Anda di halaman 1dari 8

Naskah Asli

Aflatoksin: Cemaran dan Metode Analisisnya dalam Makanan

Nurul Aini
Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
Badan Litbangkes, Kemenkes RI
email : nurul_a@litbang.depkes.go.id, aini.nurul.21@gmail.com

Abstract

Aflatoxins are a group of natural contaminant produced by Aspergillus fungi. These


mycotoxins are abundant in the area with high temperature and humidity, and have been
classified as a carcinogenic agent to humans by IARC. Aflatoxin contamination could be
found in food such as corn, nuts, rice, and milk. This review article suggests and discusses
several methods that can be used to analyze aflatoxins in food and feed. These methods
include ELISA, HPLC, and TLC Densitometry. This article was made with prior search of
references from the internet and scientific journals. This review is aimed to compare the
ability of these methods to analyze aflatoxin in food.

Key words: Aflatoxin, Carcinogenic, Analysis

Pendahuluan
Aflatoksin merupakan cemaran alami tercemar aflatoksin. Aflatoksin M dijumpai
yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari dalam air susu dan urine.3 Struktur kimia
fungi Aspergillus yang banyak ditemukan aflatoksin dapat dilihat dalam Gambar 1.
di daerah beriklim panas dan lembap, Indonesia terletak di daerah kha-
terutama pada suhu 27-40°C (80-104° F) tulistiwa yang memiliki iklim tropis
dan kelembapan relatif 85%.1 Sebagai dengan suhu udara dan kelembapan yang
mikotoksin, senyawa tersebut lebih stabil tinggi sehingga komoditas pangan dan
dan tahan selama pengolahan makanan.2 pakan ternak sangat rentan terhadap
Spesies Aspergillus yang paling kontaminasi aflatoksin. Jenis-jenis bahan
banyak ditemukan adalah Aspergillus pangan dan pakan yang rentan terhadap
flavus yang memproduksi aflatoksin B, dan kontaminasi aflatoksin antara lain jagung,
A. parasiticus yang menghasilkan afla- kacang-kacangan, beras, dan produk susu.4
toksin B dan G. Sementara itu, aflatoksin Sementara itu, sebuah penelitian yang
M1 dan M2 merupakan metabolit hasil dilakukan di Benin, Afrika Barat meng-
hidroksilasi aflatoksin B1 dan B2 oleh konfirmasi beberapa penelitian sebelumnya
sitokrom p450 1A2 pada manusia atau he- yang menyatakan bahwa aflatoksin tidak
wan yang mengonsumsi makanan yang terdeteksi pada keripik singkong.5

54
Aflatoksin : Cemaran dan metode…..(Nurul Aini)

Gambar 1. Struktur kimia aflatoksin

Cemaran A. flavus dapat terlihat antara tahapan; mendidik petani dan konsumen
lain dari pertumbuhan fungi yang agar dapat mengenali ciri-ciri produk yang
berbentuk seperti serbuk berwarna hijau- tercemar aflatoksin agar tidak memilih dan
keabuan atau hijau kekuningan.1Ke mengkonsumsi produk yang telah
6
racunan aflatoksin akibat mengonsumsi tercemar.
makanan yang tercemar aflatoksin dapat Berdasarkan klasifikasi International
dicegah dengan melakukan beberapa hal, Agency for Research on Cancer (IARC),
antara lain dengan menggunakan varietas aflatoksin termasuk dalam senyawa
tanaman prapanen yang tahan kapang Kelompok 1, yakni senyawa yang bersifat
toksigenik, melakukan pemilihan bahan karsinogenik pada manusia, terutama
pangan yang berkualitas baik dan tidak Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang
berkapang, serta meningkatkan manajemen paling toksik.7 Selain bersifat karsino-
bercocok tanam; memberikan pengetahuan genik, aflatoksin juga bersifat genotoksik,
kepada petani mengenai penanganan hepatoksik pada manusia, serta nefrotoksik
produk pascapanen yang baik, misalnya dan imunosupresif pada hewan. Batas
dengan menyimpan hasil panen pada cemaran aflatoksin dalam makanan adalah
kondisi kelembaban rendah; melakukan sebesar 20 ppb dan dalam susu sebesar 0,5
monitoring kadar aflatoksin pada berbagai ppb.8,9

