Anda di halaman 1dari 88

SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Dr. Saputra Adiwijaya, M.Si.


Dr. Berkat A. Pisi, M.Si.

Palangka Raya
1
SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Penulis:
Dr. Saputra Adiwijaya, M.Si.
Dr. Berkat A. Pisi, M.Si.

ISBN: 978-623-7147-44-2

Editor:
Kim David J. Nyanden, S.Pd.
Jocelyn Kezia Nyanden

Desain Sampul:
Jocelyn Kezia Nyanden

Penerbit:

Akta Notaris: 07 Juli 2015


SIUP: 503.3/307/BPM-PTSP/IX/2015
Jl. Beliang No. 061 ET, Palangka Raya, Kalteng
Jl. Tingang XX B No. 1, Palangka Raya, Kalteng
Ph. 085249224777, 08125509060
WA. 081251061042, 08125509060
2
Kata Pengantar

Memahami sosiologi dalam konteks lingkungan diperlukan banyak


diskusi dan kajian, sebagai sebuah cabang ilmu baru sosiologi lingkungan
harus berbenah dan harus didukung oleh siapapun yang mempunyai minat
terhadap kajian ini.
Buku Sosiologi Lingkungan yang ada di hadapan anda ini bisa
memberikan secuil pemahaman baru agar di kemudian hari memancing
diskusi dalam mengkaji lingkungan yang diharapkan bisa memberikan pe-
nyempurnaan buku ini.
Sebagai ungkapan yang mendalam dan penuh khidmat pada kesem-
patan ini penulis menyampaikan rasa syukur kehadirat Tuhan YME atas
segala karunia yang diberikan-Nya sehingga buku ini bisa diselesaikan.
Tidak lupa dalam juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor
Universitas Palangka Raya Bapak Dr. Andri Ellia beserta jajarannya,
Dekan FISIP Universitas Palangka Raya, Kepala LPPM Univer-sitas Pa-
langka Raya beserta seluruh kepala Pusat Studi, Kepala LP3MP Uni-
versitas Palangka Raya beserta jajarannya. Teman-teman diskusi yang
luar biasa Mas Dhan, Mas Dedy Ilham, Agung Bali, Ibu Merrisa (Kajur So-
siologi), teman-teman di CESS (Centre for Empowerment Sosial Studies)
Bu Katrin dan Bu Riamona, Bu Anita (LP3MP), Bu dr. Herlina Eka Shinta
(stunting research), Bu Rita Sarlawa teman diskusi tentang pemberdayaan
masyarakat pada koperasi CU Betang Asi, dan kepada teman-teman yang
tidak bisa disebutkan satu persatu, sekali lagi terima kasih atas segala
dukungan dan doa penyemangat selama ini.
Terakhir semoga buku ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua
dalam meneliti dan mengkaji lingkungan dari persepktif sosiologi.

Palangka Raya, November 2019


Penulis

3
DAFTAR ISI

BAB I. Manusia dan Lingkungan


A. Manusia .......................................................................................... 1
B. Lingkungan .................................................................................... 2
C. Hubungan Manusia dengan Lingkungan ................................... 3
Evaluasi ................................................................................................. 5
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 5

BAB II. Ekologi


A. Asal Kata Ekologi ......................................................................... 6
B. Definisi Menurut Para Ahli .......................................................... 7
C. Ruang Lingkup Ekologi ............................................................... 8
D. Aspek dan Prinsip dalam Ekologi .............................................. 9
E. Manfaat Ekologi bagi Manusia................................................... 10
F. Jenis-Jenis Ekologi ..................................................................... 11
Evaluasi ................................................................................................. 12
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 12

BAB III. Memahami dan Mendiskusikan Sosiologi


dalam Konteks Lingkungan
A. Memahami Kerangka Dasar Teori Sosiologi ............................ 14
B. Sosiologi Lingkungan ................................................................. 31
Evaluasi ................................................................................................. 33
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 33

BAB IV. Ekofeminisme (Ecofeminism) sebagai Bagian


dari Sosiologi Lingkungan
A. Konsep Gender dan Sex ............................................................. 35
B. Pengertian Feminisme, Sejarah, Ciri, Klasifikasi,
Kelebihan & Kekurangannya ..................................................... 40
C. Ekofeminisme (Ecofeminism)..................................................... 46

4
Evaluasi ................................................................................................. 46
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 47

BAB V. Gerakan Ekofeminisme di Indonesia


A. Pemikiran Karen J. Warren ......................................................... 48
B. Pemikiran Mary Dary memberikan Pengayaan
tentang konsep Ekologi ............................................................. 49
C. Pemikiran Susan Griffin .............................................................. 50
D. Perlawanan Mama Aleta (Aleta Baun) di Indonesia ................ 51
Evaluasi ................................................................................................. 57
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 58

BAB VI. Memahami Tipologi Gerakan Sosial dalam Konteks


Lingkungan
A. Tipologi Gerakan Sosial menurut Para Ahli Sosiologi. .......... 60
B. Memahami Kelompok Penekan dan
Kelompok Kepentingan .............................................................. 63
C. Memahami Partispasi dan Aspirasi Rakyat .............................. 66
D. WALHI sebagai Gerakan Sosial ................................................. 67
Evaluasi ................................................................................................. 74
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 74

BAB VII. Kalimantan Tengah sebagai Ladang Riset Sosiologi


Lingkungan
A. Metode Kualitatif sebagai Pilar Riset Sosiologi. ..................... 75
B. Beberapa Fenomena sebagai Tema
Riset Sosiologi Lingkungan
di Kalimantan Tengah ................................................................. 77
Daftar Referensi Lebih Lanjut ............................................................. 78
Tentang Penulis

5
6
BAB I
MANUSIA DAN LINGKUNGAN

Keberadaan manusia tidak hanya sebatas memahami bahwa dia


lahir menjadi ada kemudian mati dan hilang, namun lebih dari itu karena
ketika keberadaan manusia yang diliputi kemampuan yang luar biasa
dengan beragam kemampuan dan predikat yang dimilikinya membuat ma-
nusia menjadi luar biasa terhadap makhluk lainnya. Atau hanya dengan
sebatas memahami manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Manusia sebagai
makhluk yang kompleks dan heterogen menjadikannya unik dengan ber-
bagai pembawaan yang khas. Pemahaman ini kemudian membawa ke
tingkat kesadaran sebagai masyarakat bahwa ada pembedaan warna kulit,
budaya, agama, negara, ras dan suku.
A. Manusia
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala
fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam,
mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, kematian dan
seterusnya. Serta terkait serta berinteraksi dengan alam dan lingku-
ngannya dalam sebuah hubungan timbal balik itu positif maupun
negatif. Oleh Ratna (tanpa tahun) dari pemahaman ini memunculkan
suatu pengembangan makna manusia sebagai:
 Manusia sebagai Makhluk Sosial. Manusia secara tidak
langsung merupakan warga masyarakat. Manusia perlu orang lain
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai suatu kesatuan
hidup; ada tanggung jawab, ada tugas, yang harus diembannya.
Namun pada sisi yang lain juga terdapat potensi konflik ketika ada
perbedaan dalam memahami suatu masalah.

 Manusia sebagai Makhluk Individu. Dalam makna ini manusia


memiliki unsur biologis dan psikologis. Ketika merasakan sakit

1
maka konteks biologisnya yang berperan, namun ketika tingkah
lakunya yang dominan maka sisi psikologisnya yang menjadi
acuan, karena ini sebagai manifestasi dari kondisi kejiwaan.

 Manusia sebagai Makhluk Holistik. Dalam makna ini manusia


sebagai makhluk yang memiliki keseluruhan atas beberapa unsur
yang melekat padanya meliputi unsur biologis, psikologis, sosial,
dan spiritual. (1) Secara biologis manusia akan menjalani kodrat
lahir, berkembang, dan meninggal; (2) Secara psikologis manusia
dibekali struktur kepribadian dan jiwa. Keadaan sedih, senang
adalah contoh dalam manifestasi kejiwaan dari manusia atau da-
lam konteks lain bahwa dengan daya guna akal pikirnya manusia
dapat mengembangkan ilmu pengetahuan; (3) Secara sosial ma-
nusia akan terikat norma dan nilai yang ada di masyarakat di
mana dia tinggal; (4) Secara spiritual manusia bisa membedakan
dirinya dengan makhluk lainnya, ditambah adanya keyakinan se-
bagai wujud beriman kepada Tuhan.

B. Lingkungan
Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup
keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral,
serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam
lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti
keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan dapat memberikan sumber kehidupan agar manusia
dapat hidup sejahtera. Lingkungan hidup menjadi sumber dan pe-
nunjang hidup. Dengan demikian, lingkungan mampu memberikan
kesejahteraan dalam hidup manusia. Pada masa sekarang, manusia
tetap menginginkan lingkungan sebagai tempat maupun sumber kehi-
dupannya yang dapat mendukung kesejahteraan hidup. Melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi, manusia mengusahakan lingkungan yang
2
sebelumnya tidak memiliki daya dukung serta lingkungan yang tidak
dapat untuk hidup (unhabitable) menjadi lingkungan yang memiliki daya
dukung yang baik (habitable).

C. Hubungan Manusia dengan Lingkungan


Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya.
Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas me-
merlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga
kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelo-
laan Lingkungan Hidup pada Pasal 1 Angka 1 mengartikan Lingkungan
Hidup sebagai, “Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempe-
ngaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya.”
Aryanto (2015) memberikan pemahaman atas hubungan manusia
dan alam, bahwa manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri
pada alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat
mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas
di perkotaan, dibanding dengan pelosok di mana penduduknya masih
sedikit dan cenderung primitif. Manusia merupakan komponen biotik
lingkungan yang memiliki kemampuan berpikir dan penalaran yang
tinggi. Di samping itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pe-
ngetahuan serta teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia
dalam lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat
negatif.
Manusia memandang alam lingkungannya dengan bermacam-
macam kebutuhan dan keinginan. Manusia bersaing dengan spesies
lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada hal ini manusia
memiliki kemampuan lebih besar dibandingkan organisme lainnya, teru-
tama dalam penggunaan sumber-sumber alamnya.
3
Karakteristik interaksi manusia dan lingkungan berbeda antara
satu daerah dengan daerah lainnya, begitu juga satu masyarakat de-
ngan masyarakat lainnya. Pada masyarakat yang tradisional, ada
kecenderungan lingkungan lebih dominan dalam memengaruhi kehi-
dupan manusia seperti halnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan.
Sedangkan pada daerah yang masyarakatnya memiliki tingkat pe-
radaban yang lebih maju, manusia cenderung dominan sehingga
lingkungannya telah banyak berubah dari lingkungan alam menjadi ling-
kungan binaan hasil karya manusia.
Kendati demikian, masih banyak masyarakat kita yang memiliki
kebiasaan yang tidak ramah lingkungan, seperti perusakan lingkungan
demi keuntungan semata. Seharusnya manusia berhati-hati dalam
mengolah tanah, air, udara makhluk makhluk yang ada di dunia ini.
Khususnya pada lingkungan, manusia telah begitu banyak menimbul-
kan kerusakan pada bumi ini. Limbah, kotoran, sampah dibuang begitu
saja tanpa mengindahkan lingkungan dan makhluk lain. Responnya
dari lingkungan dapat kita lihat seperti menyebabkan penyakit, bahkan
menjadi bencana alam. Perubahan lingkungan berdampak positif
berarti baik dan menguntungkan bagi kehidupan manusia maupun
lingkungan tersebut, serta berdampak negatif berarti tidak baik dan
tidak menguntungkan karena dapat mengurangi kemampuan alam
lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya maupun merugi-
kan manusia. Perubahan lingkungan sebagai akibat tindakan manusia
tidak jarang memberikan dampak negatif, yaitu kerusakan lingkungan
hidup. Kerusakan lingkungan hidup merupakan masalah besar yang
dialami umat manusia sekarang ini. Bahkan, isu tentang HAM, demo-
krasi, dan lingkungan.
Seharusnya antara manusia dan lingkungan memiliki hubungan
ketergantungan yang sangat erat. manusia dalam hidupnya senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan di mana manusia itu berada. Hal itu
dikarenakan lingkungan, yang merupakan kesatuan ruang dengan se-
4
mua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan peri kehi-
dupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Dapat kita ketahui bahwa manusia dan lingkungan itu mempunyai
hubungan timbal balik. Manusia sangat membutuhkan suatu lingkungan
yang baik, aman dan kondusif karena dengan lingkungan tersebut
manusia dapat berkembang dengan baik pula. Sebaliknya lingkungan
juga membutuhkan manusia, dengan manusia yang baik maka baik
pula lingkungannya.

Evaluasi
1. Jelaskan konsep manusia secara sosial, individu, dan holistik!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan lingkungan!
3. Jelaskan hubungan antara manusia dengan lingkungan!

Daftar Referensi Lebih Lanjut :


Ariyanto, Sabpri. (2015). Manusia, Masyarakat & Lingkungan dalam website
https://www.kompasiana.com/sabpri_aryanto/54f8a00ca33311bb188b460d/manu
sia-masyarakat-lingkungan. Diakses 13 September 2019, pukul 19.22 WIB
Ratna, Wahyu. (tanpa tahun). Sosiologi dalam Keperawatan. PT.Pustaka
Baru. Yogyakarata
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup

5
BAB II
EKOLOGI

Hubungan antara makhluk hidup dengan alam saat ini semakin


banyak menjadi bahan diskusi, karena ternyata timbal balik hubungan ini
bisa dipahami sebagai hubungan yang bisa bersifat saling merugikan (sim-
biosis parasitisme) atau hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis
mutualisme). Namun sesungguhnya hubungan-hubungan yang ada itu ber-
dampak bukan sekedar untung atau rugi namun semua mempunyai
konsekuensi.
Maka kemudian ekologi menjadi sebuah pemahaman awal dalam
memberikan sebuah makna hubungan-hubungan antara makhluk hidup
dalam hal ini manusia pada alam. Berikut ini definisi-definisi yang di kemu-
kakan oleh para ahli tentang ekologi.
A. Asal Kata Ekologi
Secara umum, pengertian ekologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang hubungan timbal balik antara organisme dengan
lingkungan hidupnya. Ada juga yang menjelaskan pengertian ekologi
adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang in-
teraksi makhluk hidup atau kelompok makhluk hidup dengan lingku-
ngannya. Dengan kata lain, ekologi adalah cabang ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang ekosistem makhluk hidup.
Secara etimologis, istilah “ekologi” berasal dari bahasa Yunani,
yaitu oikos yang artinya “habitat” dan logos yang artinya “ilmu,” se-
hingga definisi ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan
antara sesama organisme dan juga antara organisme dengan lingku-
ngannya.
Pada bagian lain dalam Effendi, dkk. (2018) menyebutkan kata
“ekologi” pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel seorang ahli
biologi Jerman pada tahun 1866. Menurut Ernst Haeckel ekologi adalah
ilmu yang komprehensif yang mempelajari hubungan antar organisme
6
dengan lingkungannya. Sedangkan Burdon-Sanderson menyatakan
ekologi adalah ilmu yang memperlajari hubungan eksternal antara ta-
naman dan hewan satu sama lain, serta keberadaannya pada masa
lampau dan masa kini. Relasi eksternal tersebut untuk membedakan
dengan fisiologi (relasi internal) dan morfologi (struktur). Krebs mem-
perjelas definisi ekologi yaitu pengetahuan ilmiah mengenai interaksi
yang menentukan distribusi dan kelimpahan suatu organisme (ekologi
adalah mengenai di mana organisme ditemukan, berapa jumlahnya,
dan mengapa). Sedangkan Ricklefs mendefinisikan ekologi sebagai
ilmu lingkungan alam, terutama mempelajari hubungan mendalam an-
tara organisme dengan lingkungan sekitarnya. Berdasarkan definisi-
definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwah ekologi adalah ilmu
yang mempelajari hubungan timbal balik antar organisme atau orga-
nisme dengan lingkungannya. Berdasarkan perkembangannya ekologi
bisa disebut sebagai ilmu dasar lingkungan, ilmu yang mempelajari
makhluk hidup dalam rumah tangganya atau ilmu yang mempelajari
seluruh pola hubungan timbal balik antara makhluk hidup sesamanya
dengan komponen di sekitarnya. Ekologi menganut prinsip keseim-
bangan dan keharmonisan semua komponen alam. Terjadinya bencana
alam merupakan contoh keseimbangan dan keharmonisan alam ter-
ganggu. Ekologi memandang makhluk hidup sesuai dengan perannya
masing-masing. Semua makhluk hidup di alam memiliki peran yang
berbeda dalam menciptakan keharmonisan dan keseimbangan alam.

B. Definisi Menurut Para Ahli


Agar lebih memahami apa itu ekologi, maka kita dapat merujuk
pada pendapat beberapa ahli berikut ini:
1) Ernst Haeckel
Menurut Ernst Haeckel (1866), ekologi adalah ilmu pengetahuan
komprehensif tentang hubungan organisme terhadap lingkungan hi-
dupnya.
7
2) J. Krebs
Menurut C. J. Krebs (1972), ekologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang interaksi yang menentukan distribusi dan ke-
limpahan organisme.

3) P. Odum
Menurut E. P. Odum (1963), ekologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang struktur dan fungsi alam atau “The study of the structure
and function of nature.”

4) Charles Elton
Menurut Charles Elton (1927), ekologi adalah sejarah alam yang
sifatnya ilmiah (scientific natural history) dengan kata lain ekologi
adalah ilmu yang mengkaji kehidupan alam secara ilmiah atau dapat
disingkat ilmu yang mempelajari sejarah alam.

5) G. Tyler Miller
Menurut G. Tyler Miller (1975), ekologi adalah ilmu yang mem-
pelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan organisme
lain dan dengan lingkungannya.

