Anda di halaman 1dari 135

KONSEP KEAMANAN PANGAN

1
Tujuan Pembelajaran :
 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian keamanan pangan.
 Mahasiswa mampu menjelaskan keamanan pangan meliputi; bahan kimia dalam
makanan, alergen dan debu.
 Mahasiswa mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi keamanan pangan
 Mahasiswa mampu menjelaskan kontaminan dan racun dalam pangan

PENDAHULUAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup manusia,
sehingga setiap orang perlu dijamin dalam memperoleh pangan yang bermutu dan
aman. Bahan pangan yang tidak diproduksi dengan cara yang baik dan benar
dapat menjadi sumber mikroorganisme dan kontaminan kimia yang dapat
berbahaya dan menyebabkan penyakit kepada manusia. Terjadinya kasus-kasus
keracunan pangan seharusnya tidak perlu terjadi apabila produk pangan diolah
dengan prosedur pengolahan yang benar.
Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia,
juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan
mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang
menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun
daya simpannya.
Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga
dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan,
sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi. Kejadian ini biasanya
terjadi pada pembusukan bahan pangan.
Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat
untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain
penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus,
kolera, disentri atau TBC mudah tersebar melalui bahan makanan. Gangguan-
gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut akibat makanan disebabkan,
antara lain kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung
oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksin- toksin yang
dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan mengandung parasit- parasit
hewan dan mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan
menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar
dalam penentuan penyebabnya.

DEFINISI KEAMANAN PANGAN


Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan
menyebabkan bahaya kepada konsumen jika disiapkan atau dimakan sesuai
dengan maksud dan penggunaannya (FAO/WHO, 1997). Menurut Undang-
undang Republik Indonesia no. 18/2012 tentang pangan, bahwa keamanan
pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman
untuk dikonsumsi.
Pangan yang tidak aman akan menyebabkan penyakit yang disebut
foodborne disease, yaitu segala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi
pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme patogen.
Penyebab Ketidakamanan Pangan
Penyebab ketidakamanan pangan adalah (Baliwati, dkk, 2004):
1. Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat menyebabkan
berbagai penyakit degeneratif seperti jantung, kanker, diabetes.
2. Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme ataupun
bahan-bahan kimia.
Penyebab pangan tersebut berbahaya karena, makanan tersebut
dicemari zat-zat yang membahayakan kehidupan dan juga karenan di dalam
makanan itu sendiri telah terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan
(Azwar, 1995).

BAHAN KIMIA DALAM MAKANAN, ALERGEN DAN DEBU


Bahan Tambahan Pangan
1. Definisi Bahan Tambahan Pangan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88
dan No.1168/Menkes/PER/X/1999 pengertian Bahan Tambahan Pangan
(BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan
sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan
penyimpanan. Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan agar dapat
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan,
membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah
preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009).
Menurut FAO dan WHO dalam kongres di Roma pada tahun 1956
menyatakan bahwa bahan tambah pangan adalah bahan-bahan yang
ditambahakan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit yaitu
untuk memperbaiki warna, bentuk, citarasa, tekstur, atau memperpanjang daya
simpan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. Sedangkan menurut
Suprianto (2006). Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang tidak lazim
dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses
pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada
yang tidak.
2. Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya
simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan serta
mempermudah pereparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan
pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila (Puspitasari, 2001):
a. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam
pengolahan.
b. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah
satu tidak memenuhi syarat.
c. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan
dengan cara produksi yang baik untuk pangan.
d. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
3. Sumber-Sumber Bahan Tambahan Pangan
Menurut Cahyadi (2009) bahan tambahan makanan bisa berasal dari
makanan yang dapat disintesa secara kimia atau diproses dengan proses
biologi.
a. Bahan tambahan sintetik diproses dari proses pengolahan bahan kimia
yang mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang sejenis, baik
susunan kimia, maupun sifat metabolismenya.
b. Bahan tambahan biologi baik dari hewan maupun dari tumbuhan seperti
lesitin dan asam sitrat. Bahan makanan yang bersumber langsung dari
makanan.
Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua kelompok
besar (Cahyadi, 2009):
a. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan secara sengaja ke dalam
makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud
penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, citarasa, dan
memantau pengolahannya, contohnya : pengawet, pewarna, dan pengeras.
b. Bahan tambahan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak
mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja
baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama
proses produksi, pengolahan, dan proses pengemasan bahan ini dapat
pula merupakan residua tau kontaminasi dari bahan yang disengaja
ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penangannya
yang masih terus terbawa kedalam makanan yang akan dikonsumsi.
Contohnya residu pestisida.
4. Pengolahan Bahan Tambahan Pangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
22/Menkes/PerXI/88 terhadap Bahan tambahan Pangan, bahan tambahan
pangan terdiri dari dua golongan, yaitu bahan tambahan pangan yang
diizinkan dan bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan.
1. Bahan tambahan pangan yang diizinkan yaitu:
Bahan Tambahan Makanan (BTM) yang diijinkan digunakan pada
makanan berdasarkan Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/1988 adalah :
a. Antioksidan, adalah BTM yang dapat mencegah atau menghambat
oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan. Contohnya :
asam askorbat, asam eritorbat, butil hidroksi toluen.
b. Antikempal, yaitu BTM yang dapat mencegah mengempalnya
(menggumpalnya) makanan yang berupa serbuk seperti tepung atau
bubuk. Contohnya : aluminium silikat, magnesium karbonat, miristat.
c. Pengatur keasaman (pengasam, penetral, pendapar), yaitu BTM
yang dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat
keasaman. Contohnya : asam klorida, asam fumarat, asam fosfat.
d. Pemanis buatan, yaitu BTM yang dapat menyebabkan rasa manis
pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai
nilai gizi. Contohnya : sakarin, siklamat, sorbitol.
e. Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTM yang dapat mempercepat
proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat
memperbaiki mutu pemanggangan.
Contohnya: natrium karbonat, natrium sitrat, natrium malat.
f. Pengemulsi, pemantap, pengental, yaitu BTM yang dapat membantu
terbentuknya dan memantapkan sistem diversi yang homogen pada
makanan. Contohnya : agar, ammonium alginat, gelatin.
g. Pengawet, yaitu BTM yang dapat mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman, atau peruraian lain pada makanan
yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba. Contohnya : natrium
benzoat, asam sorbat, natrium bisulfit.
h. Pengeras, yaitu BTM yang dapat memperkeras atau mencegah
melunaknya makanan. Contohnya : aluminium sulfat, kalsium glukonat,
kalsium laktat.
i. Pewarna, yaitu BTM yang dapat memperbaiki atau memberi
warna pada makanan. Contohnya : karamel, kantasatin, betakaroten.
j. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, yaitu BTM yang dapat
memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Contohnya :
asam butirat, etil vanillin, benzaldehida.
k. Sekuestran, yaitu BTM yang dapat mengikat ion logam yang ada
dalam makanan, sehingga memantapkan warna, aroma dan tekstur.
Contohnya : asam fosfat, asam sitrat, natrium pirofosfat.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan, yaitu:
Bahan Tambahan Makanan (BTM) tidak diizinkan atau dilarang digunakan
dalam makanan karena bersifat karsinogenik berdasarkan Permenkes RI
No. 722/Menkes/Per/IX/1988 dan Permenkes No. 1168/Menkes/Per/1999
tentang Bahan Tambahan Makanan adalah:
a. Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya
b. Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt)
c. Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate, DEPC)
d. Dulsin (Dulcin)
e. Kalium Klorat (Potassium Chlorate)
f. Kloramfeniko l (Chloramphenicol)
g. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)
h. Nitrofurazon (Nitrofurazone)
i. Formalin (Formaldehyde)
j. Kalium Bromat (Potassium Bromate)
k. Rhodamin B
l. Metanil Yellow
Alergen Makanan
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ
dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam
beberapa kepustakaan alergi makanan dipakai untuk menyatakan suatu reaksi
terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas tipe I dan
hipersensitifitas terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitifitas
tipe III dan IV.
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan
reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan
istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan,
baik yang imunologik atau non imunologis.
Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and
immunology dan The National Institute of Allergy and infections disease yaitu :

Gambar 1.1 Diagram Reaksi Simpangan Makanan (Sumber: Cahyadi, 2009).


Keterangan:
1. Reaksi simpang makanan (Adverse Food Reactions)
Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang
ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan
atau intoleransi makanan.
2. Alergi makanan (Food Allergy)
Alergi makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang
menyimpang karena masuknya bahan penyebnab alergi dalam tubuh. Sebagian
besar reaksi ini melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1.
3. Intoleransi Makanan (Food Intolerance)
Intoleransi makanan adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan
sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan.
Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena
kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella,
Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat
farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju,
kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase,
maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu.
4. Menurut cepat timbulnya reaksi maka alergi terhadap makanan dapat berupa
reaksi cepat (Immediate Hipersensitivity/rapid onset reaction) dan reaksi
lambat (delayed onset reaction). Reaksi cepat, reaksi terjadi berdasarkan
reaksi kekebalan tubuh tipe tertentu. Terjadi beberapa menit sampai beberapa
jam setelah makan atau terhirup pajanan alergi. Reaksi Lambat, terjadi lebih
dari 8 jam setelah makan bahan penyebab alergi.
Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang
bersifat imunologi, farmakologi, toksin, infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta
neuropsikologis terhadap makanan. Dari semua reaksi yang tidak diinginkan
terhadap makanan dan zat aditif makanan sekitar 20% disebabkan karena alergi
makanan.
a. Mekanisme Terjadinya Alergi Makanan
Struktur limfoepiteal usus yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-
Associated Lymphoid Tissues) terdiri dari tonsil, patch payer, apendiks, patch
sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus GALT mempunyai kemampuan
untuk mengembangkan respon lokal bersamaan dengan kemampuan untuk
menekan induksi respon sistemik terhadap antigen yang sama.
Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa alami
sehari-hari dalam sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam lumen
intestinal (usus), permukaan epitel (dinding usus) dan dalam lamina propia
bekerja bersama untuk membatasi masuknya benda asing ke dalam tubuh
melalui saluran cerna. Sejumlah mekanisme non imunologis dan
imunologis bekerja untuik mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri,
virus, parasit dan protein penyebab alergi makanan ke dinding batas usus
(sawar usus).
Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel
penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T secara
langsung atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan merangsang
sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak akan
diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan orgalimfoid usus. Sel epitel
intestinal memegang peranan penting dalam menentukan kecepatan dan pola
pengambilan antigen yang tertelan. Selama terjadinya reaksi yang dihantarkan
IgE pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang terserap
meningkat. Benda asing yang larut di dalam lumen usus diambil dan
dipersembahkan terutama oleh sel epitel saluran cerna dengan akibat terjadi
supresi (penekanan) sistem imun atau dikenal dengan istilah toleransi.
Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit utuh diambil oleh sel
M (sel epitel khusus yang melapisi patch peyeri) dengan hasil terjadi imunitas
aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet secara normal mengaktifkan
sel supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid usus dan setelah ingesti
antigen berlangsung cukup lama. Sel tersebut terletak di limpa. Aktivasi awal
sel-sel tersebut tergantung pada sifat, dosis dan seringnya paparan antigen,
umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida yang dihasilkan oleh
flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen
patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan
penurunan produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia.
b. Penyebab Dan Pencetus Alergi Makanan
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau
polipeptida dengan berat molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan
tahan ensim proteolitik. Sebagian besar alergen pada makanan adalah
glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton. Molekul-
molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik
secara langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik
misalnya pemberian panas dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas
sampai derajat tertentu. Pada pemurnian ditemukan allergen yang disebut
sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton.
Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-
masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada
pemurnian alergen pada ikan diketahui allergen- M sebagai determinan walau
jumlahnya tidak banyak. Ovomukoid ditemukan sebagai alergen utama pada
telur.
Pada susu sapi yang merupakan alergen utama adalah
Betalaktoglobulin (BLG), Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin
(BSA) dan Bovin Gama Globulin (BGG). Albumin, pseudoglobulin dan
euglobulin adalah alergen utama pada gandul. Diantaranya BLG adalah
alergen yang paling kuat sebagai penyabab alergi makanan. Protein kacang
tanah alergen yang paling utama adalah arachin dan conarachi. Beberapa
makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula,
misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa
urtikaria, kacang tanah menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik
kecil seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan
menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung
dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada
beberapa pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak
spesifik menimbulkan gejala tertentu.
Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab
alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang
menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor
pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi
virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan,
aktifitas berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa
kecemasan, sedih, stress atau ketakutan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEAMANAN PANGAN


Menurut Anwar (2004) pangan yang tidak aman dapat menyebabkan
penyakit yang disebut dengan foodborne deseases yaitu gejala penyakit yang
timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/ senyawa beracun
atau organisme patogen. Penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh pangan dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok utama yaitu infeksi dan intoksikasi. Istilah
infeksi digunakan bila setelah mengkonsumsi pangan atau minuman yang
mengandung bakteri patogen, timbul gejala-gejala penyakit. Intoksikasi adalah
keracunan yang disebabkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung
senyawa beracun.
Beberapa faktor yang menyebabkan makanan menjadi tidak aman adalah :
1. Kontaminasi.
Kontaminasi adalah masuknya zat asing ke dalam makanan yang tidak
dikehendaki atau diinginkan. Kontaminasi dikelompokkan ke dalam empat
macam yaitu :
a. Kontaminasi mikroba seperti bakteri, jamur, cendawan.
b. Kontaminasi fisik seperti rambut, debu, tanah, serangga dan kotoran
lainnya.
c. Kontaminasi kimia seperti pupuk, pestisida, mercury, arsen, cyianida dan
sebagainya.
d. Kontaminasi radiokatif seperti radiasi, sinar alfa, sinar gamma, radio aktif,
sinar cosmis dan sebagainya.
Terjadinya kontaminasi dapat dibagi dalam tiga cara yaitu :
a. Kontaminasi langsung (direct contamination) yaitu adanya bahan pemcemar
yang masuk ke dalam makanan secara langsung karena ketidaktahuan atau
kelalaian baik disengaja maupun tidak disengaja. Contoh potongan rambut
masuk ke dalam nasi, penggunaan zat pewarna kain dan sebagainya.
b. Kontaminasi silang (cross contamination) yaitu kontaminasi yang terjadi
secara tidak langsung sebagai akibat ketidaktahuan dalam pengolahan
makanan. Contohnya makanan mentah bersentuhan dengan makanan masak,
makanan bersentuhan dengan pakaian atau peralatan kotor, misalnya piring,
mangkok, pisau atau talenan.
c. Kontaminasi ulang (recontamination) yaitu kontaminasi yang terjadi
terhadap makanan yang telah di masak sempurna. Contoh nasi yang
tercemar dengan debu atau lalat karena tidak dilindungi dengan tutup.
2. Keracunan.
Keracunan adalah timbulnya gejala klinis suatu penyakit atau gangguan
kesehatan lainnya akibat mengkonsumsi makanan yang tidak hygienis.
Makanan yang menjadi penyebab keracunan umumnya telah tercemar oleh
unsur-unsur fisika, mikroba atau kimia dalam dosis yang membahayakan.
Kondisi tersebut dikarenakan pengelolaan makanan yang tidak memenuhi
persyaratan kesehatan dan atau tidak memperhatikan kaidah-kaidah hygiene
dan sanitasi makanan.
Keracunan dapat terjadi karena :
a. Bahan makanan alami yaitu makanan yang secara alam telah mengandung
racun seperti jamur beracun, ikan, buntel, ketela hijau, umbi gadung atau
umbi racun lainnya.
b. Infeksi mikroba yaitu bakteri pada makanan yang masuk ke dalam tubuh
dalam jumlah besar (infektif) dan menimbulkan penyakit seperti cholera,
diare, disentri.
c. Racun/toksin mikroba yaitu racun atau toksin yang dihasilkan oleh mikroba
dalam makanan yang masuk kedalam tubuh dalam jumlah membahayakan
(lethal dose).
d. Zat kimia yaitu bahan berbahaya dalam makanan yang masuk ke dalam
tubuh dalam jumlah membahayakan.

KONTAMINAN PANGAN
Kontaminan pangan adalah bahan atau senyawa yang secara tidak sengaja
ditambahkan, tetapi terdapat pada produk pangan. Kontaminan pangan ini bisa
masuk dan terdapat dalam produk pangan sebagai akibat dari (i) penanganan
dan/atau proses mulai dari tahap produksi (di tingkat kultivasi maupun di pabrik),
pengemasan, transportasi, penyimpanan atau pun penyiapannya; dan (ii)
pencemaran dari lingkungan (environmental contamination).
Pada umumnya kontaminan pangan ini mempunyai konsekuensi pada mutu
dan keamanan pangan; karena bisa mempunyai implikasi risiko kesehatan publik.
Terdapat tiga (3) jenis kontaminan pangan; yaitu (i) kontaminan mikrobial; (ii)
kontaminan fisika, dan (ii) kontaminan kimia. Disamping itu; akhir-akhir ini
ditengarai pula munculnya berbagai kontaminan “baru” (emerging contaminants)
yang juga perlu diperhatikan. Jika terdapat dalam jumlah yang melebih tingkat
ambangnya, keberadaan kontaminan ini bisa memberikan anacaman terhadap
kesehatan manusia.
Jenis-jenis kontaminan yang bisa menyebabkan permasalahan keamanan
pangan antara lain:
1. Kontaminan biologis
Kontaminan biologis merupakan mikroorganisme yang hidup yang
menimbulkan kontaminasi dalam makanan. Jenis mikroorganisme yang
sering menjadi pencemar bagi makanan adalah bakteri, fungi, parasit dan
virus. Faktor - faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam
pangan dapat bersifat fisik, kimia atau biologis yang meliputi :
a. Faktor intrinsik, yaitu sifat fisik, kimia dan struktur yang dimiliki oleh
bahan pangan tersebut seperti kandungan nutrisi, pH, dan senyawa
mikroba.
b. Faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan pada penanganan dan
penyimpanan bahan pangan seperti suhu, kelembaban, susunan gas di
atmosfer.
c. Faktor implisit, yaitu sifat-sifat yang dimiliki oleh mikroba itu sendiri.
d. Faktor pengolahan, yaitu terjadi karena perubahan mikroba awal akibat
pengolahan bahan pangan misalnya pemanasan, pendinginan, radiasi dan
penambahan bahan pengawet (Nurmaini, 2001).
2. Kontaminan kimiawi
Kontaminan kimiawi merupakan pencemaran atau kontaminasi pada
bahan makanan yang berasal dari berbagai macam bahan atau unsur kimia.
Berbagai jenis bahan dan unsur kimia berbahaya tersebut dapat berada dalam
makanan melalui beberapa cara, antara lain :
a. Terlarutnya lapisan alat pengolah karena digunakan untuk mengolah
makanan sehingga zat kimia dalam pelapis dapat terlarut.
b. Logam yang terakumulasi pada produk perairan.
c. Sisa antibiotik, pupuk, insektisida, pestisida atau herbisida pada tanaman
atau hewan
d. Bahan pembersih atau sanitaiser kimia pada peralatan pengolah makanan
yang tidak bersih.
3. Kontaminan fisik
Kontaminasi fisik merupakan terdapatnya benda-benda asing di dalam
makanan, padahal benda asing tersebut bukan menjadi bagian dari bahan
makanan (Purnawijayanti, 2001).
DAFTAR PUSTAKA

Baliwati, dkk, 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penerbit Penebar Swadaya,
Jakarta.

Cahyadi. W. (2009). Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi
Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

FAO dan WHO. (2002). Health Implications of Acrylamide in Food: Report of a


Joint FAO/WHO Consultation; 2002: Jun 25-27; Geneva,
Switzerland.WHO Headquarters: 12-13.

Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto, Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L.


1989. Petunjuk Analisis Laboratorium Pangan. IPB-Press, Bogor.

Purnawijayanti, H.A. (2001). Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja Dalam


Pengolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
2
MIKROBIOLOGI PANGAN

Tujuan Pembelajaran :
 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian mikrobiologi pangan
 Mahasiswa mampu menjelaskan jenis mikroorganisme pangan
 Mahasiswa mampu menjelaskan bahaya mikroorganisme pangan
 Mahasiswa mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi bahaya
mikroorganisme pangan

PENDAHULUAN
Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia,
juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan
mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang
menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun
daya simpannya.
Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat
mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkannya, sehingga
bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada
pembusukan bahan pangan.
Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk
pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit.
Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri dan TBC,
mudah tersebar melalui makanan.
DEFINISI MIKROBIOLOGI PANGAN
Mikrobiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari makhluk hidup yang
sangat kecil yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan lensa pembesar atau
mikroskop. Makhluk yang sangat kecil tersebut disebut mikroorganisme atau
mikroba, dan ilmu yang mempelajari tentang mikroba yang sering ditemukan pada
pangan disebut mikrobiologi pangan. Yang dimaksud pangan disini mencakup
semua makanan, baik bahan baku maupun pangan yang sudah diolah.
Pertumbuhan mikroba pada pangan dapat menimbulkan berbagai
perubahan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Mikroba yang
merugikan misalnya yang menyebabkan kerusakan atau kebusukan pangan, dan
yang sering menimbulkan penyakit atau keracunan pangan. Sedangkan mikroba
yang menguntungkan adalah yang berperan dalam proses fermentasi pangan,
misalnya dalam pembuatan tempe, oncom, kecap, tape dll. Oleh karena itu
dengan mengetahui sifat-sifat mukroba pada pangan kita dapat mengatur kondisi
sedemikian rupa sehingga pertumbuhan mikroba yang merugikan dapat dicegah
dan mikroba yang menguntungkan dirangsang pertumbuhannya.
Mikroba terdapat dimana-mana, misalnya dalam air, tanah, udara,
tanaman, hewan, dan manusia. Oleh karena itu ikroba dapat masuk kedalam
pangan melalui berbagai cara, misalnya melalui air yang digunakan untuk
menyiram tanaman pangan atau mencuci bahan baku pangan, terutama bila air
tersebut tercemar oleh kotoran hewan atau manusia. Mikroba juga dapat masuk
dalam pangan melalui tanah selama penanaman atau pemanenan sayuran, melalui
debu dan udara, melalui hewan dan manusia dan pencemaran selama tahap-tahap
penanganan dan pengolahan pangan. Dengan mengetahui berbagai sumber
pencemaran mikroba, kita dapat melakukan tindakan untuk mencegah masuknya
mikroba pada pangan.
Pangan yang berasal dari tanaman membawa mikroba pada permukaannya
sejak ditanam, ditambah dengan pencemaran bakteri yang berasal dari
kotoranhewan dan manusia. Termasuk diantaranya bakteri-bakteri penyebab
penyakit saluran pencernaan. Tanah merupakan sumber pencemaran bakteri-
bakteri yang berasal dari tanah, terutama bakteri pembentuk spora yang sangat
tahan terhadap keadaan kering.
Pada pangan yang berasal dari hewan, mikroba mungkin berasal dari kulit atau
bulu hewan tersebut dan dari saluran pencernaan, ditambah dengan pencemaran
dari lingkungan disekitarnya. Pangan yang berasal dari tanaman dan hewan yang
terkena penyakit dengan sendirinya juga membawa mikroba pathogen yang
menyebabkan penyakit tersebut.
Tangan manusia merupakan sumber pencemaran bakteri yang berasal dari
luka atau infeksi kulit, dan salah satu bakteri yang berasal dari tangan manusia
yaitu Staphylococcus, dapat menyebabkan keragunan pangan, Selain itu orang
yang sedang menderita atau baru sembuh dari penyakit infeksi saluran pencernaan
seperti tifus, kolera dan disentri, juga merupakan pembawa bakteri penyebab
penyakit tersebut sampai beberapa hari atau beberapa minggu setelah sembuh.
Oleh karena itu orang tersebut dapat menjadi sumber pencemaran pangan jika
ditugasi menangani atau mengolah pangan.

MIKROORGANISME PANGAN
a. Bakteri
Bakteri adalah organisme mikroskopis bersel satu yg tidak mempunyai
membran nukleus ataupun membran organel sel. Bakteri merupakan organisme
yang paling banyak jumlahnya dan lebih tersebar luas dibandingkan mahluk
hidup yang lain. Bakteri memiliki ratusan ribu spesies yang hidup di darat
hingga lautan dan pada tempat-tempat yang ekstrim. Bakteri ada yang
menguntungkan tetapi ada pula yang merugikan. Bakteri memiliki ciri-ciri
yang membedakannya dengan mahluk hidup yang lain. Bakteri adalah
organisme uniselluler dan prokariot serta umumnya tidak memiliki klorofil dan
berukuran renik (mikroskopis).
Ciri-ciri Bakteri
Bakteri memiliki ciri-ciri yang membedakannnya dengan mahluk hidup lain
yaitu :
1. Organisme uniselular (Bersel satu)
2. Prokariot (tidak memiliki membran inti sel )
3. Umumnya tidak memiliki klorofil
4. Memiliki ukuran tubuh yang bervariasi antara 0,12 s/d ratusan mikron
umumnya memiliki ukuran rata-rata 1 s/d 5 mikron.
5. Memiliki bentuk tubuh yang beraneka ragam
6. Hidup bebas atau parasit
7. Yang hidup di lingkungan ekstrim seperti pada mata air panas,kawah atau
gambut dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan
8. Yang hidupnya kosmopolit diberbagai lingkungan dinding selnya
mengandung peptidoglikan
Struktur Bakteri
Struktur bakteri terbagi menjadi dua yaitu:
1. Struktur dasar (dimiliki oleh hampir semua jenis bakteri)
Meliputi: dinding sel, membran plasma, sitoplasma, ribosom, DNA, dan
granula penyimpanan
2. Struktur tambahan (dimiliki oleh jenis bakteri tertentu)
Meliputi kapsul, flagelum, pilus, fimbria, klorosom, Vakuola gas dan
endospora

Gambar 2.1 Struktur Bakteri (Sumber: Google, 2017).


Struktur dasar bakteri :
1. Dinding sel tersusun dari peptidoglikan yaitu gabungan protein dan
polisakarida (ketebalan peptidoglikan membagi bakteri menjadi bakteri
gram positif bila peptidoglikannya tebal dan bakteri gram negatif bila
peptidoglikannya tipis).
2. Membran plasma adalah membran yang menyelubungi sitoplasma tersusun
atas lapisan fosfolipid dan protein.
3. Sitoplasma adalah cairan sel.
4. Ribosom adalah organel yang tersebar dalam sitoplasma, tersusun atas
protein dan RNA.
5. Granula penyimpanan, karena bakteri menyimpan cadangan makanan yang
dibutuhkan.
Struktur tambahan bakteri :
1. Kapsul atau lapisan lendir adalah lapisan di luar dinding sel pada jenis
bakteri tertentu, bila lapisannya tebal disebut kapsul dan bila lapisannya
tipis disebut lapisan lendir. Kapsul dan lapisan lendir tersusun atas
polisakarida dan air.
2. Flagelum atau bulu cambuk adalah struktur berbentuk batang atau spiral
yang menonjol dari dinding sel.
3. Pilus dan fimbria adalah struktur berbentuk seperti rambut halus yang
menonjol dari dinding sel, pilus mirip dengan flagelum tetapi lebih pendek,
kaku dan berdiameter lebih kecil dan tersusun dari protein dan hanya
terdapat pada bakteri gram negatif. Fimbria adalah struktur sejenis pilus
tetapi lebih pendek daripada pilus.
4. Klorosom adalah struktur yang berada tepat dibawah membran plasma dan
mengandung pigmen klorofil dan pigmen lainnya untuk proses fotosintesis.
Klorosom hanya terdapat pada bakteri yang melakukan fotosintesis.
5. Vakuola gas terdapat pada bakteri yang hidup di air dan berfotosintesis.
6. Endospora adalah bentuk istirahat (laten) dari beberapa jenis bakteri gram
positif dan terbentuk didalam sel bakteri jika kondisi tidak menguntungkan
bagi kehidupan bakteri. Endospora mengandung sedikit sitoplasma, materi
genetik, dan ribosom. Dinding endospora yang tebal tersusun atas protein
dan menyebabkan endospora tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya,
suhu tinggi dan zat kimia. Jika kondisi lingkungan menguntungkan
endospora akan tumbuh menjadi sel bakteri baru.
Bentuk Bakteri
Bentuk dasar bakteri terdiri atas bentuk bulat (kokus), batang (basil),dan spiral
(spirilia) serta terdapat bentuk antara kokus dan basil yang disebut kokobasil.
Berbagai macam bentuk bakteri :
1. Bakteri Kokus :
a. Monokokus
yaitu berupa sel bakteri kokus tunggal Diplokokus
yaitu dua sel bakteri kokus berdempetan
b. Tetrakokus yaitu empat sel bakteri kokus berdempetan berbentuk segi
empat.
c. Sarkina yaitu delapan sel bakteri kokus berdempetan membentuk kubus
d. Streptokokus yaitu lebih dari empat sel bakteri kokus berdempetan
membentuk rantai.
e. Stapilokokus yaitu lebih dari empat sel bakteri kokus berdempetan
seperti buah anggur

Gambar 2.2 Struktur Bakteri Kokus (Sumber: Google, 2017).


2. Bakteri Basil :
a. Monobasil
yaitu berupa sel bakteri basil tunggal
b. Diplobasil yaitu berupa dua sel bakteri
basil berdempetan
c. Streptobasil yaitu beberapa sel bakteri basil berdempetan membentuk
rantai

Gambar 2.3 Struktur Bakteri Basil (Sumber: Google, 2017)


3. Bakteri Spirilia :
a. Spiral yaitu bentuk sel bergelombang
b. Spiroseta yaitu bentuk sel seperti sekrup
c. Vibrio yaitu bentuk sel seperti tanda baca koma

Gambar 2.4 Struktur Bakteri Spirilia (Sumber: Google, 2017)


Alat Gerak Bakteri
Alat gerak pada bakteri berupa flagellum atau bulu cambuk adalah struktur
berbentuk batang atau spiral yang menonjol dari dinding sel. Flagellum
memungkinkan bakteri bergerak menuju kondisi lingkungan yang
menguntungkan dan menghindar dari lingkungan yang merugikan bagi
kehidupannya. Flagellum memiliki jumlah yang berbeda-beda pada bakteri dan
letak yang berbeda-beda pula yaitu:
Gambar 2.5 Bentuk Alat Gerak Bakteri (Sumber: Google, 2017)
1. Monotrik : bila hanya berjumlah satu
contoh : Pseudomonas aeroginosa
2. Lofotrik : bila banyak flagellum disatu sisi
Contoh : Pseudomonas fluorescen, Proteus mirabilis
3. Amfitrik : bila banyak flagellum dikedua ujung
Contoh : Chromobacterium, Violaceum
4. Peritrik : bila tersebar diseluruh permukaan sel bakteri
Contoh : Borrellia novyi, Proteus Vulgaris, Salmonella typhosa,
Escherichia coli.
5. Atrik : Tidak mempunyai flagel
contoh : Clostridium tetani.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri
Pertumbuhan pada bakteri mempunyai arti perbanyakan sel dan
peningkatan ukuran populasi.
Faktor–faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri atau kondisi untuk
pertumbuhan optimum adalah :
1. Suhu
2. Derajat keasaman atau pH
3. Konsentrasi garam
4. Sumber nutrisi
5. Zat-zat sisa metabolisme
6. Zat kimia
Hal tersebut diatas bervariasi menurut spesies bakterinya.
Cara Perkembangbiakan Bakteri:
Bakteri umumnya melakukan reproduksi atau berkembang biak secara
aseksual (vegetatif = tak kawin) dengan membelah diri. Pembelahan sel pada
bakteri adalah pembelahan biner yaitu setiap sel membelah menjadi dua.
Reproduksi bakteri secara seksual yaitu dengan pertukaran materi genetik
dengan bakteri lainnya. Pertukaran materi genetik disebut rekombinasi genetik
atau rekombinasi DNA. Rekombinasi genetik dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu:

1. Transformasi adalah pemindahan sedikit materi genetik, bahkan satu gen


saja dari satu sel bakteri ke sel bakteri yang lainnya.

Gambar 2.6 Bentuk sel rekombinasi genetik dengan cara transformasi


(Sumber: Google, 2017).
2. Transduksi adalah pemindahan materi genetik satu sel bakteri ke sel bakteri
lainnnya dengan perantaraan organisme yang lain yaitu bakteriofage (virus
bakteri).
Gambar 2.7 Bentuk sel rekombinasi genetik dengan cara transduksi
(Sumber: Google, 2017).
3. Konjugasi adalah pemindahan materi genetik berupa plasmid secara
langsung melalui kontak sel dengan membentuk struktur seperti jembatan
diantara dua sel bakteri yang berdekatan. Umumnya terjadi pada bakteri
gram negatif.

Gambar 2.8 Bentuk sel rekombinasi genetik dengan cara konjugasi


(Sumber: Google, 2017).
Peranan Bakteri
Dalam kehidupan manusia bakteri mempunyai peranan yang
menguntungkan maupun yang merugikan.
1. Bakteri yang menguntungkan adalah sebagai berikut :
a. Bakteri pengurai
Bakteri saprofit menguraikan tumbuhan atau hewan yang mati, serta
sisa-sisa atau kotoran organisme. Bakteri tersebut menguraikan protein,
karbohidrat dan senyawa organik lain menjadi CO2, gas amoniak, dan
senyawa-senyawa lain yang lebih sederhana. ex ; Escherichia colii
b. Bakteri nitrifikasi
Bakteri nitrifikasi adalah bakteri-bakteri tertentu yang mampu
menyusun senyawa nitrat dari amoniak yang berlangsung secara aerob
di dalam tanah. Nitrifikasi terdiri atas dua tahap yaitu:
• Oksidasi amoniak menjadi nitrit oleh bakteri nitrit. nitritasi.
• Oksidasi senyawa nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitratnitratasi.
Dalam bidang pertanian, nitrifikasi sangat menguntungkan karena
menghasilkan senyawa yang diperlukan oleh tanaman yaitu nitrat.
Tetapi sebaliknya di dalam air yang disediakan untuk sumber air
minum, nitrat yang berlebihan tidak baik karena akan menyebabkan
pertumbuhan ganggang di permukaan air menjadi berlimpah.
c. Bakteri nitrogen
Bakteri nitrogen adalah bakteri yang mampu mengikat nitrogen bebas
dari udara dan mengubahnya menjadi suatu senyawa yang dapat diserap
oleh tumbuhan. Karena kemampuannya mengikat nitrogen di udara,
bakteri-bakteri tersebut berpengaruh terhadap nilai ekonomi tanah
pertanian. Bakteri nitrogen yang hidup bebas yaitu Azotobacter
chroococcum, Clostridium pasteurianum, dan Rhodospirillum rubrum.
Bakteri nitrogen yang hidup bersimbiosis dengan tanaman polong-
polongan yaitu Rhizobium leguminosarum, yang hidup dalam akar
membentuk nodul atau bintil-bintil akar. Tumbuhan yang bersimbiosis
dengan Rhizobium banyak digunakan sebagai pupuk hijau seperti
Crotalaria, Tephrosia, dan Indigofera. Akar tanaman polong-polongan
tersebut menyediakan karbohidrat dan senyawa lain bagi bakteri
melalui kemampuannya mengikat nitrogen bagi akar.
d. Bakteri usus
Bakteri Entamoeba coli hidup di kolon (usus besar) manusia, berfungsi
membantu membusukkan sisa pencernaan juga menghasilkan vitamin
B12, dan vitamin K yang penting dalam proses pembekuan darah.
Dalam organ pencernaan berbagai hewan ternak dan kuda, bakteri
anaerobik membantu mencernakan selulosa rumput menjadi zat yang
lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh dinding usus.
e. Bakteri fermentasi
Beberapa makanan hasil fermentasi dan mikroorganisme yang
berperan:
Tabel 2.1 Daftar Nama Produk, Bahan Baku dan Bakteri yang Berperan
Dalam Fermentasi Makanan

Nama produk atau Bakteri yang


No. Bahan baku
makanan berperan
Lactobacillus
bulgaricus dan
1. Yoghurt Susu
Streptococcus
thermophilus
Streptococcus
2. Mentega Susu
lactis
3. Terasi Ikan Lactobacillus sp.
4. Asinan buah-buahan buah-buahan Lactobacillus sp.
Pediococcus
5. Sosis Daging
cerevisiae
Lactobacillus
bulgaricus dan
6. Kefin Susu
Srteptococcus
lactis

f. Bakteri penghasil antibiotik


Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan
mempunyai daya hambat terhadap kegiatan mikroorganisme lain.
Beberapa bakteri yang menghasilkan antibiotik adalah:
- Bacillus brevis, menghasilkan terotrisin
- Bacillus subtilis, menghasilkan basitrasin
- Bacillus polymyxa, menghasilkan polimixin
2. Bakteri yang merugikan
1. Bakteri perusak makanan
Beberapa spesies pengurai tumbuh di dalam makanan. Mereka
mengubah makanan dan mengeluarkan hasil metabolisme yang berupa
toksin (racun). Racun tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia. Ada
dua intoksikasi pangan utama yang disebabkan oleh bakteri yaitu (1)
botulisme, toksin yang disebabkan oleh Clostridum Botulinum; (2)
Intoksikasi stapilokoki, toksin yang disebabkan oleh Staphylococcus
Aureus. Berikut tabel intoksikasi dan infeksi yang ditimbulkan oleh
bakteri.
Tabel 2.2 Jenis Intoksikasi dan Infeksi yang Ditimbulkan oleh Bakteri
Intoksikasi Infeksi
1. Intoksikasi Stapilokoki 1. Salmonellosis; enterotoksin
(enterotoksin Stapilokoki dan sitotoksin dari
diproduksi oleh Salmonella spp.
Staphylococcus Aureus) 2. Clostridium Perfringens;
2. Botulism (neurotoksin enterotoksin diproduksi
diproduksi oleh Clostridium selama sporulasi C.
Botulinum). Perfringens tipe A di dalam
saluran pencernaan.
3. Bacillus Cereus; enterotksin
diproduksi selama sel lisis di
dalam saluran pencernaan.

Infeksi pangan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: (1) Infeksi


di mana makanan tidak menunjang pertumbuhan patogen tersebut,
misalnya patogen penyebab tuberkulosis (Mycobacterium bovis dan M.
Tuberculosis) brucellosis (Brucela aortus, b. melitensis), diprteri
(Corynebacterium diptheriae), disentri oleh Campylobacter, demam
tifus,kolera , hepatitis, dan lain-lain; dan (2) Infeksi dimana makanan
berfungsi sebagai medium kultur untuk pertumbuhan patogen
hingga mencapai jumah yang memadai untuk menimbulkan
infeksi bagi pengkomsumsi makanan tersebut; infeksi ini
mencakup Salmonela spp, Listeria, vibrio parahaemolyticus,
dan Escherichia coli enteropatogenik. Penularan infeksi jenis
kedua ini lebih mewabah dari pada jenis-jenis gangguan perut yang
lain. Gejala- gejala yang disebabkan infeksi mulai terlihat setelah
setelah 12-24 jam dan ditandai dengan sakit perut bagian bawah
(abdominal pains), pusing, diare, muntah-muntah, demam dan sakit
kepala.
2. Bakteri denitrifikasi
Jika oksigen dalam tanah kurang maka akan berlangsung denitrifikasi,
yaitu nitrat direduksi sehingga terbentuk nitrit dan akhirnya menjadi
amoniak yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Contoh bakteri
yang menyebabkan denitrifikasi adalah Micrococcus denitrificans dan
Pseudomonas denitrificans.
3. Bakteri pathogen
Merupakan kelompok bakteri parasit yang menimbulkan penyakit pada
manusia, hewan dan tumbuhan.
Tabel 2.3 Bakteri penyebab penyakit pada manusia

No. Nama bakteri Penyakit yang ditimbulkan

1. Salmonella typhosa Tifus


2. Shigella dysenteriae Disentri basiler
3. Vibrio comma Kolera
4. Haemophilus influenza Influensa
5. Diplococcus pneumoniae Pneumonia (radang paru-paru)
6. Mycobacterium tuberculosis TBC paru-paru
7. Clostridium tetani Tetanus
8. Neiseria meningitis Meningitis (radang selaput otak)
9. Neiseria gonorrhoeae Gonorrhaeae (kencing nanah)

Tabel 2.4 Bakteri penyebab penyakit pada hewan

No. Nama bakteri Penyakit yang ditimbulkan


1. Brucella abortus Brucellosis pada sapi
2. Streptococcus agalactia Mastitis pada sapi (radang payudara)
3. Bacillus anthracis Antraks
4. Actinomyces bovis Bengkak rahang pada sapi
5. Cytophaga columnaris Penyakit pada ikan
Tabel 2.5 Bakteri penyebab penyakit pada tumbuhan

No. Nama bakteri Penyakit yang ditimbulkan


1. Xanthomonas oryzae Menyerang pucuk batang padi
2. Xanthomonas campestris Menyerang tanaman kubis
Penyakit layu pada famili terung-
3. Pseudomonas solanacaerum
terungan

4. Erwinia amylovora Penyakit bonyok pada buah-buahan

b. Non-bakteri
1. Kapang
Selain oleh bakteri, kapang juga dapat menimbulkan penyakit yang
dibedakan atas dua golongan yaitu (1) infeksi oleh fungi yang disebut
mikosis dan (2) keracunan yang disebabkan oleh tertelannya
metabolik beracun dari fungi atau mikotoksikosis. Mikotoksikosis
biasanya tersebar melalui makanan, sedangkan mikosis tidak melalui
makanan tetapi melalui kulit atau lapisan epidermis,rambut dan kuku akibat
sentuhan, pakaian, atau terbawa angin.
Senyawa beracun yang dihasilkan fungi disebut mikotoksin. Toksin
ini dapat menimbulkan gejala sakit yang kadang-kadang fatal. Beberapa
diantaranya bersifat karsinogen. Beberapa mikotoksin bersifat
halusinogenik, misalnya asam lisergat. Beberapa contoh mikotoksin
disampaikan pada tabel berikut.
Tabel 2.6 Mikotoksin yang Sering Mengkontaminasi Makanan
Mikotoksin Kapang Penyakit yang Bahan pangan
penghasil disebabkan yang sering
terkontaminasi
Alfatoksin Aspergillus Kegagalan Kacang-
flavus, fungsi hati, kacangan dan
A.parasiticu kanker hati jagung
Asam Fenisilat Penicillium Pembentukan Jagung, barley
Cyclopium, P. tumor, ginjal dan kacang-
mar- Tensi kacangan
Ergotoksin Claviceps Kerusakan hati serealia
purpurea
Okratoksin A A. Kerusakan hati Jagung dan
ochraceus, kacang-
A. Mellus, kacangan
A. sul-
Phureus
Patulin A. Kerusakan hati Apel dan
clavatus, dan kanker hati produknya
P. Patulu (cider dan
saus)
Alimentary Toxic Cladosporium Kerusakan hati Biji-bijian
Aleukia spp., Penicilium
(ATA) Fusarium,
Mucor,
Alternaria
Sterigmatosistin A. regulosus, A. Sirosis hati, Gandum, oat
Nidulans kanker hati
Zearalenon Gibberella Kerusakan hati Jagung dan
zeae serealia
(Fusarium gra-
minearum)
Luteoskyrin P. islandicum Nekrosis hati, Tepung beras
kanker hati

2. Virus
Virus adalah mikroorganisme ultramikroskopik dan dapat lolos filter 0,22
µm. Virus berkembang biak hanya pada inang yang sesuai dan tidak dapat
tumbuh diluar inang. Beberapa virus dapat m en yebabkan
gangguan pencernaan dan ciri -ciri n ya hampir sama dengan yang
ditimbulkan oleh bakteri. Sebagian virus juga dapat menginfeksi
tanpa adanya simptom sampai virus tersebut menyerang jaringan sel
yang lain, misalnya jaringan saraf, melalui aliran darah. Transmisi virus
yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dapat melalui aerosol atau
kontak langsung degan orang yang terinfeksi. Enterovirus diketahui
menyebar melalui rute fekal-oral, sedangkan virus polio (dapat
menyebabkan gangguan pencernaan, demam dan kelumpuhan)
menyebar melalui rute fekal-oral sedangkan virus hepatitis B menyebar
melalui kontak langsung dan transfusi darah. Rotavirus juga merupakan
virus yang penting dan secara sporadis dapat menyebabkan diare
akut, demam dan seing kali muntah-muntah. Virus ini telah
dilaporkan dapat menyebar melalui air.
3. Ricketsia
Rickettsiae adalah bakteri yang berukuran kecil dan tidak pernah
berhasil dikultivasi pada medium sintetik. Rickettsia berbeda
dengan virus karena mikroorganisme ini mempunyai DNA dan RNA
mempunyai beberapa struktur yang dimiliki bakteri. Coxiella
burnetii, penyebab demam Q, ditimbulkan oleh mikroorganisme
ini adalah sakit kepala dan demam. Penularannya melalui susu dari sapi
yang terinfeksi. C. burnetii telah dilaporkan relatif tahan panas dan
dapat membentuk spora, sehingga kemungkinan bisa terdapat pada susu
pasteurisasi jika susu tersebut berasal dari sapi yang terinfeksi.
4. Prion
Prion menyebabkan penyakit degeneratif pada sistem syaraf pusat pada
hewan dan manusia. Penyakit Scrapie pada kambing merupakan penyakit
yang ditimbulkan oleh prion. Penyakit yang sama juga telah ditemukan
pada sapi, Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE). Prion tersebar
melalui pakan dan penularan terhadap manusia kini mendapat
perhatian yang serius. Prion sangat resisten terhadap panas, lebih
tahan daripada spora bakteri dan merupakan bentuk protein yang
abnormal dari inang. Pencegahan penularan melalui pencegahan
pemberian pakan dari bahan-bahan yang terinfeksi dan pencegahan
komsumsi daging dan bagian-bagian hewan yang terinfeksi.
5. Protozoa dan parasit
Giardia, Cryptosporidium, Balantidium, Entamoeba dan protozoa lainnya
serta parasit seperti cacing pita, dapat menginfeksi melali air dan
makanan. Beberapa spesies dapat bertahan pada lingkungan untuk
beberapa minggu dan dapat klorinasi. Gejala-gejala yang ditimbulkan
dapat sama dengan gejala gangguan perut yang ditimbulkan oleh
bakteri dan penularannya melalui rute fekal.
Tabel 2.7 Makanan yang dapat terinfeksi oleh Virus, Protozoa dan Parasit
beserta pencegahannya.
Organisme Makanan Waktu Gejala Pencegahan
yang dapat inkubasi penyakit
terinfeksi
Poliomyelitis Susu, 5-35 hari Demam, Kebersihan
minuman dan muntah, individu,
makanan sakit kecukupan
olahan kepala, panas
nyeri otot makanan
dan olahan,
lumpuh desentifeksi
air,
pencegahan
kontak
makanan
dengan lalat
Virus Hepatitis Susu dan 10-50 Kulit Pemasakan
minuman, hari kuning, kerang-
kerang- (rata-rata gangguan kerangan,
kerangan 25 hari) pencernaan kecukupan
mentah dan dan panas
salad kehilangan makanan
nafsu olahan, susu,
makan perebusan air
atau desinfeksi
air, dan
kebersihan
individu
Entamoeba Air yang Beberap Diare Perlindungan
Histolytica terkontaminas a hari-4 suplai air,
(disentri amoeba) i limbah, minggu sanitasi
makanan selama
basah yang pengolahan,
terkontaminas jamban yang
i feses memadai
Taenia saginata Daging sapi Beberap Sakit perut Penyembeliha
(cacing pita) mentah atau a bagian n sapi dan
setengah minggu bawah, penyediaan
matang yang perasaan daging sapi di
mengandung lapar dan bawah
larva lelah pengawasan
dinas
kesehatan,
daging
dimasak
matang
Diphyllobothriu Ikan mentah 2-6 Gejala Ikan dimasak
m latum (cacing atau setengah minggu awal tidak sampai
pita) matang yang ada, tetapi matang dan
mengandung penderita hindari
larva lanjut konsumsi ikan
mengalami asap mentah
anemia
Taenia solium Daging babi Beberap Gangguan Daging babi
mentah atau a pencernaan dimasak
setengah minggu , matang
matang yang encephaliti
mengandung s dan bisa
larva fatal

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIKROBA PANGAN

Pertumbuhan mikroba pada pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan


setiap mikroba membutuhkan kondisi pertumbuhan yang berbeda. Pada kondisi
yang optimum untuk masing-masing mikroba, bakteri akan tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan kapang dan khamir. Hal ini disebabkan bakteri mempunyai
struktur sel yang lebih sederhana, sehingga kabanyakan bakteri hanya
membutuhkan waktu 20 menit untuk membelah diri. Struktur sel kapang dan
khamir lebih kompleks daripada bakteri dan membutuhkan waktu lebih lama
untuk membentuk sel baru, yaitu sekitar 2 jam atau lebih.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada pangan dibedakan atas
dua kelompok, yaitu :
1. Karakteristik pangan yang meliputi aktivitas air (aw), nilai pH (keasaman),
kandungan zat gizi dan keberadan senyawa antimikroba
2. Kondisi lingkungan yang terdiri dari suhu, keberadaan oksigen dan
kelembaban
a. Aktivitas Air
Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air didalam pangan yang dapat
digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw pangan dapat
dihitung dengan membagi tekanan uap air pangan dengan tekanan uap air
murni. Jadi air murni mempunyai nilai aw sama dengan 1. Nilai aw secara
praktis dapat diperoleh dengan membagi %RH pada saat pangan mengalami
keseimbangan kadar air dibagi dengan 100. Sebagai contoh, jika suatu jenis
pangan mempunyai aw = 0.70, maka pangan tersebut mempunyai
keseimbangan kadar air pada RH 70%, atau dengan kata lain pada RH 70%
kadar air pangan tetap (yang menguap = yang terserap).
Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk
pertumbuhannya. Dibawah aw minimal tersebut mikroba tidak dapat tumbu
atau berkembang biak. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengawetkan
pangan adalah dengan menurunkan a+w+ bahan tersebut. Beberapa cara
pengawetan pangan yang menggunakan prinsip penurunan aw bahan misalnya
pengeringan dan penambahan bahan pengikat air seperti gula, garam, pati serta
gliserol.
Kebutuhan aw untuk pertumbuhan mikroba umumnya adalah sebagai berikut :
 Bakteri pada umumnya membutuhkan aw sekitar 0,91 atau lebih untuk
pertumbuhannya. Akan tetapi beberapa bakteri tertentu dapat tumbuh pada
aw 0,75
 Kebanyakan khamir tumbuh pada aw sekitar 0,88 dan beberapa dapat
tumbuh pada aw sampai 0,6
 Kebanyakan kapang tumbuh pada aw 0,8
Bahan pangan yang belum diolah seperti ikan, daging, telur mempunyai a w
diatas 0,95, oleh karena itu mikroba yang dominan tumbuh dan menyebabkan
kebusukan adala bakteri. Bahan pangan kering seperti biji-bijian dan kacang-
kacangan kering, tepung dan buah-buahan kering pada umumnya lebih awet
karena nilai aw nya 0,60 – 0,85, yaitu cukup rendah untuk menghambat
pertumbuhan mikroba. Pada bahan kering semacam ini mikroba perusak yang
sering tumbuh terutama adalah kapang.
Konsentrasi garam dan gula yang tinggi dapat mengikat air dan
menurunkan aw sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Pangan yang
mengandung kadar garam dan atau gula yang tinggi seperti ikan asin,
dendeng, madu, kecap, sirup dan permen biasanya mempunyai aw dibawah
0,60 dan sangat tahan terhadap kerusakan oleh ikroba. Pangan semacam ini
dapat disimpan pada suhu kamar dalam waktu yang lama tanpa mengalami
kerusakan.
b. Nilai pH
Kebanyakan mikroba tumbuh baik pada pH sekitar netral dan pH 4,6 – 7,0
merupakan kondisi optimum untuk pertumbuhan bakteri, sedangkan kapang
dan khamir tumbuh pada pH yang lebih rendah. Pengelompokan pangan
berdasarkan nilai pH-nya adalah sebagai berikut :
 Pangan berasam rendah, adalah pangan yang mempunyai nilai pH 4,6 atau
lebih, misalnya daging, ikan, susu, telur dan kebanyakan sayuran.pangan
semacam ini harus mendapatkan perlakuan pengawetan secara hati-hati
karena mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk bakteri
pathogen yang berbahaya.
 Pangan asam, adalah pangan yang mmpunyai pH 3,7 – 4,5, misalnya
beberapa sayuran dan buah-buahan
 Pangan berasam tinggi, adalah pangan yang mempunyai pH dibawah 3,7
misalnya sayur asin, acar, dll.
Penurunan pH merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk
mencegah kebanyakan mikroba. Prinsip ini dapat dilakukan dengan cara
menambahkan asam kedalam pangan seperti dalam pembuatan acar atau
asinan. Cara lain adalah fermentasi agar terbentuk asam oleh mikroba seperti
dalam pembuatan sayur asin.
c. Kandungan Gizi
Seperti halnya makhluk hidup lainnya, mikroba membutuhkan zat gizi untuk
pertumbuhannya. Bahan pangan pada umumnya mengandung berbagai zat gizi
yang baik untuk pertumbuhan mikroba, yaitu protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, dan mineral. Ada beberapa bahan pangan yang selain kandungan
gizinya sangat baik, juga kondisi lingkungannya mendukung, termasuk nilai
aw dan pH-nya sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Contoh bahan pangan
seperti ini adalah bahan yang mengandung protein tinggi, mempunyai pH
sekitar netral dan mempunyaio aw di atas 0.95, misalnya daging, susu, telur
dan ikan. Karena kondisinya yang optimum untuk pertumbuhan mikroba,
maka pada bahan-bahan pangan seperti itu bakteri akan tumbuh dengan cepat
sehingga bahan pangan menjadi mudah rusak dan busuk.
d. Senyawa Anti Mikroba
Pertumbuhan mikroba pada pangan juga dipengaruhi oleh adanya bahan
pengawet yang terkandung didalamnya, yaitu senyawa yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba. Bahan pengawet atau senyawa
antimikroba pada pangan dibedakan atas tiga golongan berdasarkan
sumbernya, yaitu :
1. Senyawa antimikroba yang terdapat secara alami didalam bahan pangan,
misalnya asam pada buah-buahan, dan beberapa senyawa pada rempah-
rempah
2. Bahan pengawet yang ditambahkan dengan sengaja kedalam bahan pangan
atau pangan olahan, misalnya :
 Nitrit untuk menghambat bakteri pada kornet sapid an sosis
 Garam natrium klorida untuk menghambat mikroba pada ikan asin
 Asam benzoate untuk menghambat kapang dan khamir pada selai dan
sari buah
 Asam cuka (asam asetat) untuk menghambat mikroba pada asinan
 Asam propionate untuk menghambat kapang pada roti dan keju
 Sulfit untuk menghambat kapang dan khamir pada buah-buahan kering
dan anggur
 Sulfur dioksida untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada anggur,
bird an jus buah-buahan.
3. Senyawa antimikroba yang terbentuk oleh mikroba selama proses
fermentasi pangan. Asam laktat dan hydrogen peroksida (H2O2) dan
bakteriosin adalah senyawa antimikroba yang dibentuk oleh bakteri asam
laktat selama pembuatan produk-produk susu fermentasi seperi yogurt,
yakult, dll.
e. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroba. Setiap mikroba mempunyai kisaran suhu dan suhu
optimum tertentu untuk pertumbuhannya. Berdasarkan kisaran suhu
pertumbuhan, mikroba dibedakan atas tiga kelompok sbb :
 Psikrofil, yaitu mikroba yang mempunyai kisaran pertumbuhan pada suhu 0
– 20o C
 Mesofil, yaitu mikroba yang mempunyai kisaran suhu pertumbuhan 20 –
450 C
 Termofil, yaitu mikroba yang mempunyai suhu pertumbuhannya diatas 45 0
C
Kebanyakan mikroba perusak pangan merupakan mikroba mesofil, yaitu
tumbuh baik pada suhu ruangan atau suhu kamar. Bakteri pathogen umumnya
mempunyai suhu optimum pertumbuhan sekitar 370 C, yang juga adalah suhu
tubuh manusia. Oleh karena itu suhu tubuh manusia merupakan suhu yang baik
untuk pertumbuhan beberapa bakteri pathogen.
Mikroba perusak dan pathogen umumnya dapat tumbuh pada kisaran suhu
4 – 660 C. Oleh karena kisaran suhu tersebut merupakan suhu yang kritis untuk
penyimpanan pangan, maka pangan tidak boleh disimpan terlalu lama pada
kisaran suhu tersebut. Pangan harus disimpan pada suhu dibawah 40 C atau
diatas 660 C. Pada suhu dibawah 40 C, mikroba tidak akan mati tetapi
kebanyakan mikroba akan terhambat pertumbuhannya, kecuali mikroba yang
tergolong psikrofil. Pada suhu diatas 660 C, kebanyakan mikroba juga
terhambat pertumbuhannya meskipun beberapa bakteri yang tergolong termofil
mungkin tidak mati.
f. Oksigen
Mikroba mempunyai kebutuhan oksigen yang berbeda-beda untuk
pertumbuhannya. Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, mikroba dibedakan
atas 4 kelompok sbb:
 Aerob, yaitu mikroba yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya
 Anaerob, yaitu mikroba yang tumbuh tanpa membutuhkan oksigen
 Anaerob fakultatif, yaitu mikroba yang dapat tumbuh dengan atau tanpa
adanya oksigen
 Mikroaerofil, yaitu mikroba yang membutuhkan oksigen pada konsentrasi
yang lebih rendah daripada konsentrasi oksigen yang normal di udara.
Mikroba perusak pangan sebagian besar tergolong aerob, yaitu
membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, kecuali bakteri yang dapat
tumbuh pada saluran pencernaan manusia yang tergolong anaerob fakultatif,
dan beberapa bakteri yang tergolong anaerob yang sering menyebabkan
kerusakan pada makanan kaleng. Karena kebanyakan mikroba perusak
tergolong tergolong aerob maka dengan pengemasan pangan secara vakum,
yaitu pengemasan dengan menghilangkan udara dari dalam kemasan, sebagian
besar mikroba perusak tidak dapat tumbuh. Kerusakan pada pangan yang
dikemas secara vakum terutama makanan kaleng.
g. Kelembaban
Pangan yang didimpan didalam ruangan lembab (RH tinggi) akan mudah
menyerap air sehingga nilai aktivitas air (aw) meningkat. Kenaikan aw akan
mengakibatkan mikroba mudah tumbuh dan menyebabkan kerusakan pangan.
Sebaliknya pangan yang disimpan didalam ruangan yang mempunyai RH
rendah akan kehilangan air sehingga menjadi kering pada permukaannya. Oleh
karena itu salah satu cara penyimpanan yang baik, terutama untuk produk-
produk kering (aw rendah), adalah dengan menyimpan didalam ruangan yang
kering (RH rendah) atau membungkusnya dalam kemasan yang kedap uap air.

BAHAYA MIKROORGANISME PANGAN


Potensi bahaya adalah suatu bahan biologis, kimia, atau fisik yang dapat
menyebabkan sakit atau cidera jika tidak ada pengendalian terhadapnya
Potensi bahaya tidak termasuk pemalsuan dan pelanggaran peraturan,
serangga, rambut atau cemaran lain yang mudah terlihat. (Utami, 2006).
Beberapa Mikroorganisme menguntungkan dan sangat dibutuhkan. Namun
patogen atau mikroorganisme penyebab penyakit perlu diwaspadai. Contoh
produk samping mikroorganisme yang dipakai industri : yeast penting untuk
pembuatan roti dan minuman beralkohol, bakteri asam laktat penting untuk
yogurt, keju, fermentasi daging. Adapun potensi bahaya mikrobiologi berupa
bakteri, virus, dan protozoa. Potensi bahaya bakteri berupa infeksi makanan
dan intoksikasi makanan (Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin
penyebab diare, Vibrio cholerae menyebabkan kolera). Potensi bahaya virus
yaitu virus hepatitis, dan Norwalk virus. Potensi bahaya protozoa dalah perannya
sebagai parasit dalam makanan yang menginfeksi makanan melalui konsumsi
makanan (misal cacing). Gambar 1 menunjukkan sumber pencemaran mikroba
pada pangan. Mikroba dapat berasal dari bahan baku, pekerja yang mengolah
makanan, peralatan pangan, hewan dan burung, serangga, tikus, sampah, tanah,
udara (debu), dan air.

Gambar 2.8 Sumber pencemaran mikroba pada pangan


(http://www.google.image, 2017).
Pangan tidak aman dari bahaya mikrobiologis karena bahan baku tidak
aman (ikan dan hasil laut dari perairan tercemar, sayur dan buah dari
lingkungan tercemar); terjadi kontaminasi silang (dari pangan mentah,
peralatan tidak saniter, atau pekerja ke pangan matang); jarak waktu dari
persiapan pangan sampai konsumsi terlalu lama (> 6 jam) sehingga
mikroorganisme mampu tumbuh dan berkembang biak. Terdapat tiga faktor
kunci yang umumnya menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan
pangan akibat bakteri, yaitu kontaminasi – bakteri patogen harus ada dalam
pangan; pertumbuhan – dalam beberapa kasus, bakteri patogen harus memiliki
kesempatan untuk berkembang biak dalam pangan untuk menghasilkan toksin
atau dosis infeksi yang cukup untuk menimbulkan penyakit; daya hidup
(survival) – jika berada pada kadar yang membahayakan, bakteri patogen
harus dapat bertahan hidup dalam pangan selama penyimpanan dan
pengolahannya.
Gejala Keracunan Pangan dan Penatalaksanaannya
Gejala keracunan bergantung pada tipe pencemar dan jumlah yang
tertelan. Gejala keracunan pangan yang tercemar bakteri patogen biasanya
dimulai 2-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang tercemar. Namun,
waktunya bisa lebih panjang (setelah beberapa hari) atau lebih pendek, tergantung
pada cemaran pada pangan. Gejala yang mungkin timbul antara lain mual dan
muntah; kram perut; diare (dapat disertai darah); demam dan menggigil; rasa
lemah dan lelah; serta sakit kepala.
Untuk keracunan pangan yang umum, biasanya korban akan pulih setelah
beberapa hari. Namun demikian ada beberapa kasus keracunan pangan yang
cukup berbahaya. Korban keracunan yang mengalami muntah dan diare yang
berlangsung kurang dari 24 jam biasanya dapat dirawat di rumah saja. Hal
penting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi dengan
cara segera memberikan air minum pada korban untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang karena muntah dan diare. Pada korban yang masih mengalami
mual dan muntah sebaiknya tidak diberikan makanan padat. Alkohol,
minuman berkafein, dan minuman yang mengandung gula juga sebaiknya
dihindarkan.
Untuk penanganan lebih lanjut, sebaiknya segera bawa korban ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat. Korban keracunan yang mengalami
diare dan tidak dapat minum (misalnya karena mual dan muntah) akan
memerlukan cairan yang yang diberikan melalui intravena.
Pada penanganan keracunan pangan jarang diperlukan antibiotika.
Pada beberapa kasus, pemberian antibiotika dapat memperburuk keadaan. Jika
korban keracunan pangan adalah bayi, anak kecil, orang lanjut usia, wanita hamil,
dan orang yang mengalami gangguan sistem pertahanan tubuh (imun) maka
perlu segera dibawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk
mendapatkan pertolongan.
Pencegahan Keracunan Pangan
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya keracunan pangan
akibat bakteri patogen adalah:
1. Mencuci tangan sebelum dan setelah menangani atau mengolah pangan.
2. Mencuci tangan setelah menggunakan toilet.
3. Mencuci dan membersihkan peralatan masak serta perlengkapan makan
sebelum dan setelah digunakan.
4. Menjaga area dapur/tempat mengolah pangan dari serangga dan hewan
lainnya.
5. Tidak meletakan pangan matang pada wadah yang sama dengan bahan
pangan mentah untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang.
6. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah kadaluarsa atau pangan dalam kaleng
yang kalengnya telah rusak atau menggembung.
7. Tidak mengkonsumsi pangan yang telah berbau dan rasanya tidak enak.
8. Tidak memberikan madu pada anak yang berusia di bawah satu tahun
untuk mencegah terjadinya keracunan akibat toksin dari bakteri Clostridium
botulinum.
9. Mengkonsumsi air yang telah dididihkan.
10. Memasak pangan sampai matang sempurna agar sebagian besar bakteri dapat
terbunuh. Proses pemanasan harus dilakukan sampai suhu di bagian pusat

pangan mencapai suhu aman (> 700C) selama minimal 20 menit.


11. Menyimpan segera semua pangan yang cepat rusak dalam lemari pendingin

(sebaiknya suhu penyimpanan di bawah 50C).


12. Tidak membiarkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam, karena
mikroba dapat berkembang biak dengan cepat pada suhu ruang.

13. Mempertahankan suhu pangan matang lebih dari 600C sebelum disajikan.
Dengan menjaga suhu di bawah 50C atau di atas 600C, pertumbuhan mikroba
akan lebih lambat atau terhenti.
14. Menyimpan produk pangan yang harus disimpan dingin, seperti susu
pasteurisasi, keju, sosis, dan sari buah dalam lemari pendingin.
15. Menyimpan produk pangan olahan beku, seperti nugget, es krim, ayam
goreng tepung beku, dll dalam freezer.
16. Menyimpan pangan yang tidak habis dimakan dalam lemari pendingin. q.
Tidak membiarkan pangan beku mencair pada suhu ruang.
17. Membersihkan dan mencuci buah-buahan serta sayuran sebelum
digunakan, terutama yang dikonsumsi mentah.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, dkk. 2008. Sanitasi Makanan dan Minuman Pada Instalasi Tenaga
Sanitasi. Jakarta
Baliwati, Y.F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Brown P, McShane LM, Zanusso G, Detwile L. 2006. On the question of sporadic


or atypical bovine spongiforme encephalopathy and Creuzfeldt-Kajob disease.
Emerg Infect Dis 12 (12): 1816-1821.

Center for Disease Control and Prevention. 2009. Campylobacter jejuni infection
associated with unpasteurized milk and cheese-Kansas, 2007. MMWR 57(51):
1377-1379.

Depkes RI. 1992. Protop Juhloh dan Juknis Pengaman Makanan KTT Non Blok
ke-10, Ditjen PPMdan PLP Jakarta.

Donlan RM. 2002. Biofilms: Microbial Life On Surface. Emerg Infect Dis 8 (9):
881-890.
Fenicia L, Annibali F. 2009. Infant Botulism. Ann Ist Super Sanita 45(2): 134-
146.
Knechtges Paul, 2015. Keamanan Pangan Teori dan Praktek. Penerbit EGC.
Jakarta.

Utami, A. 2006. Kontaminasi Bakteri E. coli pada Peralatan Makanan Di


Beberapa Penjual Makanan Dan Minuman Di Kampus UI Depok, Skripsi,
Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Depok.
3
FOOD QUALITY

Tujuan Pembelajaran :
 Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian food quality
 Mahasiswa mampu menjelaskan kerusakan pangan
 Mahasiswa mampu menjelaskan kualitas pangan organik dan olahan
 Mahasiswa mampu menjelaskan Genetically Modified Organism

PENDAHULUAN
Kualitas tidak hanya terdapat pada barang atau jasa saja, tetapi juga
termasuk dalam produk makanan. Menurut Kotler dan Armstrong (2012) kualitas
produk adalah karakteristik dari produk atau jasa yang pada kemampuannya
menanggung janji atau sisipan untuk memuaskan kebutuhan pelanggan. Kualitas
produk makanan memiliki pengaruh terhadap kepuasan pelanggan, sehingga
akan lebih baik bila dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas produk
makanan sebagai dasar strategi pemasaran.

DEFINISI FOOD QUALITY


Food quality atau kualitas makanan merupakan peranan penting dalam
pemutusan pembelian konsumen, sehingga dapat diketahui bila kualitas
makanan meningkat, maka keputusan pembelian akan meningkat juga
(Margareta dan Edwin, 2012).
Menurut West, Wood dan Harger, Gaman dan Sherrington serta Jones
dalam Margaretha dan Edwin (2012, 1) secara garis besar faktor-faktor yang
mempengaruhi food quality adalah sebagai berikut:
a. Warna
Warna dari bahan-bahan makanan harus dikombinasikan sedemikian rupa
supaya tidak terlihat pucat atau warnanya tidak serasi. Kombinasi warna
sangat membantu dalam selera makan konsumen.
b. Penampilan
Ungkapan looks good enough to eat bukanlah suatu ungkapan

berlebihan.Makanan harus baik dilihat saat berada di piring, di mana hal


tersebut adalah suatu faktor yang penting. Kesegaran dan kebersihan dari
makanan yang disajikan adalah contoh penting yang akan mempengaruhi
penampilan makanan baik atau tidak untuk dinikmati.
c. Porsi
Dalam setiap penyajian makanan sudah ditentukan porsi standarnya yang
disebut standard portion size.
d. Bentuk
Bentuk makanan memainkan peranan penting dalam daya tarik mata.
Bentuk makanan yang menarik bisa diperoleh lewat cara pemotongan
bahan makanan yang bervariasi, misalnya wortel yang dipotong dengan
bentuk dice atau biasa disebut dengan potongan dadu digabungkan dengan
selada yang dipotong chiffonade yang merupakan potongan yang tidak
beraturan pada sayuran.
e. Temperatur
Konsumen menyukai variasi temperatur yang didapatkan dari makanan
satu dengan lainnya. Temperatur juga bisa mempengaruhi rasa, misalnya
rasa manis pada sebuah makanan akan lebih terasa saat makanan tersebut
masih hangat, sementara rasa asin pada sup akan kurang terasa pada saat
sup masih panas.
f. Tekstur
Ada banyak tekstur makanan antara lain halus atau tidak, cair atau padat, keras
atau lembut, kering atau lembab. Tingkat tipis dan halus serta bentuk makanan
dapat dirasakan lewat tekanan dan gerakan dari reseptor di mulut.
g. Aroma
Aroma adalah reaksi dari makanan yang akan mempengaruhi konsumen
sebelum konsumen menikmati makanan, konsumen dapat mencium
makanan tersebut.
h. Tingkat kematangan
Tingkat kematangan makanan akan mempengaruhi tekstur dari makanan.
Misalnya wortel yang direbus cukup akan menjadi lunak daripada wortel yang
direbus lebih cepat. Untuk makanan tertentu seperti steak setiap orang
memiliki selera sendiri-sendiri tentang tingkat kematangan steak.
i. Rasa
Titik perasa dari lidah adalah kemampuan mendeteksi dasar yaitu manis,
asam, asin, pahit. Dalam makanan tertentu empat rasa ini digabungkan
sehingga menjadi satu rasa yang unik dan menarik untuk dinikmati.
j. Nutritional Content (Kandungan gizi)
Dalam menyajikan hidangannya restoran harus memperhatikan kandungan
gizinya. Seperti dalam satu hidangan terdiri dari karbohidrat, lemak, protein,
serat dan kandungan gizi penting lainnya yang sesuai untuk porsi dewasa.

KERUSAKAN BAHAN PANGAN


Sejak saat bahan pangan dipanen, dikumpulkan, ditangkap atau disembelih,
bahan tersebut akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini akan berlangsung
sangat lambat atau sangat cepat tergantung dari macam bahan pangan.
Kecepatan kerusakan bahan pangan tanpa pengukuran yang lebih teliti dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.1 Kecepatan Kerusakan Bahan Pangan
Macam Bahan Pangan Umur Simpan(hari) Pada 21,11ºC
Daging segar, Ikan segar, Unggas 1-2
Daging dan ikan kering/asin/asap 360 atau lebih
Buah-buahan segar 1- 7
Buah-buahan kering 360 atau lebih
Sayuran daun 1-2
Umbi-umbian 7-2
Biji-bijian kering 360 atau lebih
Tanda-Tanda Kerusakan Pangan
Berbagai tanda-tanda kerusakan pangan dapat dilihat tergantung dari jenis
pangannya, beberapa diantaranya adalah:
1. Perubahan kekenyalan, pada produk daging dan ikan disebabkan pemecahan
struktur daging oeleh berbagai bakteri.
2. Perubahan tekstur, pada sayur-sayuran terutama disebabkan oleh Erwina
carotovora, Pseudomonas marginalis, Sclerotinia sclerotiourum.
3. Perubahan kekentalan, pada susu, santan dan lain-lain disebabkan oleh
penggumpalan protein dan pemisahan serum (skim).
4. Pembentukan lendir, pada produk daging, ikan dan sayuran disebabkan oleh
pertumbuhan berbagai mikroba seperti khamir, bakteri asam laktat (terutama
oleh Lactobacillus terutama L. Viredences yang membentuk lendir berwarna
hijau). Pada sayuran pembentukan lendir sering disebabkan oleh P. Marjinalis
dan Rhizoctonia sp.
5. Pembentukan asam, umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Lactobacillus,
Acinebacter, Bacillus, Pseudomonas, Proteus, Microrocci, Clostidium dan
Enterococcii.
6. Pembentukan warna hijau, pada produk daging terutama disebabkan oleh:
a. Pembentukan Hidrogen Peroksida (H2O2) L. Viridescens, L. Fructovorans,
L. Jenseni, Leuconostoc, Enterococcus faecium, E. Faecalis.
b. Pembentukan Hidrogen Sulfida (H2S) oleh Pseudomonas mhepita,
Shewanell putrefaciens, dan Lactobacillus sake.
7. Pembentukan warna kunig, pada produk-produk daging disebabkan oleh
Enterococcus cassliflavus dan E. Mundtii.
8. Pembentukan warna hitam pada sayuran, misalnya oleh Xanthomonas
camprestis, Aspergillus niger, Ceratocystis frimbiata.
9. Perubahan warna pada biji-bijian dan serealia karena pertumbuhan berbagai
kapang, misalnya Penicillum sp. (biru hijau), Aspergillus sp (hijau), Rhizopus
sp. (hitam).
10. Perubahan bau:
a. Timbulnya bau busuk yang disebabkan oleh berbagai bakteri karena
timbulnya amonia, H2S, Indol, dan senyawa-senyawa amin seperti diamin
kadaverin dan putresin.
b. Timbulnya bau anyir pada produk-produk ikan karena terbentuknya
trimetilamin (TMA) dan Histamin.
Jenis-Jenis Kerusakan Bahan Pangan
Bila ditinjau dari penyebabnya, kerusakan bahan pangan dapat dibagi
menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Kerusakan Mikrobiologis
Pada umumnya kerusakan mikrobiologis tidak hanya terjadi pada bahan
mentah, tetapi juga pada bahan setengah jadi maupun pada bahan hasil olahan.
Kerusakan ini sangat merugikan dan kadang-kadang berbahaya bagi kesehatan
karena racun yang diproduksi, penularan serta penjalaran kerusakan yang
cepat. Bahan yang telah rusak oleh mikroba juga dapat menjadi sumber
kontaminasi yang berbahaya bagi bahan lain yang masih sehat atau segar.
Penyebab kerusakan mikrobiologis adalah bermacam-macam mikroba
seperti kapang, khamir dan bakteri. Cara perusakannya dengan menghidrolisa
atau mendegradasi makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi
fraksi-fraksi yang lebih kecil.
2. Kerusakan Mekanis
Kerusakan mekanis disebabkan adanya benturan-benturan mekanis.
Kerusakan ini terjadi pada : benturan antar bahan, waktu dipanen
dengan alat, selama pengangkutan (tertindih atau tertekan) maupun
terjatuh, sehingga mengalami bentuk atau cacat berupa memar, tersobek atau
terpotong.
3. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik ini disebabkan karena perlakuan-perlakuan fisik.
Misalnya terjadinya “case hardening” karena penyimpanan dalam gudang
basah menyebabkan bahan seperti tepung kering dapat menyerap air sehingga
terjadi pengerasan atau membatu. Dalam pendinginan terjadi kerusakan
dingin (chilling injuries) atau kerusakan beku (freezing injuries) dan
“freezer burn” pada bahan yang dibekukan. Sel-sel tenunan pada suhu
pembekuan akan menjadi kristal es dan menyerap air dari sel sekitarnya.
Akibat dehidrasi ini, ikatan sulfihidril (–SH) dari protein akan berubah
menjadi ikatan disulfida (–S–S–), sehingga fungsi protein secara fisiologis
hilang, fungsi enzim juga hilang, sehingga metabolisme berhenti dan sel rusak
kemudian membusuk. Pada umumnya kerusakan fisik terjadi bersama-sama
dengan bentuk kerusakan lainnya.
4. Kerusakan Biologis
Yang dimaksud dengan kerusakan biologis yaitu kerusakan yang
disebabkan karena kerusakan fisiologis, serangga dan binatang pengerat
(rodentia). Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh
reaksi-reaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat
didalam bahan itu sendiri secara alami sehingga terjadi autolisis dan
berakhir dengan kerusakan serta pembusukan. Contohnya daging akan
membusuk oleh proses autolisis, karena itu daging mudah rusak dan busuk
bila disimpan pada suhu kamar. Keadaan serupa juga dialami pada beberapa
buah-buahan.
5. Kerusakan Kimia
Kerusakan kimia dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya :
“coating” atau enamel, yaitu terjadinya noda hitam FeS pada makanan
kaleng karena terjadinya reaksi lapisan dalam kaleng dengan H–S– yang
diproduksi oleh makanan tersebut. Adanya perubahan pH menyebabkan suatu
jenis pigmen mengalami perubahan warna, demikian pula protein akan
mengalami denaturasi dan penggumpalan. Reaksi browning dapat terjadi
secara enzimatis maupun non-enzimatis. Browning non- enzimatis merupakan
kerusakan kimia yang mana dapat menimbulkan warna coklat yang tidak
diinginkan.
Tanda Kerusakan Pada Produk Pangan
1. Daging dan produk daging
Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya
senyawa- senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang
merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging
yang rusak memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna,
kekenyalan, penampakan, dan rasa. Diantara produk-produk
metabolisme dari daging yang busuk, kadaverin dan putresin
merupakan dua senyawa diamin yang digunakan sebagai indikator
kebusukan daging.
Produk Kadaverin dan Putresin di dalam daging terjadi melalui reaksi
sebagai berikut:
dekarboksilase
Lisin H2N(CH2)5NH2
Kadaverin
dekarboksilase
Ornitin atau Arginin H2N(CH2)4NH2
Putresin
Peningkatan konsentrasi kadaverin dan putresin umumnya terjadi secara

nyata jika jumlah total mikroba mencapai 4x 107 koloni/g. Perubahan


bau menyimpang (offodor) pada daging biasanya terjadi jika total

bakteri pada permukaan daging mencapai 107,0-7,5 koloni/cm2, di ikuti


dengan pembentukan lendir pada permukaan jika jumlah bakteri mencapai

107,5-8,0 koloni/cm2.
Putresin merupakan senyawa diamin yang diproduksi oleh pseudomonad,
sedangkan kadaverin terutama diproduksi oleh Enterobacteaceae.
2. Ikan dan produk ikan
Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya trimetilamin (TMA)
dari reduksi trimetilamin oksida (TMAO) sebagai berikut:

Gambar 3.1 Proses pembentukan trimetilamin (TMA) (Sumber: Ditjen


PPM, 2001).
TMAO merupakan komponen yang normal terdapat di dalam ikan
laut, sedangkan pada ikan yang masih segar TMA hanya ditemukan dalam
jumlah sangat rendah atau tidak ada. Produksi TMA mungkin dilakukan oleh
mikroorganisme, tetapi daging ikan juga mengandung enzim yang dapat
mereduksi TMAO. Tidak semua bakteri mempunyai kemampuan yang
sama dalam meruduksi TMAO menjadi TMA, dan reduksi tergantung
pH ikan.
Histamin, Diamin dan senyawa volatil (total volatile substance) juga
digunakan sebagai indikator kebusukan ikan. Histamin diproduksi dari asam
amino histin dan oleh enzim histidin dekarboksilase oleh mikroorganisme.
Histamin merupakan penyebab keracunan scromboid. Seperti halnya
pada daging kadaverin dan putresin merupakan diamin yang juga
digunakan sebagai indikator kebisukan ikan.
Senyawa voatil yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan
termasuk TVB (total votatile bases), TVA (total volatile acids) TVS (total
volateli substance), dan TVN (total volatile nitrogen). Yang termasuk TVB
adalah amonia, dimetilamin dan trimetilamin. Sedangkan, TVN terdiri dari
TVB dan senyawa nitrogen lainnya yang dihasilkan dari destilasi uap dan
TVS atau VRS (volatile reducing substance) adalah senyawa hasil aerasi
dari produk dan dapat mereduksi larutan alkalin permanganat. Yang
termasuk TVA adalah asam asetat, propionat dan asam-asam organik
lainnya. Batas TVN maxsimum untuk udang yang bermutu baik di
Jepang dan Australia adalah 30 mg TVN/100g dengan maksimum 5 mg
trimatilamin nitrogen/100g.
Cara Mendeteksi Kerusakan Bahan Pangan
Kerusakan bahan pangan dapat dideteksi dengan berbagai cara yaitu:
1. Uji organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan
tekstur atau kekenyalan, kekentalan, warna, bau, pembentukan lendir, dll.
2. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena
kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH,
kekentalan, tekstur, indeks refraktif, dll.
3. Uji kimia untuk menganalisa senyaw-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan
komponen pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia.
4. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN
dan mikroskopis.

KUALITAS PANGAN ORGANIK DAN PANGAN OLAHAN


Pangan organik adalah sesuatu yang berasal dari suatu lahan pertanian
organik yang menerapkan praktik-praktik pengelolaan yang bertujuan untuk
memelihara ekosistem dalam mencapai produktivitas yang berkelanjutan dan
melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit, melalui berbagai cara
seperti daur ulang sisa–sisa tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman,
pengelolaan air, pengolahan lahan dan penanaman serta penggunaan bahan
hayati (SNI 6729:2010).
Pangan organik merupakan salah satu jenis produk pangan, sebagai salah
satu jenis pangan maka sistem keamanan pangan pada produk organik juga
menjadi hal yang sangat penting mengingat produk organik dikenal sebagai
produk yang aman, sehat, dan berkualitas tinggi. Standar sistem pangan organik
di Indonesia lebih spesifik daripada standar kemanan pangan pada umumnya.
Standar sistem pangan organik mengacu pada SNI 6729:2010 yang merupakan
revisi dari SNI 01-6729-2002. SNI 6729:2010 ini merupakan tahapan
harmonisasi internasional persyaratan produk organik yang menyangkut standar
produksi dan pemasaran, inspeksi dan persyaratan pelabelan pangan organik di
Indonesia.
SNI 6729:2010 ini menyebutkan bahwa suatu produk dianggap memenuhi
persyaratan produksi pangan organik, apabila dalam pelabelan atau pernyataan
pengakuannya, termasuk iklan atau dokumen komersial menyatakan bahwa
produk atau komposisi bahannya disebutkan dengan istilah organik, biodinamik,
biologi, ekologi, atau kata-kata yang bermakna sejenis, yang memberikan
informasi kepada konsumen bahwa produk atau komposisi bahannya sesuai
dengan persyaratan produksi pangan organik.
SNI 6729:2010 tentang sistem pangan organik ini ditetapkan dengan
tujuan untuk: 1) melindungi konsumen dari manipulasi dan penipuan yang
terjadi di pasar serta klaim dari produk yang tidak benar; 2) melindungi
produsen dan produk pangan organik dari penipuan produk pertanian lain
yang mengaku sebagai produk organik; 3) memberikan jaminan bahwa seluruh
tahapan produksi, penyiapan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran dapat
diperiksa dan sesuai dengan standar ini; 4) melakukan harmonisasi dalam
pengaturan sistem produksi, sertifikasi, identifikasi dan pelabelan produk pangan
organik; 5) menyediakan standar pangan organik yang berlaku secara nasional
dan juga diakui oleh dunia internasional untuk tujuan ekspor dan impor; dan 6)
mengembangkan serta memelihara sistem pertanian organik di Indonesia
sehingga dapat berperan dalam pelestarian lingkungan baik lokal maupun global.
Standar pangan organik yang terdapat pada SNI 6729:2010
merupakan acuan hukum yang harus dipakai para produsen pangan organik
dalam memproduksi produk pangan organik. SNI 6729:2010 merupakan revisi
dari SNI 01-6729-2002. Revisi yang terdapat pada SNI 6729:2010 ini
meliputi: 1) pelabelan transisi dihilangkan; dan 2) bahan yang diperbolehkan,
dibatasi dan dilarang digunakan dalam produksi pangan organik disesuaikan
dengan kondisi di Indonesia dan ketentuan yang berlaku.
Prinsip-Prinsip Produksi Pangan Organik
1. Prinsip persiapan, produksi dan budidaya
Prinsip-prinsip produksi pangan organik harus telah diterapkan pada
lahan yang sedang berada dalam periode konversi dengan ketentuan: 1) dua
tahun sebelum tebar benih untuk tanaman semusim; 2) tiga tahun sebelum
panen pertama untuk tanaman tahunan; dan 3) masa konversi dapat
diperpanjang atau diperpendek berdasarkan pertimbangan Lembaga
Sertifikasi Organik (LSO), namun tidak boleh kurang dari 12 bulan.
Produksi pangan organik hanya diakui pada saat sistem pengawasan dan
tata cara produksi pangan organik yang telah ditetapkan dalam standar pangan
organik ini telah diterapkan oleh pelaku usaha tanpa memperhitungkan
lamanya masa konversi. Lahan yang dimiliki boleh dikerjakan secara bertahap
jika seluruh lahan tidak dapat dikonversi secara bersamaan, dengan
menerapkan standar konversi dan dimulai pada bagian lahan yang
dikehendaki. Konversi dari pertanian konvensioal kepada pertanian organik
harus efektif menggunakan teknik yang ditetapkan dalam standar sistem
pangan organik. Hamparan yang dimiliki harus dibagi dalam beberapa unit
apabila seluruh lahan pertanian tidak dapat dikonversi secara bersamaan.
Areal pada masa konversi dan yang telah dikonversi menjadi areal organik
tidak boleh digunakan secara bergantian antara metode produksi pangan
organik dan konvensional.
Kesuburan dan aktivitas biologi tanah harus dipelihara atau ditingkatkan
dengan cara: 1) penanaman kacang-kacangan (Leguminoceae), pupuk hijau
atau tanaman berakar dalam, melalui program rotasi tahunan yang sesuai; 2)
pencampuran bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk kompos
maupun segar, dari unit produksi yang sesuai dengan standar sistem pangan
organik ini; 3) pengaktivan kompos dapat menggunakan mikroorganisme atau
bahan lain yang berbasis tanaman yang sesuai; dan 4) penggunaan bahan
biodinamik dari stone meal (debu atau bubuk karang tinggi mineral), kotoran
hewan atau tanaman boleh digunakan untuk tujuan penyuburan, pembenahan
dan aktivitas biologi tanah.
Benih yang digunakan untuk pertanian organik harus berasal dari
tumbuhan yang ditumbuhkan dengan cara yang dijelaskan dalam sistem
pangan organik dan paling sedikit berasal dari 1 generasi atau 2 musim untuk
tanaman semusim. Pemilik lahan yang dapat menunjukkan pada LSO bahwa
benih yang disyaratkan tersebut tidak tersedia maka: 1) pada tahap awal dapat
menggunakan benih tanpa perlakuan, atau; 2) jika butir 1) tidak tersedia,
dapat menggunakan benih yang sudah mendapat perlakuan dan bahan selain
yang ada sesuai ketentuan standar sistem pangan organik.
Hama, penyakit dan gulma harus dikendalikan oleh salah satu atau
kombinasi dari cara berikut: 1) pemilihan varietas yang sesuai; 2) program
rotasi/pergiliran tanaman yang sesuai; 3) pengolahan tanah secara mekanik; 4)
penggunaan tanaman perangkap; 5) penggunaan pupuk hijau dan sisa
potongan hewan; 6) pengendalian mekanis seperti penggunaan perangkap,
penghalang, cahaya dan suara; 7) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami
(parasit, predator dan patogen serangga) melalui pelepasan musuh alami
dan penyediaan habitat yang cocok seperti pembuatan pagar hidup dan
tempat berlindung musuh alami, zona penyangga ekologi yang menjaga
vegetasi asli untuk pengembangan populasi musuh alami penyangga
ekologi; 8) ekosistem yang beragam; 9) pengendalian gulma dengan
pengasapan (flame – weeding); 10) penggembalaan ternak (sesuai dengan
komoditas); 11) penyiapan biodinamik dari stone meal, kotoran ternak atau
tanaman; dan 12) penggunaan sterilisasi uap bila rotasi yang sesuai untuk
memperbaharui tanah tidak dapat dilakukan. Penanggulangan hama dan
penyakit pada tanaman dapat menggunakan bahan lain yang diperbolehkan
dalam standar sistem pangan organik, jika ada kasus yang membahayakan
atau ancaman yang serius terhadap tanaman dimana tindakan pencegahan
dianggap tidak efektif.
2. Prinsip penanganan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan dan
pengangkutan
Integritas produk pangan organik harus tetap dijaga selama tahapan
rantai pangan sejak dipanen sampai pengemasan. Pengolahan
menggunakan cara yang tepat dan hati-hati dengan meminimalkan
pemurnian serta penggunaan bahan tambahan pangan dan bahan penolong.
Radiasi ion (ionizing radiation) tidak dibolehkan untuk pengendalian hama,
pengawetan makanan, pemusnahan penyakit atau sanitasi.
Pengendalian hama pada saat penanganan produk dilakukan dengan cara
sebagai berikut: 1) tindakan pencegahan, seperti penghilangan
habitat/sarang hama merupakan alternatif pertama dalam pengendalian hama;
2) jika alternalif pertama dianggap tidak cukup, maka cara mekanis/fisik dan
biologi merupakan alternatif kedua dalam pengendalian hama; dan 3) jika
alternatif kedua dianggap tidak cukup, maka penggunaan bahan pestisida
seperti yang tertera dalam lampiran B SNI Pangan Organik ini merupakan
alternatif ketiga yang digunakan secara sangat hati–hati untuk menghindari
kontaminasi.
Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dilakukan dengan
cara yang baik atau sesuai prinsip GAP. Pengendalian OPT di
tempat penyimpanan atau pengangkutan dapat dilakukan menggunakan
pemisah fisik atau perlakuan yang lain seperti penggunaan suara, ultra-
sound, pencahayaan/ultra-violet, perangkap, pengendalian suhu, pengendalian
udara (dengan karbondioksida, oksigen, nitrogen), dan penggunaan lahan
diatom. Penggunaan pestisida untuk kegiatan pascapanen dan karantina harus
berdasarkan pada lampiran SNI ini, apabila bahan pestisida yang digunakan
tidak tercantum pada lampiran SNI pangan organik maka tidak diperbolehkan.
Prinsip-prinsip dalam SNI Sistem Pangan Organik untuk pengolahan dan
manufaktur produk pangan organik yaitu: 1) pengolahan harus dilakukan
secara mekanik, fisik atau biologi (seperti fermentasi dan pengasapan) serta
meminimalkan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) sesuai
dengan ketentuan Lampiran B SNI 6729:2010; 2) bahan tambahan
pangan, bahan penolong dan bahan lain yang diizinkan dan dilarang dalam
produksi pangan olahan organik harus mengacu kepada ketentuan tentang
bahan tambahan pangan dan pengawasan pangan olahan organik yang
berlaku; 3) flavouring yang dapat digunakan adalah bahan dan produk yang
berlabel natural flavouring; 4) air yang dapat digunakan adalah air minum.
Garam yang dapat digunakan adalah natrium klorida atau kalium klorida
sebagai komponen dasar yang biasanya digunakan dalam pengolahan pangan;
5) semua penyiapan mikroorganisme dan enzim yang biasanya digunakan
sebagai alat bantu dalam pengolahan pangan dapat digunakan, kecuali
organisme hasil rekayasa/modifikasi genetik (GE/GMO) dan enzim yang
berasal dari organisme rekayasa genetik (GE); 6) yang termasuk dalam
kelompok mikro (trace elements) adalah vitamin, asam amino dan asam
lemak esensial, dan senyawa nitrogen lain; dan 7) semua preparasi
mikroorganisme dan enzim sebagai alat bantu dalam pengolahan pangan
dapat digunakan, kecuali organisme dan enzim hasil rekayasa/modifikasi
genetika.
Pemilik usaha pangan organik berdasarkan SNI 6729:2010 ini harus
memenuhi standar dan regulasi teknik produk pangan organik serta
mendokumentasikan persyaratan teknis yang minimal mencakup
penggunaan label, komposisi produk, dan kalkulasi persentasi ingredient
produk organik.
Bahan baku kemasan menurut SNI Pangan Organik ini sebaiknya
dipilih dari bahan yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme (bio-degradable
materials), bahan hasil daur-ulang (recycled materials), atau bahan yang
dapat didaur-ulang (recyclable materials), kemasan produk organik diberi
label sesuai dengan daftar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Integritas produk organik harus dipelihara selama penyimpanan dan
pengangkutan, serta ditangani dengan menggunakan tindakan pencegahan
sebagai berikut: 1) produk organik harus dilindungi setiap saat agar
tidak tercampur dengan produk pangan non-organik; dan 2) produk organik
harus dilindungi setiap saat agar tidak tersentuh bahan yang tidak
diizinkan untuk digunakan dalam sistem produksi pangan organik dan
penanganannya.
Sistem pangan organik mensyaratkan bahwa jika hanya sebagian produk
organik yang tersertifikasi, maka produk lainnya harus disimpan dan ditangani
secara terpisah dan kedua jenis produk ini harus dapat diidentifikasi secara
jelas. Penyimpanan produk organik harus dipisahkan dari produk
konvensional serta harus secara jelas dicantumkan pada tabel. Tempat
penyimpanan dan kontainer untuk pengangkutan produk pangan organik harus
dibersihkan dahulu dengan menggunakan metode dan bahan yang boleh
digunakan untuk sistem produksi organik. Tempat penyimpanan atau
kontainer yang digunakan tidak untuk produk pangan organik saja, maka
tempat penyimpanan atau kontainer tersebut harus dilakukan tindakan
pengamanan agar produk pangan organik tidak terkontaminasi dengan
pestisida atau bahan yang dilarang dalam Lampiran B SNI Pangan
Organik ini.
Sertifikasi Pangan Organik di Indonesia
Sertifikasi menurut Pedoman Teknis Pembinaan dan Sertifikasi Pangan
Organik dari Kementerian Pertanian (2012) adalah prosedur dari lembaga
sertifikasi Pemerintah atau lembaga sertifikasi yang diakui Pemerintah
memberikan jaminan tertulis atau setara bahwa pangan atau sistem pengawasan
pangan sesuai dengan persyaratan. Sistem pengawasan dan sertifikasi pangan
organik di Indonesia mengacu pada SNI pangan organik, CAC (Codex
Alimentarius Commission) dan IFOAM (Sriyanto, 2010). Petunjuk teknis dari SNI
6729:2010 dan pedoman untuk mendapatkan sertifikat organik untuk produk
pangan organik dituangkan dalam Pedoman Sertifikasi Produk Pangan Organik
dan Pedoman Umum Penerapan Jaminan Mutu Pengolahan Pangan Organik dari
Otoritas Kompeten Pangan Organik Kementerian Pertanian (2008).
Lembaga yang berhak memberikan sertifikasi pangan organik di Indonesia
adalah lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN)
dan telah diverifikasi oleh Otoritas Kompeten Pangan Organik (OKPO). Otoritas
ini adalah lembaga yang kompeten dalam bidang organik yang ditunjuk
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
380/Kpts/OT.130/10/2005dalam hal ini adalah Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Pertanian, Kementerian Pertanian.
Lembaga sertifikasi organik yang telah diakreditasi KAN saat ini adalah : 1)
Lembaga Sertifikasi Organik Sucofindo, Jakarta Selatan (Nomor Sertifikat
OKPO-LS-001); 2) Lembaga Sertifikasi Organik MAL, Depok, Jawa Barat
(Nomor Sertifikat OKPO-LS-002); 3) Lembaga Sertifikasi Organik INOFICE,
Bogor, Jawa Barat (Nomor Sertifikat OKPO-LS-003); 4) Lembaga Sertifikasi
Organik Sumatera Barat, Padang, Sumatera Barat (Nomor Sertifikat OKPO-LS-
004); 5) Lembaga Sertifikasi Organik LeSOS, Mojokerto, Jawa Timur (Nomor
Sertifikat OKPO-LS-005); 6) Lembaga Sertifikasi Organik BIOcert Indonesia,
Bogor, Jawa Barat (Nomor sertifikat OKPO-LS-006); dan 7) Lembaga Sertifikasi
Organik Persada, Sleman, Yogyakarta (Nomor sertifikat OKPO-LS-007).
Produk pangan di wilayah Indonesia yang telah memenuhi beberapa
persyaratan untuk mendapatkan sertifikat organik akan diberi label organik
sebagaiamana terlihat pada Ilustrasi. Produk pangan yang terdapat logo organik
tersebut dijamin Pemerintah telah memenuhi kriteria produk organik Indonesia.

Ilustrasi Logo Sertifikat Organik Indonesia


Gambar 3.2 Logo Sertfikasi Pangan Organik (Sumber: Google image, 2017).
Pemilik usaha (operator) harus memenuhi beberapa persyaratan untuk
mendapatkan sertifikat organik di Indonesia, yang menyangkut kelengkapan
dokumen administrasi dan kelembagaan. Pemilik usaha harus menetapkan,
menerapkan dan menjaga produk organik yang sesuai dengan ruang lingkup
kegiatannya sebagai langkah awal dalam mempersiapkan sertifikasi, dalam hal ini
pemilik harus mendokumentasikan kebijakan, sistem, program, prosedur, dan
instruksi untuk menjamin mutu produk organiknya. Dokumentasi sistem ini harus
dikomunikasikan kepada, dimengerti oleh, tersedia bagi, dan diterapkan oleh
semua personil yang terkait dalam bidang usaha yang dikerjakan dengan cara
melakukan langkah-langkah yang barkaitan dengan persyaratan manajemen dan
persyaratan teknis.
Persyaratan Manajemen Sertifikasi Pangan Organik
Persyaratan manajemen pada suatu sistem pangan organik menurut OKPO
(2008) merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk menjamin bahwa sistem
manajemen dapat berjalan secara efektif dan efisien, berkelanjutan, serta selalu
berkembang lebih baik. Persyaratan ini pada umumnya bersifat universal
sehingga lazim disebut sebagai Universal Program. Persyaratan manajemen
dalam rangka penerapan sertifikasi produk pangan organik meliputi: 1) kebijakan
mutu; 2) organisasi; 3) personil; 4) pengendalian dokumen; 5) pembelian jasa
dan perbekalan; 6) pengaduan; 7) pengendalian produk yang tidak sesuai; 8)
tindakan perbaikan; 9) tindakan pencegahan; 10) pengendalian rekaman; 11)
audit internal; dan 12) kaji ulang sistem.
Pemilik usaha menurut OKPO (2008) sebaiknya mempunyai kebijakan
mutu tentang sistem produksi dan pemasaran pangan organik yang ditetapkan
dan diterapkan di lingkungan usahanya untuk menciptakan jaminan mutu produk
organik yang tinggi. Kebijakan mutu sebaiknya mencakup tujuan, sumber daya
yang digunakan, dan alasan manajemen jaminan mutu yang digunakan.Pemilik
usaha harus menjelaskan struktur organisasi yang dimiliki serta menjelaskan
tentang kebijakan mutu dan uraian tugas masing-masing bagian. Usaha pangan
organik semestinya mempunyai satu unit khusus dalam organisasi untuk
penanganan produk organik yang bertanggung jawab terhadap
dokumen penerapan jaminan mutu produk pangan organik yang dihasilkan,
dimana anggotanya harus terdiri dari divisi-divisi manajemen dalam badan
usaha, serta mempunyai latar belakang pertanian sesuai bidangnya, biologi, ilmu
pangan serta ilmu-ilmu lain yang relevan.
Pemilik usaha menurut OKPO (2008) harus menyebutkan personil yang
bertanggung jawab untuk mengembangkan, menerapkan, memutakhirkan,
merevisi, dan mendistribusikan dokumen penerapan jaminan mutu produk
organik serta proses penyelesaiannya, menyajikan cara memelihara rekaman data
yang memuat program dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan serta
pengalaman personil badan usaha serta menguraikan hal-hal lain bagi personil
badan usaha yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja personil seperti
pelatihan internal. Pemilik juga harus menetapkan dan memelihara prosedur
untuk mengendalian semua dokumen yang merupakan bagian dari sistem, seperti
peraturan, standar, atau dokumen normatif lain, metode produksi dan
pengawasan, demikian juga gambar, perangkat lunak, spesifikasi, instruksi dan
panduan. Dokumen-dokumen yang diterbitkan untuk personil oleh pemilik yang
merupakan bagian dari sistem mutu harus dikaji ulang dan disahkan oleh
personil yang berwenang sebelum diterbitkan.
Pemilik usaha menurut OKPO (2008) harus mempunyai suatu kebijakan
dan prosedur untuk memilih dan membeli jasa dan perbekalan yang
penggunaannya mempengaruhi mutu produk pangan organik. Dokumen
pembelian barang-barang yang mempengaruhi mutu produk pangan organik
harus berisi data yang menjelaskan jasa dan perbekalan yang dibeli. Dokumen
pembelian harus dikaji ulang dan disahkan spesifikasi teknisnya terlebih dahulu
sebelum diedarkan. Pemilik usaha harus mengevaluasi pemasok bahan habis
pakai, perbekalan, dan jasa yang penting dan berpengaruh pada mutu produk
pangan organik, dan harus memelihara rekaman evaluasi tersebut serta membuat
daftar yang disetujui. Pemilik usaha juga harus mempunyai kebijakan dan
prosedur untuk menyelesaikan pengaduan yang diterima dari pelanggan atau
pihak-pihak lain. Rekaman semua pengaduan dan penyelidikan serta tindakan
perbaikan yang dilakukan oleh pemilik harus dipelihara.
Pemilik usaha harus mempunyai suatu kebijakan dan prosedur yang harus
diterapkan bila terdapat aspek apapun dari pekerjaan produk pangan organik
yang dilakukan, atau produk pangan organik tidak sesuai dengan prosedur,
standar, atau peraturan teknis serta persyaratan pelanggan yang telah disetujui.
Pemilik usaha harus menetapkan kebijakan dan prosedur serta harus memberikan
kewenangan yang sesuai untuk melakukan tindakan perbaikan bila pekerjaan
yang tidak sesuai atau penyimpangan kebijakan dan prosedur di dalam sistem
yang ditetapkan. Prosedur tindakan perbaikan harus dimulai dengan suatu
penyelidikan untuk menentukan akar permasalahan dan apabila tindakan
perbaikan perlu dilakukan, pemilik usaha harus mengidentifikasi tindakan
perbaikan yang potensial. Tindakan perbaikan harus dilakukan sampai sistem
dapat berjalan kembali secara efektif, dan didokumentasikan (OKPO, 2008).
Penyebab ketidaksesuaian yang potensial, baik teknis maupun manajemen,
menurut OKPO (2008) harus diidentifikasi, jika tindakan pencegahan diperlukan,
rencana tindakan pencegahan harus dibuat, diterapkan dan dipantau untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kembali ketidaksesuaian yang serupa dan
untuk mengambil manfaat melakukan peningkatan. Prosedur tindakan
pencegahan harus mencakup tahap awal tindakan dan penerapan pengendalian
untuk memastikan efektivitasnya. Pemilik juga harus menetapkan dan
memelihara prosedur untuk identifikasi, pengumpulan, pemberian indeks
penelusuran, pengarsipan, penyimpanan, pemeliharaan dan pemusnahan
rekaman.
Rekaman harus mencakup laporan audit, internal dan kaji ulang
manajemen sebagaimana juga laporan tindakan perbaikan dan tindakan
pencegahan. Semua rekaman harus dapat dibaca dan harus disimpan dan
dipelihara sedemikian rupa sehingga mudah didapat bila diperlukan dalam
fasilitas yang memberikan lingkungan yang sesuai untuk mencegah terjadinya
kerusakan dan untuk mencegah agar rekaman tidak hilang.
Pemilik usaha sesuai ketentuan pedoman sertifikasi produk pangan organik
harus secara periodik, dan sesuai dengan jadwal serta prosedur yang telah
ditetapkan sebelumnya, menyelenggarakan audit internal untuk memverifikasi
kegiatannya berlanjut sesuai dengan persyaratan produk pangan organik
yang dtujukan pada semua unsur produk pangan organik. Manajer mutu
bertanggung jawab untuk merencanakan dan mengorganisasikan audit
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh jadwal dan diminta oleh manajemen
dan harus dilakukan oleh personel terlatih serta mampu (OKPO, 2008).
Pemilik usaha harus melakukan tindakan perbaikan pada waktunya, dan
harus memberitahu pelanggan secara tertulis bila penyelidikan memperlihatkan
hasil produksi mungkin terpengaruh dan bila temuan audit menimbulkan
keraguan pada efektivitas kegiatan atau kebenaran atau keabsahan produk
pangan organik. Bidang kegiatan yang diaudit, temuan audit dan tindakan
perbaikan harus direkam dan ditindaklanjuti/dilakukan perbaikan (OKPO, 2008).
Persyaratan Teknis Sertifikasi Organik
Persyaratan teknis sertifikasi organik berdasarkan pada Pedoman Sertifikasi
Produk Organik dari OKPO (2008) merupakan hal-hal yang lebih terperinci dari
prinsip-prinsip produksi pangan organik sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya. Persyaratan teknis produk pangan organik harus didokumentasikan
secara sistematis sesuai persyaratan standar dan regulasi teknik sebagai upaya
untuk mendapatkan sertifikasi organik. Ruang lingkup persyaratan teknis yang
harus dipenuhi adalah sesuai dengan persyaratan ruang lingkup bisnis yang
dilaksanakan yang mencakup: 1) pembudidayaan tanaman; 2) pengolahan,
penyimpanan, penanganan dan pengangkutan produk pangan organik; 3)
pengemasan dan pelabelan; 4) penyimpanan dan pengangkutan; dan 5)
pendokumentasian serta perekaman.
Pengelola budidaya tanaman organik menurut OKPO (2008) harus
memenuhi standar dan regulasi teknik produk pangan organik dan
mendokumentasikan persyaratan teknis yang minimal mencakup: persyaratan
umum, lahan, manajemen kesuburan tanah dan nutrisi tanaman, benih dan stok
bibit, rotasi tanaman, pengendalian hama, pemanenan tanaman liar dan bahan-
bahan substansi input. Pengelola pengolahan, penyimpanan, penanganan dan
transportasi produk pangan organik juga harus memenuhi standar dan regulasi
teknik produk pangan organik dan mendokumentasikan persyaratan teknis yang
minimal mencakup: komposisi, perlindungan produk, pengendalian penyakit,
bahan pengemas dan penyimpanan.
Integritas produk pangan organik harus tetap dijaga selama fase pengolahan,
hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang tepat dan hati-hati
dengan meminimalkan pemurnian serta penggunaan aditif dan alat bantu
pengolahan. Radiasi ion (ionizing radiation) untuk pengendalian hama,
pengawetan makanan, penghilangan patogen atau sanitasi, tidak diperbolehkan
dilakukan pada produk pangan organik. Ketentuan mengenai bahan baku, bahan
tambahan dan bahan penolong untuk pengolahan produk pangan organik yaitu: 1)
bahan baku harus berasal dari pangan organik 100%; 2) jumlah bahan baku
sekurang-kurangnya 95%; 3) jumlah bahan baku tambahan nonorganik sebanyak-
banyaknya 5% sesuai dengan yang diizinkan; dan 4) tidak mendapat perlakuan
iradiasi (OKPO, 2008).
Persyaratan teknis pada proses pengolahan untuk produk pangan organik
menurut OKPO (2008) yaitu: 1) menggunakan bahan tambahan pangan yang
diizinkan sesuai dengan SNI sistem pangan organik; 2) memilih alat bantu
pengolahan yang tidak mengkontaminasi produk sehingga menggugurkan
integritas organiknya; 3) menggunakan air yang memenuhi persyaratan air minum
yang ditetapkan dan standar sistem pangan organik; 4) melaksanakan proses
produksi pangan olahan organik dengan pangan non organik dalam rentang waktu
yang jelas (ditentukan) untuk menghindari terjadinya pencampuran produk
organik dan non organik; dan 5) mempemros bahan pangan harus dilakukan
secara mekanis, fisik atau biologis (seperti fermentasi dan pengasapan).
Pemilik usaha dan pengelola produk pangan organik harus memenuhi
standar dan regulasi teknik produk pangan organik serta mendokumentasikan
persyaratan teknis yang minimal mencakup: penggunaan label, komposisi produk
dan kalkulasi persentasi ingredient produk organik. Bahan baku kemasan
sebaiknya dipilih dari bahan yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme (bio-
degradable materials), bahan hasil daur-ulang (recycled materials), atau bahan
yang dapat didaur-ulang (recyclable materials), kemasan produk organik diberi
label sesuai dengan daftar BPOM (OKPO, 2008).
Persayaratan teknis untuk penyimpanan dan pengangkutan produk organik,
yaitu: 1) penyimpanan bahan baku dan produk pangan olahan organik tidak boleh
berdekatan dengan pangan non organik (ada batas yang jelas); 2) pengendalian
hama harus dilakukan dengan cara-cara tindakan pencegahan, seperti
penghilangan habitat (sarang hama), harus menjadi cara utama dalam pengelolaan
hama. Pilihan pertama pengendalian hama adalah dengan menggunakan cara
mekanis/fisik dan biologis, jika tindakan pencegahan tersebut dianggap tidak
cukup, (jika penggunaan cara mekanis/fisik atau biologis dianggap tidak cukup),
maka penggunaan bahan-bahan pestisida seperti yang tertera dalam lampiran SNI
pangan organik dapat digunakan dengan cara yang sangat hati-hati untuk
menghindari kontaminasi dengan produk pangan organik; 3) pengendalian hama
harus dihindari dengan praktek manufaktur yang baik/GMP. Tindakan
pengendalian hama dalam tempat penyimpanan atau kontainer untuk
pengangkutan produk pangan organik dapat dilakukan dengan pemisah fisik atau
perlakuan yang lain seperti penggunaan suara (sound), ultra-sound, pencahayaan,
pencahayaan dengan ultra-violet, perangkap, pengendalian suhu, pengendalian
udara (dengan karbon dioksida, oksigen, nitrogen), dan dengan menggunakan
tanah diatomeae; 4) penggunaan pestisida yang tidak tercantum dalam lampiran
SNI pangan organik untuk kegiatan pasca panen dan karantina tidak diizinkan; 5)
penjagaan integritas produk organik harus dipelihara selama penyimpanan dan
pengangkutan, serta ditangani dengan menggunakan tindakan pencegahan yaitu
produk organik harus dilindungi setiap saat agar tidak tercampur dengan produk
pangan nonorganik, serta poduk organik harus dilindungi setiap saat agar tidak
tersentuh bahan yang tidak diizinkan untuk digunakan dalam sistem produksi
pertanian organik dan penanganannya; 6) penyimpanan dan penanganan yang
benar jika hanya sebagian produk yang tersertifikasi, maka produk lainnya harus
disimpan dan ditangani secara terpisah dan kedua jenis produk ini harus dapat
diindentifikasi secara jelas; 7) penyimpanan produk organik harus dipisahkan dari
produk konvensional serta harus secara jelas dilabel; dan 8) penggunaan tempat
penyimpanan dan kontainer untuk pengangkutan produk pangan organik harus
dibersihkan dulu dengan menggunakan metode dan bahan yang diizinkan
digunakan untuk sistem produksi pertanian organik, jika tempat penyimpanan atau
kontainer yang akan digunakan tidak hanya digunakan untuk produk pangan
oganik, maka harus dilakukan tindakan pengamanan agar produk pangan organik
tidak terkontaminasi dengan pestisida atau bahan-bahan lain (OKPO, 2008).

GENETICALLY MODIFIED ORGANISM


Berdasarkan pada WHO GMO merupakan suatu organisme yang DNA-
nya telah dirubah secara tidak alami melalui suatu teknologi sehingga gen yang
dimaksud dapat ditransfer dari satu organisme ke organisme lain dan juga antara
organisme yang berbeda spesies.
Sutrisno Koswara memberikan definisi GMO sebagai pangan atau produk
pangan yang diturunkan dari tanaman atau hewan yang dihasilkan melalui proses
rekayasa genetika. Berdasarkan pada definisi-definisi diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa GMO atau yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan
produk rekayasa genetika adalah organisme yang DNA-nya telah dirubah
dengan menggunakan suatu teknologi yang disebut dengan bioteknologi
modern sehingga menghasilkan suatu organisme atau produk yang
berbeda dengan produk alamiahnya yang mempunyai beberapa
kelebihan karena dalam pembuatannya dilakukan seleksi terhadap sifat-sifat
baiknya.
Jenis-jenis Produk Genetically Modified Organism
Pada dasarnya produk-produk GMO’s sangat banyak dan tersebar di
berbagai bidang, karena aplikasi bioteknologi juga telah merambah ke
berbagai bidang (pertanian, farmasi dan kedokteran, industri, dan
lingkungan). Termasuk GMO’’s ialah hewan transgenik, tanaman transenik dan
bagiannya, ikan transgenik, dan bahan-bahan olahannya, serta jasad renik.
Bahkan pada saat ini dikenal pula kloning terapeutik yang memanfaatkan sel
induk (stem cells) embrionik dari janin untuk ditransplantasikan ke dalam
pasien yang diklon, guna memperbaiki jaringan dan organ yang rusak; dalam
proses ini embrio dirusak. Berdasarkan pada hal tersebut maka GMO
termasuk juga bagian dari tubuh manusia, meskipun demikian pada saat ini masih
ada jenis pengkloningan manusia lain yaitu kloning reproduktif, yang
merupakan proses bioteknologi dengan tujuan untuk menghasilkan
seseorang dari sel seseorang, sehingga hasil dari klon mempunyai materi
genetik yang sama dari seseorang yang dikloning tersebut, namun sampai
saat ini masih terdapat kontroversi tentang kloning reproduktif.
Dampak Positif dan Negatif Genetically Modified Organism
1. Dampak Positif Genetically Modified Organism

Dampak positif yang dimaksud disini adalah keuntungan yang dapat


diperoleh dari GMO’s, termasuk didalamnya kelebihan-kelebihan dari GMO’s
tersebut jika dibandingkan dengan produk-produk sesamanya yang alamiah.
Keuntungan pangan hasil rekayasa genetika antara lain meningkatkan
efisiensi dan produktivitas, nilai ekonomi produk, memperbaiki nutrisi,
nilai palatabilitas dan meningkatkan masa simpan produk.
Dampak positif tersebut didapatkan dari hasil bioteknologi di
bidang pertanian dan pangan. Di bidang farmasi dan kedokteran, hasil
bioteknologi yang terdiri dari kedokteran regeneratif, terapi gen, kloning
terapeutik dan penggunaan bahan organik yang tepat dapat mengobati dan
menyembuhkan penyakit. Selain itu, bioteknologi di bidang industri juga
membawa manfaat tersendiri. Bioteknologi industrial dalam hal ini adalah
pembuatan biofuel dari tanaman, seperti kedelai, kanola, jagung, dan
gandum. Biofuel akan menghemat penggunaan bahan bakar fosil yang tidak
dapat diperbaharui, dan dikhawatirkan akan segera habis.
2. Dampak negatif Genetically Modified Organism
Dampak negatif yang dimaksud adalah segala resiko yang ditimbulkan
oleh keberadaan GMO di lingkungan dan masyarakat. Sedangkan resiko yang
perlu diperhatikan dari pengembangan GMO antara lain: kemungkinan
terjadinya gangguan pada keseimbangan ekologi, terbentuknya resistensi
terhadap antibiotik, dikuatirkan dapat membentuk senyawa toksik, allergen dan
perubahan nilai gizi.
Dampak negatif pada lingkungan dan pada kesehatan pada dasarnya
masih terdapat pro dan kontra, Sebagian pihak masih meragukan tentang
keamanan dari produk-produk GMO’s namun disisi lain beberapa pihak
menyangkal dan berpendapat bahwa produk-produk GMO’s aman dan
tidak ada bukti yang menyatakan bahwa GMO’s berbahaya bagi kehidupan
manusia dan alam sekitarnya, namun satu hal yang pasti bahwa adanya
monopoli hak kekayaan intelektual pada produk-produk GMO’s telah
membawa dampak negatif bagi masyarakat kecil khususnya para petani kecil.
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM, 2007. Cara Produksi Pangan yang Baik II. Modul Pelatihan
Pengawas Pangan Tingkat Muda. IPB. Bogor.

Ditjen PPM & PL, 2001. Prinsip Hygiene Dan sanitasi Makanan. Kumpulan
Modul Kursus Penyehatan Makanan, Jakarta.

Irawan IGP. Rekayasa Genetika Siapa Takut?.


http://www.eurekaindonesia.org/rekayasa-genetika-siapa- takut/,(diakses
tanggal 02 Oktober 2017).

Muchtadi., Tien R., (1989), Teknologi Proses Pengolahan Pangan,


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor.

Mae-Wan Ho. 2008. “Rekayasa Genetik: Impian atau Petaka”. Insist Press:
Yogyakarta.
4 HAZARD ASSESMENT

Tujuan Pembelajaran :
 Mahasiswa mampu menjelaskan tentang HACCP
 Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Good Manufacturing Product (GMP)
 Mahasiswa mampu menjelaskan Sanitation Standar Operating Procedur (SSOP)
 Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Sistem Pangan Halal

PENDAHULUAN

Masalah keamanan pangan masih merupakan masalah penting dalam bidang


pangan di Indonesia, dan perlu mendapat perhatian khusus dalam program
pengawasan pangan. Penyakit dan kematian yang ditimbulkan melalui makanan di
Indonesia sampai saat ini masih tinggi, walaupun prinsip -prinsip pengendalian untuk
berbagai penyakit tersebut pada umumnya telah diketahui. Pengawasan pangan yang
mengandalkan pada uji produk akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat
dalam industri pangan, dan tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di
pasaran. Pendekatan tradisionil yang selama ini dilakukan dapat dianggap telah
gagal untuk mengatasi masalah tersebut.
Oleh karena itu dikembangkan suatu sistem jaminan keamanan pangan yang
disebut Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical
Control Point /HACCP) yang merupakan suatu tindakan preventif yang efektif
untuk menjamin keamanan pangan. Sistem ini mencoba untuk mengidentifikasi
berbagai bahaya yang berhubungan dengan suatu keadaan pada saat pembuatan,
pengolahan atau penyiapan makanan, menilai risiko risiko yang terkait dan menentukan
kegiatan dimana prosedur pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur
pengendalian lebih diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin
keamanan makanan.
Pendekatan HACCP ini akan membantu dalam perencanaan berbagai kegiatan
keamanan makanan dan pendidikan kesehatan yang memusatkan perhatian pada
berbagai bahaya yang berhubungan dengan jenis makanan yang dikonsumsi dan
makanan yang diolah dan disiapkan.

HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT


Pengertian Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Hazard Analysis adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya
yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai
produksi pangan yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah
keamanan pangan. Bahaya tersebut meliputi :
1. Keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik
pada bahan mentah.
2. Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil perubahan
kimiawi yang tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada produk antara atau jadi,
atau pada lingkungan produksi.
3. Kontaminasi atau kontaminasi ulang ( cross contamination ) pada produk antara
atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah
dimana pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau
menghilangkan bahaya atau menguranginya sampai titik aman (Bryan, 1995). Titik pe
ngendalian kritis (CCP) dapat berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau
pengolahan dimana pengendalian dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi
bahaya. Ada dua titik pengendalian kritis:
1. Titik Pengendalian Kritis 1 (CCP -1), adalah sebaga i titik dimana bahaya dapat
dihilangkan.
2. Titik Pengendalian Kritis 2 (CCP -2), adalah sebagai titik dimana bahaya
dikurangi.
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah suatu sistem jaminan
mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau perhatian bahwa hazard (bahaya) akan
timbul pada berbagai titik atau tahap produksi, tetapi pengendaliannya dapat dilakukan
untuk mengontrol bahaya-bahaya tersebut. HACCP merupakan salah satu bentuk
manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan
pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam
menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen. Kunci utama HACCP adalah
antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada
tindakan pencegahan dari pada mengandalkan kepada pengujian produk akhir.
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-risk
atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan
pangan. Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk
memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-
bahaya mikrobilogis, kimia dan fisik.
HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama
bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran
hingga sampai kepada pengguna akhir. Keberhasilan dalam penerapan HACCP
membutuhkan tanggung jawab penuh dan keterlibatan manajemen serta tenaga kerja.
Keberhasilan penerapan HACCP juga membutuhkan pendekatan tim, tim ini harus terdiri
dari tenaga ahli yang tepat. Sebagai contoh harus terdiri dari ahli budidaya, dokter hewan,
personel produksi, ahli mikrobiologi, spesialis kesehatan masyarakat, ahli teknologi
pangan, ahli kimia dan perekayasa menurut studi tertentu.
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk
mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna
memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak
bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan didistribusikan.
Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain
karena adanya bahaya pada suatu produk pangan. Selain itu, HACCP juga dapat
berfungsi sebagai promosi perdagangan di era pasar global yang memiliki daya saing
kompetitif.
Sejarah Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Konsep HACCP pertama kali dikembangkan ketika perusahaan Pillsbury di
Amerika Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics Research and Development
Laboratories, The National Aeronautics and Space Administration serta US Air Force
Space Laboratory Project Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan
makanan untuk dikonsumsi astronot pada gravitasi nol. Untuk itu dikembangkan
makanan berukuran kecil (bite size) yang dilapisi dengan pelapis edible yang
menghindarkannya dari hancur dan kontaminasi udara. Misi terpenting dalam
pembuatan produk tersebut adalah menjamin keamanan produk agar para astronot tidak
jatuh sakit. Dengan demikian perlu dikembangkan pendekatan yang dapat memberi
jaminan mendekati 100% aman.
Tim tersebut akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa, cara terbaik untuk
mendapatkan jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan
rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika
diterapkan dengan tepat dapat mengendalikan titik-titik atau daerah-daerah yang
mungkin menyebabkan bahaya. Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati
satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya.
Bahaya yang dipertimbangkan adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya
fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi cemaran tersebut.
Disamping itu, dilakukan pula analisis terhadap proses, fasilitas dan pekerja yang
terlibat pada produksi pangan tersebut.
Pada tahun 1971, untuk pertama kalinya sistem HACCP ini dipaparkan kepada
masyarakat di negara Amerika Serikat di dalam suatu Konferensi Nasional Keamanan
Pangan. Pada tahun berikutnya Pillsbury mendapat kontrak untuk memberikan
pelatihan HACCP kepada badan Food and Drug Adminstration (FDA). Dokumen
lengkap HACCP pertama kali diterbitkan oleh Pillsbury pada tahun 1973 dan disambut
baik oleh FDA dan secara sukses diterapkan pada makanan kaleng berasam rendah.
Pada tahun 1985, The National Academy of Scienses (NAS) merekomendasikan
penerapan HACCP dalam publikasinya yang berjudul An Evaluation of The Role of
Microbiological Criteria for Foods and Food Ingredients. Komite yang dibentuk
oleh NAS kemudian menyimpulkan bahwa sistem pencegahan seperti HACCP ini lebih
dapat memberikan jaminan kemanan pangan jika dibandingkan dengan sistem
pengawasan produk akhir.
Selain NAS, lembaga internasional seperti International Commission on
Microbiological Spesification for Foods (ICMSF) juga menerima konsep HACCP dan
memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat. Ketika NAS membentuk The National
Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Foods (NACMCF), maka konsep
HACCP makin dikembangkan dengan disusunnya 7 prinsip HACCP yang dikenal
sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai badan internasional
seperti Codex Alimentarius Commission (CAC) yang kemudian diadopsi oleh berbagai
negara di dunia termasuk Indonesia.
Perkembangan dari adopsi Sistem HACCP menjadi Standar Codex ini dalam
aplikasinya pada perdagangan tidak semulus adopsinya. Hal ini disebabkan
banyak negara telah mengaplikasikan HACCP sesuai dengan sistem keamanan pangan
dinegara masing dan bahkan telah menjadi regulasi, sehingga untuk langsung
menyesuaikan dengan standar Codex memerlukan waktu dan hal ini mengakibatkan
belum harmonisnya beberapa negara dalam mengakui sistem HACCP yang diterapkan
oleh suatu negara.
Sejak Codex Guidelines for the Application of the HACCP System diadopsi oleh
FAO/WHO Codex Alimentarius Commission pada tahun 1993, termasuk the Codex
Code on general Principles of Food Hygiene direvisi untuk mencakup Sistem HACCP,
maka beberapa negara didunia mulai merubah sistem keamanan pangan dari “end
product tersting” menuju aplikasi HACCP. Terlebih sejak 1997 codex kembali
mempertegas dengan menetapkan kembali Codex Guidelines for the Application of
the HACCP System direvisi dengan judul Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) system and Guidelines for its Application dengan no GL 32. Beberapa negara
kemudian mengadopsi baik melalui standar maupun regulasi. Sebagai contoh
adalah Amerika serikat dengan CFR 21, Canada dengan Quality Management Program,
Indonesia dengan SNI (SNI 01-4852-1998) “Sistem Analisa Bahaya dan pengendalian
Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-HACCP) Serta Pedoman
Penerapannya, Uni Eropa dengan beberapa Commission Decisionnya, serta menyusul
Jepang, Australia, New Zealand, Thailand dan sebagainya.
Dengan diadopsinya HACCP menjadi standar di beberapa negara, maka industri
pangan mendapatkan rekomendasi secara jelas untuk menerapkan HACCP, dan dengan
meningkatnya menjadi regulasi di beberapa negara maka ada suatu tendensi bahawa
HACCP akan menjadi wajib untuk industri pangan untuk diterapkan, bahkan beberapa
negara sudah mewajibkan.
Secara singkat tahap perkembangannya secara umum adalah sebagai berikut:
1960 Pillsbury Co. NASA dan US Army Natick Research and
Development Laboratories Nat. Aeronautics and Space
Administration, untuk mengadakan penelitian Penerapan HACCP
dengan tujuan utama mengembangkan makanan yang aman bagi
astronot.
1971 Pemaparan pertama pada masyarakat mengenai sistem
HACCP di Amerika Serikat.
1973 Peraturan Federal Amerika Serikat untuk menerapkan prinsip
HACCP pada Makanan Kaleng Berasam Rendah (LACF=Low
Acid Canned Food)
1970-awal 1980 HACCP diadopsi oleh industri besar diluar manufacturing.
1985 National Academy of Sciences Subcommittee
merekomendasikan bahwa HACCP seharusnya diadopsi oleh oleh
pemerintah.
1990 FSIS-USDA melaksanakan dua tahun studi penerapan
HACCP untuk daging dan unggas beserta produk olahannya.
1993 Codex Guidelines for the Application of the HACCP System
diadopsi oleh FAO/WHO Codex Alimentarius Commission,
termasuk the Codex Code on general Principles of Food Hygiene
direvisi untuk mencakup Sistem HACCP.
1997 Codex Guidelines for the Application of the HACCP System
direvisi dengan judul Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) system and Guidelines for its Application.
1998 Indonesia mengadopsi Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP) system and Guidelines for its Application menjadi
Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4852-1998) “Sistem Analisa
Bahaya dan pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis
Critical Control Point-HACCP) Serta Pedoman Penerapannya.
Konsep HACCP Menurut Codex
Konsep HACCP menurut CAC terdiri dari 12 langkah, dimana 7 prinsip HACCP
tercakup pula di dalamnya. Langkah-langkah penyusunan dan penerapan sistem
HACCP menurut CAC adalah sebagi berikut:
Gambar 4.1 Langkah Penyusunan dan Implementasi Sistem HACCP Menurut
CAC

Indonesia mengadopsi sistem HACCP versi CAC tersebut dan menuangkannya


dalam acuan SNI 01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian
Titik- Titik Kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya yaitu Pedoman BSN
1004/1999. Sistem yang penerapannya masih bersifat sukarela ini telah digunakan pula
oleh Departemen Pertanian RI dalam menyusun Pedoman Umun Penyusunan Rencana
Kerja Jaminan Mutu Berdasarkan HACCP atau Pedoman Mutu Nomor 5.
Penyusunan Dan Penerapan HACCP
1. Tahap 1 pembentukan tim HACCP
Pembentukan tim HACCP merupakan kesempatan baik untuk memotivasi dan
menginformasikan tentang HACCP kepada para karyawan. Seleksi Tim sebaiknya
dibentuk oleh ketua tim (atau koordinator Tim, yang diangkat lebih dahulu), atau
oleh seorang ahli HACCP (bisa dari luar atau dari dalam pabrik). Hal yang
terpenting adalah mendapatkan Tim dengan komposisi keahlian yang benar
(multidisiplin) sehingga dapat mengumpulkan dan mengevaluasi data-data teknis,
serta mampu mengidentisikasi bahaya dan mengidentifikasi titik Titik Kendali
Kritis (TKK atau CCP=Critical Control Poins).
a. Komposisi tim HACCP
Orang-orang yang dilibatkan dalam tim yang ideal adalah meliputi:
1). Staff Quality Assurance atau Staff Quality Control.
2). Personil Bagian Produksi (mengerti bahan baku dan proses produksi)
3). Personil dari bagian Teknis/Engineering.
4). Ahli mikrobiologi
Pada perusahaan yang kecil, satu orang dapat mengisi posisi-posisi di
atas dan bahkan dapat menanggantikan seluruh Tim HACCP. Dalam kasus ini
perlu bantuan konsultan atau saran-saran dari pihak luar.
Jumlah tim sebaiknya maksimum 5 orang dan minimum 3 orang. Dari
jumlah anggota tim tersebut harus mendapatkan pelatihan penerapan HACCP
dan inspeksi HACCP secara cukup. Hal ini Tim HACCP harus mempunyai
pengetahuan yang cukup akan produk dan prosesnya, serta mempunyai keahlian
yang cukup akan:
• Menetapkan lingkup dari rencana HACCP (apakah hanya masalah
keamanan pangan atau termasuk mutu karakteristik produk)
• Mengidentifikasi bahaya;
• Menetapkan tingkat keakutan (severity) dan resikonya;
• Mengidentifikasi CCP, merekomendasikan cara pengendalian, menetapkan
batas kritis, prosedur monitoring dan verifikasi;
• Merekomendasikan tindakan koreksi yang tepat ketika terjadi penyimpangan;
• Merekomendasikan atau melaksanakan investigasi dan atau penelitian
yang berhubungan dengan rencana HACCP.
b. Checklist tim HACCP
1. Data yang dikumpulkan sangat luas (dari beberapa atau seluruh unit
devisi/bagian dari pabrik atau perusahaan) sehingga membutuhkan tim yang
multidisiplin.
2. QA/QC mengerti dan memahami resiko dan bahaya yang ada
3. Personil bagian produksi, idealnya adalah manajer atau supervisor produksi
yang mengerti seluk beluk proses produksi suatu produk, dari bahan baku
sampai produk selesai diolah.
4. Personil bagian teknis: mengerti desain higienis dan operasi dari
pabrik/plant.
5. Ketua atau koordinator tim: mempunyai pengalaman dalam penerapan
HACCP atau ahli HACCP.
6. Mempunyai sumber atau kewenangan yang mencukupi dalam
melaksanakannya.
7. Telah mengikuti pelatihan HACCP yang mencukupi.
Daftar pemeriksaan (checklist) untuk membantu Tim HACCP mengumpulkan
informasi yang lengkap :
• Komposisi
• Struktur
• Pengolahan
• Pengemasan
• Kondisi penyimpanan dan distribusi
• Masa simpan yang diperlukan
• Petunjuk penggunaan
Daftar Formulasi Resep :
• Bahan baku atau ingridien apa yang digunakan ?
• Apakah ada mikroorganisme penting yang mungkin terdapat pada atau
dalam bahan baku, dan bila demikian apakah mikroorganismenya?
• Apakah setiap ingridien mempunyai sifat toksik atau mengandung
senyawa- senyawa toksik ?
• Bila digunakan bahan pengawet, apakah konsentrasi yang digunakan
mampu mencegah pertumbuhan mikroba penting ?
• Apakah setiap ingridien yang digunakan dalam jumlah yang terlalu tinggi
atau terlalu rendah untuk keperluan kuliner ?
• Apakah pH produk akan mencegah pertumbuhan mikroba atau
menginaktifkan patogen utama ?
• Apakah aw produk akan mencegah pertumbuhan mikroba ?
• Berapa Eh dari produk ?
Daftar pengolahan dan persiapan :
• Dapatkah suatu kontaminan mencapai produk selama persiapan,
pengolahan atau penyimpanan ?
• Apakah mikroorganisme atau senyawa toksin mencemari makanan
setelah dipanaskan ?
• Apakah pengolahan yang lebih berat dapat diterima atau diinginkan ?
• Apakah pengolahan berdasarkan pada data ilmiah ?
• Bagaimana kemasan atau kontainer mempengaruhi ketahanan hidup
atau pertumbuhan mikroorganisme ?
• Berapakah waktu yang diperlukan untuk setiap tahap pengolahan,
persiapan, penyimpanan dan display ?
• Bagaimanakah kondisi distribusinya ?
Deskripsi produk terdiri dari :
- Nama produk
- Komposisi
- Karakteristik produk akhir
- Metode pengolahan/pengawetan
Informasi fungsional Nilai
PH 4.2
Aw 0.85
Kadar garam 3%
Dll.

- Volume
- Pengemasan – Primer
- Pengemasan – Pengiriman/pengapalan
- Kondisi penyimpanan di tempat
- Metode dan kondisi distribusi
- Masa simpan
- Pelabelan khusus – rincian label (lampirkan)
- Persiapan/petunjuk bagi konsumen
c. Tugas tim HACCP
Tim HACCP terdiri atas ketua atau Koordinator tim dan beberapa anggota tim.
Tugas tim HACCP harus meliputi hal-hal berikut:
Tugas Ketua Tim HACCP
1. Menentukan dan mengontrol lingkup HACCP yang akan digunakan.
2. Mengarahkan disain dan implementasi Sistem HACCP dalam pabrik.
3. Mengkoordinasi dan mengetuai pertemuan-pertemuan Tim.
4. Menentukan apakah sistem HACCP yang dibentuk telah memenuhi
ketentuan Codex, memperhatikan pemenuhan sistem terhadap peraturan-
peraturan atau standar yang berlaku dan kefektivitas dari sistem HACCP
yang akan dibuat.
5. Memelihara dokumentasi atau rekaman HACCP.
6. Memelihara dan mengimplementasi hasil-hasil audit internal sistem
HACCP.
7. Karena ketua Tim merupakan ahli HACCP diperusahaan/pabrik, maka
harus mempunyai keahlian komunikasi dan kepemimpinan, serta
mempunyai perhatian yang tinggi terhadap jenis usaha yang dijalankan.
Tugas Anggota Tim HACCP
1. Mengorganisasikan dan mendokumentasikan studi HACCP dalam pabrik
yang bersangkutan.
2. Mengadakan kajian ulang terhadap semua penyimpangan dari batas kritis.
3. Melakukan internal audit HACCP Plan (Rencana HACCP atau Rencana
Kerja Jaminan Mutu).
4. Mengkomunikasikan operasional HACCP.
Tim HACCP harus membuat Rencana HACCP (HACCP Plan), menulis
SSOP dan memverifikasi dan mengimplementasikan sistem HACCP. Tim harus
mempunyai pengetahuan tentang bahaya-bahaya yang menyangkut keamanan
pangan. Jika masalah yang ada tidak dapat dipecahkan secara internal, maka
perlu meminta saran dari ahli atau konsultan HACCP.
Pelatihan
Pelatihan yang direkomendasikan untuk dijalankan oleh tim HACCP adalah
bentuk pelatihan formal dengan materi sebagai berikut:
1. Pengenalan dan Implementasi HACCP
2. Dokumentasi Sistem HACCP
3. Internal Audit Sistem HACCP
4. On the job training pada System Monitoring/Corrective Action.

Tim juga harus memutuskan lingkup HACCP yang meliputi dimana


harus memulai, dimana harus berhenti dan apa saja yang harus dimasukkan
dalam sistem HACCP. Disamping itu Tim juga harus mensosialisasikan sebab-
sebab atau mengapa perusahaan atau pabrik menerapkan sistem HACCP.
Tim HACCP harus memiliki pengertian tentang produk selengkap
mungkin. Semua komposisi produk secara rinci harus diketahui dan dimengerti.
Informasi ini akan sangat penting untuk bahaya mikrobiologis karena komposisi
produk harus diperiksa berkaitan dengan kemampuan patogen untuk tumbuh.
2. Tahap 2: Mendeskripsikan Produk
Menjelaskan produk secara rinci mengenai komposisinya, struktur fisik/kimia
(termasuk aw, pH, dll.), pengemasan, informasi keamanan, perlakuan pengolahan,
(perlakuan panas, pembekuan, penggaraman, pengasapan, dll.), penyimpanan
(kondisi dan masa simpan) dan metode distribusi.
Deskripsi produk terdiri dari :
• Nama produk
• Komposisi
• Karakteristik produk akhir
• Metode pengawetan
• Pengemasan – Primer
• Pengemasan – Pengiriman/pengapalan
• Kondisi penyimpanan
• Metode distribusi
• Masa simpan
• Pelabelan khusus
• Persiapan konsumen
Deskripsi yang lengkap dari produk harus digambarkan, termasuk informasi
mengenai komposisi, struktur kimia/fisika, perlakuan-perlakuan (pemanasan,
pembekuan, penggaraman, pengeringan, pengasapan), pengemasan, kondisi
penyimpanan, daya tahan, persyaratan standar, metoda pendistribusian, dan lain-lain.
Didalam menetapkan diskripsi produk, perlu diperhatikan dan diidentifikasi
informasi yang akan berkaitan dengan program HACCP, agar memberi petunjuk
dalam rangka identifikasi bahaya yang mungkin terjadi, serta untuk membantu
pengembangan batas-batas kritis.
Beberapa informasi dasar yang dapat memberikan petunjuk akan potensi
bahaya adalah:
1. Pengendalian suhu yang benar untuk mencegah tumbuhnya bakteri,
yang mempengaruhi umur produk dan persyaratan konsumen;
2. Jenis pengemas utama adalah faktor penting dalam mengendalikan
pertumbuhan bakteri, bahkan beberapa jenis pengemas dapat langsung dinyatakan
mencegah bekteri patogen tertentu. Misalnya pengemas hampa akan mencegah
bakteri patogen areobik;
3. Metode distribusi, hal ini penting untuk menginformasikan bahwa pada semua
tahap distribusi harus dalam kondisi yang sama;
4. Persyaratan konsumen, dalam beberapa hal konsumen meminta persyaratan
tertentu;
Tabel 4.1 Contoh Deskripsi Produk Minyak Goreng
Tabel 4.2 Contoh Deskripsi Produk Daging Steak

3. Tahap 3: Identifikasi Pengguna Produk


Peruntukan penggunaan harus didasarkan kepada kegunaan yang diharapkan
dari produk oleh pengguna akhir atau konsumen. Tujuan penggunaan ini harus
didasarkan kepada manfaat yang diharapkan dari produk oleh pengguna atau
konsumen. Pengelompokan konsumen penting dilakukan untuk menentukan tingkat
resiko dari setiap produk.
Tujuan penggunaan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi apakah
produk tersebut dapat didistribusikan kepada semua populasi atau hanya populasi
khusus yang sensitif (balita, manula, orang sakit dan lain-lain). Sedangkan cara
menangani dan mengkonsumsi produk juga penting untuk selalu memberi perhatian,
misalnya produk produk siap santap memerlukan perhatian khusus untuk
mencegah terjadinya kontaminasi.
Identifikasi pengguna produk yang ditujukan, konsumen sasarannya dengan
referensi populasi yang peka (sensitif). Apakah produk ditujukan untuk
konsumsi umum atau apakah dipasarkan untuk kelompok populasi yang peka yaitu
bayi, wanita hamil, orang sakit dan orang dengan daya tahan terbatas.
4. Tahap 4: Penyusunan Diagram Alir
Diagram alir harus disusun oleh tim HACCP. Penyusunan diagram alir
proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak
diterimanya bahan baku sampai dengan dihasilkannya produk jadi untuk disimpan.
Pada beberapa jenis produk, terkadang disusun diagram alir proses sampai
dengan cara pendistribusian produk tersebut. Hal tersebut tentu saja akan
memperbesar pekerjaan pelaksanaan HACCP, akan tetapi pada produk-produk yang
mungkin mengalami abuse (suhu dan sebagainya) selama distribusi, maka tindakan
pencegahan ini menjadi amat penting.
Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan
keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk
membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai
pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan
verifikasinya.
Diagram alir harus meliputi seluruh tahap-tahap dalam proses secara jelas mengenai:
1. Rincian seluruh kegiatan proses termasuk inspeksi, transportasi, penyimpanan
dan penundaan dalam proses,
2. Bahan-bahan yang dimasukkan kedalam proses seperti bahan baku, pengemasan,
air dan bahan kimia,
3. Keluaran dan proses seperti limbah: pengemasan, bahan baku, product-in-
progress, produk rework, dan produk yang dibuang (ditolak).
5. Tahap 5: Verifikasi Diagram Alir di Tempat
Agar diagram alir proses yang dibuat lebih lengkap dan sesuai
dengan pelaksanaan di lapangan, maka tim HACCP harus meninjau operasinya
untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir
proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau
kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang
telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
Tim HACCP harus mengkonfirmasikan operasi pengolahan berdasarkan
GAP (Good Agricultural Practices), GHP (Good Handling Practices), GMP (Good
Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan atau GCP
(Good Catering Practices) serta prinsip-prinsip sanitasi dengan diagram alir selama
semua tahapan dan jam operasi serta merubah digram alir dimana yang tepat.
Diagram alir proses yang harus diverifikasi ditempat, dengan cara :
1. Mengamati aliran proses
2. Kegiatan penambilan sampel
3. Wawancara
4. Operasi rutin/non-rutin
6. Tahap 6/ Prinsip 1: Analisa Bahaya
Bahaya adalah suatu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan konsumen
secara negatif yang meliputi bahan biologis, kimia atau fisik di dalam, atau
kondisi dari, makanan dengan potensi untuk menyebabkan dampak merugikan
kesehatan. Langkah ke enam ini merupakan penjabaran dari prinsip pertama
dari HACCP, yang mencakup identifikasi semua potensi bahaya, analisa bahaya,
dan pengembangan tindakan pencegahan.
a. Identifikasi bahaya
Tim HACCP dalam melakukan identifikasi HACCP harus mendaftar semua
bahaya potensial yang terkait dengan setiap tahap dan sedapat mungkin
mengindentifikasi tindakan pencegahannya. Terdapat beberapa jenis bahaya dalam
bisnis pangan yang dapat mempengaruhi secara negatif atau membahayakan
konsumen, yaitu bahaya biologis, bahaya kimia dan bahaya fisik.
b. Analisa bahaya
Tim HACCP berikutnya mendefinisikan dan menganalisa setiap bahaya. Untuk
pencantuman didalam daftar, bahaya harus bersifat jelas sehingga untuk
menghilangkan atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima
adalah penting dalam produksi pangan yang aman. Dalam analisa bahaya
seharusnya mencakup:
1. Kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengaruhnya terhadap kesehatan
2. Evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari bahaya,
3. Ketahanan hidup atau perkembangan bahaya potensial mikroorganisme,
4. Produksi atau keberadaan toksin, bahan kimia atau fisik dalam makanan,
5. Kondisi yang mempunyai tendensi menuju terjadinya bahaya.
Tahap analisa selanjutnya adalah menetapkan signifikansi bahaya dimana
merupakan hasil analisa antara tingkat peluang atau peluang kejadian dengan
tingkat keakutan (severity) dari bahaya keamanan pangan.
c. Analisa resiko
Istilah resiko dalam HACCP yang digunakan dalam hal ini adalah
sebagai peluang kemungkinan suatu bahaya akan terjadi. Menurut MD,
1996, dalam sistem keamanan pangan biasa ditetapkan berdasarkan kategori
resiko, yang secara sederhana dibagi dalam kelompok resiko tinggi, resiko
sedang atau resiko rendah. Pengkategorian ini kemudian dengan kombinasi
dengan tingkat keakutan dapat menjadi dasar menentukan signifikansi dari
bahaya. Pengkategorian ini berdasarkan pertimbangan:
1. Apakah produk pangan mungkin mengandung dan atau mendukung
pertumbuhan patogen potensial ?
2. Apakah produk akan mengalami proses pemanasan tambahan ?
3. Apakah kondisi penyimpanan yang akan datang akan memberi
peluang untuk pertumbuhan patogen atau kontaminasi lebih lanjut ?
4. Apakah populasi yang mengkonsumsi makanan khususnya kelompok yang
peka?

Tabel 4.3 Daftar Kategori Resiko Produk Pangan

Beberapa sumber resiko yang mungkin terjadi untuk menetapkan


peluang kejadian yang juga perlu mendapat perhatian: Sejarah produk,
keluhan konsumen, laporan morbiditas dan mortalitas, regulasi, model
pendugaan, hasil riset dan literatur.
Sedangkan pengkategorian selanjutnya adalah tingkat beratnya/keakutan
bahaya yang dapat menyebabkan masalah keamanan pangan yang
dikelompokkan dalam bahaya tinggi, sedang dan rendah seperti pada tabel
berikut.
Tabel 4.4 Daftar tingkat keakutan bahaya dari bakteri patogen yang dapat
menyebabkan keracunan atau wabah penyakit.
Keakutan Tinggi Keakutan Sedang Keakutan Rendah
- Salmonella - Listeria - Bacillus cereus
enteritidis monocytogenes - Taenia saginata
- Eschericia coli - Salmonella spp, - Clostridium
- Salmonella typhi: Shigella spp perfringens
paratyphi A, B - Campylobacter - Stapphylococcus
- Trichinella jejuni aureus
spiralis - Enterovirulen
- Brucella escherichia coli
melitensis, B. - Streptococcus
Suis pyogenes
- Vibrio Cholerae - Rotavirus, Norwalk
- Vibriovulnificus virus group, SRV
- Taenia Solium - Yersinia
- Clostridium enterocolitica
botulinum tipe A, - Entamoeba
B, E dan F hystolitica
- Shigella - Entamoeba
Dysentriae histolytica
- Diphyllobothrium
latum
- Ascaris
lumbricoides
- Cryptosporidium
parvum
- Hepatitis A dan E.
- Aeromonas spp
- Brucella abortus.
- Giardia lamblia
- Plesiomonas
- Shigelloides
- Vibrio
parahaemolyticus
Pengelompokan lain yang perlu dipertimbagkan adalah terhadap bahaya
kimia dan fisik. Secara sederhana penentuan tingkat bahaya kimia dan fisik
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tingkat keakutan bahaya tinggi: Bahaya yang mengancam jiwa manusia.
2. Tingkat keakutan bahaya sedang: bahaya yang mempunyai potensi
mengancam jiwa manusia.
3. Tingkat keakutan bahaya rendah: bahaya yang mengakibatkan pangan tidak
layak konsumsi.
Dengan mengkombinasikan resiko dengan tingkat keakutan dengan matrik
dapat kita tentukan tingkat signifikan dari bahaya, seperti pada Gambar 2.
Satuan angka untuk memberikan gambaran tingkat signifikansi. Tingkat kategori
resiko dan keakutan bahaya diberi angka 10 untuk rendah, 100 untuk sedang dan
1000 untuk tinggi. Sedang tingkat signifikasi merupakan hasil perkalian antara
tingkat resiko dan keakutan yang menghasilkan angka 100-1.000.000, dengan
kelompok signifikasi rendah 100-1.000, sigifikansi sedang, 10.000, dan
signifikasi tinggi untuk angka 100.000-1.000.000. Untuk nilai signifikansi
100.000-1.000.000 dapat langsung digunakankan untuk penerapannya pada
penetapan CCP pada diagram pohon keputusan titik kritis.
d. Pengembangan tindakan pencegahan
Tahap selanjutnya setelah menganalisa bahaya adalah mengidentifikasi
tindakan pencegahan yang mungkin dapat mengendalikan setiap bahaya. Tim
kemudian harus mempertimbangkan apakah tindakan pencegahan, jika ada, yang
dapat diterapkan untuk setiap bahaya. Tindakan pencegahan adalah semua
kegiatan dan aktivitas yang dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya atau
memperkecil pengaruhnya atau keberadaan pada tingkat yang dapat diterima.
Lebih dari satu tindakan pencegahan yang mungkin dibutuhkan untuk
pengendalian bahaya-bahaya yang spesifik dan lebih dari satu bahaya yang
mungkin dikendalikan oleh tindakan pencegahan yang spesifik.
Tindakan pencegahan dapat berupa tindakan/bahan kimia, fisik atau
lainnyayang dapat mengendalikan bahaya keamanan pangan. Tindakan
pencegahan dalam mengatasi bahaya dapat lebih dari satu bila dibutuhkan.
Tahap ini merupakan tahap penting setelah analisa bahaya/hazard. Tindakan
pencegahan didefinisikan sebagai setiap tindakan yang dapat menghambat
timbulnya bahaya/hazard ke dalam produk dan mengacu pada prosedur operasi
dimana pada setiap tahap para pekerja dipekerjakan. Karena konsep HACCP
adalah mempunyai sifat pencegahan, maka dalam mendesain HACCP tindakan
pencegahan harus selalu menjadi perhatian. Berikut beberapa contoh tindakan
pencegahan :
1. Pemisahan bahan baku dengan produk akhir dalam penyimpanan
2. Menggunakan sumber air yang sudah bersertifikat
3. Kalibrasi timbangan dan temperatur
4. Menggunakan truck yang mempunyai kemampuan mengatur suhu, dll.
Alternatif lain dalam analisis bahaya dengan mengelompokkan bahaya
menjadi enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F seperti terlihat dalam
tabel berikut.
Tabel 4.5 Karakteristik Bahaya
Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya
Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak
steril dan dibuat untuk konsumsi
kelompok beresiko (lansia, bayi,
immunocompromised)
Bahaya B Produk mengandung ingridient
sensitif terhadap bahaya biologi,
kimia atau fisik
Bahaya C Proses tidak memiliki tahap
pengolahan yang terkendali yang
secara efektif membunuh mikroba
berbahaya atau menghilangkan
bahaya kimia atau fisik
Bahaya D Produk mungkin mengalami
rekontaminasi setelah pengolahan
sebelum pengemasan
Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan
penanganan selama distribusi atau
oleh konsumen yang menyebabkan
produk berbahaya
Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir
setelah pengemasan atau di tangan
kosumen atau tidak ada pemanasan
akhir atau tahap pemusnahan
mikroba setelah pengemasan sebelum
memasuki pabrik (untuk bahan baku)
atau tidak ada cara apapun bagi
konsumen untuk mendeteksi,
menghilangkan atau menghancurkan
bahaya kimia atau fisik

Kemudian untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu


bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak
bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori
resiko I sampai VI (Tabel 6). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga
dikelompokkan berdasarkan signifikansinya (Tabel 7). Signifikansi bahaya dapat
diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya (reasonably
likely to occur) dan keparahan (severity) suatu bahaya.
Tabel 4.6 Penetapan Kategori Resiko
Karakteristik Bahaya Kategori Risiko Jenis Bahaya
0 0 Tidak mengandung
bahaya A sampai F
(+) I Mengandung satu bahaya
B sampai F
(++) II Mengandung dua bahaya
B sampai F
(+++) III Mengandung tiga bahaya
B sampai F
(++++) IV Mengandung empat
bahaya B sampai F
Mengandung lima
bahaya B sampai F
(+++++) V Mengandung lima
bahaya B sampai F
A+ (kategori khusus) VI Kategori resiko paling
tinggi (semua produk
dengan atau tanpa yang mempunyai
bahaya B-F bahaya A)

Tabel 4.7 Signifikansi Bahaya

7. Tahap 7/ Prinsip 2: CCP Dan Pengendalian Bahayanya


Pada bagian kedua dari pengembangan HACCP adalah
pengembangan/penentuan Critical Control Point (CCP). Tahap ini merupakan
kunci dalam menurunkan atau mengeliminasi bahaya-bahaya (hazards) yang sudah
diidentifikasi.
CCP atau titik-titik kritis pengawasan didefinisikan sebagai setiap tahap di
dalam proses dimana apabila tidak terawasi dengan baik, kemungkinan dapat
menimbulkan tidak amannya pangan, kerusakan dan resiko kerugian ekonomi.
CCP ini dideterminasikan setelah tata alir proses yang sudah teridentifikasi potensi
hazard pada setiap tahap produksi dan tindakan pencegahannya.
CCP dapat diidentifikasi dengan menggunakan pengetahuan tentang proses
produksi dan semua potensi bahaya dan signifikasi bahaya dari analisa bahaya serta
tindakan pencegahan yang ditetapkan. Namun demikian penetapan lokasi CCP
hanya dengan keputusan dari analisa signifikansi bahaya dapat menghasilkan CCP
yang lebih banyak dari yang seharusnya diperlukan. Sebaliknya juga sering terjadi
negoisasi deviasi yang menyebabkan terlalu sedikitnya CCP yang justru dapat
membahayakan keamanan pangan.
Untuk membantu menemukan dimana seharusnya CCP yang benar, Codex
Alimentarius Commission GL/32 1998, telah memberikan pedoman berupa
Diagram Pohon Keputusan CCP (CCP Decision Tree), seperti tergambar pada
Gambar 1. Diagram pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang
menanyakan setiap bahaya. Jawaban dari setiap pertanyaan akan memfasilitasi dan
membawa Tim HACCP secara logis memutuskan apakah CCP atau bukan. Dengan
menggunakan Diagram ini membawa pola pikir analisa yang terstrukur dan
memberikan jaminan pendekatan yang konsisten pada setiap tahap dan setiap
bahaya yang teridentifikasi.
Gambar 4.1 Diagram Pohon Keputusan CCP
Disamping system Codex yang hanya menggunakan satu jenis diagram
keputusan, terdapat pula format lain yang menggunakan 3 jenis diagram
keputusan (Gambar 2, 3, 4) untuk menentukan CCP. Decision tree ini berisi urutan
pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses,
dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku
yang sensitif terhadap bahaya atau untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu
CCP dapat digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya
suatu CCP secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya
fisik dan mikrobiologi.

Gambar 4.2 Digram Keputusan CCP 1

Gambar 4.3 Diagram Keputusan CCP 2


Gambar 4.4 Diagram Keputusan CCP 3
8. Tahap 8/ Prinsip 3 Penetapan Batas Kritis (Critical Limit)
Merupakan batas-batas kritis pada CCP yang ditetapkan berdasarkan
referensi dan standar teknis serta obesrvasi unit produksi. Batas kritis ini tidak
boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini sudah merupakan toleransi yang
menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Beberapa contoh yang umumnya
digunakan sebagai limit adalah suhu, waktu, kadar air, jumlah bahan tambahan,
berat bersih dan lain-lain.
Batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP, dalam beberapa kasus lebih
dari satu batas kritis akan diperinci pada suatu tahap tertentu. Kriteria yang kerap
kali dipergunakan mencakup pengukuran suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH,
Aw dan chlorine yang ada, dan parameter yang berhubungan dengan panca indra
seperti kenampakan dan tekstur.
Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak
aman sehingga proses produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Batas
kritis ini harus selalu tidak dilanggar untuk menjamin bahwa CCP secara efektif
mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik.
Batas kritis harus mudah diidentifikasi dan dijaga oleh operator proses
produksi, sehingga perlu diusahakan dalam bentuk batas-batas kritis fisik, dan jika
tidak memungkinkan baru mengarah pada kimia atau mikrobiologi. Batas kritis
fisik biasanya dikaitkan dengan toleransi untuk bahaya fisik atau benda asing,
atau kendali bahaya mikrobiologis dimana hidup atau matinya dikendalikan oleh
parameter fisik. Beberapa contoh batas kritis fisik adalah tidak adanya logam,
ukuran retensi ayakan, suhu, waktu, serta unsur-unsur uji organoleptik.
Batas kritis kimia biasanya dikaitkan dengan bahaya kimia atau dengan
kendali bahaya mikrobiologis melalui formulasi produk dan faktor intrinsik.
Sebagai contoh adalah kadar maksimum yang diterima untuk mikotoksin, pH, aw,
alergen, dan sebagainya.
Batas kritis mikrobiologis biasanya tidak digunakan karena membutuhkan
waktu yang relatif lama untuk memonitor, tingkat kontaminasi produk oleh
patogen rendah (<1%), biaya mahal, pengukuran fisik dan kimia dapat
digunakan sebagai indikator pengukuran atau pengendalian mikrobiologis.
Penetapan batas kritis dapat dilakukan melalui beberapa sumber, antara lain:
a. Data yang sudah dipublikasi (Codex, ICMSF, FDA, DepKes, Deperindag, dll.)
b. Advis pakar : konsultan, asosiasi penelitian, perusahaan peralatan, pemasok
bahan kimia pembersih, ahli mikrobiologi, toksikologis, sarjana teknik proses.
c. Data eksperimental (eksperimen pabrik, pemeriksaan mikrobiologis spesifik
dari produk dan ingridien).
d. Modelling matematik : simulasi komputer terhadap karakteristik ketahanan
hidup dan pertumbuhan dari bahaya mikrobiologis dalam sistem pangan.
Tabel 4.6 Contoh Critical Limit (Batas Kritis) Pada CCP
CCP Komponen Kritis
Proses sterilisasi makanan kaleng Suhu awal
Berat kaleng setelah diisi
Isi kaleng
Pemanasan Hamburger Tebal hamburger
Suhu pemanasan
Waktu pemanasan
Penambahan asam ke minuman asam pH produk akhir
Deteksi logam pada pengolahan biji- Kalibrasi detektor
bijian Sensitivitas detektor

9. Tahap 9/ Prinsip 4: Menetapkan Prosedur Monitoring


Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau
observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan
ini untuk menjamin bahwa critical limit tidak terlampaui. Untuk menyusun
prosedur monitoring, pertanyaan-pertanyaan siapa, apa, dimana, mengapa,
bagaimana dan kapan harus terjawab yakni apa yang harus dievaluasi, dengan
metode apa, siapa yang melakukan, jumlah dan frekuensi yang diterapkan.
Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu
checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu
datasheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara
pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan orang
yang melakukan pemantauan.
Pertanyaan apa harus dijawab apa yang dimonitor, yaitu berdasarkan batas
kriyis yang ditetapkan seperti suhu, waktu, ukuran dan sebagainya. Pertanyaan
mengapa dijawab dengan alasan bahwa tidak dimonitor apabila melampau batas
kritis akan menyebabkan tidak terkendalinya bahaya tertentu dan
memungkinkan menyebabkan tidak amannya produk. Pertanyaan dimana
seharusnya dijawab pada titik mana atau pada lokasi mana monitoring harus
dilakukan. Pertanyaan bagaimana menanyakan metode monitoring, apakah secara
sensori, kimia, atau pengukuran tertentu. Berikutnta adalah pertanyaan kapan
dilakukan monitoring, idealnya minimal dimana terjadi interupsi dalam aliran
produksi, atau lot, atau data lain yang menetapkan periode suatu monitoring.
Terakhir adalah pertanyaan siapa yang melakukan monitoring, idelanya adalah
personil yang mempunyai akses yang sangat mudah pada CCP, mempunyai
ketrampilan dan pengetahuan akan CCP dan cara monitoring, sangat terlatih dan
berpengalaman.
Monitoring batas kritis ini ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur
pengolahan atau penanganan pada CCP terkendali, efektif dan terencana untuk
mempertahankan keamanan produk. Monitoring dapat dilakukan dengan cara
observasi atau dengan pengukuran pada contoh yang diambil berdasarkan statistik
pengambilan contoh. Ada lima cara monitoring CCP :
a. Observasi visual
b. Evaluasi sensori
c. Pengujian fisik
d. Pengujian kimia
e. Pengujian mikrobiologi
Monitoring idealnya harus memberikan informasi ini pada waktunya untuk
tindakan perbaikan yang dilaksanakan untuk mendapatkan kembali pengendalian dari
proses sebelum diperlukan penolakan produk. Data yang diperoleh dari pemantauan
mesti dinilai oleh orang yang ditetapkan/ditunjuk dengan pengetahuan dan
kewenangan untuk membawa tindakan perbaikan jika diperlukan. Jika pemantauan
tidak terus menerus, maka jumlah atau periode pemantauan harus cukup untuk
menjamin CCP berada dalam pengendalian.
Umumnya prosedur monitoring untuk CCP perlu dilaksanakan dengan cepat
karena mereka berhubungan dengan kegiatan pengolahan dan waktu untuk analisa
pengujian yang lama. Pengukuran fisik dan kimia kerapkali lebih digunakan daripada
pengujian mikrobiologi karena mereka dapat dikerjakan dengan cepat dan kerapkali
dapat menunjukkan cara pengendalian mikrobiologi dari produk. Semua dokumen
dan pencatatan yang berhubungan dengan monitoring CCP harus ditandatangani
oleh seseorang yang melakukan monitoring dan oleh penanggung jawab.
10. Tahap 10/ Prinsip 5: Penetapan Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis
suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan,
sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko
tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi
sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak
dipasarkan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat dilakukan selain
menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi produk dan kerja ulang
produk, serta tindakan pencegahan seperti memverifikasi setiap perubahan yang
telah diterapkan dalam proses dan memastikannya agar tetap efektif.
Ketentuan Codex :
Tindakan koreksi yang spesifik harus ditetapkan untuk setiap CCP dalam
sistem HACCP untuk digunakan jika terjadi penyimpangan terhadap CCP tersebut.
Tindakan tersebut harus menjamin bahwa CCP telah berada dalam keadaan
terkontrol. Tindakan yang diambil harus juga menyangkut penanganan yang sesuai
untuk produk yang terpengaruh atau terkena penyimpangan terhadap suatu CCP.
Prosedur penanganan produk yang terkena penyimpangan harus
didokumentasikan dalam dokumen pencatatan HACCP (HACCP record keeping).
Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus diambil jika hasil
monitoring pada suatu titik pengontrolan kritis (CCP) menunjukkan adanya
kehilangan kontrol (loss of control).
Jika HACCP digunakan untuk semua aspek mutu produk, maka definisi
tindakan koreksi adalah : Tindakan koreksi adalah tiap tindakan yang harus diambil
jika hasil monitoring pada suatu titik pengontrolan kritis, titik mutu kritis, atau titik
kontrol proses menunjukkan adanya kehilangan kontrol.
Dalam pelaksanaannya terdapat 2 level tindakan koreksi, yaitu :
a. Tindakan Segera (Immediete Action)
Penyesuaian proses agar menjadi terkontrol kembali dan menangani produk-
produk yang dicurigai terkena dampak penyimpangan.
b. Tindakan Pencegahan (preventative Action)
Pertanggungjawaban untuk tindakan koreksi dan pencatatan tindakan koreksi.
Tindakan Segera (Immediate Action)
Tindakan segera terdiri atas dua bagian :
1. Penyesuaian proses agar terkontrol kembali
Biasanya merupakan tindakan jangka pendek. Contoh-contoh penyesuaian yang
mungkin dilakukan adalah sebagai berikut :
- Meneruskan pemasakan daging sampai temperatur internal yang dibutuhkan
dapat dicapai.
- Penggunaan pestisida kembali jika biji-bijian telah ditumbuhi jamur.
- Peningkatan tingkat energi pakan jika ternak gagal mencapai berat yang
dibutuhkan pada kurun waktu tertentu.
- Peningkatan kandungan klorin pada air pencuci sayur-sayuran.
- Kemungkinan lain adalah menghentikan proses sebelum dilakukan
penyesuaian untuk menghentikan produksi produk bermutu rendah, sehingga
produk-produk yang dicurigai terkena dampak penyimpangan dapat dipisahkan.
2. Penanganan terhadap produk-produk yang dicurigai.
Produk-produk yang terlanjur dibuat dalam kondisi dimana batas kritis
dilampaui (dilanggar) perlu diisolasi atau dipisahkan dari produk-produk
yang baik sampai dilakukan pengujian (jika diperlukan) dan harus diputuskan
produk-produk tersebut akan diapakan. Jika diperlukan pengujian produk, maka
ukuran sampel menjadi sangat penting dan harus yakin bahwa ukuran tersebut
memberikan hasil yang mencerminkan populasi. Jika hasil pengujian
menunjukkan bahwa produk tidak aman untuk dimakan atau terjadi penurunan
mutu, maka keputusan yang harus diambil dapat berupa salah satu dari hal-hal
berikut :
- Dihancurkan.
- Diolah kembali. Hal ini hanya dapat dilakukan jika bahaya yang ada
dapat dihilangkan dengan pengolahan kembali.
- Mutunya diturunkan. Hal ini dapat menjadi pilihan jika bahaya yang ada
merupakan bahaya mutu, bukan lagi bahaya keamanan produk. Misalnya, apel
dapat diturunkan mutu atau grade-nya disebabkan adanya cacat (memar, luka
dan lain-lain) yang ada padanya.
- Dirubah atau diolah menjadi jenis produk yang lain. Misalnya susu
yang terkontaminasi Salmonella dapat dijadikan susu kental karena proses
pemanasan akan membunuh Salmonella.
- Dipasarkan ke pasar yang berbeda. Misalnya dikirim ke pasar pakan untuk
dijadikan pakan hewan.
Jika diputuskan untuk mengolah kembali, maka prosesnya harus melewati
setiap tahap pengujian yang dilakukan terhadap produk aslinya. Untuk
meningkatkan tingkat keselamatan atau keamanan, akan sangat baik untuk menguji
produk hasil pengolahan kembali tersebut dengan lebih ketat, misalnya dengan
meningkatkan jumlah contoh yang diuji.
Tindakan Pencegahan (Preventative Action)
Tindakan pencegahan yang diambil pada saat batas kritis dilampaui harus
didokumentasikan dalam Tabel Audit HACCP. Tujuan tindakan pencegahan
adalah untuk mengidentifikasi dan menemukan akar penyebab masalah. Contoh-
contoh tindakan pencegahan antara lain :
- Jika bahan mentah yang diterima bermutu rendah - Informasikan hal ini
kepada pemasok (suplayer) dan tanyakan bagaimana mereka akan berusaha
untuk mencegah hal tersebut tidak terulang kembali.
- Jika daging yang telah dimasak menurut HACCP Plan, kandungan
mikrobanya melampaui maka harus dicari penyebabnya, mungkin daging
tersebut dibeli dari pemasok yang berbeda dan mengandung jumlah mikroba
awal dalam daging mentah yang lebih tinggi.
- Jika ditemukan hama pada produk - tinjau ulang program pengendalian hama.
1. Tanggung Jawab untuk Tindakan Koreksi
Tanggung jawab untuk pengelolaan tiap tindakan koreksi harus diberikan
kepada petugas atau pejabat tertentu di dalam perusahaan. Dalam kasus yang
memerlukan tindakan dengan segera, petugas tersebut sebaiknya seseorang yang
bekerja pada proses atau tahap yang mengalami kehilangan kontrol.
Perkecualian terjadi jika pada HACCP Audit Table terdapat lebih dari satu
tindakan koreksi yang dapat dipilih. Maka pilihan yang diambil dilakukan oleh
personil yang mempunyai pengetahuan memadai untuk merekomendasi tindakan
koreksi apa yang harus dilakukan.
2. Dokumentasi atau Pencatatan Tindakan Koreksi
Pada kasus tindakan pencegahan, personil yang bertanggung jawab dapat
juga bukan berasal dari line produksi, dan umumnya lebih senior. Penugasan
atau pemberian tanggung jawab pada seseorang atau pada suatu posisi
tertentu bukan berarti orang tersebut bertanggung jawab untuk membuat semua
keputusan dan menjalankan semua tindakan yang harus dilakukan, tetapi lebih
bijaksana jika berkonsultasi juga dengan orang atau personil yang lain.
Dengan kata lain personil ini bertanggung jawab bahwa tindakan koreksi yang
benar telah dilakukan.
Rincian tindakan koreksi harus dicatat dan didokumentasikan. Hal ini dapat
dilakukan dengan menyediakan tempat kosong untuk keterangan tantang detail
tersebut pada formulir yang digunakan untuk mencatat hasil kegiatan monitoring,
atau dengan membuat formulir khusus yang didisain untuk mencatat detail tindakan
koreksi.
Adanya dokumentasi ini akan membantu perusahaan dalam mengidentifikasi
masalah serupa dan jika tindakan koreksi yang dilakukan ternyata efektif untuk
mengatasi masalah yang timbul, maka HACCP Plan dapat dimodifikasi menurut
hasil pengamatan dan pencatatan tersebut.

Rekaman Tindakan Koreksi


Tindakan koreksi yang direncanakan harus dicatat dalam HACCP plan. Pada
saat batas kritis dilampaui, dan tindakan koreksi tersebut digunakan, maka kegiatan
tersebut harus direkam dalam sebuah formulir khusus untuk tindakan koreksi
terhadap penyimpangan.
Rekaman atau laporan tindakan koreksi harus berisi hal-hal berikut :
1. Identifikasi produk (misalnya deskripsi produk, jumlah produk yang ditahan dan
lain- lain).
2. Deskripsi penyimpangan
3. Tindakan koreksi yang diambil, termasuk penanganan akhir produk yang
terkena dampak penyimpangan.
4. Nama individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi.
5. Evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi (jika diperlukan).
Rekaman HACCP plan harus berisi suatu tempat terpisah dimana semua
penyimpangan dan tindakan koreksinya dipelihara dengan cara yang terorganisasi.
Tindakan koreksi dicatat pada kolom 8 dari HACCP plan. Jika informasi yang
menyangkut produk yang terkena penyimpangan jumlahnya mencukupi, maka
keputusan yang dilakukan terhadap produk tersebut dapat berupa :
a. Produk tersebut dilepas (release atau dapat diedarkan)
b. Produk tersebut diedarkan (release) setelah sampel dan hasil pengujian
menunjukkan bahwa produk tersebut aman dikonsumsi manusia.
c. Diolah kembali menjadi produk baru.
d. Produk-produk yang tidak memenuhi syarat diturunkan tingkat
penggunanaannya ke tujuan yang kurang sensitif, misalnya dijadikan pakan
ternak.
e. Produk yang tidak memenuhi syarat atau ketentuan tersebut dihancurkan.
11. Tahap 11/ Prinsip 6: Menetapkan Prosedur Verifikasi
Ketentuan Codex
Tetapkan prosedur untuk verifikasi. Metode, prosedur dan pengujian
verifikasi dan audit termasuk random sampling dan analisis, dapat dipakai
untuk menentukan apakah Sistem HACCP berjalan dengan benar dan lancar.
Frekuensi dari verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem
HACCP berjalan efektif.
Verifikasi adalah pemeriksaan sistem HACCP secara menyeluruh
untuk menjamin bahwa sistem seperti yang telah tertulis bahwa makanan yang
diproduksi aman untuk dikonsumsi dan mutunya bagus, benar-benar diikuti.
Informasi yang didapat melalui verifikasi harus dipakai untuk meningkatkan
sistem HACCP. Pada dasarnya verifikasi adalah aplikasi suatu metoda, prosedur,
pengujian dan evaluasi lain, yang dilakukan untuk mengetahui kesesuaiannya
dengan rencana HACCP.
Manfaat Verifikasi
1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman sistem HACCP oleh seluruh
personel perusahaan
2. Menyediakan bukti yang terdokumentasi
3. Merupkan tinjauan (review) yang obyektif dan independen
4. Memelihara rasa percaya (confidence) terhadap rencana HACCP
5. Identifikasi adanya kesempatan untuk peningkatan unjuk kerja/perbaikan.
6. Menjamin dokumen yang tidak relevan dan out of date sudah dibuang
7. Menjamin adanya peningkatan yang berkesinambungan.
Contoh kegiatan verifikasi :
1. Tinjauan terhadap sistem HACCP dan rekamannya
2. Tinjauan terhadap penyimpangan dan disposisi produk
3. Konfirmasi bahwa CCP selalu dalam keadaan terkendali
Jika memungkinkan, aktivitas-aktivitas validasi harus termasuk kegiatan-
kegiatan untuk mengkonfirmasikan efisiensi dari semua elemen rencana HACCP.
Verifikasi memberi jaminan bahwa rencana HACCP telah sesuai dengan kegiatan
operasional sehari-hari dan akan menghasilkan produk (makanan) dengan mutu baik
dan/atau aman untuk dikonsumsi. Secara spesifik, prosedur verifikasi harus menjamin
bahwa:
1. Rencana HACCP yang diterapkan benar-benar tepat untuk mencegah
timbulnya bahaya proses dan bahaya produk.
2. Prosedur pemantauan dan tindakan koreksi masih diterapkan;
3. Internal audit, pengujian mikrobiologi/kimia pada produk akhir tercatat.
Verifikasi terdiri dari 4 jenis kegiatan:
1. Validasi HACCP
2. Tinjauan terhadap hasil pemantauan CCP
3. Pengujian produk
4. Audit
a. Validasi HACCP
Tujuannya: Mengkonfirmasi HACCP Plan telah valid atau benar sebelum
diimplementasikan Konfirmasi yang dapat dilakukan anatar lain:
1. Semua bahaya telah diidentifikasi
2. Tindakan pencegahan sudah dibuat untuk tiap bahaya.
3. Critical limit telah cukup
4. Prosedur pemantauan & peralatannya telah cukup dan terkalibrasi.
Validasi dari rencana HACCP sebaiknya dilaksanakan oleh tim atau pihak
ketiga yang relevan. Validasi ini dapat menambah kredibilitas dan menjamin
kembali efektivitas dari rencana HACCP. Rencana HACCP siap untuk
diimlementasikan jika sudah divalidasi :
 Semua bahaya telah diidentifikasi
 Tindakan pencegahan untuk tiap bahaya telah diidentifikasi
 Critical limit cukup menjamin keamanan produk
 Prosedur pemantauan mencukupi untuk memperoleh informasi yang
diperlukan.
b. Tinjauan/kaji ulang/review Terhadap Hasil Pemantauan (Monitoring)
Rekaman dari kegiatan pemantauan dan tiap tindakan koreksi yang diambil
harus ditinjau secara harian. Hal ini biasanya dilaksanakan secara harian
oleh operator, manager, atau supervisor. Rekaman tersebut diberi identifikasi dan
tanggal pemeriksaan.
c. Pengujian Produk
1. Analisis bahan baku, produk dalam proses dan produk akhir memegang peran
penting dalam verifikasi.
2. Menjamin bahwa critical limit yang telah ditentukan, pada kenyataannya
dapat mengendalikan bahaya yang relevan (validasi).
Contoh kegiatan validasi untuk critical limit :
Analisis mikrobiologi pada makanan sebelum dan sesudah penyimpanan
dalam ruangan dingin untuk menjamin, misalnya critical limit yang ditetapkan 1-

4oC ternyata dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Pengujian


residu kimia pada hasil pertanian untuk menjamin bahwa jenis bahan kimia dan
pupuk yang dipakai tidak mengakibatkan kontaminasi pada kentang.
Verifikasi terhadap produk akhir akan memperlihatkan apakah telah
memenuhi persyaratan pelanggan dan/atau parameter keamanan pangan. Hal ini
termasuk pengujian produk akhir terhadap mikroorganisme, residu kimia,
kontaminasi fisik, berat, ukuran, penampakan, pH, suhu, kadar air, rasa dan
tekstur, dll.
d. Audit
Audit adalah suatu pemeriksaan yang bersifat independen dan sistematik
untuk menentukan apakah kegiatan mutu dan hasil-hasilnya telah sesuai
dengan pengaturan yang direncanakan dan apakah pengaturan-pengaturan
tersebut telah diimplementasikan secara efektif, dan cocok untuk mencapai
tujuan.
Audit dapat dilaksanakan secara:
 Internal : dilaksanakan oleh orang-orang intern perusahaan
 Eksternal : dilakukan oleh pihak di luar perusahaan.
Contoh-contoh Elemen HACCP yang diverifikasi :
1. Dokumen tertulis HACCP Plan
2. Rekaman CCP (Review Log Sheet dan Control Chart)
3. Penyimpangan dan Tindakan koreksi yang harus diambil jika terjadi
penyimpangan.
4. Perlengkapan prosessing komplien dengan rencana
5. Verifikasi terhadap peralatan pengujian dan monitoring yang
menunjukkan telah terkalibrasi terhadap standar.
6. Review Tindakan Koreksi
7. Laporan-laporan audit
8. Keluhan-keluhan konsumen
9. Rekaman Kalibrasi
10. Rekaman Training
11. Spesifikasi dan hasil analisis bahan baku
12. Rekaman laboratorium
Walaupun tidak lengkap semua, berikut ini merupakan hal-hal yang
harus diperiksa yang berhubungan dengan tiap-tiap elemen di atas :
 Bahan baku
- Spesifikasi
- Approved supplier
- Sampling bahan mentah
- Setiap perubahan dalam bahan baku dan supplier
 Penerimaan dan Penyimpanan
- Pengontrolan suhu
- Pengontrolan kelembaban
- Program karantina yang diikuti
- Rotasi stok
 Prosessing
- Verifikasi formula proses selama proses
- Review langkah-langkah proses
- Apakah tindakan pengontrolan yang telah ditetepkan diikuti ?
- Tindakan pengomtrolan untuk suhu dan kimia
- Kontrol waktu/suhu
- Dokumentasi dari tindakan pengontrolan tersebut
- Konsentrasi pembersih dan sanitizer

 Peralatan Proses
- Apakah diagram alir untuk operasi bersifat terkini
- Apakah peralatan yang sama telah digunakan pada saat HACCP Plan dibuat.
- Setiap perubahan peralatan atau catatat perubahan
- Apakah mekanisme proses kontrol pada peralatan sesuai dengan HACCP
Plan
Apakah perubahan sistem didiskusikan dengan tim keamanan pangan
sebelum dibuat perubahan.
 Pembersihan dan Sanitasi
- Konsentrasi kimia dari pembersih dan sanitizer
- Kontrol Chart dari CIP (Clean in Place)
- Waktu/suhu/tekanan
 Peralatan Kontrol
- Apakah ketepatan peralatan ukur telah dievaluasi seperti jadwal yang
tertulis dalam HACCP Plan
- Apakah verifikasi dilakukan terhadap standar
- Apakah prekuansinya sesuai seperti yang telah ditentukan
- Apakah peralatan kontrol proses kritis terpasang ditempatnya
- Apakah pengontrolan rutin dilakukan dan didokumentasi terhadap
keberadaan peralatan kontrol tersebut
- Apakah control chart yang ada secara tepat mendokumentasikan CCP
- Apakah control chart yang ada mendokumentasikan secara tepat
produk, kode, jumlah produk yang diproduksi, siapa yang memproduksi.
 Bahan Pengemas
- Apakah bahan pengemas mengalami perubahan
- Apakah kode produksi telah benar dan berhubungan atau sesuai
dengan batch produksi dan catatan produksi.
- Apakah hasil pengujian shelf-life yang telah dilakukan diikuti
- Apakah penanganan produk akhir mengalami perubahan
- Apakah petunjuk penggunaan bagi konsumen mengalami perubahan
12. Tahap 12/ Prinsip 7: Dokumentasi dan Rekaman yang Baik
HACCP memerlukan penetapan prosedur pencatatan yang efektif yang
mendokumentasikan sistem HACCP.
Ketentuan CODEX :
Pembuatan pencatatan yang efisien dan akurat sangat penting dalam
aplikasi sistem HACCP. Prosedur-prosedur HACCP harus didokumentasikan.
Dokumentasi dan cacatan harus cukup melingkupi sifat dan ukuran operasi di
lapangan.
Contoh-contoh dokumen :
1. Dokumen analisa bahaya
2. Dokumen penentuan CCP
3. Penentuan batas kritis
Contoh-contoh catatan :
1. Aktivitas monitoring CCP
2. Deviasi dan tindakan koreksi yang dilakukan
3. Modifikasi sistem HACCP
Pencatatan yang akurat terhadap apa yang terjadi merupakan bagian yang
sangat esensial untuk program HACCP yang sukses. Catatan harus meliputi semua
area yang sangat kritis bagi keamanan produk, dan harus dibuat pada saat
monitoring dilakukan. Catatan membuktikan bahwa batas-batas kritis telah
dipenuhi dan tindakan koreksi yang benar telah diambil pada saat batas kritis
terlampaui. Catatan merupakan bukti tertulis bahwa suatu kegiatan telah terjadi.
Formulir atau log sheet merupakan template dimana hasil kegiatan dicatat. Jadi
formulir yang telah dilengkapi merupakan catatan.
Keuntungan catatan adalah :
1. Menyediakan bukti dokumen bahwa sistem HACCP bekerja.
2. Menunjukkan kecenderungan bahwa perusahaan dapat mencegah masalah yang
dapat timbul (terutama jika dikombinasikan dengan alat kontrol proses secara
statistik).
3. Menolong untuk mengidentifikasi penyebab masalah
4. Memberikan dukungan bukti jika terjadi tuntutan hukum.
Semua catatan HACCP harus berisi informasi-informasi berikut :
1. Judul dan data kontrol dokumen
2. Tanggal catatan dibuat
3. Inisial orang yang melakukan pemeriksaan
4. Identifikasi produk (nama, kode batch, penggunaan sebelum tanggal dll).
5. Bahan dan peralatan yang digunakan
6. Batas kritis
7. Tindakan koreksi yang diambil dan oleh siap, dan
8. Tempat untk inisial dan data untuk orang yang mereview catatan
Catatan harus disimpan ditempat yang aman dan terlindung. Kemudahan akses
terhadap catatan memungkinkan internal dan eksternal verifikasi dapat lebih mudah
dan memudahkan para personel untuk dapat memecahkan masalah dan melihat
kecenderungan yang terjadi.
Jenis catatan HACCP yang dapat dijadikan bagian sistem HACCP adalah :
a. HACCP Plan dan Dokumen-dokumen pendukungnya
b. Catatan Monitoring
c. Catatan Tindakan Koreksi
d. Catatan Verifikasi
HACCP Plan dan Dokumen Pendukungnya
Dokumen pendukung meliputi :
1. Dokumentasi yang menyangkut 12 langkah HACCP Plan
2. Daftar Tim HACCP dan tanggung jawabnya
3. Suatu ringkasan tenang langkah-langkah pendahuluan yang diambil
dalam mengembangkan HACCP Plan
4. Program-program Prerequisit
Dokumen pendukung dapat pula meliputi : data yang cukup yang
digunakan menentukan batasan-batasan yang cukup untuk mencegah pertumbuhan
bakteri patogen; untuk menetapkan batas umur simpan yang aman (jika umur
simpan produk mempengaruhi keamanannya), dan penetapan perlakuan panas yang
cukup untuk menghancurkan semua bakteri patogen. Sebagai tambahan,
dokumen-dokumen pendukung juga dapat berupa surat-surat atau catata-catatan
hasil konsultasi dengan konsultan atau tenaga ahli lainnya.
Catatan Hasil Monitoring
Catatan monitoring HACCP akan menunjukkan apakah batas kritis
dilanggar atau tidak. Catatan ini harus merujuk pada serangkaian batas kritis yang
telah diset untuk tiap CCP. Contoh catatan monitoring CCP antara lain :
1. Catatan waktu dan suhu dari pemasak
2. Catatan suhu penyimpanan
3. Catatan hasil pengukuran Salometer
4. Catatan penutupan kaleng
Informasi hasil monitoring harus dibuat pada waktu kegiatan monitoring
tersebut dilakukan.
Catatan Tindakan Koreksi
Jika batas kritis dilampaui, dan terjadi tindakan koreksi, maka hal ini
harus dicatat. Catatan tindakan koreksi atau laporan, seharusnya berisi :
- Identifikasi produk
- Deskripsi produk
- Jumlah produk yang ditahan (on hold)
- Deskripsi penyimpangan
- Tindakan koreksi yang diambil, termasuk deskripsi akhir produk yang
terkena pengaruh.
- Nama individu yang bertanggung jawab terhadap tindakan koreksi.
- Hasil evaluasi, bila perlu
Catatan Hasil Verifikasi
Catatan verifikasi meliputi :
- Modifikasi HACCP Plan yang dihasilkan karena adanya perubahan bahan
baku, formulasi, proses, pengemasan dan distribusi.
- Varifikasi ketepatan dan kalibrasi semua peralatan monitoring
- Hasil pengujian berkala mikrobiologi
- Audit terhadap suplayer yang menunjukkan kesesuaiannya dengan jaminan
atau sertifikat.

GOOD MANUFACTURING PRODUCTS


Definisi Good Manufacturing Products (GMP)
Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan pedoman cara memproduksi
makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari produksi primer sampai
konsumen akhir dan menekankan higiene pada setiap tahap pengolahan. Thaheer (2005)
menyebutkan bahwa GMP merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan
dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan
dan tuntutan konsumen. Pedoman GMP atau Cara Produksi Makanan yang Baik
(CPMB) menurut Menteri Kesehatan No.23/MEN.KES/SK/1978 mencakup lokasi
pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal,
pengendalian proses pengolahan, fasilitas sanitasi, label, keterangan produk,
penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium,
kemasan dan transportasi.
1. Lokasi pabrik
Berada pada lokasi yang memiliki kemudahan akses jalan masuk, prasarana jalan
yang memadai, jauh dari pemukiman penduduk, terbebas dari pencemaran serta
memiliki pintu masuk dan keluar yang terpisah. Cemaran yang dimaksud dapat
berasal dari polusi, hama, pengolahan limbah serta sistem pembuangan yang tidak
berfungsi dengan baik.
2. Bangunan
Konstruksi, desain, tata ruang dan bahan baku dibuat berdasarkan syarat mutu dan
teknik perencanaan pembuatan bangunan yang berlaku sesuai dengan jenis
produknya. Bahan baku berasal dari bahan yang mudah dibersihkan, dipelihara dan
disanitasi serta tidak bersifat toksik.
3. Produk akhir
Produk akhir mengalami uji-uji secara kimia, fisik dan mikrobiologi sebelum
dipasarkan.
4. Peralatan pengolahan
Bahan baku peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan harus dibuat
memenuhi standar baik teknik, mutu dan higiene, seperti bersifat tidak toksik,
tahan karat, kuat, tidak menyerap air, tidak mengelupas, mudah dipelihara,
dibersihkan dan disanitasi.
5. Bahan produksi
Bahan baku serta bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi produk harus
sesuai dengan standar mutu yang berlaku serta tidak membahayakan ataupun
merugikan kesehatan konsumen. Masing-masing bahan mengalami pengujian
secara organoleptik, fisik, kimia, biologi dan mikrobiologis sebelum diproses.
6. Higiene personal
Seluruh karyawan yang berhubungan dengan proses produksi menjalani pemeriksaan
rutin (minimal enam bulan satu kali), tidak diperbolehkan melakukan kebiasaan yang
beresiko meningkatkan kontaminasi terhadap produk seperti : bersandar pada
peralatan, mengusap muka, meludah sembarangan serta memakai arloji dan perhiasan
selama proses produksi berlangsung.
7. Pengendalian proses pengolahan
Pengendalian terhadap proses pengolahan dilakukan dengan cara : pengecekan alur
proses secara berkala, penerapan SSOP dalam setiap langkah serta pemeriksaan raw
material secara berkala yang dilakukan dengan melakukan pengujian secara
organoleptik, fisik, kimia dan biologis.
8. Fasilitas sanitasi
Fasilitas sanitasi yang digunakan harus memenuhi syarat mutu yang berlaku,
seperti : memiliki sarana air bersih yang mencukupi, saluran yang berbeda untuk
proses sanitasi dan produksi, air yang digunakan untuk proses produksi sesuai dengan
syarat mutu air minum dan dilakukan pengecekan berkala terhadap fasilitas sanitasi.
9. Label
Label yang tertera pada kemasan harus sesuai dengan syarat yang telah disebutkan
dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pelabelan makanan kemasan.
10. Keterangan produk
Keterangan produk yang tertera dalam kemasan produk harus lengkap serta dapat
menjelaskan tentang tata cara penyimpanan, kandungan nutrisi, produsen dan tanggal
kadaluarsa.
11. Penyimpanan
Proses penyimpanan bahan baku dan produk dilakukan secara terpisah dengan tujuan
untuk meniadakan proses kontaminasi silang antara kedua bahan tersebut, selain itu
proses penyimpanan terpisah pun dilakukan pada bahan yang bersifat toksik (bahan
kimia) dan bahan pangan serta bahan yang dikemas dengan bahan tidak dikemas.
12. Pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi
Aplikasi pemeliharaan sarana pengolahan dilakukan dengan selalu menerapkan
proses sanitasi peralatan pengolahan pada saat sebelum dan setelah proses produksi
berlangsung, sedangkan untuk kegiatan sanitasi dilakukan dengan cara mencegah
masuknya binatang yang dianggap hama (tikus, serangga, burung dan kecoa) ke
dalam ruang produksi, penempatan pest control pada titik yang dianggap kritis
serta melakukan monitoring secara berkala dan recording terhadap proses sanitasi
yang berlangsung.
13. Laboratorium
Perusahaan yang bergerak dalam bidang pangan diharuskan untuk memiliki
laboratorium untuk melakukan uji secara fisik, kimia, biologis dan mikrobiologis
terhadap bahan yang digunakan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
14. Kemasan
Bahan baku kemasan yang digunakan untuk produk pangan umumnya bersifat tidak
toksik dan mencemari atau mengkontaminasi produk sehingga aman untuk kesehatan
konsumen.
15. Transportasi
Sarana transportasi yang digunakan untuk bahan pangan harus memiliki sifat
atau fungsi untuk menjaga bahan pangan agar tidak terkontaminasi dan terlindung
dari kerusakan. Penjagaan bahan baku atau produk dilakukan dengan melengkapi
sarana transportasi dengan fasilitas yang dibutuhkan seperti alat pendingin.
Kaitan GMP dengan Sistem HACCP dan SSOP
Agar sistem HACCP dapat berfungsi dengan baik dan efektif, perlu diawali
dengan pemenuhan program Pre-requisite (persyaratan dasar), yang berfungsi
melandasi kondisi lingkungan dan pelaksanaan tugas serta kegiatan lain dalam
industri pangan. Peran GMP dalam menjaga keamanan pangan selaras dengan Pre-
requisite penerapan HACCP. Pre-requisite merupakan prosedur umum yang berkaitan
dengan persyaratan dasar suatu operasi bisnis pangan untuk mencegah kontaminasi
akibat suatu operasi produksi atau penanganan pangan. Diskripsi dari pre-requisite ini
sangat mirip dengan diskripsi GMP yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan
operasi sanitasi dan higiene pangan suatu proses produksi atau penanganan pangan.
Secara umum perbedaan antara GMP dan SSOP (Standard Sanitation Operating
Prosedure) adalah : GMP secara luas terfokus dan pada aspek operasi pelaksanaan
tugas dalam pabriknya sendiri serta operasi personel. Sedang SSOP merupakan
prosedur yang digunakan oleh industri untuk membantu mencapai tujuan atau sasaran
keseluruhan yang diharapkan GMP dalam memproduksi pangan yang bermutu tinggi
aman dan tertib.
Sanitasi dan Higiene
Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dalam tempat
produksi, persiapan penyimpanan, penyajian makanan, dan air sanitasi. Hal-hal tersebut
merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap cara penanganan pangan.
Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah kotornya
lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan
dari makanan dan mesin pengolahan, serta mencegah terjadinya kontaminasi silang.
Program higiene dan sanitasi yang efektif merupakan kunci untuk pengontrolan
pertumbuhan mikroba pada produk dan industri pengolahan makanan.
Prinsip Dasar Sanitasi
Prinsip dasar sanitasi meliputi dua hal, yaitu membersihkan dan sanitasi.
Membersihkan yaitu menghilangkan mikroba yang berasal dari sisa makanan dan
tanah yang mungkin menjadi media yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Sanitasi
merupakan langkah menggunakan zat kimia dan atau metode fisika untuk
menghilangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal pada permukaan alat dan
mesin pengolah makanan.
Sumber Kontaminasi
Beberapa hal yang memungkinkan untuk menjadi sumber kontaminasi pada
industri pangan adalah :
a. Bahan baku mentah
Proses pembersihan dan pencucian untuk menghilangkan tanah dan untuk
mengurangi jumlah mikroba pada bahan mentah. Penghilangan tanah amat
penting karena tanah mengandung berbagai jenis mikroba khususnya dalam
bentuk spora.
b. Peralatan/mesin yang berkontak langsung dengan makanan
Alat ini harus dibersihkan secara berkala dan efektif dengan interval waktu agak
sering, guna menghilangkan sisa makanan dan tanah yang memungkinkan sumber
pertumbuhan mikroba.
c. Peralatan untuk sterilisasi

Harus diusahakan dipelihara agar berada di atas suhu 75 – 760C agar bakteri
thermofilik dapat dibunuh dan dihambat pertumbuhannya.
d. Air untuk pengolahan makanan
Air yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan air minum.
e. Air pendingin kaleng
Setelah proses sterilisasi berakhir, kalengnya harus segera didinginkan dengan air
pendingin kaleng yang mengandung disinfektan dalam dosis yang cukup. Biasanya
digunakan khlorinasi air sehingga residu khlorine 0,5 – 1,0 ppm.
f. Peralatan/mesin yang menangani produk akhir (post process handling equipment)
Pembersihan peralatan ini harus kering dan bersih untuk menjaga agar tidak terjadi
rekontaminasi.
Persyaratan GMP
GMP mempersyaratkan agar dilakukan pembersihan dan sanitasi dengan frekuensi yang
memadai terhadap seluruh permukaan mesin pengolah pangan baik yang berkontak
langsung dengan makanan maupun yang tidak. Mikroba membutuhkan air untuk
pertumbuhannya. Oleh karena itu persyaratan GMP : mengharuskan setiap permukaan
yang bersinggungan dengan makanan dan berada dalam kondisi basah harus
dikeringkan dan disanitasi. Peraturan GMP juga mempersyaratkan penggunaan zat
kimia yang cukup dalam dosis yang dianggap aman.
Tahap-Tahap Higiene dan Sanitasi
Prosedur untuk melaksanakan higiene dan sanitasi harus disesuaikan dengan jenis
dan tipe mesin/alat pengolah makanan. Stamdar yang digunakan adalah :
a. “Pre rinse” atau langkah awal, yaitu : menghilangkan tanah dan sisa makanan
dengan mengerok, membilas dengan air, menyedot kotoran dan sebagainya.
b. Pembersihan : menghilangkan tanah dengan cara mekanis atau mencuci dengan lebih
efektif.
c. Pembilasan: membilas tanah dengan pembersih seperti sabun/deterjen dari
permukaan
d. Pengecekan visual: memastikan dengan indera mata bahwa permukaan alat bersih.
e. Penggunaan disinfektan : untuk membunuh mikroba.
f. Pembersihan akhir : bila diperlukan untuk membilas cairan disinfektan yang
padat.
g. “Drain dry” atau pembilasan kering : disinfektan atau final rinse dikeringkan dari
alat-alat tanpa diseka/dilap. Cegah jangan sampai terjadi genangan air karena
genangan air merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan mikroba.

Sanitizer
Sanitasi adalah langkah pemberian sanitizer dalam kimia atau perlakuan fisik yang
dapat mereduksi populasi mikroba pada fasilitas dan peralatan pabrik. Sanitizer yang
digunakan dalam industri pangan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Panas
a. Uap air panas (steam) mengalir dengan suhu dan waktu tertentu : 770C selama

15 menit, atau 930C selama 5 menit

b. Untuk alat makan dan peralatan kecil (pisau dsb) 77 0C selama 2 menit, dan

770C selama 5 menit untuk peralatan pengolahan.

c. 820C selama 20 menit untuk pengolahan pangan


2. Radiasi UV, waktu kontak harus lebih dari 2 menit, terutama digunakan untuk
sanitasi wadah pengemas dan ruangan yaitu untuk membunuh mikroba termasuk
virus.
3. Senyawa kimia (Disinfektan), disinfektan yang digunakan dalam industri pangan
adalah :
a. Senyawa khlorin
b. Iodium dan kompleks iodium
c. Senyawa amonium quartenair
d. Kombinasi asam-anion
Sanitasi Kimiawi
Meskipun panas dan sinar UV sangat efektif untuk proses sanitasi, hingga kini
industri pangan masih sangat bergantung pada disinfektan kimiawi. Disinfektan tersebut
akan membasmi sebagian besar mikroba. Yang penting wajib dipertimbangkan bahwa
spora mikroba bisa bertahan terhadap disinfektan. Jadi permukaan yang sudah diberi
disinfektan adalah tidak steril. Sesudah sanitasi, jumlah mikroba berkurang banyak
tetapi tidak steril. Steril berarti tidak ada mikroba sama sekali (sterilized).
Peraturan GMP mempersyaratkan penggunaan zat kimia yang cukup dalam dosis
yang dianggap aman, oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti petunjuk
penggunaan disinfektan tersebut dari pabrik pembuatnya.
Efektifitas dari disinfektan tergantung pada :
1. Jenis dan konsentrasinya
2. Lama kontak
3. Suhu
4. pH
Sangat tidak berguna untuk melakukan desinfeksi pada permukaan alat yang
kotor, karena disinfektannya akan bereaksi dengan kotoran sehingga tidak efektif.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Sanitizer
Hidrogen peroksida (H2O2) dan ozon (O3) juga dapat digunakan sebagai
disinfektan, tetapi karena beberapa kelemahan dalam sifat-sifatnya, maka keduanya
jarang digunakan secara umum. H2O2 khusus digunakan untuk sterilisasi wadah
pengemasan plastik, dan ozon khusus digunakan dalam pengawetan air mineral.
Komponen fenol merupakan disinfektan yang kuat, tetapi tidak digunakan untuk
sanitasi dalam industri pangan karena baunya yang keras dapat memprngaruhi flavor
makanan yang diolah. Pemilihan jenis sanitizer yang digunakan dalam industri
pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor :
a. Kelompok/jenis mikroba yang menjadi target
b. Kondisi/sifat air yang digunakan
c. Obyek/bahan yang akan disanitasi
d. Sifat-sifat lain seperti stabilitas, harga dan sebagainya.

SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURES (SSOP)


Undang-Undang Pangan RI No. 7 tahun 1996 menjelaskan bahwa sanitasi pangan
merupakan upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan tumbuh dan berkembang
biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan
bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan kesehatan manusia. SSOP
merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisikan tentang perencanaan
tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan
adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA,
1995).
Secara umum Pre-requisite program adalah hal-hal yang berkaitan dengan
operasi sanitasi dan hygiene pangan suatu proses produksi atau penanganan pangan
yang dikenal dengan GMP. Penerapan Pre-requisite program harus didokumentasikan
dalam SPO Sanitasi.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan pada Penerapan Pre-requisite Program
1. Program harus terdokumentasi.
2. Identifikasi semua langkah dalam operasi yang kritis terhadap keamanan dan mutu
pangan.
3. Terapkan prosedur kontrol yang efektif setiap tahapan operasi.
4. Monitor prosedur kontrol untuk menjamin efektifitasnya.
5. Pelihara pencatata yang baik dan review prosedur pengendalian (secara periodik
atau jika ada perubahan operasi).
Tujuan SPO Sanitasi
Tujuan SPO Sanitasi adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi
memahami :
1. Bahwa program higiene dan sanitasi akan meningkatkan kualitas sehingga tingkat
keamanan produk meningkat, seirama dengan menurunnya kontaminasi mikroba
2. Peraturan GMP mengharuskan digunakan zat tertentu yg aman & efektif
3. Tahapan dlm higiene dan sanitasi
4. Persyaratan minimum penggunaan klorine pd air pendingin (khusus industri
pengolahan pangan)
5. Pengaruh faktor pH, suhu, konsentrasi disinfektan pd hasil akhir sanitasi
6. Masalah potensial yang timbul jika sanitasi dan higiene tidak dijalankan
Manfaat SPO Sanitasi dalam Menjamin Sistem Keamanan Produksi Pangan
1. Memberikan jadwal pada prosedur sanitasi.
2. Memberikan landasan program monitoring berkesinambungan.
3. Mendorong perencanaan yg menjamin dilakukan koreksi bila diperlukan.
4. Mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kembali terjadinya masalah.
5. Menjamin setiap personil mengerti sanitasi.
6. Memberi sarana pelatihan yg konsisten bagi personil.
7. Meningkatkan praktek sanitasi dan kondisi di unit usaha.
Delapan Kunci Persyaratan Sanitasi
NSHATE (1999) mengelompokkan prinsip-prinsip sanitasi untuk diterapkan
dalam SPO Sanitasi menjadi 8 Kunci persyaratan Sanitasi, yaitu :
Kunci 1. Keamanan air
Kunci 2. Kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dgn bahan pangan
Kunci 3. Pencegahan kontaminasi silang
Kunci 4. Menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet
Kunci 5. Proteksi dari bahan-bahan kontaminan
Kunci 6. Pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan toksin yang benar
Kunci 7. Pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan
kontaminasi
Kunci 8. Menghilangkan hama dr unit pengolahan
a. Kunci 1. Keamanan air
Air merupakan komponen penting dlm industri pangan yaitu sebagai bagian dari
komposisi; untuk mencuci produk; membuat es/glazing; mencuci
peralatan/sarana lain; untuk minum dan sebagainya. Karena itu dijaga agar tidak ada
hubungan silang antara air bersih dan air tidak bersih (pipa saluran air hrs
teridentifikasi dengan jelas).
Sumber air yang digunakan dalam industri pangan : 1). Air PAM, biasanya
memenuhi standar mutu; 2). Air sumur, peluang kontaminasinya sangat besar,
karena adanya banjir, septictank, air pertanian dan sebagainya; 3). Air laut
(digunakan industri perikanan) harus sesuai dengan standar air minum, kecuali kadar
garam.
1. Monitoring keamanan air
- Air PAM : bukti pembayaran dari PAM, fotokopi hsl analisa air dari
PAM. Bila ragu disarankan untuk dianalisa tambahan dari lab penguji
terakreditasi.
- Air sumur : dilakukan sebelum usaha bisnis dimulai. Pengujian kualitas air
dari lab. penguji pangan yang terakreditasi
- Air laut: harus dilakukan lebih sering dari air PAM/sumur; dengan inspeksi
secara visual/organoleptik.
2. Tindakan Koreksi
Harus segera lakukan tindakan koreksi bila terjadi atau ditemukan adanya
penyimpangan. Misal: dengan penyetopan saluran, stop proses produksi
untuk sementara; tarik produk yang terkena.
3. Rekaman
- Dilakukan pada setiap monitoring, serta bila terjadi tindakan koreksi
- Bentuk rekaman : rekaman monitoring periodik, rekaman periodik inspeksi
plumbing, rekaman monitoring sanitasi harian
b. Kunci 2. Kondisi dan Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan Pangan
1. Monitoring
- Kondisi permukaan yang kontak dengan pangan : dilakukan dengan
inspeksi visual terhadap permukaan
- Kebersihan dan sanitasi permukaan yang kontak dengan pangan :
apakah terpelihara
- Tipe dan konsentrasi bahan sanitasi : dengan test strips/kits. Verifikasi
dilakukan dengan pengujian mikrobial permukaan secara berkala
- Kebersihan sarung tangan dan pakaian pekerja. : apakah dalam kondisi baik
2. Tindakan koreksi
- Bila terjadi konsentrasi sanitiser bervariasi setiap hari maka harus
memperbaiki / ganti peralatan dan melatih operator
- Observasi pertemuan dua meja, bila terisi rontokan produk maka pisahkan
agar mudah dibersihkan
- Bila meja kerja menunjukkan tanda korosi maka perbaiki / ganti meja yang
tidak korosi
3. Rekaman :
- Dilakukan pada setiap monitoring dan bila terjadi koreksi
- Bentuk rekaman: monitoring periodik, rekaman monitoring sanitasi harian/
bulanan.
c. Kunci 3. Pencegahan Kontaminasi Silang
Kontaminasi silang sering terjadi pada industri pangan akibat kurang
dipahaminya masalah ini. Beberapa hal untuk pencegahan kontaminasi silang adalah
: tindakan karyawan untuk pencegahan, pemisahan bahan dengan produk
siap konsumsi, disain sarana prasarana.
1. Monitoring
- Pemisahan yg cukup antara aktivitas penanganan dan pengolahan bahan
baku dengan produk jadi.
- Pemisahan yang cukup produk-produk dlm penyimpanan.
- Pembersihan dan sanitasi area, alat penangan dan pengolahan pangan.
- Praktek higiene pekerja, pakaian dan pencucian tangan.
- Praktek pekerja dan peralatan dalam menangani produk.
- Arus pergerakan pekerja dalam pabrik dan unit usaha perlu diatur alirannya
baik
2. Tindakan koreksi
Bila pada monitoring terjadi ketidak sesuaian yang mengakibatkan kontaminasi
silang maka stop aktivitas sampai situasi kembali sesuai; ambil tindakan
pencegahan terjadinya pengulangan; evaluasi keamanan produk, jika perlu
disposisi ke produk lain, reproses atau dibuang bila produk terkontaminasi
3. Rekaman
- Dokumentasikan koreksi yang dilakukan.
- Rekaman periodik saat dilakukan monitoring.
d. Kunci 4. Menjaga Fasilitas Cuci Tangan, Sanitasi dan Toilet
Kondisi fasilitas cuci tangan, toilet dan sanitasi tangan sangat penting untuk
mencegah terjadinya kontaminasi terhadap proses produksi pangan. Kontaminasi
akibat kondisi fasilitas tersebut akan bersifat fatal, karena diakibatkan oleh bakteri
patogen.
1. Monitoring
Mendorong program pencucian tangan untuk mencegah penyebaran kotoran dan
mikroorganisme patogen pada area penanganan, pengolahan dan produk pangan.
2. Tindakan Koreksi
- Perbaiki atau isi bahan perlengkapan toilet dan tempat cuci tangan.
- Buang dan buat larutan baru jika konsentrasi bahan sanitasi salah.
- Observasi catatan tindakan koreksi ketika kondisi sanitasi tidak sesuai.
- Perbaiki toilet yang rusak
3. Rekaman
Rekaman yang dapat dilakukan untdk menjaga kunci sanitasi : kondisi dan lokasi
fasilitas cuci tangan, toilet; kondisi dan ketersediaan tempat sanitasi tangan,
konsentrasi bahan sanitasi tangan, tindakan koreksi pada kondisi yang tidak sesuai.
e. Kunci 5. Proteksi dari Bahan-Bahan Kontaminan
Tujuannya adalah untuk menjamin bahwa produk pangan, bahan pengemas, dan
permukaan kontak langsung dengan pangan terlindung dari kontaminasi mikrobial,
kimia dan fisik.
1. Monitoring
- Yang perlu dimonitor : bahan-bahan berpotensi toksin dan air yang tidak
saniter.
- Dilakukan dlm frekuensi cukup, saat dimulai produksi dan setiap 4jam
- Observasi kondisi dan aktivitas sepanjang hari.
2. Tindakan koreksi
- Hilangkan bahan kontaminasi dari permukaan;
- Perbaiki aliran udara suhu ruang untuk mengurangi kondensasi;
- Gunakan air pencuci kaki dan roda truk sebelum masuk ruang prosesing;
- Pelatihan
- Buang bahan kimia tanpa label dll.
f. Kunci 6. Pelabelan, Penyimpanan, dan Penggunaan Bahan Toksin yang Benar
1. Monitoring
- Tujuan monitoring ini adalah untuk menjamin bahwa pelabelan, penyimpanan
dan penggunaan bahan toksin adalah benar untuk proteksi produk dari
kontaminasi. Beberapa hal yg hrs diperhatikan dalam pelabelan: Nama
bahan/larutan dalam wadah; nama dan alamat produsen/distributor; petunjuk
penggunaan; label wadah untuk kerja harus menunjukkan: a) Nama
bahan/larutan dalam wadah; b) Petunjuk penggunaannya.
- Penyimpanan bahan yang bersifat toksin seharusnya :
a). Tempat dan akses terbatas;
b). Memisahkan bahan food grade dengan non food grade;
c). Jauhkan dari peralatan dan barang-barang kontak dengan produk;
d).Penggunaan bahan toksin harus menurut instruksi perusahaan produsen;
e). Prosedur yang menjamin tidak akan mencemari produk.
- Waktu monitoring : frekuensi yang cukup; direkomendasikan paling tidak
sekali sehari; observasi kondisi dan aktivitas sepanjang hari.
2. Tindakan Koreksi
Bila terjadi ketidak sesuaian pelabelan, penyimpanan, dan penggunaan bahan
toksin, maka koreksinya antara lain :
- Pindahkan bahan toksin yg tdk benar penyimpanannya;
- Kembalikan ke pemasok bahan yg tdk diberi label dgn benar;
- Perbaiki label;
- Buang wadah rusak;
- Periksa keamanan produk, f) diadakan pelatihan
3. Rekaman
Rekaman kontrol sanitasi periodik; rekaman kontrol sanitasi harian; log informasi
harian.
g. Kunci 7. Pengawasan Kondisi Kesehatan Personil yang Dapat Menyebabkan
Kontaminasi
Tujuan dari kunci 7 ini adalah untuk mengelola personil yang mempunyai tanda-
tanda penyakit, luka atau kondisi lain yang dapat menjadi sumber kontaminasi
mikrobiologi.
1. Monitoring
- Untuk mengontrol kondisi kesehatan yang dapat menyebabkan kontaminasi
mikrobiologi pada pangan, bahan pengemas, dan permukaan kontak dengan
pangan.
- Beberapa tanda kesehatan yang perlu perhatian pada monitoring : diare,
demam, muntah, penyakit kuning, radang tenggorokan, luka kulit, bisul dan
dark urine.
2. Tindakan Koreksi
Tindakan yang harus dilakukan oleh manajemen: memulangkan/mengistirahatkan
personil, membungkus bagian luka dengan impermeable bandage.
3. Rekaman
Data kesehatan hasil pemeriksaan kesehatan reguler dan rekaman tindakan koreksi
bila terjadi penyimpangan.
h. Kunci 8. Menghilangkan Hama dari Unit Pengolahan
Tujuan dari kunci 8 adalah menjamin tidak adanya hama (pest) dalam bangunan
pengolahan makanan.
1. Monitoring
Tujuan monitoring adalah untuk mengkonfirmasi bahwa hama telah dikeluarkan
dari area pengolahan seluas-luasnya dan prosedur diikuti untuk mencegah
investasi. Monitoring dilakukan dengan inspeksi visual, tempat persembunyian
tikus, alat perangkap tikus, alat menjaga kebersihan dan memfasilitasi
pengawasan.
2. Tindakan koreksi
Contoh: apabila telah digunakan pestisida dan perangkap, namun lalat masih
masuk ke ruang pengolahan maka tambahkan “air curtain” di atas pintu luar dan
pindahkan wadah buangan.
3. Rekaman
Rekaman kontrol sanitasi periodik dan sanitasi harian.

SISTEM PANGAN HALAL


Definisi Labelisasi Halal
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu
produk sesuai dengan syariat Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk
mencantumlan label halal. Yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang
memenuhi syariat kehalalan seuai dengan syariat Islam, yaitu:
1. Tidak mangandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti: bahan-bahan yang
berasal dari organ manusia, darah kotor-kotoran, dan lain sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembilih menurut tata cara
syariat Islam.
4. Semua tempat penyimapanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan
dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah digunakan
untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan
dengan tata cara yang diatur dalam syariat Islam.
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan
produk yang diproduksinya, dan sertifikat halal ini dapat dipindahtangankan. Peraturan
pemerintah No.69 tahun 1999 pada pasal 1 ayat 3: Label pangan adalah setiap
keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya,
atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan
pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini disebut Label.
Pasal 1 ayat 5: Pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau
bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut
bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya
termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi
pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama
Islam.
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (UU No.7 tahun
1999 pasal 1 ayat 4). Peraturan Pemerintah (PP) tentang Jaminan Produk Halal.
Kebijakan itu menambah biaya, memperpanjang jalur birokrasi sertifikasi, dan tidak
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan.
Sistem/prosedur Labelisasi di MUI dan BPOM
Proses sertifikasi halal:
1. Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya, harus mengisi
formulir yang telah disediakan dengan melampirkan:
a. Spesifikasi dan Sertifikasi Halal bahan baku, bahan tambahan dan penolong serta
bagan alir proses.
b. Sertifikasi Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah (produk lokal)
atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui MUI (produk impor)
untuk bahan dari hewan dan turunannya.
c. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku
pelaksanaanya.
2. Tim Auditor LP-POM MUI melakukan pemeriksaan/audit ke lokasi produsen
setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke LP-POM MUI dan
diperiksa kelengkapannya.
3. Hasil pemeriksaan/audit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat
Tenaga Ahli LP-POM MUI. Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan
hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan
kehalalannya.
4. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum
memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
5. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setelah ditetapkan status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
6. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal, harus
mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal. Jika
kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau
bahan penolong pada proses produksinya, editor Halal Internal diwajibkan segera
melaporkan untuk mendapatkan ”ketidak beratan penggunaannya”. Bila ada
perusahaan yang terkait dengan produk halal harus dikonsultasikan dengan LP-
POM MUI oleh Auditor Halal Internal.
Pada tahun 1996 setelah mengalami diskusi yang panjang maka dapatlah dicapai
kerjasama antara Depkes - Depag - MUI tentang labelisasi Halal. Hingga saat ini,
piagam kerja sama tersebut menjadi landasan tindak bagi pihak terkait dalam
melaksanakan sertifikasi dan labeliasi. Permintaan Sertifikat dan Label Halal
dilakukan melalui satu pintu Pemeriksaan dilakukan oleh tim gabungan Depkes-Depag-
MUI, kemudian disidangkan oleh tenaga ahli MUI dan akhirnya kehalalan ditentukan
oleh Komisi Fatwa MUI. Izin label halal diberikan oleh Depkes berdasarkan Fatwa
MUI yang dikeluarkan sebagai Sertifikat Halal.
Tata cara pemeriksaan (audit) di lokasi produsen (perusahaan):
1. Surat resmi akan dikirim oleh LP-POM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa,
yang memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan administrasi lainnya.
2. LP-POM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi:
i. Nama Ketua tim dan anggota tim.
ii. Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan.
3. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat
tugas dan indentitas diri, akan mengadakan pemeriksaan (auditing) ke perusahaan
yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Selama pemeriksaan berlangsung,
produsen diminta bantuannya untuk memberikan informasi yang jujur dan jelas.
4. Pemeriksaan (audit) produk halal mencakup:
i. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk.
ii. Observasi lapangan.
iii. Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang dicurigai mengandung babi atau
turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.
Masa berlaku sertifikat halal:
1. Sertifikat Halal hanya berlaku selama dua tahun, untuk daging yang diekspor Surat
Keterangan Halal diberikan untuk setiap pengapalan.
2. Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, LP-POM MUI akan
mengirimkan surat pemberitahuan kepada produsen yang bersangkutan.
3. Dua bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat, produsen harus daftar
kembali untuk Sertifikat Halal yang baru.
4. Produsen yang tidak memperbaharui Sertifikat Halalnya, tidak dizinkan lagi
menggunakan Sertifikat Halal tersebut dan dihapus dari daftar yang terdapat dalam
majalah resmi LP-POM MUI, Jurnal Halal.
5. Jika Sertifikat Halal hilang, pemegang harus segera melaporkannya ke LP-POM
MUI.
6. Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI adalah milik MUI. Oleh sebab itu,
jika karena sesuatu hal diminta kembali oleh MUI, maka pemegang sertifikat wajib
menyerahkannya.
7. Keputusan MUI yang didasarkan atas fatwa MUI tidak dapat diganggu gugat.
Sistem pengawasan:
1. Perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Sidak LP-POM
MUI.
2. Perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap 6 ( enam ) bulan
setelah terbitnya Sertifikat Halal.
Prosedur perpanjangan sertifikat halal:
1. Produsen yang bermaksud memperpanjang sertifikat yang dipegangnya harus
mengisi formulir pendaftaran yang telah tersedia.
2. Pengisian formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk.
3. Perubahan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokan
produk harus diinformasikan kepada LP-POM MUI.
4. Produsen berkewajiban melengkapi dokumen terbaru tentang spesifikasi, sertifikat
halal, dan bahan alir proses.
Peraturan pemerintah tentang labelisasi
1. UU RI No.7 Thn.1996 Tentang Pangan
2. UU RI No.8 Thn.1999 Tentang Perlindungan Konsumen
3. PP RI No. 69 tahun 1999 Tentang label dan iklan pangan
4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 518 Tahun 2001 Tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
5. PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, khususnya pasal 3 ayat 2,
pasal 10 dan pasal 11.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2006). Panduan Penyusunan HACCP Bagi Industri Pangan. E-Book


Pangan.com. Akses tanggal 30 Sepember 2017.

Girindra A., (2005). Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal: LP POM MUI, Jakarta.

Lembaga Pengkajian pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI, (2002) Pedoman


Untuk Memperoleh Sertifikat Halal, Jakarta.

Knechtges Paul, 2015. Keamanan Pangan Teori dan Praktek. Penerbit EGC. Jakarta.

Sudarmaji, (2005). Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis
Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 1 No. 2 Januari 2005.

Winarno, F.G., dan Surono, (2002), GMP Cara Pengolahan Pangan Yang Baik,
Bogor : M-Brio Press.

Anda mungkin juga menyukai