Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS BAHAN PEWARNA PADA PANGAN

OLEH :

NAMA : RIZKIYA APRIANTI

NIM : N111 14 325

KELAS : ANALISIS KEAMANAN PANGAN B

FAKULTAS FARMASI

UNVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Bahan tambahan makanan adalah senyawa atau campuran

berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan

minuman dalam proses pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan dan

bukan merupakan bahan utama. Bahan tambahan tersebut dapat berupa

pengawet, pewarna, pemanis, penyedap, antioksidan, antikempal, dan

pengemulsi (Widyaningsih, 2006).

Zat pewarna merupakan bahan tambahan pangan yang dapat

memperbaiki penampilan makanan. Penambahan bahan pewarna

makanan mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah memberi kesan

menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta

menutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan.

Zat pewarna makanan terbagi menjadi tiga bagian yaitu pewarna alami,

pewarna identik alami, dan pewarna sintetis (Mudjajanto, 2006).

Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu bahan pangan

berwarna antara lain dengan penambahan zat pewarna. Akan tetapi

sering terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan

pangan misalnya penggunaan zat pewarna untuk tekstil dan kulit. Hal ini

jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat

pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna

tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai


zat pewarna untuk pangan, dan juga karena harga zat pewarna untuk

industri jauh lebih murah dibandingkan zat pewarna untuk pangan

(Hidayat, 2006).

Peraturan mengenai pemakaian zat warna dalam makanan

ditetapkan oleh masing-masing Negara, dengan tujuan antara lain untuk

menjaga kesehatan dan keselamatan rakyat dari hal-hal yang dapat timbul

karena pemakaian zat warna tertentu yang dapat membahayakan

kesehatan. Peraturan dari suatu Negara berbeda dengan Negara lainnya,

dimana suatu zat warna yang dilarang di suatu Negara belum tentu

dilarang di Negara lainnya. Misalnya amaranth dilarang penggunaannya di

Amerika Serikat karena ditakutkan dapat menyebabkan kanker, namun

masih diperbolehkan di Negara-negara Eropa dan berbagai Negara

lainnya.

Jenis pewarna makanan yang sering digunakan dan dilarang oleh

BPOM berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan

Pangan Nomor : 00386/C/SK/II/90 tentang perubahan lampiran Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor : 239/Menkes/Per/V/85 tentang zat warna

tertentu yang dinyakan sebagai bahan berbahaya ditetapkan beberapa

bahan pewarna sintitis yang dilarang ditambahkan pada pangan antara

lain adalah Auramin, Ponceau 3R dan Rhodamin B untuk pewarna merah

atau orange dan Methantl Yellow untuk pewarna kuning (Anonim, 2014).

Berdasarkan pemaparan diatas, maka pada makalah ini akan

dibahas mengenai cara analisis bahan pewarna pada pangan untuk


mengetahui apakah kandungan pewarna dari pangan tersebut telah

sesuai dengan batas yang diizinkan oleh pemerintah dan tidak berdampak

buruk pada kesehatan.

I.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana dampak bahan pewarna terhadap kesehatan?

2. Bagaimana prosedur analisis bahan pewarna pada pangan?

I.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dampak bahan pewarna terhadap kesehatan

2. Untuk mengetahui prosedur analisis bahan pewarna pada pangan


BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Keamanan Pangan

II.1.1. Definisi Keamanan Pangan

Menurut Undang-Undang No 7/1996 yang dikutip oleh Hardiansyah

(2001) tentang pangan, bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan

upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia

dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan

kesehatan manusia. Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan

penyakit yang disebut dengan foodborne diseases, yaitu gejala penyakit

yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung

bahan/senyawa beracun atau organisme patogen.

II.1.2. Penyebab Ketidakamanan Pangan

Penyebab ketidakamanan pangan adalah (Baliwati dkk, 2004) :

1. Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat

menyebabkan berbagai penyakit degeneratif seperti jantung,

kanker dan diabetes.

2. Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme

ataupun bahan-bahan kimia

Menurut Aswar (1995), penyebab makanan tersebut berbahaya

adalah karena, makanan tersebut dicemari zat-zat yang membahayakan

kehidupan dan juga karena di dalam makanan itu sendiri telah terdapat

zat-zat yang membahayakan kesehatan. Untuk memperbaiki atau


meningkatkan fungsional pangan digunakan bahan kimia yang disebut

BTM (Bahan Tambahan Makanan). Sering sekali BTM yang digunakan

adalah BTM yang dilarang, seperti Boraks, Rhodamin B, dan Methanil

Yellow. Contoh penggunaan boraks adalah pada pembuatan bakso,

Rhodamin B dan Methanil Yellow pada pembuatan pempek Palembang

dan berbagai jajanan pasar seperti cendol, kelepon, atau kue bugis

(Baliwati, 2004).

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh mahasisiwa FKM

terhadap penyalahgunaan beberapa Bahan Tambahan Makanan pada

makanan dan minuman. Seperti yang dilakukan oleh Munthe (2003), Nova

(2004), dan Darius (2007), hasil yang didapat menunjukkan bahwa banyak

makanan dan minuman jajanan yang mengandung BTM yang tidak

diijinkan seperti formalin, boraks, pewarna dan pemanis yang melebihi

batas penggunaan.

II. 2 Bahan Tambahan Makanan

II. 2.1 Definisi Bahan Tambahan Makanan

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri

Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988 secara umum adalah bahan

yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan

merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai

nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk

maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan,

penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau


pengangkutan makanan untuk menghasilkan (langsung atau tidak

langsung) suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan

tersebut.

Pada umumnya dalam pengolahan makanan selalu diusahakan

untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik

(Widyaningsih, 2006). Bahan tambahan makanan (BTM) atau sering juga

disebut dengan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang

ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun

bentuk makanan. Bahan Tambahan Makanan itu sendiri bisa memiliki

nilai gizi, tetapi ada juga yang tidak (Yuliarti, 2007).

II. 2. 2 Penggunaan Bahan Tambahan Makanan

Tujuan penggunaan bahan tambahan makanan adalah dapat

meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan,

membuat bahan makanan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah

preparasi bahan makanan. Pada umumnya bahan tambahan pangan yang

digunakan hanya dapat dibenarkan apabila (Cahyadi, 2009):

1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan

dalam pengolahan.

2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang

salah atau tidak memenuhi syarat.

3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang

bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan.

4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.


II. 2. 3 Sumber –Sumber Bahan Tambahan Makanan

Menurut Riandini (2008) BTM (Bahan Tambahan Makanan) bisa

berasal dari makanan yang dapat disintesa secara kimia atau diproduksi

dengan proses biologi.

1. Bahan tambahan sintetik. Penggunaan bahan tambahan sintetik

telah meningkat setelah pergantian abad. bahan tambahan sintetik

diperoleh dari proses pengolahan bahan kimia yang mempunyai

sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik susunan

kimia, maupun sifat metabolisme nya.

2. Bahan tambahan biologi baik dari hewan maupun dari tumbuhan

seperti lesitin dan asam sitrat. Bahan Tambahan Makanan yang

bersumber langsung dari alam

Pada umumnya Bahan Tambahan Makanan dibagi menjadi dua

golongan besar, (Cahyadi 2006) :

1. Bahan Tambahan Pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke

dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut

dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran,

cita rasa, dan membantu pengolahan. Contohnya pengawet,

pewarna dan pengeras.

2. Bahan Tambahan Pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu

bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut,

terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup

banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pegolahan dan


pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau

kontaminan dari bahan yang disengaja ditambahkan untuk tujuan

produksi bahan mentah atau penangananya yang masih terus

terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contohnya

residu pestisida.

II. 2. 4 Fungsi Bahan Tambahan Makanan

Fungsi Dasar Bahan Tambahan Makanan yaitu (Puspitasari, 2001):

a. Meningkatkan nilai gizi makanan, banyak makanan yang diperkaya

atau difortifikasi dengan vitamin untuk mengembalikan vitamin yang

hilang selama pengolahan, seperti penambahan berbagai vitamin B

ke dalam tepung terigu, vitamin A dan D ke dalam susu.

b. Memperbaiki nilai sensori makanan, warna, bau, rasa dan tekstur

suatu bahan pangan berkurang akibat pengolahan dan

penyimpanan.

Memperpanjang umur simpan makanan, yaitu untuk mencegah

timbulnya mikroba maupun untuk mencegah terjadinya reaksi kimia yang

tidak dikehendaki selama pengolahan dan penyimpanan.

II.3 Zat Pewarna Makanan

II.3.1 Pengertian Zat Pewarna Makanan

Pewarna makanan merupakan bahan tambahan pangan yang

dapat memperbaiki penampakan makanan agar menarik,

menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan

warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009).


Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah

bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna

pada makanan.

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat

tergantung pada beberapa faktor seperti cita rasa, tekstur, nilai gizinya

dan juga sifat mikrobiologis. Tetapi sebelum faktor-faktor lain

dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan

kadang-kadang sangat menentukan.

Zat warna yang sudah sejak lama dikenal dan digunakan, misalnya

daun pandan atau daun suji untuk warna hijau dan kunyit untuk warna

kuning. Kini dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologitelah

ditemukan zat warna sintetis, karena penggunaannya lebih praktis dan

harganya lebih murah.

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu bahan pangan

berwarna, antara lain dengan penambahan zat pewarna. Secara garis

besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang

termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami

dan pewarna sintetis (Cahyadi, 2009).

II.3.2 Zat Pewarna Alami

Zat warna alam (pigmen) adalah zat warna yang secara alami

terdapat dalam tanaman maupun hewan. Zat warna alam dapat

dikelompokkan sebagai warna hijau, kuning, merah. Penggunaan zat

warna alam untuk makanan dan minuman tidak memberikan kerugian


bagikesehatan, seperti halnya zat warna sintetik yang semakin banyak

penggunaannya (Firdaus, 2010).

Konsumen dewasa ini banyak menginginkan bahan alami yang

masuk dalam daftar diet mereka. Banyak pewarna olahan yang tadinya

menggunakan pewarna sintetik berpindah ke pewarna alami. Sebagai

contohnya serbuk bit (dari umbi bit) menggantikan pewarna merah FD dan

C No.2. (Amaranth) namun penggantian dengan pewarna alami secara

keseluruhan masih harus menunggu para ahli untuk dapat menghilangkan

kendala seperti bagaimana menghilangkan rasa bit-nya, mencegah

penggumpalan dalam penyimpanan dan menjaga kestabilan dalam

penyimpanan. Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan

hewan, di antaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin,

anthosianin, flavonoid, tannin, betalain, quinon dan xanthon, serta

karotenoid (Cahyadi, 2009).

II.3.3. Zat Pewarna Sintetis

Pewarna buatan untuk makanan diperoleh melalui proses sintesis

kimia buatan yang mengandalkan bahan-bahan kimia, atau dari bahan

yang mengandung pewarna alami melalui ekstraksi secara kimiawi.

Beberapa contoh pewarna buatan adalah tartazine untuk warna kuning,

allura red untuk warna merah, dan sebagainya. Kelebihan pewarna

buatan adalah dapat menghasilkan warna lebih kuat meskipun jumlah

pewarna yang digunakan hanya sedikit. Selain itu, biarpun telah


mengalami proses pengolahan dan pemanasan, warna yang dihasilkan

dari pewarna buatan akan tetap cerah (Cahyadi, 2009).

Di Indonesia peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang

dilarang untuk pangan diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.722/Menkes/Per/IX/1988.

Menurut Joint FAC / WHO Expert Committee on Food Additives

(JECFA) zat pewarna buatan dapat digolongkan dalam beberapa kelas

berdasarkan rumus kimianya, yaitu azo, triarilmetana, quinolin, xanten,

dan indigoid. Sedangkan berdasarkan kelarutannya dikenal dua macam

pewarna buatan, yaitu dyes dan lakes. Dyes adalah zat pewarna yang

umumnya bersifat larut dalam air, sehingga larutannya menjadi berwarna

dan dapat digunakan untuk mewarnai bahan pangan. Sedangkan untuk

zat pewarna lakes dibuat melaluiproses pengendapan dan absorpsi dyes

pada radikal (Al atau Ca) yang dilapisi dengan aluminium hidrat (Alumina).
Lapisan alumina ini tidak larut dalam air, sehingga lakes ini tidak larut

pada hampir semua pelarut.

II.3.4. Tujuan Penambahan Zat Pewarna

Menurut Syah, dkk (2005), kemajuan teknologi pangan

memungkinkan zat pewarna dibuat secara sintetis. Dalam jumlah yang

sedikit, suatu zat kimia bisa memberi warna yang stabil pada produk

pangan. Beberapa alasan utama menambahkan zat pewarna pada

makanan:

1. Untuk menutupi perubahan warna akibat paparan cahaya, udara,

atau temperatur yang ekstirm akibat proses pegolahan dan

penyimpanan.

2. Memperbaiki variasi alami warna. Produk pangan yang salah warna

akan diasosiasikan dengan kualitas rendah. Jeruk yang matang

dipohon misalnya sering disemprotkan pewarna Citrus Red No. 2

untuk memperbaiki warnanya yang hijau burik atau orange

kecoklatan.

3. Membuat identitas produk pangan. Identitas es krim strawberry

adalah merah. Permen rasa mint akan berwarna hijau muda

sementara rasa jeruk akan berwarna hijau yang sedikit tua.

4. Menarik minat konsumen dengan pilihan warna yang

menyenangkan.

5. Untuk menjaga rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh

sinar matahari selama produk simpan.


II.3.5. Dampak Zat Pewarna Bagi Kesehatan

Pemakain zat pewarna sintetis dalam makanan dan minuman

mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya

dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna

makanan, mengembalikan warna bahan dasar yang telah hilang selama

pengolahan ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak

diinginkan dan bahkan memberikan dampak yang negatif bagi kesehatan

konsumen. Menurut Cahyadi (2006), ada hal-hal yang mungkin

memberikan dampak negatif tersebut apabila :

1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil namun

berulang.

2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama.

3. Kelompok masyarakat yang luas dengan daya tahan yang berbeda-

beda yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu

makanan sehari-hari dan keadaan fisik.

4. Beberapa masyarakat menggunakan bahan pewarna sintetis

secara berlebihan.

5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia

yang tidak memenuhi persyaratan.

Sejumlah makanan yang kita konsumsi tidak mengandung zat

berbahaya menurut daftar zat warna yang dinyatakan sebagai bahan

berbahaya (Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988). Namun demikian, penggunaan pewarna


tersebut hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman,

penggunaannya dalam jumlah yang besar tetap dapat membahayakan

kesehatan konsumen. Beberapa bahan pewarna yang harus dibatasi

penggunaannya diantaranya adalah amaran, allura merah, citrus merah,

caramel, erithrosin, indigotine, karbon hitam,kurkumin.

Amaran dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan tumor, reaksi

alergi pada pernafasan dan dapat mengakibatkan hiperaktif pada anak-

anak. Allura merah dapat memicu kanker limpa, sedangkan karamel dapat

menimbulkan efek pada sistem syaraf dan dapat menyebabkan gangguan

kekebalan. Penggunaan Tartrazine ataupun Sunset Yellow yang

berlebihan dapat meyebabkan reaksi alergi, khususnya bagi orang yang

sensitif pada asam asetilsiklik dan asam benzoat, selain akan

mengakibatkan asma dapat pula mengakibatkan hiperaktif pada anak.

Fast Green FCF yang berlebihan akan meyebabkan reaksi alergi dan

produksi tumor, sedangkan Sunset Yellow dalam jumlah yang besar dapat

menyebabkan radang selaput lendir pada hidung, sakit pinggang, muntah-

muntah, dan gangguan pencernaan. Indigotine dalam dosis tertentu

mengakibatkan hiperaktif pada anak-anak. Pemakaian eritrosin akan

mengakibatkan reaksi alergi pada pernafasan, hiperaktif pada anak-anak

dan efek yang kurang baik pada otak dan perilaku, sedangkan Ponceau

SX dapat mengakibatkan kerusakan sistem urin, kemudian dapat memicu

timbulnya tumor (Yuliarti, 2007).


Begitu juga dengan zat pewarna yang berbahaya seperti Rhodamin

B, pemakaian zat warna ini tidak diizinkan karena dapat menimbulkan

bahaya bagi konsumen. Bahan ini bila dikonsumsi bisa menyebabkan

gangguan pada fungsi hati, bahkan kanker hati (Cahyadi,2006).


II. 4 Analisis Bahan Pewarna pada Makanan

II. 4. 1 Preparasi Sampel

a. Sampel makanan yang mengandung lemak

Sebanyak 20 g sampel ditimbang lalu dihaluskan. Kemudian

sampel tersebut dicampur dengan 14 mL air, 25 mL etanol dan 1

mL ammonia. Campuran diaduk hingga merata dan didiamkan

selama 30 menit, kemudian disaring dan hasil saringan dipanaskan

di atas penangas air hingga cairannya menjadi pekat.

b. Sampel makanan yang memiliki komponen utama pati

Sebanyak 20 g sampel ditimbang kemudian digerus

ditambahkan 50 mL larutan amoia 2% dalam etanol 70%. Dibiarkan

15 menit kemudian disentrifugasi hingga cairannya memisah.

Kemudian cairan dipindahkan ke dalam cawan porselen dan

diuapkan di atas penangas air. Kemudian residu dilarutkan dalam

air yang telah ditambahkan sedikit asam asetat.

c. Sampel makanan yang larut dalam air

Sebanyak 30 g sampel ditimbang kemudian dilarutkan dalam

air kemudian diasamkan dengan sedikit asam asetat.

d. Sampel minuman ringan

Minuman ringan umumnya sudah asam, sehingga dapat

langsung dilakukan penarikan dengan benang wool. Jika reaksinya

tidak asam, maka harus diasamkan sedikit dengan asam asetat.


II. 4. 2 Ekstraksi Zat Warna dari Sampel

Sebanyak 2 g bulu domba dimasukkan ke dalam sampel yang telah

dipersiapkan. Kemudian dipanaskan di atas penangas air selama kurang

lebih 10 menit, sambil diaduk sehingga warna dari sampel dapat terserap

oleh bulu domba. Setelah itu, bulu domba diangkat dan dicuci berulang-

ulang dengan air hingga bersih. Bulu domba tersebut dimasukkan ke

dalam gelas piala, kemudian ditambahkan larutan ammonia 10%, lalu

dipanaskan di atas penangas air hingga zat warna pada bulu domba

luntur dan larutan menjadi berwarna. Setelah itu, bulu domba diangkat

dan larutan berwarna tersebut disaring. Kemudian filtrate dipekatkan di

atas penangas air.

II. 4. 3 Identifikasi Zat Warna Menggunakan Kromatografi Kertas

Hasil ekstraksi zat warna dari sampel yang telah dipekatkan,

kemudian ditotolkan pada kertas Whatman No. 1 dengan jarak tepi 2 cm,

jarak penotolan 1,5 cm dan jarak elusi 12 cm. zat warna pembanding

ditotolkan di samping zat warna sampel. Kemudian sampel dielusi

menggunakan 3 macam eluen yang berbeda yaitu: larutan NaCl 2%

dalam etanol 50%; campuran metil etil keton: aseton: air (7:3:3) dan;

campuran n-butanol: asam asetat glasial: air (40:20:24)

Setelah selesai dielusi dengan kertas Whatman No. 1, sampel

diangkat dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Bercak yang

tampak dilihat secara visual langsung atau menggunakan sinar UV.


Kemudian dihitung harga Rt dari tiap bercak, dan harga Rt zat warna

sampel dibandingkan dengan harga Rt zat warna pembanding.

II. 4. 4 Identifikasi Zat Warna Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis

Panjang gelombang maksimum dari masing-masing zat warna

pembanding dan sampel dilakukan dengan menggunakan alat

spektrofotometer. Pelarut zat warna pembanding dan sampel digunakan 3

macam pelarut yakni air, HCl 0,1 N dan NaOH 0,1 N. Zat warna

pembanding dan sampel masing-masing diukur pada panjang gelombang

380-780 nm. Kemudian panjang gelombang maksimum dan spectrogram

sampel dibandingkan dengan panjang gelombang maksimum dan

spectrogram zat warna pembanding. Bila panjang gelombang maksimum

serta spectrogram zat warna pembanding dan sampel sama maka dapat

dinyatakan kedua zat tersebut adalah sama. Sedangkan untuk

menghitung kadar bahan pewarna dalam sampel dihitung dengan

menggunakan data dari kurva kalibrasi dengan persamaan regresi : y = bx

± a dan uji statistik.


BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelusuran pustaka dapat disimpulkan bahwa:

1. Penyalahgunaan bahan pewarna pada pangan disebabkan karena

ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan

dan harga bahan pewarna untuk industri yang jauh lebih murah.

2. Analisis bahan pewarna pada pangan dapat dilakukan dengan

menggunakan kromatografi kertas untuk analisis kualitatif dan

spektrofotometer UV-Vis untuk analisis kuantitatif.

III.2. Saran

1. Perlu diadakan penyuluhan terhadap para pedagang makanan

mengenai bahan pewarna yang aman dan khusus digunakan

sebagai bahan tambahan makanan maupun minuman.

2. Masyarakat harus lebih jeli untuk memilih makanan atau jajanan

yang akan dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan efek buruk

bagi kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara

Sumber Widya: Jakarta.

Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya:

Jakarta.

Cahyadi, Wisnu. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara: Jakarta.

Darius, J. G. 2007. Analisis Kandungan Nitrit dan Pewarna Pada Sosis

Daging Sapi yang Beredar di Kota Medan Tahun 2007. Skripsi.

FKM: USU, Medan.

Depkes R.I, 1992. Undang-undang RI No. 23 tahun 1992. Tentang

Kesehatan: Jakarta.

Firdaus, A., dan Winarti Sri. 2010. Stabilitas Warna Merah Ekstrak Bunga

Rosela untuk Pewarna Makanan dan Minuman, dalam Jurnal

Teknologi Pertanian (Vol.11 hlm 78)

Hidayat, Nur dan Anis Saati. 2006. Membuat Pewarna Alami.

Trubus Agrisarana: Surabaya

Mudjajanto, E. S. 2006. Tahu, Makanan Favorit yang Keamanannya Perlu

Diwaspadai. http://www.fk.undip.ac.id./kasiat-alami/68-tahu-

makanan-favorit-yang-perlu-diwaspadai.

Munthe, Marga Setia. 2003. Analisis Penggunaan Sakarin dan Siklamat

Pada Manisan Buah yang Dijajakan di Pasar Petisah Kotan Medan.

Skripsi. FKM: USU. Medan.


Nisma, Fatimah. 2014. Analysis of Red Dye as Coloring Agent Children

Snack Sold at Elementary School in East Jakarta. Fakultas Farmasi

dan Sains UHAMKA: Jakarta

Puspitasari, Luh. 2001. Analisis Bahaya dan Pencegahan Keracunan

Pangan. Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.

Riandini, Nursanti. 2008. Bahan Kimia dalam Makanan dan Minuman.

Shakti Adihulung: Bandung.

Syah, dkk. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan.

Himpunan Alumni Fakulta Teknologi Pertanian Institut Pertanian

Bogor.

Widyaningsih, dkk. 2006. Formalin. Trubus agrisarana: Surabaya.

Yuliarti, Nurheti. 2007. Awas Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Andi:

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai