Anda di halaman 1dari 3

Walikota Amber mengumumkan akan ada pembebasan pajak bagi pekerja paruh waktu.

Aku
sudah memasuki tahun ke-empat kerja di kota ini. Hal yang membuatku nyaman adalah adanya
kebebasan akses ke semua kota hingga ke negara bagian. Keadaan itu berubah setelah aku
menjumpai seorang pria bertopi di stasiun kota. Ia memakai baju berwarna ringan di hari biasa
dan baju gelap di penghujung minggu. Ia tidak pernah menaiki kereta setiap kali aku melihatnya.
Entah apa yang dilakukannya, ia hanya membaca koran atau buku selama separuh jam hingga
kereta datang. Mungkin ia menyukai suasana kereta melintas atau lalu lalang manusia yang
menyibukkan diri.

Aku tidak bermaksud memergokinya keluar dari stasiun. Tapi aku sering melihatnya membeli
koran pada pemuda di pinggir jalan. Ia kemudian menuju kearah timur stasiun, tempat para
musisi jalanan berkumpul. Tak jarang ia memberi uang pada musisi itu. Sungguh pria yang baik.
ia sepertinya penikmat lagu melankolis. Pernah suatu kali aku melihatnya berdiri lama
menikmati lagu "The little dancer" karya Jerremy Fox hingga selesai. Akan sangat manis jika ada
seorang penari kecil disitu. Akibat rasa penasaranku yang menggebu-gebu, aku menyempatkan
bertanya pada si penjual koran, ia mengatakan bahwa pria itu bukan berasal dari kota Amber. Ia
berasal dari kota Stovia, kota yang telah lama hancur akibat revolusi Artemis. Stasiun Amber
hanya memiliki tiga perhentian di kota-kota utama yang menghubungkan negara bagian barat
dan timur. Hal ini dikarenakan kota amber bukan kota metropolis, jadi hanya terdapat satu
stasiun yang beroperasi. Namun, bagaimana ia bisa sampai di Amber,  jika saja Stovia terletak
jauh di utara? Tidak salah lagi, ia pasti sudah lama tinggal di sini.

Aku mencoba datang ke stasiun pada pukul 06.00. Masih terlalu pagi memang untuk bekerja
walaupun sistem shift pabrik di hari sabtu cukup fleksibel. Aku termasuk orang yang beruntung
ditempatkan di bagian pengecekan karpet. Temanku, Celine cukup rajin untuk menggantikanku
hari ini,  jadi aku bisa ke pabrik menjelang sore. Aku berniat untuk mengikuti pria bertopi itu. Ia
biasanya datang pada pukul tujuh, tepat dengan keberangkatan kereta. Hari ini manusia-manusia
serakah mengantri panjang di loket sebelah barat. Aku iri dengan pekerja paruh waktu itu.
Mereka diberi upah tinggi dan dibebaskan membayar pajak. Sementara aku yang bekerja
sepanjang hari hanya mendapat sebagian upah dari mereka. Sungguh penjilat.

Cukup lama aku menunggunya, setauku ia tak pernah absen untuk mengunjungi stasiun. Apakah
ia tahu aku membuntutinya? Kurasa tidak. Aku memutuskan untuk meninggalkan stasiun pukul
setengah dua belas. Waktunya makan siang. Kereta ke Neval akan datang setengah jam lagi jadi
lebih baik aku menikmati waktu makan siangku di kedai seberang stasiun. Aku memesan seporsi
roti bulan dan segelas air putih. Aku tidak pernah memesan teh ataupun kopi sebagai pelepas
dahaga. Kata ayah, teh itu hanya diminum untuk kalangan para raja sementara kopi adalah hasil
perbudakan para imigran kulit hitam. Jika kau meminum kopi, sama saja kau meminum keringat
para imigran. Sungguh rasis memang, tapi sampai sekarang aku tak pernah menyangkal kata-kata
ayah.

Kuputuskan duduk didekat jendela agar bisa melihat kereta melintas. Kupandangi rel kereta yang
berkarat itu. Aku jadi ingat setiap kali membaui karpet yang keluar dari tempat produksi. Baunya
anyir, seperti besi yang menguning. Seperti rel yang berdarah. Televisi di kedai itu tiba-tiba
menyala. Tampak walikota berseragam rapi siap memyampaikan pengumuman.
"Bagi warga kota Amber, hari ini merupakan hari yang sungguh mulia. Bertepatan dengan ulang
tahun Presiden Alexis, saya sebagai pimpinan kota Amber memutuskan untuk mengadakan acara
syukuran di balai kota tepat pukul dua belas. Bagi para warga yang tertarik dipersilahkan untuk
datang karena ada persembahan istimewa dari presiden secara langsung. Terima kasih dan
sampai jumpa".

Semua orang dikedai tidak merespon sama sekali. Semuanya diam bahkan ada yang langsung
pergi meninggalkan kedai. Presiden akan mengunjungi Amber? Mustahil pikirku. Pantas saja
mereka tidak tertarik pada ceramah walikota. Kita tidak membutuhkan presiden untuk datang.
Yang kita butuhkan adalah pembebasan seluruh pajak selama setahun, pasti semuanya akan
gembira.

Sudah pukul 11.45 dan Keretanya akan datang. Aku menghampiri kasir untuk membayar. Tiba-
tiba wanita kasir itu membisikkan sesuatu di telingaku,

"Puja sang Alexis"

Aku tidak mengerti maksud kalimatnya. Mungkin dia penggemar berat sang presiden. Oh
biarlah, Keretanya sudah hampir tiba. Aku bergegas lari hingga nyaris tersandung. Di gerbang
tempat masuk kereta aku melihat pria itu. Ia berdiri di antrian panjang loket sebelah barat. Aku
hampir tak mengenalinya karena pakaian yang dipakai tidak seperti biasanya. Ia memakai
kemeja sutra berwarna putih dengan celana hitam panjang. Ketika aku lekat-lekat
memandanginya, matanya melihatku. Keluarlah ia dari barisan panjang itu dan menuju kearahku.
Apa yang harus kulakukan? Tubuhku terkunci dan ia semakin dekat. Tiba-tiba ia berbelok
menerobos gerbang stasiun. Ia berlari hingga melompati pagar pembatas kereta. Tidak, tidak
mungkin. Keretanya sudah sangat dekat. Ia akan tertabrak. Pria itu akan mati.

Sirine tanda bahaya sudah berbunyi. Aku tidak sanggup melihatnya. Kucoba untuk menutup
mataku. Tunggu, Itu bukan bunyi sirine, itu lagu Jeremy Foxx. Itu lagu yang didengarkan si pria
kala itu. The little dancer.

Akulah penari kecil

Yang menari di atas ranjau

Meledakkan seluruh isi bumi

Memuntahkan darah suci

Akulah penari kecil

Gaunku putih bersih

Aku seperti cahaya

Yang menembus seluruh ruang


Tak ada yang bisa menggapaiku

Kecuali si lubang hitam itu

Lagu itu berhenti dan pria itu telah mati. Tubuhnya hancur. Serpihan otaknya berceceran dan
darahnya mengalir membasahi rel.

"Revolusi telah dimulai", kata penjaga gerbang

"Puja sang Alexis", teriak si wanita loket

"PUJA SANG ALEXIS", Semua orang bersorak

Tepat pukul 12.00. Keadaan kembali sedia kala, stasiun beroperasi seperti biasa dan aku mulai
mengerti. Ya, Revolusi telah dimulai.

Anda mungkin juga menyukai