Anda di halaman 1dari 7

BEDAH KASUS AUDIT UMUM PT.

KERETA API INDONESIA

EXECUTIVE SUMMARY FORUM KOMITE AUDIT 13


BEDAH KASUS AUDIT UMUM PT. KERETA API INDONESIA : SEBUAH
PEMBELAJARAN MENARIK DALAM MEMAHAMI PROSES GCG BAGI PARA
KOMISARIS, DIREKSI, DAN KOMITE AUDIT
(Oleh IKAI )
Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat
disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan
diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik.
Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai. Pembedahan
kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat
menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan
pada situasi yang sama. Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT.
Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang
dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam
memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan
keuangan perusahaan yang sebenarnya.

PENDAHULUAN

Menerapkan proses GCG dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang
mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders
perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal
tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi
perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai
bagian dari sistem pengawasan yang efektif.

Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat
disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan
diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik.
Terlebih lagi pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum memadai. Pembedahan
kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat
menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan
pada situasi yang sama.

Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT.
KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu
perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas didalam memastikan penyajian
laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan
yang sebenarnya.

Sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pelayanan publik, PT. KAI memiliki
business environment yang berbeda dengan perusahaan swasta lainnya dan merupakan
pembelajaran yang menarik bagi perusahaan lainnya terutama mengenai bagaimana mambangun
pengawasan yang efektif. Kasus ini juga dapat menjadi pembelajaran bagi departemen teknis
maupun Kementerian BUMN sebagai wakil pemegang saham untuk menerapkan public
governance.

PEMBAHASAN KASUS PT. KERETA API INDONESIA

Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris,
khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut
menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor
Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat
disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.

Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat
atas 4 (empat) hal, yaitu :

1. Masalah piutang PPN.


Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus
dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak
dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa
pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN
atas jasa tersebut, PT. KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.

2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.


Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan
penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus
dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3. Masalah persediaan dalam perjalanan.


Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu
unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya
per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan
Modal Negara (PMN).
BPYBDS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit
digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit
harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.

Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah auditor eksternal
telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku (PSAK dan SPAP)? Lebih jauh
lagi apakah auditor eksternal telah berkomunikasi dengan Komite Audit, dan apakah komunikasi
tersebut efektif ?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai
peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya Komite Audit dalam proses good
corporate governance di perusahaan, baik BUMN maupun swasta.

Menurut teori dan best practices dalam good corporate governance, Dewan Komisaris dalam
menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :

1. Advising. Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu sebaiknya
Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.
2. Protecting. Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya :
memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan
perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.
3. Supervising. Mengawasi pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang
optimal bagi stakeholders.

Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal
tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara memberikan analisis
bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite
Audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan
berbicara di luar perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan
demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.

Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam :

1. Mereview audit plan


2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus
sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness proses
pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan Komite Audit.
Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).
3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian
Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.

Agar pengawasan Dewan Komisaris dapat berjalan dengan baik, Komite Audit dapat membantu
Dewan Komisaris untuk memberikan nasehat dengan cara :

1. Mereview sistem internal control, ada pemisahan fungsi atau tidak (internal control setting)
bagus atau tidak. Hal ini dilaporkan kepada Dewan Komisaris.
2. Komunikasi antara Komite Audit, Dewan Komisaris dan manajemen. Seharusnya Komite
Audit membantu Dewan Komisaris dalam menelaah/mereview laporan manajemen karena tidak
selalu 100 % laporan keuangan dipahami oleh Dewan Komisaris, terutama karena latar belakang
yang bukan keuangan. Jadi fungsi Komite Audit adalah mentransformasikan angka-angka
kedalam suatu bentuk usulan kepada Dewan Komisaris agar Dewan Komisaris dapat
memberikan advise kepada Direksi.

Kasus PT. KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di perusahaan lainnya.
Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan Komisaris terjadi perbedaan
pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social and political costnya sangat tinggi. Selain
itu masing-masing pihak yang sedang berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris)
akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang
pada akhirnya akan mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan
keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang
seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan
masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem
akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi
manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat
berfungsi dengan baik.

Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang rumit
karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong
terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan laporan
keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki
sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.

Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam
masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :

1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor
Eksternal.
2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses
audit.
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite
Audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga
ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.

Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di
kemudian hari adalah :

• Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya
belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO :
Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access Charges)
• Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status
perusahaan)
• Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
• Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
• RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan
keikutsertaan swasta

SOLUSI DAN REKOMENDASI


Dengan pembahasan kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, beberapa pelajaran berharga
dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :

Pertama, perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan
dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable
memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk
mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan
dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang
sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.

Kedua, Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan
Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris
sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti tidak
diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat
diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk
itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah
informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private
domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi
bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat
sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Ketiga, sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api
merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite
Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah
satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit.
Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum
anggota Komite Audit yang baru diangkat.

Keempat, komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan
baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor
dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional
perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor
Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu
kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit
tahun buku 2006.

Kelima, terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu
ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan
prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang telah
dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.

Keenam, beberapa hal teknis yang pelru dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK
yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure
Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta komputerisasi
akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.

Khusus untuk PT. Kereta Api, beberapa masukan yang dapat diterapkan untuk memperbaiki
kondisi yang telah terjadi saat ini adalah :

1. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini
sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

2. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang
salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun
sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau dikoreksi. Keputusan
mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik
(BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api sedang diproses disana.

3. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ
Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada
Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite
Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan
komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.

4. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya
pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

5. Komite Audit berperan aktif dalam melakukan risk mapping, mengkoordinasikan seluruh
tahapan proses auditing, mulai dari penunjukan, pembuatan program, mengevaluasi dan
memberikan hasil evaluasi kepada Dewan Komisaris, yang akan mengkomunikasikannya kepada
Direksi.

6. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.

7. Komite Audit menjembatani agar semua pihak di perusahaan terlibat aktif dalam pengawasan.
Kunci untuk merekatkan semua pihak dijalankan oleh Auditor Internal yang berkomunikasi
intens dengan Komite Audit.

Pembelajaran menarik dalam aspek public governance pada kasus ini adalah mengenai Bantuan
Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS). Sebagai perwakilan pemegang
saham (yaitu Pemerintah), departemen teknis terkait dan Kementerian BUMN seharusnya tegas
dalam menentukan BPYBDS ini, apakah merupakan penyertaan modal atau hutang. Fakta yang
terjadi saat ini adalah BPYBDS statusnya tetap dibiarkan tidak jelas sampai bertahun-tahun
sehingga nilainya di beberapa BUMN mencapai triliunan rupiah. Hal ini jelas akan berpotensi
menimbulkan masalah di masa yang akan datang, karena akan menyulitkan perusahaan dalam
mengelompokkannya, apakah termasuk aset atau kewajiban (liability).
Terlepas dari kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, concern yang mengemuka terkait
dengan Auditor Eksternal adalah merebaknya praktek penipuan dan manipulasi yang dilakukan
oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan Kantor Akuntan Publik
yang ada atau memalsukan/membuat nama Kantor Akuntan Publik yang sebenarnya tidak
terdaftar sebagai akuntan publik.

Secara prinsip Komite Audit sangat tergantung pada akuntan publik. Terkait dengan praktek
penipuan tersebut, untuk meningkatkan citra profesi IAI Kompartemen Akuntan Publik telah
membentuk Dewan Review Mutu untuk mereview mutu pekerjaan akuntan publik. Untuk itu
peran aktif pengguna jasa akuntan publik sangat dibutuhkan karena hanya dengan pengaduan
suatu tindakan penipuan atau manipulasi dapat ditindaklanjuti oleh IAI.

http://jansenrudiantosinaga.blogspot.com/2010/04/bedah-kasus-audit-umum-pt-kereta-api.html?
zx=e44d6a80f6ce98f3

Anda mungkin juga menyukai