C. Ruang Lingkup Ekologi


Secara umum, ekologi mempelajari mengenai interaksi organisme
dengan lingkungan hidupnya. Batasan pokok bahasan atau ruang ling-
kup ekologi adalah sebagai berikut:
1) Individu
Individu adalah satuan organisme dari setiap jenis atau species tertentu.
Misalnya seorang manusia, seekor gajah, seekor burung, seekor ikan,
dan sebagainya.

2) Populasi
Populasi adalah suatu kelompok individu sejenis yang berada di suatu
tempat dan waktu tertentu. Misalnya populasi manusia, populasi burung,
populasi rumput, dan sebagainya.
8
3) Komunitas
Komunitas adalah suatu kelompok makhluk hidup yang terdiri atas
beberapa populasi dan saling berinteraksi satu sama lainnya pada
suatu tempat dan waktu tertentu. Misalnya komunitas padang rum-
put yang di dalamnya terdapat populasi rumput, populasi belalang,
populasi burung, populasi ular, dan lainnya.

4) Ekosistem
Ekosistem adalah suatu kondisi di mana terjadi hubungan timbal
balik dan saling ketergantungan antara makhluk hidup dengan
lingku-ngannya. Misalnya ekosistem hutan, ekosistem air laut, dan
lainnya.

5) Biosfer
Biosfer adalah tingkatan organisasi biologi yang paling besar di
mana di dalamnya terdapat semua kehidupan yang ada di bumi dan
terdapat interaksi antara lingkungan fisik secara keseluruhan.

D. Aspek dan Prinsip dalam Ekologi


Di dalam mempelajari hubungan antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, terdapat beberapa aspek dan prinsip yang harus diper-
hatikan. Mengacu pada pengertian ekologi di atas, berikut ini adalah
aspek dan prinsip dalam ekologi:

1) Aspek Utama dalam Ekologi


Beberapa aspek penting dalam mempelajari ekologi adalah sebagai
berikut:

a) Studi mengenai interaksi organisme atau kelompok dengan


lingkungannya.
b) Studi mengenai internaksi organisme atau kelompok dengan
lingkungannya.

9
c) Studi mengenai struktur dan fungsi alam.
2) Prinsip Utama dalam Ekologi
Beberapa prinsip utama dalam ekologi adalah sebagai berikut:
a) Adanya interaksi (interaction).
b) Adanya saling ketergantungan (interdependence).
c) Adanya keanekaragaman (diversity).
d) Adanya keharmonisan (harmony).
e) Adanya kemampuan berkelanjutan (sustainability).

E. Manfaat Ekologi Bagi Manusia


Ada banyak manfaat ekologi yang bisa diberikan kepada manusia
dan lingkungan hidupnya. Sesuai dengan pengertian ekologi, adapun
beberapa manfaat ekologi adalah sebagai berikut:
1) Mengenal Keberagaman Hayati
Dengan adanya ekologi, maka manusia dapat memahami
berbagai makhluk hidup dan hubungannya dengan tempat tinggal-
nya. Contohnya, bagaimana seekor unta dapat bertahan hidup pada
tempat yang bersuhu tinggi sedangkan penguin bertahan hidup di
tempat bersuhu dingin.

2) Mengenal Perilaku Makhluk Hidup


Ekologi juga dapat membantu manusia mengenal perilaku
makhluk hidup lainnya yang bermanfaat bagi manusia. Misalnya,
sistem sonar kapal selam yang diadaptasi dari hewan kelelawar dan
lumba-lumba ternyata bermanfaat bagi manusia untuk menentukan
suatu lokasi.

3) Mengetahui Peran Manusia terhadap Lingkungan


Ekologi dapat membantu manusia untuk mengetahui dampak
produk yang dihasilkan manusia terhadap lingkungan. Misalnya,
produk DDT yang ditujukan untuk memberantas hama ternyata me-
rusak lingkungan manusia dan organisme lainnya.

10
4) Memetakan Konsumsi Pangan
Dengan adanya ekologi maka manusia dapat mengetahui
struktur dan skala pangan setiap makhluk hidup. Misalnya, tum-
buhan sebagai produsen, hewan herbivora sebagai konsumen tkt. 1,
hewan karnivora sebagai konsumen tkt. 2, manusia sebagai kon-
sumen tkt. 3, hewan pengurai, dan hasil pengurai tersebut dikon-
sumsi oleh produsen sebagai sumber energi.

5) Memecahkan Masalah Pertanian


Ekologi juga dapat membantu manusia dalam memecahkan
masalah pertanian yang dihadapi oleh manusia. Misalnya untuk
menjaga kesuburan tanah dibutuhkan beberapa mikroba yang dapat
menghasilkan nitrat dan ammonium.

6) Memecahkan Masalah Energi


Ekologi dapat membantu manusia dalam memastikan
ketersediaan energi untuk menunjang kehidupannya. Misalnya pe-
manfaatan energi alternatif dari tenaga surya untuk menghasilkan
energi listrik.

7) Memecahkan Masalah Kesehatan


Ekologi juga dapat membantu manusia dalam memecahkan
masalah kesehatan yang dihadapi. Misalnya mengetahui bahwa
nyamuk Aedes Aegypti adalah penyebab demam berdarah yang da-
pat diatasi dengan penanganan tertentu, seperti menguras atau
membuat genangan air bersih tempat nyamuk bertelur.

F. Jenis-Jenis Ekologi
Pada dasarnya istilah ekologi digunakan pada beberapa bidang
kehidupan manusia. Mengacu pada pengertian ekologi David (2005)
menyebutkan beberapa jenis ekologi adalah sebagai berikut:
1. Ekologi manusia, yaitu cabang ekologi yang mempelajari tentang
keadaan lingkungan hidup manusia.
11
2. Ekologi tumbuhan, yaitu cabang ekologi yang mempelajari ten-
tang tumbuhan sebagai organisme dengan mengabaikan manusia
dan hewan.

3. Ekologi hewan, yaitu cabang ekologi yang mempelajari tentang


hewan sebagai organisme dengan mengabaikan manusia dan tum-
buhan.

4. Ekologi habitat, yaitu cabang ekologi yang fokus mempelajari dan


membahas tentang sifat dari suatu habitat.

5. Ekologi populasi, yaitu cabang ekologi yang fokus mempelajari


hubungan antara kelompok organisme, jumlah individu, dan faktor
penentu besar populasi dan penyebarannya.

6. Ekologi sosial, yaitu cabang ekologi yang mempelajari hubungan


antara manusia dengan lingkungan alam dan teknologi.

7. Ekologi bahasa, yaitu cabang ekologi yang mempelajari dan me-


nyelidiki hubungan antara bahasa dan lingkungan manusia.

8. Ekologi antariksa, yaitu cabang ekologi yang mempelajari tentang


ekosistem yang dapat menopang kehidupan manusia selama pe-
nerbangan antariksa

Evaluasi
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ekologi!

2. Jelaskan salah satu pendapat para ahli tentang ekologi!

3. Jelaskan salah satu manfaat ekologi bagi manusia!

Daftar Referensi Lebih Lanjut


Burnie, David. 2005. Ekologi. Jakarta: Erlangga.
Effendi, Rahayu dkk (2018). PEMAHAMAN TENTANG LINGKU-NGAN
BERKELANJUTAN. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/modul.

12
Elton, Charles.1927. Animal Ecology, Sidgwick and Jackson, London.1st
edn. Reprinted several times, e.g. 2001 by The University of Chicago
Press, ISBN 0-226-20639-4. 2nd edn The ecology of animals, 1946,
Methuen, London.
Krebs, C.J. (1972) Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Published by Harper & Row.
Leksono, Amin Setyo. 2007. Ekologi. Malang: Bayumedia Publishing.
Miller, G. Tyler. 1975. Essentials of Ecology 6th Edition. Cengage Learning.
Boston. Massachusetts: United States.
Odum, Eugene P. (1963). Ecology. Holt, Rinehart and Winston. New York.

13
BAB III
MEMAHAMI DAN MENDISKUSIKAN SOSIOLOGI
DALAM KONTEKS LINGKUNGAN

Mehamami antara sosiologi sebagai ilmu pengetahuan kemudian


memadankannya dengan lingkungan sebagai suatu hal istimewa. Ketika
sosiologi banyak berkutat dengan masalah kemasyarakat pada era klasik,
namun pada sisi yang lain dampak lingkungan ternyata mampu merubah
tatanan kemasyarakatan baru kemudian sosiolog tersadar.
Bagaimana permasalahan suatu wilayah, misalnya sebuah desa
yang hilang atau terganggu mobilitasnya akibat bencana alam atau benca-
na penyakit. Kajian-kajian sosiologi kemudian hadir bahwa ternyata ada
kaitan yang erat antara sosiologi dengan lingkungan. Lingkungan dengan
daya bebannya yang semakin menipis sementara kepunahan flora dan fau-
na turut memperburuk keadaan, pada sisi yang lain mobilitas masyarakat
terus mencari penghidupan dengan mengeksploitasi alam juga semakin
meningkat.
Sebagai contoh Perseteruan Enoosupukia dalam Dietz (2005), di
Kenya sebuah lahan yang subur kemudian menjadi kering dan tandus
akibat eksploitasi yang terus menerus sehingga kemudian menimbulkan
konflik etnis dengan menambahkan ujaran kebencian terhadap salah satu
etnis. Kawasan itu pun ditinggalkan oleh masyarakatnya dan ditambah de-
ngan banyaknya korban jiwa yang jatuh. Namun yang unik pengusiran
salah satu etnis ini di kawal oleh kebijakan untuk menjaga alam agar lestari
seperti semula. Membayangkan sebuah peristiwa tersebut membawa
makna bahwa pengusiran sebuah masyarakat demi kepentingan alam oleh
pemerintah itu sah, walaupun dengan adanya korban jiwa.
A. Memahami Kerangka Dasar Teori Sosiologi
Memasuki bahasan sosiologi dalam konteks lingkungan tidak
lepas dari teori-teori mendasar dalam memahami sosiologi secara utuh,
karena bagaimanapun teori-teori sosiologi dasar tetap sebagai pisau
14
analisis dalam cabang-cabang sosiologi, termasuk di dalamnya so-
siologi lingkungan. Berikut ini asumsi, metode yang digunakan dan
konsekuensi teoritisnya dalam memahami sosiologi.

1) Fenomenologi
Fenomenologi berasumsi bahwa objek memiliki arti dan nilai
yang sangat kaya, sehingga mengandung beberapa kemungkinan
diadakannya observasi yang lebih spesifik, misalnya melalui pende-
katan fenomenologis.
 Metode yang digunakan:
Fenomenologi menggunakan pendekatan objektif dengan
mengumpulkan data secara objektif tentang fakta sosial. Dalam
fenomenologi subjek harus terbuka dan mengarahkan diri kepada
objek untuk mengetahui dan mengenal sebagaimana adanya.

 Konsekuensi yang dilakukan:


Dalam keyakinan fenomenologis, struktur ilmu pengetahuan
senantiasa terdapat kenyataan akan adanya relasi timbal balik
antara manusia yang ingin tahu dengan realitas yang hendak
dikenalnya (intensionalitas subjek-objek). Terkait histori dan ke-
unikan objek, fenomenologi hendak menempatkan kembali esensi
dunia dalam eksistensi manusia dan berpendapat bahwa manusia
serta dunia tidak dapat dimengerti kecuali bertitik tolak dari faktisi-
tas mereka.

2) Teori Kritis
Teori Kritis sebagian besar terdiri dari kritik terhadap berbagai
aspek kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya
adalah untuk mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat.
Teori Kritis bertolak dari kritik terhadap Teori Marxian yang meng-
anut determinisme ekonomi mekanistis.

15
 Metodologi yang digunakan:
Teori ini menggunakan cara berpikir teknokratis untuk mem-
bantu kekuatan yang mendominasi, untuk menemukan cara
efektif untuk mencapai tujuan. Selain itu terdapat pula pengguna-
an nalar dalam peneliteian dilihat dari sudut nilai manusia tertinggi
yang berkenaan tentang keadilan, perdamaian dan kebahagiaan,
serta menggunakan pendekatan dialektika untuk mengamati dan
menganalisis totalitas sosial.

 Kritik terhadap Teori Marxian: Teori Kritis tidak menyatakan bahwa


determinis ekonomi keliru, tetapi seharusnya aspek kehidupan sosial
lain juga perlu diperhatikan.

 Kritik terhadap Positivisme: Positivisme dianggap mengabaikan


aktor; Teori Kritis lebih menyukai memusatkan perhatian pada ak-
tivitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas tersebut mem-
pengaruhi struktur sosial yang lebih luas.

 Kritik terhadap Sosiologi: Sosiologi dianggap lebih memperhati-


kan masyarakat sebagai satu kesatuan daripada memperhatikan
individu dalam masyarakat karena mengabaikan individu sosiologi
dianggap tak mampu mengatakan sesuatu yang bermakna ten-
tang perubahan politik yang dapat mengarah ke sebuah masya-
rakat manusia yang adil.

 Kritik terhadap Masyarakat Modern: Dominasi dalam masyara-


kat modern telah bergeser dari bidang ekonomi ke bidang kultural,
karena itulah aliran kritis memcoba memusatkan perhatian pada
penindasan kultural atas individu dalam masyarakat.

 Kritik terhadap Kultur: Teori Kritis melontarkan kritik pedas ter-


hadap “industri kultur”, yakni struktur yang dirasionalkan dan dibi-
rokrasikan (misalnya jaringan televisi) yang mengendalikan kultur
modern.
16
3) Fungsionalisme Struktural
Asumsi:
 Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang sa-
ling bergantung.

 Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan


diri atau keseimbangan.

 Sistem memiliki kemungkinan statis atau bergerak dalam proses


perubahan yang teratur.

 Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk


bagian-bagian lain.

 Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.

 Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang di-


perlukan untuk memelihara keseimbangan sistem.

 Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan


diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hu-
bungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem,
mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendali-
kan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

Asumsi-asumsi ini menyebabkan Parsons menempatkan


analisis struktur keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Pada
analisisnya tentang sistem sosial, Parsons terutama tertarik pada
komponen-komponen strukturalnya. Selain memusatkan perhatian
pada status-peran, Parsons memperhatikan komponen sistem so-
sial berskala luas seperti kolektivitas, norma dan nilai. Namun dalam
analisisnya mengenai sistem sosial, ia bukan semata-mata sebagai
seorang strukturalis, tetapi juga seorang fungsionalis. Ia menjelas-
kan sejumlah persyaratan fungsional dari sistem sosial.

17
Pertama, sistem sosial harus terstruktur sedemikian rupa se-
hingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan
sistem lainnya.
Kedua, untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial
harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain.
Ketiga, sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang me-
madai dari para anggotanya.
Keempat, sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku
yang berpotensi menganggu.
Kelima, bila konflik akan menimbulkan kekacauan maka harus
dikendalikan.
Keenam, untuk keberlangsungan hidupnya sistem sosial me-
merlukan bahasa. Jadi jelaslah bahwa persyaratan fungsional sis-
tem sosial Parsons memusatkan perhatian pada sistem sosial
berskala luas dan pada hubungan antara berbagai sistem sosial
luas itu (fungsionalisme kemasyarakatan). Bahkan ketika Parsons
berbicara mengenai aktor, itupun dari sudut pandang sistem. Ba-
hasan tersebut juga mencerminkan perhatian Parsons terhadap
pemeliharaan keteraturan di dalam sistem sosial yang berskala luas
(makro).
Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem (Rocker,
1975:40). Melalui definisi ini, Parsons yakin bahwa ada 4 fungsi
penting yang diperlukan semua sistem, yaitu: Adaptation (A), Goal
Attainment (G), Integration (I), dan Latency (L) atau pemeliharaan
pola. Secara bersama-sama, ke-4 imperatif fungsional ini dikenal
sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan, suatu sistem harus
memiliki 4 fungsi ini. Adaptasi adalah sebuah sistem harus menang-
gulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan
diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan
kebutuhannya. Dalam skema ini Parsons mendesain fungsi adaptasi

18
pada perilaku organisme yaitu sistem tindakan yang melaksanakan
fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah
lingkungan eksternal.

1) Interaksionisme Simbolik
Beberapa tokoh interaksionisme simbolik telah mencoba
menghitung jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi:
 Tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpi-
kir.

 Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang


memungkinkan penggunaan kemampuan berpikir.

 Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan


khusus dan berinteraksi.

 Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan


dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka ter-
hadap situasi.

 Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan,


sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri
mereka sendiri, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka,
dan kemudian memilih satu di antaara serangkaian peluang
tindakan itu.

 Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan mem-


bentuk kelompok dan masyarakat.

Asumsi penting bahwa manusia memiliki kapasitas untuk


berpikir membedakan interaksionisme simbolik dari akar behavio-
rismenya. Individu dalam masyarakat tidak dilihat sebagai unit yang
dimotivasi oleh kekuatan eksternal atau internal di luar kontrol atau
di dalam kekurangan struktur yang kurang lebih tetap. Mereka lebih

19
dipandang sebagai cerminan atau unit-unit yang saling berinteraksi
yang terdiri dari unit-unit kemasyarakatan. Kemampuan berpikir me-
mungkinkan manusia bertindak dengan pemikiran daripada hanya
berperilaku tanpa pemikiran. Kemampuan untuk berpikir tersimpan
dalam pikiran, tetapi teori interaksionis simbolik mempunyai konsep
yang agak luar biasa mengenai pikiran yang menurut mereka bera-
sal dari sosialisasi kesadaran.
Teori interaksionis simbolik tidak membayangkan pikiran seba-
gai benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih
membayangkannya sebagai proses yang berkelanjutan. Sebagai
sebuah proses yang dirinya sendiri merupakan bagian dari proses
yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran, menurut interak-
sionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek
lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masya-
rakat.
Dengan asumsi-asumsi ini, maka dalam interaksi sosial, para
aktor atau individu terlibat dalam proses saling mempengaruhi. Studi
interaksionisme simbolik lebih menekankan pada individu sebagai
aktor dalam proses interaksi sosial. Oleh sebab itu interaksionisme
simbolik lebih bersifat studi mikro.

