Anda di halaman 1dari 8

Manajemen Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia

Ronny H. Mustamu
Fakultas Ekonomi, Universitas Kristen Petra, Surabaya
E-mail: mustamu@peter.petra.ac.id

ABSTRAK
Manajemen Rantai Pasokan (MRP) memainkan peran penting dalam industri farmasi, terutama di Indonesia di mana
lebih dari 90 prosen bahan baku industri farmasi adalah bahan impor. Di dunia, industri farmasi Indonesia dikenal sangat
mahal. Pemerintah Republik Indonesia (RI) sulit mengendalikan industri farmasi akibat kompleksitas yang dimilikinya.
Terlalu banyak pemain yang memiliki kepentingan dalam industri ini. Kelompok industri pendukung yang sedang tumbuh
juga mewarnai persaingan antar pemain yang ada. Artikel ini bersifat kajian pustaka dan diperkaya dengan data sekunder
sebagai kelanjutan karya Mustamu (2000). Dimaksudkan untuk menggambarkan industri farmasi Indonesia dari perspektif
MRP. 120 hari waktu perlaluan (throughput time) dalam industri ini serta tingginya prosentase keuntungan, menjadikan
industri ini sangat atraktif bagi para produsen farmasi ilegal. Lebih buruk lagi, produsen farmasi ilegal yang meniru produk
perusahaan farmasi legal ternyata juga membangun jaringan distribusi sendiri di dalam pasar. Pada gilirannya, pengguna
akhir yang tidak menyadari hal tersebut menjadi korban dari permainan ini.

Kata kunci: manajemen rantai pasokan, farmasi, Indonesia.

ABSTRACT

Supply Chain Management (SCM) plays a very important role in the pharmaceutical industry, especially in Indonesia,
where more than 90 percent of raw materials for pharmaceutical industry are actually imported. It is known that Indonesia’s
pharmaceutical industry is very expensive. Government of Indonesia (GOI) is hardly managed the pharmaceutical industry
due to its complexity. Too many players put its stakes in this industry. The growing industry clusters are also coloring the
competition amongst existing players. This article is a literature review and enriched with secondary data to continue the
work of Mustamu (2000). Meant to describe Indonesia’s pharmaceutical industry from the perspective of supply chain
management. The 120 days throughput time within the industry and the high margins make this industry very attractive for
illegal pharmaceutical producers. To make it worse, the illegal pharmaceutical producers that copying products of legal
pharmaceutical companies are also developing its distribution channels in the market. At the end, the unaware end-users are
becoming victims of the game.
Keywords: supply chain management, pharmaceutical, Indonesia.

PENDAHULUAN yang murah, telah memunculkan peluang bisnis bagi


para produsen obat ilegal. Perbedaan margin yang
Keresahan Pemerintah Indonesia terhadap me- terlalu tinggi menyebabkan muncul peluang untuk
ningkatnya harga-harga produk farmasi di Indonesia menghadirkan produk substitusi (bahkan palsu)
(Kompas dan Jawa Pos, 2007) patut disambut sebagai dengan harga ‘njomplang’ (murah).
sebuah sinyal positif. Industri farmasi Indonesia telah Keengganan industri farmasi untuk menata diri
menggurita sehingga gagal menghasilkan produk agar lebih ‘langsing’, gesit dan murah; disertai dengan
farmasi yang murah namun berkualitas tinggi. Niat ancaman hadirnya produsen ilegal telah menyebab-
pemerintah Indonesia, melalui Menteri Kesehatan, kan industri farmasi di Indonesia bagaikan sedang
untuk menurunkan harga obat (generik) akan selalu diopname. Gagasan self-dispensing medication yang
mengalami kesulitan. Hal ini akan berjalan terus beberapa kali dimunculkan akan selalu kandas, justru
sepanjang struktur industri farmasi di Indonesia tidak akibat tekanan para pelaku industri farmasi itu sendiri.
mengalami reformasi. Fenomena ini juga tidak jarang Bahkan desain pemerintah atas tata kelola rantai
diperparah oleh inkonsistensi yang dilakukan pasokan industri farmasi telah memberi ruang yang
Pemerintah Republik Indonesia sendiri akibat tarik- sangat besar bagi hadirnya Pedagang Besar Farmasi
menarik kepentingan di dalamnya. (PBF), sehingga rantai pasokan menjadi lebih
Pada sisi lain, kegagalan pemerintah dan industri panjang.
farmasi untuk menghadirkan harga produk farmasi

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra


http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
99
100 JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.9, NO. 2, SEPTEMBER 2007: 99-106

Carin Isabel Knoop (1998) benar ketika pasar obat di Indonesia sarat dengan ketidakpastian
mengungkap bahwa industri farmasi di Indonesia dan pemalsuan produk, namun para pemain asing
sarat kepentingan dan tidak efisien. Tidakadanya sangat berminat untuk bekerja di Indonesia. 31
kesatuan makna tentang proses efisiensi dalam jalur pabrikan farmasi asing di Indonesia telah menguasai
Manajemen Rantai Pasokan (MRP) industri farmasi, sekitar 50 prosen pasar produk farmasi nasional.
telah menjadikannya semakin sulit untuk bergerak ke
arah yang lebih baik. Perbedaan paradigma dan
praktik bisnis dengan dalih efisiensi operasi Singapura 58.5

perusahaan, ternyata menyebabkan beban yang lebih


Malaysia 15.8
besar bagi konsumen obat (end-users). Hilangnya
produk-produk obat generik dengan harga paket Vietnam 5.4
“Seribu Rupiah” yang diluncurkan Menteri
Kesehatan beberapa waktu lalu merupakan bukti Thailand 16.2
nyata betapa ‘ganas’ permainan yang bersifat
destruktif terhadap gagasan menghadirkan obat Filipina 14.1
murah dan berkualitas bagi rakyat. Semangat
perusahaan untuk menjadi pemimpin pasar tidak Indonesia 7.2

jarang malah menjauhkan misi awal berdirinya


sebuah industri farmasi. Sumber: IMS 2004, terdapat dalam [http://bisnisfarmasi.
Merujuk pada pengalaman Indonesia yang wordpress.com/2007/04/]
seringkali serba pahit, kini adalah saat yang sangat Grafik 1. Konsumsi Obat Per Kapita di Kawasan
tepat untuk mengupas betapa pendekatan MRP ASEAN 2004 (USD)
sesungguhnya dapat menghadirkan perubahan ke
arah lebih baik. Pendekatan MRP memberi peluang
hadirnya produk farmasi dengan harga lebih murah
melalui efisiensi proses dan jalur kerja industri Singapura 269
farmasi tanpa mengganggu performa bisnis para
pemain (besar) industri farmasi. Malaysia 374
Besarnya populasi penduduk Indonesia disertai
Vietnam 441
rendahnya daya beli mereka, seringkali menyebabkan
persoalan kesehatan (healthcare) tidak menjadi Thailand 1,040
prioritas utama. Himpitan ekonomi mendorong pola
konsumsi produk farmasi yang rendah, karena Filipina 1,195
cenderung memanfaatkan pilihan produk kesehatan
alternatif seperti jamu dan ramuan China. Indonesia 1,705

INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA Sumber: IMS 2004, terdapat dalam [http://bisnisfarmasi.Wordp-


ress.com/2007/04/]
Ronny H. Mustamu (2000) mengungkap bahwa
Grafik 2. Pasar Farmasi di Kawasan ASEAN
ketidakstabilan ekonomi-politik yang berdampak
2003 (juta USD)
pada melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap valuta
asing akan secara langsung berdampak pada industri
farmasi di Indonesia. Fakta bahwa lebih dari 90
23.00
prosen bahan baku berasal dari negara lain, sangatlah 20.22
menempatkan industri ini pada posisi rentan pada 17.76
ketidakstabilan ekonomi-politik tersebut. Seiring 15.65
dengan melemahnya daya beli masyarakat, maka 12.65
beragam bentuk obat alternatif seperti jamu dan 9.94
7.53
ramuan China sangat mempengaruhi pertumbuhan 4.96
pasar industri farmasi Indonesia. 3.82
Pertumbuhan konsumsi obat per kapita di
Indonesia sesungguhnya masih kurang menggem-
birakan nilainya (Grafik 1). Namun demikian, besar- 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005*
nya potensi volume pasar dalam negeri Indonesia Sumber: [http://bisnisfarmasi.wordpress.com/2007/04/]
(dengan lebih dari 235 juta penduduk), memberikan
potensi keuntungan yang menjanjikan bagi para Grafik 3. Penjualan Industri Farmasi di Indonesia
pemain asing (Grafik 2). Oleh karenanya, meskipun (IDR triliun)

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra


http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
Mustamu: Manajemen Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia 101

Gambaran pasar di atas ternyata belum disambut antara produsen farmasi tersebut adalah Badan Usaha
dengan sebuah proses untuk menjadi lebih efisien Milik Negara (BUMN), 31 Penanaman Modal Asing
dalam industri farmasi. Pengelolaan saluran distribusi (PMA) dan sisanya adalah perusahaan Penanaman
(distribution channel) dalam industri farmasi di Modal Dalam Negeri (PMDN). Sampai dengan tahun
Indonesia ternyata lebih mengarah pada model 2004, 31 pabrikan PMA tersebut menguasai 50
Concentration. Model ini memberikan peluang bagi prosen pasar produk farmasi nasional. Di sisi lain,
produsen farmasi untuk mengurangi jumlah transaksi distributor (Pedagang Besar Farmasi, PBF) berkem-
secara signifikan (Bowersox dan Closs, 1996). Desain bang sangat pesat hingga mencapai jumlah 2.250
Pemerintah Republik Indonesia atas hadirnya Peda- perusahaan. Sedangkan peritel dalam rantai pasokan
gang Besar Farmasi (PBF) memungkinkan produsen ini adalah apotek yang berjumlah 5.695 dan 5.513
farmasi untuk menghindarkan diri dari risiko besar- toko obat, besar dan kecil (http://bisnisfarmasi.
nya jumlah akun transaksi dengan peritel secara wordpress.com/category/pangsa-pasar/).
langsung. Gambar 1 mungkin dapat secara sederhana Data di atas jelas menunjukkan betapa industri
memberikan gambaran bagaimana para produsen farmasi di Indonesia sangat tidak efisien. Rasio pabrik
farmasi lebih terpesona pada kinerja PBF daripada obat dibanding PBF mencapai 1 : 11,36 dan rasio
mengelola hubungan langsung dengan peritel farmasi. PBF dibanding apotek sebesar 1 : 2,53 serta rasio
Sayangnya, model yang oleh para produsen farmasi PBF berbanding apotek dan toko obat sebesar 1: 4,98.
dianggap sebagai lebih efisien dan lebih baik tersebut, Dalam konteks ini, tentu tidaklah mudah untuk
ternyata memberikan beban biaya tambahan kepada mengelola peningkatan efisiensi dan pengamanan
konsumen hingga mencapai 16 prosen sampai 30 para pemain dari risiko bisnis yang ditimbulkan
prosen, bergantung pada panjangnya mata rantai industri ini. Kondisi ini diperparah dengan pilihan
dalam saluran distribusi tersebut. produsen farmasi untuk melakukan integrasi vertikal
dibandingkan dengan upaya untuk mengefisienkan
Manufacturers Retailers proses melalui pengelolaan MRP. Bertambah-
banyaknya PBF yang memiliki hubungan khusus
(afiliasi) dengan pabrik obat pada gilirannya akan
kontraproduktif mengingat masih banyaknya pa-
brikan yang belum berhasil mengembalikan performa
bisnisnya sejak krisis ekonomi sepuluh tahun lalu.
Tabel 1. Proyeksi Pasar Farmasi dan Konsumsi
Per Kapita 2004 – 2008
Tahun Nilai Estimasi Estimasi Konsumsi
Pasar * Rerata Populasi Per
(IDR Pertumbuhan (juta) Kapita
Manufacturers Wholesaler Retailers
triliun) (%) (USD)
2004 19.93 15 223.1 9.92
2005 22.92 15 226.2 11.26
2006 26.59 16 229.4 12.88
2007 31.37 18 232.6 14.98
2008 37.02 18 235.9 17.44
*) Dihitung berdasarkan harga konsumen.
Sumber: Data Consult, terdapat dalam [http://bisnisfarmasi.wor
dpress.com/2007/04/]

Berdasarkan pemaparan di atas, maka pertanyaan


strategis yang perlu dijawab adalah: apakah mungkin
Sumber: Bowersox dan Closs, 1996. untuk memanfaatkan ilmu supply chain management
Gambar 1. Prinsip Transaksi Total Minimum (manajemen rantai pasokan) dalam upaya memper-
kuat industri farmasi sekaligus mengurangi peluang
Dampak nyata dari berkembangnya model terjadinya pemalsuan obat di Indonesia?
Concentration tersebut adalah munculnya ketim-
pangan rasio antara jumlah pabrik farmasi (obat) dan PEMBAHASAN KONSEPTUAL
distributor obat. Pabrik farmasi di Indonesia sampai
dengan tahun 2003 mencapai 198 buah perusahaan. Manajemen Rantai Pasokan
Dari jumlah tersebut, 60 pabrik (30 prosen) me-
nguasai 80 prosen pasar dari total nilai industri Martin Christopher (1998) mendefinisikan
sebesar Rp 20 triliun pada tahun 2004. Empat di bahwa Manajemen Rantai Pasokan (MRP) adalah

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra


http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
102 JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.9, NO. 2, SEPTEMBER 2007: 99-106

jaringan organisasi-organisasi yang terlibat dalam dalikan proses bisnisnya sedemikian rupa, sehingga
sebuah bisnis, melalui keterkaitan hulu dan hilir, menghasilkan bisnis yang sanggup bergerak cepat
dalam proses dan aktivitas yang berbeda guna dan ‘langsing’, namun pada saat yang sama tetap
menghasilkan nilai berupa produk dan jasa ke tangan menjejakkan kakinya di bumi. Ujung akhir dari dari
konsumen utama. Sedangkan motif di balik penga- pengggabungan kedua konsep tersebut, menurut
turan MRP tersebut sesungguhnya adalah upaya Sodhi, adalah keunggulan kompetitif jangka panjang.
untuk meningkatkan daya saing saluran distribusi Mengelola MRP bukanlah tanpa risiko. Sunil
perusahaan tersebut (Bowersox dan Closs, 1996). Chopra dan ManMohan S. Sodhi (2004) mengung-
MRP juga dimaknai sebagai serangkaian keter- kap perlunya mengelola risiko untuk menghindari
kaitan antara pemasok dan pembeli barang dan jasa. kegagalan MRP. Chopra dan Sodhi menyarankan dua
Sebuah MRP yang lengkap melibatkan seluruh proses hal penting dalam upaya menyusun strategi meng-
yang bermula dari aktivitas menghasilkan bahan baku hadapi risiko MRP, yaitu: Pertama, menciptakan
hingga penyajiannya pada pengguna akhir (end-users) pemahaman menyeluruhan dalam tubuh organisasi
dari produk barang atau jasa yang dihasilkan tersebut tentang risiko supply-chain. Kedua adalah menetap-
(Young, 2000). MRP tidak hanya meliputi aliran kan bagaimana cara beradaptasi dengan pendekatan
fisik, tetapi juga aliran informasi sepanjang saluran yang akan diterapkan untuk meghadapi risiko
rantai pasokan tersebut. tersebut. Hal yang pertama dilakukan dengan menye-
Pada sisi lain, MRP tidaklah sama dengan lenggarakan stress testing dan hal kedua didekati
integrasi vertikal yang terdapat dalam berbagai kajian dengan tailoring, yaitu mendesain pendekatan agar
tentang menajemen strategik. Integrasi vertikal sesuai dengan kondisi organisasi.
ditujukan untuk meningkatkan pengaruh baik ke hulu
maupun ke hilir dalam bentuk kepemilikan saham Memendekkan Rantai Pasokan
perusahaan (David, 1998). Dengan demikian, maka
perusahaan yang melakukan integrasi vertikal Dalam konteks industri farmasi, proses sepanjang
memiliki jaminan yang cukup bagi kepentingan rantai pasokan bersifat sangat dinamis. Oleh
pengamanan proses dari hulu hingga ke hilir yang karenanya, kontrol terhadap seluruh saluran rantai
didesainnya (Hunger dan Wheelen, 1996). Sedangkan pasokan tersebut menjadi jauh lebih sulit dibanding
MRP lebih mengarah pada upaya untuk melakukan industri manufaktur lainnya (Kiely, 2004). Semakin
sinergi agar setiap organisasi yang berada dalam panjang dan dinamis rantai pasokan tersebut, maka
saluran rantai pasokan rela berbagi informasi dan aktivitas forecasting dan demand planning menjadi
upaya sehingga risiko bisnis dapat diminimalisir sangat penting. Panjangnya rantai pasokan industri
(Bowersox dan Closs, 1996). farmasi di Indonesia digambarkan secara tepat oleh
Laura Rock Kopczak dan M. Eric Johnson Carin Isabel Knoop (1998) sebagaimana dalam
(2003) mengungkap bahwa MRP menyebabkan Gambar 2. Mustamu (2000) mengungkap bahwa
hadirnya enam perubahan besar dalam fokus bisnis. pada “potongan” rantai distribusi, PBF berpotensi
Keenam perubahan tersebut memaksa pendefinisian menarik margin sebesar 16 prosen, sub distributor dan
kembali pandangan ilmu manajemen terhadap wholesaler masing-masing antara 15 prosen hingga
paradigma bisnis dari sudut pandang MRP 16 prosen dan peritel bergerak antara 20 prosen
perusahaan. Bahkan Vesela Veleva, Maureen Hart, hingga 35 prosen. Tentu, panjangnya rantai pasokan
Tim Greiner dan Cathy Crumbley (2003) mengung- ini sangat membebani konsumen dengan tingginya
kap arti penting pengukuran aktivitas perusahaan harga jual produk farmasi.
sepanjang rantai pasokan untuk mendorong keber- Upaya untuk menjadikan rantai pasokan pada
lanjutan lingkungan hidup. Veleva et al. melihat sebuah industri menjadi lebih efektif selalu menjadi
pentingnya perhatian terhadap keberlanjutan ling- kajian para peneliti MRP. Cigolini, Cozzi, Perona
kungan hidup sebagai bagian dari masa depan (2004) berusaha untuk menghadirkan strategi MRP
perusahaan itu sendiri. Sementara itu, ManMohan S. yang lebih membumi melalui penyusunan Demand-
Sodhi (2003) menjelaskan pentingnya menyatukan Supply Matrix (DSM) yang memungkinkan untuk
MRP dengan perencanaan strategik (strategic tidak hanya mengukur kinerja operasi rantai pasokan,
planning). Formulasi strategi melalui perencanaan tetapi juga pengukuran dari sisi akuntasi biayanya.
skenario biasa disusun demi menghadirkan nilai yang Dalam upaya memudahkan pengenalan rantai
tinggi bagi pemegang saham (shareholders), semen- pasokan dalam sebuah industri, Harland, Lamming,
tara MRP dihadirkan untuk mengoptimumkan model Zheng dan Johnsen (2001) berusaha menyusun
dalam rangka mengurangi biaya. Perpaduan kedua- taksonomi jaringan pasokan yang membagi jenis
nya memungkinkan perusahaan untuk dapat mengen- jaringan pasokan ke dalam empat klasifikasi ber-

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra


http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
Mustamu: Manajemen Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia 103

dasarkan derajat dinamika jaringan pasokan dan dalam bentuk kerusakan akibat proses perpindahan
derajat pengaruh perusahaan utama dalam jaringan antarsarana transportasi dan antargudang, maupun
pasokan. akibat kesalahan proses pengelolaan ruang penyim-
Mata rantai pasokan yang terlalu panjang panan (gudang). Tidak jarang, proses pengkerutan
menyebabkan banyak kerugian. Waktu perlaluan (shringkage) ini juga diperparah oleh rawannya jalur
(throughput time) yang semakin panjang, menyebab- transportasi/distribusi akibat kejahatan (pencurian)
kan berkurangnya peluang produk untuk lebih cepat jalan raya.
diserap konsumen. Pada sisi lain, lambatnya proses Mencermati fenomena tersebut di atas, tidak
penyerapan produk oleh konsumen memunculkan banyak yang dapat dilakukan, kecuali meningkatkan
risiko kerusakan produk (waste) akibat keterbatasan upaya untuk memendekkan rantai pasokan. Dalam
waktu daluwarsa (expiry date). Mustamu (2000) konteks inilah pendekatan MRP menjadi sangat
mengungkap bahwa industri farmasi di Indonesia
penting. Dalam konteks di Indonesia, MRP diharap-
membutuhkan 120 hari untuk satu kali waktu
kan sanggup menurunkan waktu perlaluan dari 120
perlaluan. Dari waktu tersebut, 60 hari untuk produksi
dan 60 hari untuk transportasi. Tentu hal ini hari (Gambar 3) menjadi lebih pendek. Jika memung-
membawa risiko bahwa setiap pergeseran faktor kinkan, penghapusan salah satu mata rantai pasokan
penetapan harga di antara tenggang waktu 120 hari (sub-distributor) akan sangat bermanfaat, karena
tersebut akan sulit diakomodasi oleh para pelaku sanggup menurunkan biaya setidaknya 15 prosen
bisnis. Dapat dikatakan, harga produk farmasi (obat) hingga 16 prosen.
pada hari ini sesungguhnya telah ditentukan 120 hari Breen dan Crawford (2005) melihat bahwa
yang lalu. Tingginya prosentase bahan baku impor pemanfaatan teknologi informasi memberikan warna
(lebih dari 90 prosen) dalam industri farmasi di sangat positif bagi pengelolaan MRP. Efisiensi yang
Indonesia menyebabkan industri ini sangat rentan ditumbuhkan oleh kinerja teknologi informasi
terhadap setiap pergeseran nilai tukar Rupiah terhadap memungkinkan pengelolaan berdasarkan real time
valuta asing, terutama Dolar Amerika Serikat (USD). data. Proses Electronic Data Interchange (EDI)
Faktor kerugian kedua akibat panjangnya mata memberi peluang pengelolaan MRP hingga outlet
rantai pasokan adalah munculnya kerusakan barang terkecil melalui pemanfaatan internet (e-commerce).
akibat kesalahan penanganan (mishandling), baik Dalam konteks di Indonesia, temuan Breen dan

INPUT MANUFACTURING DISTRIBUTION RETAIL CONSUMPTION

Raw materials Local production: 10 % VAT Pharmacies


90 % imported • State-owned
competitors Distributors Hospitals
• Local private
producers Drug stores Consumers
• Foreign
producers Sub-distributors
Doctors
• Joint Venture and wholesalers
Peddlers,
Formulations: general stores,
Largely licensed other channels
for foreign
company Overseas production 25 % imported duties

Sumber: Knoop, 1998.


Gambar 2. Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia

16 % 15 % 15% - 16% 20% - 35%


Bahan Pabrikan PBF Sub- Peritel Konsumen
Baku Farmasi distributor

60 hari 60 hari
Sumber: Olahan penulis.
Gambar 3. Alur Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia
Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
104 JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.9, NO. 2, SEPTEMBER 2007: 99-106

Crawford ini tentu berpeluang untuk memendekkan meningkatkan kualitas industri dan menguntungkan
panjangnya rantai pasokan industri farmasi. Konsep pasar atau konsumen (Brooks dan Weatherston,
ini sesungguhnya tidak hanya menghemat waktu, 1997). Dalam konteks industri farmasi, pengalaman
namun juga secara signifikan menghemat biaya beberapa negara bahkan memungkinkan pemotongan
akibat meningkatnya kecepatan dan akurasi serta proses bisnis dari pabrikan farmasi langsung menuju
menurunnya jumlah aktivitas kerja yang dibutuhkan. peritel. Di beberapa negara (Jepang, Malaysia dan
Hal ini searah dengan Richard Pibernik (2006) yang Singapura) juga dimungkinkan adanya praktik self-
mengungkap bahwa sistem persediaan (stock systems) dispensing (tanpa melalui apotek) yang dilakukan
dapat didesain dengan lebih efisien. Keamanannya oleh dokter, sehingga memberikan peluang hadirnya
pun dapat dikelola melalui pengintegrasian demand biaya obat yang lebih rendah akibat pemotongan mata
dan supply (Talluri, Cetin dan Gardner, 2004). rantai pasokan yang membebani konsumen.
Bahkan pemanfaatan teknologi informasi untuk Jika optimistis, maka waktu perlaluan dari 120
penguatan proses bisnis dapat diarahkan pula pada hari tidak saja dapat ditekan menjadi 80 hari, namun
pengalokasian perhatian yang lebih banyak untuk sangat memungkinkan untuk menuju ke arah 60 hari.
mengenali konsumen dan memberikan layanan Pemanfaatan perencanaan antara demand dan supply
terbaik yang dibutuhkan. Pendekatan seperti ini akan dalam MRP memungkinkan desain produksi dan
memberikan peluang cukup besar bagi upaya transportasi produk farmasi secara Just-in-Time (JIT).
menjaga dan memelihara pelanggan (Schofield dan Meskipun industri farmasi seringkali tidak memberi-
Breen, 2006). Dalam konteks industri farmasi, kan banyak pilihan kepada para konsumen (akibat
pemanfaatan EDI memungkinkan perusahaan untuk keterpaksaan untuk mengkonsumsi produk farmasi
memberikan layanan “seakan-akan” personal, karena jenis tertentu untuk kesembuhannya), peluang-
proses data elektronik yang memungkinkan hadirnya peluang perbaikan MRP dapat mengarah pada
proses bersifat “taylor-made”. peningkatan nilai (value) yang diterima oleh kon-
sumen. Dalam konsep ini, konsumen akan memiliki
16 % 15 % 20% - 35% peluang yang lebih tinggi untuk setia, sehingga para
Bahan Pabrikan PBF Peritel Konsumen pemain industri farmasi pun akan memperoleh
Baku Farmasi keuntungan yang lebih berlanjut (Best, 2004).

40 hari 40 hari
KESIMPULAN
Sumber: Proyeksi olahan penulis
Industri layanan kesehatan, termasuk industri
Gambar 4. Alur Rantai Pasokan Industri Farmasi farmasi, memang memiliki dinamika yang sangat
di Indonesia (Dipendekkan) tinggi. Pergeseran persepsi pasar menjadi sangat
mengedepan dalam proses perencanaannya. Oleh
Dengan upaya sungguh-sungguh untuk memper- karenanya, para pemain industri farmasi mesti
baiki diri serta pemanfaatan teknologi informasi memiliki daya tahan yang tinggi, terutama dalam
dalam proses bisnis sepanjang alur rantai pasokan, menghadapi beragam ketidakpastian yang mewarnai
maka industri farmasi di Indonesia dapat memper- industri ini. Bahkan Joe Flower (2005) dengan tegas
pendek waktu perlaluan hingga menjadi 80 hari. Pada mengatakan bahwa tidak ada peta yang tersedia untuk
saat yang sama, proses EDI dan penguatan e- masa depan industri kesehatan (healthcare). Para
commerce memungkinkan mata rantai pasokan “sub pemain harus secara terus-menerus menggambarnya
distributor” dapat ditiadakan, sehingga terjadi peng- ulang seiring dengan perubahan yang mewarnainya.
hematan antara 15 prosen hingga 16 prosen yang Dalam industri yang padat modal dan padat
biasanya diserap oleh mata rantai sub distributor teknologi ini, industri farmasi harus selalu tumbuh.
(Gambar 4). Setidaknya berani menentang stabilitas dan ke-
Dalam skala nasional, penghematan 15 prosen mapanan dalam diri perusahaan itu sendiri agar
tentu memberikan dampak signifikan bagi pertum- muncul gagasan-gagasan baru yang lebih baik.
buhan industri farmasi. Pada saat yang sama, hal ini Potensi pasar Indonesia yang cukup besar, sesung-
akan memberikan semangat bagi hadirnya peru- guhnya memberikan harapan akan tingginya volume
bahan-perubahan lain menuju arah lebih baik. penjualan produk farmasi. Namun, konsumsi per
Tekanan antar pemain dalam industri akibat ke- kapita yang tidak tinggi merujuk pada rendahnya
inginan untuk menjadi lebih efisien akan memberikan daya beli konsumen di Indonesia. Oleh karena itu,
energi positif bagi perbaikan struktur industri secara jika saja muncul industri farmasi yang sanggup hadir
fundamental. Iklim kompetisi yang baik justru akan dengan operasi “super” efisien, maka dapat dipastikan

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra


http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
Mustamu: Manajemen Rantai Pasokan Industri Farmasi di Indonesia 105

bahwa konsumsi produk farmasi di Indonesia akan kontribusi yang sangat signifikan; terutama dalam
meningkat tajam. Pergeseran perilaku konsumen penataan industri farmasi dan produk yang dihasil-
untuk selalu beralih pada produk kelas dua ketika kannya.
daya beli rendah dapat segera digeser dengan cara
menghadirkan produk kelas satu dengan harga jual DAFTAR PUSTAKA
murah. Hal ini tentu baik bagi kesehatan bangsa
Indonesia. Best, Roger J. 2004. Market-Based Management:
Pada titik ini MRP perlu didorong keras untuk strategies for growing customer value and
menghadirkan industri farmasi yang sanggup profitability. Upper Saddle River, NJ: Prentice
mempersingkat lead time, sehingga biaya yang Hall.
ditimbulkan pun akan lebih murah. Dengan kemam- Bowersox, Donald J. dan David J. Closs. 1996.
puan memaksimalkan MRP, termasuk membangun Logistical Management: the integrated supply
Demand-Supply Matrix (Cigolini, Cozzi dan Perona, chain process. International Edition. Singa-
2004), diharapkan sanggup menghadirkan industri pore: McGraw-Hill.
farmasi yang lebih gesit dan efisien.
Panjangnya rantai pasokan yang berdampak pada Breen, Liz dan Helen Crawford. 2005. “Improving
tingginya harga produk farmasi, bagaimanapun juga the Pharmaceutical Supply Chain: assessing
akan dibaca oleh para “petualang” industri farmasi the reality of e-quality through e-commerce
dengan memproduksi obat palsu. Yang dimaksud application in hospital pharmacy”. Inte-
dengan obat palsu adalah obat yang diproduksi tanpa rnational Journal of Quality & Reliability
Management. Vol. 22, No. 6, pp. 572 – 290.
lisensi dari pemegang hak patennya, obat yang
diproduksi tanpa mengikuti standar komposisi bahan Brooks, Ian dan Jamie Weatherston. 1997. The
sebagaimana harusnya dan obat kadaluwarsa yang Business Environment: challenges and
dikemas ulang sehingga tampak baru. Besarnya jarak changes. London: Prentice Hall.
(margin spread) antara harga produk farmasi asli dan
obat palsu sangat memungkinkan para konsumen Chopra, Sunil dan ManMohan S. Sodhi. 2004.
“Managing Risk to Avoid Supply-Chain
yang tidak sadar (atau mengalami tekanan ekonomi)
Breakdown”. MIT Sloan Management Review.
untuk mengkonsumsinya. Tentu, selain berisiko
Fall, Vol. 46, No. 1, pp. 53 – 61.
terhadap hilangnya potensi pajak bagi pemerintah,
praktik ini sangat berisiko terhadap keamanan dan Christopher, Martin. 1998. Logistics and Supply
keselamatan konsumen produk tersebut. Chain Management: strategies for reducing
Pada titik ini dapat dikatakan bahwa sepanjang cost and improving service. Second Edition.
harga produk farmasi masih tinggi (disertai dengan London: Financial Times – Prentice Hall.
rendahnya kinerja aparat penegak hukum), maka obat
Cigolini, R., M. Cozzi dan M. Perona. 2004. “A New
palsu akan selalu mewarnai industri farmasi di Framework for Supply Chain Management:
Indonesia. conceptual model and empirical test”.
Mengingat waktu perlaluan tercatat 120 hari, International Journal of Operations &
maka industri farmasi di Indonesia akan selalu Production Management. Vol. 24, No. 1, pp. 7
cenderung menetapkan harga produk farmasi sejak – 41.
120 hari sebelum produk akhir tersebut sampai ke
tangan konsumen (end-users). Kondisi ini sesungguh- David, Fred R. 1998. Strategic Management. Singa-
nya diperburuk dengan realita bahwa lebih dari 90 pore: Prentice-Hall International.
prosen bahan baku industri farmasi Indonesia adalah Flower, Joe. 2005. “Mapping the Future of Health
produk impor. Berarti industri farmasi Indonesia Care”. The Physician Executive. Jan/Feb, Vol.
sangat rentan terhadap pergeseran nilai tukar Rupiah 31, No. 1, pp. 60 – 62.
terhadap valuta asing. Sayangnya, stabilitas nilai tukar
Rupiah cenderung dipengaruhi oleh kinerja sosial Harland, Christine M., Richard C. Lamming, Jurong
politik, bukan oleh kinerja ekonomi (Mustamu, Zheng dan Thomas E. Johnsen. 2001. “A
2000). Taxonomy of Supply Networks”. Journal of
Oleh karenanya, tantangan terhadap industri Supply Chain Management. Fall, Vol. 37, No.
farmasi di Indonesia akan terus berlanjut. Sebagian 4, pp. 21 – 27.
adalah akibat performa industri farmasi itu sendiri. Hunger, J. David dan Thomas L. Wheelen. 1996.
Namun, kita pun wajib menyadari bahwa kinerja Strategic Management. Reading, MA: Addi-
Pemerintah Republik Indonesia juga memberikan son-Wesley Publishing Company.
Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
106 JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.9, NO. 2, SEPTEMBER 2007: 99-106

Kiely, Dan. 2004. “The State of Pharmaceutical Schofield, R.A dan Liz Breen. 2006. “Suppliers, Do
Industry Supply Planning and Demand You Know Your Customers?” International
Forecasting”. The Journal of Business Fore- Journal of Quality & Reliability Management.
casting Methods & Systems. Fall 2004, Vol. Vol. 3, No. 4, pp.
23, No. 3, pp. 20 – 22. Sodhi, ManMohan S. 2003. “How To Do Strategic
Knoop, Carin Isabel. 1998. Indonesia’s Pharmaceu- Supply-Chain Planning”. MIT Sloan Mana-
tical Industry in 1998. Boston: HBS. gement Review. Fall, Vol. 45, No. 1, pp. 69 –
75.
Kopczak, Laura Rock dan M. Eric Johnson. 2003. Talluri, Srinivas, Kemal Cetin dan A.J. Gardner.
“The Supply-Chain Management Effect”. MIT 2004. “Integrating Demand and Supply
Sloan Management Review. Spring, Vol. 44, Variability Into Safety Stock Evaluations”.
No. 3, pp. 27 – 34. International Journal of Physical Distribution
& Logistics Management. Vol 34, No. 1, pp.
Mustamu, Ronny H. 2000. “Mempersiapkan Ritel 62 – 69.
Farmasi Untuk Menghadapi Persaingan Masa
Depan”. Dimensi Manajemen dan Kewirau- Veleva, Vesela, Maureen Hart, Tim Greiner dan
sahaan. Maret, Vol. 2 , No. 1 . Cathy Crumbley. 2003. “Indicators for Mea-
suring Environmental Sustainability: a case
Pibernik, Richard. 2006. “Managing Stock-Outs study of the pharmaceutical industry”. Bench-
Effectively with Order Fulfillment Systems”. marking. Vol. 10, No. 2, pp. 107 – 119.
Journal of Manufacturing Technology Mana-
gement. Vol. 17, No. 6, pp. 721 – 736. Young, Richard R. 2006. “Managing Residual Dispo-
sition: achieving economy, environmental
Porter, Michael E. 1985. Competitive Advantage: responsibility, and competitive advantage using
creating and sustaining superior performance. the supply chain framework”. The Journal of
New York: The Free Press. Supply Chain Management. Winter, Vol. 26,
No. 1, pp. 57 – 66.

Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi – Universitas Kristen Petra


http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN

Anda mungkin juga menyukai