Anda di halaman 1dari 18

UJI FORMALIN

PRAKTIKUM 5
(Praktikum Mata Kuliah Analisi Bahan Pangan Agroindustri)

Dosen Pengampu:
Ibu Almira Ulimaz, S.Si., M.Pd.

Oleh :
Kelompok Vanadium
Anggun Yulia Sari Sulistyaning 2002301001
Firda Adelia 2002301004
M. Noor Fadilah 2002301007
Mochamad Dendy Setiyawan 2002301010

PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI


JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
POLITEKNIK NEGERI TANAH LAUT
PELAIHARI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tanbahan pangan
(BTP) khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan
kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis. Banyaknya
bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara
komersil dengan harga yang relative murah akan mendorong meningkatnya
pemakaian bahan tambahan pangan yang berarti meningkatnya kansumsi
bahan tersebut bagi setiap individu.
Kita hidup dalam masyarakat menjadi sadar akan gizi dan sadar untuk
menjadi konsumen yang baik. Dewasa ini, masyarakat bukan hanya tertarik
pada aspek apakah bahan pangan memberikan cita rasa enak, apakah anak-
anak mau menikmati makanan yang disajikan, tetapi lebih dari itu masyarakat
telah tertarik pada hal-hal apakah bahan pangan itu baik untuk dikonsumsi dan
komponen apa saja yang terdapat didalamnya.
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh
konsumen. Dampak penggunaannya dapat berupa positif maupun negative
bagi masyarakat. Penyimpanan dan penggunaannya akan membahayakan kita
bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa.
Dibidang pangan kita mambutuhkan sesuatu yang lebih baik untuk
masa yang akan datang, yaitu pangan yang aman untuk dikonsumsi, lebih
bermutu, bergizi, dan lebih mampu bersaing dalam pasar global. Kebijakan
keamanan pangan (food safety) dan pembangunan gizi nasional (food
nutrient) merupakan bagian integral dari kebijakan pangan nasional, termasuk
bahan tambahan pangan.
Saat ini, bahan tambahan pangan sulit kita hindari karena kerap terdapat
dalam makanan dan minuman yang kita konsumsi, khususnya makanan
olahan. Apalagi penggunaan bahan tambahan makanan yang melebihi batas
maksimum penggunaan dan bahan tambahan kimia yang dilarang (berbahaya)
yang kerap menjadi isu hangat dimasyarakat. Sama halnya seperti Borak,
bahan tambahan pangan Formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang
digunakan dalam makanan namun keberadaannya disekitar kita sudah tidak
dapat dihindari karena begitu bayaknya produsen yang sengaja menggunakan
formalin dalam mengolah produksi pangannya guna tujuan tertentu.
Masyarakat dan industry perlu memperhatikan bahan tambahan pangan
dalam hubungannya dengan kemungkinan pemalsuan terhadap komponen
yang berkualitas rendah dan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan oleh
komponen beracun dalam bahan pangan. Problema aditif pangan hendaknya
dilihat hanya sebagai satu aspek saja dari problema yang lebih umum terhadap
bahan kimia toksis dan keamanan pangan.
Nama formalin yang sering kita dengar dan kini menghebohkan
masyarakat adalah suatu larutan yang tidak berwarna, berbau tajam, yang
biasanya digunakan sebagai pengawet. Penggunaan formalin yang salah
merupakan hal yang sangat disesalkan. Melalui sejumlah survey dan
pemeriksaan laboratorium, ditemukan sejumlah produk pangan yang
memanfaatkan formalin sebagai pengawet. Praktek yang salah semacam itu
dilakukan oleh produsen atau pengelola pangan yang tidak bertanggung
jawab. Beberapa contoh produk pangan yang sering mengandung formalin
diantaranya yaitu: pentol bakso, mie basah dan tahu yang beredar dipasaran
sekitar kita.

1.2.Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah menganalisis kandungan
formalin pada makanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Formalin
Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang banyak
digunakan untuk mengawetkan makanan. Formalin adalah nama dagang dari
campuran formaldehid, metanol dan air dengan rumus kimia CH2O. Formalin
yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid yang bervariasi,
antara 20% – 40%.

Di Indonesia, beberapa undang-undang yang melarang penggunaan


formalin sebagai pengawet makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan
No.722/Menkes/Per/IX/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No.
1168/Menkes/PER/X/1999, UU No. 7/1996 tentang Pangan dan UU No
8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh bahaya
residu yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia
(Sitiopan, 2012). Formalin adalah bahan kimia beracun yang tidak berwarna
dengan bau yang sangat menyengat. Formalin juga digunakan sebagai
pembunuh kuman dan pengawet mayat. Formalin digunakan sebagai
pengawet tambahan untuk mencegah kebusukan. zat beracun yang sangat
berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, apalagi tertelan

2.2. Sifat Formalin


Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau
yang menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan.
Berat jenis formalin sekitar 1,08 gr/ml. Formaldehid dapat bercampur dalam
air dan alkohol, tetapi tidak bercampur dengan kloroform dan eter. Sifat
formalin mudah larut dalam air dikarenakan adanya elektron bebas pada
oksigen sehingga dapat mengadakan ikatan hidrogen molekul air (Cahyadi
2009). Formalin mempunyai rumus molekul CH2O, Berat molekul 30,03
g/mol dan Titik leleh/Titik didihnya -117oC/-19,3oC (berupa gas).

Dalam udara bebas formalin berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut
dalam air biasanya dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk
dagang formalin atau formol. Umumnya, larutan ini mengandung 10-15%
metanol sebagai stabilisator dan untuk membatasi polimerisasinya. Meskipun
formalin menampilkan sifat kimiawi seperti pada umumnya aldehida,
senyawa ini lebih reaktif dari pada aldehida lainnya. Formalin bisa dioksidasi
oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena itu larutan formaldehida
harus ditutup serta diisolasi supaya tidak masuk udara (Sinaga, 2009)

2.3. Fungsi Formalin


Penggunaan formalin antara lain sebagai pembunuh kuman sehingga
digunakan sebagai pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal, pembasmi
lalat dan serangga lainnya, bahan pembuat sutra buatan, zat pewarna, cermin
kaca dan bahan peledak. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk
pengeras lapisan gelatin dan kertas, bahan pembentuk pupuk berupa urea,
bahan pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetik dan
pengeras kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan untuk isolasi
busa, bahan perekat untuk produk kayu lapis (playwood), dalam konsentrasi
yang sangat kecil ( < 1 % ) digunakan sebagai pengawet, pembersih rumah
tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin
dan karpet ( Astawan, 2006).

2.4. Dampak Formalin bagi Kesehatan


Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan
manusia jika kandungannya dalam tubuh tinggi, bereaksi secara kimia dengan
hampir semua zat didalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan
kematian sel yang menyebabkan keracunan pada tubuh (Cahanar, 2006).

Formalin dapat masuk kedalam tubuh melalui inhalasi akibat uap


formalin, selain itu dapat terserap oleh kulit ataupun secara ingesti (terelan).
Jika sampai tertelan maka orang tersebut harus segera diminumkan banyak air
dan segera diminta untuk memuntahkan isi lambungnya (sari, 2008).

Pemajanan formalin kedalam tubuh dapat terjadi melalui ingesti saat


seseorang mengkomsumsi formalin pada makanan. Biasanya terjadi pada
makanan-makanan seperti tahu, daging ayam, dan mie basah. Karena
komoditas pangan tersebut relatif sering dikomsumsi masyarakat namun
cepat mengalami pembusukan dan tidak tahan lama sehingga beberapa
produsen tidak bertanggung jawab memberi tambahan pengawet formalin
(Anwar dan Khomsan, 2009).

Formalin diketahui sebagai zat beracun, yang dapat menyebabkan


dampak kesehatan baik secara langsung (akut) maupun akumulatif. Dampak
akut dapat muncul ketika seseorang mengkomsumsi formalin dengan dosis
mulai dari 15 mg/kg/hari, Adapun dampak tersebut yaitu sakit kepala, radang
hidung kronis (rhinitis), mual-mual (sari, 2008). Sedangkan dampak
akumulatif berupa kerusakan ginjal dapat terjadi jika terus mengkomsumsi
makanan berformalin dengan dosis 0,2 mg/kg/hari dampak tersebut akan
terlihat setelah paparan dalam kurun waktu 30 tahun (EPA, 1991).

Adapun bahaya formalin yang dapat ditimbulkan menurut (Dep Kes RI,
2006) :

a. Bahaya utama Formalin sangat berbahaya bila terhirup, mengenai kulit,


dan tertelan. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa luka bakar pada kulit,
iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi, dan bahaya kanker pada
manusia.
b. Bahaya jangka pendek (akut)
1) Bila terhirup
 Iritasi pada hidung dan tenggorokan, gangguan pernafasan, rasa
terbakar pada hidung dan tenggorokan serta batuk-batuk
 Kerusakan jaringan dan luka pada saluran pernafasan seperti
radang paru, pembengkakan paru.
 Tanda-tanda lainnya meliputi bersin, radang tenggorokan, sakit
dada yang berlebihan, kelelahan, jantung berdebar, sakit
kepala, mual, dan muntah.
 Pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan
kematian
2) Bila terkena kulit Apabila terkena kulit maka akan menimbulkan
perubahan warna, yaitu kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa, dan
ada rasa terbakar.
3) Bila terkena mata Apabila terkena mata dapat menimbulkan iritasi
mata sehingga mata memerah, rasanya sakit, gatal-gatal, penglihatan
kabur, dan mengeluarkan air mata. Bila merupakan bahan
berkonsentrasi tinggi maka formalin dapat menyebabkan pengeluaran
air mata yang hebat dan terjadi kerusakan pada lensa mata.
4) Bila tertelan Apabila tertelan maka mulut,tenggorokan, dan perut
terasa terbakar, sakit saat menelan, mual, muntah, diare, kemungkinan
terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (
tekanan darah rendah ), kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu
juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem
susunan saraf pusat, dan ginjal.
c. Bahaya jangka panjang ( kronis )
1) Bila terhirup Apabila terhirup dalam jangka waktu lama maka akan
menimbulkan sakit kepala, gangguan pernafasan, batuk-batuk, radang
selaput lendir hidung, mual, mengantuk, luka pada ginjal, gangguan
haid dan infertilitas pada perempuan, kanker pada hidung, rongga
hidung, mulut, tenggorokan, paru, dan otak. Efek neuropsikologis
meliputi gangguan tidur, cepat marah, keseimbangan terganggu,
kehilangan konsentrasi, dan daya ingat berkurang.
2) Bila terkena kulit Apabila terkena kulit akan terasa panas, mati rasa,
serta gatal- gatal dan memerah, kerusakan pada jari tangan,
pengerasan kulit dan kepekaan pada kulit, serta terjadi radang kulit
yang menimbulkan gelembung.
3) 3) Bila terkena mata Jika terkena mata bahaya yang utama adalah
terjadinya radang selaput mata. 4) Bila tertelan Jika tertelan akan
menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan ,muntah-muntah, dan
kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan
dan rasa gatal di dada.

2.5 Tahu

Tahu merupakan produk makanan dengan bahan baku kedelai (glycine


max), berbentuk padatan dan bertekstur lunak. Di buat melalui proses
pengolahan kedelai dengan cara mengendapkan protein. Tahu memiliki nilai
gizi yang cukup tinggi, karena kedelai merupakan salah-satu sumber protein
nabati yang berasal dari jenis kacang-kacangan dan biji-bijian dengan kualitas
protein yang hampir mendekati protein hewani.

Hal tersebut dikarenakan kedelai banyak mengandung asam amino


essensial yang sangat diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel seperti arginin, fenilanin, histidin, isoleusin, leusin
metionin, treonin, dan triptopan. Kandungan protein pada kedelai sekitar 35%
bahkan mencapai 40- 43% pada varitas yang unggul. Tahu berasal dari cina.
Metode pembuatan tahu pertama kali ditemukan oleh Liu An pada tahun 164
SM. Liu An adalah seoramg filsuf, guru, ahli hukum dan ahli politik yang
mempelajari kimia dan meditasi dalam agama Tao. Dia memperkenalkan tahu
pada teman-temannya yang tidak menyantap daging, yaitu para pendeta. Pada
masa itu kedelai termasuk salah satu bahan utama orang-orang kuil (pendeta).
Oleh para pendetalah sambil meyebarkan agama Budha, tahu tersebar
keseluruh dunia (Purwoningsih, 2007)

2.6 Mie Basah

Mie adalah produk makanan yang biasanya sering dikonsumsi oleh


masyarakat Indonesia. Definisi mie adalah produk makanan yang dibuat dari
tepung gandum atau tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan yang lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk
khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak (Anonim, 2005 dalam
Andriyani 2008). Berdasarkan pada saat sebelum dikonsumsi, mie dapat
digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu mie basah, mie kering, mie
rebus, mie kukus dan mie instant (Anonim, 2005 dalam Andriyani, 2008).
Menurut Rustandi (2011), mie basah merupakan jenis mie yang telah
mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum
dipasarkan. Kadar air biasanya mencapai 52% sehingga daya tahan
simpannya relatif singkat yaitu 40 jam dalam suhu kamar.

Bahan pangan yang disimpan akan mengalami kerusakan jika mie


basah ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: berbintik putih atau hitam
karena tumbuh kapang, berlendir pada permukaan mie, berbau asam dan
berwarna lebih gelap. Mie basah bisa menjadi lebih awet apabila dikeringkan
dengan cara dioven (Anonim, 2005 dalam Andriyani 2008). Berdasarkan saat
sebelum dikonsumsi, mie dapat digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu
mie basah, mie kering, mie rebus, mie kukus dan mie instant. Mie basah
disebut juga mie kuning adalah jenis mie yang mengalami perebusan dengan
kadar air mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup
singkat. Pada suhu kamar hanya bertahan sampai 10 – 12 jam. Setelah itu mie
akan berbau asam dan berlendir atau biasa disebut basi Widyaningsih dan
Murtini (2006). Menurut Widyaningsih dan Murtini (2006), kualitas mie
basah sangat bervariasi karena perbedaan bahan pengawet dan proses
pembuatannya. Mie basah adalah mie mentah yang sebelumnya dipasarkan
mengalami perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu. Pembuatan mie
basah dengan cara tradisional dapat dilakukan dengan bahan utama tepung
terigu dan bahan pendukung seperti air, telur pewarna dan bahan tambahan
pangan. Mie basah yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a.
Berwarna putih atau kuning b. Tekstur agak kenyal c. Tidak mudah putus
(Anonim,2005 dalam Andriyani, 2008)

Menurut Badan Standarisasi Nasional (2015), mie basah yang baik


adalah mie yang secara kimiawi mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh Standar Mutu Mie Basah (SNI 2987-2015).

2.7 Pentol Bakso

Menurut Astawan (2008), bahwa bakso adalah produk olahan daging


giling yang dicampur dengan tepung dan bumbu-bumbu serta bahan lain yang
dihaluskan, kemudian dibentuk bulatan – bulatan dan kemudian direbus
hingga matang. Istilah bakso biasanya diikuti dengan nama jenis dagingnya,
seperti bakso ikan, bakso udang, bakso ayam, bakso sapi, bakso kelinci, bakso
kerbau dan bakso kambing. Menurut Andarwulan, pakar teknologi pangan
dari Institut Pertanian Bogor, bakso merupakan produk gel dari protein
daging, baik dari daging sapi, ayam, ikan, maupun udang dan dibentuk bulatan
– bulatan kemudian direbus. Selain protein hewani, aneka daging itu juga
mengandung zat-zat gizi lainnya, termasuk asam amino esensial yang penting
bagi tubuh (Cahyadi, 2009).
Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari daging yang
dihaluskan, dicampur tepung terigu, dibentuk bulat – bulat sebesar kelereng
atau lebih besar dan dimasak dalam air panas untuk mengkonsumsinya. Bakso
sapi merupakan jenis bakso paling populer yang beredar dipasaran, sebab
bahan baku pembuatannya yaitu daging sapi, selain halal juga telah umum
dikonsumsi oleh masyarakat (Hermanianto dan Yudtyhia, 2002).
Prinsip pembuatan bakso dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu
penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan dan perebusan. Daging
yang benar – benar segar dipisahkan lemak dan uratnya, setelah itu daging
dihancurkan dengan mencacah (mincing), mencincang (chopping) ataupun
menggiling (grinding). Penghancuran ini bertujuan memudahkan
pembentukkan adonan dan memecah dinding sel serabut otot daging sehingga
aktin dan miosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak
mungkin. Pembuatan adonan yaitu dengan menggiling daging yang telah
dihaluskan bersama-sama es batu dan garam dapur, baru kemudian
ditambahkan bahan lain dan tepung tapioka hingga diperoleh adonan yang
homogen. Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih,
jika bakso sudah mengapung dipermukaan air berarti bakso sudah matang dan
perebusan dihentikan (Ratna, 2015).
Bakso sebagai olahan bahan pangan asal hewan telah mengalami
modifikasi dalam proses pembuatannya. Berbagai cara dan metode telah
digunakan oleh pedagang dan produsen bakso untuk menciptakan bakso
dengan nilai sensorik yang baik sehingga kepuasan konsumen tetap terjaga.
Metode pengolahan daging menjadi bakso sering kali tidak memperhatikan
aspek kesehatan. Penambahan bahan tambahan berbahaya yang bersifat toksik
dengantujuan meningkatkan nilai sensorik produk bakso diduga banyak
dilakukan oleh produsen atau pedagang bakso (Handoko dkk, 2010).
Daging yang tidak berlemak, merupakan bahan yang baik untuk
membuat bakso. Daging yang berkadar lemak tinggi mengakibatkan tekstur
bakso menjadi kasar, selain daging bahan lainnya yang tak kalah pentingnya
dalam pembuatan bakso yaitu tepung tapioka. Kualitas bakso akan semakin
baik, apabila komponen daging lebih banyak dari tepung tapioka. Bakso yang
berkualitas biasanya mengandung 90% daging ddan 10% tepung tapioka.
Bakso akan terasa lebih lezat, apabila ditambahkan dengan bumbu seperti
bawang merah, bawang putih, merica bubuk dan garam. Bahan lain yang biasa
ditambahkan ketika membuat bakso adalah pengenyal, adapun bahan
pengenyal yang aman digunakan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Sodium
Tripoli Fosfat berfungsi sebagai pengemulsi sehingga menghasilkan adonan
yang lebih merata, adonan yang lebih merata akan menghasilkan bakso yang
lebih baik (Cahyadi, 2009).
Bakso biasanya mempunyai tiga ukuran, yaitu ukuran besar, sedang
dan kecil. Bakso berukuran 40, yaitu satu kilogram terisi 40 butir dengan berat
25 g/butir. Bakso sedang berukuran 50 (50 butir/kg) dengan berat rata-rata 20
g/butir. Bakso yang kecil berukuran 60 (60butir/kg) dengan berat sekitar 15-
17 g/butir (Widyaningsih dan Murtini, 2006)
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 8 Juni 2021 pukul 13.00 –
selesai WITA secara langsung di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian
Politeknik Negeri Tanah Laut

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pipet volume, gelas
ukur, rak tabung reaksi, pipet tetes, tabung reaksi, korek api, cawan porselen,
lumpang alu, spatula, dan neraca analitik
3.2.1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu H2SO4 pekat,
FeCl3, sampel (tahu, mie basah, dan pentol) 2 gr
3.3. Prosedur
Prosedur kerja pada praktikum uji Formalin ini adalah sebagai berikut :
1. Sample dihaluskan terlenih dahulu dalam lumpang
2. Seujung sendok the sample yang telah dihaluskan, dimasukkan ke dalam
tabung reaksi
3. Ditambhakan kedalam tabung yang berisi sample dengan larutan FeCl 3
0,5% hingga sampel terendam
4. Dialiri sampel dalam tabung dengan H2SO4 pekat kurang lebih 1 ml
5. Diamati perubahan yang terjadi, reaksi positif jika terbentuk cincin ungu
6. Dilakukan pengamatan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Tabel Pengamatan :
No Nama Larutan Sampel Sebelum penambahan Sesudah penambahan
Kelompok + Fecl3 H2SO4 H2SO4
+ Larutan H2SO4
1. Vanadium Tahu Tahu berwarna putih Berubah warna menjadi
coklat muda
Mie Mie berwarna kuning berubah warna menjadi
coklat kehitam-hitaman
Bakso Bakso berwarna abu Warna berubah menjadi
abu-abu
2. Titanium Tahu Tahu berwarna putih Berubah warna menjadi
coklat muda
Mie Mie berwarna kuning berubah warna menjadi
coklat kehitam-hitaman
Bakso Bakso berwarna abu Warna berubah menjadi
abu-abu
3. Molybdenum Tahu Cairan berwarna putih Berubah warna menjadi
kekuningan putih pucat
Mie Mie berwarna putih bening Warna berubah menjadi
coklat
Bakso Bakso berwarna bening Warna berubah menjadi
coklat bening
4. Scandium Tahu Tahu berwarna putih Warnanya berubah menjadi
hitam pekat
Mie Mie berwarna kuning Warna menjadi kuning
pudar
Bakso Bakso berwarna abu Warna berubah menjadi
hitam
5. Niobium Tahu Cairan berwarna putih Berubah warna menjadi
hitam pekat
Mie Mie berwarna kuning Warna berubah kuning dan
mengeras
Bakso Bakso berwarna Abu Warna berubah menjadi
hitam
6. Palladium Tahu Cairan berwarna putih Berubah warna menjadi
coklat
Mie Mie berwarna kuning Warna berubah hitam
Bakso Bakso berwarna Abu Warna berubah menjadi
hitam

4.2.Pembahasan
Pelaksanaan praktikum dilakukan secara langsung di Laboratorium
Teknologi Industri Pertanian Politeknik Negeri Tanah Laut pada hari Selasa
tanggal 8 Juni 2021. Penelitian dilakukan terhadap beberapa sampel
(Tahu,Mie basah, dan Bakso) yang beredar dipasarkan. Hal yang diamati kali
ini yaitu perubahan-perubahan yang terjadi baik sebelum dan setelah
ditambahkan beberapa larutan seperti Fecl3 dan H2SO4.

Formalin merupakan bahan tambahan kimia yang efisien, tetapi


dilarang ditambahkan pada bahan pangan (makanan), tetapi ada kemungkinan
formalin digunakan dalam pengawet susu, tahu, mie, ikan asin, ikan basah,
dan produk pangan lainnya. Akibat masuknya formalin pada tubuh bisa akut
maupun kronis. Kondisi akut tampak dengan gejala alergi, mata berair, mual,
muntah, seperti iritasi, kemerahan, rasa terbakar, sakit perut, dan pusing.
Kondisi kronis tampak setelah dalam jangka lama dan berulang bahan ini
masuk ke dalam tubuh. Gejalanya iritasi parah, mata berair, juga gangguan
pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, menstruasi, dan memicu
kanker.

Pertama yang dilakukan adala pengecilan ukuran agar bahan-bahan


mudah melakukan rekasi dengan pereaksi, tak lupa amati keadaan bahan
sebelum direaksikan akan terlihat perubahan apasaja yang terjadi selama
proses pengereaksian. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada praktikum kali
ini terlihat sebelum mendapatakan perlakuan dengan tetesan preaksi H2SO4
rata rata untuk warna tahu berwarna putih, untuk warna mie basah berwarna
kuning. dan untuk warna baksonya berwarna abu-abu.

Setelah mendapatkan perlakuan dengan diberikan preaksi H2SO4.


Semua sampel mengalami perubahan warna, untuk sampel tahu rata-rata
berubah warna menjadi coklat muda, untuk mie basah berubah menjadi
kuning yang pucat, dan untuk bakso berubah menjadi coklat hingga abu, ada
beberapa sampel juga yang berubah warnya menjadi hitam. Pereaksi H2SO4
digunakan untuk mengikat formalin yang mrupakan senyawa aldehid agar
terlepas dari sampel, formalin aldehid juga bereaksi dengan pereaksi
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna keunguan. Semakin intensif
warna yang tampak, dapat menggambarkan bahwa formalin yang terkandung
dalam sampel semakin banyak. (Kusumawati dan trisharyanti, 2004).

Berdasarkan hasil pengujian dari sampel, tidak ada sampel yang


mengandung formalin walaupun terjadi perubahan-perubahan tersebut karena
itu semua bukan sebuah indikasi makanan tersebut menggandung formalin
karena hasil positif seperti yang disebutkan sebelumnya adalah jika pereaksi
diberikan kesampel dan sampel muncul cincin ungu.
BAB V

PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa Formalin merupakan bahan tambahan kimia yang efisien,
tetapi dilarang ditambahkan pada bahan pangan (makanan), tetapi ada
kemungkinan formalin digunakan dalam pengawet tahu, mie basah, pentol dan
produk pangan lainnya. Berdasarkan hasil dari praktikum yang diperoleh dari
tiga sampel yaitu tahu, mie basah dan bakso adalah negative atau tidak
mengandung formalin karena tidak adanya rekasi antara pereaksi H2SO4
dengan formalin aldehid yang mana akan menimbulkan cincin ungu.

5.2 Saran
Berdasarkan dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat
disarankan praktikan terlebih dahulu memperhatikan hal-hal yang
disampaikan oleh dosen pengampu, sehingga dapat mempermudah ketika
proses praktikum dan pengerjaan tugas yang diberikan serta bisa lebih
mengetahui cara menganalisis kandungan formalin pada makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Aswatan, Made, 2006. Mengenal Formalin Dan Bahayanya. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Ariani N, Safutri M, Musiam S, 2016. Analisis Kualitatif Formalin Pada Tahu


Mentah Yang Dijual Di Pasar Kalindo, Teluk Tiram Dan Telawang
Banjarmasin. Jurnal Ilmiah Manuntung Vol.2(1), 60-64.

Cahyadi, W. 2009. Bahan Tambahan Pangan. Cet. 2. Jakarta: Bumi Aksa _____.
2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Ed. 2, Cet.
3. Jakarta: Bumi Aksara

Manoppo G, Jemmy Abidjulu, Frenly Wehantouw.2014. Analisis Formalin Pada


Buah Impor Di Kota Manado. Pharmacon. 3: 3..

Widyaningsih, T.D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin


PadaProduk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisaran.
LAMPIRAN
Penyusun Laporan

Proses Praktikum

Anda mungkin juga menyukai