2) Teori Dramaturgi (Erving Goffman)


Dramaturgi adalah pandangan tentang kehidupan sosial
sebagai serentetan pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di
atas pentas. Prinsip pokok teori dramaturgi antara lain:
 Front Stage (panggung depan) bagian pertunjukan yang umum-
nya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan si-
tuasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Front Stage
terdiri dari:
a) Setting, yaitu pemandangan fisik yang biasanya ada di situ
jika aktor memainkan perannya.
20
b) Front Personal, terdiri dari berbagai macam properti yang
bersifat menyatakan perasaan yang memperkenalkan penon-
ton dengan aktor dan perlengkapan itu diharapkan penonton
dipunyai oleh aktor. Terdiri dari penampilan dan gaya.

c) Mistifikasi, aktor cenderung memistifikasi pertunjukan dengan


membatasi hubungan antara diri mereka dengan penonton.
Dengan membangun “jarak sosial‟ antara diri mereka dengan
penonton, mereka mencoba menciptakan perasaan kagum di
pihak penonton. Contoh: seorang dokter bedah umumnya me-
miliki kamar operasi, memakai baju jubah putih, mempunyai
peralatan-peralatan bedah, gaya fisik bersih, dan penuh per-
hatian terhadap lingkungannya.

 Back Stage (panggung belakang) di mana fakta disembunyikan di


depan atau berbagai jenis tindakan informal mungkin timbul. Ter-
diri dari:
a) Pengelolaan Kesan: Kehati-hatian terhadap sederet tindakan
yang tidak diharapkan, misalnya gerakan, kesalahan bicara,
adegan dan sebagainya.

b) Role Distance: Derajat pemisahan antara diri individu dengan


peran yang diharapkan dimainkan.

c) Stigma: Jurang pemisah antara apa yang seharusnya dilaku-


kan seseorang.

d) Frame Analysis: Kerangka penafsiran yang memungkinkan in-


dividu menempatkan, merasakan, mengenali dan menamai
kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka dan dunia pada
umumnya. Contoh: seorang dokter mempunyai aktivitas lain
selain aktivitas medis, misalnya anggota klub olahraga, klub
dansa di sebuah diskotik, suami sekaligus seorang ayah di ke-
luarganya.
21
3) Teori Strukturasi (Anthony Giddens)
Struktur didefinisikan sebagai properti-properti yang berstruk-
tur (aturan dan sumber daya), properti yang memungkinkan praktik
sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang-
waktu, dan yang membuatnya menjadi bentuk sistemis (Giddens,
1984:17). Struktur hanya akan terwujud karena adanya aturan dan
sumber daya. Struktur itu sendiri tidak ada dalam ruangan dan wak-
tu.
Fenomena sosial mempunyai kapasitas yang cukup untuk
menjadi struktur. Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di
dalam dan melalui aktivitas agen manusia (1989:256). Menurutnya,
struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap ke-
hidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk
dan menentukan kehidupan sosial itu. Giddens tak menyangkal
fakta bahwa struktur dapat memaksa dan mengendalikan tindakan,
tetapi struktur juga sering memberikan kemungkinan bagi agen
untuk melakukan sesuatu yang sebaliknya tak akan mampu mereka
kerjakan. Giddens mendefinisikan sistem sosial sebagai praktik so-
sial yang dikembangbiakkan (reproduced) atau “hubungan yang
direproduksi antara aktor dan kolektivitas yang diorganisir sebagai
praktik sosial tetap‟ (1984:17,25). Gagasan tentang sistem sosial ini
berasal dari pemusatan perhatian Giddens terhadap praktik sosial.
Sistem sosial tidak mempunyai struktur, tetapi dapat memunculkan
dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma dalam
sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial yang direproduksi. Meski
sistem sosial boleh jadi merupakan produk dari tindakan yang di-
sengaja, Giddens memusatkan perhatian lebih besar pada fakta
bahwa sistem sosial sering merupakan konsekuensi yang tak
diharapkan dari tindakan manusia. Jadi, struktur serta-merta muncul
dalam sistem sosial. Struktur pun menjelma dalam “ingatan agen
22
yang berpengetahuan banyak‟ (Giddens, 1984:17). Oleh karena itu
aturan dan sumber daya menjelmakan dirinya sendiri di tingkat
makro sistem sosial maupun di tingkat mikro berdasarkan kesada-
ran manusia.
Konsep strukturasi berdasarkan pemikiran bahwa konstitusi
agen dan struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa
yang berdiri sendiri (dualisme), tetapi mencerminkan dualitas ciri-ciri
struktural sistem sosial adalah sekaligus medium dan hasil praktik
sosial yang diorganisir berulang-ulang atau “momen memproduksi
tindakan juga merupakan salah satu reproduksi tindakan‟, juga me-
rupakan salah satu reproduksi dalam konteks pembuatan kehidupan
sosial seharihari (Giddens, 1984:25,26). Strukturasi meliputi hubu-
ngan dialektika antara agen dan struktur, struktur dan keagenan
adalah dualitas, struktur takkan ada tanpa keagenan dan demikian
sebaliknya.
 Implikasi pendekatan strukturasi:
a) Teori strukturasi memusatkan perhatian pada tatanan institusi
sosial yang melintasi waktu dan ruang (Giddens, 1989:300)
Giddens memandang institusi sosial sebagai kumpulan praktik
sosial dan ia mengidentifikasi 4 macam institusi: tatanan sim-
bolik, institusi politik, institusi ekonomi dan institusi hukum.

b) Pemusatan perhatian pada perubahan institusi sosial melintasi


waktu dan ruang. Waktu dan ruang tergantung pada apakah
orang lain hadir untuk sementara waktu atau dalam hubungan
yang renggang. Kondisi primordial adalah interaksi tatap
muka, di mana orang lain hadir pada waktu dan tempat yang
sama, tetapi sistem sosial berkembang atau meluas menurut
waktu dan ruang sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir
pada waktu yang sama dan ruang yang sama. Sistem sosial
yang berjarak dilihat dari sudut waktu dan ruang seperti itu

23
dalam kehidupan modern makin meningkat peluangnya de-
ngan munculnya penggunaan peralatan komunikasi dan
transportasi baru.

c) Penelitei harus peka terhadap cara-cara pemimpin berbagai


institusi itu campur tangan dan mengubah pola sosial.

d) Pakar strukturasi perlu memonitor dan peka terhadap penga-


ruh temuan peneliteian mereka terhadap kehidupan sosial.

4) Post-modernisme
Ada perbedaan besar di kalangan pemikir post-modern yang
umumnya bersifat idiosinkretik sehingga sukar menggeneralisasi
kesamaan pendapat mereka.
a) Pendirian yang ekstrim menyatakan bahwa masyarakat modern
telah terputus hubungannya dengan dan sama sekali telah di-
gantikan oleh masyarakat post-modern. Tokoh yang terkait di
antaranya Jean Baudrillard, Gilles Deleuze, dan Felix Guattari.

b) Pendirian yang menyatakan bahwa meskipun telah terjadi pe-


rubahan, post-modernisme muncul dan terus berkembang
bersama dengan modernisme. Pendirian ini diikuti oleh pemikir
marxian seperti F.Jameson, Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,
dan oleh pemikir feminis post-modern seperti Nancy Fraser dan
Linda Nicholson.

c) Pendirian yang lebih memandang modernisme dan post-mo-


dernisme sebagai zaman. Keduanya terlibat dalam rentetan
hubungan jangka panjang dan post-modernisme terus-menerus
menunjukkan keterbatasan modernisme. Tokoh yang terkait
adalah Smart.

d) Pendirian yang melihat modernitas sebagai “proyek yang belum


selesai” dalam arti masih banyak yang harus dikerjakan dalam
24
kehidupan modern sebelum kita mulai berpikir mengenai ke-
mungkinan kehidupan pest modern. Tokoh yang terkait adalah
Habermas.

Meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan


pemikir post-modern, tetapi secara umum dapat dilihat makna dari
konsep post-modern, antara lain:
 Post-modern meliputi periode historis baru, produk kultural baru
dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial.
Tentu saja semuanya ini merupaka sebuah perspektif baru dan
berbeda mengenai peristiwa yang terjadi di tahun-tahun be-
lakangan ini, yang tak lagi dapat dilukiskan dengan istilah
“modern‟, dan perspektif mengenai perkembangan baru yang
menggantikan realitas modern. Konsep post-modern ini terutama
tertuju pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era modren
telah berakhir dan kita memasuki periode historis baru, post-
modernitas.

 Post-modernisme berkaitan dengan dunia kultural dan dapat


dinyatakan bahwa produk post-modern cenderung menggantikan
produk modern (di bidang kesenian, film, arsitektur dan sebagai-
nya).

 Kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan


teori sosial modern. Teori sosial modern mencari landasan uni-
versal, historis, dan rasional, untuk analisis dan untuk mengkritik
masyarakat. Pemikir post-modern menolak landasan ini dan cen-
derung menjadi relativistik, irrasional, dan nihilistik.

Perbedaan penerapan teori modernisasi di berbagai negara


berkembang berakibat pada adanya kesenjangan antara negara-
negara berkembang tersebut, karena modernisasi cenderung men-
dukung pihak yang kuat sehingga negara yang sudah menerapkan

25
teori tersebut cenderung mengalami kemajuan yang pesat di-
bandingkan dengan negara berkembang yang miskin. Adanya
perbedaan penerapan teori tersebut menyebabkan beberapa
negara berkembang telah terhegemoni pada gaya hidup dan pola
konsumsi negara-negara barat sehingga negara berkembang terca-
but dari akar kulturalnya.
Di dalam hubungan-hubungan antar bangsa, dapat dilihat
terbaginya negara bangsa ke dalam kelompok-kelompok ke-
pentingan yang didasarkan pada bidang-bidang ekonomi dan politik.
Sebuah institusi internasional mungkin harus dibentuk untuk mengu-
rangi hegemoni antar negara dan kelompok-kelompok kepentingan.

5) Max Weber tentang Hubungan Sosial


Terdapat tiga sifat hubungan sosial:
a) Legitimasi: pengaruh orientasi rasional dalam legitimasi tradisio-
nal yaitu sikap beragama, hubungan solidaritas yang komunal.

b) Hubungan asosiasi: orientasi rasional didefinisikan sebagai nilai


mutlak yang dilegitimasi dalam hubungannya dengan nilai, hu-
bungannya bersifat asosiatif. Contohnya asosiasi bersifat politik,
ekonomi, dan sebagainya.

c) Kerjasama dan kontrol yang erat dalam orientasi tradisional: tipe-


tipe yang berbeda dalam masyarakat didasarkan pada pembe-
daan tipe nilai atau tingkat rasionalitas. Contohnya perluasan
tingkah laku yang didefinisikan oleh minat individu atau kelom-
pok.

Pembagian wewenang menurut Weber:


a) Otoritas tradisional.
b) Otoritas karismatik.
c) Otoritas rasional-legal.

26
Sistem otoritas rasional-regal hanya dapat berkembang dalam
masyarakat barat modern dan hanya dalam sistem otoritas rasional-
regal itulah birokrasi modern dapat berkembang penuh. Sistem
otoritas tradisional berasal dari sistem kepercayaan di zaman kuno.
Contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa karena garis
keluarga atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok.
Pemimpin karismatik mendapatkan otoritasnya dari kemampuan
atau ciri-ciri luar biasa, atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut
bahwa pemimpin itu memang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Meski
kedua jenis otoritas itu mempunyai arti penting di masa lalu, Weber
yakin bahwa masyarakat barat, dan akhirnya masyarakat lainnya,
cenderung akan berkembang menuju sistem otoritas rasional-regal.
Dalam sistem otoritas semacam ini, otoritas berasal dari peraturan
yang diberlakukan secara hukum dan rasional.

6) Materialisme Sejarah
Karl Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat ka-
pitalis berdasarkan citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx
yakin bahwa pada dasarnya manusia produktif, artinya untuk ber-
tahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam.
Produktifitas mereka bersifat alamiah, materialisme, yang me-
mungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang
mereka miliki.
Melalui proses sejarah, proses alamiah ini dihancurkan, mula-
mula oleh kondisi peralatan masyarakat primitif dan kemudian oleh
berbagai jenis tatanan struktural yang diciptakan masyarakat se-
lama perjalanan sejarah. Tatanan struktural ini mengganggu proses
produktif alamiah, tetapi penghancuran ini terjadi paling parah dalam
struktur masyarakat kapitalis, di mana individu melakukan produksi
tidak untuk dirinya sendiri (pemenuhan kebutuhan fisik materialnya).
Tahap terbentuknya masyarakat menurut Marx:
27
1. Tribalisme (kesukuan).
2. Komunalisme (cara hidup komunal).
3. Evolusi kapitalisme, yaitu sebuah sistem yang menjadikan sum-
ber produksi dimonopoli oleh para pemilik modal. Dalam hal ini,
kapitalis tidak berarti statis, melalui masalah-masalah over pro-
duksi dan meningkatnya alienasi, kelompok pekerja menjadi
terorganisasi dan melakukan perlawanan terhadap sistem yang
ada

4. Sosialisme, kapitalisme mengalami proses desolusinya dan


menggerakkan masyarakat pada tujuan utamanya yaitu impian
negara sosialis. Sistem ini di bawah kendali revolusioner kaum
proletar yang terorganisir.

Marx meyakini bahwa perubahan struktur sosial diawali oleh


ketegangan hubungan produksi bahwa pada dasarnya kapitalisme
adalah sebuah struktur (atau lebih tepatnya serangkaian struktur).
Kapitalisme berkembang menjadi sistem dua kelas di mana sejum-
lah kecil kapitalis menguasai proses produksi, produk dan jam kerja
dari orang yang bekerja untuk mereka. Kaum industrialis dan borjuis
adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedang para pekerja
atau proletar, demi kelangsungan hidup mereka, tergantung pada
sistem itu. Pemikiran Marx sangat terpusat pada dampak penin-
dasan terhadap buruh, di mana buruh mengalami alienasi atau
keterasingan dari proses produksi alamiahnya.
Marx berpendapat bahwa kapitalisme sebagai sebuah struk-
tur, telah membuat batas pemisah antara individu dengan proses
produksi, sehingga individu mengalami alienasi. Hal ini menghan-
curkan keterkaitan alamiah antar manusia individual serta antara
manusia individual dengan apa-apa yang mereka hasilkan. Per-
hatian Marx pada struktur kapitalis lebih tertuju pada dampak

28
penindasan terhadap buruh. Secara politis perhatiannya tertuju
pada upaya untuk membebaskan manusia dari struktur kapitalis.
Weber memandang Marx dan para penganut marxis pada
zamannya sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-
teori berpenyebab tunggal tentang kehidupan sosial. Artinya, Teori
Marxian dilihat sebagai upaya pencarian semua perkembangan
historis pada basis ekonomi dan memandang semua struktur kon-
temporer dibangun di atas landasan ekonomi semata. Salah satu
contoh determinisme ekonomi yang mengganggu pikiran Weber
adalah pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah
refleksi kepentingan material (terutama kepentingan ekonomi) dan
bahwa kepentingan materi menentukan ideologi. Dari sudut pan-
dang ini, Weber dianggap telah membalikkan Marx.
Weber lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada
gagasan dan pengaruhnya terhadap dunia ekonomi. Weber me-
musatkan perhatiannya pada sistem ide-ide keagamaan, di mana
gagasan keagamaan merintangi perkembangan kapitalisme dalam
masyarakatnya masing-masing.
Pada karya tentang stratifikasi, Marx memusatkan perhatian-
nya pada kelas sosial, di mana struktur materi mempengaruhi
masyarakat, salah satu dimensi stratifikasi ekonomi. Meskipun
Weber mengakui pentingnya stratifikasi kelas, tetapi Weber menya-
takan bahwa stratifikasi harus diperluas sehingga mencakup
stratifikasi berdasarkan prestise dan kekuasaan termasuk juga ide-
ide, gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan dan akses ekonomi mereka
yang mempengaruhi masyarakat. Weber sangat dipengaruhi oleh
filsafat I. Kant, inilah yang antara lain menyebabkan mereka berpikir
linear, menurut hukum sebab akibat. Sebaliknya, Marx sangat dipe-
ngaruhi oleh Hegel yang lebih menganut dialektika, antara lain,
dapat membiasakan kita membayangkan pengaruh timbal balik
terus-menerus dari kekuatan sosial. Pemikir dialektika mampu
29
mengonsep ulang contoh yang dikemukakan di atas sebagai
keadaan saling mempengaruhi secara terus-menerus antara gaga-
san dan politik.

