan 0,125 ml baku hidrokortison asetat dari

baku hidrokortison asetat dan diencerkan dengan metanol 10,0 ml. Masing-

masing larutan tersebut discan serapannya pada panjang gelombang 200-400 nm

dengan spektrofotometer UV. Kemudian diperoleh spektra yang menghubungkan

antara serapan dan panjang gelombang. Tentukan panjang gelombang pengamatan

yang menunjukkan hidrokortison asetat dan kloramfenikol memberikan serapan

yang optimal.

b. Pembuatan fase gerak. Fase gerak yang digunakan adalah campuran

metanol : aquabides dengan perbandingan 55 : 45; 60 : 40; 65 : 35 dan 70 : 30

(v/v). Masing-masing perbandingan fase gerak dibuat sesuai dengan volume yang

dibutuhkan kemudian digojog dan disaring dengan penyaring Whatman anorganik

dengan bantuan pompa vakum. Fase gerak kemudian didegassing selama 15

menit menggunakan ultrasonicator.


29

c. Pembuatan larutan baku induk hidrokortison asetat 1000 ppm dan

kloramfenikol 800 ppm. Sejumlah 10 mg hidrokortison asetat baku dan 8 mg

kloramfenikol baku ditimbang seksama dan dilarutkan dalam metanol hingga 10,0

ml.

d. Pengamatan waktu retensi hidrokortison asetat dan kloramfenikol

baku. Sejumlah 0,5 ml larutan baku induk hidrokortison asetat dan kloramfenikol

diambil kemudian diencerkan menggunakan fase gerak (yang akan dioptimasi)

hingga 10,0 ml. Sejumlah 20 µl masing-masing larutan tersebut diinject ke sistem

KCKT dengan fase diam C18 dan detektor UV pada panjang gelombang 255 nm,

kemudian dielusi dengan fase gerak yang akan dioptimasi dan flow rate tertentu

dan diamati waktu retensi masing-masing zat.

e. Preparasi sampel krim merek “X”. Timbang seksama kurang lebih 0,25

g sampel kemudian tambahkan 10,0 ml metanol, masukkan ke dalam tabung

sentrifugasi. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 30

menit. Ambil 2,0 ml dari larutan tersebut kemudian encerkan dengan fase gerak

yang akan dioptimasi hingga 10,0 ml. Larutan disaring dengan millipore dan

didegassing selama 15 menit. Larutan ini akan digunakan pada optimasi

pemisahan (langkah f) (ASEAN, 2005).

f. Optimasi pemisahan campuran hidrokortison asetat dan kloramfenikol

dalam sampel krim merek “X” dengan metode KCKT. Optimasi dilakukan pada

panjang gelombang 255 nm dan dilakukan dengan menggunakan sampel yang

telah dipreparasi pada langkah di atas (e) dan diinjectkan sebanyak 20 µl ke


30

sistem KCKT dengan fase diam C18. Perbandingan fase gerak yang digunakan dan

flow rate pada sistem yang digunakan diubah-ubah sampai didapatkan

kromatogram yang baik (memiliki resolusi dan waktu retensi yang efisien).

2. Verifikasi sistem KCKT

a. Verifikasi presisi sistem injeksi dan uji kesesuaian sistem KCKT.

Campuran larutan baku 125 ppm hidrokortison asetat dan 100 ppm kloramfenikol

diinjeksikan sebanyak 10 kali ke dalam sistem KCKT dengan fase gerak metanol :

aquabides dengan perbandingan 65 : 35 dan flow rate 1,2 ml/menit. Hitung nilai

CV dari AUC atau tinggi puncak yang dihasilkan dan amati waktu retensi masing-

masing zat. Presisi sistem injeksi yang baik ditunjukkan oleh nilai CV ≤ 1,0% dan

kesesuaian sistem yang memenuhi syarat ditunjukkan oleh waktu retensi masing-

masing zat setiap replikasi masuk dalam range waktu retensi yaitu x� ± 3 SD

(Snyder et al., 1997).

b. Verifikasi akurasi pompa. Alirkan fase gerak metanol : aquabides (65 :

35) pada fllow rate 1,2 ml/menit kemudian ditampung pada labu ukur 10,0 ml

dengan merek dan ketelitian yang sama. Lakukan sebanyak 10 kali. Catat waktu

yang diperlukan untuk menampung 10,0 ml fase gerak dalam labu. Hitung % bias

antara nilai flow rate hasil pengukuran dengan nilai flow rate yang diatur pada

sistem KCKT. Perbedaan nilai flow rate hasil pengukuran sebesar ± 1% dari flow

rate yang diatur (Lam, 2004).


31

3. Validasi metode KCKT

a. Pembuatan larutan baku induk campuran hidokortison asetat 1000 ppm

dan kloramfenikol 800 ppm. Timbang seksama kurang lebih 10 mg hidrokortison

asetat dan 8 mg kloramfenikol baku, kemudian dicampur dan dilarutkan dengan

metanol hingga 10,0 ml.

b. Pembuatan seri larutan baku hidrokortison asetat dan kloramfenikol.

Dari larutan baku induk campuran hidrokortison asetat 1000 ppm dan

kloramfenikol 800 ppm dalam metanol, dipipet 0,125; 0,250; 0,375; 0,500; 0,625;

0,750; dan 0,875 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml dan

diencerkan dengan fase gerak metanol : aquabides (65 : 35) sampai tanda

sehingga didapatkan konsentrasi seri hidrokortison asetat 12,5; 25,0; 37,5; 50,0;

62,5; 75,0 dan 87,5 ppm dan kloramfenikol 10; 20; 30; 40; 50; 60 dan 70 ppm.

Larutan disaring dengan Millipore dan didegassing menggunakan ultrasonicator

selama 15 menit dan diinjectkan sebanyak 20 µl ke dalam sistem KCKT dengan

menggunakan flow rate 1,2 ml/menit dan fase gerak metanol:aquabides (65:35).

AUC (Area Under Curve) untuk tiap peak yang muncul diamati dari kromatogram

yang didapat. Kemudian ditentukan persamaan regresi linear antara kadar tiap seri

baku terhadap AUC analit.

c. Penetapan perolehan kembali dan akurasi dengan menggunakan baku.

Timbang seksama kurang lebih 10 mg baku hidrokortison asetat dan 8 mg baku

kloramfenikol kemudian larutkan dalam 10,0 ml metanol. Kemudian dari larutan

tersebut diambil 0,4; 0,5 dan 0,6 ml dan diencerkan dengan 10,0 ml fase gerak
32

metanol : aquabides (65 : 35). Larutan disaring dengan millipore dan didegassing

menggunakan ultrasonicator selama 15 menit kemudian diinjeksikan pada sistem

KCKT dengan kolom C18 sejumlah 20 µl dengan fase gerak metanol : aquabides

dengan perbandigan 65 : 35 dan flow rate 1,2 ml/menit. Dilakukan replikasi

sebanyak 3 kali untuk setiap seri kadarnya. AUC (Area Under Curve) tiap peak

yang muncul diamati dari kromatogram yang didapat. Kemudian kadar analit

dihitung dengan memasukkan nilai AUC yang diperoleh dari tiap analit ke dalam

persamaan kurva baku yang telah diperoleh dari analisis regresi linear sehingga

didapatkan nilai perolehan kembali dan presisi metode yang digunakan.


33

F. Analisis Hasil

Hasil optimasi pemisahan hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam

krim merek “X” dapat dilihat dari kromatogram yang diperoleh dengan

menggunakan fase gerak dan flow rate tertentu. Hasil optimasi ini kemudian

digunakan untuk menetapkan kadar hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam

campuran yang telah diketahui kadarnya. Kemudian kadar terukur dibandingkan

dengan kadar sebenarnya untuk menentukan kesahihan metode (validasi metode).

Kesahihan metode ditentukan dengan parameter akurasi dan presisi

dengan rumus sebagai berikut:

1. Akurasi ditentukan dengan nilai recovery

kadar terukur
Recovery = x 100%
kadar diketahui (9)

2. Presisi diukur dengan Coefficient of variation (CV)

simpangan baku
CV = x 100%
kadar rata - rata (10)

3. Spesifisitas ditentukan dari profil pemisahan pada kromatogram yang

menunjukkan pemisahan hingga baseline untuk ketiga analit. Spesifisitas

metode yang dapat diterima dari suatu metode KCKT ditunjukan dengan nilai

resolusi ≥ 2.

4. Linieritas ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari

penentuan persamaan kurva baku dengan analisis regresi linear. Nilai r yang

memenuhi syarat adalah r > 0,999.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Optimasi Metode

1. Penentuan panjang gelombang overlapping

Penentuan panjang gelombang overlapping dilakukan dengan mengukur

panjang gelombang masing-masing senyawa terlebih dahulu. Penentuan panjang

gelombang overlapping ini dilakukan dengan mengukur absorbansi kedua

senyawa masing-masing dengan konsentrasi hidrokortison asetat 12,5 ppm dan

kloramfenikol 10,0 ppm pada panjang gelombang 200-400 nm yang termasuk

dalam panjang gelombang ultraviolet. Kloramfenikol dan hidrokortison asetat

memiliki gugus kromofor dan auksokrom sehingga dapat memberikan serapan

pada panjang gelombang ultraviolet (UV). Gugus auksokrom dan kromofor kedua

senyawa tersebut ditunjukkan dari gambar berikut (Gambar 9):

Gambar 9. Gugus kromofor dan auksokrom kloramfenikol dan hidrokortison asetat

34
35

Kurva serapan hidrokortison asetat dan kloramfenikol dapat terlihat seperti

pada gambar di bawah ini:

a = overlapping pada 227 nm


b = overlapping pada 255 nm

Gambar 10. Spektra panjang gelombang maksimum hidrokortison asetat ( ) dan


kloramfenikol ( )

Hasil spektrogram (gambar 10) menunjukkan panjang gelombang pada

saat serapan dari hidrokortison asetat maksimal adalah pada 241,6 nm.

Hidrokortison asetat dalam metanol memberikan serapan maksimum pada λ 242

nm (Anonim, 1995). Hasil menunjukkan pergeseran panjang gelombang untuk

hidrokortison asetat hanya sebesar 0,4 nm, hasil ini dikatakan memenuhi syarat

karena pergeseran panjang gelombang yang diijinkan adalah sebesar 2 nm

(Anonim, 1995). Untuk kloramfenikol, berdasarkan pengamatan panjang

gelombang saat serapannya maksimal adalah pada 273,2 nm. Menurut Clarke

(1986) serapan maksimal kloramfenikol dalam etanol ialah pada 271 nm. Hasil

pengukuran ini menunjukkan pergeseran panjang gelombang sebesar 2,2 nm, hal
36

ini mungkin disebabkan kondisi pengujian pada saat penelitian berbeda dengan

kondisi pengujian pada literatur yang dapat mempengaruhi absorbansi dari

senyawa. Selain itu, pelarut yang digunakan pada penelitian adalah metanol

sedangkan yang digunakan secara teoritis adalah etanol.

Setelah didapatkan spektrum masing-masing senyawa kemudian dicari

panjang gelombang overlapping kedua senyawa tersebut yaitu panjang gelombang

dimana kedua senyawa memberikan serapan yang optimum. Panjang gelombang

overlapping hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam metanol ditentukan dari

hasil perpotongan kurva dari spektrogram kedua senyawa tersebut. Panjang

gelombang overlapping yang digunakan adalah pada 255 nm karena lebih dekat

dengan panjang gelombang maksimum kloramfenikol dan untuk menghindari

adanya absorbsi oleh senyawa-senyawa lain yang memiliki kromofor pendek

sehingga dapat meningkatkan selektifitas dari detektor.

2. Pengamatan waktu retensi hidrokortison asetat dan kloramfenikol baku

Pengamatan waktu retensi kloramfenikol dan hidrokortison asetat baku

dilakukan untuk memastikan peak kloramfenikol dan hidrokortison asetat. Waktu

retensi digunakan untuk analisis kualitatif karena bersifat spesifik untuk senyawa

tertentu pada kondisi tertentu. Waktu retensi suatu senyawa dipengaruhi oleh

interaksi senyawa tersebut terhadap fase gerak dan fase diam yang digunakan.

Struktur kloramfenikol dan hidrokortison asetat mempunyai gugus polar

dan non polar yang dapat berinteraksi dengan fase gerak dan fase diam. Gugus

polar berinteraksi dengan fase gerak melalui ikatan hidrogen sedangkan gugus

non polar berinteraksi dengan fase diam oktadesisilan melalui ikatan Van Der
37

Waals. Interaksi antara kloramfenikol dan hidrokortison asetat dengan fase gerak

disajikan pada gambar 11 dan 12.

H H

H3CO H H OCH3

H O

H O H H
H
H3CO O H O O

H
O N O
O H
H N
H O

H3CO O H OCH3
Cl Cl
H O H H H
H O

H3CO H OCH3

H H

Gambar 11. Ikatan hidrogen antara kloramfenikol dengan fase gerak metanol :
aquabides

H H
H
H OCH3
OCH3
H H OCH3
OCH3 H
H O
O
H H OCH3 H
H
O H
HO
H O OCH3
O H
H
H
O H O
CH3 H O
O O O H
H O
H

H3CO
H H
H

H O O

Gambar 12. Ikatan hidrogen antara hidrokortison asetat dengan fase gerak metanol
: aquabides

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa hidrokortison asetat (Gambar 12)

memiliki kemungkinan ikatan hidrogen yang lebih banyak daripada kloramfenikol

(Gambar 11) sehingga seharusnya hidrokortison asetat yang memiliki waktu

retensi lebih singkat dibanding kloramfenikol. Semakin banyak jumlah ikatan

hidrogen maka ikatan antara solut dengan fase gerak akan semakin kuat sehingga

solut akan segera terelusi, namun pada kenyataannya kloramfenikol yang


38

mempunyai ikatan hidrogen lebih sedikit dibanding hidrokortison asetat, memiliki

waktu retensi yang lebih singkat. Hal ini disebabkan hidrokortison asetat lebih

banyak memiliki gugus non polar yang dapat berikatan dengan fase diam

oktadesisilan dari pada kloramfenikol. Ikatan yang terjadi tersebut adalah ikatan

Van der Waals. Ikatan ini menyebabkan hidrokortison asetat tertahan lebih lama

di dalam kolom dibanding kloramfenikol. Ikatan Van der Waals antara gugus

nonpolar kloramfenikol dan hidrokortison asetat sulit digambarkan.

Berikut digambarkan gugus nonpolar kloramfenikol (Gambar 13) dan

hidrokortison asetat (Gambar 14) yang berperan dalam ikatan Van der Waals:

OH OH

O NH O
N

O
Cl Cl

Gambar 13. Gugus nonpolar kloramfenikol

O
HO

HO O O

H3C

Gambar 14. Gugus nonpolar hidrokortison asetat

Selain dari analisis interaksi senyawa terhadap fase gerak dan fase diam

yang digunakan, untuk memprediksi waktu retensi dari suatu senyawa dapat juga

dilihat dari polaritas senyawa tersebut. Polaritas suatu senyawa ditunjukkan oleh

nilai log P senyawa tersebut. Semakin kecil nilai log P maka semakin polar
39

senyawa tersebut. Nilai log P kloramfenikol adalah -0,23 dan hidrokortison asetat

adalah 0,73. Dari nilai log P tersebut dapat disimpulkan bahwa kloramfenikol

lebih polar dibanding hidrokortison asetat. Oleh sebab itu kloramfenikol akan

terelusi terlebih dahulu karena fase gerak yang digunakan bersifat polar

sedangkan hidrokortison asetat yang bersifat lebih nonpolar akan berinteraksi

lebih kuat dengan fase diam yang bersifat nonpolar sehingga waktu retensi

hidrokortison asetat jauh lebih panjang. Berikut adalah kromatogram hasil

penetapan waktu retensi kloramfenikol (Gambar 15) dan hidrokortison asetat

(Gambar 16):

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : kloramfenikol baku
Detektor : UV 255 nm

Gambar 15. Kromatogram waktu retensi kloramfenikol baku dengan fase gerak
dan flow rate hasil optimasi
40

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : kloramfenikol dan hidrokortison asetat baku
Detektor : UV 255 nm

Gambar 16. Kromatogram waktu retensi kloramfenikol dan hidrokotison asetat baku
dengan fase gerak dan flow rate hasil optimasi

Pada kromatogram baku kloramfenikol (Gambar 15) kloramfenikol

ditunjukkan oleh peak nomor 5 dengan waktu retensi 3,488 menit. Pada

kromatogram campuran baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat (Gambar 16)

dapat disimpulkan peak nomor 5 adalah kloramfenikol dengan waktu retensi

3,469 menit dan hidrokortison asetat ditunjukkan oleh peak nomor 10 dengan

waktu retensi 8,553 menit.


41

3. Pengamatan waktu retensi hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam

sampel

Pengamatan waktu retensi kloramfenikol dan hidrokortison asetat dalam

sampel ini sekaligus menjadi parameter analisis kualitatif senyawa tersebut.

Waktu retensi dari peak sampel akan dibandingkan dengan waktu retensi

kloramfenikol dan hidrokortison asetat baku.

Pada kromatogram sampel terdapat 2 peak yang saling berhimpit dan

salah satu dari peak tersebut adalah kloramfenikol. Oleh karena itu, dilakukan

penambahan baku kloramfenikol ke dalam sampel yang akan diinjeksikan untuk

memastikan peak kloramfenikol dengan prinsip peak yang mengalami

penambahan luas area maupun tinggi peak merupakan peak kloramfenikol. Hasil

yang peroleh disajikan pada gambar 17 berikut:

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (55 : 45 v/v)
Flow rate : 2 ml/menit
Injeksi : sampel + baku kloramfenikol
Detektor : UV 255 nm

Gambar 17. Kromatogram sampel + baku kloramfenikol


42

Dari hasil kromatogram yang diperoleh (Gambar 17), peak pada waktu

retensi 3,872 menit mengalami pertambahan tinggi dan area (kromatogram sampel

tanpa penambahan baku kloramfenikol dapat dilihat pada lampiran 3), sehingga

dapat disimpulkan bahwa peak tersebut adalah kloramfenikol hal ini diperkuat

dengan menginjeksikan baku kloramfenikol ke dalam sistem KCKT dan

didapatkan waktu retensi kloramfenikol sebesar 3,871 menit (lampiran 4).

Peak yang selalu berhimpit dengan kloramfenikol diprediksi merupakan

peak pengawet yang sering digunakan dalam krim yaitu metil paraben atau propil

paraben. Hal ini didasarkan pada kelarutan metil paraben dan propil paraben yang

baik dalam metanol sehingga dapat ikut terekstraksi ke dalam metanol saat

preparasi sampel, sedangkan senyawa lain yang digunakan dalam pembuatan krim

seperti emulgator krim (misalnya trietanolamin stearat) dan basis krim (misalnya

lanolin) tidak larut dalam metanol sehingga tidak akan ikut tereskstraksi pada saat

preparasi sampel. Metil paraben memiliki nilai log P sebesar 1,69 sedangkan

propil paraben 2,52. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peak yang selalu

berhimpit dengan peak kloramfenikol adalah metil paraben karena memiliki nilai

log P yang lebih mendekati log P kloramfenikol (-0,23) sehingga waktu retensi

kedua senyawa tersebut hampir sama. Kloramfenikol memiliki nilai log P yang

lebih kecil daripada metil paraben, oleh karena itu peak yang lebih dahulu muncul

(waktu retensi lebih pendek) merupakan kloramfenikol dan peak yang lebih lama

muncul adalah metil paraben.

