291-Article Text-700-1-10-20210723
291-Article Text-700-1-10-20210723
Jan-Jun 2021
Abstrak
Kata takwa sudah lumrah dalam kehidupan pendidikan, khususnya di
Indonesia. Takwa merupakan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Diserapnya kata takwa dari ajaran Islam menjadi bagian pendidikan
nasional perlu dikaji dari perspektif al-Quran dan Hadis, sehingga dapat secara
maksimal diterapkan dalam seluruh aktivitas pendidikan tersebut. Al-Qur’an
mengambil kata takwa sebanyak 259 kali dengan beragam derivasi dan makna.
Aspek kuantitas ini juga sebagai isyarat bahwa secara kualitas, takwa mesti
dipahami secara utuh. Baik dari sisi definisi, sumbernya dari al-Qur’an dan Hadis,
ragam perintah takwa dalam al-Qur’an, proses menuju takwa dan sifat orang yang
bertakwa serta impilkasinya dalam pendidikan. Memahami pendidikan takwa dan
implikasinya dalam pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi
ayat-ayat tentang takwa, membaginya berdasarkan tematik pembahasan dan
memahami isi kandungannya dari perspektif tafsir dan mencari hubungan dan
implikasinya dalam pendidikan.
A. Pendahuluan
Takwa merupakan salah satu tema penting yang dibicarakan al-Qur’an.
Banyaknya ayat yang membicarakan ketakwaan mesti dilihat secara utuh agar
diperoleh makna yang dalam dari maksud dan kandungannya. Sudah banyak
ulama tafsir melalui kitab-kitabnya berusaha menjelaskan ayat-ayat takwa
tersebut, namun secara umum mereka menguraikan secara tahlili.
Begitu juga penjelasan dari beberapa orang pakar al-Qur’an seperti Izutsu
Toshihiko dan Dawam Raharjo. Isutzu Toshihiko misalnya, seperti yang dikutip
oleh Irsyadunnas, ia mencoba membahas konsep takwa melalui konsep semantik
studi. Dia berspekulasi bahwa konsep takwa dimunculkan oleh al-Qur’an sebagai
gebrakan terhadap bangsa Arab agar mereka menurunkan rasa takaburnya yang
berlebihan, sehingga ia berkesimpulan bahwa pengertian takwa mengandung
1
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
suasana takut yang merupakan batin agama yang paling mendasar dari
keseluruhan sistem etika dalam al-Qur’an.1
Hal yang sama dilakukan oleh Dawam Raharjo yang mengangkat dan
membicarakan persoalan takwa dalam satu topik khusus, namun penjelasannya
lebih bersifat umum. Penjelasan di atas masih bersifat belum spesifik dalam kajian
khusus tentang takwa.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga cara yaitu Pertama; menghitung dan
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan takwa berdasarkan
klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an, kedua, mengelompokkan dan memberi makna
berdasarkan tema, kemudian mengambil inti sari (essensi) makna takwa. Ketiga;
menjelaskan hubungan makna takwa yang dimaksud dalam al-Qur’an dengan
yang menjadi prinsip dasar atau hakekat pendidikan.
3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
2004), h. 735.
4
Muhammad Fuad Abdul al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
1945), h. 758-761
5
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-masyriq, ttt), h. 915
2
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Namun demikian ragam arti tersebut masih tetap mengacu pada satu makna, yaitu
antisipasi diri terhadap dunia luar. Al-Raghib al-Alfahani, dalam bukunya Mu’jam
Muradat Alfaz al-Qur’an, menjelaskan bahwa kalimat takwa mengandung arti
memelihara diri dari hal-hal yang akan membawa kepada kemudharatan6.
Muhammad Abduh, dalam kitab Tafsir al-Manar, juga menyatakan bahwa
kalimat takwa, secara etimologi, dapat diartikan menjauhkan diri dari
kemudharatan atau menolaknya7. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kalimat
takwa sering disandarkan kepada kalimat Allah (ittaqullah), sehingga artinya
menjadi menjauhkan diri dari Allah8. Arti semacam ini jika dipahami secara
tekstual, kontradiksi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang memerintahkan
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka makna yang sesungguhnya,
yang dimaksud oleh kalimat ittaqullah, adalah menjauhkan diri dari siksaan atau
azab Allah. Karena, menurut sebagian ulama tafsir, dalam kalimat ittaqullah
tersirat kata yang mengandung siksaan atau azab. Hal itu bisa dilihat dalam surat
al-Baqarah/2: 196, 203, al-Maidah/5: 4,7,8. Tafsiran senada juga diuraikan oleh
Quraish Shibah dalam menafsirkan surat al-Baqarah: 183 bahwa takwa adalah
terhindar dari segala macam sangsi dan dampak buruk, baik duniawi maupun
ukhrawi.9
Usaha menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah tersebut dapat
dilakukan dengan cara “meninggalkan larangan Allah dan sekaligus melaksanakan
perintah-Nya” (imtisal al-awamirillah waajtinab al-nawahihi)10. Hal ini pun dapat
terlaksana jika dalam diri seseorang muncul perasaan takut yang merupakan awal
dari kearifan terhadap azab yang dimiliki Allah. Lebih luas takwa menurut Syeikh
Abdul Qadir Al-Jilani, orang yang bertakwa adalah orang yang tidak lepas dari
perbuatan mensucikan diri; orang yang selalu berusaha membenamkan dirinya
6
Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 568
7
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h. 124-125
8
Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Amanah seperti yang dikutip oleh
Irsyadunnas
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 377
10
Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 55
3
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
dalam semua hal yang diridhai Allah serta menjauhkan diri dari semua perbuatan
yang dimurkai Allah.11
Takwa menurut Abu Ja’far yaitu mentaati semua perintah dan menjauhi
larangan dan melaksanakan ibadah dengan mengesakannya karena takut
mendapatkan kemarahanNya sebab orang yang bertakwa adalah orang yang
mendapatkan ridha Allah. Sedangkan menurut Mujahid takwa berarti mentaati
Allah SWT.12 Dalam konteks ini, Tabataba’i menjelaskan bahwa takwa itu
memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi,
yaitu potensi berbuat baik (ta’at) dan poteni berbuat jahat (ma’siat). Dua potensi
tersebut tidak dapat terkumpul pada satu waktu. Manusia takwa adalah manusia
yang mampu mengembangkan potensi kebaikan (ta’at) yang ada dalam dirinya,
dengan cara berbuat ihsan13.
Pendapat ini tampaknya disepakati oleh Buya Hamka, dimana beliau
menjelaskan dalam tafsirnya Al-Azhar, bahwa dalam kalimat takwa terkandung
arti yang lebih komprehensif, yaitu cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha,
sabar, berani dan lain-lain. Intiya, kata Buya Hamka, ungkapan takwa
mengandung makna memelihara hubungan baik dengan Allah SWT, dengan
memperbanyak amal saleh. Hal tersebut dilakukan bukan karena takut, tetapi
karena ada kesadaran diri sebagai hamba Allah.14
Pengertain yang diberikan oleh Buya Hamka di atas memberikan indikasi
bahwa takwa tidak hanya mengandung arti antisipasi diri terhadap hal-hal yang
dapat membawa kepada kemudhratan, akan tetapi juga mengandung arti memiliki
semangat keberagamaan (religius spirit) yang tinggi untuk selalu ingin
memperbaiki hidup dan kehidupannya, baik dalam bentuk vertikal (hubungan
dengan Allah) maupun dalam bentuk horizontal (hubungan dengan manusia).
11
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, Ar-Risalatul as-
Sufiyyah, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), Cet.3, h. 51
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, (Beirut:
12
4
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
15
Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an, Terj. Muh. Qadirun Nur, Al-
Ikhtisar fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 3
16
Zakiah Daradjat, dkk, Op., Cit., h. 19-20
5
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
17
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet.XI, h. 12-13
18
Hery Noor Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 33
6
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Dari dalil ini dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan
bagi seluruh manusia, karena segala tingkah lakunya selalu mencerminkan
ketakwaan dan diharapkan umatnya mencontoh perbuatan atau tingkah laku yang
mulia tersebut, karena beliau memiliki budi pekerti yang agung. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Qalam ayat 4:
ô7¯ô ô)ôô 4ôô ?ôô ô9 ô ,ô =ôô 5ôôôô ôô ôôô
Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
b. Hadis
Hadis ialah segala perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah
SWT. yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang
lain yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau membiarkan saja kejadian atau
perbuatan itu berjalan.Hadis merupakan sumber ajaran kedua sesudah al-Qur’an.
Hadis berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang
bertakwa.19
Kalau dikatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang
merupakan sumber pokok Islam, maka hadis adalah penjelasan pelaksanaan dari
pada sumber pokok itu, bahkan merupakan contoh-contoh yang jelas, hingga
mudah untuk dilaksanakannya. Dengan demikian hadis itulah yang mensyarahkan
dan menjelaskan hal-hal yang belum dipahami dalam al-Qur’an. Sering kali
manusia kesulitan dalam memahami al-Qur’an dan ini dialami oleh pada sahabat
sebagai generasi pertama al-Qur’an.
19
M. Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1999), Cet.4, h. 3
7
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Taqwa), (Jurnal Penelitian
20
8
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (al-Maidah:
36)
Artinya: dan hendaklah takut kepada Allah SWT orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah
21
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1996), h. 57
22
Abi Fadhl Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Alusy al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Qur’an
al-‘Azhim wa al-Sab’i al-Matsani Jilid III, (Beirut: Dar Kutub al-‘Amaliyah, 2001), h. 294
9
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Artinya: dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka,
Hud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah SWT, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu
tidak bertakwa kepada-Nya?(Q. S. al-A’raf: 65)
23
Muhammad Rasyid Ridha, Op., Cit., h. 400
Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wal ‘Uyun al-Aqawil fi
24
10
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Ayat di atas ditutup dengan kalimat afala tattaqun, maka mengapa kamu
tidak bertakwa. Dalam kajian bahasa Arab, kalimat afala terdiri dari tiga kata atau
huruf yaitu a, fa dan la. A merupakan huruf istifham (hamzah istifham) yang
artinya apakah (yang menyebabkan). Fa huruf zaidah dan la huruf nafi yang
artinya maka kamu tidak mau. Gabungan ketiga kata tersebut bermakna maka
apakah yang menyebabkan kamu tidak mau bertakwa.
Ayat ini berisi tentang ajaran tauhid, perintah untuk mengabdi atau
menyembah hanya kepada Allah SWT. Karena tidak ada Tuhan yang patut
disembah kecuali Allah SWT. Lalu ayat ini ditutup dengan afala tataqun,
mengapa kamu tidak mau bertakwa kepada Allah SWT. Tidak ada Tuhan selain
Dia.26 Penggunaan istifham dengan fungsi amar dalam ayat ini bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir dan merenungi tentang
isi kandungan ayat itu.
d. Dengan kalimat tarajji
Kalimat lain yang menunjukkan perintah bertakwa kepada Allah SWT
disebutkan sebanyak 12 kali dalam al-Qur’an. Surat al-Baqarah: 21, 51, 64, 69,
179, 183, 187, surat al-An’am: 153, surat al-A’raf: 164, 171, surat Rum: 113 dan
surat Luqman: 28. Contoh penjelasannya pada surat al-An’am ayat 153.
Artinya: dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah SWT agar
kamu bertakwa. (Q. S al-An’am: 153)
26
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 358
11
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
27
Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir Jilid VIII, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’astar, 1991), h. 169
28
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 358
12
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
4. Jalan Takwa
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat dipahami sebagai pedoman agar
bisa mencapai derajat takwa. Antara lain:
a. Surat al-Baqarah ayat 21:
30
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Op., Cit., h. 232
13
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Artinya: dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami
angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman):
"Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan
ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa".( Q.
S. al-Baqarah: 63)
Menurut Imam al-Maraghi bahwa ayat ini berisi tentang peringatan Allah
SWT kepada Bani Israil agar mereka mengamalkan Taurat dengan cara
mempelajarinya secara sungguh-sungguh karena dengan cara itu mereka akan
memperoleh kekuatan iman, melahirkan kesadaran selalu diawasi oleh Allah
SWT. Lebih lanjut ayat ini mempertegas dengan kalimat ”wazkuruu ma fiih”
sebagai penjelas bahwa mempelajari Taurat mesti dengan cara mentadabburi
maknanya serta mengamalkan semua ketentuan yang berlaku di dalamnya.32
Ayat ini memberikan isyarat yang sangat jelas, bahwa kehadiran kitab suci
bukan sekedar untuk dibaca, tetapi untuk dipelajari, dihayati kandugannya dan
diamalkan dengan harapan dapat mengantar kepada ketakwaan.33 Itulah rahasia
penutup ayat dengan “la’allakum tattaquun”, agar kamu bertakwa. Dengan jalan
mempelajari kitab suci, memahami maknanya dan mengamalkan isi
kandungannya akan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah SWT, yakni
terhindar dari segala macam sanksi dan bencana di dunia dan di akhirat. Bahkan
dalam satu riwayat an-Nasa’I melali Abu Said al-Khudri, bahwa Nabi SAW
bersabda “Sesungguhnya salah seorang manusia yang paling bejat adalah seorang
31
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 119-120
32
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 136-137
33
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 210
14
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
fasik yang membaca al-Qur’an sedang dia tidak memperhatikan sesuatu darinya”
yakni tidak mengamalkannya.
Muhammad Sayyid Thantawi, al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, (Mesir: Dar al-
34
15
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
37
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 369
16
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Artinya: 2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka. 4. dan mereka yang
beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu
dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. mereka Itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung. Q. S al-Baqarah: 2-5)
Pada ayat di atas secara gamblang disebutkan sifat yang dimiliki oleh
orang yang bertakwa, antara lain: Pertama, percaya kepada yang gaib. Imam al-
Maraghi menjelaskan maksud beriman dengan yang gaib adalah mengimani dan
membenarkan sesuatu yang gaib seperti surga dan neraka dan hal lain yang sudah
38
Abi ‘Ali al-Fadhl bin Husain bin Fadhl al-Thubrusi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 1997), h. 384
17
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
dijelaskan dalam al-Qur’an seperti malaikat, hari berbangkit, dan hari kiamat. 39
Lebih lanjut Quraish Shihab membagi hal gaib pada gaib mutlak yang tidak dapat
diungkap sama sekali dan gaib yang bersifat relatif. 40 Gaib mutlak apabila tidak
diketahui hakikatnya, tidak dapat dilihat dan diraba tetapi diinformasikan oleh al-
Qur’an dan Hadis.
Kedua, mendirikan shalat. Pengertian yuqiimuna bukan hanya dengan
makna mendirikan tetapi melaksanakan shalat secara benar dan
berkesinambungan. Menurut Quraish Shihab, hal itu karena tidak ditemukan
dalam kitab-kitab tafsir bahwa makna yuqimu adalah mendirikan, tetapi selalu
dengan penjelasan bahwa shalat mesti dikerjakan sesuai dengan ha-haknya, sesuai
rukun, syarat dan sunnahnya seperti yang diajarkan oleh Rasul SAW.41
Ketiga, menafkahkan sebagain rezki yang dimiliki. Ayat ini
mengisyaratkan bahwa orang bertakwa hendaknya bekerja dan berkarya sebaik
mungkin sehingga dapat memperoleh hasil yang melebihi kebutuhan jangka
pendek dan jangka panjangnya serta dapat membantu orang lain, baik dikeluarkan
karenahukum wajib atau sunat. Makna lain dari ayat ini, bahwa harta yang
dinafkahkan itu baru sebagin rezki Alllah yang telah diperolehnya, sementara
rezki yang diterimanya tiada terhingga.
Keempat, beriman kepada kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad
yaitu al-Qur’’an dan kitab yang diturunkan kepada nabi sebelumnya seperti
Taurat, Injil dan Zabur. Pengetahuan terhadap al-Qur’an mesti dilakukan secara
terperinci agar dapat memahami agama dengan mudah, sedangkan pengetahuan
terhadap kitab selain al-Qur’an boleh secara garis besar dan tidak terperinci.42
Kelima, meyakini adanya hari akhir. Hari akhir adalah hari dimana semua
amal perbuatan akan diberikan ganjaran dan balasan. Termasuk di dalamnya hari
mengimani hari perhitungan, mizan, meniti shirat, surga dan neraka. Yakin artinya
pengetahuan yang mantap tentang sesuatu tanpa ada keraguan dan dalih yang lain.
39
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Op., Cit., h. 150
40
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 89
41
Ibid., h. 90
42
Ahmad Mstafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 44
18
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Oleh karena itu ilmu Allah tidak dapat disebut dengan yakin karena diawali oleh
keraguan, lain halnya dengan keyakinan manusia yang terlebih diawali oleh
keraguan sehingga apabila sudah datang keyakinan maka hilanglah keraguan itu.
b. Al-Baqarah ayat 177:
*
Artinya : bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah SWT, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.
19
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
memberikan harta yang dicintai dengan tulus kepada kerabat, anak yatim, orang
miskin, musafir dan orang yang meminta-minta. Juga memberi untuk tujuan
memerdekakan hamba sahaya, yakni manusia yang diperjualbelikan dan atau
ditawan oleh musuh maupun yang hilang kebebasannya akibat peganiayaan.
Ketiga, melaksanakan kewajiban ibadah seperti shalat dengan semua
rukun dan syaratnya dan membayar zakat sesuai dengan ketentuan dan tidak
menunda-nunda. Keempat, orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.
Kelima, orang yang sabar yakni tabah, menahan diri dan berjuang dalam
mengatasi kesempitan yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi, penderitaan
dan dalam peperangan.
20
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar takwa dan hakekat serta
tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka takwa bukan saja
hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi takwa harus
menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses,
maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip takwa yang berimplikasi
kepada pendidikan, diantaranya :
Pertama, Dasar takwa adalah al-Qur’an yang berfungsi sebagai pemberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. Rasulullah bertugas untuk menyampaikan
petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia. Menurut
Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan
mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang
berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah
pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu
beribadah.
Kedua; berkenaan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada
dasarnya takwa merupakan hakekat dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu
membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun
peradaban manusia. Di sini, takwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu
sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kapasitas
serta keahliannya.
Ketiga, oleh karena itu, nilai-nilai takwa bukan saja sejalan dengan
hakekat dan tujuan pendidikan, tetapi sekaligus juga takwa harus menjadi
paradigma pendidikan. Paradigma ini adalah menyangkut dasar filosofi, arah,
proses, dan tujuan pendidikan. Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang berparadigma takwa.
Keempat, sejalan dengan paradigma takwa itu, maka tujuan ideal
pendidikan Islam adalah manusia sempurna (insan kamil), yaitu manusia yang
memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu. Ketiga aspek potensi manusia ini
tiada lain adalah manusia takwa, yang secara serasi dan seimbang mesti
dikembangkan melalui pendidikan
7. Penutup
21
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aly, Hery Noor, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
22
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-
Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/1415 H
Al-Syaukaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1996Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th
Al-Thubrusi, Abi Ali al-Fadhl bin Hasan bin al-Fdhl, Majma’ al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1997
Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-
Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/ 1415 H
Al Jailani, Syeikh Abdul Qadir, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, Ar-
Risalatul as-Sufiyyah, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002
23
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021
24