55
Metode Metode ini mempunyai batas deteksi
Kajian ini disusun dengan melakukan (limit of detection, LOD) untuk aflatoksin
tinjauan pustaka terhadap tiga metode yang B1 sebesar 9,62 pg dan untuk aflatoksin G1
umum digunakan untuk menganalisis sebesar 10,9 pg. Sementara itu, batas
aflatoksin dalam makanan, yakni kuantitasi (limit of quantitation, LOQ)
Kromatografi Lapis Tipis Densitometri untuk aflatoksin B1 dan G1 masing-masing
(KLT Densitometri), Kromatografi Cair sebesar 32,08 pg dan 36,41 pg.12
Kinerja Tinggi (KCKT), dan Enzyme- Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Linked Immunosorbent Assay (ELISA). (KCKT)
Preparasi sampel aflatoksin bervariasi Analisis aflatoksin dengan KCKT
bergantung pada metode analisisnya. dilakukan dengan menggunakan sistem
Secara umum, ekstraksi aflatoksin dari KCKT fase terbalik dengan kondisi
sampel dilakukan menggunakan pelarut sebagai berikut: kolom silika yang terikat
organik seperti kloroform, metanol, aseton, dengan C-18 panjang 15 cm, fase gerak
asetonitril, dan benzen. 4,10 air-metanol-asetonitril (50:40:10), kece-
patan alir 0,8 ml/menit, suhu ruang,
Penanganan
volume injeksi 10 µl pada konsentrasi
Aflatoksin bersifat karsinogenik 0,044 mg/ml, dan detektor fluoresensi.
sehingga preparasi standar dan sampel Panjang gelombang eksitasi maksimum
harus dilakukan secara hati-hati dan dan panjang gelombang emisi untuk
dengan menggunakan berbagai perleng- detektor fluoresensi adalah 365 nm dan
kapan perlindungan diri. Beberapa 455 nm.2,13
perlindungan yang dianjurkan untuk
digunakan antara lain, jas lab atau penutup Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
tubuh sekali pakai yang tahan terhadap (ELISA)
bahan kimia, kacamata lab (googles), Prinsip dasar ELISA adalah analisis
masker sekali pakai atau respirator, dan interaksi antara antigen dan antibodi yang
sarung tangan sekali pakai yang dipakai teradsorpsi secara pasif pada permukaan
secara rangkap atau sarung tangan khusus padat dengan menggunakan konjugat
yang tahan terhadap bahan kimia.11 antibodi atau antigen yang dilabel enzim.
Hasil dari ELISA adalah suatu warna
Kromatografi Lapis Tipis Densitometri
sebagai hasil reaksi antara enzim dan
(KLT Densitometri)
substrat. Warna yang dihasilkan dapat
KLT densitometri merupakan metode diidentifikasi secara kasat mata dan dibaca
analisis yang masih dimanfaatkan hingga secara kuantitatif menggunakan ELISA
saat ini. Analisis aflatoksin dilakukan plate reader atau spektrofotometer kanal
menggunakan fase diam lempeng KLT ganda. Pembacaan ini memungkinkan data
silica gel 60 F254 ukuran 20 10 cm diperoleh dengan cepat, dapat disimpan
dengan fase gerak kloroform-etil asetat dan dianalisis secara statistik. Reaksi
(7:3). Deteksi dan kuantitasi dilaksanakan spesifik antara antigen dan antibodi, waktu
menggunakan alat pemindai KLT analisis yang cepat, dan dapat digunakan
densitometri, detektor fluoresensi, pada untuk mendeteksi sampel tunggal maupun
panjang gelombang eksitasi maksimum banyak sekaligus merupakan keunggulan
354 nm dan emisi 400 nm. penggunaan ELISA sebagai teknik
analisis.14,15

56 Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol 2.2.2012 : 54 - 61


Aflatoksin : Cemaran dan metode…..(Nurul Aini)

Metode ELISA umumnya digunakan mencapai satuan ppb sebagai batas aman
untuk mendeteksi aflatoksin M1 dalam dalam makanan. Oleh karena itu, di-
ASI, susu cair, atau produk susu. Akan gunakan detektor fluoresensi yang lebih
tetapi, metode ELISA juga dapat sensitif untuk mendeteksi aflatoksin.9
digunakan untuk menganalisis aflatoksin
Kromatografi Lapis Tipis Densitometri
B1. Saat ini telah tersedia kit ELISA
(KLT Densitometri)
(AFM1, Neogen, RIDASCREEN) yang
dapat langsung digunakan untuk Beberapa hal dapat mempengaruhi
identifikasi dan kuantitasi cemaran hasil analisis aflatoksin menggunakan KLT
aflatoksin.14,16,17 antara lain adalah plat KLT. Plat KLT
berbahan silika yang digunakan biasanya
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet)
memiliki ketebalan 0,25-2 mm dan harus
telah mengembangkan perangkat analisis
diaktifkan terlebih dahulu pada suhu 80-
aflatoksin berupa kit yang terdiri atas
120°C selama 1 jam. Bila belum di-
pereaksi analisis dan program pengolah
gunakan, sebaiknya plat disimpan dalam
data. Kit yang dinamakan Aflavet ini
desikator untuk menghindari kontaminasi
terdiri atas serangkaian standar aflatoksin
lembap dan polutan.
B1, plat pencampur, plat berlapis antibodi,
konjugat AFB1 HRPO pekat, pengencer Faktor lain yang mempengaruhi hasil
konjugat larutan BSA/PBS, substrat A analisis adalah kombinasi fase gerak.
(dapar asetat), substrat B (tetra- Lembap yang terkandung dalam plat KLT
metilbenzidin/DMSO), dan larutan peng- memiliki pengaruh yang lebih kecil pada
henti H2SO4 1,25 M. Kit ini telah diuji dan sistem yang menggunakan fase gerak air
divalidasi penggunaannya untuk meng- dibandingkan pada sistem yang tidak
analisis aflatoksin pada pakan berupa menggunakan air.21
kacang tanah dan jagung.18,19 Keunggulan metode KLT Densito-
Selain itu, Balitvet juga telah metri adalah preparasinya cepat, dapat
mengembangkan metode analisis afla- digunakan untuk identifikasi maupun
toksin dalam hati ayam. Metode ini kuantitasi, dan biaya operasionalnya relatif
menggunakan pereaksi campuran metanol murah. Sementara itu, metode KLT
dan fosfat buffer salin (MeOH: PBS = 1 : Densitometri hanya dapat digunakan
1. Batas deteksi metode ini adalah 0,19 + sebatas semi kuantitatif dan waktu analisis
0,03 ppb. Metode ini menggunakan cara lebih lama karena dikerjakan dua kali,
spike untuk menguji perolehan kembali. yaitu elusi lempeng dan pemindaian
Hasil uji perolehan kembali untuk metode lempeng.
ini adalah sebesar 100,8%. Hal ini Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
menunjukkan bahwa metode ini memiliki (KCKT)
akurasi yang baik.20
Intensitas fluoresensi aflatoksin G1
dan B1 dapat ditingkatkan dengan
Hasil dan Pembahasan memanfaatkan reaksinya dengan sejumlah
Aflatoksin berfluoresensi di bawah reagen, seperti asam kuat dan senyawa
sinar UV jauh. Aflatoksin B berfluoresensi oksidatif. Salah satu yang telah banyak
biru sementara aflatoksin G berfluoresensi digunakan adalah derivatisasi postcoloumn
hijau. Kuantitasi aflatoksin menggunakan dengan bromin yang diperoleh secara
detektor UV tidak cukup sensitif untuk elektrokimia. Bromin bebas diperoleh dari
KBr yang ditambahkan dalam fase gerak.

57
Jumlah bromin yang dihasilkan dapat baik untuk analisis kualitatif maupun
dikendalikan dengan mengalirkan arus. kuantitatif. Kekurangan dari metode
Metode ini menggunakan kolom silika, KCKT adalah reagennya yang relatif
eluen A (air yang mengandung 216 mg mahal karena memerlukan reagen dengan
KBr dan 159,1 µl HNO3) dan B (metanol) grade khusus untuk KCKT.
55:45, kecepatan alir 1,0 ml/menit, arus
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
100 µA, suhu 40°C, dan detektor
(ELISA)
fluoresensi pada panjang gelombang
eksitasi 360 nm dan emisi 425 nm.22 Metode ELISA memiliki sensitivitas
Waktu elusi dapat dipersingkat meng- yang lebih tinggi dibandingkan KCKT
gunakan kolom yang lebih pendek dengan untuk menganalisis aflatoksin dalam
ukuran partikel yang lebih kecil karena kacang pistachio.23 Akan tetapi, metode
partikel yang lebih kecil dapat me- KCKT menunjukkan sensitivitas dan
ningkatkan efisiensi pemisahan sampel, spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan
meningkatkan efisiensi transfer massa, metode ELISA untuk menganalisis
serta meningkatkan plat teoritis. Dengan aflatoksin dalam beberapa sampel lainnya.
menggunakan metode KCKT fase terbalik, Dalam hal ini, HPLC memiliki ke-
afltoksin terelusi dengan urutan aflatoksin mampuan spesifik untuk membedakan
G2, G1, B2, dan terakhir B1.13,22 jenis-jenis aflatoksin yang dianalisis,
sementara ELISA hanya dapat mendeteksi
Penelitian lain menggunakan KCKT
aflatoksin total. Prosedur ELISA yang
fase normal dengan kondisi kolom
digunakan dalam pembandingan ini adalah
Supelcosil LC-Si, panjang 25 cm, partikel
dengan mempersiapkan sampel susu dan
5μm, suhu 30°C, fase gerak toluen-etil
bahan makanan/pakan yang ditambahkan
asetat-asam format-metanol (90:6:2:2),
100 ml larutan standar aflatoksin M1 (0, 5,
kecepatan alir 1,5 ml/menit, detektor fluo-
10, 20, 40, dan 80 ppb) dan larutan standar
resensi pada panjang gelombang eksitasi
aflatoksin total (0; 0,5; 1,5; 4,5; 13,5; dan
365 nm dan emisi 425 nm.10 Urutan
40 ppb) ke dalam microwell holder dengan
munculnya puncak aflatoksin pada kroma-
sampler 10 ml dan kemudian segera
togram KCKT fase normal bertolak
diinkubasi selama 60 menit di tempat gelap
belakang dengan urutan pada kromatogram
pada temperatur ruangan. Sementara itu,
fase terbalik. Hal ini terjadi karena kolom
untuk metode KCKT, sampel dilewatkan
yang digunakan bersifat polar sementara
melalui sebuah kolom imunoafinitas de-
fase geraknya bersifat nonpolar sehingga
ngan kecepatan alir satu tetes per detik.
senyawa yang lebih bersifat nonpolar akan
Hasil dari penelitian ini ditampilkan pada
keluar terlebih dahulu. Tabel 1.24
Walaupun analisis aflatoksin meng- Secara singkat, perbandingan pe-
gunakan KLT masih dilakukan hingga manfaatan metode analisis aflatoksin
sekarang, analisis menggunakan KCKT dalam makanan dapat dilihat dalam Tabel
lebih disukai karena waktu analisisnya 2 berikut ini:
yang lebih cepat, pengoperasian alat yang
mudah, serta dapat dimanfaatkan dengan

58 Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol 2.2.2012 : 54 - 61


Aflatoksin : Cemaran dan metode…..(Nurul Aini)

Tabel 1. Perbandingan hasil analisis aflatoksin pada berbagai sampel menggunakan


metode ELISA dan KCKT
Bahan Aflatoksin Total Aflatoksin Total Selisih (ppb)
Makanan/Pakan menggunakan ELISA menggunakan KCKT
(ppb) (ppb)
Alfalfa 0,58 0,69 -0,11
Straw (batang padi) 0,41 0,39 +0,02
Rapeseed 8,05 9,21 -1,16
Cottonseed 73,22 45,56 +27,66
Silage jagung 9,81 0,45 +9,36
Kacang kedelai 0,82 0,96 -0,14
North fish meal 1,33 2,45 -1,12
Bubur bit 0,46 0,55 -0,09
Produk susu sapi 13,16 17,2 -4,04
konsentrat (high milk)
Produk susu sapi 0,62 0,54 +0,08
konsentrat (mid milk)

Tabel 2. Perbandingan metode analisis aflatoksin dalam makanan

Faktor Pembanding KLT Densitometri KCKT ELISA


Sensitivitas Hingga satuan ppb Hingga satuan ppb Hingga satuan ppb
Spesifisitas Mampu membedakan Mampu membedakan Aflatoksin total
jenis-jenis aflatoksin jenis-jenis aflatoksin
Pemanfaatan Kualitatif, Kualitatif, kuantitatif Kualitatif, kuantitatif
semikuantitatif
Waktu analisis Lebih lama Cepat Cepat
Kemampuan analisis Terbatas Ya Ya
banyak sampel
sekaligus
Biaya analisis Lebih murah Lebih mahal Lebih murah

Kesimpulan sesuai dengan kemampuan laboratorium.


Metode analisis tersebut adalah KLT
Aflatoksin merupakan cemaran alami
Densitometri, KCKT, dan ELISA. Secara
yang berbahaya bagi kesehatan manusia
umum, metode KCKT memiliki
dan hewan karena bersifat karsinogenik.
kemampuan yang paling baik untuk
Ada beberapa metode analisis aflatoksin
menganalisis aflatoksin dalam makanan.
dalam makanan yang dapat digunakan

