Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak pertengahan abad ke-20 ini, peranan bahan tambahan pangan
(BTP) khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan
kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis. Banyaknya
bahan tambahan pangan dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil
dengan harga yang relative murah akan mendorong meningkatnya pemakaian
bahan tambahan pangan yang berarti meningkatnya konsumsi bahan tersebut
bagi setiap individu.
Masyarakat membutuhkan produk pangan yang lebih baik untuk masa
yang akan datang, yaitu pangan yang aman, bermutu dan bergizi untuk
dikonsumsi. Untuk memenuhi kebutuhan produk pangan bagi masyarakat yang
bebas dari kerusakan dan kontaminasi, baik kontaminasi toksin/ mikroba dan
senyawa kimia, maka keamanan pangan merupakan faktor penting untuk
diperhatikan dan diterapkan dalam proses pengolahan pangan. Menurut undang-
undang RI No 18 Tahun 2012 tentang pangan, bagian ketiga mengenai
Pengaturan Bahan Tambahan Pangan, pasal 75 dicantumkan, bahwa setiap
orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan dan atau bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan
pangan. Akan tetapi, dalam pangan yang diperdagangkan oleh masyarakat
khususnya pangan olahan seringkali ditemukan mengandung bahan tambahan
berbahaya sehingga melanggar kriteria keamanan pangan ( Sri Wulan, 2015).
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam proses produksi
pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen.
Dampak penggunaannya dapat berupa positif maupun negatif bagi masyarakat.
Penyimpanan dan penggunaannya akan membahayakan kita bersama,
khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa.
Salah satu masalah terbesar bagi pengusaha makanan adalah cepatnya
terjadi pembusukan pada makanan tersebut, karena itu makanan biasanya harus
habis terjual sebelum mengalami pembusukan. Masalah tersebut menyebabkan
beberapa oknum penjual makanan harus mencari solusi untuk memecahkan

1
masalah tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengawetkan makanan
tersebut dengan pengawet non pangan.
Sama halnya seperti bahan pengawet lainnya, bahan tambahan pangan
seperti formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan dalam
makanan namun keberadaannya di sekitar kita sudah tidak dapat dihindari
karena begitu banyaknya produsen yang dengan sengaja menggunakan formalin
dan boraks dalam mengolah produksi pangan misalnya seperti produk olahan
daging yakni bakso maupun, guna tujuan tertentu tanpa memperdulikan dampak
yang akan ditimbulkan.
Berdasarkan data BPOM tahun 2007 menunjukkan bahwa dari 2903
sampel PJAS yang diambil dari 478 Sekolah Dasar (SD) di 26 Provinsi, sekitar
5,76% bakso, mie dan kudapan menggunakan boraks dan formalin 3,67%.
Tahun 2014 juga menunjukkan bahwa peredaran makanan yang dicurigai
mengandung bahan berbahaya meningkat dari 7,86% tahun 2013 menjadi
15,06%.
Hasil penelitian Faradila (2014) di Kota Padang menunjukkan bahwa 20
sampel dari 42 sampel yang diidentifikasi bakso positif mengandung formalin
(47,6%) dan Sri (2015) di Kota Makasar menemukan terdapat 4 dari 30 sampel
positif mengandung formalin.
Uji kandungan formalin pada makananan biasanya dilakukan melalui
pemeriksaan di laboratorium dengan mengunakan zat kimia. Selain
menggunakan zat kimia ini akan dilakukan juga pengujian formalin dengan
bahan alami lain yang mudah didapatkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu
dengan kulit buah naga. Kulit buah naga dilaporkan dapat mendeteksi adanya
kandungan formalin dalam bahan makanan (Bisnis.com edisi 3 September
2013).
Berdasarkan uraian diatas, membuktikan bahwa penggunaan formalin
pada bahan makanan masih marak dilakukan para pedagang atau penjual di
berbagai wilayah di Indonesia. Tujuan pengabdian masyarakat ini adalah untuk
mengetahui apakah limbah dari kulit buah naga dapat digunakan sebagai alat uji
kandungan formalin pada bakso.

1.2 Perumusan Masalah


a. Bagaimana gambaran pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur
Batu tentang bahaya penggunaan formalin pada bakso.

2
b. Bagaimana cara memanfaatkan limbah kulit buah naga untuk digunakan
sebagai alat uji kandungan formalin pada bakso ?

1.3 Tujuan
a. Untuk menambah pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu
tentang bahaya penggunaan formalin pada bakso.
b. Untuk menambah pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu
tentang cara memanfaatkan limbah kulit buah naga untuk digunakan
sebagai alat uji kandungan formalin pada bakso.

1.4 Manfaat
a. Menambah pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu
tentang bahaya penggunaan formalin pada bakso.
b. Menambah pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu
tentang cara memanfaatkan limbah kulit buah naga untuk digunakan
sebagai alat uji kandungan formalin pada bakso.

3
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Bahan Tambahan Pangan


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988,
Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai
atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam
makanan untuk maksud teknologi (temasuk organoleptik) pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan
atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan
(langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas
makanan tersebut (Alsuhendra dan Ridawati,2013).
Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang ditambahkan dengan
sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil dengan tujuan untuk
memperbaiki penampakan, tekstur dan memperpanjang daya simpan. Selain itu
juga dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin
(Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 tahun 2012 yang
merupakan revisi dari Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/1988 dan Permenkes
No.1168/Menkes/Per/X/1999 dijelaskan bahan tambahan pangan yang dapat
digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan yaitu: antikempal
(Anticaking agent), antioksidan (Antioxidant), pemanis buatan (Artificial
Sweetener, pengatur keasaman (Acidity regulator), pengawet (Preservative),
pemutih dan pematang telur (Flour treatment agent), pengemulsi, pengatur
keseimbangan, dan pengental (Emulsifir, Stabilizer, and Thickener), pengeras
(Firming agent), penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (Flavour, Flavour
enhancer), pewarna (Colour) dan sekuestran (Sequestrant). (Purwanti. A, dkk,
2014).
Sedangkan bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaanya dalam
makanan berdasarkan Permenkes RI No.722/Per/IX/1988 dan
No.1168/Menkes/Per/X/1999 sebagai berikut: boraks (Natrium Tetraborat),
formalin (formaldehyd), minyak nabati yang dirominasi (brominated vegetable
oils), kloramfenikol (chlorampenicol), kalium klorat (potassim chlorate),
dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonat, DEPC), nitofuranzon (nirtofuranzone),

4
phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4- ethoxyphenylurea), asam
salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt), pewarna merah (rhodamin B),
pewarna kuning (methanyl yellow), pemanis sintesis (dulsin), pengeras (potasium
bromat). (Poedjiadi. A, Supiyanti, T. 2009).

2.2 Formalin
Formalin merupakan larutan yang di buat dari 37% formaldehida dalam
air. Dalam larutan formalin biasanya di tambahkan alkohol (metanol) sebanyak
10-15% yang berfungsi sebagai stabilisator agar formalin tidak mengalami
polimerisasi (Mulono, 2005). Nama lain formalin yaitu Formol, Morbicid, veracur
(Patnaik, 1992). Formalin merupakan bahan kimia yang bersifat toksik, dimana
toksisitas formalin telah dievaluasi oleh berbagai organisasi ternama seperti
IARC (International Agency For Research on Cancer), ATSR (Agency for Toxic
Substances and Disease Registry, USA) dan IPC (International Programme on
Chemical Safety). Formalin telah diklasifikasikan oleh IARC ke dalam kelompok
senyawa yang beresiko menyebabkan kanker (Uzairu, 2009).

2.2.1 Kegunaan Formalin


Menurut Alsuhendra dan Ridawati (2013) kegunaan dari formalin yaitu (1)
pembasmi atau pembunuh kuman sehingga dapat dimanfaatkan untuk
pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian dan pembasmi lalat dan berbagai
serangga lain, (2) pengeras lapisan gelatin dan kertas, (3) pengawet poduk
kosmetika dan pengeras kuku, sebagai antiseptik untuk mensterilkan peralatan
kedokteran, (5) sebagai germisida dan fungisida pada tanaman dan sayuran dan
(6) mengawetkan spesimen biologi, termasuk mayat dan kulit.

2.2.2 Bahaya Formalin Terhadap Kesehatan


Formalin umumnya digunakan sebagai bahan pengawet mayat dan
berbagai jenis bahan industri non makanan.Penggunaan formalin sebagai bahan
pengawet makanan sangat membahayakan konsumen.Tetapi banyak praktek
yang tidak bertanggung jawab dilakukan oleh pedagang atau pengolah pangan
yang menambahkan formalin sebagai pengawet makanan (Yuliarti, 2007).
Akibat yang ditimbulkan oleh formalin tergantung pada kadar formalin
yang terakumulasi di dalam tubuh. Semakin tinggi kadar formalin yang
terakumulasi, semakin parah pula akibat yang ditimbulkan. ACGIH (American

5
Conference of Governmental and Industrial Hygienists) menetapkan ambang
batas aman formalin dalam tubuh adalah 0,4 ppm (Alsuhendra dan
Ridawati,2013). Sedangkan menurut IPCS (International Programme on
Chemical Safety), lembaga khusus dari tiga organisasi PBB yaitu ILO, UNEP dan
WHO yang peduli pada keselamatan penggunaan bahan-bahan kimia, bahwa
secara umum ambang batas aman formalin dalam makanan yang masih bisa
ditolerir dalam tubuh orang dewasa adalah 1,5 mg hingga 14 mg per hari
sedangkan formalin dalam bentuk air minum yang masih bisa ditolerir dalam
tubuh yaitu 0,1 ppm (Singgih, 2013).
Berdasarkan penelitian formalin pada hewan percobaan positif
menyebabkan kanker sehingga diduga formalin kemungkinan dapat
menyebabkan kanker pada manusia (Sihombing, 1996). Kanker dapat terjadi
karena formalin yang bereaksi dengan sel dalam tubuhakan mengacaukan
susunan protein atau RNA sebagai pembentukan DNA di dalam tubuh. Apabila
susunan DNA kacau, maka sel-sel akan mengalami pertumbuhan yang
menyimpang sehingga terjadilah kanker (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).
Formalin dapat masuk ke dalam tubuh dengan jalan inhalasi uap, kontak
langsung dengan larutan yang mengandung formalin, atau dengan jalam
memakan atau meminum bahan makanan yang yang mengandung formalin.
Apabila formalin tercampur dalam makanan dengan dosis yang rendah dapat
menyebabkan keracunan. Namun apabila termakan dalam dosis yang tinggi
akan sangat membahayakan karena kandungan formalin yang tinggi didalam
tubuh tinggi akan menyebabkan formalin bereaksi secara kimia dengan hampir
semua zat didalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan
kematian sel. Selain itu kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga
menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan
kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel dan jaringan)
dan hanya dalam beberapa jam saja akan menyebabkan kejang-kejang, kencing
darah, muntah darah bahkan dapat berujung pada kematian. Penggunaan
formalin dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada organ tubuh seperti
kerusakan hati dan ginjal (Syamsul, 2013).
Formalin memiliki unsur aldehid yang mudah bereaksi dengan protein,
karenanya ketika disiramkan ke makanan seperti tahu formalin akan mengikat
unsur protein mulai dari bagian permukaan tahu sampai ke bagian dalamnya.
Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka bila

6
ditekan bakso terasa lebih kenyal. Selain itu protein yang telah mati tidak akan
diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam, sehingga bakso
akan menjadi lebih awet.

2.3 Bakso
Bahan pangan olahan daging umumnya mempunyai nilai gizi yang tinggi
ditinjau dari kandungan protein, asam amino, lemak dan mineral. Salah satu jenis
pangan olahan daging yang sangat populer di Indonesia adalah bakso (Usmiati,
2009). Menurut SNI, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau
lainnya, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak
kurang dari 50%, sedangkan menurut Wibowo (2000), bakso didefinisikan
sebagai daging yang dihaluskan, dicampur dengan tepung pati, lalu dibentuk
bulat-bulat dengan tangan sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasukkan ke
dalam air panas jika ingin dikonsumsi.
Menurut Wilson dkk (1981) prinsip pembuatan bakso dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan,
pencetakan, dan perebusan.Daging yang benar-benar segar, dipisahkan lemak
dan uratnya. Setelah itu, daging dihancurkan dengan mencacah (mincing),
mencincang (chopping) ataupun menggiling (grinding). Penghancuran ini
bertujuan memudahkan pembentukkan adonan dan memecah dinding sel
serabut otot daging sehingga aktin dan miosin yang merupakan pembentuk
tekstur dapat diambil sebanyak mungkin. Pembuatan adonan yaitu dengan
menggiling daging yang telah dihaluskan bersama-sama es batu dan garam
dapur, baru kemudian ditambahkan bahan lain dan tepung tapioka hingga
diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini umumnya
menggunakan silent cutter. Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam
air mendidih. Jika bakso sudah mengapung di permukaan air berarti bakso
sudah matang dan perebusan dihentikan.
Bakso biasanya mempunyai tiga ukuran, yaitu ukuran besar, sedang, dan
kecil. Bakso besar berukuran 40, yaitu satu kilogram berisi 40 butir dengan berat
25 g/butir. Bakso sedang berukuran 50 (50 butir/kg) dengan berat rata-rata 20
g/butir. Bakso yang kecil berukuran 60 (60 butir/kg) dengan berat sekitar 15-17
g/butir (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

7
2.3.1 Penggunaan Formalin pada Bakso
Popularitas bakso pernah merosot lantaran isu penggunaan formalin
(Usmiati, 2009). Penyalahgunaan bahan tambahan berbahaya formalin dalam
bakso pernah dilaporkan oleh instansi yang berwenang dan beberapa peneliti
dari survey yang dilakukan. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB
POM) pernah melaporkan bahwa dalam uji laboratorium terhadap 761 sampel
makanan ditemukan adanya jenis makanan olahan yaitu bakso positif
mengandung formalin (Teddy, 2007). Selain itu Direktur Pengawas Makanan dan
Minuman, Deperteman Kesehatan (1996) juga pernah mengemukakan bahwa
bakso merupakan salah satu bahan makanan olahan asal hewan yang sangat
populer di kalangan masyarakat yang masih ditemukan menggunakan formalin.
Penelitian Ginting (2010) melaporkan bahwa dari dua puluh satu sampel
bakso yang dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif didapatkan bahwa tujuh
sampel bakso positif mengandung formalin dengan kadar yang diperoleh
berkisar antara 20,71 mcg/g hingga 49,44 mcg/g. Kamaludin (2009) juga pernah
melakukan analisis formalin pada bakso dari produsen bakso di beberapa
Kecamatan di Yogyakarta. Dalam analisis yang dilakukan Kamaludin (2009)
ditemukan adanya produsen bakso yang menggunakan formalin dalam bakso
dengan kadar formalin yang berbeda. Menurut Wibowo (2005) penggunaan
formalin pada bakso biasanya dilakukan untuk memperpanjang daya awet bakso
karena bakso hanya memiliki masa simpan satu hari pada suhu kamar. Bakso
memiliki masa simpan satu hari pada suhu kamar karena bakso memiliki
kandungan protein yang tinggi, kadar air sekitar 80% dan memiliki sifat
keasaman yang rendah sehingga bakso tidak dapat bertahan lama dan rentan
terhadap kerusakan (Widyaningsih dan Murtini, 2006). Penggunaan formalin
pada bakso biasanya dilakukan setelah bakso yang direbus sudah matang.
Bakso yang sudah matang ditambahkan formalin melalui metode pencelupan
(dipping). Selain itu penambahan formalin biasa juga dilakukan pada akhir
perebusan bakso selama 15 menit (Wibowo, 2005). Bakso mengandung formalin
cenderung kenyal ketika digigit. Sedangkan bakso asli daging sapi akan terasa
garing ketika digigit, bakso yang mengandung formalin tak mudah hancur, awet
lebih tiga hari, tak lengket, dan lalat enggan hinggap.
Mengonsumsi makanan yang mengandung formalin ini dalam jangka
panjang dapat merusak saluran pencernaan Anda. Hal ini dapat menyebabkan
sakit perut hebat, diare, serta peradangan di mulut, kerongkongan, lambung, dan

8
usus. Bahan kimia satu ini juga dapat menyebabkan perdarahan di lambung atau
usus, kerusakan pada hati, limpa, pankreas, dan ginjal. Dalam kasus yang parah,
bahan kimia satu ini juga dapat menyebabkan kanker, koma hingga kematian.
(www.hellosehat.com).

2.4 Buah Naga

Buah naga (Inggris: pitaya) adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari
marga Hylocereus dan Selenicereus. Buah naga berasal dari Mexico, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Namun sekarang juga dibudidayakan di negara-
negara Asia seperti Taiwan, Vietnam, Philipina dan Malaysia. Buah ini juga dapat
ditemui di Okinawa, Israel, Autralia Utara dan Tiongkok Selatan. Hylocereus
hanya mekar pada malam hari.
Pada tahun 1870 tanaman ini dibawa orang Perancis dari Guyana ke
Vietnam sebagai tanaman hias. Oleh orang Vietnam dan orang Cina buahnya
dianggap membawa berkah. Oleh sebab itu, buah ini selalu diletakkan diantara
dua ekor patung naga berwarna hijau diatas meja altar. Warna merah buah jadi
mencolok sekali diantara warna naga-naga yang hijau. Dari kebiasaan inilah
buah itu dikalangan orang Vietnam yang sangat terpengaruh budaya Cina
dikenal sebagai thang loy (buah naga). Thang loy orang Vietnam ini kemudian
diterjemahkan orang Eropa dan negara lain yang berbahasa Inggris sebagai
dragon fruit (buah naga).

2.4.1 Khasiat buah naga

Secara umum buah naga berkhasiat untuk menurunkan kadar kolesterol


dan menyeimbangkan gula dalam darah. Selain itu, mengkonsumsi buah naga
bisa membantu pencegahan kanker dan bisa melindungi kesehatan mulut.
Penderita hipertensi atau tekanan darah tinggi akan terbantu dengan konsumsi
buah ini secara teratur. Selain itu, mengkonsumsi buah naga secara teratur
dapat menjadikan kulit wajah menjadi lebih kencang, licin dan halus, pencegah
kanker usus, pencegah pendarahan. Kandungan gizi buah naga secara umum
adalah berupa potasium protein, ferum, serat, kalsium dan sodium.
Kandungannya akan zat-zat tersebut cukup tinggi dan tidak kalah bila
dibandingkan buah-buahan impor. Kita bisa mengolahnya atau memakan begitu
saja. Tergantung selera. Sebagai buah segar yang menghilangkan dahaga,
kandungan airnya cukup besar, mencapai 90% dari berat buah. Rasanya manis
9
dan bisa juga disajikan dalam bentuk jus, selai, manisan dan sari buah.
Kandungan vitamin pada buah naga juga besar dan beragam. Secara umum,
buah naga mengandung vitamin B1 yang amat baik untuk mencegah demam
badan. Selain itu, vitamin B2 juga terkandung dalam buah ini dan bermanfaat
untuk menambah napsu makan. Sedangkan vitamin B3 membantu menurunkan
kadar kolesterol dalam tubuh. (Arbaisyah, dkk. 2014)

2.4.2 Pembudidayaan buah naga


Tanaman buah naga paling baik ditanam di dataran rendah, pada
ketinggian 20-500 meter diatas permukaan laut. Kondisi tanah yang gembur,
porous, banyak mengandung bahan organik dan banyak mengandung unsur
hara, pH tanah 5-7 sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman 10 buah naga.
Tanaman ini peka terhadap kekeringan dan akan membusuk bila kelebihan air.
Untuk memperceoat proses pembungaan dibutuhkan penyinaran cahaya
matahari. Tanaman mulai berbunga dan berbuah umur 1,5-2 tahun. Pemanenan
dapat dilakukan pada buah yang memiliki ciri-ciri warna kulit merah mengkilapm,
jumbai atau sulur berubah warna dari hijau menjadi kemeraha. Pemanenan
dilakukan dengan menggunakan gunting. Buah dapat dipanen saat mencapai
umur 50 hari terhitung sejak bunga mekar. Musim panen terbesar buah naga
terjadi pada bulan September hingga Maret dengan umur produktif berkisar
antara 15-20 tahun. Namun buah naga yang dipanen ketika akan dipasarkan
harus memiliki kelas mutu yang baik agar dapat bersaing dengan buah naga
impor. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pemutuan buah naga ini
adalah penentuan cacat kulit pada buah naga. (Tim Karya Tani Mandiri 2009:
24).

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Buah Naga tiap 100 gram


No Kandungan buah Jumlah
1 Air 90,20% -
2 Karbohidrat 11,5 g -
3 Asam 0,139 g -
4 Protein 0,53 g -
5 Serat 0,71 g -
6 Kalsium 134,5 8%
mg
7 Fosfor 8,7 mg 2%
8 Magnesium 60,4 mg 4%
9 Vitamin C 9,4 mg 2%
Sumber : USDA Nutrient data base, ( 2009)

10
2.4.3 Antosianin Pada Buah Naga

Kulit buah naga super merah memiliki pigmen (zat warna) alami
antosianin yang cukup tinggi. Antosianin merupakan kelompok pigmen yang
berwarna merah sampai biru yang ditemukan secara luas pada tanaman.
Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid (Lidya, S. Dkk. 2014).
Kandungan pada buah naga tersebut mengandung zat warna betalanin, serat
yang tinggi terdapat pada daging maupun kulit buahnya. Betasianin merupakan
zat warna yang berperan memberikan warna merah dan merupakan golongan
betalanin (Nuhman, 2107).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin, salah
satunya adalah protein. Apabila sumber antosianin bereaksi dengan protein akan
menyebabkan perubahan warna, pembentukan endapan atau uap (Wikipedia.
Org).
Antosianin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya
larut dalam air. Warna violet, dan biasanya dijumpai pada bunga, buah-buahan,
dan sayur sayuran. Pada pH rendah (asam) pigmen ini berwarna merah dan
pada pH tinggi berubah menjadi violet dan kemudian menjadi biru (Winarno,
2004 ).
Faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin yaitu transformasi
struktur dan pH, suhu, cahaya, dan oksigen. Hasil yang diperoleh terjadi
perubahan warna antara tahu non formalin dengan yang formalin. Hal ini bisa
digunakan sebagai alternatif untuk identifikasi formalin (Basuki, dkk, 2005).
Antosianin dapat digunakan sebagai pengujian untuk mendeteksi adanya
senyawa kimia seperti formalin. Formalin sendiri besifat asam karena
mengandung asam formiat akibat oksidasi formaldehida dan antosianin akan
mudah bereaksi jika dicampur asam kuat. Formalin memiliki unsur aldehid yang
mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan pada bakso
formalin akan mengikat protein mulai dari permukaan bakso sampai ke bagian
dalamnya sehingga mengakibatkan protein mati. Karena protein pada bakso
telah berikatan dengan formalin maka protein bakso tersebut tidak bereaksi
dengan pigmen antosianin. Hal ini mengakibatkan antosianin stabil. Antosianin
tidak mengalami perubahan warna, tidak terbentuk endapan atau uap ketika
dicampurkan dengan sampel bakso yang menunjukkan bahwa sampel bakso
positif mengandung formalin. (Kuntum, 2016).

11
2.5 Metode Pengukuran Variabel
3.5.1 Pengetahuan

Pengetahuan diukur dengan skala Guttman. Penelitian menggunakan


skala Guttman bila ingin mendapatkan jawaban tegas terhadap suatu
permasalahan yang ditanyakan seperti “Ya-Tidak” (Sugiono, 2014). Penelitian
diberikan dengan skor satu (1) untuk pemilihan jawaban benar dan skor nol (0)
untuk jawaban salah. Jumlah pertanyaan untuk pengetahuan masalah adalah
sepuluh (10), maka nilai tertinggi dari seluruh pertanyaan pengetahuan adalah
sepuluh (10).
Menurut Aspuah, 2013 bahwa data yang terkumpul dilakukan kategori
menurut skala ordinal, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. 76-100% jawaban benar : baik
b. 56-75% jawaban benar : cukup baik
c. 40-55% jawaban benar : kurang baik
d. <40% jawaban benar : tidak baik
Skoring untuk penarikan kesimpulan ditentukan dengan membandingkan
skor maksimal (Aspuah, 2013):
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑐𝑎𝑝𝑎𝑖
skor = x 100%
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙

12
BAB III
PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Pemecahan Masalah


a. Kurangnya pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu tentang
bahaya penggunaan formalin pada bakso.
b. Kurangnya pengetahuan Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu tentang
cara memanfaatkan limbah kulit buah naga untuk digunakan sebagai alat
uji kandungan formalin pada bakso.

3.2 Realisasi Pemecahan Masalah


Pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan pada hari Rabu 31 Juli
2019 dengan melakukan:
- Promosi Poltekkes Kemenkes Medan dan Jurusan Farmasi Poltekkes
Medan
- Edukasi tentang bahaya formalin dan sosialisasi tentang pemanfaatan
limbah kulit buah naga untuk digunakan sebagai alat uji kandungan
formalin pada bakso.
- Pembagian Kuesionser sesudah edukasi dan sosialisasi
- Penyerahan barang intervensi

3.3 Khalayak Sasaran


Pada pelaksanaan pengabdian pada masyarakat ini, khalayak sasarannya
adalah Siswa – siswi Kelas 11 SMA Swasta Rakyat Kecamatan Pancur Batu
yang berjumlah 29 orang.

3.4 Metode
Metode yang diterapkan pada pelaksanaan pengabdian pada masyarakat
ini yakni metode ceramah, diskusi, tanya jawab dan Sosialisasi Pemanfaatan
Limbah Kulit Buah Naga untuk mendeteksi Formalin pada bakso sebagai salah
satu kegiatan pemberdayaan masyarakat dan mengedukasi masyarakat untuk
memanfaatkan limbah kulit buah naga sebagai bahan deteksi formalin pada
bakso.

13
3.5 Waktu dan Tempat Kegiatan
Pelaksanaan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan pada hari Rabu 31
Juli 2019 pada siswa – siswi Kelas 11 SMA Swasta Rakyat Kecamatan Pancur
Batu yang berjumlah 29 orang.

3.6 Alat dan Bahan Yang Digunakan


3.6.1 Alat dan Bahan
1. Pisau/cutter
2. Blender
3. Gelas
4. Pipet tetes
5. Sendok
6. Buah naga
7. Aquades
8. Kertas Saring
9. LCD
10. Laptop

3.6.2 Prosedur Kerja


Pengujian formalin menggunakan kulit buah naga dengan tahapan
sebagai berikut, yaitu:
1. Kupas buah naga dan ambil kulitnya
2. Potong-potong kulit buah naga menjadi bagian kecil
3. Kemudian haluskan kulit buah naga menggunakan blender dengan
menambahkan sedikit air
4. Ambil 10 gram sampel bakso, kemudian haluskan menggunakan
blender
5. Tambahkan 20 mL aquades, aduk dan saring
6. Ambil 10 mL hasil penyaringan, masukkan kedalam gelas
7. Tambahkan 10 tetes larutan kulit buah naga
8. Goyang-goyangkan gelas dan amati apa yang terjadi.

14
3.7 Keterkaitan
Pemanfaatan limbah kulit buah naga untuk mengidentifikasi formalin pada
bakso dapat menjadi sumbangan yang besar bagi pemerintah karena dapat
mengurangi pembiayaan reagensia yang dibeli oleh pemerintah. Kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini merupakan satu diantara Tri Dharma
Perguruan Tinggi yang harus dilaksanakan oleh setiap pribadi dosen.

3.8 Rancangan Evaluasi


Evaluasi dengan menggunakan kuesioner untuk dijawab oleh peserta
sebelum dan sesudah ceramah tentang pemanfaatan limbah kulit buah naga
untuk mengidentifikasi formalin pada bakso.

3.9 Jadwal Pelaksanaan


Pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat dilaksanakan pada
tanggal 31 Juli 2019 di SMA Swasta Rakyat Kecamatan Pancur Batu.
Bulan/Minggu
Kegiatan Ket
1 2 3 4
Survei Lokasi Kegiatan serta koordinasi
Jul
dengan Kepala Sekolah SMA Swasta Rakyat
i
Kecamatan Pancur Batu.
Mengambil Surat Izin Pengmas Juli
Seminar Proposal Apr
Pelaksanaan Pengabdian Masyarakat Juli
Pembuatan Laporan Agt
Penggandaan Laporan Agt
Pengiriman Laporan Agt

15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
A. Pengetahuan Responden
Untuk menilai tingkat pemahaman responden dilakukan penilaian
terhadap kuisioner yang diisi oleh responden sebelum (pre) dan setelah (post)
diberikan edukasi berupa sosialisasi dan demontrasi pemanfaatan limbah kulit
naga untuk mengidentifikasi formalin pada bakso (Tabel 4.1).
Tabel 2. Gambaran tingkat pemahaman responden sebelum (pre) dan setelah
(post) diberikan intervensi berupa penyuluhan dan sosialisasi.

Kategori Sebelum Edukasi Sesudah Edukasi


Pengetahuan Jumlah Persentase Jumlah Persentase
a. Baik 22 76
b. Cukup Baik 17 60 3 10
c. Kurang Baik 6 20 4 14
d. Tidak Baik 6 20
Total 29 29

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat tingkat pengetahuan respinden


sebelum dan sesudah diberikan edukasi.

B. Sosialisasi dan Demontrasi Pemanfaatan Kulit buah Naga Untuk


Mengidentifikasi Formalin Pada Bakso

Dari hasil tanya jawab sebelum demonstrasi pada umumnya responden


belum pernah melihat proses identifikasi formalin pada bakso menggunakan
limbah kulit naga, sehingga pada saat demontrasi siswa – siswi tersebut sangat
antusias mengikutinya.

4.2 Pembahasan

Pada tabel 2 menggambarkan tingkat pengetahuan responden meningkat


setelah diberikan edukasi berupa sosialisasi dan demontrasi pemanfaatan limbah
kulit naga untuk mengidentifikasi formalin pada bakso, hal ini dapat dilihat dari
hasil kuesioner yaitu 60% sebelum edukasi dan 76% sesudah edukasi. Menurut
Notoadtmojo, S. (2010) menjelaskan salah satu cara meningkatkan pengetahuan
masyarakat adalah dengan metode pembelajaran edukasi dan demonstrasi.

16
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengabdian masyarakat yang kami lakukan maka dapat
disimpulkan:
- Siswa – Siswi SMU Rakyat Pancur Batu sangat antusias mengikuti
kegiatan pengabdian masyarakat ini.
- Setelah dilakukan sosialisasi dan demonstrasi, maka pengetahuan Siswa
– Siswi SMU Rakyat Pancur Batu tentang Pemanfaatan Limbah Kulit
Buah Naga untuk mengidentifikasi Formalin pada bakso meningkat

5.2 Saran
Dari hasil pengabdian masyarakat dapat disarankan:
- Agar masyarakat agar lebih berhati hati dalam mengkonsumsi bakso
karena rentan ditambahkan formalin
- Agar masayarakat dapt memanfaatkan limbah kulit buah naga sebagai
pengidentifikasi alami terhadap formalin pada makanan khususnya
bakso.

17
Daftar Pustaka

Alsuhendra dan Ridawati.2013. Bahan Toksik dalam Makanan.


Rosda.Jakarta

Angki Purwanti, Bagya Mujianto, Siti Rismini, “Kandungan Formalin pada


Bakso dan Tahu Setelah Dilakukan Beberapa Varian Perebusan”.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, Vol. 1 No. 2 ( Maret 2014).

Anna Poedjiadi, Titin Supriyanti. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI-Press,


2009.

Arbainsyah, dkk. 2014. Pemanfaatan Ekstrak Kulit Buah Naga (Hylocereus


Polyrhizus) Sebagai Alat Uji Kandungan Formalin Pada Tahu Yang di
Jual di Pasar Inpres Baqa Samarinda Seberang.

Aspuah, Siti, 2013. Kumpulan Kuesioner dan Instrumen Penelitian


Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Basuki, N., Harijono, Kuswanto & Damanhuri.2005. Studi Pewarisan


Antosianin pada Ubi Jalar. Agravita27 (1): 63– 68. ISSN: 0126 – 0537.

Faradila, Yustini Alioes, Elmatris, “Identifikasi Formalin pada Bakso yang


Dijual pada Beberapa Tempat di Kota Padan.Jurnal Kesehatan
Andalas”, Jurnal FK Unand, Vol. 3 No. 2 (2014).

Ginting , F.Y. 2010. Pemeriksaan Formalin Pada Bakso Yang Dijual Di


Sekolah Dasar Di Kota Medan. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara Medan.

Khaira Kuntum. 2016. Pemeriksaan Formalin pada Tahu yang Beredar di


Pasar Batusangkar Menggunakan Kalium Permanganat (KMnO4) dan
Kulit Buah Naga. Jurnal. Jurusan Tarbiyah STAIN Batusangkar.

Kamaludin, A. 2009. Laporan survey Analisis Kadar Formalin Dalam Bakso


Dari Produsen Bakso di Beberapa Kecamatanan di Kodya
Yogyakarta. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.

Lidya S, Chairina Sinaga, Fatimah. 2014 EKSTRAKSI PIGMEN


ANTOSIANIN DARI KULIT BUAH NAGA MERAH (Hylocereus
polyrhizus), Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 3, No. 2 (Juni 2014)

Mulono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga.


Hal : 134-135.

Nuhman, Aprily Esti Wilujeng Pemanfaatan Ekstrak Antosianin Dari Bahan


Alam Untuk Identifikasi Formalin Pada Tahu Putih, Universitas Hang
Tuah Surabaya, ISSN 2087-0725, Jurnal Sains Vol.7 No.14 (2017) 8

18
Notoatmodjo S. 2010. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. PT. Rineka
Cipta, Jakarta

Patnaik,P. 1992. A Comprehensive Guide to the Hazardous Properties of


Chemical Substances. New York : Van Nostrand Reinhold ; 94.

Sihombing, M. 1996. Kandungan Zat Gizi Tahu Yang Direndam Dalam


Formalin. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Ed:24. Hal. 173-
174

Singgih, H. 2013. Uji Kandungan Formalin Pada Ikan Asin Menggunakan


Sensor Warna Dengan Bantuan FMR. Jurnal ELTEK, Vol 11 No
01.ISSN 1693-4024.

Sri Ratna Sari Wulan, “Identifikasi Formalin pada Bakso dari Pedagang
Bakso di Kecamatan Panakukkang Kota Makassar”. (Skripsi Program
Studi Kedoktran Hewan Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015).

Teddy. 2007.Pengaruh Konsentrasi Formalin Terhadap Keawetan Bakso dan


Cara Pengolahan Bakso Terhadap Residu Formalinnya. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tim Karya Tani Mandiri (2009). Pedoman Bertanam Buah Naga. Jakarta:
Penerbit Nuansa Aulia

Usmiati. S. 2009.Bakso Sehat. Warta Penelitian dan Pengembangan

Uzairu, A. 2009. Formaldehyde Levels In Some Manufactured Reguler Foods


In Makurdi, Benue State, Nigeria. (Jurnal of Applied Sciences In
Environmental Sanitation, V.N 211-214).

Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso ikan dan Bakso daging.


Jakarta:Penebar Swadaya.

Widyaningsih, T.D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin


PadaProduk Pangan. Jakarta: Trubus Agrisarana.

Wikipedia. Org. Antosianin.

Wilson, N. R. P., E. J. Dyett, R. B. Hughes, dan C. R. V. Jones. 1981. Meat


and Meat Products. Applied Science Publishing, London.

Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

www. bisnis.com. Manfaat Buah Naga Deteksi Kandungan Formalin dan


Boraks dalam Makanan.

www. hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/bahaya-formalin-bagi-kesehatan

Yuliarti, N. 2007. Awas! Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Andi


:Yogyakarta.

19

Anda mungkin juga menyukai