Hasil pengamatan waktu retensi kloramfenikol baku dan hidrokortison

asetat untuk flow rate 1,2 ml/menit dan fase gerak metanol : aquabides (65 : 35)
43

masing-masing adalah 3,488 menit dan 8,553 menit (Gambar 15 dan 16). Pada

kromatogram sampel (gambar 18) terdapat 3 peak yang besar dengan waktu

retensi 3,488; 3,863; dan 8,593 menit. Jika dibandingkan dengan peak baku dapat

disimpulkan bahwa peak dengan waktu retensi 3,488 dan 8,593 menit pada

kromatogram sampel (Gambar 18) adalah peak kloramfenikol (9) dan

hidrokortison asetat (15). Kromatogram sampel disajikan pada gambar berikut:

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 18. Kromatogram waktu retensi sampel dengan fase gerak dan flow rate hasil
optimasi

4. Optimasi fase gerak

Sistem kromatografi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

kromatografi partisi fase terbalik yaitu fase gerak yang lebih polar dari pada fase

diam. Kolom yang digunakan adalah Kromasil-C18 berukuran 250 x 4,6 mm i.d.,

5µm, sedangkan fase gerak yang digunakan adalah campuran metanol dan
44

aquabides yang bersifat lebih polar dari pada fase diam yang digunakan. Pada

tahap optimasi fase gerak digunakan flow rate yang sama untuk setiap komposisi

fase gerak yang dioptimasi sehingga bila ada perbedaan pada hasil yang diperoleh

maka perbedaan tersebut dapat disimpulkan karena perbedaan komposisi fase

gerak yang digunakan. Nilai flow rate yang digunakan adalah 2 ml/menit, hal ini

bertujuan untuk mempercepat waktu elusi dari kedua senyawa yang akan

ditetapkan.

Fase gerak yang dioptimasi adalah metanol dan aquabides dengan berbagai

perbandingan komposisi yaitu 55 : 45; 60 : 40; 65 : 35 dan 70 : 30 (v/v). Fase

gerak yang telah dibuat terlebih dahulu disaring dengan penyaring Whattman

anorganik untuk menyaring partikel yang dapat menyumbat kolom. Selanjutnya

fase gerak dideggasing dengan menggunakan ultrasonicator untuk

menghilangkan gelembung udara karena gelembung udara dapat mengganggu

pemisahan sampel.

Pemilihan komposisi fase gerak tersebut didasarkan pada penelitan

sebelumnya yang dilakukan oleh Li X (1998) yaitu penetapan kadar hidrokortison

dan kloramfenikol dalam tetes telinga, dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa

fase gerak yang optimal adalah metanol : aquabides dengan perbandingan 60 : 40.

Penelitian ini dilakukan optimasi pada komposisi fase gerak yang tidak terlalu

berbeda dengan penelitian Li X (1998) karena baik hidrokortison asetat maupun

hidrokortison memiliki struktur yang hampir sama sehingga interaksi kedua

senyawa tersebut dengan fase gerak dan fase diam juga akan mirip. Berikut ini

adalah struktur kedua senyawa tersebut (Gambar 19):


45

Gambar 19. Struktur hidrokortison (a) dan hidrokortison asetat (b)

Pada proses optimasi fase gerak ini menggunakan sampel yang telah

dipreparasi dengan tujuan agar hasil optimasi ini dapat langsung digunakan pada

penetapan kadar sampel karena dalam sampel tidak hanya mengandung

hidrokortison asetat dan kloramfenikol murni namun terdapat senyawa lainnya.

Dalam proses ekstraksi mungkin senyawa lain tersebut ikut terekstraksi karena

memiliki sifat yang hampir sama (dalam hal kelarutannya) dengan hidrokortison

asetat dan kloramfenikol sehingga akan menyebabkan peak yang saling

overlapping. Hal ini dapat dilihat dari peak kloramfenikol yang selalu diikuti oleh

peak lain. Oleh karena itu optimasi dilakukan juga mempertimbangkan nilai

resolusi peak kloramfenikol dan peak senyawa lain tersebut.

Tahap optimasi pertama yang dilakukan adalah menggunakan komposisi

fase gerak metanol : aquabides 55 : 45 (v/v). Hasil optimasi menggunakan fase

gerak ini dapat dilihat pada gambar 17 (hlm 40). Pada kromatogram tersebut dapat

dilihat bahwa waktu retensi kloramfenikol adalah 3,872 menit dan hidrokortison

asetat adalah 17,233 menit. Oleh karena itu, pengunaan fase gerak dengan
46

komposisi metanol : aquabides (55 : 45) v/v ini tidak efisien karena waktu elusi

yang diperlukan sangat lama.

Tahap optimasi kedua adalah menggunakan fase gerak metanol :

aquabides (60 : 40) v/v. Pada fase gerak ini, jumlah metanol yang digunakan

ditambah untuk meningkatkan eluent strength fase gerak. Peningkatan eluent

strength ini diharapkan akan meningkatkan kemampuan fase gerak untuk

mengelusi analit lebih cepat sehingga waktu retensi analit juga akan semakin

pendek. Hasil dari optimasi ini dapat dilihat pada kromatogram (Gambar 20) di

bawah ini:

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (60 : 40 v/v)
Flow rate : 2 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 20. Kromatogram sampel optimasi fase gerak tahap kedua

Pada gambar di atas (Gambar 20) peak nomor 9 adalah kloramfenikol

dengan waktu retensi 3,084 menit dan peak nomor 16 adalah hidrokortison asetat

dengan waktu retensi 10,070 menit. Penggunaan fase gerak ini dari segi waktu
47

elusi lebih efisien dari pada fase gerak sebelumnya, namun pada kondisi ini

tekanan kolom sebesar 300 atm, kondisi ini tidak diinginkan karena tekanan

kolom yang terlalu tinggi ini akan merusak kolom yang digunakan serta

menurunkan realibilitas dari sistem KCKT yang digunakan. Tekanan kolom yang

diinginkan adalah tidak lebih dari 197,4 atm (Snyder et al., 1997). Oleh karena

itu, dalam optimasi selanjutnya dilakukan penurunan flow rate yang digunakan,

dengan menurunnya flow rate maka tekanan kolom juga akan menurun tetapi

waktu retensi juga akan semakin lama sehingga akan memperpanjang waktu elusi.

Hasil penurunan flow rate fase gerak metanol : aquabides (60 : 40) v/v dapat

dilihat pada tabel III dibawah ini:

Tabel III. Hasil optimasi flow rate fase gerak metanol : aquabides (60 : 40)

Resolusi klor Waktu retensi


Flow rate Lempeng HETP Pressure
dengan (menit)
(ml/menit) teoritis (N) (10-3) (atm)
senyawa lain Klor HCA
1,9 5748,54 4,35 2,29 4,397 14,769 279
1,8 6017,19 4,15 2,23 4,632 15,374 267
1,7 8900,29 2,80 2,36 5,096 16,413 253
*Klor = Kloramfenikol
HCA = Hidrokortison asetat

Dari hasil tersebut (Tabel III) dapat diamati bahwa pada penurunan flow

rate hingga 1,7 ml/menit tekanan kolom nilainya lebih dari 197,4 atm dan waktu

retensi hidrokortison asetat (HCA) adalah 16,413 menit (contoh perhitungan N,

HETP dan Rs dapat dilihat pada lampiran 5). Dengan demikian, fase gerak ini

disimpulkan tidak efisien karena memerlukan waktu elusi yang panjang.

Kromatogram hasil penurunan flow rate fase gerak metanol : aquabides (60 :40

v/v) dapat dilihat pada lampiran 6.


48

Tahap optimasi ketiga adalah menggunakan komposisi fase gerak metanol

: aquabides dengan perbandingan 65 : 35 v/v. Jumlah metanol dalam fase gerak

ini ditingkatkan agar waktu elusi dapat lebih singkat. Hasil kromatogram dari

optimasi fase gerak ini dapat dilihat pada kromatogram (Gambar 21) di bawah

ini:

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 2 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 21. Kromatogram sampel optimasi fase gerak tahap ketiga

Pada gambar 21 peak nomor 7 adalah kloramfenikol dengan waktu retensi

2,342 menit dan peak nomor 14 adalah hidrokortison asetat dengan waktu retensi

5,967 menit dan tekanan kolom pada kondisi tersebut sebesar 233 atm. Pada

kondisi ini tekanan kolom berada di atas 197,4 atm, sehingga langkah selanjutnya

yang ditempuh untuk menurunkan tekanan tersebut adalah dengan menurunkan

flow rate yang digunakan (akan dibahas kemudian).


49

Tahap optimasi fase gerak keempat (terakhir) adalah metanol : aquabides

dengan perbandingan 70 : 30 v/v. Fase gerak ini mengandung jumlah metanol

terbanyak dari fase gerak yang telah dioptimasi sebelumnya, dengan demikian

kemampuan mengelusi fase gerak ini lebih besar dari fase gerak sebelumnya.

Hasil yang diharapkan dari penggunaan fase gerak ini adalah mendapatkan waktu

elusi yang lebih singkat daripada sebelumnya. Hasil kromatogram (Gambar 22)

yang didapat adalah sebagai berikut:

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (70 : 30 v/v)
Flow rate : 2 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 22. Kromatogram sampel optimasi fase gerak tahap keempat

Pada kromatogram tersebut (Gambar 22) dapat diamati bahwa peak

kloramfenikol (6) sangat dekat dengan peak nomor 7 dan peak hidrokortison

asetat (12) tidak memisah dengan sempurna dari peak lainnya. Solusi yang

ditempuh agar pemisahan kedua senyawa tersebut lebih baik adalah dengan

menurunkan flow rate yang hasilnya dapat dilihat dari kromatogram dibawah ini

(Gambar 23 – 27):
50

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (70 : 30 v/v)
Flow rate : 1,8 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 23. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan flow rate 1,8
ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (70 : 30 v/v)
Flow rate : 1,6 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 24. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan flow rate 1,6 ml/menit
51

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (70 : 30 v/v)
Flow rate : 1,4 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 25. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan flow rate 1,4 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (70 : 30 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 26. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan flow rate 1,2 ml/menit
52

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (70 : 30 v/v)
Flow rate : 1,0 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm

Gambar 27. Kromatogram sampel optimasi tahap keempat dengan flow rate 1,0 ml/menit

Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan flow rate tidak dapat

mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini dapat dilihat dari kromatogram

(Gambar 27) peak hidrokortison asetat (14) tidak memisah dengan peak lainnya,

oleh karena itu tidak dilanjutkan penurunan flow rate lebih kecil karena akan

memperpanjang waktu elusi.

Dari keseluruhan optimasi fase gerak dengan flow rate 2 ml/menit maka

disimpulkan bahwa fase gerak metanol : aquabides dengan perbandingan 65 : 35

v/v (Gambar 21) adalah yang optimal dilihat dari segi waktu retensi, tekanan

kolom, resolusi dan nilai HETP, rangkuman hasil optimasi fase gerak secara

keseluruhan dapat dilihat dari tabel IV di bawah ini:


53

Tabel IV. Hasil optimasi komposisi fase gerak pada flow rate 2 ml/menit

Lempeng HETP Resolusi Waktu rentensi


Komposisi Pressure
teoritis (L/N) klor dengan (menit)
(atm)
Met Aq (N) 10-3 senyawa lain Klor HCA
55 45 5479,46 4,56 2,12 3,871 > 15 271
60 40 4770,16 5,24 2,04 3,084 10,070 300
65 35 3836,22 6,52 1,68 2,342 5,967 223
70 30 HCA belum memisah dengan senyawa lain dalam sampel
*Met: metanol
Klor: kloramfenikol
Aq: aquabides
HCA: Hidrokortison asetat

Dari tabel IV di atas dapat diamati nilai HETP dari fase gerak metanol :

aquabides (65 : 35 v/v) adalah yang terbesar, sedangkan menurut Van Deemter

nilai HETP yang baik adalah yang paling kecil selain itu nilai resolusi yang

dihasilkan juga tidak memenuhi syarat Rs≥ 2 (Snyder et al., 1997) namun fase

gerak metanol : aquabides (65 : 35 v/v) tetap dipilih karena dilihat dari segi waktu

retensi dan tekanan kolom yang lebih efisien sedangkan untuk nilai resolusi dapat

ditingkatkan dengan penurunan flow rate yang digunakan. Hasil optimasi flow

rate fase gerak tersebut dapat dilihat pada tabel V dan kromatogram hasil optimasi

fase gerak metanol : aquabides (65 : 35 v/v) dapat dilihat pada lampiran 7.

Tabel V. Hasil optimasi flow rate fase gerak metanol : aquabides (65 : 35)

Lempeng Resolusi klor Waktu retensi


Flow rate HETP (menit) Pressure
teoritis dengan
(ml/menit) (10-3) (atm)
(N) senyawa lain Klor HCA
0,4 7822,13 3,20 2,42 9,920 >20 62
0,5 9132,64 2,74 2,33 8,031 19,202 78
0,6 8709,49 2,87 2,28 6,681 15,921 93
0,7 6812,60 3,67 2,16 5,737 13,663 109
1,0 5994,57 4,17 2,09 5,223 12,727 129
1,1 5895,70 4,24 2,02 4,740 11,563 156
1,2 5376,96 4,65 2,16 3,488 8,593 188
1,3 4642,82 5,38 1,83 3,243 7,984 207
1,4 4537,02 5,51 1,81 3,022 7,455 220
*Klor: kloramfenikol
HCA: hidrokortison asetat
54

Hasil optimasi flow rate bila digambarkan dalam bentuk kurva adalah

sebagai berikut (Gambar 28):

6
5,5
5
4,5
HETP (10-3)

4
3,5
3
2,5
2
0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6
flow rate fase gerak metanol : aquabides
65 :35 v/v (ml/menit)

Gambar 28. Kurva flow rate vs HETP dengan fase gerak metnanol : aquabides (65 : 35)

Kurva di atas (Gambar 28) menunjukkan bahwa dengan peningkatan flow

rate tidak selalu meningkatkan nilai HETP namun terdapat suatu kecepatan alir

optimum yang dapat menghasilkan nilai HETP terkecil hal ini sesuai dengan teori

Van Deemter yang ditunjukkan melalui kurva sebagai berikut:

Gambar 29. Kurva teori Van Deemter


55

Dari tabel V dapat diamati bahwa nilai HETP yang paling kecil pada flow

rate 0,5 ml/menit. Namun flow rate tersebut tidak dipilih sebagai kondisi

optimum karena dari sisi waktu elusi tidak efisien. Flow rate yang dipilih adalah

1,2 ml/menit karena memiliki nilai HETP yang cukup kecil, resolusi yang

memenuhi syarat, waktu elusi yang efisien dan tekanan kolom yang diinginkan

(kurang dari 197,4 atm).

B. Verifikasi Sistem KCKT Hasil Optimasi

Verifikasi sistem KCKT ini berfungsi untuk mengetahui sistem KCKT

siap untuk digunakan atau tidak dan untuk memperoleh data yang reprodusibel

pada saat analisis. Beberapa uji yang dilakukan untuk menguji kesiapan sistem

yang dilakukan antara lain verifikasi sistem injeksi, uji kesesuaian sistem dan

verifikasi akurasi pompa.

1. Verifikasi sistem injeksi

Verifikasi sistem injeksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah

ketelitian injeksi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu injektor

untuk menggambarkan jumlah yang sama dari suatu sampel yang diinjeksikan

secara berulang. Parameter yang digunakan untuk menilai ketelitian injektor

adalah nilai CV dari respon (AUC dan tinggi peak) 10 kali hasil injeksi baku

dengan konsentrasi yang sama. Nilai CV yang memenuhi syarat adalah


≤ 1,0 %

(Snyder, 1997). Hasil penetapan presisi injeksi dapat dilihat dari tabel VI dan
56

kromatogram dan nilai AUC, waktu retensi dan peak height verifikasi

presisiKCKT dapat dilihat pada lampiran 8.

Tabel VI. Hasil uji kesesuaian sistem dan verifikasi presisi sistem injeksi KCKT

TR Tinggi peak AUC


Nilai
Klor HCA Klor HCA Klor HCA
a
𝑥𝑥̅ 3,461 8,504 117770,6 135770,1 946569,1 2225359,4
SD 0,009 0,055 895,593 930,234 7918,688 15302,35
CV 0,27% 0,64% 0,76% 0,68% 0,84% 0,69%
Range 3,433- 8,340-
TR 3,489 8,667
*a: replikasi injeksi 10 kali
TR: time retention
AUC: area under curve
Klor: kloramfenikol
HCA: hidrokortison asetat

Dari tabel VI di atas dapat dilihat bahwa nilai CV tinggi peak dan AUC

dari 10 kali injeksi baik untuk kloramfenikol maupun hidrokortison asetat (HCA)

memenuhi syarat, yaitu≤ 1,0 %. Dengan demikian disimpulkan bahwa sistem

injeksi KCKT yang digunakan dalam kondisi yang baik dan dapat digunakan

untuk analisis.

2. Uji kesesuaian sistem

Tujuan uji kesesuaian sistem adalah untuk meyakinkan bahwa sistem

KCKT yang digunakan dapat menunjukkan hasil yang memiliki akurasi dan

presisi yang dapat diterima. Uji yang dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat

kesesuaian sistem KCKT adalah waktu retensi (TR) dari 10 kali injeksi baku

(kromatogram dapat dilihat pada lampiran 8). Kesesuaian sistem KCKT yang

diharapkan adalah TR dari peak kloramfenikol dan HCA selama analisis

dilakukan memenuhi range TR yang peroleh dari 10 kali injeksi larutan baku.
57

Range TR yang diperoleh (Tabel VI) untuk kloramfenikol dan hidrokortison asetat

(HCA) berturut-turut adalah 3,433-3,489; dan 8,340-8,667 menit. Range TR ini

kemudian digunakan sebagai pedoman dalam langkah analisis selanjutnya yaitu

pada validasi metode. Pada saat pembuatan kurva baku ataupun penetapan

recovery baku, TR kloramfenikol dan HCA seharusnya tidak boleh keluar dari

range yang dihasilkan. Namun pada saat pengujian terdapat waktu retensi yang

berada di luar range. Akan tetapi hal ini masih dapat diterima karena hanya ada

beberapa hasil yang menunjukkan penyimpangan tersebut dan nilai r ataupun

recovery yang dihasilkan masih memenuhi persyaratan.

3. Verifikasi akurasi pompa

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kinerja pompa KCKT yang digunakan

karena kinerja pompa KCKT berpengaruh terhadap kemampuannya untuk

mempertahankan ketepatan dan konsistensi laju fase gerak yang pada akhirnya

akan berpengaruh pada keterulangan waktu retensi zat. Uji ini dilakukan dengan

cara mengukur waktu yang diperlukan untuk menampung 10,0 ml fase gerak

kemudian dihitung flow rate yang terukur dan dibandingkan dengan flow rate

yang diatur pada sistem. Penyimpangan yang dapat diterima adalah 1 % (Lam,

2004). Hasil perhitungan penyimpangan uji akurasi pompa dapat dilihat pada tabel

VII dan data perhitungan penyimpangan flow rate dapat dilihat pada lampiran 14.
58

Tabel VII. Nilai % penyimpangan flow rate pada uji akurasi pompa KCKT

%
Replikasi
penyimpangan
1 0,83
2 0,83
3 0
4 0,83
5 0,83
6 0

Dari tabel VII di atas dapat diamati bahwa % penyimpangan dari 6

replikasi pengukuran tidak ada hasil yang menunjukkan penyimpangan dari

persyaratan. Dengan demikian maka dapat disimpulkan sistem pompa yang

digunakan pada penelitian ini memiliki akurasi yang baik.

C. Pembuatan Kurva Baku

Pembuatan kurva baku bertujuan untuk mendapatkan persamaan regresi

linear yang dapat digunakan untuk menghitung kadar kloramfenikol dan

hidrokortison asetat untuk penetapan recovery dan penetapan kadar sampel.

Persamaan regresi dapat diperoleh dengan mengukur respon dari beberapa

konsentrasi analit. Penelitian ini menggunakan 7 seri konsentrasi untuk

kloramfenikol ataupun hidrokortison asetat dengan replikasi 3 kali untuk masing-

masing zat (contoh kromatogram hasil penetapan kurva baku dapat dilihat pada

lampiran 9). Tujuan dilakukannya replikasi adalah untuk memperoleh kurva baku

dengan nilai koefisien korelasi paling baik.

Dari hasil pembuatan kurva baku, rata-rata sudut yang dibentuk oleh kurva

hubungan konsentrasi dengan AUC baik kloramfenikol maupun hidrokortison

asetat sebesar 89,99o. Sudut yang terbentuk ini hampir tegak lurus dan sangat
59

berdempet dengan sumbu Y. Oleh karena itu, dari segi sensitivitas kurva tersebut

tidak layak ditampilkan, sehingga diperlukan faktor koreksi agar diperoleh kurva

hubungan konsentrasi dan AUC memiliki kemiringan kurang lebih 45o. Faktor

koreksi yang digunakan untuk kloramfenikol adalah 10000 sedangkan untuk

hidrokortison asetat adalah 15000, yang selanjutnya akan digunakan sebagai

faktor koreksi AUC untuk setiap perhitungan.

Hasil pembuatan kurva baku kloramfenikol dan hidrokotison asetat dapat

dilihat pada tabel VIII (penimbangan baku, contoh perhitungan kadar dan data

AUC dapat dilihat pada lampiran 10).

Tabel VIII. Data kurva baku kloramfenikol

Replikasi I Replikasi II Replikasi III

Kadar klor AUC/ Kadar klor AUC/ Kadar klor AUC/


(ppm) 10000 (ppm) 10000 (ppm) 10000
99,416 88,859 102,908 92,769 106,651 9,581
198,832 178,219 205,817 195,405 213,301 187,154
298,247 272,721 308,725 281,764 319,952 275,658
397,663 357,538 411,634 382,639 426,602 367,089
497,079 442,122 514,542 474,144 533,253 480,735
596,495 542,454 617,451 565,309 639,903 557,636
695,911 628,667 720,359 649,958 746,554 600,542
b 0,9043 b 0,9036 b 0,8239
a -0,0959 a 0,5462 a 14,912
r 0,9998 r 0,9997 r 0,9957
*Klor: kloramfenikol
60

70

60

50
y=0,9043x - 0,0959

AUC/10000
40

30

20

10

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Kadar kloramfenikol baku (ppm)

Gambar 30. Hubungan antara konsentrasi kloramfenikol dengan AUC / 10000 (replikasi I)

Tabel IX. Data kurva baku hidrokortison asetat

Replikasi I Replikasi II Replikasi III


Kadar HCA AUC/ Kadar HCA AUC/ Kadar AUC/
(ppm) 15000 (ppm) 15000 HCA (ppm) 15000
12,5988 13,8566 13,0455 14,5146 12,698 14,1845
25,1975 27,8021 26,0911 30,6417 25,396 27,7892
37,7963 42,2318 39,1366 43,9155 38,094 41,0273
50,3950 55,6392 52,1822 59,6708 50,792 54,5485
62,9938 68,5642 65,2277 73,9767 63,899 71,6233
75,5925 83,9015 78,2732 88,2325 76,1879 83,2858
88,1913 97,2993 91,3188 100,9263 88,8859 89,5390
b 1,1023 b 1,1073 b 1,0341
a 0,0622 a 1,0572 a 2,0492
r 0,9999 r 0,9996 r 0,9956
*HCA: hidrokortison asetat
61

120

100

80
y=1,1023x + 0,0622
AUC
60

40

20

0
0 20 40 60 80 100
Kadar hidrokortison asetat baku (ppm)

Gambar 31. Hubungan antara konsentrasi hidrokortison asetat dengan AUC / 15000
(replikasi I)

Pada tabel VIII di atas dapat dilihat bahwa kurva baku kloramfenikol

replikasi I dan II memiliki nilai r yang memenuhi syarat, namun yang dipilih

untuk digunakan pada perhitungan kadar selanjutnya dalah kurva baku replikasi I

karena nilai r-nya lebih besar. Kurva hubungan konsentrasi dengan AUC

kloramfenikol tersaji pada gambar 29. Semakin besar nilai r menunjukkan

hubungan antara konsentrasi analit dengan respon (AUC) yang ditimbulkan juga

lebih besar. Demikian juga untuk hidrokortison asetat, kurva baku yang dipilih

adalah replikasi I (tabel IX). Kurva hubungan konsentrasi dengan AUC

hidrokortison asetat tersaji pada gambar 30. Dengan demikian persamaan kurva

baku yang digunakan untuk kloramfenikol adalah y = 0,9043x - 0,0959, dengan r

= 0,9998 dan untuk hidrokortison asetat adalah y = 1,1023x + 0,0622, dengan r =

0,9999.
62

D. Validasi Metode Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat dan

Kloramfenikol

Validasi metode analisis dilakukan untuk membuktikan apakah suatu

metode memiliki validitas yang baik. Suatu metode dikatakan memiliki validitas

yang baik jika parameter-parameter yang diujikan berdasarkan percobaan

laboratorium memenuhi persyaratan. Beberapa parameter yang diujikan dalam

penelitian ini adalah linearity, akurasi, presisi, spesifisitas, batas deteksi dan batas

kuantitasi.

1. Linearity

Linearity suatu metode ditunjukkan oleh besarnya nilai koefisien korelasi

(r) kurva baku. Linearity suatu metode dikatakan baik jika nilai r lebih besar dari

0,999 (Snyder et al., 1997). Dari hasil pembuatan kurva baku nilai r untuk

kloramfenikol replikasi I = 0,9998; replikasi II = 0,9997; dan replikasi III =

0,9957 dan nilai r untuk hidrokortison asetat replikasi I = 0,9999; replikasi II =

0,9996; dan replikasi III = 0,9956. Nilai r yang dihasilkan pada setiap replikasi

untuk masing-masing zat cukup besar, hal ini menunjukkan metode KCKT

mempunyai linearity yang baik dalam menetapkan kadar kloramfenikol dan

hidrokortison asetat.

2. Kecermatan (akurasi)

Akurasi metode analisis dapat dilihat dari nilai recovery. Penetapan

recovery baku dapat dilakukan dengan 9 pengukuran menggunakan paling sedikit

3 seri konsentrasi dan masing-masing seri konsentrasi dilakukan replikasi

sebanyak 3 kali (kromatogram hasil penetapan akurasi dapat dilihat pada lampiran
63

11). Hasil penetapan recovery kloramfenikol (Tabel X) dan hidrokortison asetat

(Tabel XI) disajikan pada tabel berikut (data AUC, penimbangan dan contoh

perhitungan kadar dapat dilihat di lampiran 12):

Tabel X. Hasil penetapan recovery dan CV hidrokortison asetat

Kadar HCA Kadar HCA


Level Recovery
teoritis terukur Hasil
kadar (%)
(ppm) (ppm)
41,7060 42,4370 101,7527
𝑥𝑥̅ = 100,4672
Kadar 37,2103
37,3765 99,5554 SD = 1,1477
rendah CV = 1,14%
37,7737 37,8090 100,0935
52,1325 52,0405 99,8235
𝑥𝑥̅ = 99,4372
Kadar 46,9689
46,7207 100,5312 SD = 1,3299
sedang CV = 1,34%
47,2172 46,2526 97,9570
62,5590 62,3855 99,7227 𝑥𝑥̅ = 99,6285
Kadar 55,4863
56,0648 98,9682 SD = 0,6186
tinggi CV = 0,62%
56,6606 56,7708 100,1945
*HCA: hidrokortison asetat

Tabel XI. Hasil penetapan recovery dan CV kloramfenikol

Kadar klor Kadar klor


Level Recovery
teoritis terukur Hasil
kadar (%)
(ppm) (ppm)
31,0946 31,5864 101,5816 𝑥𝑥̅ = 100,5006
Kadar
30,7353 30,8315 100,3129 SD = 1,0004
rendah CV = 0,99%
31,4937 31,3700 99,6073
38,8682 38,8191 99,8738 𝑥𝑥̅ = 100,2701
Kadar
38,4192 38,9546 101,3934 SD = 0,9868
sedang CV = 0,98%
39,6715 39,4902 99,5430
46,6418 46,2571 99,1752 𝑥𝑥̅ = 99,6624
Kadar
46,1030 45,6988 99,1232 SD = 0,8892
tinggi CV = 0,89%
47,2406 48,0384 100,6887
*Klor: kloramfenikol

Rentang recovery untuk kadar analit pada matriks sampel sebesar 100%

dan ≥ 10% adalah 98-102 % (Harmita, 2004). Hasil penetapan recovery

kloramfenikol dan hidrokortison asetat seperti ditunjukkan tabel di atas (Tabel X


64

dan XI) menunjukkan masing senyawa berada pada rentang persyaratan recovery

yang baik pada setiap level kadar. Dengan demikian metode KCKT yang

digunakan mempunyai akurasi yang baik dalam menetapakan kada kloramfenikol

dan hidrokortison asetat.

3. Keseksamaan (presisi)

Keseksamaan suatu metode analisis diukur sebagai koefisien variasi (KV)

atau coefficient of variations (CV). Semakin kecil nilai CV, maka presisi suatu

metode semakin baik. Secara umum suatu metode analisis dikatakan memiliki

presisi yang baik memiliki nilai CV kurang dari 2 % (Harmita, 2004). Hasil

penelitian menunjukkan nilai CV pada penetapan recovery kloramfenikol dan

hidrokortison asetat masih memenuhi persyaratan pada ketiga level kadar (Tabel

X dan XI). Hal ini menunjukkan bahwa metode KCKT yang digunakan untuk

penetapan kadar kloramfenikol dan hidrokortison asetat memiliki presisi yang

baik.

4. Spesifisitas

Spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya untuk mengukur zat

tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang

mungkin terdapat dalam matriks sampel. Penentuan spesifisitas metode KCKT

dapat diamati dari pemisahan peak analit yang dihasilkan. Metode KCKT

dikatakan memiliki spesifisitas yang dapat baik jika memiliki nilai Rs ≥ 2.

Sedangkan untuk hidrokortison asetat tidak dilakukan perhitungan nilai Rs karena

pada kromatogram yang diperoleh (Gambar 28) telah menunjukkan pemisahan

yang sempurna antara hidrokortison asetat dengan senyawa lainnya. Dari hasil
65

penelitian menunjukkan nilai Rs kloramfenikol dengan senyawa lain dalam

sampel sebesar 2,16; hasil yang didapatkan telah memenuhi syarat. Oleh karena

itu, metode KCKT untuk penetapan kadar kloramfenikol dan hidrokortison asetat

menggunakan fase gerak metanol : aquabides (65 : 35) v/v dengan flow rate 1,2

ml/menit memiliki spesifisitas yang baik.

5. Batas deteksi dan batas kuantitasi

Batas deteksi/limit of detection (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam

sampel yang masih memberikan respon berbeda signifikan dibandingkan dengan

blangko. Batas kuantitasi/limit of quantitation adalah parameter pada analisis yang

diartikan kadar analit terkecil dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria

cermat dan seksama. Semakin kecil nilai LOD dan LOQ suatu metode maka

dikatakan metode tersebut semakin sensitif. Pada penelitian ini parameter LOD

dan LOQ sebenarnya tidak diperlukan karena kloramfenikol dan hidrokortison

asetat adalah kandungan utama dalam sampel yang digunakan, namun parameter

ini tetap ditentukan untuk menambah kelengkapan data. Nilai LOD untuk

kloramfenikol dan hidrokortison asetat berturut-turut adalah 1,28 dan 1,44 ppm

sedangkan nilai LOQ 4,28 dan 4,81 ppm (lampiran 13).

Nilai LOQ ini digunakan untuk menentukan kadar terkecil yang digunakan

dalam pembuatan kurva baku. Kadar seri baku hidrokortison asetat yang paling

kecil adalah 12,60 ppm sedangkan kloramfenikol 9,94 ppm. Konsentrasi

kloramfenikol dan hidrokortison asetat dalam pembuatan kurva baku berada di

atas nilai LOQ dari kedua senyawa tersebut, sehingga kurva baku tersebut dapat

digunakan untuk perhitungan kadar.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Kondisi yang optimal untuk memisahkan hidrokortison asetat dan

kloramfenikol dalam campuran ialah sebagai berikut :

Instrumen : Shimadzu LC-10 AD

Kolom : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm i.d., 5µm

Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35)

Flow rate : 1,2 ml/menit

AUFs/Attenuation : 0,01/7

Detektor : UV pada 255 nm

2. Metode penetapan kadar hidrokortison asetat dan kloramfenikol dalam sampel

krim topikal dengan KCKT pada kondisi optimum di atas memiliki akurasi

yang baik dilihat dari rata-rata nilai recovery untuk hidrokortison asetat dan

kloramfenikol 98–102%; presisi yang baik dilihat dari nilai CV < 2%;

spesifisitas yang baik ditunjukkan oleh nilai resolusi peak ≥ 2; linearity yang

baik ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) kurva baku kedua senyawa

yang bernilai > 0,999; nilai LOD untuk hidrokortison asetat sebesar 1,44 ppm

dan kloramfenikol sebesar 1,28 ppm dan nilai LOQ untuk hidrokortison asetat

dan kloramfenikol berturut-turut 4,81 dan 4,28 ppm

66
67

B. Saran

Perlu dilakukan analisis multikomponen terhadap sampel yang beredar di

pasaran yang mengandung kedua senyawa di atas dengan menggunakan metode

pada penelitian ini.


68

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M., 2003, Ilmu Meracik Obat, 71-72, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, edisi III, 143,293-294, Departemen


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1989, The Merck Index, edisi XI, 2068, 4711, 7727, Merck & Co., Inc,
New York.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, edisi IV, 189, 436, 1066, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 2006, Obat Dermatitis, www.medicastore.com, diakses tanggal 7


Februari 2009.

Anonim, 2007, United State Pharmacopoeia, Edisi 30 (monograph on CD-


ROM), United States Pharmacopoeia Convention, Inc.

Anonim, 2009a, Hydrocortisone, www.dechacare.com, diakses tanggal 7 Februari


2009.

Anonim, 2009b, Kloramfenikol, www.medicastore.com, diakses tanggal 7


Februari 2009.

Anonim, 2009c, Chloramphenicol,


http://www.merck.com/mmpe/sec14/ch170/ch170d.html, diakses
tanggal 21 Oktober 2009.

ASEAN, 2005, Identification Of Hydrocortisone Acetate, Dexametasone,


Betametasone, Betametaxone 17-Valerate, Triamcinolone Acetonide in
Cosmetics Products By TLC and HPLC, diakses tanggal 7 Februari
2009.

Bartos, J. and Pesez, M., 1979, Colorimetric And Fluorimetric Determination Of


Steroids, http://old.iupac.org/publications/pac/1979/pdf/5110x2157.pdf,
diakses tanggal 21 agustus 2009.

Blanco, M., Coello, J., Iturriaga, H., Maspoch, S., and Villegas, N. ,1999, Kinetic
Spectrophotometric Determination Of Hydrocortisone Acetate In A
Pharmaceutical Preparation By Use Of Partial Leastsquares
Regression, Vol 124, Analyst,
http://www.rsc.org/ej/AN/1999/a900856j.pdf, diakses tanggal 20
Agustus 2009.
69

Boer, Y. and Pijnenburg, V., 1983, HPLC Determination of Chloramphenicol


Degradation in Eye Drops,
http://www.springerlink.com/content/q35165144nn3448h/abstract,
diakses tanggal 7 Februari 2009.

Chauhan, V. and Conway, B., 2005, Optimisation of a Selective Liquid


Chromatography Procedure for Hydrocortisone Acetate,
Hydrocortisone Alcohol and Preservatives in a Pharmaceutical
Emulsion, vol 61, Chromatographia,
http://www.springerlink.com/content/q35165144nn3448h/, diakses
tanggal 11 Februari 2009.

Clarke, E.G.C., 1986, Isolation and Identification of Drugs in Pharmaceutical,


Body Fluid and Post-Mortem Material, hal 246, 370, 509,
Pharmaceuticals Press, London.

Eboka, C. J., Smart, J., and Adelusi, S.A., 2003, An Alternative Colorimetric
Method for The Determination of Chloramphenicol, Vol 2, Trop J
Pharm Res, http://www.tjpr.org/vol2_no2/22eboka.pdf, diakses tanggal
7 Agustus 2009.

Gritter, R. J., Bobbit, J. M., and Schwarting, A. E., 1991, Introduction to


Chromatography, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Edisi III,
186-187, ITB, Bandung.

Hajkova R., Solich P., Dvorak J., and Sıcha J., 2003, Simultaneous
Determination Of Methylparaben,Propylparaben, Hydrocortisone
Acetate And Its Degradation Products In A Topical Cream By RP-
KCKT, Vol 32, J. Pharm. Biomed. Anal.,
http://www.elsevier.com/locate/jpba, diakses tanggal 3 Februari 2009.

Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara


Perhitungannya, 5-25, Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok.

Ian, T., 1995, Farmakologi dan Terapi, diterjemahkan oleh Ganiswara, S. G.,
Edisi IV, 214, Bagian Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia,
Jakarta.

Iqbal, M.S., Shad, M.A., Ashraf, M.W., Bilal, M., and Saeed, M., 2006,
Development and Validation of an HPLC Method for the Determination
of Dexamethasone, Dexamethasone Sodium Phosphate and
Chloramphenicol in Presence of Each Other in Pharmaceutical
Preparations, Vol 64, Chromatographia,
http://www.springerlink.com/contentb, diakses tanggal 11 Februari
2009.
70

Johnson E. L. and Stevenson R., 1978, Basic Liquid Chromatography,


diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 6-9,17-25,90-91,99-103,
Penerbit ITB, Bandung.

Kamata, K., Kan, T., Yoshihara, T. and Harada, H., 1982, Determination of
Corticosteroid in Cosmetics by High Performance Liquid
Chromatography,
http://nels.nii.ac.jp/els/110003642993.pdf?id=ART0004157214&type=
pdf&lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_sw=&no=12
56024834&cp, diakses tanggal 19 Oktober 2009.

Khalil, S. A. H., Shah, A. H. and Al-Shareef, H., 1993, A Reverse Phase HPLC
Method for the Determination of Chloramphenicol and Its Hydrolytic
Product in Ophthalmic Solutions,
http://www.informaworld.com/smpp/content~db=all~content=a756818
061, diakses tanggal 21 Oktober 2009.

Khopkar, S. M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, 189, diterjemahkan oleh A.
Saptohardjo, Pendamping Agus Nurhadi, UI Press, Jakarta.

Kromidas, S., 2000, Pratical Problem Solving in HPLC, 2, Wiley-VCH,


Weinheim.

Kuwana, 1980, Physical Methods in Modern Chemical Analysis, Vol. II, hal 13,
Academic Press, New York.

Lam, H., 2004, Performance Verification of HPLC,


http://www.cvg.ca/images/HPLC-PV.pdf, diakses tanggal 19 April
2009.

Li X, 1998, Determination Of Two Components In Chloramphenicol And


Hydrocortisone Ear Drops By High Performance Liquid
Chromatography, vol 16,
www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&
list_uids=11324485&dopt=Abstract, diakses tanggal 5 April 2009.

Mulja, M. dan Hanwar, D., 2003, Prinsip-Prinsip Cara Berlaboratorium yang Baik
(Good Laboratory Practice), Majalah Farmasi Indonesia Airlangga, III
(2), hal 71-76, Universitas Airlangga Press, Surabaya.

Mulja, M. dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 6-11,26,31,34 Universitas


Airlangga, Surabaya.
71

Munson, J.W., 1991, Pharmaceutical Analysis Modern Methods, diterjemahkan


oleh Harjana, Parwa.B,15,33-34, Universitas Airlangga Press,
Surabaya.

Noegrohati, S., 1994, Pengantar Kromatografi, 16-17, UGM, Yogyakarta.

Orosz, M., Agh-Bíró, Z., Osztheimer, I., and Pánczél, P., 2007, Latest papers on
Chloramphenicol Therapeutic Use,
http://lib.bioinfo.pl/citwww/author/290092, diakses tanggal 11 April
2009.

Pescok, R. L., Shields, L. D., and Cains, T., 1976, Modern Methods of Chemical
Analysis, 2nd ed, 51, John Wiley Sons, Canada.

Sastrohamidjojo, H., 2001, Spektroskopi, 8-12, 17-19, Penerbit Liberty,


Yogyakarta.

Shih,I.K., 1979, Degradation Products Of Chloramphenicol,


http://www3.interscience.wiley.com/journal/113292166/abstract,
diakses tanggal 11 Februari 2009.
Singh, D.K. and Verma, R., 2008, Spectrophotometric Determination of
Corticosteroids and Its Application in Pharmaceutical Formulation,
http://ijpt.iums.ac.ir/index.php/ijpt/article/viewFile/243/323, vol 7,
IJPT, diakses tanggal 24 Oktober 2009
Skoog, D. A., 1985, Principles of Instrumental Analysis, 3rd Ed., 185-188,
Saunders College Publishing, Japan.
Skoog, D.A., Holler, F.J., and Nieman, T.A., 1998, Principles of Instrumental
Analysis, Fifth 5th edition, 329-351, Harcourt Brace College Publishers,
Philadelphia.

Snyder, L.R., Kirkland, J.J., and Glajch, J.L., 1997, Practical HPLC Method
Development, 2nd Edition, 13, 690, 710, 722-723, JohnWiley & Sons,
Inc., New York.

Willard, H.H., Merritt, Jr., Dean, J.A, and Settle Jr, F.A., 1988, Instrumental
Methods of Analysis, 7th Edition, 614-615, Wadsworth Publishing
Company, California.
72

LAMPIRAN
73

Lampiran 1. Sertifikat analisis hidrokortison asetat


74

Lampiran 2. Sertifikat analisis kloramfenikol


75

Lampiran 3. Kromatogram sampel tanpa penambahan baku kloramfenikol

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (55 : 45 v/v)
Flow rate : 2,0 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
76

Lampiran 4. Kromatogram baku kloramfenikol

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (55 : 45 v/v)
Flow rate : 2,0 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol
Detektor : UV 255 nm
77

Lampiran 5. Contoh perhitungan N, HETP dan Rs

Kromatogram: Fase gerak metanol aquabides (60 : 40) dan Flow rate 1,9

Skala pada kromatogram:

1 cm = 0,9749 menit

- Perhitungan N

W1/2 kloramfenikol = 0,14 cm x 0,9749 = 0,1365 menit

tR kloramfenikol = 4,397 menit

tR 2
N = 5,54 � �
W1/2

4,397 2
N = 5,54 � �
0,1365

N = 5748,54

- Perhitungan HETP
L
HETP = N

25
HETP = 5748 ,54 = 4,35. 10−3

- Perhitungan Rs

W0,5.1 = kloramfenikol = 0,1365 menit

W0,5.2 = peak didekat kloramfenikol = 0,13 cm x 0,9749 = 0,1267 menit

1,18 (tR2-tR1)
Rs =
W0,5.1+ W0,5.2

1,18 (4,907 - 4,397)


=
0.1365 + 0,1267

= 2,29
78

Lampiran 6. Kromatogram hasil penurunan flow rate fase gerak metanol :


aquabides (60 : 40 v/v)

a. Flow rate 1,9 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (60 : 40 v/v)
Flow rate : 1,9 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
79

b. Flow rate 1,8 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (60 : 40 v/v)
Flow rate : 1,8 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
80

c. Flow rate 1,7 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (60 : 40 v/v)
Flow rate : 1,7 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
81

Lampiran 7. Kromatogram hasil optimasi flow rate fase gerak metanol :


aquabides (65 : 35 v/v)

a. Flow rate 0,4 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 0,4 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
82

b. Flow rate 0,5 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 0,5 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
83

c. Flow rate 0,6 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 0,6 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
84

d. Flow rate 0,7 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 0,7 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
85

e. Flow rate 1,0 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,0 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
86

f. Flow rate 1,1 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,1 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
87

g. Flow rate 1,2 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
88

h. Flow rate 1,3 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,3 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
89

i. Flow rate 1,4 ml/menit

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,4 ml/menit
Injeksi : sampel
Detektor : UV 255 nm
90

Lampiran 8. Kromatogram dan hasil penetapan presisi injeksi

Nilai AUC, peak height dan waktu retensi verifikasi sistem KCKT

TR Tinggi peak AUC


Replikasi
Klor HCA Klor HCA Klor HCA
1 3,466 8,528 115756 133996 930712 2199544
2 3,458 8,507 117238 135796 947164 2228268
3 3,463 8,503 117761 136354 951399 2230139
4 3,457 8,476 117194 135742 941542 2213294
5 3,454 8,452 117773 136430 939418 2210788
6 3,448 8,435 117945 136994 946409 2216370
7 3,449 8,448 118493 136035 946524 2230283
8 3,469 8,545 118433 135768 952024 2239815
9 3,475 8,617 118158 134334 959270 2251120
10 3,472 8,525 118955 136252 951229 2233973
91

Replikasi 1

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
92

Replikasi 2

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
93

Replikasi 3

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
94

Replikasi 4

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
95

Replikasi 5

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
96

Replikasi 6

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
97

Replikasi 7

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
98

Replikasi 8

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
99

Replikasi 9

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
100

Replikasi 10

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku kloramfenikol dan hidrokortison asetat
Detektor : UV 255 nm
101

Lampiran 9. Kromatogram kurva baku hidrokortison asetat dan


kloramfenikol replikasi I

a. Seri 1

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (10 ppm) dan HCA (12,5 ppm)
Detektor : UV 255 nm
102

b. Seri 2

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (20 ppm) dan HCA (25 ppm)
Detektor : UV 255 nm
103

c. Seri 3

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (30 ppm) dan HCA (37,5 ppm)
Detektor : UV 255 nm
104

d. Seri 4

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (40 ppm) dan HCA (50 ppm)
Detektor : UV 255 nm
105

e. Seri 5

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (50 ppm) dan HCA (62,5 ppm)
Detektor : UV 255 nm
106

f. Seri 6

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (60 ppm) dan HCA (75 ppm)
Detektor : UV 255 nm
107

g. Seri 7

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (70 ppm) dan HCA (87,5 ppm)
Detektor : UV 255 nm
108

Lampiran 10. Penimbangan baku dan contoh perhitungan kadar baku

1. Penimbangan baku hidrokortison asetat dan kloramfenikol

Replikasi Kloramfenikol (mg) HCA (mg)


1 7,97 10,15
2 8,25 10,51
3 8,55 10,23

2. Skema kerja singkat pembuatan seri larutan baku

Hidrokortison asetat 10 mg dan kloramfenikol 8 mg dilarutkan dalam

metanol p.a hingga 10,0 ml

Ambil 0,125; 0,250; 0,375; 0,500; 0,625; 0,750; dan 0,875 ml dari larutan

diatas, dan ditambahkan dengan 10,0 ml fase gerak metanol : aquabides

(65 :35)

3. Data AUC baku

Kloramfenikol

Replikasi I Replikasi II Replikasi III


Kadar Kadar Kadar klor
AUC AUC AUC
klor (ppm) klor (ppm) (ppm)
99,416 88859 102,908 92769 106,651 95810
198,832 178219 205,817 195405 213,301 187154
298,247 272721 308,725 281764 319,952 275658
397,663 357538 411,634 382639 426,602 367089
497,079 442122 514,542 474144 533,253 480735
596,495 542454 617,451 565309 639,903 557636
695,911 628667 720,359 649958 746,554 600542
Klor: kloramfenikol
109

Hidrokortison asetat

Replikasi I Replikasi II Replikasi III


Kadar Kadar HCA Kadar HCA
AUC AUC AUC
HCA (ppm) (ppm) (ppm)
125,988 207849 130,455 217719 12,698 212768
251,975 417031 260,911 459626 25,396 416838
377,963 633477 391,366 658733 38,094 615409
503,950 834588 521,822 895062 50,792 818228
629,938 1028463 652,277 1109650 63,899 1074349
755,925 1258522 782,732 1323488 761,879 1249287
881,913 1459489 913,188 1513894 888,859 1343085
HCA : hidrokortison asetat

4. Contoh perhitungan kadar baku (Replikasi I)

HCA → tingkat kemurnian 99,3 % (berdasarkan COA)

Jumlah HCA = 10,15 mg x 99,3 % = 10,079 mg

Cstok = 10,079 mg / 10 ml = 1007,9 ppm

C1V1 = C2V2

Seri I → 1007,9 ppm x 0,125 ml = C2 x 10 ml

C2 = 12,5988 ppm

Kloramfenikol → tingkat kemurnian = 99,79 % (berdasarkan COA)

Jumlah Kloramfenikol = 7,97 mg x 99,79 % = 7,953263 mg

Cstok = 7,953263 mg / 10 ml = 795,3263 ppm

C1V1 = C2V2

Seri I → 795,3263 ppm x 0,125 ml = C2 x 10 ml

C2 = 9,9416 ppm

NB: Perhitungan kadar seri baku lainnya dilakukan sama seperti cara di

atas dengan menyesuaikan volume pengambilan baku induk (V1) yang

dilakukan.
110

Lampiran 11. Kromatogram hasil validasi metode

a. Kadar Rendah

Replikasi I

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (32 ppm) dan HCA (40 ppm)
Detektor : UV 255 nm
111

Replikasi II

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (32 ppm) dan HCA (40 ppm)
Detektor : UV 255 nm
112

Replikasi III

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (32 ppm) dan HCA (40 ppm)
Detektor : UV 255 nm
113

b. Kadar sedang

Replikasi I

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (40 ppm) dan HCA (50 ppm)
Detektor : UV 255 nm
114

Replikasi II

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (40 ppm) dan HCA (50 ppm)
Detektor : UV 255 nm
115

Replikasi III

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (40 ppm) dan HCA (50 ppm)
Detektor : UV 255 nm
116

c. Kadar Tinggi

Replikasi I

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (48 ppm) dan HCA (60 ppm)
Detektor : UV 255 nm
117

Replikasi II

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (48 ppm) dan HCA (60 ppm)
Detektor : UV 255 nm
118

Replikasi III

Instrumen : Varian Shimadzu LC-10 AD


Fase diam : Kromasil-100 C18 250 x 4,6 mm, 5 µm
Fase gerak : metanol : aquabides (65 : 35 v/v)
Flow rate : 1,2 ml/menit
Injeksi : baku klor (48 ppm) dan HCA (60 ppm)
Detektor : UV 255 nm
119

Lampiran 12. Data penimbangan dan contoh perhitungan penetapan


recovery

1. Penimbangan bahan

Zat Replikasi I Replikasi II Replikasi III


HCA (mg) 10,50 9,41 9,51
Kloramfenikol (mg) 7,79 7,7 7,89
*HCA: hidrokortison asetat

2. Data AUC kloramfenikol dan hidrokortison asetat

HCA Klor
Level
kadar AUC/ AUC/
AUC AUC
15000 10000
702607 468,405 284677 284,677
Kadar
616187 410,791 277850 277,850
rendah
626086 417,391 282720 282,720
861396 574,264 350082 350,082
Kadar
777540 518,360 351307 351,307
sedang
765696 510,464 356151 356,151
1032446 688,297 417344 417,344
Kadar
918372 612,248 412295 412,295
tinggi
939610 626,407 433452 433,452
* HCA: hidrokortison asetat
Klor: kloramfenikol

3. Contoh perhitungan recovery

(Volume pengambilan larutan stok baku induk campuran hidorkortison

asetat 1000 ppm dan kloramfenikol 800 ppm untuk kadar rendah 0,4 ml,

kadar sedang 0,5 ml dan kadar tinggi 0,6 ml)

HCA Replikasi I

- Perhitungan kadar teoritis

HCA = 10,5 x 99,3 % (tingkat kemurnian HCA) = 10,4265 mg

Cstok = 10,4265 mg / 10,0 ml = 1042,65 ppm


120

C1V1 = C2V2

Kadar rendah → 1042,65 ppm x 0,4 ml = C2 x 10 ml

C2 = 41,706 ppm

Kadar sedang → 1042,65 ppm x 0,5 ml = C2 x 10 ml

C2 = 52,1325 ppm

Kadar tinggi → 1042,65 ppm x 0,6 ml = C2 x 10 ml

C2 = 62,559 ppm

- Perhitungan kadar terukur

y=1,1023x + 0,0622

y=AUC hidrokortison asetat/15000

Kadar rendah → 46,8405 = 1,1023x + 0,0622

x = 42,4370 ppm

Kadar sedang → 57,4264 = 1,1023x + 0,0622

x = 52,0405 ppm

Kadar tinggi → 68,8297 = 1,1023x + 0,0622

x = 62,3855 ppm

- Perhitungan recovery

kadar terukur
Recovery = x 100%
kadar teoritis

Replikasi I
42,4370
Kadar rendah → 41,706
x 100 % = 101,7527 %

52,0405
Kadar sedang → 52,1325 x 100 % = 99,8235 %

62,3855
Kadar tinggi → x 100 % = 99,7227 %
62,559
121

Kloramfenikol replikasi I

- Perhitungan kadar teoritis

Klor = 7,79 mg x 99,79 % (tingkat kemurnian klor) = 7,77364 mg

Cstok = 7,77364 mg / 10,0 ml = 777,364 ppm

C1V1 = C2V2

Kadar rendah → 777,364 ppm x 0,4 ml = C2 x 10 ml

C2 = 31,0946 ppm

Kadar sedang → 777,364 ppm x 0,5 ml = C2 x 10 ml

C2 = 38,8682 ppm

Kadar tinggi → 777,364 ppm x 0,6 ml = C2 x 10 ml

C2 = 46,6418 ppm

- Perhitungan kadar terukur

y = 0,9043x - 0,0959

y = AUC kloramfenikol / 10000

Kadar rendah → 28,4677 = 0,9043x - 0,0959

x = 31,5864 ppm

Kadar sedang → 35,0082 = 0,9043x - 0,0959

x = 38,8191 ppm

Kadar tinggi → 41,7344 = 0,9043x - 0,0959

x = 46,2571 ppm
122

- Perhitungan recovery

kadar terukur
Recovery = x 100%
kadar teoritis

Replikasi I
31,5864
Kadar rendah → 31,0946
x 100 % = 101,5816 %

38,8191
Kadar sedang → 38,8682 x 100 % = 99,8738 %

46,2571
Kadar tinggi → 46,6418 x 100 % = 99,1752%
123

Lampiran 13. Contoh perhitungan LOD dan LOQ

1. Perhitungan nilai batas deteksi dan batas kuantitasi hidrokortison asetat

Kadar HCA AUC/15000 AUC teoritis


AUC y'-y (y'-y)2
(ppm) (y) (y')
12,5988 207849 13,8566 13,9501 0,0935 0,0087
25,1975 417031 27,8021 27,8378 0,0358 0,0013
37,7963 633477 42,2318 41,7257 -0,5061 0,2561
50,3950 834588 55,6392 55,6135 -0,0257 0,0007
62,9938 1028463 68,5642 69,5014 0,9372 0,8783
75,5925 1258522 83,9015 83,3891 -0,5123 0,2625
88,1913 1459489 97,2993 97,2770 -0,0222 0,0005
Σ=1,4081

y = 1,1023x + 0,0622

Contoh perhitungan AUC teoritis:

y = 1,1023x + 0,0622

y = 1,1023 (12,5988) + 0,0622

y = 13.9501

∑( y '− y )
2
1,4081
Sb  y  = = = 0,5307
 x n−2 5

3 Sb y 
LOD =  x  = 3 × 0,5307 = 1,4443 ppm
b 1,1023

10 Sb y 
LOQ =  x  = 10 × 0,5307 = 4,8145 ppm
b 1,1023
124

2. Perhitungan nilai batas deteksi dan batas kuantitasi kloramfenikol

AUC
Kadar klor AUC/10000
AUC teoritis y'-y (y'-y)2
(ppm) (y)
(y')
9,9416 88859 8,8859 8,8943 0,0084 0,0001
19,8832 178219 17,8219 17,8845 0,0626 0,0039
29,8247 272721 27,2721 26,8746 -0,3975 0,1580
39,7663 357538 35,7538 35,8648 0,1110 0,0123
49,7079 442122 44,2122 44,8550 0,6428 0,4131
59,6495 542454 54,2454 53,8451 -0,4003 0,1602
69,5911 628667 62,8667 62,8353 -0,0314 0,0010
Σ=0,7486

y = 0,9043x – 0,0959

Contoh perhitungan AUC teoritis:

y = 0,9043x – 0,0959

y = 0,9043 (9,9416) – 0,0959

y = 8,8943

∑( y '− y )
2
0,7486
Sb  y  = = = 0,3869
 x n−2 5

3 Sb y 
LOD =  x  = 3 × 0,3869 = 1,2835 ppm
b 0,9043

10 Sb y 
LOQ =  x  = 10 × 0,3869 = 4,2784 ppm
b 0,9043
125

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul “Optimasi Pemisahan


Campuran Hidrokortison Asetat Dan Kloramfenikol
Dalam Krim Merek “X” Menggunakan Metode
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Fase Terbalik” ini
bernama lengkap Henny Puspitasari, lahir di Ketapang,
Kalimantan Barat pada tanggal 5 April 1988.
Merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pasangan
Erwin Wijaya dan Lim Khe Ngi. Penulis telah menyelesaikan pendidikannya di
Sekolah Dasar Pangudi Luhur Usaba Ketapang pada tahun 2000, di Sekolah
Menengah Pertama Pangudi Luhur St. Albertus Ketapang pada tahun 2003 dan di
Sekolah Menengah Atas St. Yohanes Ketapang pada Tahun 2006. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikannya di Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Biokimia, Botani Dasar, Kimia Analisis, dan Analisis Sediaan Obat Tradisional.
Selain kegiatan akademik penulis juga pernah mengikuti berbagai kegiatan non-
akademik yaitu pernah menjadi pemain basket putri dalam kejuaraan Liga Basket
Mahasiswa 2006 dan dalam Pharmacy Event Cup 2007 dan 2008, mengikuti
kepanitiaan seperti Pharmacy Performance dan Event Cup 2008, ISMAFARSI,
Sumpahan Apoteker angkatan XVI dan menjadi ketua Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas Farmasi periode 2009-2010.

Anda mungkin juga menyukai