Anda di halaman 1dari 10

1.

1 Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Sebelum Tahun 1900


Indonesia memiliki catatan sejarah yang kelam dan panjang sejak abad ke
17 hingga tahun 1945 dan berlanjut sampai saat ini sebagai implikasi
mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Setelah berkembangnya
berbagai budaya di Indonesia sebagai dasar kehidupan masyarakat yang tinggal di
daerah ini nyatanya membuat banyak orang asing khususnya Eropa yang tertarik
denngan kondisi alam dan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Ketertarikan itu
nyatanya dijadikan ajang monopoli bagi bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis,
Inggris, Belanda, dan lain-lain yang membuat bangsa Indonesia tidak
mendapatkan haknya untuk menggunakan hasil dari alam tempatnya tinggal.
Maka atas dasar perebutan hak tersebut munculah perjuangan dari anak-anak
bangsa yang tingga di daerah masing-masing untuk membebaskan diri dari
monopoli bangsa-bangsa Eropa. Perjuangan dimasa ini masihlah berfokus pada
daerah masing-masing sehingga pergerakan yang dilakukan tidak dapat
berpengaruh secara luas bagi Indonesia karena menginngat luasnya daerah yang
dijajah pada saat itu. Perjuangan sebelum tahun 1900 ini sangatlah identik dengan
perjuangan kedaerahan yang nyatanya masih belum berhasil mengusir secara
keseluruhan bangsa Eropa tersebt dan memberatkan pejuang-pejuang yang ada di
daerah karena belum ada bantuan besar yang diberikan oleh pemerintah baik pusat
maupun daerah. Bangsa Eropa yang masuk ke Indonesia diawali oleh Portugis
yang kemudian dilanjutkan oleh Belanda dimana kegiatan penjajahan tersebut
terjadi selama 350 tahun.

1.1.1 Bangsa Portugis di Indonesia


Masuknya bangsa Portugis ke Indonesia dilatar belakangi oleh
jatuhnya Constatinopel ke Turki Usmani pada tahun 1453 yang dimana
orang-orang turki melarang orang Kristen untuk berdagang di daerah
tersebut. Hal tersebut mengakibatkan harga rempah-rempah di Eropa
menjadi sangat mahal. Dengan alasan terdesaknya bangsa Eropa maka
masyarkat Portugis dan Spanyol mengusir orang-orang Islam dari
Semenanjung Iberia dengan semangat Reconquista yang ditandai dengan
bersatunya seluruh masyarakat Eropa. Dengan semangat tersebutlah
akhirnya mendorong bangsa Portugis dan Spanyol untuk mencari daerah
penghasil rempah-rempah karena tidak bisa melewati Constatinopel. Motif
kedatangan bangsa Portugis ke daerah-daerah kaya rempah termasuk
Indonesia yaitu gold yang artinya memperoleh kekayaan, glory yang
artinya memperoleh kejayaan, dan gospel yang artinya menyebarkan
agama.
Setelah menaklukan India di tahun 1511, Portugis dibawah Alfonso
d’ Albuquerque merebut Malaka dari tangan Sultan Mahmud Syah.
Setelah itu pada tahun 1512 terjadilah ekpedisi Portugis yang dipimpin
oleh De Abreu menuju Madura, Bali, Lombok, Aru, dan Banda yang
dimana pada daerah-daerah tersebut seluruh perdagangan atas rempah
diambil alih oleh Portugis. Sampainya Portugis di Ternate pun langsung
dapat memonopoli perdangan khususnya rempah seperti cengkeh yang
ditandai dengan dibangunnya benteng sebagai penghalau bangsa lain turut
mengambil rempah di daerah ini. Pada tahun 1524 Portugis bersekutu
dengan Kerajaan Padjajaran dan merebut kekuasaan atas Sunda Kelapa.
Demak yang dipimpin oleh Fatahillah dengan bantuan dari Banten pada
tahun 1527 berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis dan Padjajaran
dan mengganti nama daerah tersebut menjadi Jayakarta. Dalam kegiatan
monopoli perdangangan yang dilakukan oleh Portugis nyatanya juga
mengundang perhatian Spanyol untuk turut mengambil rempah-rempah di
Indonesia sehingga lahirlah pertentangan antara kedua bangsa tersebut
yang kemudian diselesaikan dengan perjanjian Saragosa yang membagi
dunia atas dua jalur pengembaraan dimana Spanyol ke arah barat Mexico
dan Portugis kea rah timur Brazil. Dengan perjanjian tersebut maka
monopoli perdagangan rempah di Indonesia semakin dikuasai oleh
Potugis. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1605
bangsa Portugis kalah saing dengan VOC bentukan Belanda dan
menyingkir kea rah Timor Timur. Pada tahun 1604 kekuasaan Portugis di
Malaka jatuh ke tangan VOC sehingga wilayah jajahan Portugis terdesak
dan hanya tersisa di Timor Timur.
2.1.1.2 Perjuangan Bangsa Indonesia atas Penjajahan Portugis
Dalam masa perjuangan melawan bangsa Portugis, terdapat banyak
aksi pengusiran yang bersifat kedaerahan oleh bangsa Indonesia.
Perjuangan kedaerahan ini dirasa kurang efektif sehingga bangsa lain
masih bisa masuk dan kembali menjajah Indonesia. Perjuangan pertama
yaitu perjuanagan rakyat Malaka yang dimana pada tahun 1511 dibawah
pimpinan Sultan Mahmud Syah I melakukan perlawanan terhadap Portugis
namun Malaka dapat di desak hingga menyingkir ke pulau Bintan.
Akhimya Malaka jatuh ke portugis pada 1511. Pada 1526 puhu Bintan
diserbu oleh Portugis Sultan Mahmud Syah I lari ke puku Kampar hingga
wafatnya 1528. Perjuangan selanjutnya adalah perjuangan rakyat Johor
yang dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah II mulai tahun 1530 kemudian
dilanjutkan oleh Abdul Jalil Syah I (1580-1597) dapat menangkis serangan
Portugis.
Perjuangan selanjutnya adalah perjuangan rakyat Demak yang
dipimpin oleh Dipati Unus. Pada tahun 1512-1523. Melakukan perlawanan
terhadap Portugis, dibantu oleh armada Aceh, Palembang, dan Bintan.
Berusaha merebut keembali Malaka namun tidak berhasil. Terdapat pula
perjuangan rakyat Maluku yang dimana pada tahun 1512 Portugis
mengadakan hubungan dagang dengan Sultan Harun dari Temate. Portugis
ternyata memonopoli perdagangan, memeras dan menindas rakyat,
penyebaran agama Kristen secara paksa sehingga membuat rakyat
melakukan perlawanan. Tahun 1550 rakyat Temate dbawah pimpinan
Sultan Hairun melakukan perlawanan. Portugis menipu dan membunuh
Sukan Harun dnegan dalih untuk mengadakan perundingan. Perjuangan
diteruskan oleh Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun Tahun 1570-1575
Temate, Tidore, dan Halmahera bersatu padu melawan Portugis. Tanggal
18 Desember 1577 rakyat Ternate berhasil mengusir Portugis dari Temate.
Selain itu terdapat pula perjuangan rakyat Sunda Kelapa yang
dimana Fatahillah seorang ulama dari Demak yang menyebarkan agama
islam di Jawa Barat memimpin rakyat melakukan perlawanan terhadap
Portugis. Tahun 1527 Fatahillah menyerang orang-orang Portugis di
Sunda Kekipa dan berhasil mengalahkannya. Portugis terusir kembali ke
Mahka. Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah kemudian
berdirilah kerajaan Banten.

1.1.2 Bangsa Belanda di Indonesia

Bangsa Belanda bergerak kearah timur dilandasi oleh orang-orang


Belanda yang merupakan distributor handal rempah-rempah ke daerah
pedalaman Eropa. Barang-barang yang diperdagangkan bangsa Belanda
diambil dari agen yaitu bangsa Portugis. Saat terjadi pertiakian antara
Portugis dan Spanyol maka berimplikasi pada Belanda yang dilarang
mengambil rempah-rempah sehingga Belanda harus mencari sendiri
rempah-rempah yang akan diperdagangkan. Atas dasar latar belakang
tersebut akhirnya Belanda sampai di Indonesia dan memonopoli
perdagangan rempah didalamnya. Masuknya Belanda ke Indonesia dimulai
pada tahun 1595 dimana Cornelis de Houtman pergi ke Indonesia dengan
memanfaatkan jalur pelayaran yang sudah ditemukan dan akhirnya tiba di
Banten. Sesampai di Banten, Belanda langsung diusir oleh masyarakat
Banten karena kecongkakannya dimana melakukan kegiatan perdagangan
secara serakah. Pada tahun 1598 dibawah pimpinan Jacob van Neck
Belanda kembali ke Banten dan disambut dengan baik oleh masyarakat
karea Banten mengalami kerugian akibat ulah penjajahan Portugis.
Begitupula dengan kedatangan Belanda di Maluku yang disambut dengan
baik pula oleh masyarakatnya sehingga membuka peluang besar bagi
bangsa Belanda utuk melakukan kegiatan perdagangan rempah-rempah.
Seiring berjalannya kegiatan perdangangan rempah-rempah oleh
bangsa Belanda di Indonesia, tepat pada tahun 1602 terjadilah persaingan
tidak sehat antar pedagang Belanda dan pada akhirnya didirikanlah
perkumpulan usaha dagang oleh pemerintah Belanda yang kita kenal
dengan VOC atau Vereenigde Oost-Indische Company dengan Gubernur
Jendral Pieter Both. VOC diberikan hak istimewa atau hak octrooi dari
Belanda yang terdiri atas hak monopoli, hak membuat uang, hak
mendirikan benteng, hak mengadakan perjanjian dengan kerajaan di
Indonesia, dan hak untuk membentuk tentara. Nyatanya dengan berdirinya
VOC sebagai badan usaha dagang Belanda malah semakin memperkeruh
kondisi perdagangan masyarakat Indonesia yang kian dimonopoli sehingga
hasil rempah yang diproduksi tidah setimpal dengan hasil uang yang
diterima. Setelah monopoli dan kekuasaan Panjang yang dilakukan VOC,
terjadilah kekalahan Belanda atas Perang Koalisi I dan akhirnya Belanda
dikuasai oleh Napoleon sehingga mengakibatkan seluruh daerah jajahan
Belanda jatuh ketangan Inggris tepatnya pada Pemerintah Republik
Batavia bentukan Napoleon. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada
tahun 1800 Republik Batavia yang mengambil alih kekuasaan Belanda
membubarkan VOC karena korupsi yang merajalela dan monopoli
perdagangan yang bertentangan dengan semangat liberlisme revolusi
Prancis dan akhirnya kekuasaan VOC diambil alih oleh Inggris. Setelah
pembubaran VOC, Republik Batavia mengangkat Herman Williem
Daendels sebagai Gubernur Hindia Belanda dengan berbagai kebijakan
baru seperti pembagian jawa ke dalam sebilan daerah, kerja rodi,
pembuatan jalan Anyer-Panarukan, serta Tanam Paksa. Pada masa
pemerintahan Daendels pula terdapat tanah partikelir yang merupakan
tanah rakyat yang dijual pada pengusaha swasta asing. Pada tahun 1811
terjadilah pertempuran antara Inggris dan Belanda di Jawa Tengah atas
keinginan sama-sama ingin berkuasa di daerah tersebut. Pasukan Belanda
terdesak di Tuntang dan akhirnya Belanda menyerah serta menandatangani
Perjanjian Tuntang yang dimana didalamnya memuat seluruh kekuasaan
termasuk tantara Belanda secara resmi diambil alih oleh pemerintah
Inggris.
Kekalahan Napoleon dalam Perang Eropa di Leipzig pada April
1814 memengaruhi politik di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Implikasi
dari kekalahan itu adalah terjadinya perjanjian antara Inggris dan Belanda
atau yang dikenal dengan Perjanjian London yang berisi bahwa Inggris
harus menyerahkan Maluku kepada Belanda. Pada tahun 1815 lahir pula
konvensi Wina yang menyatakan bahwa Inggris harus menyerahkan tanah
Jawa kepada Belanda dan pada akhirnya seluruh wilayah kekuasaan
Inggris di Indonesia kembali ke tangan Belanda.
Setelah Indonesia kembali dikuasai Belanda maka ditujuklah Van
der Capellen sebagai gubernur jendral dengan kebijakan sewa tanah yang
telah diterapkan pada masa pendudukan Inggris. Kondisi ini nyatanya telah
menyulut emosi putra dan putri bangsa Indonesia sehingga terjadi
pemberontakan masyarakat daerah yang menyebabkan Belanda mengalami
defisit anggaran belanja sehingga dicetuskanlah ketentuan Tanam Paksa
atau Cultur Stelsel pada masa Van den Bosch. Tanam paksa ini
mengharuskan seperlima tanah rakyat ditanami tanaman ekspor, jam kerja
menanam tanaman ekspor harus melebihi jam kerja menanam padi, tanah
untuk menanam tanaman ekspor bebas pajak, nilai lebih keuntungan
tanaman ekspor diberikan kepada petani, dan pengawasan sistem ini
dilakukan oleh pejabat pribumi. Namun ketentuan tersebut tidak sesuai
dengan peraturan dan banyak pejabat pribumi korupsi atas keuntungan
yang seharusnya didapatkan oleh petani. Atas ketentuan tanam paksa ini
masyarakat Indonesia mengalami kelaparan secara besar-besaran karena
tidak sempat menanam lahan untuk bahan pangan pribadi. Akhirnya pada
tahun 1856 munculan kritikan atas reaksi penderitaan rakyat jawa akibat
tanam paksa yang ditulis oleh Dowes Dekker. Lahirnya kritik tersebut
akhirnya membuat tanam paksa atas komoditi seperti pala, teh, kayu
manis, dan nila diakhiri. Dihapuskannya tanam paksa ini memicu lahirnya
Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870 yang berisi bahwa
gubernur jendral tidak boleh menjual tanah, menyewakan tanah, dan
mengambil tanah-tanah yang diambil oleh rakyat. Namun Agrarische Wet
1870 ini dirasa tidak menguntungkan bagi pengusaha swasta Belanda
sehingga dihapuskan dan diganti dengan Politik Etika atau Etische
Politiek. Politik etika ini menjadi kedok bangsa Belanda bahwa mereka
merasa berhutang budi dan bertangung jawab atas kesejahteraan
masyarakat nusantara karena telah membantu perekonomian melalui
perdagangan rempah. Pada kebijakan politik etis bantuan keuangan dari
Belanda akan dikhususkan untuk perluasan layanan kesehatan dan
pendidikan dan penyediaan layanan penyuluhan pertanian yang dirancang
untuk merangsang pertumbuhan ekonomi desa. Namun disadari bahwa
politik etika ini dilaksankan kerana kebutuhan Belanda sendiri yang
membutuhkan tenaga pribumi yang terampil dan terdidik serta dapat
diberikan gaji yang murah.

1.1.2.1 Pejuangan Bangsa Indonesia atas Penjajahan Belanda

Penjajahan bangsa Belanda atas Indonesia sangatlah lama dan


mengalami berbagai hambatan untuk dapat menumpas monopoli yang
terjadi. Banyak pemberontakan yang dilakukan oleh putra putri daerah
sebagai wujud melawan pemerintahan Belanda. Namun perjuangan
tersebut masih belum sepenuhnya bisa menuntaskan masalah penjajahan
karena perjuangan tersebut masih bersifat kedaerahan dan belum terdapat
persatuan atas dasar satu bangsa. Perjuangan pertama adalah perjuangan
rakyat Maluku pada tahun 1817. Perjuangan ini muncul diawali oleh
Konvensi London di tahun 1814 yang berimplikasi pada Inggris yang
menyerahkan Maluku kepada pihak Belanda. Setelah Belanda kembali
menguasai Maluku maka munculah peraturan penyerahan wajib berupa
hasil bumi kepada pemerintah Belanda atau yang dikenl dengan peraturan
leverantine, kewajiban melaksanakan kerja rodi, dan paksaan rakyat
Maluku untuk menjadi tentara yang akan dikirmkan ke Jawa. Selain itu
terdapat penolakan Residen Van den Berg untuk membayar harga perahu
yang dipesan sesuai dengan harga sebenarnya kepada masyarakat Maluku.
Peraturan dan kejadian penolakan tersebut membuat masyarat Maluku
merasa tidak puas dan akhirnya mengadakan perlawanan yang dilakukan
oleh Kapiten Pattimura dan Christina Martha Tiahahu. Pada tanggal 15
Mei 1817 perlawanan rakyat Maluku yang dipimpin oleh Pattimura telah
berhasil merebut Benteng Duurstede, namun pada tanggal 3 Agustus 1817
benteng tersebut berhasil kembali ke tangan Belanda. Perjuangan pun terus
belanjut sampai akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura
berhasil ditangkap oleh Liman Pitersen dan dijatuhi hukuman gantung oleh
pemerintah Belanda.
Perjuangan selanjunya adalah perlawanan kaum Padri yang diawali
dengan adanya pertentangan antara kaum adat yang selalu berbuat maksiat
dan kaum padri yang identik dengan agama di tahun 1800an di Sumatra
Barat. Pada tahun 1821 Belanda turut campur tangan dalam pertentangan
ini yang menentang adanya perjanjian antara kaum adat dan kaum padri.
Melihat kebaikan Belanda tersebut akhirnya kaum adat membentuk relasi
dengan pemerintah Belanda untuk membantu melawan kaum padri dalam
pertentangan yang ada. Akhirnya ditahun yang sama pecahlah perang
perlawanan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
Perlawanan tersebut berakhir di tahun 1825 karena Belanda mengadakan
perjanjian damai dengan kaum padri yaitu perjanjian Masang agar Belanda
bisa fokus menghadapi perang Diponegoro. Namun akhirnya Belanda
kembali menyerang kaum padri tahun 1830 setelah perang Diponegoro
berakhir dan kaum padri pun berhasil ditaklukan pada tahun 1835.
Kekalahan tersebut sejalan dengan patahnya perlawanan Tuanku Imam
Bonjol di tahun 1837 dengan jalan ditipu oleh pihak Belanda saat
melakukan perundingan.
Perjuangan selanjutnya adalah perlawanan Diponegoro yang
disebabkan karena adanya campur tangan pihak Belanda terhadap urusan
kerajaan Mataram dan adanya penindasan rakyat dengan pajak yang berat.
Terdapat pula penyelewengan dimana Belanda membangun jalan kereta
api yang melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro di desa
Tegal Rejo tanpa adanya perijinan. Atas alasan tersebut akhirnya pada
tanggal 20 Juli 1825 Pangeran Diponegoro memimpin perlawanan rakyat
di Jawa yang dibantu oleh Kiai Mojo, Sentot Alibasyah, Pangeran Suryo
Mataram, dan Pangeran Serang. Pada tahun 1827 Belanda melakuka siasat
Benteng Stelsel dan Devide et Impera yang mempersempit daerah
pergerakan perlawanan Diponegoro. Siasat lainnya adalah mengangkat
kakek Diponegoro yaitu Sultan Sepuh sebagai Sultan Yogyakarta sehingga
Pangeran Diponegoro terdesak dan meminta Belanda melakukan
perundingan. Perundingan tersebut dilakukan pada tahun 1830 dan
Pangeran Diponegoro ditangkap saat melakukan perundingan. Pangeran
Diponegoro dibuang ke Manado dan dipindahkan ke Makassar hingga
wafat.
Perjuangan terjadi pula di daerah Bali yang dimana pada tahun
1844 Raja Buleleng memberlakukan hak tawan karang kepada kapal
Belanda. Belanda tidak setuju dengan pemberlakuan hak tersebut maka
dikeluarkanlah ultimatum untuk kerajaan Buleleng yang kemudia ditolak
begitu saja. Pada tahun 1848 Belanda menyerang Buleleng tetapi Bali
dapat bertahan lewat perlawanan yang dipimpin oleh Patih Ketut Jelantik
melalui Perang Buleleng. Pasukan Buleleng terdesak ke selatan hingga
akhirnya belanda tertahan oleh kerajaan Karangasem sehingga terjadi
perang Puputan yang dimenangkan oleh Belanda dan akhirnya
Karangasem dikuasai sepenuhnya. Pada tahun 1894 seluruh Bali menyerah
kepada Belanda kecuali kerajaan Tabanan, Badung, dan Klungkung.
Namun pada akhirnya Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Badung
melalui perang Puputan Badung, kerajaan Tabanan pada perang Wongaya,
dan kerajaan Klungkung melalui pertempuran puputan dari seluruh
keluarga kerajaan.
Perjuangan melawan penjajahan Belanda dilanjutkan dengan
perlawanan Banjarmasin yang dimana diawali oleh hubungan kerjasama
pada tahun 1826 antara pihak Belanda dan kerajaan Banjarmasin yang saat
itu dikuasai oleh Sultan Adam. Pada tahun 1857 Sultan Adam meninggal
dan terjadi perebutuan kekuasaan antara Pangeran Tamjidillah yang
didukung Belanda dan Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh rakyat.
Atas dukungan Belanda tersebut akhirnya pada tahun 1859 terjadi
perlawanan Banjarmasin yang dipimpin Pangeran Hidayatullah. Rakyat
Kalimantan Selatan dipimpin oleh Pangeran Antasari, Kyai Demang
Lehman, Haji Nasrun, Haji Busyin, dan Kyai Langlang berhasil
menduduki benteng Belanda di Tabanio. Pada tahun 1862 Pangeran
Hidayatullah dapat ditawan dan diasingkan ke Cianjur dan akhirnya rakyat
mengangkat Pangeran Antasari sebagai pemimpin kerajaan Banjarmasin.
Sayangnya tak lama setelah diangkatnya Pangeran Antasari sebagai
pemimpin kerajaan Banjarmasin, beliau meninggal karena sakit keras dan
perlawanan Banjarmasin pun berhasil dipatahkan.
Terdapat pula perlawanan Bone yang dimana diawali dengan
Belanda memperbaruhi perjanjian Bongaya di tahun 1824 namun kerajaan
Bone menentang perbaharuan tersebut dan melakukan perlawanan yang
dipimpin oleh Raja Putri. Pada tahun1835 Raja Putri meninggal dan
perlawanan rakyat Bone pun melemah. Sejalan dengan melemahnya
perlawanan tersebut, akhirnya pada tahun 1908 Bone resmi menjadi daerah
kekuasaan Belanda. Perjuangan terjadi pula di daerah Sumatra Utara atau
perlawanan Batak yang diawali dengan Belanda mengadakan Pax
Nederlandica sehingga membuaut daerah pedalaman Sumatra Utara atau
Batak terancam. Suku Batak pada awalnya adalah penganut animisme atau
percaya dengan kekuatan gaib, namun misi agama Kristen Protestan
pimpinan Nomensen berkebang pesat. Kedua hal tersebut membuat Raja
Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan di tahun 1878. Perlawanan
tersebut berlangsung lama hingga pada tahun 1907 Belanda berhasil
menumpas perlawanan rakyat Batak dan Sisingamangaraja XII tewas
bersama seorang putrinya yang bernama Lapian dan dua orang putranya
yang bernama Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Pada tahun-tahun
berikutnya muncul Gerakan rakyat seperti Parmalim dan Parsihudamdam
yang memiliki cita-cita untuk mengembalikan kerajaan Batak Kuno.
Perjuangan besar juga dilakukan oleh masyarakat Aceh yang
dimana pada tahun 1824 sudah muncul tanda-tanda perseteruan Aceh
dengan Belanda sebagai imbas dari Konvensi London yang dimana dalam
perjanjian tersebut Belanda mendapatkan kembali daerah jajahannya di
Sumatra. Pada tahun 1871 keadaan mulai bertambah buruk ketika
ditandatanganinya traktar Sumatra antar Inggris dengan Belanda. Belanda
diberi kekuasaan untuk mengadakan perluasan di seluruh bagian Sumatra
termasuk Kesultanan Aceh yang dimana perluasan ini dikenal dengan Pax
Nederlandica. Dua tahun berikutnya tepatnya tahun 1873 masyarakat
Aceh diultimatum harus mengakui bahwa Belanda adalah bangsa yang
dipertuan di Aceh agar Aceh menghentikan hubungannya dengan negara
asing. Namun Sultan Aceh malah menganggap ultimatum tersebut sebagai
penghinaan dan akhirnya menyatakan perang dengan Belanda.
Penyerangan Belanda pada fase awal dipimpin oleh Jendral Kohler yang
dimana pasukannya berhasil membakar Masjid Raya yang dibangun oleh
Sultan Iskandar Muda namun pada penyerangan itu pula Jendral Kohler
tewas tertembak. Satu tahun berikutnya Belanda berhasil merebut Aceh
Besar dibawah pimpinan Jendral van der Heyden. Pada tahun 1884 perang
Gerilya Aceh masih terus berlangsung hingga membuat Belanda
menerapkan strategi Geconcetreede Linie yang dimana membangun 16
benteng mengelilingi Kutaradja yang menjadi ibu kota Aceh pada saat itu
sehingga ruang lingkup perlawanan Aceh menjadi terbatas. Atas dasar
kondisi tersebut maka di tahun 1893 Teuku Umar berkerja sama dengan
Belanda dengan tujuan melucuti persenjataan sekutu. Setelah cukup kuat
dan persenjataan yang dilucuti sudah banyak, akhirnya pada tahun 1896
Teuku Umar menyerang balik Belanda. Dalam fase ini Belanda
menggunakan cara pendekatan budaya untuk menaklukan Aceh lewat
penyelidikan seorang ulama dari Belanda yang bernama Abdul Gaffar
alias seorang orientalis Belanda yang bernama Snouck Hurgronje. Dalam
penyamarannya menjadi seorang ulama, Abdul Gaffar menyimpulkan
bahwa ulama harus dilawan dengan kekerasan atau dibunuh dan perlunya
pemisahan kekuatan ulama dengan kaum bangsawan. Strategi ini berhasil
dan perlawanan rakyat Aceh berhasil dipatahkan. Dalam pertempuran
antara Belanda dengan Aceh di hutan Melabuoh tahu 1899 akhirnya
menewaskan Teuku Umar yang tertembak ditembus peluru. Kematian
Teuku Umar ini tidak mematahkan semangat rakyat Aceh yang dipimpin
oleh Cut Nyak Dien istri dari Teuku Umar untuk terus mendesak Belanda
keluar dari tanah Aceh. Namun pada tahun 1904 Cut Nyak Dien ditangkap
dan perjuangan rakyat Aceh berakhir dengan ditandatanganinya Plakat
Pendek.
Selain terjadinya pemberontak dimasing-masing daerah, terdapat
pula pemberontakanoleh petani yang didasari oleh kebencian petani akan
beban pajak yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda, keyakinan akan
Ratu Adil yang membebaskan penderitaan rakyat, serta kesewenangan dari
bangsawan, pemerintah, dan tuan tanah. Dari dasar tersebut maka
terciptalah pemberontakan petani Ciomas Bogor pada tahun 1886 yang
dipimpin oleh Moh. Idris. Dilanjutkan dengan pemberontakan Sasak
Samin di Blora Jawa Tengah yang menolak pemungutan pajak. Entong
Gendut yang mengadakan pemberintakan petani di Condet pada tahun
1916, dan Kaiin yang memimpin petani menyerang tuan tanah di
Tangerang pada tahun 1924. Dari seluruh pemberontakan tersebut tak ada
yang sepenuhnya berhasil mengalahkan Belanda karena perjuangan yang
masih bersifat kedaerahan sehingga akan kalah dengan perlawanan
Belanda yang kuat akan senjata dan banyaknya tentara.
1.1.3 Bangsa Inggris di Indonesia

Penjajahan Inggris atas Indonesia tidak berlangsung lama dan


terjadi ditengah masa kolonial Belanda. Perpindahan kekuasaan dari
Belanda kepada Inggris diawali dengan kalahnya Belanda dalam Perang
Koalisi I menghadapi Napoleon dan akhirnya Belanda dikuasai oleh
Napoleon dengan membentuk negara boneka. Negara Boneka ini
dinamakan sebagai Republik Batavia yang akhirnya mebubarkan VOC dan
memilih Dendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan
berbagai kebijakan baru seperti pembagian jawa ke dalam sebilan daerah,
kerja rodi, pembuatan jalan Anyer-Panarukan, serta Tanam Paksa. Pada
masa pemerintahan Daendels pula terdapat tanah partikelir yang
merupakan tanah rakyat yang dijual pada pengusaha swasta asing.
Pada tahun 1811 terjadilah pertempuran antara Inggris dan Belanda
di Jawa Tengah atas keinginan sama-sama ingin berkuasa di daerah
tersebut. Pasukan Belanda terdesak di Tuntang dan akhirnya Belanda
menyerah serta menandatangani Perjanjian Tuntang yang dimana
didalamnya memuat seluruh kekuasaan termasuk tantara Belanda secara
resmi diambil alih oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1811 Inggris
mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagi Gubernur Jawa dengan
kebijakan menghapus kerja rodi, mengganti corak pemerintahan pribumi
menajadi bercorak barat dengan tujuan menghapus feodalisme dan tanah
jabatan, penghapusan kepemilikan tanah pribadi sehingga semua tanah
milik inggis dan rakyat harus membayar sewa, serta membagi Jawa atas 16
karesidenan. Sistem sewa tanah mengalami kegagalan karena kuatnya
feodalisme di Jawa dan masyarakat pada saat itu belum terlalu mmengenal
uang. Raffles menjalankan politik pembatasan kekuasaan bupati dimana
para bupati diberi fungsi sebagi pengawas polisi distrik, dilarang
melakukan perdagangan, tanah lingkungan bagi bupati dihapuskan, dan
pegawai bupati diberi gaji berupa uang. Pada tahun 1812 Raffle mengganti
Sultan Hamengkubuwono II dengan Hamengkubuwono III yang dimana
Hamengkubuwono II diasingkan ke Padang. Pada tahun 1812 pula Raffles
berhasil menguasai Palembang dan Belitung. Tahun berikutnya Raffles
menghapuskan kesultanan Banten dan Sultan Banten akan diberikan uang
pension dari Inggris. Raffles pun digantikan oleh John Fendall di tahun
1814 dan berhasil menyerang Kerajaan Bone.
Kekalahan Napoleon dalam Perang Eropa di Leipzig pada April
1814 memengaruhi politik di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Implikasi
dari kekalahan itu adalah terjadinya perjanjian antara Inggris dan Belanda
atau yang dikenal dengan Perjanjian London yang berisi bahwa Inggris
harus menyerahkan Maluku kepada Belanda. Pada tahun 1815 lahir pula
konvensi Wina yang menyatakan bahwa Inggris harus menyerahkan tanah
Jawa kepada Belanda dan pada akhirnya seluruh wilayah kekuasaan
Inggris di Indonesia kembali ke tangan Belanda. Dengan demikian
berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia yang dimana perjuangan yang
dilakukan rakyat Indonesia tidaklah banyak dan berpengaruh terhadap
kependudukan Inggris di Indonesia karena sistem perjuangan kedaerahan
yang masih kental sehingga sulit untuk menyelesaikan penjajahan dengan
skala besar.

Anda mungkin juga menyukai