7) Fakta Sosial
Emile Durkheim dalam The Rule of Sociological Method (1895/
1982) menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa
yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta
sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan
memaksa individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala
luas ini misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan moral
bersama dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi
banyak teori sosiologi di kemudian hari (misalnya Parsons).
Durkheim membedakan antara dua tipe fakta sosial: material dan
nonmaterial. Meskipun ia membahas keduanya dalam karyanya,
perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial nonmaterial
(misalnya kultur, institusi sosial) ketimbang pada fakta sosial mate-
rial (birokrasi, hukum). Perhatiannya pada fakta sosial nonmaterial
ini terlihat jelas dalam karya awalnya The Division of Labor in
Society (1893/1964). Dalam buku ini perhatiannya tertuju pada
upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat
masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau
modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan
terutama oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya oleh kuatnya
ikatan moralitas bersama atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesa-
daran kolektif yang kuat. Tetapi karena kompleksitas masyarakat
modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Ikatan utam
dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet,
yang mengikat orang yang satu dengan orang yang lainnya dalam
hubungan yang saling tergantung. Dalam bukunya Suicide (1892/
1951), Durkheim berpendapat bahwa ia dapat menghubungkan peri-
30
laku individu seperti bunuh diri dengan sebab-sebab sosial (fakta
sosial). Tetapi, Durkheim tak sampai menguji mengapa individu A
dan B melakukan bunuh diri; ia lebih tertarik terhadap penyebab
yang berbeda-beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri di kalangan
kelompok, wilayah, negara dan kalangan golongan individu yang
berbeda. Argumen dasarnya adalah bahwa sifat dan perubahan
fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri.
Dalam karyanya yang terakhir, The Elementary of Relegious Life
(1912/1965), Durkheim memusatkan perhatian pada bentuk fakta
sosial nonmaterial yakni agama.
Pada masyarakat primitif akan lebih mudah untuk menemukan
akar agama daripada pada masyarakat modern yang kompleks. Te-
muannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu
sendiri. Masyarakat yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat
sakral dan yang lainnya bersifat profan. Dalam agama primitif
(totemisme) bendabenda seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan
didewakan. Selanjutnya totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta
sosial nonmaterial, sebagai bentuk kesadaran kolektif.
Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan
agama (kesatuan kolektif) adalah satu dan sama. Agama adalah
cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta
sosial nonmaterial. Tentang gejala bunuh diri dengan latar belakang
agama (sekte) yang berbeda-beda tidak terlepas dari adanya bentuk
kesadaran kolektif, bahwa perasaan mereka terhadap masyarakat
memperlihatkan perasaan mereka terhadap agamanya.

B. Sosiologi Lingkungan
Sosiologi lingkungan (environment sociology) adalah cabang so-
siologi yang memusatkan kajiannya pada adanya keterkaitan antara
lingkungan dan perilaku sosial manusia. Menurut Dunlop dan Catton,

31
sebagaimana dikutip Rachmad, sosiologi lingkungan dibangun dari be-
berapa konsep yang saling berkaitan, yaitu:
1) Persoalan-persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi kon-
vensional untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut meru-
pakan cabang dari pandangan dunia yang gagal menjawab dasar-
dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan sosial.

2) Masyarakat modern tidak berkelanjutan (unsustainable) karena mere-


ka hidup pada sumber daya yang sangat terbatas dan penggunaan di
atas pelayanan ekosistem jauh lebih cepat jika dibandingkan kemam-
puan ekosistem memperbaharui dirinya. Dalam tataran global, proses
ini diperparah lagi dengan pertumbuhan populasi yang pesat.

3) Masyarakat menuju tingkatan lebih besar atau lebih kurang berhada-


pan dengan kondisi yang rentan ekologis.

4) Ilmu lingkungan modern telah mendokumentasikan kepelikan ma-


salah lingkungan dan menimbulkan kebutuhan akan penyelesaian
besar-besaran jika krisis lingkungan ingin dihindari.

5) Pengenalan dimensi-dimensi krisis lingkungan menyumbang per-


geseran paradigma dalam masyarakat secara umum, seperti yang
terjadi dalam sosiologi berupa penolakan terhadap pandangan dunia
barat yang dominan dan penerimaan sebuah paradigma ekologi baru.

6) Perbaikan dan reformasi lingkungan akan dilahirkan melalui per-


luasan paradigma ekologi baru di antara publik, massa dan akan
dipercepat oleh pergeseran paradigma yang dapat dibandingkan an-
tara ilmuan sosial dan ilmuan alam.

Lebih lanjut, dalam kajian sosiologi lingkungan, beragam perilaku


sosial seperti konflik dan integrasi yang berkaitan dengan perubahan
kondisi lingkungan, adaptasi terhadap perubahan lingkungan atau
pergeseran nilai-nilai sosial yang merupakan efek dari perubahan ling-

32
kungan harus dapat dikontrol. Hal ini dilakukan agar kemunculan
pengaruh-pengaruh berupa faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan
kondisi lingkungan (eksogen) dapat terdeteksi atau dikenali dengan
jelas. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sosiologi lingkungan
adalah cabang sosiologi yang mengkaji aspek-aspek lingkungan, yang
melingkupi pemanfaatan sumber daya alam serta pencemaran dan ke-
rusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia dengan beragam
alasan sebagai dampaknya.

Evaluasi
1. Jelaskan pemahaman mendasar sosiologi!
2. Jelaskan salah satu teori dasar dalam sosiologi!
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi lingkungan!
4. Jelaskan mengapa sosilogi dianggap terlambat berkembang!

Daftar Referensi Lebih Lanjut


Anthony Giddens. 2004. Sociology, Fouth Edition. Blackwell Publishing Ltd.
Bruce Mitchell dkk. 2003. Pengelolaan Sumber daya dan Lingkungan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dietz, Ton. 2005. Pengakuan Hak Atas Sumber daya Alam-Kontor
Geografi Lingkungan Politik. Yogyakarta: INSIST Press.
Faulks, Keith. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Bandung: Nusa
Media.
Haralambos. 2001. Sociology, Themes and Perspectives. Fifth Edition.
Harper Collins.
Lash, Scott. 2004. Sosiologi Post-modernisme. Yogyakarta: Kanisius.
Peter Beilharz and Trevor Hogan. 2002. Social Self, Global Culture: An
Introduction to Sociological Ideas. Oxford University Press.
Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor.
Rachmad, K.D.S. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.

33
Ritzer, George., Goodman, Douglas J., 2004. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prenada Media.
Sunyoto Usman, 2004. “Studi Lingkungan Dalam Perspektif Sosiologi”,
dalam Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Susan, Novri M.A. 2009. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik Kontemporer.
Jakarta: PT Kencana Prenada Group.
Y.R. Zakaria, 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta:
Penerbit Walhi.

34
BAB IV
EKOFEMINISME (ECOFEMINISM)
SEBAGAI BAGIAN DARI SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Sosiologi sebagai ilmu yang luas, juga membahas sosiologi ling-


kungan dalam konteks gender. Kajian tentang lingkungan dalam kaitannya
dengan perempuan menjadi sebuah cabang ilmu baru pula alam sosiologi.
Pecahan-pecahan dari aliran feminism membuat khasanah kajian sosiologi
semakin kaya dan berkembang.
A. Konsep Gender dan Sex
Sebagai bagian awal tentu dibedakan konsep antara gender dan
sex, oleh Lestari (2015) membedakannya sebagaimana berikut ini:

"Gender is not something we are born with, and not something we


have, but something we do (West and Zimmerman: 1987) – something
we perform" (Butler: 1990).

(“Gender bukanlah sesuatu yang kita miliki sejak lahir, dan bukan
sesuatu yang kita miliki, tetapi sesuatu yang kita lakukan (West dan
Zimmerman: 1987) – sesuatu yang kita tampilkan” (Butler: 1990).

Sejak sepuluh tahun terakhir kata “gender” telah memasuki per-


bendaharaan di setiap diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial dan
pembangunan di dunia ketiga. Demikian juga di Indonesia, hampir di
semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun
pembangunan di kalangan organisasi nonpemerintah diperbincangkan
masalah gender.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender itu? Berbicara
mengenai konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata
sex (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan
atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara bio-
logis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya manusia laki-

35
laki memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma. Sedangkan pe-
rempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk
melahirkan, memiliki sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai payu-
dara. Gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis
merupakan pemberian Sedangkang gender adalah konstruksi sosial.
Jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah
gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis
oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai “naskah” (script)
untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran
feminin, maskulin, atau keduanya, sebagaimana halnya setiap
masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak dari bayi mungil hingga
mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara
khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi
laki-laki dan perempuan. Sehingga muncul seperangkat peran yang
seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada
orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin.
Perangkat perilaku khusus ini mencakup penampilan, pakaian,
sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksua-
litas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama
memoles “peran gender” kita.
Sifat-sifat biologis melahirkan perbedaan gender (gender differen-
ces) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan sesungguhnya
terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuk-
nya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal. Di
antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikontruksi
secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender
akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat bio-
logis yang tidak dapat diubah kembali, sehingga perbedaan-perbedaan
gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan.

36
“Gender refers to the set of characteristics distinguishing between male
and female, particularly in the cases of men and women. It differentiates
between men and women of cultural origin, that is, it is a social con-
struct , which is a matter of nurture, since cultures differ as well as the
expectations and rules for male and female, which are grounded in the
biological and anatomical distinction.”

(“Gender mengacu pada serangkaian karakteristik yang membedakan


antara jantan dan betina, khususnya dalam kasus pria dan wanita. Ini
membedakan antara pria dan wanita yang berasal dari budaya, yang
merupakan konstruksi sosial, masalah pengasuhan, karena budaya
berbeda serta harapan dan aturan untuk pria dan wanita, yang didasar-
kan pada perbedaan biologis dan anatomi.")

Kaum perempuan melakukan hal-hal dalam ranah domestik


seperti mendidik anak, merawat dan mengelola kebersihan dan keinda-
han rumah tangga adalah konstruksi kultural dalam suatu masyarakat
tertentu. “One is not born, but rather becomes a woman” dalam pemi-
kiran Simone De Beauvoir, seorang feminis eksistensialis abad ke-20
apa yang dinamakan sebagai perempuan adalah sebuah “menjadi”,
dikonstruksi secara sosial.
Hal demikian dibolak-balikkan oleh budaya, ketika bayi perem-
puan dikonstruksi menjadi perempuan coba kita lihat di lingkungan
sekitar bahwa ketika bayi perempuan lahir maka ia akan dibungkus
pakaian berwarna merah muda dan diberi boneka hingga ia dewasa
menjadi seorang insinyur dapat saja ditertawakan karena tidak sesuai
dengan diri perempuannya padahal dapat saja ia menjadi insinyur
bahkan dapat menjadi insinyur seperti laki-laki yang lain, pemikiran
yang memandang ketidaknormalan hal tersebut sungguh tidak relevan
bila dihubungkan dengan gender maka peran gender sangat penting
ketika perempuan dengan lantang menyuarakan perlunya kesetaraan

37
bagi perempuan. Perempuan dapat juga layak bergerak dalam bidang
politik, hukum, budaya, dan sosial.
Hal-hal yang selama ini berbau perempuan seperti mendidik
anak, mengelola dan merawat kebersihan, dan keindahan rumah tang-
ga atau urusan domestik sering dianggap sebagai “kodrat perempuan”
padahal itulah yang dalam sejarah ini dikonstruksi secara sosial atas
dominasi-dominasi kekuataan dan kekuasaan maskulin. Karena urusan
mendidik anak anak, merawat kebersihan rumah tangga dapat
dilakukan oleh kaum laki-laki. Jenis pekerjaan tersebut bisa ditukar dan
tidak bersifat universal. Bahkan dalam perkembangan zaman di Jerman
terdapat houseman di mana seorang ayah berperan juga dalam me-
rawat anak dan rumah tangga untuk keseimbangan peran antara ayah
dan ibu sehingga ibu tidak terus menerus bergulat dalam domestic
area. Bahkan dalam sebuah kartu pos anti hak pilih The Suffragette
Madonna tertulis, “Poor man, thinking that nurturing a child is a sign of
weakness or inferiority.” Karena selama ini produk sejarah melahirkan
pengertian yang kuat yang kemudian diagungkan, “prehistoric times
when physical force was very important, those who are strongest had
all the right and power” (Simone de Beauvoir, The Second Sex). Hal
tersebut adalah proses pembentukan citra baku yang dimulai sejak
beratus abad yang lalu di saat peradaban manusia ditegakkan ber-
dasarkan prinsip the survival of the fittest. Prinsip ini lebih banyak
mempertimbangkan proses fisik sebagai pra-syarat penguasaan struk-
tural sosial.
Sebagai akibatnya, perempuan secara fisik tidak setegar laki-
laki, menjadi termarginalisasi dari sektor “persaingan budaya”. Dalam
proses sosialisasi di kemudian hari, hampir seluruh aspek kehidupan
sosial lebih banyak merefleksikan kelaki-lakian (masculine) atau yang
kemudian disebut dengan sistem “patriarki”.
Pembicaraan mengenai gender belakangan ini semakin hangat
dalam perbincangan mengenai kemajuan perkembangan kaum perem-
38
puan dengan kesetaraan dengan kaum pria. Dalam sejarah telah terjadi
perlakuan yang tidak seimbang, menempatkan perempuan pada posisi
yang lebih rendah dibanding laki-laki. Perjalanan peradaban manusia
banyak didominasi oleh kaum laki-laki dalam urusan bermasyarakat.
Jadi sejak awal sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang
menempatkan perempuan pada wilayah marginal. Peran-peran yang di-
mainkan perempuan hanya berputar di ranah domestik, seperti dalam
kosakata Jawa “dapur, sumur, kasur”, sementara kaum laki-laki meme-
gang berbagai peran penting di dalam masyarakat yang menimbulkan
ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Ketidaksetaraan gender merupakan kenyataan yang harus di-
hadapi perempuan di hampir seluruh dunia dan dapat ditemukan dari
ranah, publik hingga privat, dari urusan domestik hingga persoalan
reproduksi. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan ada
pada posisi termarginalkan. Sistem budaya patriarkal yang menanam-
kan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai
wilayah laki-laki, biasa disebut sebagai faktor penyebab utama kiprah
perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat
laki-laki.
Dalam pembahasan gender, gender dapat menentukan berbagai
pengalaman hidup, menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-
alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan ketrampilan.
Gender dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan
bergerak. Gender akan menentukan seksualitas, hubungan dan ke-
mampuan untuk membuat keputusan dan bertindak secara autonom.
Gender bisa jadi merupakan satu-satunya faktor terpenting dalam
membentuk kita akan menjadi apa nantinya.

39
B. Pengertian Feminisme, Sejarah, Ciri, Klasifikasi, serta Kelebihan
dan Kekurangannya
Membahas tentang feminisme maka berbicara tentang bagaima-
na keadilan dan kesamaan gender dengan laki-laki. Untuk pembahasan
lebih dalam, berikut adalah sejarah, ciri-ciri, klasifikasi, kelebihan, dan
kekurangan feminisme.
1) Pengertian Feminisme
Feminisme merupakan sebuah gerakan yang menuntut
emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. Me-
nurut bahasanya, feminisme bersumber dari bahasa latin femina
yang artinya “perempuan”.
Penggunaan istilah feminisme dipakai pada tahun 1890-an, ini
mengarah pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan dan juga
pergerakan untuk mendapatkan hak-hak perempuan. Definisi seca-
ra umum feminisme yaitu advokasi kesetaraan hak-hak perempuan
dalam hal politik, sosial, dan ekonomi. Orang yang mendukung dan
aktif dalam feminisme disebut dengan feminis.

2) Sejarah Feminisme
Sejarah mencatat banyak sumber tentang gerakan perempuan
dalam memperjuangkan haknya, tetapi yang paling sering menjadi
acuan adalah gerakan yang berkembang di abad 15-18 di Eropa.
Pergerakan paling pertama ditemukan adalah oleh Christine
de Pizan yang menulis mengenai ketidakadilan yang diterima pe-
rempuan. Selanjutnya pada abad ke 18, pergerakan yang cukup
signifikan mulai tumbuh. Terdapat tokoh utama pergerakan ini yakni
Susan dan Elizabeth.
Ketika itu mereka sudah berhasil melakukan perjuangan hak
politik, yakni hak untuk memilih bagi perempuan. Selanjutnya me-
masuki abad ke-19, dengan adanya pelopor dari Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condoracet gerakan ini terus berkembang
40
sampai ke negara-negara penjajahan Eropa. Secara bersama ge-
rakan tersebut dinamakan sebagai Universal Sisterhood. Terdapat
tiga perkembangan gerakan feminisme, antara lain sebagai berikut:
a) Gelombang Pertama
Gelombang pertama atau gelombang suara perempuan ini
kali pertama dipelopori oleh seorang aktivis sosialis Charles
Fourier di tahun 1837. Di gelombang ini pergerakan yang mula-
nya berpusat di Eropa, pindah ke wilayah Amerika dan terjadi
perkembangan pesat sejak adanya publikasi buku dengan judul
The Subjection of Women (1869) karya John Stuart Mill. Per-
juangan kaum perempuan dalam menuntut revolusi sosial dan
politik atas hak perempuan mulai terlihat hasilnya sekitar tahun
1830-1840. Seiring dengan terdapatnya pemberantasan praktik
perbudakan, hak-hak kaum perempuan menjadi perhatian.

b) Gelombang Kedua
Sesudah Perang Dunia Kedua – ditandai dengan lahirnya
negara-negara baru setelah terbebas dari penjajahan bangsa
Eropa – gerakan feminisme mencapai puncaknya. Gerakan ini
mulai mengeluarkan hak suara perempuan dalam hak suara
parlemen. Peningkatan dan semangat para wanita dalam mem-
perjuangkan haknya memuncal di awal tahun 1970.
Tokoh yang sering dihubungkan dengan gerakan femi-
nisme kedua ini adalah para feminis Perancis, yaitu Helene
Cixous dan Julia Kristeva. Gerakan feminisme ini mempunyai
tujuan utama yakni untuk menuntut kebebasan bagi wanita yang
sering dipandang rendah dan mendapat perlakukan tidak layak.

c) Gelombang Ketiga
Pada gelombang ketiga, feminis sangat fokus supaya
memperoleh posisi dalam sistem pemerintahan negaranya. Me-
reka memiliki anggapan bahwa bidang politik merupakan tempat

41
yang harus mempunyai perwakilannya supaya hak-hak wanita
dapat terus dijaga.

Sampai sekarang, feminisme masih ada dan aktif dalam


menyuarakan berbagai isu sosial seperti pornografi, hak reproduksi,
kekerasan terhadap perempuan atau hak legal perempuan. Kaum
feminis juga ikut berperan dalam melakukan perjuangan gerakan
sosial yang sama sama seperti gerakan kaum homoseksual.

3) Ciri-Ciri Feminisme
Ciri-ciri dari feminisme antara lain:
 Menyadari terdapat perbedaan atau tidak adilnya kedudukan dari
laki-laki dan perempuan.
 Melakukan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perem-
puan
 Laki-laki dianggap golongan yang lebih mementingkan dirinya.
 Gerakannya kebanyakan adalah wanita.

4) Klasifikasi Feminisme
Klasifikasi atau jenis-jenis feminisme antara lain:
 Feminisme Liberal
Feminisme liberal adalah feminisme yang berpegang pada
paham liberalisme, yakni mementingkan kebebasan. Ini me-
nerangkan semua manusia, laki-laki dan perempuan diciptakan
secara seimbang, serasi dan seharusnya tidak terjadi peninda-
san antara satu dengan lainnya.
Tokoh gerakan feminisme liberal adalah Mary Wollstone-
craft yang menulis buku dengan judul Vindication of Right of
Woman. Dalam buku itu ia menerangkan bahwa pria dan wanita
mempunyai nalar yang sama, sehingga harus ada persamaan
terhadap perlakukan dan hak keduanya. Dalam sejarahnya, ge-

42
rakan feminisme liberal lebih berfokus kepada perjuangan kaum
perempuan untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan
laki-laki.

 Feminisme Marxis (Komunis)


Feminisme Marxis muncul karena adanya anggapan ke-
tertinggalan perempuan dikarenakan adanya kapitalis dalam
suatu negara. Kapitalisme merupakan paham yang menyatakan
individu bisa memperkaya dirinya sebanyak mungkin.
Kaum Feminisme Marxis memandang hal itu sebagai keti-
dakadilan untuk perempuan. Mereka memiliki anggapan bahwa
laki-laki mengontrol program produksi, menjadikan mereka mem-
punyai kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat. Karena
kedudukannya lebih tinggi, maka kaum laki-laki sering mela-
kukan penindasan perepuam yang secara lebih lemah. Hal itu
bertujuan agar feminis marxis yaitu menghapuskan sistem kapi-
talis.

 Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis timbul sebab kritik atas feminisme
marxis. Kaum Feminisme Sosialis mempunyai anggapan bahwa
kapitalisme bukan pusat dari permasalahan rendahnya kedudu-
kan sosial wanita, yang menjadi alasannya bahkan sebelum
kapitalisme muncul, kedudukan wanita telah dianggap lebih
rendah. Tujuan paling penting dari feminisme sosialis adalah un-
tuk menghapuskan sistem kepemilikian dalam struktur sosial.

 Feminisme Radikal
Paham ini timbul di pertengahan abad ke-19 yang
menawarkan ideologi “Perjuangan Separatisme Perempuan”.
Dalam hal ini mereka menuntut kesamaan kedudukan perem-
puan dengan laki-laki pada setiap struktur sosial seperti dalam
keluarga.
43
Feminisme radikal ini lebih fokus memperjuangkan hak
perempuan dalam aspek biologis, namun dalam perkembangan-
nya feminisme ini menjadi ekstrim dengan mulai menyatukan
perhatian hanya kepada perempuan. Laki-laki dianggap tidak
memberikan kontribusi yang positif dan mulai timbul anggapan
bahwa perempuan harus dapat melakukan apapun sesuai ke-
inginan mereka.

 Feminisme Anarkis
Feminisme anarkis adalah salah satu paham feminisme
ekstrim. Feminisme ini mempunyai anggapan bahwa negara dan
laki-laki adalah pusat dari seluruh masalah yang dialami oleh pe-
rempuan, sehingga tujuan feminisme anarkis adalah untuk me-
lakukan penghancuran negara dan kaum laki-laki dan juga
mewujudkan mimpi supaya perempuan memegang kekuasaan
tertinggi dalam struktur sosial.

 Feminisme Post-Modern
Feminisme post-modern adalah gerakan feminisme yang
anti terhadap sesuatu dengan sifat absolut dan anti dengan
otoritas. Tokoh feminisme post-modern berusaha terhindar ter-
dapatnya suatu kesatuan yang membatasi perbedaan.
Maknanya adalah kaum feminisme dapat menjadi apapun
yang mereka kehendaki, dan tidak ada rumus “feminis yang
baik”. Meskipun seperti itu, kaum feminisme post-modern
mempunyai tema atau orientasi dalam pergerakannya. Mereka
menamakan bahwa seksualitas dibangun oleh bahasa. Kehidu-
pan manusia tercipta karena bahasa, maka melalui bahasa juga
ketidakadilan terhadap perempuan bisa diatasi. Bahasa yang di-
maksud dalam hal ini adalah argumen, opini, tulisan dan lainnya.
Feminisme sepertinya akan berkembang seperti yang tidak
tercatat, misalnya Black Feminism, sebuah gerakan feminism
44
yang berfokus pada perjuangan perempuan berkulit hitam,
terdapat juga Fat Feminism yang memperjuangkan hak-hak pe-
rempuan yang dianggap kelebihan berat badan.

5) Tokoh Feminis Terkenal

a) Mary Wollstonecraft. Penulis dan filsuf Inggris sekaligus ad-


vokat hak perempuan pada abad ke-18 dengan karyanya yang
terkenal berjudul A Vindication of the Rights of Woman. Bukunya
berisi tentang pentingnya pendidikan untuk perempuan serta
peran perempuan dalam negara sebagai sosok pendidik anak-
anak dan pendamping laki-laki. Dalam buku ini, Wollstonecraft
juga menekankan bahwa perempuan adalah manusia yang ber-
hak atas hak dasar sebagaimana laki-laki.

b) Betty Friedan. Penulis, aktivis, serta feminis dari Amerika Se-


rikat yang mempengaruhi kebangkitan feminisme gelombang ke-
dua dengan bukunya yang berjudul The Feminine Mystique.

c) Raden Adjeng Kartini. Pahlawan nasional Indonesia yang


menggagas pendidikan untuk perempuan Jawa sebagai bentuk
pemenuhan hak perempuan. Terlahir dalam keluarga aristokrat
Jepara yang bercita-cita untuk sekolah tinggi namun tidak di-
izinkan oleh keluarganya. Korespondensi Kartini dengan para
feminis Belanda diterbitkan post-mortem oleh J. H. Abendanon
dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah
Terang.

d) Malala Yousafzai. Perempuan muda asal Pakistan yang meraih


Penghargaan Nobel Perdamaian dalam usia 17 tahun sebagai
peraih Penghargaan Nobel termuda. Malala banyak menuliskan
tentang pengalamannya sebagai perempuan pelajar di kampung
halamannya Swat Valley Pakistan yang dikuasai oleh Taliban

45
dan melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. Tulisan-
tulisannya yang dimuat di blog BBC menuai ancaman yang ber-
ujung pada percobaan pembunuhan dirinya oleh Taliban pada 9
Oktober 2012.

C. Ekofeminisme (Ecofeminism)
Ekofeminisme adalah teori yang mampu menjelaskan hubungan
antara kaum perempuan dengan alam. Teori tersebut dicetuskan oleh
Vandana Shiva yang merupakan seorang ilmuwan sosial berasal dari
India. Teori Ekofeminisme menggabungkan konsep ekologi dengan
feminisme yang merupakan kerangka berpikir untuk memahami
kuatnya relasi perempuan dengan alam. Di dalam teori tersebut dijelas-
kan bahwa kerusakan alam akan berdampak pada pemiskinan dan
penderitaan yang akan dialami oleh kaum perempuan. Secara teknis,
ekofeminisme dipergunakan oleh para ilmuwan sosial untuk memahami
fenomena terpuruknya kehidupan perempuan akibat kegiatan yang
bersifat destruktif terhadap alam, seperti pertambangan atau pembala-
kan hutan.
Contoh nyata dari perspektif tersebut adalah perlawanan ibu-ibu
petani Kendeng akibat beroperasinya pabrik semen di Rembang, Jawa
Tengah. Perempuan berada di garda paling depan sebab lebih mera-
sakan dampak buruk beroperasinya pabrik tersebut dibandingkan kaum
laki-laki. Hal serupa juga dapat diamati pada penderitaan perempuan
Suku Dani di Lembah Baliem akibat beroperasinya Freeport.
Sama halnya dengan beragamnya aliran feminisme sendiri,
muncul pula beragam aliran ekofeminisme dengan tipologinya masing-
masing, yaitu Ekofeminisme Alam, Ekofeminisme Spiritual, Ekofeminis-
me Sosial dan Ekofeminisme Transformatif.

Evaluasi
1. Jelaskan pengertian Gender dan Sex!
46
2. Jelaskan apa yang disebut dengan feminism !
3. Sebutkan dan jelaskan salah satu aliran feminism!

Daftar Referensi Lebih Lanjut :


Feminist.org
Hay, Colin et all (eds). The State : Theories and Issues (Palgrave, 2006) .
Retno Wulan, Tyas. (2007). "Ekofemisme Transformatif: Alternatif Kritis
Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Lingkungan". Sodality:
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 1
(1): 120
Rosemarie Tong. 1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction.
USA : Westview Press.
Wawancara jurnalis Pakistan Owais Tohid dengan Malala
Zega, Devi Christiani dan LG Saraswati Putri. (2014). Relasi Alam dan
Perempuan dalam Pemikiran Ekofeminisme Vandana Shiva. Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

47
BAB V
GERAKAN EKOFEMINISME DI INDONESIA

Dalam konteks ekofeminisme, maka kaitan sosiologi lingkungan bisa


diberikan makna dalam konteks sosiologi kritis. Perlawanan kaum pe-
rempuan di Indonesia ternyata ada demi menjaga alam dan lingkungan.
Anggapan yang paling sederhana adalah ketika ada bencana yang di-
akibatkan oleh eksploitasi alam secara berlebihan maka kaum perempuan
yang merasa paling banyak dirugikan. Sebagai bagian awal dalam bab ini
dikupas tentang pandangan dari tokoh-tokoh ekofeminis.
Sebagai salah satu tipe aliran pemikiran dan gerakan feminisme,
ekofeminisme memiliki karateristik yang sama yaitu menentang penin-
dasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh sistem patriarki. Namun
berbeda dengan aliran feminisme lainnya. Ekofeminisme adalah sebuah
gerakan yang mengusung dalam menyelamatkan lingkungan yang be-
rusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan
berbasis feminsme. Perempuan dianggap memainkan peran stratrgis da-
lam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang
nyaman dan asri.
Bila kita berbicara tentang ekofeminisme maka kita berbicara tentang
adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan. Ketidak-
adilan di dalam perempuan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama
dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia ter-
hadap nonmanusia atau alam. Karena perempuan selalu dihubungkan
dengan alam, maka, secara konseptual, simbolik dan ingulistik dan keter-
kaitan anatara isu feminisme dan ekologis.

A. Pemikiran Karen J. Warren


Menurutnya hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ma-
syarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku
yang memakai kerangka kerja patriarki, dimana ada justifikasi hubu-
48
ngan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh
laki-laki. Menurutnya, kerangka kerja tersebut berjalan sebagai berikut
dan Warren sangat yakin bahwa cara berpikir hierarkis, dualistik, dan
menindas adalah cara berpikir maskulin yang telah mengancam kese-
lamatan perempuan dan alam. Anehnya, perempuan selalu “dialamkan”
atau “difemininkan”. “Dialamkan” bila diasosiasikan dengan binatang –
seperti yang telah dibahas – ayam, kucing, ular, dan sebagainya, dan
“difemininkan” bila dikatakan diperkosa, dikuasai dikuasai, dipenetrasi,
digarap, dan sebagainya. Perhatikan bahwa kata-kata tersebut dipakai
dalam menunjukan aktivitas yang berhubungan dengan alam. Misalnya
tanah yang digarap, bumi yang dikuasai, hutan yang diperkosa, dan
lain-lain. Jadi tidak mengada-ada bila perempuan dan alam mempunyai
kesamaan secara simbolik karena sama-sama ditindas oleh manusia
yang berciri maskulin. Langkah selanjutnya, adalah juga untuk tidak
menginterpretasikan karateristik perempuan dengan menarik kesim-
pulan bahwa “dengan demikian perempuan karena secara karakteristik
sama dengan alam, maka ia bersifat sebagai perawat, penjaga, dan
pelestari alam” dan tugas tersebut didefiniskan bukan karena kesa-
daran tetapi kodrat pemikiran yang ingin mengembalikan perempuan
kepada kodrat ini yang amat berbahaya karena bermain di antara
“menyanjung” mengembalikan perempuan pada argumentasi kodrat
akan tetapi ingin melihatnya sebagai argumentasi kodrat akan tetapi
ingin melihatnya sebagai argumentasi berdasarkan kesadaran feminis,
yakni melihat adanya relasi yang menindas di dalam wacana lingku-
ngan dengan demikian mengakibatkan ketidakadilan di dalam relasi
masyarakat.

B. Pemikiran Mary Daly memberikan Pengayaan tentang Konsep Ekologi


Mary Dary adalah seorang feminis yang menolak budaya laki-laki
karena dianggap merugikan budaya manusia secara keseluruhan. Daly
sangat mengunggulkan budaya perempuan yang menurutnya mem-
49
punyai sisi nilai lebih. Budaya patriarki mengutamakan kekuasaan
sedangkan matriarki mengembangkan gynosentrisme yang meng-
unggulkan perempuan. Di dalam budaya matriarki perempuan lebih
mengutamakan kelembutan, kekompakan dan relasi emosional. De-
ngan demikian, alam terjaga dan terawat, tidak ada yang dijajah
maupun dirusak demi kepentingan kekuasan yang cenderung meng-
akibatkan kematian.
Menurut Daly, perempuan harus dapat mencegah sifat perusak
laki-laki, lagi pula sistem phallusentik telah merusak alam dan hu-
bungan antar manusia. Walaupun Daly tidak menegaskan bahwa tugas
perempuan adalah untuk merawat dan menjaga alam dari tangan “jahil”
laki-laki namun, ia menganggap bahwa perempuan hanya bisa menye-
lamatkan jika telah diselamatkan.

C. Pemikiran Susan Griffin


Beberapa kali ditegaskan bahwa ia bukan seorang esensilalis
yang setuju dengan makna persaman antara perempuan dan alam,
tetapi tulisan-tulisannya selalu merujuk pada persaman antara perem-
puan dan alam. Griffin menulis, “Kita tahu bahwa kita terbuat dari alam,
tubuh kita terbuat dari alam, alam terbuat dari kita, kita adalah alam dan
alam adalah kita.” Lebih lanjut, Griffin menekankan pengetahuan pe-
rempuan yang khusus akibat kedekatan mereka dengan alam. Bagi
Griffin, hanya kecintaan mereka pada keberlangsungan bukan pada
kematian. Menurutnya karena perempuan melahirkan maka perempuan
mengerti betul makna kehidupan.
Ekofeminisme sepakat bahwa fokus dari wacana lingkungan dan
perempuan bukan terletak pada kedekatan antara perempuan dan ling-
kungan melainkan melihat budaya perempuan-alam sebagai model
yang lebih baik daripada budaya laki-laki-lingkungan. Maksudnya, tra-
disi dan nilai-nilai perempuan dianggap mempunyai nilai lebih sehingga

50
model lingkungan hidup yang mengadopsi nilai-nilai feminis akan lebih
baik bagi sistem lingkungan hidup secara keseluruhan.

