Anda di halaman 1dari 24

Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed.

Jan-Jun 2021

PENDIDIKAN KETAKWAAN DALAM AL-QUR’AN


Oleh: Heri Surikno

Abstrak
Kata takwa sudah lumrah dalam kehidupan pendidikan, khususnya di
Indonesia. Takwa merupakan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Diserapnya kata takwa dari ajaran Islam menjadi bagian pendidikan
nasional perlu dikaji dari perspektif al-Quran dan Hadis, sehingga dapat secara
maksimal diterapkan dalam seluruh aktivitas pendidikan tersebut. Al-Qur’an
mengambil kata takwa sebanyak 259 kali dengan beragam derivasi dan makna.
Aspek kuantitas ini juga sebagai isyarat bahwa secara kualitas, takwa mesti
dipahami secara utuh. Baik dari sisi definisi, sumbernya dari al-Qur’an dan Hadis,
ragam perintah takwa dalam al-Qur’an, proses menuju takwa dan sifat orang yang
bertakwa serta impilkasinya dalam pendidikan. Memahami pendidikan takwa dan
implikasinya dalam pendidikan dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi
ayat-ayat tentang takwa, membaginya berdasarkan tematik pembahasan dan
memahami isi kandungannya dari perspektif tafsir dan mencari hubungan dan
implikasinya dalam pendidikan.

Kata Kunci: Pendidikan Ketakwaan, Al-Qur’an

A. Pendahuluan
Takwa merupakan salah satu tema penting yang dibicarakan al-Qur’an.
Banyaknya ayat yang membicarakan ketakwaan mesti dilihat secara utuh agar
diperoleh makna yang dalam dari maksud dan kandungannya. Sudah banyak
ulama tafsir melalui kitab-kitabnya berusaha menjelaskan ayat-ayat takwa
tersebut, namun secara umum mereka menguraikan secara tahlili.
Begitu juga penjelasan dari beberapa orang pakar al-Qur’an seperti Izutsu
Toshihiko dan Dawam Raharjo. Isutzu Toshihiko misalnya, seperti yang dikutip
oleh Irsyadunnas, ia mencoba membahas konsep takwa melalui konsep semantik
studi. Dia berspekulasi bahwa konsep takwa dimunculkan oleh al-Qur’an sebagai
gebrakan terhadap bangsa Arab agar mereka menurunkan rasa takaburnya yang
berlebihan, sehingga ia berkesimpulan bahwa pengertian takwa mengandung

1
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

suasana takut yang merupakan batin agama yang paling mendasar dari
keseluruhan sistem etika dalam al-Qur’an.1
Hal yang sama dilakukan oleh Dawam Raharjo yang mengangkat dan
membicarakan persoalan takwa dalam satu topik khusus, namun penjelasannya
lebih bersifat umum. Penjelasan di atas masih bersifat belum spesifik dalam kajian
khusus tentang takwa.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga cara yaitu Pertama; menghitung dan
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan takwa berdasarkan
klasifikasi ayat-ayat al-Qur’an, kedua, mengelompokkan dan memberi makna
berdasarkan tema, kemudian mengambil inti sari (essensi) makna takwa. Ketiga;
menjelaskan hubungan makna takwa yang dimaksud dalam al-Qur’an dengan
yang menjadi prinsip dasar atau hakekat pendidikan.

B. Pendidikan Ketakwaan dalam al-Quran


1. Pengertian Takwa
Kata takwa berasal dari bahasa Arab, Ittaqa-Yattaqi-Ittiqaan, yang berarti
takut,2 keinsyafan (Consciousness). Lebih luas pengertian takwa adalah
memelihara diri dari ancaman siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya.3 Dapat dikatakan juga bahwa takwa adalah
keinsyafan mengikuti dengan kepatuhan dan ketaatan, melaksanakan perintah-
perintah Allah serta menjauhi larangan-laranganNya.
Secara etimologi, term takwa yang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 259
kali4 dengan segala derivasinya mengandung makna yang cukup beragam, di
antaranya, memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan5.
1
Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Taqwa), (Jurnal Penelitian
Agama, Vol XII, Nomor 3 tahun 2013), h. 3
2
Abboed S. Abdullah, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1998), h. 50

3
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

2004), h. 735.
4
Muhammad Fuad Abdul al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
1945), h. 758-761
5
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-masyriq, ttt), h. 915

2
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Namun demikian ragam arti tersebut masih tetap mengacu pada satu makna, yaitu
antisipasi diri terhadap dunia luar. Al-Raghib al-Alfahani, dalam bukunya Mu’jam
Muradat Alfaz al-Qur’an, menjelaskan bahwa kalimat takwa mengandung arti
memelihara diri dari hal-hal yang akan membawa kepada kemudharatan6.
Muhammad Abduh, dalam kitab Tafsir al-Manar, juga menyatakan bahwa
kalimat takwa, secara etimologi, dapat diartikan menjauhkan diri dari
kemudharatan atau menolaknya7. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kalimat
takwa sering disandarkan kepada kalimat Allah (ittaqullah), sehingga artinya
menjadi menjauhkan diri dari Allah8. Arti semacam ini jika dipahami secara
tekstual, kontradiksi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang memerintahkan
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maka makna yang sesungguhnya,
yang dimaksud oleh kalimat ittaqullah, adalah menjauhkan diri dari siksaan atau
azab Allah. Karena, menurut sebagian ulama tafsir, dalam kalimat ittaqullah
tersirat kata yang mengandung siksaan atau azab. Hal itu bisa dilihat dalam surat
al-Baqarah/2: 196, 203, al-Maidah/5: 4,7,8. Tafsiran senada juga diuraikan oleh
Quraish Shibah dalam menafsirkan surat al-Baqarah: 183 bahwa takwa adalah
terhindar dari segala macam sangsi dan dampak buruk, baik duniawi maupun
ukhrawi.9
Usaha menjauhkan diri dari siksaan atau azab Allah tersebut dapat
dilakukan dengan cara “meninggalkan larangan Allah dan sekaligus melaksanakan
perintah-Nya” (imtisal al-awamirillah waajtinab al-nawahihi)10. Hal ini pun dapat
terlaksana jika dalam diri seseorang muncul perasaan takut yang merupakan awal
dari kearifan terhadap azab yang dimiliki Allah. Lebih luas takwa menurut Syeikh
Abdul Qadir Al-Jilani, orang yang bertakwa adalah orang yang tidak lepas dari
perbuatan mensucikan diri; orang yang selalu berusaha membenamkan dirinya
6
Al-Raghib al-Ashfahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 568

7
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), h. 124-125

8
Pendapat ini disampaikan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Amanah seperti yang dikutip oleh
Irsyadunnas
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 377
10
Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 55

3
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

dalam semua hal yang diridhai Allah serta menjauhkan diri dari semua perbuatan
yang dimurkai Allah.11
Takwa menurut Abu Ja’far yaitu mentaati semua perintah dan menjauhi
larangan dan melaksanakan ibadah dengan mengesakannya karena takut
mendapatkan kemarahanNya sebab orang yang bertakwa adalah orang yang
mendapatkan ridha Allah. Sedangkan menurut Mujahid takwa berarti mentaati
Allah SWT.12 Dalam konteks ini, Tabataba’i menjelaskan bahwa takwa itu
memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam jiwa seseorang terdapat dua potensi,
yaitu potensi berbuat baik (ta’at) dan poteni berbuat jahat (ma’siat). Dua potensi
tersebut tidak dapat terkumpul pada satu waktu. Manusia takwa adalah manusia
yang mampu mengembangkan potensi kebaikan (ta’at) yang ada dalam dirinya,
dengan cara berbuat ihsan13.
Pendapat ini tampaknya disepakati oleh Buya Hamka, dimana beliau
menjelaskan dalam tafsirnya Al-Azhar, bahwa dalam kalimat takwa terkandung
arti yang lebih komprehensif, yaitu cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha,
sabar, berani dan lain-lain. Intiya, kata Buya Hamka, ungkapan takwa
mengandung makna memelihara hubungan baik dengan Allah SWT, dengan
memperbanyak amal saleh. Hal tersebut dilakukan bukan karena takut, tetapi
karena ada kesadaran diri sebagai hamba Allah.14
Pengertain yang diberikan oleh Buya Hamka di atas memberikan indikasi
bahwa takwa tidak hanya mengandung arti antisipasi diri terhadap hal-hal yang
dapat membawa kepada kemudhratan, akan tetapi juga mengandung arti memiliki
semangat keberagamaan (religius spirit) yang tinggi untuk selalu ingin
memperbaiki hidup dan kehidupannya, baik dalam bentuk vertikal (hubungan
dengan Allah) maupun dalam bentuk horizontal (hubungan dengan manusia).

11
Syeikh Abdul Qadir al Jailani, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, Ar-Risalatul as-
Sufiyyah, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), Cet.3, h. 51

Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an, (Beirut:
12

Dar al-Fikr, 1995 M/1415 H), h. 233


13
Muhammad Husen Tabataba’I, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-‘Alamiy,
1991), h. 375
14
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 122-123

4
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Mencermati beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa di dalam


takwa terandung pengertian pengendalian diri oleh manusia akan dorongan
emosinya dan penguasaan terhadap kecenderungan hawa nafsunya. Hal ini berarti
bahwa seorang yang bertakwa akan memenuhi dorongan-dorongan emosinya
hanya sebatas yang diperkenankan oleh agama. Selain itu, dalam ungkapan takwa
juga terkandung perintah kepada manusia agar mereka senantiasa melakukan
aktivitas-aktivitas yang baik yang membawa kepada kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat, seperti: bersikap adil dalam bertindak dan berbuat, suka
membantu orang-orang yang membutuhkan secara moril atau materil, mau
mengembangkan potensi diri atau intelektualitas demi mencapai kehidupan yang
baik dan bermanfaat.
2. Dasar Utama Takwa
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang bernilai mukjizat, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perantara malaikat Jibril a.s.
yang tertulis dalam mashahif, diriwayatkan dengan cara mutawatir, dan yang
membacanya terhitung ibadah.15 Di dalam al-Qur’an itu terdiri dari dua prinsip
besar yaitu yang berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan
yang berhubungan dengan amal yang disebut syariah.
Ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan
dalam al-Qur’an, tidak sebanyak ajaran yang berkenaan dengan amal perbuatan.
Ini menunjukan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua
amal perbuatan manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya
sendiri, dengan manusia sesamanya (masyarakat), dengan alam dan
lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal
shaleh (syari’ah).16
Di antara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman
bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di

15
Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an, Terj. Muh. Qadirun Nur, Al-
Ikhtisar fi Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 3
16
Zakiah Daradjat, dkk, Op., Cit., h. 19-20

5
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

akhirat kelak. M. Quraish Shihab,17 dalam Wawasan al-Qur’an menyebutkan


secara lebih rinci tentang tujuan diturunkan al-Qur’an menjadi delapan,
diantaranya adalah:
1) Untuk membersihkan dan mensucikan jiwa
2) Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan
4) Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara
5) Untuk membasmi kemaksiatan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit dan penderitaan, serta pemerasan manusia atas manusia
6) Untuk memadukan kebenaran dan keadilan
7) Untuk menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran
8) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan
suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan
Nur Ilahi.
Petunjuk al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan Mahmud Syaltut, yang
dikutip oleh Hery Noor Aly dapat dikelompokan menjadi tiga pokok,18 yaitu:
1) Petunjuk tentang akidah dan kepercayaan yang harus dianut
oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan dan kesaan Tuhan
serta kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2) Petunjuk mengenai syari’at dan hokum dengan jalan
menerangkan dasar-dasar hukum yang harus di ikuti oleh
manusia dan hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
3) Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang hanya
di ikuti oleh manusia dalam kehidupan, baik individual maupun
kolektif.

17
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet.XI, h. 12-13

18
Hery Noor Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 33

6
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Petunjuk mengenai pelaksanaan takwa di dalam al-Qur’an sebagaimana


firman Allah surat Al-Ahzab ayat 21 disebutkan:
ô ôô )©9 ô ô %ô . ô ô ô 3ô9 ôô ô ô ôô ô ôô ô «!ô # ô ô ôôô ôô & ×ô ôô |ô ô ô `ôô ôô 9 ôô%ô.
(#ôô_ôôôô ©!ô# ôô ôôôôô 9ô#ôô ôôô ô ô ô ô# ôôô.ôôôô ©!ô# #ô ôôôô ô. ôôôô
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Dari dalil ini dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan
bagi seluruh manusia, karena segala tingkah lakunya selalu mencerminkan
ketakwaan dan diharapkan umatnya mencontoh perbuatan atau tingkah laku yang
mulia tersebut, karena beliau memiliki budi pekerti yang agung. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Qalam ayat 4:
ô7¯ô ô)ôô 4ôô ?ôô ô9 ô ,ô =ôô 5ôôôô ôô ôôô
Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

b. Hadis
Hadis ialah segala perkataan, perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah
SWT. yang dimaksud dengan pengakuan itu adalah kejadian atau perbuatan orang
lain yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau membiarkan saja kejadian atau
perbuatan itu berjalan.Hadis merupakan sumber ajaran kedua sesudah al-Qur’an.
Hadis berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang
bertakwa.19
Kalau dikatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang
merupakan sumber pokok Islam, maka hadis adalah penjelasan pelaksanaan dari
pada sumber pokok itu, bahkan merupakan contoh-contoh yang jelas, hingga
mudah untuk dilaksanakannya. Dengan demikian hadis itulah yang mensyarahkan
dan menjelaskan hal-hal yang belum dipahami dalam al-Qur’an. Sering kali
manusia kesulitan dalam memahami al-Qur’an dan ini dialami oleh pada sahabat
sebagai generasi pertama al-Qur’an.

19
M. Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1999), Cet.4, h. 3

7
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Karenanya mereka meminta penjelasan kepada Rasulullah SAW. Yang


diberi otoritas tersebut. Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 44:
ôô »ôôôô ôô7ô9ôô ô/ ô ôô /ôô9ô#ôô 3 !ôôôô9ôôôô &ôô ô7ôôô9ô) ôôô 2ôô %!ô# ôô ôôô ô7ôô ô9
ô¨ô¨ô=ô9 ôôô ôôôô ôôô ôôô ô ôôô9ô) ôôôô ¯=ôôô9ôô ôôô ôô©3ôô ôô ôô ôôôô
Artinya: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa as-Sunah berkedudukan sebagai


penjelas bagi al-Qur’an. Dan di dalam as-Sunah tersebut banyak sekali yang
menerangkan bagaimana cara bertakwa yang benar. Dalil tersebut dapat dipahami
bahwa Rasulullah SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh manusia. Diharapkan
umatnya untuk mencontoh perbuatan beliau, dalam arti taat kepada Allah dan
Rasulnya.
Sedangkan hadis Nabi tentang perintah untuk bertakwa adalah sebagai
berikut: "Dari Abi Dzar, Nabi bersabda : takwalah engkaulah kepada Allah di
mana saja engkau berada, dan ikutkanlah (iringilah) suatu perbuatan jahat dengan
kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapus kejahatan itu. Dan berakhlaklah
dengan sesama manusia dengan cara berakhlak yang baik" (HR. Al-Tirmidzi)

3. Perintah Bertakwa dalam al-Qur’an


Perintah bertakwa dalam al-Qur’an disebutkan dengan beragam bentuk.
Hasil penelitian Irsyadunnas menunjukkan bahwa perintah bertakwa dalam al-
Qur’an dengan menggunakan beberapa bentuk yaitu dengan fiil amar, lam amar,
istifham, kalimat tarajji, dan jumlah khabariyah yang mengandung insya’iyah.20
Berikut penulis jelaskan secara rinci.
a. Perintah dalam bentuk fiil amar
Banyak ayat yang menggunakan fiil amar sebagai bentuk perintah agar
bertakwa kepada Allah SWT. Dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 54 kali.
Antara lain surat al-Maidah ayat 35:

Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Taqwa), (Jurnal Penelitian
20

Agama, Vol XII, Nomor 3 tahun 2013), h. 5

8
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah
pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (al-Maidah:
36)

Dalam ayat tersebut terdapat tiga kalimat perintah, yaitu ittaqullah


(bertakwalah kepada Allah SWT), ibtaghu ilaihi al-washilah (carilah jalan yang
bisa mendekatkan diri kepadaNya) dan jaahiduu fi sabilillah (berjihadlah di jalan
Allah SWT). Redaksi ayat tersebut seakan memberikan penegasan yang sama
antara perintah bertakwa dengan perintah wasilah dan jihad. Pertautan ketiga
kalimat tersebut diungkapkan oleh Imam Syaukani bahwa takwa merupakan
puncak dari segala sesuatu atau tujuan dari setiap amal kebaikan manusia.
Mencari wasilah dan jihad di jalan Allah SWT merupakan bahagian dari amal
kebaikan yang harus dilaksanakan oleh manusia.21
Perintah bertakwa dalam ayat ini disebutkan setelah menetapkan hukum
dan jalan taubat terhadap orang-orang yang memerangi Allah SWT dan rasulNya.
Maka orang yang beriman diperintahkan supaya bertakwa kepada Allah SWT
dengan cara bertaubat dan memohon ampun terhadap segala perbuatan dosa yang
telah mereka perbuat dalam bentuk suka berperang dan membuat kerusakan.22
Pendapat di atas menjadi penegas bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai
oleh orang yang benar-benar melaksanakan perintah Allah SWT dan
meninggalkan laranganNya. Puncak dari kebahagiaan atau kesuksesan itu adalah
tercapainya derajat ketakwaan.
b. Dengan menggunakan lam amar
Perintah bertakwa dalam al-Qur’an yang menggunakan lam amar terdapat
satu ayat yaitu surat Annisa ayat 9:

Artinya: dan hendaklah takut kepada Allah SWT orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah

21
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1996), h. 57
22
Abi Fadhl Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Alusy al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Qur’an
al-‘Azhim wa al-Sab’i al-Matsani Jilid III, (Beirut: Dar Kutub al-‘Amaliyah, 2001), h. 294

9
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

mereka bertakwa kepada Allah SWT dan hendaklah mereka


mengucapkan perkataan yang benar. (Q. S An-Nisa: 6)

Dalam ayat di atas terdapat tiga perintah yaitu walyakhsyallazina, fal


yattaqullah dan wal yaquulu. Menurut Rasyid Ridha bahwa ayat ini sebagai
penegas supaya jangan sampai merampas harta anak yatim yang mengakibatkan
mereka terlantar, sengsara atau bahkan miskin setelah mereka (wali) meninggal
seperti halnya mereka akan sedih ketika meninggalkan anak-anak mereka dalam
kondisi lemah, miskin dan terlantar.23
Perintah terkahir adalah wal yaqulu qaulan syadid, maka hendaklah
berbicara (memperlakukan) mereka dengan perlakuan yang baik. Menurut Imam
al-Zamakhsyari bahwa yang dimaksud dengan qaulan syadid adalah perkataan
baik dan menyenangkan, seperti yang mereka dapatkan dari orang tua mereka.
Juga mangandung makna berlaku adil terhadap mereka dalam pemeliharaan harta
mereka.24 Rasyid Ridha mempertegas bahwa perintah tersebut mengisyaratkan
agar dalam pemeliharaan anak yatim senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan kemaslahatan serta menjauhkan diri dari sikap pemeras dan
perampas.25
c. Dengan menggunakan istifham
Perintah bertakwa dengan menggunakan istifham disebutkan dalam al-
Qur’an sebanyak lima kali. Surat al-A’raf: 65, surat Yunus: 31, surat al-
Mukminun: 23, 32 dan ayat 87. Untuk melihat salah satu kandungan salah satu
ayat tersebut contohnya surat al-A’raf: 65:

Artinya: dan (kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka,
Hud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah SWT, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu
tidak bertakwa kepada-Nya?(Q. S. al-A’raf: 65)

23
Muhammad Rasyid Ridha, Op., Cit., h. 400

Muhammad Ibnu Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wal ‘Uyun al-Aqawil fi
24

Wujuh al-Ta’wil, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), h. 504


25
Muhammad Rasyid Ridha, Op., Cit., h. 400

10
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Ayat di atas ditutup dengan kalimat afala tattaqun, maka mengapa kamu
tidak bertakwa. Dalam kajian bahasa Arab, kalimat afala terdiri dari tiga kata atau
huruf yaitu a, fa dan la. A merupakan huruf istifham (hamzah istifham) yang
artinya apakah (yang menyebabkan). Fa huruf zaidah dan la huruf nafi yang
artinya maka kamu tidak mau. Gabungan ketiga kata tersebut bermakna maka
apakah yang menyebabkan kamu tidak mau bertakwa.
Ayat ini berisi tentang ajaran tauhid, perintah untuk mengabdi atau
menyembah hanya kepada Allah SWT. Karena tidak ada Tuhan yang patut
disembah kecuali Allah SWT. Lalu ayat ini ditutup dengan afala tataqun,
mengapa kamu tidak mau bertakwa kepada Allah SWT. Tidak ada Tuhan selain
Dia.26 Penggunaan istifham dengan fungsi amar dalam ayat ini bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir dan merenungi tentang
isi kandungan ayat itu.
d. Dengan kalimat tarajji
Kalimat lain yang menunjukkan perintah bertakwa kepada Allah SWT
disebutkan sebanyak 12 kali dalam al-Qur’an. Surat al-Baqarah: 21, 51, 64, 69,
179, 183, 187, surat al-An’am: 153, surat al-A’raf: 164, 171, surat Rum: 113 dan
surat Luqman: 28. Contoh penjelasannya pada surat al-An’am ayat 153.

Artinya: dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang
lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-
jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah SWT agar
kamu bertakwa. (Q. S al-An’am: 153)

Kalimat kunci dari ayat di atas adalah la’allakum tattaqun, mudah-


mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa. Menurut kaidah bahasa Arab, kata
la’alla termasuk dalam kelompok huruf tarajji yang fungsinya menuntut sesuatu
yang baik dan mungkin dilakukan (pengharapan). Maka mudah-mudahan kamu
betakwa berarti suatu pengharapan yang lebih mendekati kepada tercapainya
tujuan yang dimaksud yaitu derajat takwa.

26
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 358

11
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Dalam ayat di atas, Allah SWT memerintahkan kepada hambaNya untuk


mengikuti shirat al-mustaqim. Perintah ini begitu tegas sehingga Allah SWT
langsung menyebutkan antitesisnya yaitu larangan mengikuti jalan-jalan yang
tidak diredhai oleh Allah SWT. Ketegasan tersebut dapat dipahami bahwa kalimat
la’alla yang berfungsi tarajji lebih dekat maknanya kepada amar.
e. Dengan menggunakan jumlah khabariyah yang mengandung insya’iyah
Dalam al-Qur’an cukup banyak jumlah khabariyah yang mengandung
insya’iyyah antara lain terdapat dalam surat al-A’raf ayat 26:
ôôôô
Artinya: Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan
kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah
untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah yang paling baik.
yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Q.
S. al-A’raf: 36)

Menurut Wahbah al-Zuhailiy bahwa pakaian (libas) merupakan kebutuhan


mendasar bagi manusia, selain pangan dan papan.27 Bahkan untuk membedakan
manusia waras dan tidak waras, salah satunya adalah pakaian. Dengan kata lain
pakaian adalah suatu pertanda bagi seseorang untuk pantas disebut manusia waras.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Allah SWT memberitahukan kepada
manusia bahwa di antara pakaian-pakaian yang sudah dikenali, ada pakaian yang
paling bagus, cantik dan menawan, baik bagi si pemakai atau orang lain. Pakaian
itu adalah pakaian takwa. Imam al-Maraghi mengutip pendapat Ibnu Abbas
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pakaian takwa adalah iman dan amal
saleh.28
Dengan makna seperti itu dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah
khabariyah libas al-takwa zalika khair dapat dipahami dengan makna insyaiyah.
Bahkan makna inipun bisa meningkat menjadi makna amar kalau melihat isi
kandungannya.

27
Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir Jilid VIII, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’astar, 1991), h. 169

28
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 358

12
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

4. Jalan Takwa
Banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat dipahami sebagai pedoman agar
bisa mencapai derajat takwa. Antara lain:
a. Surat al-Baqarah ayat 21:

Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan


orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa (Q. S al-
Baqarah: 21)

Pada ayat di atas, manusia diperintahkan supaya hanya menyembah


kepada Allah SWT. Menurut Quraish Shihab manusia dalam beribadah dibagi
pada tiga macam, yaitu orang bertakwa, kafir dan munafik. 29 Ibadah dalam
pengertiannya adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak
kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang engan penguasaan
yang arti dan hakikatnya tidak terjangkau, sedangkan menurut Ibnu Abbas seperti
yang dikutip oleh at-Thabari, bahwa menyembah dalam arti menghambakan diri
hanya kepada Allah dan mengesakanNya dalam melaksanakan ibadah bukan pada
berhala dan tuhan-tuhan lainnya.30
Tanda seseorang yang berhasil dalam ibadah dapat dilihat dari tiga aspek,
yaitu Pertama, tidak menganggap apa yang ada pada dirinya sebagai sebagai
milik pribadi, tetapi milik yang kepadaNya dia mengabdi, Kedua, semua aktifitas
yang dilakukannya berkisar pada apa yang diperintahkanNya dan menghindari apa
yang dilarangnya, Ketiga, kepastian untuk melakukan atau menghindari sesuatu
tidak dapat ia lakukan kecuali atas kehendakNya, karena ia meyakini bahwa jiwa
raganya berada dalam kekuasaanNya.
Ibadah yang dilakukan manusia kegunaannya bukanlah untuk kepentingan
Tuhan yang disembah tapi untuk kepentingan hamba itu sendiri yaitu agar ia
bertakwa serta terhindar dari siksa dan sangsi Allah SWT, baik di dunia maupun
ddi akhirat. Maka melaksanakan ibadah dengan niat agar menjadi hamba yang
bertakwa dengan harapan agar terhindar dari segala sesuatu yang dapat menyiksa
hamba tersebut.
29
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 117

30
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Op., Cit., h. 232

13
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Perintah beribadah dalam ayat di atas juga mengindikasikann bahwa Allah


SWT menciptakan hamba-hambaNya agar mereka menyembahNya sambil
memberi mereka kebebasan memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan
dan agar mereka bertakwa. Dengan demikian, mereka sebenarnya berada dalam
posisi yang diharapkan memperoleh ketakwaan tetapi dalam kerangka kebebasan
memilih antara taat atau durhaka.31
b. Al-Baqarah ayat 63

Artinya: dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami
angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman):
"Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan
ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa".( Q.
S. al-Baqarah: 63)

Menurut Imam al-Maraghi bahwa ayat ini berisi tentang peringatan Allah
SWT kepada Bani Israil agar mereka mengamalkan Taurat dengan cara
mempelajarinya secara sungguh-sungguh karena dengan cara itu mereka akan
memperoleh kekuatan iman, melahirkan kesadaran selalu diawasi oleh Allah
SWT. Lebih lanjut ayat ini mempertegas dengan kalimat ”wazkuruu ma fiih”
sebagai penjelas bahwa mempelajari Taurat mesti dengan cara mentadabburi
maknanya serta mengamalkan semua ketentuan yang berlaku di dalamnya.32
Ayat ini memberikan isyarat yang sangat jelas, bahwa kehadiran kitab suci
bukan sekedar untuk dibaca, tetapi untuk dipelajari, dihayati kandugannya dan
diamalkan dengan harapan dapat mengantar kepada ketakwaan.33 Itulah rahasia
penutup ayat dengan “la’allakum tattaquun”, agar kamu bertakwa. Dengan jalan
mempelajari kitab suci, memahami maknanya dan mengamalkan isi
kandungannya akan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah SWT, yakni
terhindar dari segala macam sanksi dan bencana di dunia dan di akhirat. Bahkan
dalam satu riwayat an-Nasa’I melali Abu Said al-Khudri, bahwa Nabi SAW
bersabda “Sesungguhnya salah seorang manusia yang paling bejat adalah seorang

31
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 119-120

32
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 136-137

33
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 210

14
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

fasik yang membaca al-Qur’an sedang dia tidak memperhatikan sesuatu darinya”
yakni tidak mengamalkannya.

c. Al-Baqarah ayat 183


ôôôôô
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa (Q. S al-Baqarah: 183)

Puasa ramadhan diwajibakan pada bulan Sya’ban tahun ke 2 Hijriah dan


terhitung sebagai salah satu rukun Islam.34 Kewajiban berpuasa dilandasi oleh
Hadis Nabi riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Umar ia berkata: aku mendengar nabi
SAW bersabda: Islam itu dibangun atas lima dasar yaitu syahadat, melaksanakan
shalat, membayar zakat, haji ke baitullah dan puasa ramadhan.
Perintah melaksanakan puasa ditujukan kepada orang yang memiliki iman
walau seberat apapun. Undangan untuk melaksanakannya mengajak setiap
mukmin secara sadar untuk mematuhi ajakan itu. Ia dimulai dengan panggilan
mesra, hai orang-orang yang beriman.35
Penting dan banyaknya manafaat yang diperoleh ketika melaksanakan
puasa ditandai dengan tidak disebutkannya siapa yang memberi perintah sehingga
kalaupun bukan Allah SWT yang memberikan perintah, maka manusia sendiri
yang akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Puasa yang bermakna menahan
diri, dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau
perempuan, sehat atau sakit, orang modern yang hidup di masa ini, maupun
manusia primitif yang hidup di masa lalu, bahkan perorangan atau kelompok.
Sehingga puasa tidak hanya diwajibkan untuk manusia yang hidup hari ini tetapi
juga pada umat terdahulu sebelum kamu.
Perintah berpuasa bukan hanya khusus untuk generasi mereka yang diajak
berdialog pada masa turunnya ayat ini, tetapi juga terhadap umat-umat terdahulu,

Muhammad Sayyid Thantawi, al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, (Mesir: Dar al-
34

Nahdhah, 1997), h. 380


35
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 376

15
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

walaupun rincian cara pelaksanaannya berbeda-beda. Meskipun sebagian umat


tersebut berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama
mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk nabi.
Kewajiban puasa tersebut betujuan agar kamu bertakwa. Seolah-olah Allah
SWT berkata pada hambanya “Kami wajibkan untukmu berpuasa dan orang-
orang sebelumnya supaya ibadah wajib itu bisa mengangkat derajatmu menjadi
orang yang bertakwa dan takut kepadaNya”36 yaitu terhidar dari segala macam
sangsi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi, tetapi tentu harus
dikerjakan sesuai dengan adab, rukun dan syaratnya.
d. Al-Baqarah ayat 178-179

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat)
kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih. 179. dan dalam qishaash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa. (Q. S. al-Baqarah: 178-179)

Ayat ini menegaskan bahwa melalui ketetapan hukum qishash terdapat


jaminan kelangsungan hidup bagi manusia. Karena pengetahuan terhadap hukum
membunuh secara tidak sah, ia terancam pula untuk dibunuh. Maka pastilah ia
tidak akan melakukan perbuatan membunuh itu. Bisa jadi tidak semua orang
memahami hikmah dibalik kewajiban ini, hanya orang yang memiliki dan
menggunakan akal yang jernih mengetahuinya. Itulah alasan ayat ini ditutup
dengan menyeru wahai Ulul Albab (orang-orang yang berakal).37
Ulul Albab adalah orang yang memiliki akal murni yang tidak diselubungi
oleh ide dan pikiran yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Yang
36
Muhammad Sayyid Thantawi, Op., Cit., h. 381

37
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 369

16
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

merenungkan ketetapan Allah SWT dan melaksanakannya diharapkan dapat


terhindar dari siksa, sedang yang menolak ketetapan ini maka pasti ada kerancuan
dalam cara berpikirnya38.
Pendapat di atas dapat dijadikan sebagai landasan bahwa memiliki pikiran
yang jernih dan tidak rancu dalam memahami ketetuan Allah seperti hukum
qishash adalah jalan yang dapat menghantarkan seseorang menjadi manusia
bertakwa. Takwa dalam arti dua kategori yaitu takut membunuh oang lain karena
beratnya akibat yang akan ditanggung yaitu qishash dan kedua, takut kepada
Allah dengan cara menjauhkan diri dari berbuat dosa, namun ketika pembunuhan
sudah terjadi maka melaksanakan ketentuan Qishash supaya mendapatkan ridha
Allah SWT dan supaya terhindar dari siksaanNya.

5. Sifat Orang yang Bertakwa


Banyak ayat dalam al-Qur’an yang dapat dikategorikan sebagai gambaran
sikap yang menjadi ciri khas dimiliki oleh orang yang bertkwa. Pada penjelasan
berikut, penulis paparkan beberapa ayat yang terkait dengan itu. Antara lain:
a. Al-Qur’an surat al-Baqarah: 2-5

Artinya: 2. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka. 4. dan mereka yang
beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu
dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. 5. mereka Itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung. Q. S al-Baqarah: 2-5)

Pada ayat di atas secara gamblang disebutkan sifat yang dimiliki oleh
orang yang bertakwa, antara lain: Pertama, percaya kepada yang gaib. Imam al-
Maraghi menjelaskan maksud beriman dengan yang gaib adalah mengimani dan
membenarkan sesuatu yang gaib seperti surga dan neraka dan hal lain yang sudah

38
Abi ‘Ali al-Fadhl bin Husain bin Fadhl al-Thubrusi, Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiah, 1997), h. 384

17
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

dijelaskan dalam al-Qur’an seperti malaikat, hari berbangkit, dan hari kiamat. 39
Lebih lanjut Quraish Shihab membagi hal gaib pada gaib mutlak yang tidak dapat
diungkap sama sekali dan gaib yang bersifat relatif. 40 Gaib mutlak apabila tidak
diketahui hakikatnya, tidak dapat dilihat dan diraba tetapi diinformasikan oleh al-
Qur’an dan Hadis.
Kedua, mendirikan shalat. Pengertian yuqiimuna bukan hanya dengan
makna mendirikan tetapi melaksanakan shalat secara benar dan
berkesinambungan. Menurut Quraish Shihab, hal itu karena tidak ditemukan
dalam kitab-kitab tafsir bahwa makna yuqimu adalah mendirikan, tetapi selalu
dengan penjelasan bahwa shalat mesti dikerjakan sesuai dengan ha-haknya, sesuai
rukun, syarat dan sunnahnya seperti yang diajarkan oleh Rasul SAW.41
Ketiga, menafkahkan sebagain rezki yang dimiliki. Ayat ini
mengisyaratkan bahwa orang bertakwa hendaknya bekerja dan berkarya sebaik
mungkin sehingga dapat memperoleh hasil yang melebihi kebutuhan jangka
pendek dan jangka panjangnya serta dapat membantu orang lain, baik dikeluarkan
karenahukum wajib atau sunat. Makna lain dari ayat ini, bahwa harta yang
dinafkahkan itu baru sebagin rezki Alllah yang telah diperolehnya, sementara
rezki yang diterimanya tiada terhingga.
Keempat, beriman kepada kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad
yaitu al-Qur’’an dan kitab yang diturunkan kepada nabi sebelumnya seperti
Taurat, Injil dan Zabur. Pengetahuan terhadap al-Qur’an mesti dilakukan secara
terperinci agar dapat memahami agama dengan mudah, sedangkan pengetahuan
terhadap kitab selain al-Qur’an boleh secara garis besar dan tidak terperinci.42
Kelima, meyakini adanya hari akhir. Hari akhir adalah hari dimana semua
amal perbuatan akan diberikan ganjaran dan balasan. Termasuk di dalamnya hari
mengimani hari perhitungan, mizan, meniti shirat, surga dan neraka. Yakin artinya
pengetahuan yang mantap tentang sesuatu tanpa ada keraguan dan dalih yang lain.

39
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Op., Cit., h. 150

40
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 89

41
Ibid., h. 90

42
Ahmad Mstafa al-Maraghi, Op., Cit., h. 44

18
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Oleh karena itu ilmu Allah tidak dapat disebut dengan yakin karena diawali oleh
keraguan, lain halnya dengan keyakinan manusia yang terlebih diawali oleh
keraguan sehingga apabila sudah datang keyakinan maka hilanglah keraguan itu.
b. Al-Baqarah ayat 177:
*
Artinya : bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah SWT, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang
bertakwa.

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu


kebajikan, maksud ayat ini, bahwa kebajikan dan ketaatan yang mendekatkan diri
kepada Allah bukan dengan menghadapkan wajah dalam shalat ke arah timur dan
barat tanpa makna, tetapi yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan itu dengan
keimanan kepada Allah dan lain-lain yang disebutkan dalam ayat ini. Menurut
Quraish Shihab, ayat ini ditujukan kepada Ahli kitab yang tetap berkeras untuk
menghadap ke al-Quds Yerussalem dan kesukaan mereka mengecam dan
mencemooh kaum muslimin yang berlaih kiblat ke Mekah, juga dapat ditujukan
kepada kaum muslimin yang menganggap bahwa kebahagiaan hanya dapat
dicapai dengan melaksanakan shalat menghadap arah Ka’bah, tetapi harus
sejatinya juga menghadirkan kalbu.43
Mengkaitkannya dengan sifat orang yang bertakwa, maka dapat diambil
kesimpulan pada beberapa hal, antara lain, Pertama, beriman kepada Allah dan
hari akhir dengan sebenar-benarnya iman sehingga meresap dalam jiwa dan
membuahkan amal shale. Juga percaya pada malaikat, kitab-kitab dan nabi.
Kedua, kesediaan mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain seperti
43
M. Quraish Shihab, Op., Cit., h. 365

19
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

memberikan harta yang dicintai dengan tulus kepada kerabat, anak yatim, orang
miskin, musafir dan orang yang meminta-minta. Juga memberi untuk tujuan
memerdekakan hamba sahaya, yakni manusia yang diperjualbelikan dan atau
ditawan oleh musuh maupun yang hilang kebebasannya akibat peganiayaan.
Ketiga, melaksanakan kewajiban ibadah seperti shalat dengan semua
rukun dan syaratnya dan membayar zakat sesuai dengan ketentuan dan tidak
menunda-nunda. Keempat, orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.
Kelima, orang yang sabar yakni tabah, menahan diri dan berjuang dalam
mengatasi kesempitan yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi, penderitaan
dan dalam peperangan.

6. Implikasi Takwa dalam Pendidikan


Secara filosofis, pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya
mewariskan nilai, sehingga dengan nilai ini bisa membantu dalam menjalani
proses kehidupannya, yang sekaligus juga untuk menghasilkan, mengisi,
memelihara, dan memperbaiki peradabannya. Dalam konteks ini, maka dasar
pendidikan berkaitan dengan kepentingan dan cita-cita kemanusiaan universal.
Dalam prosesnya, pendidikan merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi
manusiawi baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi
itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Atas dasar itu, setiap pendidikan yang sedang berlangsung untuk
mengembangkan potensi diri dan memperbaiki peradabannya itu, sudah barang
tentu memiliki paradigma, yaitu suatu ’cara pandang’ pendidikan dalam
memahami dunia’ (world view). Setiap paradigma mencerminkan ’cara pandang’
masyarakat dimana pendidikan itu berlangsung. Oleh karena itu, setiap
masyarakat, bangsa, maupun negara, masing-masing memiliki paradigma
pendidikan sesuai dengan ’cara pandang’ masyarakat atau negara bersangkutan
terhadap dunianya. Berkenaan dengan paradigma pendidikan itu, maka bangsa
Indonesia adalah bangsa atau masyarakat relijius yang diakumulasikan dalam
rumusan Pancasila dan UUD’45. Seharusnya, dari paradigma inilah sistem
pendidikan Indonesia terumuskan.

20
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Dengan merujuk kepada beberapa prinsip dasar takwa dan hakekat serta
tujuan pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, maka takwa bukan saja
hanya memiliki nilai implikatif kepada proses pendidikan, tetapi takwa harus
menjadi paradigma pendidikan, baik dalam dasar-dasar filosofisnya, proses,
maupun tujuannya. Oleh karena itu, ada beberapa prinsip takwa yang berimplikasi
kepada pendidikan, diantaranya :
Pertama, Dasar takwa adalah al-Qur’an yang berfungsi sebagai pemberi
petunjuk kepada jalan yang lurus. Rasulullah bertugas untuk menyampaikan
petunjuk-petunjuk itu, dengan menyucikan dan mengajarkan manusia. Menurut
Qurais Shihab, menyucikan dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan
mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang
berkaitan dengan alam metafisika serta fisika. Tujuan yang ingin dicapai adalah
pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu
beribadah.
Kedua; berkenaan dengan hakekat dan tujuan pendidikan, maka, pada
dasarnya takwa merupakan hakekat dari tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu
membina manusia sehingga mampu menjalankan fungsinya dalam membangun
peradaban manusia. Di sini, takwa mendorong manusia untuk memperoleh ilmu
sebagai modal dalam mengembangkan potensi dirinya dan bisa bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya dengan baik dan harmonis sesuai dengan kapasitas
serta keahliannya.
Ketiga, oleh karena itu, nilai-nilai takwa bukan saja sejalan dengan
hakekat dan tujuan pendidikan, tetapi sekaligus juga takwa harus menjadi
paradigma pendidikan. Paradigma ini adalah menyangkut dasar filosofi, arah,
proses, dan tujuan pendidikan. Maka, pendidikan yang baik adalah pendidikan
yang berparadigma takwa.
Keempat, sejalan dengan paradigma takwa itu, maka tujuan ideal
pendidikan Islam adalah manusia sempurna (insan kamil), yaitu manusia yang
memiliki keunggulan jasmani, akal, dan kalbu. Ketiga aspek potensi manusia ini
tiada lain adalah manusia takwa, yang secara serasi dan seimbang mesti
dikembangkan melalui pendidikan
7. Penutup
21
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa takwa merupakan kalimat


penting dalam al-Qur’an. Perintah bertakwa umpamanya, disampaikan dengan
redaksi yang beragam dan menjadi tanda pentingnya pemahaman tentang kalimat
takwa dalam al-Qur’an. Perintah bertakwa disajikan dalam berbagai bentuk,
antara lain, fi’il amar, lam amar, istifham, kalimat tarajji, jumlah khabariyah
yang mengandung makna isnyaiyyah.
Selain itu pemahaman tentang cara supaya bisa mencapai derajat takwa,
juga tidak kalah pentingnya, agar salah satu derajat kemuliaan sebagai hamba
Allah dapat diperoleh. Jalannya adalah melaksanakan ibadah semata-mata karena
Allah, membaca, mempelajari dan mentadabburi al-Qur’an, melaksanakan puasa
dan memiliki pemikiran yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Lebih jauh
dapat dipahami juga tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang yang
bertakwa, seperti beriman kepada Allah, shalat dengan penuh keyakinan dan lain-
lain.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

al-Alusy al-Baghdadi, Abi Fadhl Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi


Tafsir Qur’an al-‘Azhim wa al-sab’I al-Matsani, Beirut: Dar Kutub
al-‘Amaliyah, 2001

Aly, Hery Noor, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

Al-Ashfahaniy, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-


Fikr, 1972

22
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Al-Baqiy, Muhammad Fuad Abdul, Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an,


Beirut: Dar al-Fikr, 1945 al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi,
Beirut: Dar al-Fikr, ttt

Abi Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-
Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/1415 H

Abdullah, Abboed S. Kamus Istilah Agama Islam, Jakarta: Ikhwan, 1998

Al-Syaukaniy, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1996Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar,
Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th

Al-Zuhailiy, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’astar, 1991

Al-Thubrusi, Abi Ali al-Fadhl bin Hasan bin al-Fdhl, Majma’ al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1997

Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ul bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-
Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M/ 1415 H

Al-Zamakhsyari, Muhammad Ibnu Umar, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wal


‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, Beirut: Dar al-Fikr, 1977

Al Jailani, Syeikh Abdul Qadir, Rahasia Sufi,Terj. Abdul Majid dan Khatib, Ar-
Risalatul as-Sufiyyah, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002

Ash-Shidieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka


Rizki Putra, 1999

23
Al-Kahfi: Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 6, No. 1, Ed. Jan-Jun 2021

Ash-Shabuni, Syeikh Muhammad Ali, Ikhtisar Ulumul Qur’an, Terj. Muh.


Qadirun Nur, Al-Ikhtisar fi Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amani, 2001

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988

Irsyadunnas, Amar dalam al-Qur’an (Kajian tentang Ayat-Ayat Takwa), Jurnal


Penelitian Agama, Vol XII, Nomor 3 Tahun 2013

Kasir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq, ttt

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:


Arkola, 2004

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan keserasian al-Qur’an,


Jakarta: Lentera hati, 2002

-------, Wawasan Al- Qur’an, Bandung: Mizan, 2000

Tabataba’i, Muhammad Husen, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Muassasah


al-‘Alamiy, 1991

24

Anda mungkin juga menyukai