Anda di halaman 1dari 18

USIA PRA SEKOLAH

PAPER

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Dinamika Perilaku Manusia dalam Linkungan Sosial

Dosen Pengampu:
Aribowa, Ph.D.
Milly Mildawati, Ph.D.

Oleh Kelompok 3:
ASEP HIDAYAT 2101005
ALIEFIO AKBARI VIKAR 2101013
ARIFUL HANIF 2101023
ISHNY AUDHIA RIFDAH 2101027

PROGRAM STUDI PEKERJAAN SOSIAL PROGRAM MAGISTER TERAPAN


POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG 2021
A. USIA PRA SEKOLAH
Menurut Hurlock (1980), periode anak-anak dimulai pada usia 2 tahun
sampai usia remaja. Pada umumnya periode ini terdiri atas dua bagian; masa
kanak-kanak dini (2-6 tahun) yang dikenal sebagai usia pra-sekolah, dan masa
akhir kanak-kanak (6-13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada
anak laki-laki).
B. CIRI-CIRI USIA PRA SEKOLAH
Hurlock (1980) mengemukakan ciri-ciri yang menonjul dari perkembangan
psikologis anak selama masa pra sekolah, yaitu sebagai berikut:
1. Usia kelompok, masa di mana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku
sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang
diperlukan untuk penyesuaian diri pada mereka masuk kelas satu.
2. Usia menjelajah, anak-anak ingin mengetahui keadaan lingkungannya,
bagaimana mekanismenya, bagaimana perasaannya dan bagaimana
mekanismenya, bagaimana perasaannya dan bagaimana ia dapat menjadi
bagian dari lingkungan baik manusia maupun benda mati.
3. Usia bertanya, salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingan adalah
sengan bertanya, jadi periode ini sering disebut sebagai usia bertanya.
4. Usia meniru, yang paling menonjol dalam periode ini adlah meniru
pembicaraan dan tindakan orang lain.
5. Usia kreatif, meskipun kecenderungan meniru tampak kuat tetapi anak
lebih menunjukkan kreativitas dalam bermain selama masa pra sekolah
dibandingkan masa-masa lain dalam kehidupannya.
C. PERKEMBANGAN PADA AWAL MASA KANAK-KANAK
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik pada masa pra sekolah menurut Hurlock (1980:
110) dibagi mnjadi beberapa aspek yaitu: tinggi, berat, perbandingan tubuh,
postur tubuh, tulang dan otot, lemak dan gigi.
1) Tinggi. Pertambahan tinggi badan setiap tahunnya rata-rata 3inci.
2) Berat. Pertambahan berat badan setiap tahunnya rata-rata 3-5 pond.
3) Perbandingan Tubuh. Perbandingan tubuh sangat berubah. Wajah
tetap kecil tetapi dagu tampak lebih jelas dan leher lebih memanjang.
Gumpalan pada bagian-bagian tubuh berangsur-angsur berkurang dan
tubuh cenderung berbentuk kerucut, dengan perut yang rata (tidak
buncit), dada yang lebih bidang dan rata, dan bahu lebih luas dan lebih
persegi. Lengan dan kaki lebih panjang dan lurus, tangan dan kaki
tumbuh lebih besar.
4) Postur Tubuh. Ada yang posturnya gemuk dan lembek atau
endomorfik, ada yang kuat berotot atau mesomorfik, dan ada lagi yang
relatif kurus atau etomorfik.
5) Tulang dan Otot. Otot menjadi lebih besar, lebih kuat dan lebih berat,
sehingga anak tampak lebih kurus meskipun beratnya bertambah.
6) Lemak. Anak-anak cenderung bertumbuh lebih banyak jaringan
lemaknya dari pada jaringan otot atau disebut endomorfik; dan yang
tumbuh dengan mempunyai otot-otot yang kecil dan sedikit jaringan
lemak disebut ektomorfik.
7) Gigi. Munculnya gigi bayi yang terakhir dan geraham belakang. Lalu
gigi bayi mulai tanggal dan pada akhir masa pra sekolah memiliki gigi
tetap di depan.
2. Perkembangan Intelektual (Pengertian)
Jean peaget (dalam Hurlock, 1980: 123) menamakan masa pra
sekolah, dari sekitar usia 2-7 tahun, sebagai tahap berpikir preoperasional.
Anak-anak mengembangkan banyak konsep yang sama karena adanya
pengalaman belajar yang sama. Kategori konsep-konsep penting yang
umumnya berkembang selama masa pra sekolah diantaranya sebagai
berikut. Namun, penting dimengerti bahwa tidak semua anak
mengembangankan konsep ini dan tingkat perkembangannya juga tidak
sama:
1) Kehidupan. Anak-anak cenderung memberikan sifat yang hidup
kepada benda-benda mati, contohnya boneka
2) Kematian. Anak-anak cenderung menghubungkan kematian dengan
sesuatu yang pergi tetapi biasanya tidak dapat mengerti apa makna
kematian.
3) Fungsi Tubuh. Anak-anak sebagai kelompok, mempunyai konsep
mengenai fungsi tubuh dan kelahiran yang kurang tepat. Hal ini berlaku
sampai anak masuk sekolahmeskipun pada saatnya kesalahan konsep
akan diperbaiki memalui pelajaran mengenai kesehatan dan pendidikan
seks.
4) Waktu. Anak-anak belum mengerti tentang lamanya waktu, misalnya
berapa lamanya satu jam itu. Mereka juga belum dapat memperkirakan
waktu menurut kegiatan-kegiatan mereka sendiri. Kebanyakan anak
usia empat atau lima tahun mengerti tentang hari-hari dalam satu
minggu dan pada usia enam tahun mulai mengerti bulan, tahun, dan
musim.
5) Diri Sendiri. Pada usia tiga tahun kebanyakan anak-anak mengerti
jenis kelamin, nama lengkap dan nama berbagai anggota tubuhnya.
6) Kesaradan Sosial. Sebelum masa pra sekolah berakhir, kebanyakan
anak-anak dapat membentuk pendapat tentang orang lain misalnya,
apakah seorang itu baik ayau jahat, pandai atau bodoh.
7) Keindahan. Bebanyakan anak-anak menyukai musik dengan nada atau
irama yang pasti dan ia senang dengan bentuk-bentuk yang sederhana,
warna-warna yang cerah dan mencolok.
3. Perkembangan Bicara
Syamsu yusuf (2002: 170) mengemukakan perkembangan bahasa
anak pra-sekolah, dapat diklasifikasikan kedalam dua tahap (sebagai
kelanjutan dari dua tahap sebelumnya) yaitu sebagai berikut:
1) Usia (2,0 - 2,6 tahun) bercirikan;
(1) Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna.
(2) Anak sudah mampu memahami memahami tetang perbandingan.
(3) Anak banyak menanyakan tempat dan nama; apa, dimana,
darimana, dsb.
(4) Anak sudah mulai menggunakan kata-kata berawalan dan
berakhiran.
2) Usia (2,6 – 6,0 tahun) bercirikan:
(1) Anak sudah menggunakan kalimat majemuk beserta anak
kalimatnya.
(2) Tingkat berpikir anak sudah lebih maju.
(3) Anak banyak bertanya tentang waktu, sebab akibat melalui
pertanyaan kapan, mengapa, bagaimana, dsb.
4. Perkembangan Emosi
Selama masa pra sekolah emosi sangat kuat. Pada masa ini
merupakan ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar dari fokus”,
dalam arti bahwa ia mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga
sulit dibimbing dan diarahkan. Emosi yang tinggi kebanyakan disebabkan
oleh masaah psikologis yang ditandai oleh ledakan amarah yang kuat,
ketakutan yang hebat dan iri hati yang tidak masuk akal. Penyebab emosi
ini adalah akibat lamanya bermain, tidak mau tidur siang, dan makan terlalu
sedikit. Emosi yang umum pada awal masa kanak-kanak adalah amarah,
takut, cemburu, ingin tahu. iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang.
5. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh iklim sosio-
psikologis keluarganya, jika di lingkungan keluarganya tercipta suasana
yang harmonis, saling memperhatikan, saling membantu dalam
menyelesaikan tugas-tugas keluarga, dan konsisten dalam melaksanakan
aturan, maka anak akan memiliki kemampuan atau penyesuaian sosial
dalam hubungan dengan orang lain. Pola perilaku sosial pada anak antar lain
meniru, persaingan, kerja sama, simpati, empati (mengerti perasaan dan
emosi orang lain serta membayangkan dirinya berada dikondisi tersebut),
dukungan sosial dan berbagi.
6. Perkembangan Bermain
Permainan tidak bisa dipisahkan dari dunia anak dan merupakan
bagian penting dalam perkembangan tahun pertama masa pra sekolah.
Bentuk-bentuk permainan yang biasa dilakukan anak pada masa periode ini
adalah:
1) Memasuki tahun kedua, anak suka bermain sendirian
2) Akhir tahun ketiga, anak mulai bermain dengan anak lain
3) Pada tahun keempat, anak-anak cenderung bermain pada kelompok
khusus dalam permainan imajinatif dan bangunan
4) Pada usia kelima, anak menyukai permainan yang memungkinkan
untuk saling mengungguli.
7. Perkembangan Moral
Dalam tahap ini, anak secara otomatis mengikuti peraturan tanpa
berfikir ataupun menilai. Anak sebaiknya dilatih untuk disiplin, karena ini
merupakan cara mengajarkan berperilaku moral sesuai yang diterima
dikelompoknya.
8. Perkembangan Kesadaran Beragama
Pengenalan agama sudah dapat dilakukan sejak dini, pengetahuan
anak tentang agama berkembang sejalan dalam pengalamannya dalam
mendengar ucapan-ucapan orang tuanya, melihat sikap dan perilaku orang
tuanya dalam beribadah, selanjutnya mereka meniru dari apa yang telah
dilihat maupun didengarnya.
D. PERMASALAHAN PADA USIA PRA SEKOLAH
Pada prinsipnya berkembang adalah hal yang dinamis dengan berbagai
warna perubahan yang terjadi. Namun perubahan yang berjalan dengan dinamis
pada kenyataannya harus berhadapan dengan berbagai permasalahan
perkembangan yang akan ditemui oleh tiap individu dalam tiap-tiap tahap
perkembangan. Tidak terkecuali permasalahan yang muncul pada usia pra sekolah.
Menurut Saomah (2004), dapat dilihat secara garis besar bahwa masalah
yang dihadapi anak dapat digolongkan menjadi beberapa bagian, yaitu masalah-
masalah yang berkaitan dengan keadaan fisik, psikis, sosial, serta kesulitan belajar.
1. Fisik
Perkembangan aspek fisik terkait dengan keutuhan dan kemampuan
fungsi panca indera anak, kemampuan melakukan gerakangerakan sesuai
perkembangan usianya serta kemampuan mengontrol pembuangan. Anak
yang mengalami hambatan dalam hal-hal tersebut dapat dikatakan
mengalami masalah secara fisik. Lebih lanjut permasalahan-permasalahan
fisik tersebut adalah sebagai berikut:
1) Gangguan fungsi pancaindera
2) Cacat tubuh
3) Kegemukan (obesitas)
4) Gangguan gerak peniruan (stereotipik)
5) Kidal
6) Gangguan kesehatan
7) Hiperaktif
8) Neuropati
9) Ngompol (enuresis)
10) Buang air besar di sembarang tempat (encopresis)
11) Gagap
12) Gangguan perkembangan bahasa.
2. Psikis
Permasalahan psikis anak terkait dengan kemampuan psikologis
yang dimilikinya atau ketidakmampuan mengekspresikan dirinya dalam
kondisi yang tidak normal. Beberapa permasalahan psikis yang seringkali
dialami anak adalah sebagai berikut:
1) Gangguan konsentrasi
2) Inteligensi (baik tinggi maupun rendah)
3) Berbohong
4) Emosi(perasaan takut, cemas, marah, sedih, dan lain-lain).
3. Sosial
Perkembangan sosial anak berhubungan dengan kemampuan anak
dalam berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa, atau lingkungan
pergaulan yang lebih luas. Dengan demikian, permasalahan anak dalam
bidang sosial juga berkaitan dengan pergaulan atau hubungan sosial, yang
meliputi perilaku-perilaku sebagai berikut:
1) Tingkah laku agresif
2) Daya suai kurang
3) Pemalu
4) Anak manja
5) Negativisme
6) Perilaku berkuasa
7) Perilaku merusak.
4. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar pada anak dapat dimaknai sebagai
ketidakmampuan anak dalam mencapai taraf hasil belajar yang sudah
ditentukan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dalam program
kegiatan belajar, sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Beberapa
indikator dan jenis kesulitan belajar yang mungkin dialami anak adalah
sebagai berikut:
1) Lower level
2) Underachiever
3) Slow learner
E. FAKTOR PENYEBAB PERMASALAHAN ANAK
Terdapat beberapa faktor penyebab permasalahan pada anak, baik yang
bersifat intrinsik (berasal dari diri anak sendiri) maupun ekstrinsik (berasal dari luar
diri anak). Secara umum, faktor-faktor tersebut adalah:
1. Pembawaan, yakni anak dengan semua keadaan yang ada pada dirinya;
2. Lingkungan keluarga, mencakup pola asuh orang tua, keadaan sosial
ekonomi keluarga, dan lain-lain;
3. Lingkungan sekolah, meliputi cara mengajar guru, proses belajar mengajar,
alat bantu, kurikulum, dan lain-lain;
4. Masyarakat, mencakup pergaulan, norma, adat istiadat, dan lain-lain
(Saomah, 2004).
F. DEFINISI DAN TUJUAN PENGASUHAN
Gaya Pengasuhan menurut Belsky (Brooks, 2011: 11) dikatakan sebagai
sebuah proses tindakan dan interaksi antar orangtua dan anak, dimana kedua pihak
saling mengubah satu sama lain saat anak tumbuh menjadi sosok dewasa. Pendapat
Belsky dipertegas oleh Hauser (Papini dalam Archer, 1994: 49) dan Santrock
(2011: 253) yang menyatakan bahwa gaya pengasuhan merupakan interaksi
orangtua dengan anak yang di dalamnya menggambarkan tentang bagaimana
orangtua membimbing dan mendisiplinkan anak-anak mereka.
Gaya pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua, tentu memiliki sebuah
tujuan. Salah satu tujuan gaya pengasuhan orangtua diungkapkan Hurlock
(Casmini, 2007: 47) yaitu gaya pengasuhan orangtua bertujuan untuk mendidik
anak agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Brooks (Mustika
Dewanggi dkk., 2012: 19) menambahkan beberapa tujuan pengasuhan orangtua
sebagai berikut:
1. Orangtua dapat menjamin kesehatan fisik (gizi dan kesehatan) dan
kelangsungan hidup anak.
2. Orangtua menyiapkan anak agar kelak tumbuh menjadi orang dewasa yang
mandiri dan bertanggung jawab baik secara ekonomi, sosial dan moral agar
dapat hidup tanpa bergantung pada orangtua.
3. Orangtua dapat mendorong perilaku anak yang positif, termasuk cara
penyesuaian diri, kemampuan intelektual, dan kemampuan berinteraksi
sosial dengan orang lain agar dapat bertanggung jawab dan bermanfaat bagi
lingkungan sekitar.
G. RAGAM PENGASUHAN
1. Gaya Pengasuhan Orangtua Menurut Diana Baumrind
Diana Baumrind dkk., (Santrock, 2011: 253-254) mengungkapkan
bahwa terdapat empat jenis gaya pengasuhan yang terbentuk dari dua
dimensi, yaitu dimensi penerimaan (responsiveness) dan tuntutan
(demandingness). Penerimaan orangtua menurut Casmini (2007: 49) adalah
seberapa jauh orangtua merespon kebutuhan anak dengan cara yang sifatnya
menerima dan mendukung. Tuntutan orangtua adalah seberapa jauh
orangtua mengharapkan dan menuntut tingkah laku bertanggung jawab dari
anak.
1) Gaya Pengasuhan Otoriter (Authoritharian Parenting Style)
Gaya pengasuhan ini merupakan kombinasi dari dimensi
tuntutan yang tinggi sedangkan memiliki dimensi penerimaan yang
rendah. Santrock (2011: 253) menyatakan bahwa pengasuhan otoriter
ini digambarkan oleh Baumrind sebagai suatu gaya pengasuhan yang
membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah
orangtua. Orangtua yang otoriter menetapkan batas-batas yang tegas
dan tidak memberi peluang yang besar bagi anak-anak untuk
mengemukakan pendapat. Casmini (2007: 48) menambahkan, orangtua
otoriter berusaha membentuk tingkah laku anak melalui aturan dan
cenderung tidak mendorong anak untuk mandiri karena jarang memberi
pujian, membatasi hak, namun memberikan tanggung jawab yang
besar. Santrock (2011: 253) memberikan ciri-ciri anak dengan orangtua
otoriter sering tidak bahagia, ketakutan, dan cemas membandingkan
dirinya dengan orang lain, gagal untuk berinisiatif, dan buruk dalam
berkomunikasi.
2) Gaya Pengasuhan Otoritatif (Authoritative Parenting Style)
Gaya pengasuhan ini merupakan kombinasi dari dimensi
tuntutan dan dimensi penerimaan yang sama-sama tinggi. Santrock
(2011: 254) menyatakan bahwa gaya pengasuhan ini cenderung
mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batasan
dan pengendalian atas tindakan anak. Casmini (2007: 49)
menambahkan orangtua otoritatif selalu memberikan alasan kepada
anak meskipun cenderung tegas namun tetap hangat dan penuh
perhatian. Orangtua otoritatif bersikap longgar namun dalam batas
normatif sehingga anak tampak ramah, kreatif, percaya diri, dan
mandiri. Selain itu, Santrock (2011: 254) menambahkan anak merasa
bahagia, memiliki kontrol diri yang baik, berorientasi pada pencapaian
prestasi, dapat bersosialisasi dengan baik dengan teman sebaya,
bekerjasama dengan orang dewasa dan dapat mengatasi stres dengan
baik.
3) Gaya Pengasuhan Terlalu Memanjakan (Permissive-Indulgent)
Santrock (2011: 254) menyatakan bahwa gaya pengasuhan
terlalu memanjakan merupakan suatu pengasuhan di mana orangtua
sangat terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka tetapi menetapkan
sedikit batas, membiarkan anak-anak mereka melakukan apa saja yang
mereka inginkan, dan akibatnya anak-anak tidak pernah belajar
mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan
kemauan mereka dituruti. Casmini (2007: 51) menambahkan anak yang
tumbuh dengan gaya pengasuhan yang terlalu memanjakan akan
menjadi tidak bertanggung jawab, kurang matang, cenderung cocok
dengan teman sebaya, dan kurang mampu menjadi pemimpin.
4) Gaya Pengasuhan Mengabaikan (Permissive-Indifferent).
Santrock (2011: 254) menyatakan bahwa gaya pengasuhan
terlalu memanjakan merupakan suatu gaya pengasuhan di mana
orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak sehingga anak-
anak mengembangkan suatu perasaan bahwa aspek-aspek lain
kehidupan orangtua lebih penting daripada anak mereka. Casmini
(2007: 52) menambahkan anak yang diabaikan akan sering impulsif,
banyak terlibat dalam kenakalan, dan cenderung berlaku agresif.
2. Gaya Pengasuhan Orang Tua Menurut Stuart Teheodore Hauser
Hauser dkk., (Casmini, 2007: 54) mengenalkan pengasuhan
orangtua yang bersifat interaktif antara orangtua dengan anak. Hauser dkk.,
(Papini, 1994: 49) membedakan antara dua jenis gaya pengasuhan dalam
interaksi orangtua dengan anak, yaitu gaya pengasuhan yang enabling dan
gaya pengasuhan yang constraining.
1) Gaya Pengasuhan Enabling (Mendorong)
Gaya pengasuhan orangtua yang enabling identik dengan
perilaku orangtua yang mendorong anak untuk berani mengungkapkan
gagasan dan keinginan mereka secara terbuka kepada orangtua. Gaya
pengasuhan orangtua ini didefinisikan oleh McElhaney dkk.,
(Bornstein, 2002: 121-122) sebagai perilaku orangtua yang sangat
menerima anak, tetapi pada saat yang sama juga membantu anak untuk
mengembangkan dan menyatakan ide-ide anak sendiri melalui
pertanyaan, penjelasan, dan toleransi pada perbedaan pendapat.
Casmini (2007: 55) menambahkan, pengasuhan yang enabling
menyiratkan adanya dorongan orangtua terhadap anak untuk
mengekspresikan pikiran dan persepsi mereka.
Hauser dkk., (Papini dalam Archer, 1994: 49) mengungkapkan
interaksi yang enabling mendorong anak untuk berani mengungkapkan
pikiran dan pendapat mereka sendiri. Orangtua yang enabling akan
mengajak anak mendiskusikan permasalahan yang mungkin sedang
dihadapi dan memberikan masukan solusi pada anak. Dalam diskusi,
orangtua akan memberikan kesempatan kepada anak untuk memenuhi
rasa ingin tahunya pada berbagai masalah atau kegiatan yang
memungkinkan anak untuk dapat mengemukakan pandangannya
sendiri.
Gaya pengasuhan enabling memiliki aspek kognitif dan afektif.
Aspek kognitif dicirikan Hauser dkk., (Casmini, 2007: 55) dengan
memfokuskan pada pemecahan masalah, melibatkan anak dalam
bereksplorasi tentang masalah keluarga, dan menjelaskan pendapat
anggota keluarga lain. Perilaku orangtua yang enabling terlihat ketika
berinteraksi dengan anak, orangtua akan memberikan penjelasan
tentang permasalahn dengan pola pikir yang sepadan dengan
perkembangan pola pikir anak sehingga anak tidak merasa sungkan
untuk bertanya atau menyatakan pendapat.
Aspek afektif dicirikan Hauser dkk., (Casmini, 2007: 56) dengan
sikap empati dan penerimaan dari anggota keluarga lain. Sikap empati
dan penerimaan nampak ketika menanggapi dan menghargai
pandangan dan keputusan anak dalam diskusi atau memecahkan suatu
masalah. Sikap ini memberikan peluang pada anak untuk tidak sungkan
bertanya, bertukar pendapat, belajar dan berlatih mencari berbagai
alternatif pemecahan masalah dan mencoba hal-hal baru. Florsheim
dkk., (Beveridge dan Berg, 2007: 8) menambahkan orangtua yang
meminta pendapat anak dan menyetujui pendapat anak memiliki anak
yang berani untuk menunjukkan kemandiriannya.
2) Gaya Pengasuhan Constraining (Menghambat)
Gaya pengasuhan orangtua constraining merupakan kebalikan
dari gaya pengasuhan orangtua enabling, apabila orangtua yang
enabling memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan
gagasan dan keinginan secara terbuka kepada orangtua, maka orangtua
yang constraining cenderung menolak gagasan dan keinginan anak.
Gaya pengasuhan constraining ini oleh Hauser dkk., (Papini dalam
Archer, 1994: 49) didefinisikan sebagai interaksi orangtua yang
menghambat atau ikut campur terhadap kemandirian anak. Casmini
(2007: 56) menambahkan jika gaya pengasuhan constraining
menyiratkan adanya hambatan yang dilakukan orangtua dalam hal
otonomi dan perbedaan (differentiation). Dengan kata lain, anak harus
sama dengan orangtua.
Aspek kognitif pada gaya pengasuhan constraining menurut
Hauser dkk., (Papini dalam Archer, 1994: 49) tampak pada orangtua
yang tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut terlibat
memecahkan masalah keluarga, menyembunyikan kenyataan yang
sesungguhnya, mengabaikan keberadaan anak, dan mengalihkan
perhatian anggota keluarga dari masalah yang dihadapi (Casmini, 2007:
56). Ketika orangtua berinteraksi dengan anak, cenderung tidak
memberikan kesempatan pada anak untuk aktif melibatkan diri dalam
menyampaikan pikiran dan perasaannya. Allen dkk., (Beveridge dan
Berg, 2007: 9) menambahkan orangtua mengabaikan kemandirian anak
yang ditunjukkan dengan sikap berbeda pendapat dengan anak, menarik
diri dari percakapan dengan anak, terlalu sering memuaskan posisi
anak, atau mengakui kesalahan orangtua tanpa alasan yang jelas.
Aspek afektif gaya pengasuhan yang constraining menurut
Hauser dkk., (Casmini, 2007: 56) tampak ketika orangtua menilai dan
menghakimi pendapat anak secara sepihak dan berlebihan (bersifat
negatif atau positif), apabila pendapat anak dinilai tidak sesuai norma
yang dianut orangtua. Orangtua memperlihatkan penolakan setiap kali
anak menyampaikan sudut pandang yang berbeda dengan pendapat
orangtua, bersifat meremehkan, dan menilai negatif setiap ungkapan-
ungkapan pikiran dan perasaan anak-anaknya. Anak yang menerima
perlakuan tersebut cenderung sungkan untuk bertanya, menyatakan
pendapat, merasa tidak mampu dan tidak dihargai ketika menyelesaikan
masalah atau melakukan sesuatu.
Orangtua yang tidak memberikan kesempatan anak untuk terlibat
dalam masalah dan memberikan penilaian negatif yang berlebihan pada
anak, cenderung membatasi kemampuan eksplorasi anak. Hal ini
dipertegas Hauser dkk., (Beveridge dan Berg, 2007: 9) yang
menyatakan anak cenderung menanggapi sikap orangtua yang tidak
menghargai keterlibatan mereka dengan membatasi pengungkapan
gagasan, dan menarik diri dari percakapan. Hauser menambahkan,
penarikan diri menghambat kemampuan anak untuk mengeksplorasi
identitas diri, mengembangkan kepercayaan diri, dan mencapai tugas-
tugas perkembangan yang normal seperti mengembangkan hubungan
yang sehat dengan teman sebaya.
H. CONTOH KASUS (PEMALU)
Pemalu adalah sikap individu yang tidak mempunyai keterampilan sosial
untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pada usia prasekolah, anak sudah
dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Anak akan memberikan
senyuman atau menyapa orang-orang yang ada di sekitarnya. Reaksi anak ada yang
dengan mudah dapat menjalin hubungan dengan orang lain, ada pula yang
memerlukan waktu yang lama.
Contoh Kasus:
“Setelah semua anak mendapat giliran memperlihatkan hasil karyanya
mewarnai gambar, seorang anak perempuan berlari kesudut ruangan sambil
meremas-remas hasil gambar yang diwarnainya. Ketika didesak oleh
gurunya untuk memperlihatkan tugasnya, ia malah duduk menekuk lututnya
sambil menyembunyikan mukanya yang bersemu merah dibalik dua
lengannya. Ada kemungkinan ia tidak mau memperlihatkan gambar yang
telah diwarnainya karena takut ada kesalahan dan ia mendapat hukungan
atau akan ditertawakan oleh teman-temannya.”

Pengaruh permasalahan tersebut terhadap perkembangan anak adalah


sebagai berikut:
1. Anak yang pemalu seringkali mengalami hambatan dalam bergaul, karena
anak lebih suka menarik diri. Bila berlanjut akan mengalami hambatan
dalam perkembangan emosi dan sosialnya.
2. Anak pemalu tidak mempunyai keterampilan dalam menjalin komunikasi
dengan orang lain. Anak juga tidak dapat mengekspresikan diri secara apa
adanya, karena anak selalu merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya,
tidak dapat bersikap santai.
Intenvensi yang dapat dilakukan untuk menanganai permasalah tersebut
adalah:
1. Asesmen: Menggali permasalahan anak melalui keluarganya, gurunya,
teman-temannya atau sistem lain yang berada dilingkungannya.
2. Rencana Intervensi: Pekerja sosial menentukan tujuan/indikator
keberhasilan serta merencanakan tindakan yang akan dilakukan.
3. Intervensi:
1) Pekerja sosial sebagai fasilitator bekerjasama dengan guru dalam
memberikan dukungan kepada anak.
2) Intervensi kepada keluarga, dimana peksos sebagai educator
memberikan edukasi untuk meningkatkan kepercayaan diri pada anak.
3) Intervensi kepada anak, dimana peksos dapat menggunakan metode
social group work, misalnya membuat kegiatan dinamika kelompok.
4. Monitoring dan evaluasi: Peksos melihat bagaimana perkembangan anak
setelah dilakukan intervensi dengan melihat tujuan/indikator keberhasilan
yang telah ditentukan pada tahap rencana intervensi.
I. IMPLIKASI PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL
Implikasi praktik pekerjaan sosial dalam proses pertubuhan anak di usia pra
sekolah (dalam Pillari, Vimala) sebagai berikut:
1. Pekerja sosial membantu atau memberikan treatment terhadap keunikan
atau penyesuaian yang dialami anak.
2. Pekerja sosial membantu anak melakukan tugas perkembangan.
3. Pekerja sosial membantu anak belajar menghadapi tantangan baik fisik-
mental.
4. Pekerja sosial membantu anak dlm penyesuaian di lingkungan sekolah.
5. Pekerja sosial membantu anak memperoleh kesempatan bermain di rumah
dan di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Archer, L. S. (1994). Family Interventions. Editor: Yvonne Konneker. California:


Thousand Oaks Sage Publications International Educational And
Professional Publisher. Volume 169

Beveridge, R. M & Berg, C. A. (2007). Parent–Adolescent Collaboration: An


Interpersonal Model for Understanding Optimal Interactions. Jurnal Clinical
Child and Family Psychology. DOI: 10.1007/s10567-006-0015-z. Volume
10. Nomor 1. Halaman 25-52.

Bornstein, M. H. (Ed.). (2002). Handbook of parenting: Children and


parenting (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Brooks, J. (2011). The Process of Parenting, Proses Pengasuhan Edisi Kedelapan.


(Alih bahasa: Rahmat Fajar). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Casmini. (2007). Emotional Parenting: Dasar-dasar Pengasuhan Kecerdasan


Emosi. Yogyakarta: Nuansa Aksara.

Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan:Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang kehidupan, Edisi kelima. Jakarta: Erlangga

Mustika Dewanggi. et al. (2012). Pengasuhan Orangtua dan Kemandirian Anak


Usia 3-5 Tahun Berdasarkan Gender di Kampung Adat Urug. Jurnal Ilmu
Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor.
Volume 5 nomor 1 halaman 19-28.

Santrock, J. W. (2011). Live-Span Development Thirteenth Edition. New York: Mc-


Graw Hill Companies.

____________. (2011). Masa Perkembangan Anak Edisi 11. (Alih bahasa:


Verawaty Pakpahan & Wahyu Nugraheni). Jakarta: Salemba Humanika.

Saomah, Aas. (2004). Permasalahan Anak Dan Upaya Penanganannya. Psikologi


Pendidikan Dan Bimbingan, Pendidikan dan Pelatihan tentang Strategi
Peningkatan Penanganan Kesulitan Belajar Anak Taman Kanak-Kanak bagi
para Guru TK di Kelurahan Melong, Cimahi Tahun 2004, 8.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBIN
GAN/196103171987032-
AAS_SAOMAH/PERMASALAHAN_ANAK_DAN_UPAYA_PENANGA
NANNYAx.pdf. Diakses 6 September 2021.

Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung.


Remaja Rosdakarya.
Pillari, Vimala.1998. Human Behavior in the Social Environment : The Developing
Person in a Holistic Context. New York : International Thomson Publishing,
Inc.

Anda mungkin juga menyukai