D. Perlawanan Mama Aleta (Aleta Baun) di Indonesia


1. Latar Belakang Perlawanan Mama Aleta
Dua puluh tahun pasca reformasi masih menyisakan situasi
pelik dalam perjuangan konfik lingkungan hidup dan sumber daya
alam (SDA). Konflik tersebut disebabakan karena adanya benturan
kepentingan investasi atau pertumbuhan ekonomi dengan ruang
kelola masyarakat. Berdasarkan laporan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) terdapat setidaknya 302 konfik lingkungan dan
SDA yang tersebar pada 13 provinsi. Berjalannya proyek pem-
bangunan infrastruktur yang diatur pada Rencana pembangunan
jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menimbulkan ke-
rusakan lingkungan yang masif. Sebenarnya peraturan tersebut
bertolak belakang dengan ide Nawacita yang bertujuan melindungi
lingkungan hidup dan menyejahterakan kehidupan rayat. Akibatnya
memicu terjadinya konflik lingkungan. Banyak konflik lingkungan
yang terjadi di Indonesia berdampak pada paling terdampak, karena
peran gender menempatkan rumah tangga. Konflik lingkungan ber-
kaitan erat dengan keberlangsungan hidup, baik ketersediaan SDA
maupun tempat tinggal. Konflik yang terjadi membuat kapabilitas pe-
rempuan tercederai.
Dari banyak perempuan yang haknya tercederai, Aleta
Kornelia Baun atau yang dikenal dengan nama Aleta Baun justru
mengalami langkah strategis untuk mengatasi konflik lingkungan.
Perempuan yang sering disapa “Mama Aleta” ini adalah seorang
aktivis pecinta lingkungan sekaligus pendiri Mama Aleta Fund dan
Yayasan Taim Hine Aleta Baun. Perempuan kelahiran Mollo Nusa
Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 16 Maret 1966 ini mengawali
perjuangan membela lingkungan pada tahun 1990-an. Perjuangan-
51
nya melawan perusahan tambang marmer disebabkan karena ru-
saknya alam NTT yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.
Aleta mengampanyekan perlawanan selama sebelas tahun dengan
pola perlawanan yang terus-menerus berubah karena pengalaman
bergerilya membuatnya memahami situasi. Perjuangan terus di-
lakukan dan puncaknya pada tahun 2006. Aleta Baun berhasil
menggalang dukungan ratusan penduduk desa untuk menduduki
Bukit Anjaf dan Bukit Nausus selama satu tahun. Dengan kegigihan-
nya dan desakan masyarakat di dalam maupun luar negeri, akhirnya
aktivitas penambangan dihentikan pada tahun 2007 dan tahun 2010
perusahaan tambang secara resmi menarik diri dari lokasi penam-
bangan.
Perjuangan yang dilakukan Aleta Baun membuahkan banyak
penghargan di antaranya The Goldman Environmental Prize pada
tahun 2013 dan Yap Thiam Hien Award pada tahun 2016. Aleta
Baun menerima hadiah dari penghargan The Goldman Enviromental
sebesar U$$ 150 ribu atau senilai kurang lebih dua miliar rupiah.
Aleta mengaku penghargan tersebut membuatnya bangga sekaligus
terbebani karena artinya penghargan ia harus melakukan per-
juangan yang lebih besar lagi sebagai bentuk tanggung jawabnya
atas penghargaan tersebut. Melalui wawancara eksklusif bersama
jurnal perempuan, Aleta Baun menyampaikan, “Penghargaan-
penghargaan yang telah saya terima bukan untuk saya, melainkan
untuk masyarakat yang berjuang bersama.” Pernyatan ini dibuktikan
dengan keputusan Aleta menyumbangkan hadiah tersebut untuk
mengembangkan Mama Aleta Fund, sebuah lembaga bantuan pen-
danaan untuk perempuan pejuang ruang hidup dan pemulih alam.
Sementara itu, yayasan Aleta yang lainnya yakni Yayasan
Taim Hine Aleta Baun melakukan konservasi lingkungan bersama
Dinas Lingkungan hidup dengan membagikan bibit pohon mangga
sebanyak 500 buah. Aleta menjelaskan penanaman bibit dimak-
52
sudkan untuk menyadarkan masyarakat akan pentignya menanam
pohon. Ini mengingat pohon memiliki banyak manfaat, seperti me-
ngurangi panas dan memberi kehidupan bagi makhluk hidup. Aleta
berharap penanaman bibit mangga akan menjadikan Kota Kupang
sebagai sentra buah dalam beberapa tahun mendatang.

2. Perjuangan Menyoal Lingkungan dan Kehidupan


Sebagai seorang anak daerah atau Aleta biasa menyebutnya
”orang kampung” ia tidak menuntut banyak pada kehidupan. Me-
nurutnya kehidupan di kampung berbeda dengan kota besar yang
biasanya menyimpan mimpi-mimpi besar untuk diraih. Baginya hi-
dup harus sekedar pada perjuangannya hari ini. Masa kanak-kanak
adalah masa pancaroba, masa di mana seorang masih tumbuh dan
belajar, masa kecil saya begitu saja sama seperti yang lainnya.
Namun yang paling mengubahnya adalah perubahan alam di NTT.
Menurut Aleta saat ini tidak ada lagi manusia, alam, dan binatang
yang hidup berdampingan. Ini yang membuat mimpi-mimpinya men-
jadi besar. Bukan untuk sesuatu yang modern, namun untuk
kembali menjadi sederhana, kembali sadar ekologi, sebab menurut-
nya kehidupan hanyalah jalan menuju pintu kematian dan yang bisa
dilakukan untuk menghormati pemberian Tuhan, alam, bumi, dan le-
luhur hanyalah dengan menjaganya.
Masyarakat Mollo menggambarkan alam sebagai tubuh ma-
nusia. Bagi mereka alam itu hidup dan mereka memaknai tanah
adalah daging, air adalah darah, batu adalah tulang, dan pohon
adalah rambut, pori-pori, dan urat nadi. Pemahaman ini kemudian
memupuk keyakinan mereka akan sakralitas alam. Masyarakat
Mollo mempercayai bahwa bumi – layaknya perempuan – adalah
pemberi kehidupan lewat menyusui. Sebagian besar masyarakat
Mollo berkerja sebagai petani. Itu sebabnya mereka tidak dapat me-
misahkan kehidupan dan si pemberi kehidupan, yaitu bumi. Menurut
53
Aleta Baun, petani tidak dapat terpisah dari batu, hutan, kayu, dan
air sehingga semua adalah paket kehidupan yang saling terkait. Ma-
nusia hidup membutuhkan oksigen yang dihasilkan dari pohon,
pohon hidup karena ada tanah dan air, kemudian pohon bisa ber-
tahan panasnya musim melalui dinginnya batu.
Tahun 2006 Aleta Baun memulai perlawanannya terhadap
tambang marmer dengan didukung masyarakat. Ia mengaku bahwa
dukungan itu didapat karena mereka sama-sama berada pada po-
sisi terpuruk. Lebih lanjut Aleta menjelaskan bahwa masyarakat dan
keluarga setuju pada perlawanan yang dilakukan, karena per-
juangan ini menyoal kehidupan banyak orang yang membutuhkan
makan dan tempat tinggal. Baginya tidak mungkin menerima tam-
bang marmer yang melecehkan dan mencederai alam. Alih-alih
menjadi sejahtera karena tambang, masyarakat Mallo justru jauh
dari kata sejahtera karena kekeringan di mana-mana.
Sementara tambang marmer tidak menjawab kebutuhan
masyrakat. Perlawanan yang Aleta lakukan juga memiliki tantangan
tersendiri yakni tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Namun
Aleta menegaskan bahwa ada yang mengutkan dirinya untuk terus
berjuang. Penguatan itu didapat dari nasib banyak orang yang
tergantung padanya. Kali ini pandangannya mirip seperti Vandana
Shiva, ”If you’re doing the right thing for the earth, she’s giving you
great company.” ("Jika Anda melakukan hal yang benar untuk bumi,
dia memberi Anda teman yang hebat.") Aleta pun mempercayai
bahwa membela kebenaran akan membawanya keluar sebagai
pemenang.

3. Pengorganisasian Kekuatan Perempuan melalui Edukasi (Kete-


rampilan)
Perlawanan terhadap tambang marmer yang dilakukan oleh
Aleta Baun bersama masyarakat Mollo bukanlah hal yang seder-
54
hana. Ini dikarenakan perjuangan tersebut adalah perjuangan
tentang kehidupan. Pada tahun 2006, Aleta Baun bersama 150 pe-
rempuan menduduki tambang dengan menenun. Hal itu dilakukan
terus-menerus selama kurun waktu satu tahun. Aksi ini dilakukan
bukan hanya untuk menghalangi pekerja tambang masuk, melain-
kan terdapat makna filsofis di baliknya. Bagi Aleta, perempuan
memiliki kedekatan dengan alam, perempuan adalah sosok yang
langsung terdampak atas ketidakseimbangan ekosistem. Ketika ke-
keringan terjadi, maka perempuan harus mengambil air lebih jauh
lagi. Ini yang membuatnya dari 150 perempuan lainya berjuang.
Menenun digambarkan sebagai upaya menjaga kehormatan
bumi, Aleta menceritakan bahwa saat ini terlalu banyak orang
mengambil keuntungan dari alam. Sementara alam tidak mendapat-
kan haknya; sebaliknya alam dilecehkan. Perempuan membutuhkan
penutup tubuh agar tubuhnya terlindungi dari teriknya matahari dan
dinginnya hujan. Sama halnya seperti bumi yang juga membutuhkan
penutup diri. Bagi masyarakat Mollo, pohon, tanah, air, dan batu
adalah penutup sekaligus pelindung bagi bumi. Aleta Baun yakin
bahwa eksploitasi alam adalah penelanjangan alam dan baginya hal
itu tidak bisa dibiarkan.
Aleta menyatakan bahwa aksi menenun yang dilakukan oleh
perempuan di depan tambang berkaitan dengan fakta bahwa dahulu
sebelum kain diproduksi massal, perempuan telah lebih dahulu
mampu membuat tenunan kain. Menenun di depan tambang bisa
dipahami sebagai perlawanan kepada yang hendak menelanjangi
bumi lewat ekspolitasi melalui pendekatan dan pengorganisasian.
Wangari, penerima nobel perdamaian, menyatakan manusia harus
berada bumi untuk tetap mengenyam pendidikan, namun manusia
tidak membutuhkan gelar untuk menanam pohon.
Aleta Baun juga menekankan bahwa dalam upaya per-
lindungan alam demi membentuk strategi perlawanan perlu ada
55
pendekatan yang membuka wawasan perempuan dengan mence-
ritakan sekaligus menginduksi fungsi itu, Aleta juga menjelaskan
bahwa kejujuran dibutuhkan untuk memulai sebuah perjuangan
berikan wawasan sesuai dengan porsi permasalaha kehidupan
masyarakat, hal itu ia katakan berulang kali pada perempuan Mollo.
Aleta dengan menyatakan bahwa perempuan membutuhkan wawa-
san yang memadai, jika mereka memiliki itu, maka perempuan akan
bergerak sendiri tanpa diminta.
Menariknya saat perlawanan dilakukan oleh perempuan, laki-
laki berbondong-bondong melakukan pekerjaan rumah tangga.
Aleta menjelaskan pola pembagian tugas pada masyarakat Mollo
tidak bersifat dikotomis.
Ketika membahas petani dan kampung, maka laki-laki dan
perempuan dianggap setara, yaitu sama-sama memiliki akses atas
alam dan ekonomi. Aleta menambahkan, jika perempuan harus
hidup di dapur, bagi orang kampung itu bukan persoalan melainkan
keragaman budaya.

4. Pergerakan dan Pemikiran Perempuan


Ketika perempuan berjuang, mereka berjuang untuk seluruh
kehidupan. Kerumitan masalah yang terjadi di Indonesia tidak mam-
pu diselesaikan melalui cara maskulin, sebab yang bergerak pada
ruang domestik dan lingkup terkecil adalah perempuan. Hal itu pula
yang memperkuat perempuan dalam menjelaskan keterkaitan an-
tara alam, masyarakat, dan kehidupan. Aleta Baun menjelaskan,
“Dalam hidup siapa pun dia yang yang memperjuangkan kebenaran
pasti akan merasakan pasang surutnya gelombang laut.” Untuk itu
perlu strategi dalam menjalani pasang surut kehidupan manusia,
walaupun tidak sedikit didapati tantangan. Kendati demikian, bagi
Aleta tantangan adalah persoalan yang justru menjadi pengingat
tantang perjuangan yang harus ia lakukan
56
Aleta menuturkan pengalaman bergerilya membuat matang
dalam membentuk strategi. Sejauh ini, strategi yang ia lakukan yaitu
mengakui bahwa perjuangan yang dilakukan bukanlah perjuangan
pribadi melainkan kelompok sehingga tantangan, strategi, dan per-
juangan akan berjalan secara bersamaan. Aleta menyatakan dalam
melakukan pejuangan perlu ada hal yang riil. Pasalnya dalam per-
juangan melindungi tidak bisa hanya mengandalkan harapan,
melainkan perlu ada tindakan afirmatif. Bagi Aleta untuk menyikapi
hal tersebut setidaknya perlu ada upaya.
Selain itu perlu ada niat baik, sebab Aleta mempercayai
semesta akan menjalankan niat baik seseorang. Dalam menjalan-
kan perjuangan perlu ada dukungan dari kelompok masyarakat lokal
maupun kelompok luar. Biasanya terdapat kesulitan tersendiri untuk
menjalin hubungan dengan kelompok luar. Oleh karena itu, dalam
upaya merangkul orang luar perlu ada tiga hal yakni menjaga
kejujuran, setia menjaga waktu, dan bicarakan kebutuhan masya-
rakat. Ketiga hal itu penting dilakukan guna menjaga kepercayaan
orang luar terhadap perjuangan yang dilakukan.
Perjuangan yang dilakukan Aleta Baun memiliki pengaruh luas
baik nasional maupun internasional. Gerakan perempuan dan ling-
kungan yang dilakukan Aleta Baun berkontribusi besar untuk
keberlangsungan ekologi, edukasi kesimbangan alam, dan promosi
etika kepedulian. Dalam upaya mewujudkan agenda kepentingan
perempuan dibutuhkan banyak diperjuangkan secara terstruktur dan
berkelanjutan. Tidak hanya mengisi representasi perempuan dalam
politk, Aleta turut mengupayakan hak-hak perempuan dan masya-
rakat adat.

Evaluasi :
1. Sebutkan dan jelaskan salah satu pemikiran tokoh ekofeminisme dunia!
2. Sebutkan dan jelaskan contoh perlawanan ekofeminisme di Indonesia!
57
3. Jelaskan pelajaran apa yang bisa dipetik dari perlawanan ekofeminisme
di Indonesia!

Daftar Referensi Lebih Lanjut :


Aprilia, Iqra Runi. 2019. ”Aleta Baun: Perjuangan Perempuan adalah
Perjuangan Kehidupan” dalam Jurnal Perempuan No. 100, Perem-
puan dan Gerakan Perempuan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan
Arivia, Gadis 2003. “.Filsafat Berperspektif Feminis”. Jakarta: Yayasa
Jurnal Perempuan
Wiyatmi, Suryaman Maman 2017.” “Ekofeminisme” Yogyakarta: Cantik
Pustaka.

58
BAB VI
MEMAHAMI TIPOLOGI GERAKAN SOSIAL
DALAM KONTEKS LINGKUNGAN

Memahami gerakan sosial tidak lepas dari arsiran sisi politik yang
menjadi acuan dalam melihat perubahan sosial yang ada pada sebuah ma-
syarakat. Ada sebuah kekuatan sosial yang bisa bermakna politik dalam
arah kegiatannya namun dengan satu tema utama sebagai pijakannya,
misalnya mengusung tema lingkungan, buruh, gender, kesehatan dan lain
sebagainya.
Perubahan sosial yang ada tidak lepas dari berbagai macam tafsiran
sebagai sebuah gerakan politik yang dinamis.Ini memberikan sebuah
ruang diskusi bahwa gerakan sosial bisa menjadi gerakan politik. Ada
banyak faktor yang saling melingkupi dan saling berkaitan sehingga peru-
bahan yang terjadi menjadi sangat dinamis.
Gerakan sosial merupakan suatu usaha bersama (kolektif) untuk
melakukan atau menentang suatu perubahan dalam masyarakat. Menurut
beberapa Sosiolog tentang gerakan sosial adalah sebagai berikut:
a) James M Henselin. Dalam bukunya Sosiologi dengan Pendekatan
Membumi, Henselin (2008) merumuskan gerakan sosial sebagai sejum-
lah besar orang yang berorganisasi untuk mempromosikan atau me-
nentang perubahan.

b) Paul B Horton dan Chester L Hunt, dalam bukunya Sosiologi mem-


berikan batasan gerakan sosial sebagai suatu usaha kolektif yang
bertujuan untuk menunjang atau menolak perubahan.

c) Kamanto Sunarto, dalam bukunya Pengantar Sosiologi menjelaskan


pengertian gerakan sosial sebagai perilaku kolektif yang memiliki tujuan
jangka panjang untuk mengubah atau mempertahankan masyarakat
atau institusi yang ada di dalamnya.

59
Gerakan sosial yang menolak perubahan sosial karena bertentangan
dengan nilai dan norma dalam masyarakat. Menentang perubahan disini
maksudnya yaitu perubahan yang berlawanan dengan norma atau aturan
yang berlaku, seperti penyalah gunaan narkoba, korupsi, kolusi, nepotisme
(KKN), dan adanya pornografi yang berlawanan dengan norma yang
berlaku. Itulah gerakan yang kontra dalam masyarakat sehingga masyara-
kat juga berhak dalam menonak perubahan tersebut.
Sementara, usaha atau gerakan sosial yang pro terhadap masya-
rakat, yaitu gerakan hidup sehat, kampanye lingkungan bersih, demokrasi
yang bersih, penegakan HAM, dan contoh lainnya.Gerakan sosial biasanya
dipelopori oleh kepedulian masyarakat terhadap beberapa isu yang men-
jadi trend, dan permasalahan sosial terkait lainnya.
A. Tipologi Gerakan Sosial menurut Beberapa Para Ahli Sosiologi
1) Paul B. Horton dan Chester L. Hunt
Horton dan Hunt (1989 : 198-201) menemukan ada enam ben-
tuk dari gerakan sosial, yaitu sebagai berikut:
 Gerakan Perpindahan (Migratory Movement), yaitu arus per-
pindahan penduduk ke suatu tempat yang baru. Misalnya, arus
pengungsian besar-besaran orang Vietnam Selatan ke Pulau Ga-
lang pada masa perang Vietnam.

 Gerakan Ekspresif (Expressive Movement), merupakan ge-


rakan yang mengubah ekspresi, sikap, atau reaksi terhadap ke-
nyataan dan bukannya mengubah kenyataan (masyarakat) itu
sendiri. Misalnya, gerakan ekspresif, melalui musik, puisi, drama,
lelucon, lawakan, dan lain sebagainya. Lelucon politik merupakan
salah satu contohnya.

 Gerakan Utopia (Utopian Movement), adalah gerakan untuk


menciptakan suatu masyarakat sejahtera dalam skala terbatas,
misalnya gerakan dengan kontruksi skala besar yaitu gerakan Ki-
but Israel, gerakan Darul Arqam Malaysia, dan gerakan lainnya.
60
 Gerakan Reformasi (Reform Movement), yaitu gerakan yang
berusaha untuk memperbaiki beberapa kepincangan dalam ma-
syarakat. Gerakan semacam ini biasanya sering muncul di negara
demokrasi, misalnya gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia
pada tahun 1998, krisis yang terjadi membuat gerakan ini muncul.

 Gerakan Revolusioner (Revolutionary Movement), yaitu gerakan


yang dibangun untuk menggantikan sistem yang ada dengan
sistem yang baru. Para penganut gerakan ini, menurut Horton dan
Hunt, cenderung bersebarangan dengan penganut gerakan re-
formasi, mereka berpendapat bahwa perubahan radikal dan
mendasar hanya dapat terlaksana apabila sistem sosial yang ada
sekarang diganti dengan yang baru serta kelompok elite yang ada
disingkirkan dan diputus mata rantai sirkulasinya, selanjutnya per-
saingan antar kelompok dalam perebutan kekusaan terjadi.

 Gerakan Perlawanan (Resistance Movement), yaitu gerakan


yang bertujuan untuk menghambat atau menghalangi suatu peru-
bahan sosial tertentu. Perubahan sosial yang terjadi selama ini
tidak saja membahagiakan, tetapi juga membuat sebagian orang
menjadi ketakutan dan khawatir.

Ini disebabkan karena adanya perubahan dalam pandangan


nilai, norma, dan sikap kelompok tersebut. Atau mereka yang meng-
alami perubahan yang berlawanan dengan norma, yaitu seks bebas,
narkoba, pornografi, dan sejenisnya, yang mana mereka telah
menimbulkan keresahan atau ketidaknyaman dalam kehidupan ber-
masyarakat. Begitulah, yang membuat munculnya gerakan
perlawanan yang mana mereka menolak perubahan yang berlawa-
nan dengan norma tadi, seperti anti seks bebas, anti narkoba, dan
lain halnya.

61
2) Tipe Gerakan Sosial menurut David F. Aberle
Ada empat tipe dari gerakan sosial oleh David F Aberle, yaitu
sebagai berikut:
 Gerakan Sosial Alternatif (Alternative Social Movement), yaitu
gerakan yang bertujuan mengubah perilaku tertentu dalam diri
individu. Dalam tipe ini mencakup berbagai kegiatan seperti kam-
panye antinarkoba, antimiras, antiseks bebas, dan lainnya.

 Gerakan Sosial Redemptive (Redemptive Social Movement),


merupakan gerakan yang bertujuan mengubah keseluruhan peri-
laku individu. Gerakan ini memiliki sasaran yang sama dengan
gerakan alteratif yaitu individu, namun berbeda dalam cakupan.
Gerakan redemptive mengubah perilaku lama menjadi perilaku
baru, yang berbeda sama sekali dengan yang lama. Misalnya ge-
rakan keagamaan seperti gerakan fundamentalis keagamaan,
yaitu fundamentalis Kristen, Islam, Yahudi, atau Hindu.

 Gerakan Sosial Reformatif (Reformative Social Movement), adalah


gerakan perubahan atau reformasi pada segi atau bagian tertentu
dari masyarakat. Gerakan ini jelas berbeda dengan dua gerakan
sebelumnya yang menekankan pada individu.

 Gerakan Sosial Transformatif (Transformative Social Movement),


menunjuk pada gerakan untuk mentransformasikan tatanan
sosial. Para anggota memiliki keinginan hendak mengubah ta-
tanan sosial masyarakat menjadi tatanan yang lebih baik menurut
versi mereka.

Tipologi Aberle dipertajam oleh Henselin (2008) dengan me-


nambahkan dua tipe lainnya, yaitu gerakan sosial transnasional dan
gerakan sosial metaformatif. Gerakan sosial transnasional merupa-
kan gerakan yang ingin mengubah kondisi tertentu yang tidak hanya
ada dalam lingkungan mereka, tetapi juga di seluruh dunia. Gerakan

62
sosial ini ditunjukan untuk meningkatkan kualitas hidup tertentu,
misalnya kaum buruh sedunia, kualitas lingkungan hidup, pengen-
tasan kemiskinan, dan lainnya.
Sementara, gerakan sosial metaformatif menunjuk pada gera-
kan yang ingin mengubah tatanan sosial, yang tidak hanya pada
skala lokal dan nasional, tetapi lebih luas lagi yaitu tatanan sosial
global. Gerakan komunisme dan fasisme merupakan contoh dari ge-
rakan sosial metaformatif. Terdapat kemungkinan gerakan fun-
damentalis keagamaan menjadi suatu gerakan yang bersifat juga
gerakan metaformatif bila cakupannya telah global.

B. Memahami Kelompok Penekan dan Kelompok Kepentingan


Dalam sebuah negara demokratis, saluran aspirasi begitu ber-
makna dalam sebuah sistem politik. Deutsch (1963) dalam Imawan
(1996) dalam Arfani (1996) memberikan gambaran tentang aspirasi
bahwa adanya semacam proses seleksi di antara warga masyarakat
sendiri, tentang aspirasi apa dan milik siapa yang pada saat tertentu
dianggap wajar diterima dalam sistem politik. Proses seleksi itu sendiri
penting, sebab sistem politik justru tidak bisa bekerja bila kebanjiran
aspirasi.
Sistem politik tidak memberi tempat pada aspirasi individual.
Aspirasi yang diperhatikan adalah kepentingan yang sudah diagregasi
dan diartikulasi dalam satu kelompok. Kelompok itu bisa berbentuk
partai politik, kelompok kepentingan, ataupun kelompok penekan. Di-
namika satu sistem politik sangan ditentukan oleh pertarungan ketiga
kelompok ini dalam upaya menyalurkan aspirasi masyarakat ke pem-
buat keputusan.
Jika partai politik mengusung semua fungsi input dalam sistem
politk, maka kelompok kepentingan dan kelompok hanya mengusung
dua hal yaitu sisi agregasi kepentingan dan artikulasi kepentingan.

63
Secara definisi ada dua pendapat tentang kelompok kepentingan
dan kelompok penekan. Kelompok Kepentingan (Interest Group) oleh
Benditt (1975) dalam Imawan (1996) dalam Arfani (1996) memberikan
definisi, “a group of person who share a common cause, which put
them into political competition with other groups of interests,” (seke-
lompok orang yang memiliki tujuan yang sama, sehingga melibatkan
persaingan politik dengan kelompok kepentingan lain). Fungsi utama
yang dilakukan terbatas hanya agregasi dan artikulasi kepentingan.
Kemudian Schlozman and Tierney (1983) memberikan definisi tentang
kelompok penekana dengan pengertian bahwa Kelompok Penekan
(Pressure Group) yang secara umum diberi batasan sebagai, “any
organized group that seeks to influence the policies and the practices of
government,” (kelompok terorganisir yang berupaya mempengaruhi ke-
bijakan dan praktik pemerintahan).
Agar lebih memahami perbedaan ketiga saluran aspirasi ini bisa
dilihat pada table dibawah ini:

Tabel 1
Perbedaan Utama Antara Ketiga Kelompok Politik

Kelompok Kelompok
Partai Politik
Kepentingan Penekan
Relatif teratur,
Hubungan
Teratur terutama dekat
Pemimpin & Tidak teratur
sepanjang waktu Pemilihan
Pengikut
Umum

Aspek Luas dan


Spesifik Spesifik
Kepentingan Bervariasi

1. Memunculkan Merumuskan Sedikit banyak


kandidat untuk kepentingan menggunakan
Tujuan
menjabat massa secara paksaan untuk
Organisasi
publik damai menyampaikan
tuntutan

64
2. Membentuk
Pemerintahan

Luas
Luas Sempit Sempit
Dukungan

Stabilitas Stabil Stabil Temporal

Sumber : Imawan (1996) dalam Arfani (1996)

Di antara ketiga saluran politik ini partai menempati posisi kunci,


sebab partailah yang secara langsung terlibat dalam proses politik.
Partai ikut dalam satu pemilu dan menempatkan wakil-wakil rakyat ke
dalam mesin politik. Adapun Kelompok Kepentingan (Interest Group)
atau Kelompok Penekan (Pressure Group) bertugas sebagai penghim-
pun atau broker kepentingan dan tuntutan masyarakat. Tugas mereka
sebatas menampilkan isu-isu penting dalam masyarakat sehingga
mendapat perhatian pembuat keputusan, tanpa berniat menduduki satu
jabatan dalam jaringan birokrasi. Upaya menarik perhatian pengambil
keputusan ini bisa dilakukan dalam dua cara. Pertama, menawarkan
kepentingan masyarakat yang sudah diartikulasikan untuk “dibeli” oleh
partai politik. Kedua, secara langsung menyampaikan aspirasi masya-
rakat ke pemerintah yang sering didahului oleh munculnya polemik
dalam masyarakat.
Cara pertama efektif dilakukan bila partai dapat berfungsi secara
maksimal, sehingga tingkat kepercayaan rakyat lebih tinggi kepadanya
dibandingkan ke kelompok kepentingan. Selain itu cara ini menuntut
masyarakat terbuka (open market). Maksudnya pembentukan opini da-
lam satu masyarakat tidak dimonopoli oleh satu kekuatan politik saja.
Tiap kekuatan politik harus memiliki kesempatan yang sama untuk
menyebarkan ide-idenya, sekaligus mencari dukungan terhadap ide-ide
tersebut.
65
Cara kedua biasanya ditempuh ketika masyarakat menilai bahwa
saluran-saluran politik yang resmi tadak beroperasi secara optimal.Ada
kemacetan arus penyampaian aspirasi dari masyarakat ke pemerintah,
dan pemerintah dinilai kurang (atau bahkan tidak) responsif terhadap
aspirasi yang muncul.

C. Memahami Partispasi dan Aspirasi Rakyat


Diagram berikut menggambarkan wacana yang dapat digunakan
rakyat untuk menyampaikan aspirasinya.

Karya klasik Almond dan Powell tentang adanya empat jenis


kelompok kepentingan dapat membantu kita menelaah peran, fungsi
dan “nasib” kelompok kepentingan di Indonesia. Pertama, kelompok
anomik yang menunjuk kepada kelompok kepentingan yang melakukan
kegiatan secara spontan dan hanya berlangsung seketika saja.

66
Kedua kelompok nonassosiasional, yakni kelompok yang ke-
giatannya masih bersifat temporer dan struktur organisasinya bersifat
informal.
Ketiga, kelompok institusional, yakni kelompok yang memiliki ke-
giatan rutin dan didukung oleh struktur organisasi yang jelas.
Keempat, kelompok assosiasional, yakni kelompok yang memiliki
struktur organisasi yang formal, dengan prosedur keanggotaan yang
formal. Kelompok ini secara khas mengartikulasikan kepentingan para
anggotanya yang telah memiliki tenaga profesional di bidangnya.
Di antara keempat jenis kelompok kepentingan ini, yang paling
dapat diandalkan untuk menyalurkan aspirasi rakyat ke sistem politik
adalah kelompok institusional dan kelompok assosiasional. Sebaliknya
derajat terendah dari efektivitas penyampaian aspirasi ke sistem politik
berada pada kelompok anomik dan kelompok nonassosiasional.
Di antara kelompok institusional dan kelompok assosiasional,
kelompok pertama memiliki kesempatan yang cukup luas untuk men-
dapat dukungan dari masyarakat dibandingkan kelompok kedua. Hal ini
disebabkan aspirasi pada kelompok assosiasional sangat spesifik dan
cenderung bersifat eksklusif dalam hal pendukungnya.
Di antara kelompok anomik dan kelompok nonassosiasional,
yang kurang efektif adalah kelompok pertama. Penyebabnya terletak
pada kontinuitas kegiatan yang bersifat temporer. Kelompok akan sege-
ra bubar begitu tuntutan mereka “didengar” oleh para elite.

D. WALHI Sebagai Gerakan Sosial


Memahami gerakan sosial tidak lepas dari arsiran sisi politik
yang menjadi acuan dalam melihat perubahan sosial yang ada pada
sebuah masyarakat. Ada sebuah kekuatan sosial yang bisa bermakna
politik dalam arah kegiatannya namun dengan satu tema utama seba-
gai pijakannya, misalnya mengusung tema lingkungan, buruh, gender,
kesehatan dan lain sebagainya. Perubahan sosial yang ada tidak lepas
67
dari berbagai macam tafsiran sebagai sebuah gerakan politik yang
dinamis. Ini memberikan sebuah ruang diskusi bahwa gerakan sosial
bisa menjadi gerakan politik. Ada banyak faktor yang saling melingkupi
dan saling berkaitan sehingga perubahan yang terjadi menjadi sangat
dinamis.
WALHI sebagai sebuah gerakan sosial namun juga pada bagian
lain kemampuannya mengolah isu bisa terlihat sebagai sebuah gerakan
politik dengan isu utamanya adalah persoalan lingkungan.
a) Sejarah Berdirinya WALHI
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merupakan se-
buah organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia,
dengan jumlah anggota sebanyak 487 organisasi dari unsur orga-
nisasi nonpemerintah dan organisasi pencinta alam, serta 203
anggota individu yang tersebar di 28 propinsi di Indonesia. Sejak
tahun 1980 hingga saat ini, WALHI secara aktif mendorong upaya-
upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup di Indonesia.
WALHI bekerja untuk terus mendorong terwujudnya pengakuan hak
atas lingkungan hidup, dilindungi serta dipenuhinya hak asasi ma-
nusia sebagai bentuk tanggung jawab Negara atas pemunuhan
sumber-sumber kehidupan rakyat.
WALHI menyadari bahwa perjuangan tersebut dari hari kehari
semakin dihadapkan dengan tantangan yang berat, terutama yang
bersumber pada semakin kukuhnya dominasi dan penetrasi rezim
kapitalisme global melalui agenda‐agenda pasar bebas dan hege-
moni paham liberalisme baru (neo‐liberalism), dan semakin me-
nguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di
dalam negeri terhadap kepentingan negara‐negara industri atau
rejim ekonomi global. Rezim kapitalisme global menempatkan
rakyat, lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat,
bahkan bumi sebagai tumbal akumulasi kapital. Eksploitasi dan pe-
ngerukan sumber daya alam yang tiada habisnya yang berujung
68
pada krisis lingkungan hidup, telah mempengaruhi tatanan kehidu-
pan ekonomi, sosial dan budaya dan pada akhirnya meningkatkan
ancaman kerentanan keselamatan dan kehidupan seluruh warga
negara, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Di tengah tantangan perjuangan penyelamatan lingkungan
hidup dan sumber-sumber kehidupan rakyat yang begitu berat, dibu-
tuhkan gerakan sosial yang kuat dan luas untuk secara bersama-
sama memperjuangkan keadilan ekonomi, sosial dan ekologis untuk
generasi hari ini dan generasi mendatang. WALHI memastikan
dirinya menjadi bagian utama dari gerakan ini.

b) Visi dan Misi Organisasi


I. Visi
Terwujudnya suatu tatanan sosial, ekonomi dan politik yang adil
dan demokratis yang dapat menjamin hak-hak rakyat atas
sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat dan
berkelanjutan.

II. Misi
1. Mengembangkan potensi kekuatan dan ketahanan rakyat.
2. Mengembalikan mandat negara untuk menegakkan dan melin-
dungi kedaulatan rakyat.
3. Mendekonstruksikan tatanan ekonomi kapitalistik global yang
menindas dan eksploitatif menuju ke arah ekonomi kerakya-
tan.
4. Membangun alternatif tata ekonomi dunia baru.
5. Mendesakkan kebijakan pengelolaan sumber-sumber kehidu-
pan rakyat yang adil dan berkelanjutan.

69
III. Nilai-nilai dan Prinsip
III.1. Nilai-nilai Dasar Organisasi
1) Menghormati Hak Asasi Manusia; kesadaran, sikap dan
tindakan yang mengutamakan dan menilai tinggi nilai-nilai
Hak Asasi Manusia.

2) Demokratis; melibatkan konstituen (rakyat) yang aktif


dalam sebuah proses pengambilan keputusan kolektif dan
memberikan kesamaan hak-hak, kesetaraan politik dan
partisipasi rakyat dalam menjalankan kendali hasil keputu-
san tersebut.

3) Keadilan Gender; semua orang berhak memperoleh


kehidupan dan lingkungan hidup yang layak tanpa membe-
dakan jenis kelamin, agama dan status sosial. Berkelakuan
adil terhadap laki-laki dan perempuan dalam hal peran dan
tanggung jawab yang terjadi karena keadaan sosial, buda-
ya masyarakat maupun kebijakan politik negara.

4) Keadilan Ekologis; menekankan pentingnya akses ma-


syarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya dan
keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya
pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyara-
kat mengelola alam.

5) Keadilan Antar Generasi; semua generasi baik sekarang


maupun mendatang berhak atas lingkungan yang berkua-
litas dan sehat

6) Persaudaraan Sosial; membangun kebersamaan dan


solidaritas yang tinggi, dan mengikat diri dalam kerja-kerja
sosial antar warga. Semua orang memilik hak sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang sama.

70
7) Anti Kekerasan; kesadaran, sikap dan tindakan yang me-
nolak serta melawan praktek olah/unjuk kekerasan yang
dilakukan oleh individu, kelompok, modal dan negara.

8) Keberagaman; mengakui kesederajatan manusia dalam


keragaman atau kemajemukan yang merupakan kenyata-
an sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat.

III.2. Prinsip-prinsip Organisasi


1) Keterbukaan; Menyampaikan informasi yang sebenarnya
berkaitan dengan pengelolaan organisasi, program, dan
hasil audit keuangan kepada pihak-pihak yang terkait, baik
diminta maupun tidak diminta.

2) Keswadayaan; Semua pihak diharapkan mendukung ke-


swadayaan politik dan ekonomi masyarakat.

3) Profesional; Memelihara kepercayaan masyarakat dalam


upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan hidup,
segala bentuk aktifitas organisasi harus sesuai dengan
kepentingan rakyat (korban dan keluarganya), dan segala
bentuk aktifitas organisasi dapat diminta tanggung jawab-
nya. Semua pihak hendaknya bekerja secara profesional,
sepenuh hati, efektif, sistematik dan tetap mengembang-
kan semangat kolektivitas.

4) Ketauladanan; Memimpin rakyat melalui tindakan atau


perbuatan yang dapat memberikan inspirasi dan contoh
kepada orang lain, kepada rakyat.

5) Kesukarelaan; Diwujudkan dengan tidak menjadikan im-


balan/pamrih dan/atau kedudukan atau kekuasaan sebagai
tujuan, kecuali semata-mata dimaksudkan untuk pember-
dayaan dan kemandirian rakyat dan jejaring.
71
c) WALHI sebagai Sebuah Gerakan Lingkungan
Sebagai sebuah gerakan sosial lingkungan hidup WALHI
mempunyai konsekuensi bahwa gerakan yang diusung dengan te-
ma lingkungan menjadi dasar pijakannya. Sebagai gambaran awal
memahami gerakan sosial menurut Sunarto (2004) menyebutkan
bahwa gerakan sosial sering diidentikan dengan masalah politik, ka-
rena memang gerakan sosial lahir dari sebuah kepentingan individu
atau kelompok masyarakat, baik yang terorganisasi maupun tidak.
Gerakan sosial pada hakikatnya merupakan hasil perilaku kolektif,
yaitu sebuah perilaku yang dilakukan bersama-sama oleh sejumlah
orang yang tidak bersifat rutin dan perilaku mereka merupakan hasil
tanggapan atau respon terhadap rangsangan tertentu.
Secara umum WALHI bisa dikatakan sebagai sebuah gerakan
yang lahir dari sekelompok individu yang mengusung tema tentang
lingkungan hidup, ada sebuah kepetingan atau aspirasi sekaligus
tuntutan dalam hal perubahan sosial atas terjadinya kerusakan alam
dan semua ini ditujukan pada pemerintah atau penguasa.
Maka kemudian gerakan sosial yang menjadi ciri khas dari
WALHI merupakan bentuk dari kolektivitas anggota-anggota WALHI
untuk membawa atau menentang sebuah perubahan. Giddens da-
lam Martono (2011) menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai
suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama,
atau gerakan yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama
melalui tindakan kolektif diluar lingkup lembaga-lembaga yang
sudah ada. Lebih lanjut dijelaskan oleh Jary anda Jary bahwa gera-
kan sosial sebagai sebuah aliansi sosial dari sejumlah besar orang
yang berserikat untuk mendorong atau menghambat suatu segi
perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Kemudian Meyer and
Tarrow turut memberikan pendapatnya tentang gerakan sosial seba-
gai tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujuan dan

72
solidaritas bersama, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan
kelompok elite, saingan atau musuh dan pemegang otoritas.
Sebelum lebih jauh mendiskusikan arah dan pola dari WALHI,
maka dari berbagai definisi tentang gerakan sosial di atas, memberi-
kan sebuah ciri dari sebuah gerakan sosial yang bisa dilihat secara:
1) Adanya pelibatan beberapa tujuan yang bersifat kolektif, yang
merupakan upaya-upaya yang terorganisasi untuk mewujudkan
perubahan dalam unsur-unsur kelembagaan misalnya kelemba-
gaan politik atau pemerintah. Tujuan ini dapat berpusat pada
lebijakan-kebijakan publik atau ditujukan sekedar untuk menga-
wali proses perubahan sosial dalam unsur-unsur kelembagaan
sosial politik.

2) Berdasarkan ciri gerakan yang bersifat atau mengarah pada


tujuan politik yang dibawa gerakan sosial ini. Tujuan-tujuan ini
hanya mungkin dicapai apabila gerakan sosial melibatkan diri
dalam interaksi dengan berbagai aktor-aktor politik, misalnya de-
ngan pemegang kekuasaan.

Lebih jauh, Sztompka (1994) dalam Martono (2011) membe-


rikan batasan definisi gerakan sosial. Menurutnya gerakan sosial
harus memiliki empat kriteria, yaitu :
1) Adanya kolektivitas.
2) Memiliki tujuan bersama; mewujudkan perubahan tertentu dalam
masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara
yang sama.
3) Kolektivitasnya relative tersebar, namun lebih rendah derajatnya
daripada organisasi formal.
4) Tindakannya memiliki derajat spontanitas tinggi namun tidak ter-
lembaga dan bentuknya tidak konvensional.

73
Evaluasi
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan gerakan sosial!
2. Jelaskan tipologi gerakan sosial menurut para ahli yang anda ketahui!
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kelompok penekan dan kelompok
kepentingan!
4. Jelaskan kenapa WALHI dianggap sebagai salah satu gerakan sosial
dalam bidang lingkungan!

Daftar Referensi Lebih Lanjut


Arfani, Riza Noer. 1996. Demokrasi Indonesia Kontemporer. PT.Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
https://m.merdeka.com/wahana-lingkungan-hidup-indonesia/profil/ diakses
6 November 2019, pukul 22.53 WIB
https://walhi.or.id/visi-dan-misi diakses 7 November 2019, pukul 22.59 WIB.
https://www.sosiologi.info/2018/11/tipologi-gerakan-sosial-menurut-
sosiolog.html diakses 7 November 2019, pukul 23.00 WIB.
Martono, Nanang. 2012. Sosiologi Perubahan Sosial – Persepaktif Klasik,
Modern, Posmodern, dan Poskolonial. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.

74
BAB VII
KALIMANTAN TENGAH
SEBAGAI LADANG RISET SOSIOLOGI LINGKUNGAN

Memahami sosiologi sebagai sebuah ilmu tentu banyak memberikan


perspektif bahwa kajian ilmu sosiologi akan selalu berkembang, dia akan
mengikuti zaman selama masyarakat masih ada. Memanfaatkan sosiologi
khususnya sebagai sebuah pisau analisis sesungguhnya memberikan
banyak kekayaan perspektif dan akan selalu dinamis.
Fenomena hari ini dalam melihat Indonesia atau Kalimantan Tengah
sebagai sebuah wilayah yang menjadi ruang bagi sosiologi lingkungan
sangat menarik dikaji. Pada bagian lain bahwa dinamisnya sebuah feno-
mena merupakan hal yang niscaya dan sosiologi akan selalu mengikutinya.
Banyak singgungan ketika memahami sosiologi secara lingkungan
di Kalimantan Tengah, misalnya secara sosial (budaya) ekonomi, politik
(kebijakan), gender (jenis kelamin), hingga sisi kesehatan dan lain
sebagainya. Beberapa variabel kunci tersebut akan menjadi sebuah kajian
dan diskusi yang bisa jadi berubah dalam waktu yang singkat, hal ini mem-
buat kajian dalam ranah sosiologi menjadi menarik.

A. Metode Kualitatif sebagai Pilar Riset Sosiologi


Sebagai sebuah pendekatan, metode kualitatif bisa dipadukan
dalam pengembangan sebuah riset sosiologi. Sudarma (2012) mem-
berikan sebuah gambaran bahwa pengembangan pendekatan kualitatif
di bidang kajian sosiologi, ada beberapa konsep yang memperkaya
model penalaran yang dikembangkan sosiologi yang salah satunya
dikenal pendekatan etik dan emik. Secara pandangan etik maka akan
digunakan standard dan prosedur ilmiah dalam menganalisis perilaku
atau fenomena sosial. Sedangkan secara emik, sesuatu hal akan
berusaha dipahami secara perilaku atau budaya sosial sesuai
perspektif para pelakunya. Dengan kata lain jika secara etik akan ber-
75
pedoman pada kerangka standar keilmuan, sedangkan pada sisi emik
berusaha memahami apa yang dipahami oleh masyarakat.
Jika ingin dipadukan keduanya maka istilahnya adalah etmi,
sebagai penengah dalam memahami secara etik dan emik.Lebih lanjut
dalam konsep Anthony Giddens untuk memahami pertentangan kedua
hal tersebut dengan istilah hermeneutika ganda atau sebuah analisis
relasi dan perbandingan antara teoritik dengan empirik.
Menurut Anthony Giddens:

“the intersection of two frames of meaning as a logically necessary part


of social science, the meaningful social world as constituted by lay actor
and the metalanguages invented by social scientists; there is a constant
‘slippage’ from one to the other involved in the practice of the social
sciences.”

(“persimpangan dua kerangka makna sebagai bagian yang secara logis


diperlukan dari ilmu sosial, dunia sosial yang bermakna sebagaimana
dibentuk oleh orang awam dan metabahasa yang ditemukan oleh para
ilmuwan sosial; terdapat ‘keselipan’ yang konstan dari satu ke yang lain
yang terlibat dalam praktik ilmu sosial.”)

Maka kemudian jika memahami sebuah fakta sosial, sosiologi me-


nekankan pada aspek “apa yang terjadi” (das sein) dan bukan “apa
yang seharusnya” (das sollen). Dari kondisi ini sosiologi tidak bekerja
untuk menilai namun kebih bertujuan untuk mendeskripsikan. Oleh ka-
rena itu dalam memandang fenomena yang terjadi di masyarakat
sosiologi bukan hanya melihat apa yang tampak, tapi memahami apa
yang lebih dalam di balik yang tampak.

76
B. Beberapa Fenomena sebagai Tema Riset Sosiologi Lingkungan di
Kalimantan Tengah
Untuk memperkaya buku sosiologi lingkungan ini, akan dipilih
beberapa tema riset yang bisa dikembangkan menjadi karya ilmiah de-
ngan tema yang ada di Kalimantan Tengah, di antaranya:
a) Masuknya korporasi pertambangan dan perkebunan yang berkem-
bang ternyata memberikan dampak yang bisa menimbulkan konflik
dengan masyarakat lokal, termasuk didalamnya efek bencana alam
(asap dan banjir) di wilayah pedesaan atau perkotaan.

b) Berkaitan dengan hal di atas, dampak dari sisi kesehatan (pen-


cemaran) yang memperluas kajian sosiologi lingkungan yang bisa
bersinggungan dengan sosiologi kesehatan.

c) Kemiskinan dan pemberdayaan juga bisa menjadi bagian tema riset,


karena kultur yang berbeda dengan daerah lain, pada bagian ini
tentu bisa dilihat dari sisi budaya lokal.

d) Perjuangan kaum perempuan terhadap lahan juga bisa menjadi


bagian yang tak terpisahkan dari sisi lokal, karena makna lahan bagi
perempuan Dayak sangat berarti.

e) Terjadinya perubahan sosial akibat hilangnya mata pencaharian


warga lokal yang mengandalkan alam maka menimbulkan adaptasi
yang begitu menarik untuk dijadikan tema riset.

f) Berkembangnya teknologi dalam mengolah alam pada lahan de-


ngan karakteristik bergambut.

g) Perilaku warga lokal yang tergantung dengan sungai atau adaptasi


dari warga lokal yang mulai meninggalkan budaya sungai.

h) Kearifan lokal dalam memaknai hutan dan lahan, atau kebiasaan


dan perilaku masyarakat dalam mengelola lahan.

77
Tema-tema riset di atas hanya sebagai contoh dan bisa berkem-
bang lebih banyak lagi dan kajian sosiologi lingkungan tidak akan
pernah berhenti, karena akan selalu bersinggungan dengan bidang ilmu
lainnya.

Daftar Referensi Lanjutan


Sudarma, Momon. 2012. Sosiologi untuk Kesehatan. Salemba Medika.
Jakarta.

78
TENTANG PENULIS

Saputra Adiwijaya dilahirkan di kota Palangka


Raya 16 Juli 1979. Menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan
Sekolah Menengah Atas di Palangka Raya.
Kemudian melanjutkan S-1 di FISIP Jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Lambung Mangkurat di
Banjarmasin serta lulus tahun 2001, pada tahun
2002 melanjutkan S-2 di jurusan Pengembangan SDM Universitas
Airlangga kota Surabaya, semangat untuk menuntut ilmu yang tak pernah
berhenti yang membuatnya menyelesaikan S-3 di tahun 2018 pada jurusan
Pengembangan SDM Universitas Airlangga kota Surabaya. Berkarir seba-
gai ASN pada Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Palangka Raya sejak
tahun 2006 hingga sekarang. Selain itu aktif pada Pusat Studi Kebijakan
Publik Lembaga Penelitian dan Pengabadian kepada Masyarakat Univer-
sitas Palangka Raya sejak tahun 2019. Aktfitas lain selain di kampus
sangat menyukai kerajinan handmade bersama istri Kiki Aprilia memberi-
kan pelatihan pemberdayaan kepada masyarakat atau pelaku UKM/IKM di
kota Palangka Raya, dan mengurus dua juniornya; Zentra dan Zerdhan
(keep the spirit son).
Di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Palangka Raya mengajar
semua mata kuliah tentang gender, sosiologi entrepreneur, pemberdayaan
masyarakat, dan sosiologi ekonomi. Selalu menyempatkan diri untuk
diskusi dan menulis yang dimuat pada jurnal nasional dan internasional.
Berikut ini tulisan yang pernah beliau publikasi :
1. Urgensi Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Miskin yang Menjadi
Pasien di Rumah Sakit Dr. Soetomo Kota Surabaya Jurnal Ilmu
Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 7, Januari 2015.
2. Prosiding Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan, Universitas
Padjadjaran 2016 (bersama Katriani Puspita Ayu, SE.,MA).
79
3. Potensi Pemberdayaan Keluarga Pasien di Rumah Sakit Dr.
Soetomo Kota Surabaya Jurnal Sosiologi Vol. IV Edisi 3, September
– Desember 2016.
4. Perlukah Baram Dilegalkan, Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan
Pemerintahan (JISPAR) Volume 7 Issue 1, Januari 2018.
5. Proceeding 1st International Conference of Economic Studies
(ICOES) Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Simalungun,
tahun 2018
6. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kewirausahaan pada IKM di
Kalimantan Tengah, Jurnal Sosiologi Vol. VI Edisi I, Januari – Juni
2018.
7. Kerentanan IKM Digital di Daerah (Studi pada Aplikasi Milibey.com di
Kalimantan Tengah). Jurnal Sosial dan Humaniora (IKRA-ITH
Humaniora) Vol. 3 No 2 tahun 2019.
8. Empowerment Pattern for Thalasemia Patients in Dr. Soetomo
Hospital Surabaya (Study of the Association of Parents with
Thalassemia Indonesia, Surabaya). Budapest International Research
and Critics Institute, Vol. 1 No 4 tahun 2018.
9. Observing Palangkaraya Readiness as Indonesia's New Capital City
from the Entrepreneurial Perspective bersama Pipit Anggriati
Ningrum. Budapest International Research and Critics Institute
(BIRCI-Journal): Humanities and Social Sciences.Vol. 2, No 2 (2019).
10. Related Knowledge and Support Family Mother Pregnant Women
Attitudes about Prenatal Care (ANC). Bersama Dor Valda A Arito-
nang, Anggun Wulandari, Nyoman Anita D. Budapest International
Research in Exact Sciences (BirEx) Journal, Vol. 1, No 3 (2019).
11. Healthy from the Village (Village Communities Health Empowerment
Strategy Based on Capacity Development) 2018: Proceedings IAPA
Annual Conference. Published Oct 15, 2019.

80
TENTANG PENULIS

Berkat A. Pisi dilahirkan di kota Palangka Raya


tanggal 22 November 1970. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar di SDN Selat 3 Kuala
Kapuas tahun 1983, Sekolah Menengah Pertama di
SMP Negeri 3 Palangka Raya tahun 1986, dan Se-
kolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Palangka
Raya tahun 1989. Selanjutnya, ia memperoleh gelar
sarjana (S-1) Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian dari Fakultas Pertanian
Universitas Palangka Raya tahun 1993. Studi lanjut program Magister (S-2)
masuk tahun 2006 pada Program Studi Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Pascasarjana Universitas Palangka Raya lulus tahun 2008. Melanjutkan
pendidikan Doktor (S-3) di Universitas Negeri Jakarta mengambil bidang
Manajemen Pendidikan dengan konsentrasi Pendidikan Lingkungan, lulus
tahun 2013.
Sejak tahun 1994 hingga sekarang aktif sebagai tenaga pengajar
(dosen) di Universitas Palangka Raya. Dalam perjalanannya, ia melakukan
berbagai kegiatan penelitian dan mengikuti berbagai kegiatan seminar/
lokakarya/simposium yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan baik
di tingkat regional, nasional, dan internasional. Ia juga telah menulis bebe-
rapa buku, publikasi jurnal, dan penelitian di bidang lingkungan hidup
diantaranya:
1. Menulis buku “Pendidikan Lingkungan Hidup” untuk materi
pembelajaran muatan lokal sekolah dasar kelas IV hingga kelas VI di
Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010.
2. Menulis buku “Adaptasi Mata Pencaharian Masyarakat Akibat
Perubahan Tutupan Lahan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan”
tahun 2018.
3. Publikasi “Education Model for Environmental Living Environment
Based on Local Genius for Elementary School Students Who Lived in
81
Peatland”, American Journal of Social Sciences and Humanities.”
Vol. 4 No. 3, 461-473, 2019. e-ISSN 2520-5392.
4. Penelitian “Kearifan Lokal dalam Perladangan Berpindah di
Kabupaten Pulang Pisau” tahun 2014.
5. Penelitian “Peran dan Partisipasi Wanita Tani dalam Pengelolaan
Usahatani dan Lingkungan di Kabupaten Gunung Mas” tahun 2015.
6. Penelitian “Nilai Ekonomi Hasil Hutan Ikutan di Kawasan Taman
Nasional Sebangau” tahun 2013.

82

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai