Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TEKNOLOGI MAKANAN DAN MINUMAN

“ZAT ADITIF BAHAN PANGAN”

OLEH :
KELOMPOK 6
NURUL ANNISA WIJAYANTI N011 18 1044
NURJIHAAN FAADIYAH N011 18 1526
MAHIRA MIFTAHUNNISA N011 19 1038
ELMA FATRESIA PALEBANGAN N011 19 1097
HIKMAT AL HAKIM N011 19 1135

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, karena seluruh masyarakat tanpa
terkecuali merupakan konsumen pangan. Kebutuhan makanan yang sehat
akan terpenuhi jika makanan yang kita konsumsi memiliki syarat-syarat
yang sehat yang dibutuhan oleh tubuh. Adapun syarat-syarat makanan
sehat yang aman dikonsumsi meliputi bahan makanan harus bergizi
seimbang, higienis dan bersih tidak mengandung kuman bibit penyakit
atau racun, penyimpanan dan pengolahan makanan harus tepat, mudah
dicerna, mengandung cukup air, serta bentuknya menarik dan rasanya
enak (Emilia, 2020).
Untuk menjamin kualitas zat pangan hasil olahan, pihak produsen
zat pangan telah banyak melakukan usaha pencegahan dari serangan
mikroba terhadap produk-produk zat pangan. Antara lain dengan
menambahkan zat Aditif ke dalam zat pangan tersebut tujuan pemberian
zat Aditif pada zat pangan adalah untuk mempertahankan kualitas produk
zat pangan tersebut (Rorong, 2019).
Secara umum bahan tambahan/aditif ini dapat dibedakan menjadi
dua yaitu: (1) aditif sengaja yaitu aditif yang secara sengaja ditambahkan
untuk meningkatkan konsistensi, cita rasa, mengendalikan
keasaman/kebasaan, dan memantapkan bentuk dan rupa; (2) aditif tidak
sengaja yaitu aditif yang memang telah ada dalam makanan (walaupun
sedikit) sebagai akibat dari proses pengolahan (Emilia, 2020).
Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan salah satunya
melalui pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 pasal 75 ayat 1
dicantumkan juga bahwa “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan
tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang
batas maksimal yang telah ditetapkan dan/atau bahan yang dilarang
digunakan sebagai bahan tambahan pangan”. Disebutkan juga bahwa
“pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat
digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan serta ambang batas maksimalnya..” Bahan tambahan
pangan lebih rinci lagi kemudian diatur didalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan
Tambahan Pangan (Emilia, 2020).
Di Indonesia, zat aditif pada makanan disebut dengan istilah Zat
Tamzat Pangan (BTP). Semua produk makanan yang menggunakan zat
aditif harus melalui persetujuan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia. Semua zat yang dicampurkan pada produk
makanan selama proses pengolahannya, proses penyimpanannya, dan
proses pengemasannya disebut sebagai zat aditif pada makanan. Zat
aditif makanan atau zat tamzat makanan adalah zat yang ditambahkan
dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah kecil, dengan tujuan
untuk memperbaiki penampakan, cita rasa, tekstur, dan memperpanjang
daya simpan. Selain itu dapat meningkatkan nilai gizi seperti protein,
mineral dan vitamin (Rorong, 2019)..
Pengetahuan fungsi zat aditif pada makanan, sepertinya memang
lebih sulit untuk bebas dari pemakaiannnya. Walaupun demikian biasanya
terjadi kasus yang merugikan yakni ketika zat aditif pada makanan
digunakan yang seharusnya tidak dibutuhkan, pemakaian yang berlebih,
menyalahi spesifikasi, atau sengaja dipakai zat-zat terlarang. Seperti
misalnya pada penggunaan boraks dan formalin pada produk-produk
makanan atau minuman olahan seperti susu, tahu, bakso (Rorong, 2019)..
Oleh karena itu, dengan makalah ini kita dapat mengetahui dan mengenal
lebih jauh mengenai zat aditif pada bahan pangan.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
a. Apa itu zat aditif makanan dan apa fungsinya ?
b. Bagaimana klasifikasi zat aditif makanan ?
c. Apa saja bahan tambahan dalam makanan?
I.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa itu zat aditif makanan dan apa fungsinya.
b. Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi zat aditif makanan.
c. Untuk mengetahui apa saja bahan tambahan dalam makanan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.2.1 Pengertian Zat Aditif


Istilah zat aditif sendiri mulai familiar di tengah masyarakat
Indonesia setelah merebak kasus penggunaan formalin pada beberapa
produk olahan pangan, tahu, ikan dan daging yang terjadi pada beberapa
bulan belakangan. Formalin sendiri digunakan sebagai zat pengawet agar
produk olahan tersebut tidak lekas busuk/terjauh dari mikroorganisme.
Penyalahgunaan formalin ini membuka kacamata masyarakat untuk
bersifat proaktif dalam memilah-milah mana zat aditif yang dapat
dikonsumsi dan mana yang berbahaya. Zat Aditif merupakan zat-zat yang
ditambahkan pada makanan selama proses produksi, pengemasan untuk
maksud terentu dimana penambahan zat aditif dalam makanan
berdasarkan pertimbangan mutu dan kestabilan makanan yang baik dan
menjaga nilai gizi yang mungkin rusak atau hilang selama proses
pengolahan (Susanti, 2016).
Secara umum, zat aditif makanan dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Zat Aditif Alami
Zat aditif alami merupakan zat aditif yang bisa diperoleh dari alam,
seperti daun salam, daun pandan, kunyit, jahe, gula aren, dan asam.
b. Zat Aditif Sintetis
Zat aditif sintetis merupakan zat yang dibuat dengan serangkaian
proses kimia. Zat yang diperoleh dari proses kimia ini jika dikonsumsi
secara berlebihan dapat menimbulkan efek yang negatif terhadap
kesehatan tubuh seperti Monosodium Glutamat (MSG), formalin, dan
sakarin. Jika dikonsumsi secara berlebihan berbahaya bagi tubuh Karena
pada proses pembuatan zat aditif sintetis memerlukan serangkaian
proses kimia yang terkadang mengalami proses kimia yang tidak
sempurna sehingga dapat memberikan dampak negatif terhadap tubuh
konsumen.
II.2.2 Fungsi Zat Aditif Pada Bahan Makanan
Zat aditif pada bahan makanan ditambahkan pada waktu proses
pengolahan makanan yakni (Cahyadi, 2006):
a. Memperbaiki tampilan makanan dan meningkatkan cita rasa
b. Memperkaya kandungan gizi
c. menjaha makanan agar tidak cepat rusak
d. membuat makanan
II.2.3 Pewarna
Pewarna merupakan zat warna atau bahan lain yang dibuat dengan
cara sintetis atau cara kimiawi lain, atau bahan alami dari tanaman,
hewan, mineral atau sumber lainnya yang diekstrak, diisolasi atau terbuat
dari ekstrak atau isolat dengan atau tanpa perubahan identitas yang bila
ditambahkan atau digunakan ke bahan makanan, obat, kosmetik, atau ke
bagian tubuh (bisa sendiri atau karena reaksi dengan bahan lain) menjadi
bagian dari warna dari bahan tersebut. Zat pewarna terbagi menjadi dua
Pewarna alami dimana bersumber dari tanaman dan hewan yang
digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami
turut ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, dan
kobalamin), bumbu (kunyit dan paprika) dan pemberi rasa (karamel) ke
bahan olahannya dan pewarna sintesis merupakan ahan kimia yang
dengan sengaja ditambahkan pada makanan untuk memberikan
tambahan warna yang diinginkan karena warna semula hilang selama
proses pengolahan atau karena seseorang menginginkan adanya warna
tertentu. Warna dari suatu produk makanan maupun minuman merupakan
salah satu ciri yang penting. Warna juga turut mempengaruhi persepsi
akan rasa. Oleh sebab itu, warna menimbulkan banyak pengaruh
terhadap konsumen dalam memilih suatu produk makanan dan minuman
(Susanti, 2016).
II.2.4 Dampak penggunaan pewarna sintetis
Pemakaian zat pewarna sintetis dalam makanan dan minuman
mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya
dapat membuat makanan menjadi lebih menarik, meratakan warna
makanan dan mengembalikkan warna bahan dasar yang telah hilang
selama pengolahan. Disamping dampak positif penggunaan zat pewarna
sintetis, ternyata zat pewarna sintetis juga dapat menimbulkan hal hal
yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif bagi
kesehatan konsumen sehingga, beberapa dampak negatif yang dapat
disebabkan oleh penggunaan zat pewarna terutama zat pewarna sintetis
yang dilarang penggunaannya di Indonesia (Rohmawati, 2014) :
a. Rhodamin B dan Methanil Yellow dapat menyebabkan iritasi pada
saluran pencernaan jika terhirup langsung. Apabila dikonsumsi akan
menimbulkan reaksi keracunan.
b. Tatrazine (E102 atau Yellow 5) dapat menyebabkan efek
hipersensitif seperti kelelahan, pandangan kabur, peningkatan
sekresi nasofaringal, perasaan sesak15 nafas, jantung berdebar,
gatal yang hebat, bengkak atau bilur dibawah kulit, (ruam kulit), rinitis
(hidung meler), asma, purpura (kulit lebam) dan anafilaksis sistemik.
II.2.5 Pengaroma
Pengaroma merupakan bahan yang sering digunakan dalam
penambahan makanan dan minuman dikarenakan stabil dan mudah
dibuat dalam skala besar serta tidak berpotensi buruk bagi konsumen.
Adapun jenis-jenis dari pengaroma terdiri dari dua jenis yakni pengaroma
alami yang tersedia pada alam seperti kayu manis, bumbu spekuk, bubuk
pala, daun jeruk, daun salam, dan daun kemangi, Sedangkan pengaroma
sintesis yang lebih mudah dibuat dalam skala besar seperti vanili bubuk,
rum, pasta, dan pandan (Sutomo, 2008).
II.2.6 Penguat Rasa dan Pemanis
Penguat rasa (Flavour enhancer) adalah bahan tambahan pangan
untuk memperkuat atau memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada
dalam bahan pangan tersebut tanpa memberikan rasa dan/atau aroma
tertentu, Penguat Rasa dapat digunakan secara tunggal atau campuran.
Jenis penguat rasa yang tidak dapat dianalisis, Batas Maksimum dihitung
berdasarkan penambahan penguat rasa yang digunakan dalam pangan.
(BPOM, 2013).
II.2.7 Jenis Penguat Rasa
Jenis BTP penguat rasa ang diizinkan berdasarkan Badan
Pengawas Obat dan makanan (BPOM) digunakan dalam pangan terdiri
atas (BPOM,2013):
1. Asam L-glutamat dan garamnya (L-Glutamic acid and its salts)
- Asam L-glutamat (L-Glutamic acid)
Sinonim : L-(+)-Glutamic-pentanedioic acid, L-alphaaminoglutaric
acid acid, L- 2-amino
Fungsi lain : -
- Mononatrium L-glutamat (Monosodium L-glutamate)
Sinonim : Sodium glutamate; MSG; monosodium L-glutamate
monohydrate; glutamic acid monosodium salt monohydrate
Fungsi lain : -
- Monokalium L- glutamat (Monopotassium L- glutamate)
Sinonim : Potassium glutamate; MPG; monopotassium L-
glutamate monohydrate
Fungsi lain : -
- Kalsium di-L-glutamat (Calcium di-Lglutamate)
Sinonim : Calcium glutamate; monocalcium di-L-glutamate
Fungsi lain : -
2. Asam guanilat dan garamnya (Guanylic acid and its salts)
- Asam 5’-guanilat (5’-Guanylic Acid)
Sinonim : Guanylic acid; guanosine-5’-monophosphoric acid
Fungsi lain : -
- Dinatrium 5’-guanilat (Disodium 5- guanylate)
Sinonim : Sodium 5'-guanylate; sodium guanylate; disodium
guanosine-5'-monophosphate
Fungsi lain : -
- Dikalium 5’-guanilat (Dipotassium 5’-guanylate)
Sinonim : Potassium guanylate; potassium 5'-guanylate;
dipotassium guanosine-5'-monophosphate
Fungsi lain : -
3. Asam inosinat dan garamnya (Inosinic acid and its salts)
- Asam 5’-inosinat (5’-Inosinic Acid)
Sinonim : Inosinic acid; inosine-5'-monophosphoric acid
Fungsi lain : -
- Dinatrium 5’-inosinat (disodium 5’- inosinate)
Sinonim : Sodium 5'-inosinate; sodium inosinate; disodium
inosine-5'-monophosphate
Fungsi lain : -
- Dikalium 5’-inosinat (Dipotassium 5’- inosinate)
Sinonim : Potassium inosinate; potassium 5'-inosinate;
dipotassium inosine-5'-monophosphate
Fungsi lain : -
- Kalsium 5’-inosinat (calcium 5’-inosinate)
Sinonim : Calcium inosinate; calcium inosine-5'-
monophosphate
Fungsi lain : -
4. Garam-garam dari 5’-ribonukleotida (Salts of 5’-
ribonucleotides)
- Kalsium 5’- ribonukleotida (Calcium 5’- ribonucleotides)
Sinonim : Calcium ribonucleotides; (Mixture of) calcium inosine-
5'-monophosphate and calcium guanosine5'-monophosphate
Fungsi lain : -
- Dinatrium 5’-ribonukleotida (Disodium 5’-ribonucleotides)
Sinonim : Sodium 5'-ribonucleotides; sodium ribonucleotides;
Mixture of disodium inosine-5'-monophosphate and disodium
guanosine-5'-monophosphate
Fungsi lain : -
II.2.8 Pemanis
Pemanis dapat dikelompokkan menjadi pemanis alami dan
pemanis buatan/ sintetis.
- Pemanis alami
biasanya berasal dari tanaman.
Contoh pemanis alami yaitu sukrosa sebagai bahan pemanis
alamiah memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi, yaitu sebesar
251 kal/ 100 gram bahan (Usmiati & Yuliani, 2004).
- Pemanis buatan (sintetis)
merupakan bahan tambahan yang dapat memberikan rasa manis
dalam makanan, tetapi tidak memiliki nilai gizi.
Contoh pemanis buatan yaitu sakarin, siklamat, aspartam, dulsin ,
sorbitol sintesis, nitro-propoksi-anilin.
Banyak aspek digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
menentukan jenis pemanis buatan yang diizinkan untuk produk
pangan, antara lain nilai kalori, tingkat kemanisan, toksisitas
terhadap metabolisme tubuh manusia. Selain jenis pemanis buatan,
batasan jumlah maksimum penggunaannya juga dijadikan dasar
pertimbangan (Ambarsari et al, 2008).
II.2.9 Pengawet
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan
yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau
memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang
disebabkan oleh mikroba. Akan tetapi tidak jarang produsen
menggunakannya pada bahan pangan yang relatif awet dengan tujuan
untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi,
2008).
II.2.10 Jenis-Jenis Pengawet Makanan
Berdasarkan Pedoman Informasi Dan Pembacaan Standar Bahan
Tambahan Pangan Untuk Industri Pangan Siap Saji Dan Industri Rumah
Tangga Pangan mengenai jenis pengawet yang digunakan dalam
makanan sebagai berikut (BPOM, 2012) :
- Benzoat
Umumnya digunakan dalam bentuk garam natrium benzoat
yang bersifat larut dalam air. Benzoat efektif untuk menghambat
khamir dan bakteri pada kisaran pH 2,5 – 4,0 sehingga hanya
cocok untuk makanan yang bersifat asam, misalnya saus tomat,
saus sambal. Penggunaannya dapat ditambahkan pada akhir
proses pemanasan atau setelah proses pemanasan produk.
- Sorbat
Umumnya digunakan dalam bentuk garam natrium atau
kalium sorbat. Sorbat efektif menghambat kapang pada pH rendah
sampai pH 6,5. Pengawet ini cocok digunakan pada produk bakeri
(rerotian) dan dapat ditambahkan pada adonan.
- Propionat
Umumnya digunakan dalam bentuk garam natrium atau
kalsium propionat. Propionat efektif menghambat kapang dan
beberapa jenis bakteri pada kisaran pH rendah sampai pH 5,0.
Pengawet ini cocok digunakan sebagai pengawet pada produk
bakeri (rerotian) dan dapat ditambahkan pada adonan.
- Sulfit
Umumnya digunakan dalam bentuk garam natrium, kalium,
atau kalsium sulfit, bisulfit atau metabisulfit. Jenis sulfit yang paling
banyak digunakan adalah dalam bentuk garam natrium dan kalium
metabisulfit karena bersifat stabil. Bentuk aktifnya sebagai
pengawet adalah belerang dioksida atau ion bisulfit. Sulfit efektif
menghambat bakteri dan lebih efektif pada pH rendah. Dapat juga
digunakan untuk mencegah pencoklatan. Pengawet ini cocok
digunakan pada makanan basah yang bersifat asam dan dapat
ditambahkan pada adonan atau larutan gula (sirup).
- Nitrit dan Nitrat
Umumnya digunakan dalam bentuk garam natrium atau
kalium nitrit/nitrat. Bentuk aktifnya sebagai pengawet terutama
adalah nitrit. Sebagai pengawet, efektif menghambat bakteri pada
kisaran pH 5,0-5,5. Pada produk daging, nitrit/nitrat juga
menyebabkan warna merah yang stabil. Pengawet ini cocok
digunakan pada produk olahan daging misal dendeng, kornet.
Penggunaannya dapat ditambahkan bersama bumbu-bumbu.

II.2.11 Zat antioksidan


Antioksidan adalah bahan tambahan pangan yang digunakan
untuk mencegah terjadinya ketengikan pada makanan akibat proses
oksidasi lemak, atau minyak yang terdapat di dalam makanan Peran
antioksidan dalam makanan adalah untuk menghambat atau mengontrol
oksidasi. Proses autoksidasi dan perkembangan ketengikan dalam
makanan melibatkan mekanisme rantai radikal bebas melalui langkah
inisiasi, propagasi, dan terminasi. Sementara radikal diproduksi pada
langkah 'inisiasi', mereka bereaksi dengan asam lemak tak jenuh dengan
mengabstraksi atom hidrogen dari tempat yang membutuhkan energi
paling sedikit, yaitu posisi alilik atau dialil dalam langkah 'propagasi.
Reaksi pada tahap propagasi membentuk reaksi berantai sampai terjadi
reaksi 'terminasi'. Selain autoksidasi, penurunan kualitas lipid dalam
makanan dapat terjadi dalam kondisi fotooksidasi, oksidasi melalui proses
yang dibantu lipoksigenase, atau oksidasi dalam kondisi termal seperti
yang dialami pada suhu tinggi seperti yang dialami selama penggorengan
makanan. Banyak produk yang terbentuk sebagai hasil oksidasi makanan,
terlepas dari kondisi yang dialami, memiliki sifat yang serupa. Dengan
demikian, semua proses oksidasi harus dikontrol untuk melindungi lipid
makanan dari kerusakan dan pembentukan off-flavour (Chib, 2019).
Fungsi antioksidan (Chib, 2019).
 Antioksidan seperti vit-C & vit-E meningkatkan sistem kekebalan
tubuh kita
 Fitokimia tertentu memiliki efek menguntungkan pada penyakit
jantung
 Antioksidan menurunkan kadar kolesterol LDL, sehingga
mencegah pengendapan plak di pembuluh darah
 Bermanfaat dalam pencegahan kanker
 Antioksidan menetralisir zat yang dapat merusak materi genetik
melalui oksidasi
 Mengurangi radikal bebas
 Melindungi sel dari penuaan dini dan abnormal
 Membantu melawan degenerasi molekuler terkait usia.
Antioksidan alami digolongkan menjadi enzim dan vitamin.
Antioksidan berupa enzim yang dihasilkan oleh tubuh berupa superoxide
dismutase (SOD), glutation peroxidase, dan katalase. Sedangkan vitamin
di dapatkan dari bahan makanan yang berupa buah dan sayur, misalnya
alfatokoferol (vitamin E), beta karoten (vitamin A), dan asam askorbat
(vitamin C). 5 Anti-oksidan alami yang berasal dari tumbuhan, pada
umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa
golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-
asam organik polifungsional (asam organik dengan dua atau lebih gugus
fungsional). Antioksidan sintetis banyak digunakan dalam campuran
produk makanan. Senyawa ini dapat berasal dari derivat antioksidan alami
(misalnya analog alfa tokoferol), anti-oksidan golongan fenol (misalnya
butil hidroksi anisol dan butil hidroksi toluen), dan senyawa yang
mengandung gugus sulfhidril (misalnya thiazolidin, ebselen, dan
dithiolethion). 8,9 Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang
diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya
meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA),
Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, TertButil Hidroksi Quinon (TBHQ)
dan analog alfa tokoferol (Fitri, 2013).
BHA memiliki kemampuan antioksidan baik dilihat dari
ketahanannya terhadap tahap-tahap pengelolaan maupun stabilitasnya
pada produk akhir yang baik pada produk makanan yang mengandung
lemak hewan, namun relatif tidak efektif pada makanan yang mengandung
minyak tanaman. BHA adalah antioksidan yang merupakan gabungan dari
2 senyawa fenol isomerik, yaitu 2-tert-butyl-4-hydro- xyanisole dan 3-tert-
butyl-4-hydroxy-ani-sole. Senyawa ini mempunyai sifat tidak dapat larut
dalam air, tetapi larut dalam methanol dan ethanol. BHA juga sering
digunakan sebagai aditif pada makanan dan kosmetik karena sifatnya
sebagai antioksidan. BHA mulai digunakan sejak tahun 1947 sebagai
bahan tambahan dalam produk makanan yang mengandung minyak untuk
mencegah makanan menjadi basi. Bagian aktif dari BHA yang bertindak
sebagai antioksidan adalah cincin aromatis terkonjugasinya yang dapat
bertindak sebagai stabilisator untuk radikal bebas, sehingga reaksi radikal
bebas selanjutnya dapat dihindari. Antioksidan sintetik seperti BHA
diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan
vitamin E (Fitri, 2013).
Berdasarkan peraturan BPOM Nomor 11 tahun 2019 tentang
bahan tambahan pangan, terdapat beberapa jenis antioksidan yang dapat
mencegah atau menghambat kerusakan pangan akibat oksidasi (BPOM,
2019).
No Jenis BTP antioksidan
1. Asam askorbat (Ascorbic acid)
2. Natrium askorbat (Sodium ascorbate)
3. Kalsium askorbat (Calcium ascorbate)
4. Kalium askorbat (Potassium ascorbate)
5. Askorbil palmitat (Ascorbyl palmitate)
6. Askorbil stearat (Ascorbyl stearate)
7. Butil hidroksi toluen/BHT (Butylated
hydroxytoluene)
8. Tokoferol (Tocopherol): d-alfa tokoferol (d-alpha-
Tocopherol )
9. Propil galat (Propyl gallate)
10. Asam eritorbat (Erythorbic acid)
11. Natrium eritorbat (Sodium erythorbate)
12. Butil hidrokinon tersier/TBHQ (Tertiary
butylhydroquinone)
13. Butil hidroksi anisol/HA (Butylated hydroxyanisole)
14. Butil hidroksi toluen/BHT (Butylated
hydroxytoluene)

II.2.12 Zat pemutih dan pematang tepung


Pemutih dan pematang tepung adalah bahan yang dapat
mempercepat proses pemutihan dan sekaligus pematangan tepung
sehingga dapat memperbaiki mutu hasil pemanggangan, misalnya dalam
pembuatan roti, kraker, biskuit, dan kue.
Berdasarkan peraturan BPOM Nomor 11 tahun 2019 tentang
bahan tambahan pangan, terdapat beberapa jenis perlakuan tepung untuk
memperbaiki warna, mutu adonan dan atau pemanggagan, termasuk
bahan pengembang adonan, pemucat dan pematang tepung (BPOM,
2019)

No Jenis BTP Perlakuan Tepung


1. L-Amonium laktat (L-Ammonium lactate)
2. Natrium stearoil-2-laktilat (Sodium stearoyl2-
lactylate)
3. Amonium klorida (Ammonium chloride)
4. Kalsium sulfat (Calcium sulphate)
5. Kalsium oksida (Calcium oxide)

II.2.13 Zat pengental


Pengental adalah bahan-bahan tambahan untuk makanan yang
dapat memperbaiki tekstur/konsistensi suatu produk. Secara bahan
pengental yang dapat larut di dalam air disebut GOM yang sebagian besar
terdapat pada pangan alami. Penggunaan GOM juga sering diaplikasikan
untuk pembentuk lapisan tipis pada makanan (Suyanti, 2010).
a. Penggolongan bahan pengental
GOM meliputi polisakarida tanaman alami seperti beberapa jenis
getah makanan, ekstrak rumpul laut, pektin, atau pati. GOM dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut: (Suyanti, 2010)
1) GOM alami yaitu GOM yang diperoleh secara alami
2) GOM termodifikasi/GOM semi sintetik yakin turunan kimiawi dari
bahan alami misalnya turunan dari selulosa dan pati
3) GOM sintetik yakni bahan yang sepenuhnya hasil sinteik kimiawi
dari bahan alami seperti polivinil pirolidon
b. Kekentalan
Di samping sifat kelarutan dalam air, GOM memiliki sifat penting
lainnya yakni dapat menghasilkan larutan yang kental atau
mengalami disepersi di dalam air (Suyanti, 2010).
c. Jenis-jenis pengental
Berikut beberapa jenis pengental yang biasa digunakan dalam
pengolahan makanan: (Suyanti, 2010).

1) Gelatin
Pengental jenis ini tidak cocok bila digunakan pada pH lebih
rendah dari 4,5 khususnya pada proses dengan pemanasan
tinggi. Gelatin umumnya tidak larut pada air dingin tetapi
kelarutannya naik pada suhu 45oC. Gelatin digunakan pada
pembuatan puding, es krim dan jeli
2) Pektin
Pektin adalah bahan hidrokoloid karbohidrat yang terdapat pada
jaringan tanaman. Penggunaan pektin pada bahan pangan untuk
pembentukan gel yang tidak merata. Seperti juga pembentukan
jel lainnya, tidak larut dalam suatu media biasanya terjadi
penjendalan. Untuk memudahkan pelarutannya pektin dapat
dicampur dengan padatan yangg mudah larut seperti natrium
bikarbonat, gula atau melarutannya terlebih dahulu pada suhu
60-80O sampai kepekatan 10% dengan pengadukan yang cepat
3) Karagenan
Karagenan diperoleh dari ekstrak rumput laut merah. Karagenan
larut dalam air, tetapi sedikit larut dalam pelarut lainnya,
umumnya diperlukan pemanasan agar karagenan larut semua.
Biasanya pemanasan dilakukan pada suhu 50-80 oC
4) Carboxul methyl cellulose (CMC)
Pengental ini berfungsi sebagai penstabil bahan yang bisa juga
berfungsi sebagai pengental sehinga mutu olahan lebih bagus
karena semua bahan telah distabilkan dengan baik.
Berdasarkan peraturan BPOM Nomor 11 tahun 2019 tentang
bahan tambahan pangan, terdapat beberapa jenis pengental yang dapat
untuk meningkakan viskositas pangan (BPOM, 2019)
No Jenis BTP pengental
1. Kalsium asetat (Calcium acetate)
2. Natrium laktat (Sodium lactate)
3. Kalsium laktat (Calcium lactate)
4. Asam alginat (Alginic acid)
5. Natrium alginat (Sodium alginate)
6. Kalium alginat (Potassium alginate)
7. Kalsium alginat (Calcium alginate)
8. Propilen glikol alginat (Propylene glycol alginate)
9. Agar-agar (Agar)
10. Karagen (Carrageenan)
11. Rumput laut eucheuma olahan (Processed
eucheuma seaweed)
12. Gom kacang lokus (Locust bean gum)
13. Gom guar (Guar gum)
14. Gom tragakan (Tragacanth gum)
15. Gom arab (Arabic gum)
16. Gom xanthan (Xanthan gum)
17. Gom karaya (Karaya gum)
18. Gliserol (Glycerol)
19. Pektin (Pectins)
20. Ester gliserol resin kayu (Glycerol ester of wood
rosin)
21. Alfa-Siklodekstrin (alpha-Cyclodextrin)
22. Gama-Siklodekstrin (gamma-Cyclodextrin)
23. Selulosa mikrokristalin (Microcrystalline cellulose)
24. Selulosa bubuk (Powdered cellulose)

II.2.14 Antikempal
Anticaking agent (antikempal) adalah bahan tambahan pangan
untuk mencegah mengempalnya produk pangan yang ditambahkan ke
dalam pangan untuk memengaruhi sifat atau bentuk pangan. Fungsi
antikempal adalah sebagai senyawa anhidrat yang kemampuannya
mengikat air melalui pengikatan di permukaan (surface adhesion) yang
sangat baik tanpa menjadi basah. Penambahan senyawa antikempal
bertujuan untuk mencegah terjadinya penggumpalan dan menjaga agar
bahan tersebut tetap dapat dituang (free flowing) (Putra, 2018).
Beberapa bahan anticaking (antikempal) yang beredar di pasaran
sesuai dengan peraturan BPOM (2013) yang biasa digunakan dalam
bahan pangan diantaranya adalah kalsium karbonat, magnesium dioksida,
kalsium silikat, silika dioksida halus (Putra, 2018).
Silika atau silika dioksida (SiO2) merupakan sumber bahan
anticaking yang banyak digunakan pada produk pangan berupa bubuk
salah satunya adalah tepung bumbu. Silika yang beredar di pasar berupa
silika sintetik yang diperoleh dari bahan baku pasir atau kuarsa yang
ketersediaannya berlimpah di alam, namun untuk memenuhi pasar
kebutuhan dalam negeri silika masih diimpor. Penggunaan silika sintetik
dalam bahan makanan dapat memberikan efek buruk bagi tubuh dalam
jangka panjang seperti penyakit bronkitis atau gangguan alat pernafasan
dan penyakit paru-paru. Silika yang dihasilkan dari sekam padi memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan silika sintetik, dimana silika
sekam padi memiliki butiran halus, lebih reaktif, dapat diperoleh dengan
cara mudah dengan biaya yang relatif murah, serta didukung oleh
ketersediaan bahan baku yang melimpah dan dapat diperbaharui.
Kandungan silika abu sekam padi merupakan yang tertinggi dibandingkan
dengan abu bahan alam lainnya yakni sebesar 93,2% dan abu daun
bambu 75,90-82,86%, silika ampas tebu 64,65%, abu cangkang kelapa
sawit 81,30%. Aplikasi silika sebagai bahan anticaking agent tepung
bumbu dengan penambahan silika sekam padi dan silika sintetik pada
konsentrasi 0,5 dan 1% dari berat tepung bumbu. Penyimpanan tepung
bumbu dilakukan untuk mengetahui fenomena yang terjadi selama
penyimpanan sehingga dapat diketahui pengaruh penambahan silika
terhadap karakteristik tepung bumbu dengan kurva sorpsi isotermis.
Isotermis sorpsi air (ISA) menggambarkan hubungan antara kelembaban
relatif udara/aktivitas air dengan kadar air kesetimbangan bahan yang
ditunjukkan dengan kurva sorpsi isotermis. Penentuan kadar air,
bagaimanapun keakuratan metode analisisnya, tidak cukup informatif
dalam kaitannya dengan kestabilan produk pangan yang diteliti. Aktivitas
air adalah pembawa informasi tambahan karena memperhitungkan
ketersediaan air untuk reaksi degradasi. Pengetahuan tentang sorpsi
isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam
penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan
karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai (Putra, 2018).
Berdasarkan peraturan BPOM Nomor 11 tahun 2019 tentang
bahan tambahan pangan, terdapat beberapa jenis antikempal untuk
mencegah mengempalnya produk pangan (BPOM, 2019)
No Jenis BTP antikempal
1. Kalsium karbonat (Calcium carbonate)
2. Trikalsium fosfat (Tricalcium orthophosphate)
3. Selulosa mikrokristalin (Microcrystalline cellulose)
4. Selulosa bubuk (Powdered cellulose)
5. Garam-garam dari asam oleat dengan kalsium, kalium
dan natrium (Ca, K, Na) (Salts of oleic acid with calcium,
potassium, and sodium (Ca, K, Na)
6. Natrium karbonat (Sodium carbonate)
7. Magnesium karbonat (Magnesium carbonate)
8. Magnesium oksida (Magnesium oxide)
9. Talc (Talc)
10. Natrium besi (II) sianida (Sodium ferrocyanide)
11. Kalium besi (II) sianida (Potassium ferrocyanide)
12. Kalsium besi (II) sianida (Calcium ferrocyanide)
13. Silikon dioksida halus (Silicon dioxide, amorphous)
14. Kalsium silikat (Calcium silicate)
15. Magnesium silikat (Magnesium silicate)
16. Kalium Aluminium Silikat (Potassium Aluminium Silicate)
17. Asam miristat, palmitat dan stearat dan garamnya
(Myristic, palmitic & stearic acids and their salts)

II.2.15 Pengembang dan Pengeras


Pengembang adalah bahan tambahan pangan yang dimana dapat
membuat makanan menjadi mengembang. Adapun contohnya yaitu
seperti natrium bikarbonat dan ammonium bikarbonat. Penambahan
natrium bikarbonat ini bertujuan untuk membuat makanan menjadi
mengembang sehingga produk yang dihasilkan mempunyai volume besar
dan juga memiliki tekstur yang renyah. Sedangkan ammonium bikarbonat
bertujuan untuk memberikan daya kembang yang tinggi, namun memiliki
rasa agak pahit jika ditambahkan pada konsentrasi yang tinggi (Pambudi,
S. dkk., 2015).
Baking powder merupakan bahan pengembang atau zat anorganik
yang dapat ditambahkan sebagai bahan pengembang. Dimana, baking
powder ini digunakan untuk menghasilkan gas CO2 membentuk inti untuk
perkembangan tekstur. Baking powder ini dapat melepaskan gas hingga
jenuh dengan gas CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama
pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga
penyusutan dan juga untuk menyeragamkan remah. Selain itu, baking
powder ini juga berfungsi dalam pembentukan volume, mengatur aroma,
mengontrol penyebaran dan hasil produksi menjadi ringan (Setyowati,
2014).
Bahan asam pengembang mempunyai kelarutan dalam air yang
berbeda-beda. Pada suhu biasa larutannya dalam air akan menentukan
kecepatannya dalam melepaskan gas CO2. Berdasarkan kecepatannya,
bahan pengembang adonan dibagi atas bermacam-macam kelas dengan
aktivitas cepat atau lambat. Misalnya senyawa yang mudah larut akan
melepaskan CO2 dengan cepat, sebaliknya yang sulit larut akan lambat
melepaskan CO2. Kecepatan pelepasan CO2 oleh bahan pengembang
akan mempengaruhi tekstur produk, kecepatan ini akan meningkat bila
suhu bertambah tinggi. Bahan pengembang yang sekarang banyak
digunakan adalah garam asam K – tartrat, Na – aluminiumsulfat, glukano
– δ – lakton, serta garam-garam fosfat. Tepung soda kue merupakan
bahan pengembang adonan yang umum digunakan dalam pembuatan
roti. Bahan ini terdiri dari NaHCO3, dan tepung. Ada dua macam soda
kue, yaitu soda kue dengan aktivitas cepat yang disebut juga aktivitas
tinggi dan soda kue dengan aktivitas lambat atau disebut juga sebagai
aktifitas ganda. Perbedaan antara keduanya adalah pada mudah tidaknya
komponen asam atau asam larut dalam air dingin. Soda kue aktivitas
cepat terbuat dari dua macam asam, yaitu asam tartrat, dan garam asam
K–tartrat yang mudah larut dalam air dingin. Karena itu kecepatan
pelepasan CO2l ebih cepat (BPOM, 2018).
Pemilihan jenis soda kue ini akan mempengaruhi elstisitas dan
plastisitas adonan. Soda kue aktivitas lambat yang lambat melepaskan
CO2 setelah adonan terbentuk akan menghasilkan retak-retak pada tepi
biskuit. Bila dipergunakan suhu awal (pembakaran roti) rendah, maka
akan diperoleh volume produk yang lebih besar. Tetapi bila kenaikan suhu
kurang cepat, volume yang diperoleh akan lebih kecil. Untuk menghindari
hal yang merugikan tersebut sebaiknya digunakan suhu pembakaran yang
merata (BPOM, 2018).
Pengeras adalah bahan tambahan pangan yang dimana membuat
makanan menjadi lebih keras atau mencegah makanan menjadi lunak.
Adapun contohnya yaitu seperti kalsium glukonat, kalsium klorida dan
kalsium sulfat. Dimana, kalsium glukonat ini berfungsi untuk mengeraskan
buah-buahan dan sayur-sayuran dalam kaleng seperti irisan tomat
kalengan, buah kalengan, jem dan juga jelly. Sedangkan kalsium klorida
digunakan untuk buah kalengan dan kalsium sulfat yang digunakan untuk
irisan tomat kalengan, apel dan sayur kalengan (BPOM, 2018).
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Zat aditif pada makanan adalah zat kimia yang ditambahkan ke
produk makanan. Tujuan penggunaanya untuk menjaga makanan agar
tetap segar serta meningkatkan warna, aroma, dan teksturnya. Semua zat
yang dicampurkan pada produk makanan selama proses pengolahannya,
proses penyimpanannya, dan proses pengemasannya disebut sebagai zat
aditif pada makanan. Zat Aditif ini dapat terdiri dari senyawa organik
maupun anorganik. Jenis zat aditif pada makanan adalah antioksidan dan
antioksidan sinergis, pengasam, penetral dan pendapar, anti kempal,
enzim, pemutih dan pematang, pemanis buatan, penambah gizi,
pengawet, pengeras, pengemulsi, pemantap, dan pengental, pewarna
alami dan sintesis, sekuestran, serta enyedap rasa dan aroma.
III.2 Saran
Sebaiknya untuk kedepannya lebih memperbanyak lagi cakupan
materi dan juga tinjauan pustakanya, serta untuk konsumen/pengguna
dari zat aditif pada bahan pangan harus lebih memperhatikan batas waktu
kadaluarsa ataupun hal-hal lainnya yang dapat berakibat fatal untuk
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarsari I, Qanytah & Sarjana. 2008. Penerapan Standar Penggunaan


Pemanis Buatan Pada Produk Pangan. Balai Pangan dan
Teknologi: Pertanian Jawa Tengah.
BPOM.2012. Pedoman Informasi Dan Pembacaan Standar Bahan
Tambahan Pangan Untuk Industri Pangan Siap Saji Dan Industri
Rumah Tangga Pangan. Jakarta: Direktorat Standarisasi Produk
Pangan.
BPOM. 2013. Peraturan  Kepala  Badan  Pengawas  Obat  dan Makanan
BPOM. 2018. Bahan Tambahan Pangan dan Bahan Berbahaya Pada
Pangan. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan. Semarang.
BPOM. 2019. Bahan Tambahan Pangan dan Bahan Berbahaya Pada
Pangan. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan. Semarang.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan
Pangan. Jakarta: PT Bumi Aksara
Cahyadi, Wisnu. 2008. Analisis Aspek Kesehatan Bahan Tambahan
Pangan. Edisi kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Chib et al. 2019. Role Of Antioxidants In Food. International Journal of
Chemical Studies. 8(1): 2354-2361.

Emilia, Ita, dkk. 2020. Pengenalan Zat Aditif pada Makanan dan
Dampaknya terhadap Kesehatan di SMA Negeri I Belimbing Muara
Enim Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat (JPKM) Vol. 26, No. 2.
Fitri, N. 2013. Butylated hydroxyanisole sebagai Bahan Aditif Antioksidan
pada Makanan dilihat dari Perspektif Kesehatan. Jurnal
Kefarmasian Indonesia. 4(1): 41-50
Pambudi, S. dkk. 2015. Pengaruh Proporsi Natrium Bikarbonat dan
Ammonium Bikarbonat Sebagai Bahan Pengembang Terhadap
Karakteristik Kue Bagiak. Jurnal Pangan dan Agroindustri. vol.3,
no.4, hh.1596-1607.
Rohmawati, D. 2014. Bahaya Pewarna Sintetik dalam Makanan.
Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta

Setyowati. 2014. Formulasi Biskuit Tinggi Serat (Kajian Proporsi Bekatul


Jagung: Tepung Terigu dan Penambahan Baking Powder). Jurnal
Pangan dan Agroindustri. vol.2, no.3, hh.224-231.
Susanti, Y.P. 2016. Studi Kandungan Bahan Pengawet dan Pewarna
Sintesis pada Berbagai Bumbu Giling di Pasar Kota Malang
sebagai Sumber Belajar Biologi. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Sutomo, B. 2008. Sukses Wirausaha Jajan Pasar Favorit. Jakarta: Kriya
Pustaka.
Suyanti. 2010. Panduan Mengolah 20 Jenis Buah. Jakarta: Penebar
Swadaya

Putra et al. 2018. Karakteristik Sorpsi Isotermis Pada Aplikasi Silika (Sio2)
Sebagai Anticaking Agent Tepung Bumbu. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian. 28 (2): 219-230
Rorong, Johnly A., dkk. 2019. Studi Tentang Aplikasi Zat Aditif pada
Makanan yang Berbedar di Pasaran Kota Manado. Techno Science
Journal Vol. 1, No.2.
Usmiati S & Yuliani S. 2004. Pemanis alami dan buatan untuk kesehatan.
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 10(1): 13-
17.

Anda mungkin juga menyukai