1 Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Sebelum Tahun 1900
Indonesia memiliki catatan sejarah yang kelam dan panjang sejak abad ke 17 hingga tahun 1945 dan berlanjut sampai saat ini sebagai implikasi mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan. Setelah berkembangnya berbagai budaya di Indonesia sebagai dasar kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah ini nyatanya membuat banyak orang asing khususnya Eropa yang tertarik denngan kondisi alam dan kebudayaan yang dimiliki Indonesia. Ketertarikan itu nyatanya dijadikan ajang monopoli bagi bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Inggris, Belanda, dan lain-lain yang membuat bangsa Indonesia tidak mendapatkan haknya untuk menggunakan hasil dari alam tempatnya tinggal. Maka atas dasar perebutan hak tersebut munculah perjuangan dari anak-anak bangsa yang tingga di daerah masing-masing untuk membebaskan diri dari monopoli bangsa-bangsa Eropa. Perjuangan dimasa ini masihlah berfokus pada daerah masing-masing sehingga pergerakan yang dilakukan tidak dapat berpengaruh secara luas bagi Indonesia karena menginngat luasnya daerah yang dijajah pada saat itu. Perjuangan sebelum tahun 1900 ini sangatlah identik dengan perjuangan kedaerahan yang nyatanya masih belum berhasil mengusir secara keseluruhan bangsa Eropa tersebt dan memberatkan pejuang-pejuang yang ada di daerah karena belum ada bantuan besar yang diberikan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Bangsa Eropa yang masuk ke Indonesia diawali oleh Portugis yang kemudian dilanjutkan oleh Belanda dimana kegiatan penjajahan tersebut terjadi selama 350 tahun.
1.1.1 Bangsa Portugis di Indonesia
Masuknya bangsa Portugis ke Indonesia dilatar belakangi oleh jatuhnya Constatinopel ke Turki Usmani pada tahun 1453 yang dimana orang-orang turki melarang orang Kristen untuk berdagang di daerah tersebut. Hal tersebut mengakibatkan harga rempah-rempah di Eropa menjadi sangat mahal. Dengan alasan terdesaknya bangsa Eropa maka masyarkat Portugis dan Spanyol mengusir orang-orang Islam dari Semenanjung Iberia dengan semangat Reconquista yang ditandai dengan bersatunya seluruh masyarakat Eropa. Dengan semangat tersebutlah akhirnya mendorong bangsa Portugis dan Spanyol untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah karena tidak bisa melewati Constatinopel. Motif kedatangan bangsa Portugis ke daerah-daerah kaya rempah termasuk Indonesia yaitu gold yang artinya memperoleh kekayaan, glory yang artinya memperoleh kejayaan, dan gospel yang artinya menyebarkan agama. Setelah menaklukan India di tahun 1511, Portugis dibawah Alfonso d’ Albuquerque merebut Malaka dari tangan Sultan Mahmud Syah. Setelah itu pada tahun 1512 terjadilah ekpedisi Portugis yang dipimpin oleh De Abreu menuju Madura, Bali, Lombok, Aru, dan Banda yang dimana pada daerah-daerah tersebut seluruh perdagangan atas rempah diambil alih oleh Portugis. Sampainya Portugis di Ternate pun langsung dapat memonopoli perdangan khususnya rempah seperti cengkeh yang ditandai dengan dibangunnya benteng sebagai penghalau bangsa lain turut mengambil rempah di daerah ini. Pada tahun 1524 Portugis bersekutu dengan Kerajaan Padjajaran dan merebut kekuasaan atas Sunda Kelapa. Demak yang dipimpin oleh Fatahillah dengan bantuan dari Banten pada tahun 1527 berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis dan Padjajaran dan mengganti nama daerah tersebut menjadi Jayakarta. Dalam kegiatan monopoli perdangangan yang dilakukan oleh Portugis nyatanya juga mengundang perhatian Spanyol untuk turut mengambil rempah-rempah di Indonesia sehingga lahirlah pertentangan antara kedua bangsa tersebut yang kemudian diselesaikan dengan perjanjian Saragosa yang membagi dunia atas dua jalur pengembaraan dimana Spanyol ke arah barat Mexico dan Portugis kea rah timur Brazil. Dengan perjanjian tersebut maka monopoli perdagangan rempah di Indonesia semakin dikuasai oleh Potugis. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1605 bangsa Portugis kalah saing dengan VOC bentukan Belanda dan menyingkir kea rah Timor Timur. Pada tahun 1604 kekuasaan Portugis di Malaka jatuh ke tangan VOC sehingga wilayah jajahan Portugis terdesak dan hanya tersisa di Timor Timur. 2.1.1.2 Perjuangan Bangsa Indonesia atas Penjajahan Portugis Dalam masa perjuangan melawan bangsa Portugis, terdapat banyak aksi pengusiran yang bersifat kedaerahan oleh bangsa Indonesia. Perjuangan kedaerahan ini dirasa kurang efektif sehingga bangsa lain masih bisa masuk dan kembali menjajah Indonesia. Perjuangan pertama yaitu perjuanagan rakyat Malaka yang dimana pada tahun 1511 dibawah pimpinan Sultan Mahmud Syah I melakukan perlawanan terhadap Portugis namun Malaka dapat di desak hingga menyingkir ke pulau Bintan. Akhimya Malaka jatuh ke portugis pada 1511. Pada 1526 puhu Bintan diserbu oleh Portugis Sultan Mahmud Syah I lari ke puku Kampar hingga wafatnya 1528. Perjuangan selanjutnya adalah perjuangan rakyat Johor yang dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah II mulai tahun 1530 kemudian dilanjutkan oleh Abdul Jalil Syah I (1580-1597) dapat menangkis serangan Portugis. Perjuangan selanjutnya adalah perjuangan rakyat Demak yang dipimpin oleh Dipati Unus. Pada tahun 1512-1523. Melakukan perlawanan terhadap Portugis, dibantu oleh armada Aceh, Palembang, dan Bintan. Berusaha merebut keembali Malaka namun tidak berhasil. Terdapat pula perjuangan rakyat Maluku yang dimana pada tahun 1512 Portugis mengadakan hubungan dagang dengan Sultan Harun dari Temate. Portugis ternyata memonopoli perdagangan, memeras dan menindas rakyat, penyebaran agama Kristen secara paksa sehingga membuat rakyat melakukan perlawanan. Tahun 1550 rakyat Temate dbawah pimpinan Sultan Hairun melakukan perlawanan. Portugis menipu dan membunuh Sukan Harun dnegan dalih untuk mengadakan perundingan. Perjuangan diteruskan oleh Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun Tahun 1570-1575 Temate, Tidore, dan Halmahera bersatu padu melawan Portugis. Tanggal 18 Desember 1577 rakyat Ternate berhasil mengusir Portugis dari Temate. Selain itu terdapat pula perjuangan rakyat Sunda Kelapa yang dimana Fatahillah seorang ulama dari Demak yang menyebarkan agama islam di Jawa Barat memimpin rakyat melakukan perlawanan terhadap Portugis. Tahun 1527 Fatahillah menyerang orang-orang Portugis di Sunda Kekipa dan berhasil mengalahkannya. Portugis terusir kembali ke Mahka. Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah kemudian berdirilah kerajaan Banten.
1.1.2 Bangsa Belanda di Indonesia
Bangsa Belanda bergerak kearah timur dilandasi oleh orang-orang
Belanda yang merupakan distributor handal rempah-rempah ke daerah pedalaman Eropa. Barang-barang yang diperdagangkan bangsa Belanda diambil dari agen yaitu bangsa Portugis. Saat terjadi pertiakian antara Portugis dan Spanyol maka berimplikasi pada Belanda yang dilarang mengambil rempah-rempah sehingga Belanda harus mencari sendiri rempah-rempah yang akan diperdagangkan. Atas dasar latar belakang tersebut akhirnya Belanda sampai di Indonesia dan memonopoli perdagangan rempah didalamnya. Masuknya Belanda ke Indonesia dimulai pada tahun 1595 dimana Cornelis de Houtman pergi ke Indonesia dengan memanfaatkan jalur pelayaran yang sudah ditemukan dan akhirnya tiba di Banten. Sesampai di Banten, Belanda langsung diusir oleh masyarakat Banten karena kecongkakannya dimana melakukan kegiatan perdagangan secara serakah. Pada tahun 1598 dibawah pimpinan Jacob van Neck Belanda kembali ke Banten dan disambut dengan baik oleh masyarakat karea Banten mengalami kerugian akibat ulah penjajahan Portugis. Begitupula dengan kedatangan Belanda di Maluku yang disambut dengan baik pula oleh masyarakatnya sehingga membuka peluang besar bagi bangsa Belanda utuk melakukan kegiatan perdagangan rempah-rempah. Seiring berjalannya kegiatan perdangangan rempah-rempah oleh bangsa Belanda di Indonesia, tepat pada tahun 1602 terjadilah persaingan tidak sehat antar pedagang Belanda dan pada akhirnya didirikanlah perkumpulan usaha dagang oleh pemerintah Belanda yang kita kenal dengan VOC atau Vereenigde Oost-Indische Company dengan Gubernur Jendral Pieter Both. VOC diberikan hak istimewa atau hak octrooi dari Belanda yang terdiri atas hak monopoli, hak membuat uang, hak mendirikan benteng, hak mengadakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia, dan hak untuk membentuk tentara. Nyatanya dengan berdirinya VOC sebagai badan usaha dagang Belanda malah semakin memperkeruh kondisi perdagangan masyarakat Indonesia yang kian dimonopoli sehingga hasil rempah yang diproduksi tidah setimpal dengan hasil uang yang diterima. Setelah monopoli dan kekuasaan Panjang yang dilakukan VOC, terjadilah kekalahan Belanda atas Perang Koalisi I dan akhirnya Belanda dikuasai oleh Napoleon sehingga mengakibatkan seluruh daerah jajahan Belanda jatuh ketangan Inggris tepatnya pada Pemerintah Republik Batavia bentukan Napoleon. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada tahun 1800 Republik Batavia yang mengambil alih kekuasaan Belanda membubarkan VOC karena korupsi yang merajalela dan monopoli perdagangan yang bertentangan dengan semangat liberlisme revolusi Prancis dan akhirnya kekuasaan VOC diambil alih oleh Inggris. Setelah pembubaran VOC, Republik Batavia mengangkat Herman Williem Daendels sebagai Gubernur Hindia Belanda dengan berbagai kebijakan baru seperti pembagian jawa ke dalam sebilan daerah, kerja rodi, pembuatan jalan Anyer-Panarukan, serta Tanam Paksa. Pada masa pemerintahan Daendels pula terdapat tanah partikelir yang merupakan tanah rakyat yang dijual pada pengusaha swasta asing. Pada tahun 1811 terjadilah pertempuran antara Inggris dan Belanda di Jawa Tengah atas keinginan sama-sama ingin berkuasa di daerah tersebut. Pasukan Belanda terdesak di Tuntang dan akhirnya Belanda menyerah serta menandatangani Perjanjian Tuntang yang dimana didalamnya memuat seluruh kekuasaan termasuk tantara Belanda secara resmi diambil alih oleh pemerintah Inggris. Kekalahan Napoleon dalam Perang Eropa di Leipzig pada April 1814 memengaruhi politik di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Implikasi dari kekalahan itu adalah terjadinya perjanjian antara Inggris dan Belanda atau yang dikenal dengan Perjanjian London yang berisi bahwa Inggris harus menyerahkan Maluku kepada Belanda. Pada tahun 1815 lahir pula konvensi Wina yang menyatakan bahwa Inggris harus menyerahkan tanah Jawa kepada Belanda dan pada akhirnya seluruh wilayah kekuasaan Inggris di Indonesia kembali ke tangan Belanda. Setelah Indonesia kembali dikuasai Belanda maka ditujuklah Van der Capellen sebagai gubernur jendral dengan kebijakan sewa tanah yang telah diterapkan pada masa pendudukan Inggris. Kondisi ini nyatanya telah menyulut emosi putra dan putri bangsa Indonesia sehingga terjadi pemberontakan masyarakat daerah yang menyebabkan Belanda mengalami defisit anggaran belanja sehingga dicetuskanlah ketentuan Tanam Paksa atau Cultur Stelsel pada masa Van den Bosch. Tanam paksa ini mengharuskan seperlima tanah rakyat ditanami tanaman ekspor, jam kerja menanam tanaman ekspor harus melebihi jam kerja menanam padi, tanah untuk menanam tanaman ekspor bebas pajak, nilai lebih keuntungan tanaman ekspor diberikan kepada petani, dan pengawasan sistem ini dilakukan oleh pejabat pribumi. Namun ketentuan tersebut tidak sesuai dengan peraturan dan banyak pejabat pribumi korupsi atas keuntungan yang seharusnya didapatkan oleh petani. Atas ketentuan tanam paksa ini masyarakat Indonesia mengalami kelaparan secara besar-besaran karena tidak sempat menanam lahan untuk bahan pangan pribadi. Akhirnya pada tahun 1856 munculan kritikan atas reaksi penderitaan rakyat jawa akibat tanam paksa yang ditulis oleh Dowes Dekker. Lahirnya kritik tersebut akhirnya membuat tanam paksa atas komoditi seperti pala, teh, kayu manis, dan nila diakhiri. Dihapuskannya tanam paksa ini memicu lahirnya Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870 yang berisi bahwa gubernur jendral tidak boleh menjual tanah, menyewakan tanah, dan mengambil tanah-tanah yang diambil oleh rakyat. Namun Agrarische Wet 1870 ini dirasa tidak menguntungkan bagi pengusaha swasta Belanda sehingga dihapuskan dan diganti dengan Politik Etika atau Etische Politiek. Politik etika ini menjadi kedok bangsa Belanda bahwa mereka merasa berhutang budi dan bertangung jawab atas kesejahteraan masyarakat nusantara karena telah membantu perekonomian melalui perdagangan rempah. Pada kebijakan politik etis bantuan keuangan dari Belanda akan dikhususkan untuk perluasan layanan kesehatan dan pendidikan dan penyediaan layanan penyuluhan pertanian yang dirancang untuk merangsang pertumbuhan ekonomi desa. Namun disadari bahwa politik etika ini dilaksankan kerana kebutuhan Belanda sendiri yang membutuhkan tenaga pribumi yang terampil dan terdidik serta dapat diberikan gaji yang murah.
1.1.2.1 Pejuangan Bangsa Indonesia atas Penjajahan Belanda
Penjajahan bangsa Belanda atas Indonesia sangatlah lama dan
mengalami berbagai hambatan untuk dapat menumpas monopoli yang terjadi. Banyak pemberontakan yang dilakukan oleh putra putri daerah sebagai wujud melawan pemerintahan Belanda. Namun perjuangan tersebut masih belum sepenuhnya bisa menuntaskan masalah penjajahan karena perjuangan tersebut masih bersifat kedaerahan dan belum terdapat persatuan atas dasar satu bangsa. Perjuangan pertama adalah perjuangan rakyat Maluku pada tahun 1817. Perjuangan ini muncul diawali oleh Konvensi London di tahun 1814 yang berimplikasi pada Inggris yang menyerahkan Maluku kepada pihak Belanda. Setelah Belanda kembali menguasai Maluku maka munculah peraturan penyerahan wajib berupa hasil bumi kepada pemerintah Belanda atau yang dikenl dengan peraturan leverantine, kewajiban melaksanakan kerja rodi, dan paksaan rakyat Maluku untuk menjadi tentara yang akan dikirmkan ke Jawa. Selain itu terdapat penolakan Residen Van den Berg untuk membayar harga perahu yang dipesan sesuai dengan harga sebenarnya kepada masyarakat Maluku. Peraturan dan kejadian penolakan tersebut membuat masyarat Maluku merasa tidak puas dan akhirnya mengadakan perlawanan yang dilakukan oleh Kapiten Pattimura dan Christina Martha Tiahahu. Pada tanggal 15 Mei 1817 perlawanan rakyat Maluku yang dipimpin oleh Pattimura telah berhasil merebut Benteng Duurstede, namun pada tanggal 3 Agustus 1817 benteng tersebut berhasil kembali ke tangan Belanda. Perjuangan pun terus belanjut sampai akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura berhasil ditangkap oleh Liman Pitersen dan dijatuhi hukuman gantung oleh pemerintah Belanda. Perjuangan selanjunya adalah perlawanan kaum Padri yang diawali dengan adanya pertentangan antara kaum adat yang selalu berbuat maksiat dan kaum padri yang identik dengan agama di tahun 1800an di Sumatra Barat. Pada tahun 1821 Belanda turut campur tangan dalam pertentangan ini yang menentang adanya perjanjian antara kaum adat dan kaum padri. Melihat kebaikan Belanda tersebut akhirnya kaum adat membentuk relasi dengan pemerintah Belanda untuk membantu melawan kaum padri dalam pertentangan yang ada. Akhirnya ditahun yang sama pecahlah perang perlawanan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Perlawanan tersebut berakhir di tahun 1825 karena Belanda mengadakan perjanjian damai dengan kaum padri yaitu perjanjian Masang agar Belanda bisa fokus menghadapi perang Diponegoro. Namun akhirnya Belanda kembali menyerang kaum padri tahun 1830 setelah perang Diponegoro berakhir dan kaum padri pun berhasil ditaklukan pada tahun 1835. Kekalahan tersebut sejalan dengan patahnya perlawanan Tuanku Imam Bonjol di tahun 1837 dengan jalan ditipu oleh pihak Belanda saat melakukan perundingan. Perjuangan selanjutnya adalah perlawanan Diponegoro yang disebabkan karena adanya campur tangan pihak Belanda terhadap urusan kerajaan Mataram dan adanya penindasan rakyat dengan pajak yang berat. Terdapat pula penyelewengan dimana Belanda membangun jalan kereta api yang melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro di desa Tegal Rejo tanpa adanya perijinan. Atas alasan tersebut akhirnya pada tanggal 20 Juli 1825 Pangeran Diponegoro memimpin perlawanan rakyat di Jawa yang dibantu oleh Kiai Mojo, Sentot Alibasyah, Pangeran Suryo Mataram, dan Pangeran Serang. Pada tahun 1827 Belanda melakuka siasat Benteng Stelsel dan Devide et Impera yang mempersempit daerah pergerakan perlawanan Diponegoro. Siasat lainnya adalah mengangkat kakek Diponegoro yaitu Sultan Sepuh sebagai Sultan Yogyakarta sehingga Pangeran Diponegoro terdesak dan meminta Belanda melakukan perundingan. Perundingan tersebut dilakukan pada tahun 1830 dan Pangeran Diponegoro ditangkap saat melakukan perundingan. Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado dan dipindahkan ke Makassar hingga wafat. Perjuangan terjadi pula di daerah Bali yang dimana pada tahun 1844 Raja Buleleng memberlakukan hak tawan karang kepada kapal Belanda. Belanda tidak setuju dengan pemberlakuan hak tersebut maka dikeluarkanlah ultimatum untuk kerajaan Buleleng yang kemudia ditolak begitu saja. Pada tahun 1848 Belanda menyerang Buleleng tetapi Bali dapat bertahan lewat perlawanan yang dipimpin oleh Patih Ketut Jelantik melalui Perang Buleleng. Pasukan Buleleng terdesak ke selatan hingga akhirnya belanda tertahan oleh kerajaan Karangasem sehingga terjadi perang Puputan yang dimenangkan oleh Belanda dan akhirnya Karangasem dikuasai sepenuhnya. Pada tahun 1894 seluruh Bali menyerah kepada Belanda kecuali kerajaan Tabanan, Badung, dan Klungkung. Namun pada akhirnya Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Badung melalui perang Puputan Badung, kerajaan Tabanan pada perang Wongaya, dan kerajaan Klungkung melalui pertempuran puputan dari seluruh keluarga kerajaan. Perjuangan melawan penjajahan Belanda dilanjutkan dengan perlawanan Banjarmasin yang dimana diawali oleh hubungan kerjasama pada tahun 1826 antara pihak Belanda dan kerajaan Banjarmasin yang saat itu dikuasai oleh Sultan Adam. Pada tahun 1857 Sultan Adam meninggal dan terjadi perebutuan kekuasaan antara Pangeran Tamjidillah yang didukung Belanda dan Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh rakyat. Atas dukungan Belanda tersebut akhirnya pada tahun 1859 terjadi perlawanan Banjarmasin yang dipimpin Pangeran Hidayatullah. Rakyat Kalimantan Selatan dipimpin oleh Pangeran Antasari, Kyai Demang Lehman, Haji Nasrun, Haji Busyin, dan Kyai Langlang berhasil menduduki benteng Belanda di Tabanio. Pada tahun 1862 Pangeran Hidayatullah dapat ditawan dan diasingkan ke Cianjur dan akhirnya rakyat mengangkat Pangeran Antasari sebagai pemimpin kerajaan Banjarmasin. Sayangnya tak lama setelah diangkatnya Pangeran Antasari sebagai pemimpin kerajaan Banjarmasin, beliau meninggal karena sakit keras dan perlawanan Banjarmasin pun berhasil dipatahkan. Terdapat pula perlawanan Bone yang dimana diawali dengan Belanda memperbaruhi perjanjian Bongaya di tahun 1824 namun kerajaan Bone menentang perbaharuan tersebut dan melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Raja Putri. Pada tahun1835 Raja Putri meninggal dan perlawanan rakyat Bone pun melemah. Sejalan dengan melemahnya perlawanan tersebut, akhirnya pada tahun 1908 Bone resmi menjadi daerah kekuasaan Belanda. Perjuangan terjadi pula di daerah Sumatra Utara atau perlawanan Batak yang diawali dengan Belanda mengadakan Pax Nederlandica sehingga membuaut daerah pedalaman Sumatra Utara atau Batak terancam. Suku Batak pada awalnya adalah penganut animisme atau percaya dengan kekuatan gaib, namun misi agama Kristen Protestan pimpinan Nomensen berkebang pesat. Kedua hal tersebut membuat Raja Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan di tahun 1878. Perlawanan tersebut berlangsung lama hingga pada tahun 1907 Belanda berhasil menumpas perlawanan rakyat Batak dan Sisingamangaraja XII tewas bersama seorang putrinya yang bernama Lapian dan dua orang putranya yang bernama Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Pada tahun-tahun berikutnya muncul Gerakan rakyat seperti Parmalim dan Parsihudamdam yang memiliki cita-cita untuk mengembalikan kerajaan Batak Kuno. Perjuangan besar juga dilakukan oleh masyarakat Aceh yang dimana pada tahun 1824 sudah muncul tanda-tanda perseteruan Aceh dengan Belanda sebagai imbas dari Konvensi London yang dimana dalam perjanjian tersebut Belanda mendapatkan kembali daerah jajahannya di Sumatra. Pada tahun 1871 keadaan mulai bertambah buruk ketika ditandatanganinya traktar Sumatra antar Inggris dengan Belanda. Belanda diberi kekuasaan untuk mengadakan perluasan di seluruh bagian Sumatra termasuk Kesultanan Aceh yang dimana perluasan ini dikenal dengan Pax Nederlandica. Dua tahun berikutnya tepatnya tahun 1873 masyarakat Aceh diultimatum harus mengakui bahwa Belanda adalah bangsa yang dipertuan di Aceh agar Aceh menghentikan hubungannya dengan negara asing. Namun Sultan Aceh malah menganggap ultimatum tersebut sebagai penghinaan dan akhirnya menyatakan perang dengan Belanda. Penyerangan Belanda pada fase awal dipimpin oleh Jendral Kohler yang dimana pasukannya berhasil membakar Masjid Raya yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda namun pada penyerangan itu pula Jendral Kohler tewas tertembak. Satu tahun berikutnya Belanda berhasil merebut Aceh Besar dibawah pimpinan Jendral van der Heyden. Pada tahun 1884 perang Gerilya Aceh masih terus berlangsung hingga membuat Belanda menerapkan strategi Geconcetreede Linie yang dimana membangun 16 benteng mengelilingi Kutaradja yang menjadi ibu kota Aceh pada saat itu sehingga ruang lingkup perlawanan Aceh menjadi terbatas. Atas dasar kondisi tersebut maka di tahun 1893 Teuku Umar berkerja sama dengan Belanda dengan tujuan melucuti persenjataan sekutu. Setelah cukup kuat dan persenjataan yang dilucuti sudah banyak, akhirnya pada tahun 1896 Teuku Umar menyerang balik Belanda. Dalam fase ini Belanda menggunakan cara pendekatan budaya untuk menaklukan Aceh lewat penyelidikan seorang ulama dari Belanda yang bernama Abdul Gaffar alias seorang orientalis Belanda yang bernama Snouck Hurgronje. Dalam penyamarannya menjadi seorang ulama, Abdul Gaffar menyimpulkan bahwa ulama harus dilawan dengan kekerasan atau dibunuh dan perlunya pemisahan kekuatan ulama dengan kaum bangsawan. Strategi ini berhasil dan perlawanan rakyat Aceh berhasil dipatahkan. Dalam pertempuran antara Belanda dengan Aceh di hutan Melabuoh tahu 1899 akhirnya menewaskan Teuku Umar yang tertembak ditembus peluru. Kematian Teuku Umar ini tidak mematahkan semangat rakyat Aceh yang dipimpin oleh Cut Nyak Dien istri dari Teuku Umar untuk terus mendesak Belanda keluar dari tanah Aceh. Namun pada tahun 1904 Cut Nyak Dien ditangkap dan perjuangan rakyat Aceh berakhir dengan ditandatanganinya Plakat Pendek. Selain terjadinya pemberontak dimasing-masing daerah, terdapat pula pemberontakanoleh petani yang didasari oleh kebencian petani akan beban pajak yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda, keyakinan akan Ratu Adil yang membebaskan penderitaan rakyat, serta kesewenangan dari bangsawan, pemerintah, dan tuan tanah. Dari dasar tersebut maka terciptalah pemberontakan petani Ciomas Bogor pada tahun 1886 yang dipimpin oleh Moh. Idris. Dilanjutkan dengan pemberontakan Sasak Samin di Blora Jawa Tengah yang menolak pemungutan pajak. Entong Gendut yang mengadakan pemberintakan petani di Condet pada tahun 1916, dan Kaiin yang memimpin petani menyerang tuan tanah di Tangerang pada tahun 1924. Dari seluruh pemberontakan tersebut tak ada yang sepenuhnya berhasil mengalahkan Belanda karena perjuangan yang masih bersifat kedaerahan sehingga akan kalah dengan perlawanan Belanda yang kuat akan senjata dan banyaknya tentara. 1.1.3 Bangsa Inggris di Indonesia
Penjajahan Inggris atas Indonesia tidak berlangsung lama dan
terjadi ditengah masa kolonial Belanda. Perpindahan kekuasaan dari Belanda kepada Inggris diawali dengan kalahnya Belanda dalam Perang Koalisi I menghadapi Napoleon dan akhirnya Belanda dikuasai oleh Napoleon dengan membentuk negara boneka. Negara Boneka ini dinamakan sebagai Republik Batavia yang akhirnya mebubarkan VOC dan memilih Dendels sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan berbagai kebijakan baru seperti pembagian jawa ke dalam sebilan daerah, kerja rodi, pembuatan jalan Anyer-Panarukan, serta Tanam Paksa. Pada masa pemerintahan Daendels pula terdapat tanah partikelir yang merupakan tanah rakyat yang dijual pada pengusaha swasta asing. Pada tahun 1811 terjadilah pertempuran antara Inggris dan Belanda di Jawa Tengah atas keinginan sama-sama ingin berkuasa di daerah tersebut. Pasukan Belanda terdesak di Tuntang dan akhirnya Belanda menyerah serta menandatangani Perjanjian Tuntang yang dimana didalamnya memuat seluruh kekuasaan termasuk tantara Belanda secara resmi diambil alih oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1811 Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagi Gubernur Jawa dengan kebijakan menghapus kerja rodi, mengganti corak pemerintahan pribumi menajadi bercorak barat dengan tujuan menghapus feodalisme dan tanah jabatan, penghapusan kepemilikan tanah pribadi sehingga semua tanah milik inggis dan rakyat harus membayar sewa, serta membagi Jawa atas 16 karesidenan. Sistem sewa tanah mengalami kegagalan karena kuatnya feodalisme di Jawa dan masyarakat pada saat itu belum terlalu mmengenal uang. Raffles menjalankan politik pembatasan kekuasaan bupati dimana para bupati diberi fungsi sebagi pengawas polisi distrik, dilarang melakukan perdagangan, tanah lingkungan bagi bupati dihapuskan, dan pegawai bupati diberi gaji berupa uang. Pada tahun 1812 Raffle mengganti Sultan Hamengkubuwono II dengan Hamengkubuwono III yang dimana Hamengkubuwono II diasingkan ke Padang. Pada tahun 1812 pula Raffles berhasil menguasai Palembang dan Belitung. Tahun berikutnya Raffles menghapuskan kesultanan Banten dan Sultan Banten akan diberikan uang pension dari Inggris. Raffles pun digantikan oleh John Fendall di tahun 1814 dan berhasil menyerang Kerajaan Bone. Kekalahan Napoleon dalam Perang Eropa di Leipzig pada April 1814 memengaruhi politik di tanah jajahan, termasuk Indonesia. Implikasi dari kekalahan itu adalah terjadinya perjanjian antara Inggris dan Belanda atau yang dikenal dengan Perjanjian London yang berisi bahwa Inggris harus menyerahkan Maluku kepada Belanda. Pada tahun 1815 lahir pula konvensi Wina yang menyatakan bahwa Inggris harus menyerahkan tanah Jawa kepada Belanda dan pada akhirnya seluruh wilayah kekuasaan Inggris di Indonesia kembali ke tangan Belanda. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia yang dimana perjuangan yang dilakukan rakyat Indonesia tidaklah banyak dan berpengaruh terhadap kependudukan Inggris di Indonesia karena sistem perjuangan kedaerahan yang masih kental sehingga sulit untuk menyelesaikan penjajahan dengan skala besar.