59
Pemilihan metode analisis dapat 11. Fischer Sci. Material Safety Data Sheet
disesuaikan dengan ketelitian yang Aflatoxin B1. Fischer MSDS ACC# 99137
dibutuhkan dan kemampuan laboratorium 2007. https://fscimage.fishersci.com/msds/
yang dimiliki. 99137.htm
12. Yohanes A. Optimasi dan Validasi Metode
Daftar Rujukan Kromatografi Lapis Tipis Densitometri untuk
Penetapan Kadar Aflatoksin pada Makanan
1. Robertson A. Risk of Aflatoxin Contamina- yang Mengandung Kacang Tanah. Depok:
tion Increases With Hot And Dry Growing Universitas Indonesia; 2005.
Conditions. Integrated Crop Management IC- 13. Barbas C, Dams A, Majors RE. Separation of
494 2005; 23: 185-186. Aflatoxins by HPLC: Application. Agilent
2. Huang J, Elmashni D. Analysis of Aflatoxins Technologies 2005. www.agilent.com/chem
Using Fluorescence Detection. Thermo 14. Yusrini H. Teknik Analis Kandungan
Scientific Application Note 381 2007. Aflatoksin B1 secara ELISA pada Pakan
3. Gürbay A, Aydın S, Girgin G, Engin Ternak dan Bahan Dasarnya. Buletin Teknik
AB, Şahin G. Assessment of Aflatoxin M1 Pertanian 2005; 10 (1): 16-19.
Levels in Milk in Ankara, Turkey. Food 15. Crowther JR. Elisa: Theory and Practice. New
Control 2006; 17 (1): 1–4. 59 Jersey: Humana Press Inc; 1995.
4. Nguyen MT, Tozlovanu M, Tran TL, Pfohl- 16. Yusrini H. Teknik Pengujian Kadar Aflatoksin
Leszkowicz A. Occurrence of Aflatoxin B1, B1 pada Jagung Menggunakan Kit ELISA.
Citrinin and Ochratoxin A in Rice in Five Buletin Teknik Pertanian 2010; 15 (1): 28-32.
Provinces of The Central Region of Vietnam. 17. Pennington JA. Aflatoxin M1 in Milk.
Food Chemistry 2007; 105: 42–47. University of Arkansas publication FSA4018.
5. Gnonlonfin GJB, Adjovi CSY, Katerere http://www.uaex.edu.
DR, Shephard GS, Sanni A, Brimer L. 18. Rachmawati S. Uji Banding Antar laborato-
Mycoflora and Absence of Aflatoxin rium, Pengujian ELISA Kit Aflatoksin.
Contamination of Commercialized Cassava Laporan Hasil Kerjasama Antara Balai
Chips in Benin, West Africa. Food Control Penelitian Veteriner dengan PT Sinta Prima
2012; 23: 333-337. Feedmill, PT Sierad Tbk, Balai Pengujian
6. Badan POM RI. Aflatoksin. Food Watch: Mutu Pakan Ternak, dan Balai Penyidikan dan
Sistem keamanan pangan Terpadu 2007; 7. Pengujian Veteriner Regional IV 2005: 2-9.
7. International Agency for Research on Cancer. 19. Rachmawati S. Kit ELISA (Aflavet) untuk
Aflatoxin. IARC Monographs 2002; 82: 171. Deteksi Aflatoksin pada Produk Pertanian.
8. Wu F. Mycotoxin Risk Assessment for the Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Purpose of Setting International Regulatory Peternakan dan Veteriner 2005.
Standards. Environmental Science and 20. Rachmawati S. Pengembangan Metoda
Technology 2004; 38 (15): 4049-4055. Analisis Residu Aflatoksin B1 dalam Hati
9. Food and Drug Administration. Guidance for Ayam secara Enzyme Linked Immunosorbent
Industry: Action Levels for Poisonous or Assay (ELISA). Seminar Nasional teknologi
Deleterious Substances in Human Food and Peternakan dan Veteriner 2006.
Animal Feed 2000. http://www.fda.gov/ 21. Karunyavanij S. Factors affecting the TLC of
Food/GuidanceComplianceRegulatoryInforma aflatoxins analysis. Mycotoxin Prevention and
tion/GuidanceDocuments/ChemicalContamina Control in Foodgrains 1989.
ntsandPesticides/ucm077969.htm#afla http://www.fao.org/docrep/x5036e/x5036E0j.
10. Supelco. Separation and Quantitation of htm
Aflatoxins B and G Using HPLC. Bulletin 800 22. Yuan L, Hamada N. Analysis of Aflatoxins by
1998. http://www.sigmaaldrich.com High Performance Liquid Chromatograpgy
/Graphics/Supelco/objects/4500/4493.pdf.

60 Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol 2.2.2012 : 54 - 61


Aflatoksin : Cemaran dan metode…..(Nurul Aini)

with Post-coloumn Bromination. Shimadzu


Asia Pacifif Application Report 2004.
23. Ozaslan M, Caliskan I, Kilic IH, Karagoz ID.
Application of the ELISA and HPLC Test for
Detection of Aflatoxin in Pistachio. Scientific
Research and Essays 2011; 6 (14): 2913-2917.
http://www.academicjournals.org/SRE
24. Pirestani A, Tabatabaei SN, Fazeli MH,
Antikchi M, Baabaei M. Comparison of HPLC
and ELISA for Determination of Aflatoxin
Concentration in the Milk and feeds of Diary
Cattle. Journal of Research in Agricultural
Science 2011; 7 (1): 71-78.

61

Anda mungkin juga menyukai