Anda di halaman 1dari 24

REVIEW JURNAL-JURNAL

ANALISIS BIOKIMIA PANGAN DAN GIZI


(Digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah peminatan Analisis Biokimia Pangan dan
Gizi)

Disusun Oleh:
KEZIA ANDRIES (18 502 025)

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

2019
No. 1

JUDUL : PENGARUH PROSES PEMASAKAN TERHADAP KOMPOSISI ZAT GIZI


BAHAN PANGAN SUMBER PROTEIN

JURNAL : Media Litbangkes

VOLUME DAN HALAMAN : Vol.25 (No.24) , Hal 1-8

TAHUN : 2015

PENULIS : Dian Sundari, A. A.

REVIEWER : Kezia Andries

TANGGAL : 22 Januari 2020

PENDAHULUAN
Seperti yang kita tahu, bahwa mayoritas masyarakat di Indonesia melakukan proses
pemasakan sebelum mengonsumsi sebuah makanan. Pemasakan sering dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya tak lain karena agar terciptanya rasa yang lebih enak, aroma yang
lebih sedap, serta tekstur yang lebih lunak dari bahan pangan yang masih mentah. Selain itu
pemasakan juga dilakukan untuk membunuh mikrobia yang terdapat dalam bahan pangan yang
masih mentah.

Pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu perebusan dan pengukusan
(boiling dan steaming pada suhu 100⁰ C), broiling (pemanggangan daging), baking
(pemanggangan roti), roasting (pengsangraian) dan frying (penggorengan dengan minyak)
dengan suhu antara 150⁰-300⁰ C. Semua cara pengolahan makanan juga dapat mengurangi
kandungan zat gizi pada makanan. Umumnya pemasakan dilakukan dengan menggunakan suhu
yang tinggi. Penggunaan panas dalam proses pemasakan sangat berpengaruh terhadap
kandungan gizi dalam makanan tersebut yang menyebabkan kehilangan zat gizi yang besar pada
makanan.
METODE

Pada penelitian ini, semua bahan pangan yang akan dianalisis dibagi menjadi 3 bagian,
kemudian masing-masing bagian ditimbang. Ketiga bagian tersebut akan mendapatkan perlakuan
yang berbeda, bagian yang pertama mendapat perlakuan dalam bentuk bahan segar/mentah,
bagian kedua mendapat perlakuan direbus dengan menggunakan air, dan pada bagian ketiga
mendapat perlakuan digoreng dengan menggunakan minyak goreng. Kemudian dilakukan
analisis dan kadar lemak. Analisis kadar air menggunakan metode pengeringan/oven
(Thermogravimetri), analisis kadar abu menggunakan metode pengabuan dengan tanur, analisis
kadar protein dengan metode Kjeldahl dan analisis kadar lemak dengan metode Soxhlet.
Kemudian masing-masing bahan uji pangan yang telah mendapatkan perlakuan direbus dan
digoreng, ditimbang kembali untuk mengetahui berat akhir.

HASIL
Setelah dilakukan penimbangan kembali, didapatkan hasil bahwa telah terjadi penurunan
berat/susut masak pada bahan uji pangan setelah dilakukan proses pemasakan. Pada perebusan,
susut masak bahan pangan tertinggi terjadi pada ikan kembung basah (30,67%) terendah terjadi
pada tahu (3,9%). Pada proses penggorengan, penurunan berat bahan pangan tertinggi juga
terjadi pada ikan kembung basah (53%) dan terendah terjadi pada tahu (8,6%). Penurunan bobot
atau susut masak pada bahan pangan yang digoreng lebih tinggi dibandingkan yang direbus.
Analisis Kadar Air

Hasil analisis menunjukan bahwa terjadi penurunan kadar protein pada bahan pangan. Pada
proses penggorengan, penurunan kadar protein lebih besar dibandingkan dengan perebusan. Hal
ini dikarenakan protein lebih mudah rusak dengan suhu yang tinggi.

Kadar Lemak

Pada Tabel 4 terlihat bahan pangan yang direbus mengalami penurunan kadar lemak. Penurunan
kadar lemak terbesar terjadi pada ayam potong (6.22%) dan terkecil terjadi pada ikan kembung
(0.37%). Sedangkan pada semua bahan pangan yang digoreng terjadi kenaikan kadar lemak yang
cukup signifikan. Nilai kadar lemak pada semua bahan pangan yang direbus mengalami
penurunan, sedangkan bahan pangan yang digoreng mengalami kenaikan kadar lemak yang
cukup besar.
PEMBAHASAN
Berat bahan pangan setelah pengolahan umumnya menurun. Hal ini dikarenakan proses
pemanasan yang menyebabkan berkurangnya komponen yang mudah menguap (volatil).
Penggunaan panas dalam proses pemasakan sangat berpengaruh pada nilai gizi bahan pangan
Susut masak terjadi pbahan pangan yang mengalami proses pemasakan. Penurunan berat terbesar
terjadi pada proses penggorengan. Pengolahan bahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi
dapat menyebabkan terjadinya penguapan air pada bahan pangan tersebut. Semakin tinggi suhu
yang digunakan semakin banyak pula molekul air yang keluar dari permukaan dan menjadi gas.
Umumnya, kadar air bahan pangan setelah mengalami proses pemasakan akan berkurang. Hasil
analisis menunjukkan kadar air yang menurun setelah bahan pangan mengalami perebusan dan
penggorengan, Perebusan pada suhu 100⁰ C mengakibatkan protein akan terkoagulasi sehingga
air dari dalam daging akan dikeluarkan lebih banyak dibandingkan dengan bahan pangan nabati
dengan kadar protein lebih rendah.
Kadar abu pada bahan pangan menunjukkan terdapatnya kandungan mineral anorganik.
Pada penggorengan terjadi kenaikan kadar abu namun kenaikannya sangat kecil. Hal ini
dikarenakan suhu tinggi, sehingga kandungan air banyak hilang. Tinggi rendahnya nilai kadar
abu pada bahan pangan yang digoreng tergantung dari lama dan suhu penggorengan.
Perebusan dapat menurunkan kadar protein dalam bahan pangan, ini karena pengolahan
dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi
koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya. Proses penggorengan
bahan pangan menurunkan kadar protein lebih tinggi dibanding perebusan karena suhu yang
digunakan sangat tinggi dan protein akan rusak dengan panas yang tinggi. Proses penggorengan
sebagian minyak goreng akan menempati rongga-rongga bahan pangan menggantikan posisi air
yang menguap sehingga konsentrasi protein persatuan berat bahan menjadi lebih kecil.
Terjadinya penurunan kadar lemak setelah perebusan disebabkan karena sifat lemak yang
tidak tahan panas, selama proses pemasakan, lemak mencair bahkan menguap (volatile) menjadi
komponen lain seperti rasa. Sedangkan kenaikan kadar lemak pada bahan pangan yang digoreng
diduga disebabkan karena adanya minyak goreng yang terserap oleh bahan pangan tersebut yang
mengakibatkan kadar lemak bertambah.
Pengolahan bahan pangan dengan proses pemasakan umumnya mengakibatkan
penurunan komposisi kimia dan zat gizi bahan pangan tersebut, seperti kadar air, kadar abu,
kadar protein dan kadar lemak. Tinggi atau rendahnya penurunan kandungan gizi suatu bahan
pangan pangan akibat pemasakan tergantung dari jenis bahan pangan dan suhu yang digunakan.
Proses penggorengan dapat mengakibatkan penurunan kandungan gizi yang sangat signifikan
karena menggunakan suhu lebih dari 1600 sehingga protein mengalami kerusakan. Selain itu
proses penggorengan menyebabkan kandungan lemak bahan pangan mengalami kenaikan oleh
adanya minyak goreng yang terserap pada bahan pangan tersebut.

No. 2

JUDUL : KECUKUPAN ZAT GIZI MAKRO, STATUS GIZI, DAN SIKLUS


MENSTRUASI PADA REMAJA.

JURNAL : Gizi Klinik Indonesia

VOLUME DAN HALAMAN : Vol 13 (No.3), Hal 121-128

TAHUN : 2017

PENULIS : Alifa Azzahra, Intstitut Pertanian Bogor

REVIEWER : Kezia Andries

TANGGAL : 22 Januari 2020

PENDAHULUAN
Masa remaja (adolescence) merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa
yang ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan di dalam tubuh yang memungkinkan
untuk bereproduksi. Salah satu perubahan yang terjadi pada perubahan reproduksi remaja putri
yaitu terjadinya masa menstruasi. Banyak remaja putri yang sering mengalami masalah ketika
memasuki masa menstruasi salah satunya adalah gangguan siklus menstruasi. Berdasarkan Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, hanya 15,3% remaja putri yang mengerti tentang
masalah gangguan menstruasi. Gangguan siklus menstruasi disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain asupan makanan, status gizi, dan stress. Dampak jika gangguan siklus menstruasi
tidak ditangani akan mengakibatkan tubuh kehilangan terlalu banyak darah sehingga terjadi
anemia.
Kebutuhan gizi yang harus terpenuhi berasal dari karbohidrat, lemak, dan protein. Asupan gizi
yang tidak adekuat dapat menyebabkan kecukupan asupan zat gizi tidak baik sehingga dapat
mempengaruhi ketidakteraturan menstruasi pada kebanyakan remaja. Status gizi merupakan
keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan gizi. Selama ini telah
diketahui bahwa wanita dengan status gizi kurang maupun lebih berisiko terjadinya gangguan
siklus menstruasi. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di bulan April 2016 pada 89
responden di SMA Negeri 21 Jakarta Timur, menyatakan sebanyak 60,8% remaja mengalami
gangguan siklus menstruasi.
METODE
Desain penelitian adalah observasional analitik dengan metode cross sectional yang
dilakukan pada bulan Maret-Juli 2016. Penelitian ini melibatkan remaja putri di SMA Negeri 21
Jakarta kelas X dan XI dengan jumlah populasi sebesar 319 orang.
Teknik pengambilan sampel dengan proportionate random sampling dan diperoleh 83 responden.
Kriteria inklusi pada penilitian ini yaitu siswi kelas X dan XI, telah menstruasi minimal 2 tahun
dari masa menarche, bersedia menjadi responden, dan hadir pada saat pengambilan data. Kriteria
eksklusi pada penelitian ini adalah siswi yang memiliki riwayat penyakit kronis, penyakit
reproduksi, dan tidak merokok.
Variabel yang diteliti meliputi siklus menstruasi, kecukupan zat gizi makro, status gizi, dan stres.
Pengumpulan data kecukupan asupan zat gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dilakukan
dengan cara wawancara menggunakan kuisioner food recall 3×24 jam (1 hari libur dan 2 hari
biasa) dengan bantuan foto bahan makanan terstandar dan nutrisurvey. Data antropometri
diperoleh dengan cara pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak Tanita.
Pengukuran tinggi dan berat badan dilakukan 2 kali untuk mencegah bias dan ketidaktelitian.
Status gizi responden ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh berdasarkan umur (IMT/U).
Cara penilaian stres diukur dengan menggunakan depression anxiety stress scale (DASS) yang
telah dimodifikasi menjadi 14 poin dan dikategorikan tidak stres apabila skor 0-14 poin
sedangkan kategori stres apabila skor >14 poin. Data siklus menstruasi diperoleh dari waktu
sejak hari pertama menstruasi sampai datangnya menstruasi periode berikutnya.
Analisis data menggunakan uji Chi-Square (p<0,05) untuk menentukan hubungan dari variabel
independen dan dependen. Regresi logistik digunakan untuk menentukan variabel yang paling
berpengaruh terhadap variabel dependen.

HASIL
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan kecukupan asupan zat gizi makro dengan
siklus menstruasi memiliki nilai p-value 0,030 dan prevalence ratio 3,78 (karbohidrat); p-value
0,001 dan prevalence ratio 5,42 (protein); p-value 0,003 dan prevalence ratio 4,88 (lemak).
Kecukupan asupan karbohidrat tidak baik memiliki persentase tertinggi yaitu 83,2% dan
sebanyak 61,5% responden dengan asupan kecukupan karbohidrat tidak baik memiliki siklus
menstruasi tidak normal. Kecukupan asupan protein tidak baik memiliki persentase tertinggi
yaitu 65%. Sebagian besar responden dengan kecukupan asupan protein tidak baik mengalami
siklus menstruasi tidak normal dengan persentase 53%. Sementara pada kecukupan asupan
lemak, presentase tertinggi terdapat pada asupan lemak tidak baik yaitu 56,6% dan rata-rata
responden dengan asupan lemak tidak baik mengalami siklus menstruasi tidak normal yaitu 47%.
Hubungan status gizi dengan siklus menstruasi memiliki nilai p-value 0,004 dan prevalence ratio
14,59. Sebagian besar responden (73,5%) memiliki status gizi normal dan 22% responden
mengalami status gizi lebih. Siklus menstruasi tidak normal memiliki persentase yang tinggi
pada status gizi normal (43,4%) dan pada status gizi lebih (25,3%). Hubungan stres dengan
siklus menstruasi memiliki nilai p-value 0,000 dan prevalence ratio 7,27. Sebanyak 71,1%
responden mengalami stres dan 57,8% responden yang mengalami stres memiliki siklus
menstruasi yang tidak normal.

PEMBAHASAN
Terdapat 68,7% responden mengalami siklus menstruasi tidak normal. Berdasarkan uji
statistik Chi-Square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kecukupan asupan
karbohidrat (p=0,030); kecukupan asupan protein (p=0,001); kecukupan asupan lemak
(p=0,003); status gizi (p=0,004); dan stres (p=0,000) dengan siklus menstruasi pada remaja.
Berdasarkan hasil uji regresi logistik didapatkan faktor yang paling berpengaruh terhadap siklus
menstruasi yaitu status gizi (OR=20,16).
Asupan karbohidrat, protein maupun lemak yang berlebihan akan diubah menjadi simpanan
lemak. Tingginya simpanan lemak akan menyebabkan terjadinya gangguan siklus menstruasi
dengan akumulasi kadar estrogen dalam tubuh sehingga apabila asupan karbohidrat, protein
maupun lemak terpenuhi dan sesuai dengan kebutuhan maka siklus menstruasi akan normal.
Gizi lebih pada remaja putri dapat menyebabkan gangguan menstruasi, hal ini disebabkan
terjadinya peningkatan produksi estrogen yang diketahui bahwa selain ovarium jaringan adiposa
juga dapat memproduksi estrogen. Peningkatan estrogen yang terus menerus secara tidak
langsung menyebabkan peningkatkan hormon androgen yang dapat menggangu perkembangan
folikel sehingga tidak dapat menghasilkan folikel yang matang. Sedangkan remaja perempuan
yang mempunyai status gizi kurus sekali akan mengalami hambatan dengan menstruasinya.
Kehilangan berat badan secara besarbesaran dapat menyebabkan penurunan hormon
gonadotropin untuk pengeluaran LH dan FSH yang mengakibatkan estrogen akan turun sehingga
berdampak negatif pada siklus menstruasi.
Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh status gizi berhubungan dengan gangguan siklus
menstruasi. Pada responden dengan status gizi tidak normal berisiko 14,58 kali mengalami siklus
menstruasi tidak normal dibandingkan dengan responden yang memiliki status gizi normal.
Penelitian lain sejalan dengan penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara status gizi dengan siklus menstruasi pada remaja putri .
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, stres berhubungan dengan gangguan siklus
menstruasi. Berdasarkan hasil wawancara, faktor penyebab stres terbanyak (63,2%) pada
responden disebabkan karena adanya school stress. Pada responden yang mengalami stres
terdapat risiko 7,27 kali gangguan siklus menstruasi dibandingkan dengan responden yang tidak
mengalami stres. Stres seringkali membuat siklus mentruasi yang tidak teratur. Gangguan pada
pola menstruasi melibatkan mekanisme regulasi intergratif yang mempengaruhi proses biokimia
dan seluler seluruh tubuh termasuk otak dan psikologis.

KESIMPULAN
Kecukupan asupan zat gizi makro, status gizi, dan stres memiliki hubungan yang
bermakna dengan siklus menstruasi pada remaja putri. Status gizi tidak normal merupakan faktor
dominan terjadinya gangguan siklus menstruasi (OR=20,157). Untuk mencegah masalah tersebut
asupan makanan yang sehat, tidak melewatkan waktu makan utama, menjaga pola makan, serta
pemilihan jenis makanan yang sehat dan bergizi seimbang juga harus diperhatikan sehingga
kebutuhan energi rata-rata remaja putri perhari yaitu 2.125 kkal dan kecukupan asupan zat gizi
makro dapat terpenuhi. Selain itu berat badan ideal dan status gizi yang normal dapat tercapai.
Menghindari dan mengurangi faktor-faktor penyebab stres, serta diharapkan untuk mencatat
tanggal menstruasi setiap bulannya agar dapat diketahui siklus menstruasi termasuk normal atau
tidak normal.
No. 3
JUDUL : HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS FISIK

DENGAN KADAR KOLESTEROL DARAH PRIA DAN WANITA DEWASA DI BOGOR

JURNAL : Gizi dan Pangan

VOLUME DAN HALAMAN : Vol.8 (No.1), Hal 9-16

TAHUN : 2013

PENULIS : Waloya Tunggul, Rimbawan, dan Andarwulan Nuri

REVIEWER : Kezia Andries

TANGGAL : 22 Januari 2020

PENDAHULUAN

Hiperkolesterolemia dapat meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskuler.

Hiperkolestrolemia adalah suatu kondisi di mana kadar kolesterol darah melebihi 250 mg/dl.

Prevalensi hiperkolestrolemia di Indonesia rentang umur 25-65 tahun menurut Survei Konsumsi

Rumah Tangga (SKRT) 2004 adalah sebesar 1,5% dan prevalensi batas tinggi (kadar kolesterol

darah 200-249 mg/dl) adalah sebesar 11,2%. Kelompok batas tinggi dapat menjadi

hiperkolesterolemia apabila tidak menjaga pola hidup sehat dan seimbang. Kadar kolesterol

darah dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah konsumsi pangan dan aktivitas fisik.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara konsumsi pangan

dan aktivitas fisik dengan kadar kolesterol darah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah

menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar kolesterol darah yang meliputi

asupan lemak, karbohidrat, protein, kolesterol, asupan serat pangan, aktivitas fisik dan jenis

kelamin.
METODE

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dimulai pada bulan
Juli hingga Oktober 2012. Lokasi penelitian bertempat di wilayah Kota dan Kabupaten Bogor.
Jumlah subjek penelitian ini dihitung berdasarkan rumus perhitungan subjek minimal penelitian
cross sectional dengan mempertimbangkan prevalensi kadar kolesterol batas tinggi pada rentang
usia 25-64 tahun sebesar 11,2%. Subjek tersebut merupakan bagian dari subjek penelitian
payung. Data sekunder terdiri dari data status gizi, kadar kolesterol darah dan sebagian data
konsumsi pangan. Asupan energi, serat dan zat gizi (karbohidrat, protein dan lemak) diolah
berdasarkan data recall 2×24 jam dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan
(DKBM) sebagai database. Asupan serat makanan dihitung berdasarkan Tabel Komposisi
Pangan Indonesia (TKPI), dan digunakan pula software Nutrisurvey 2007 karena terdapat
beberapa pangan yang tidak diketahui kandungan serat pangannya dalam TKPI. Jumlah asupan
kolesterol yang berasal dari makanan diolah berdasarkan data FFQ selama satu bulan terakhir
dengan menggunakan database kandungan kolesterol pada beberapa bahan pangan. Kebutuhan
energi dihitung dengan mempertimbangkan kebutuhan energi metabolisme basal (AMB) dan
aktifitas fisik. AMB dihitung dengan persamaan Harris Benedict. Pengukuran tingkat aktivitas
fisik (Physical Activity Level/PAL) dilakukan dengan recall aktivitas fisik satu hari (24jam). Uji
beda t (Independent Samples T-test) digunakan untuk menganalisis perbedaan antara beberapa
variabel pada penelitian ini. Variabel aktivitas fisik, asupan karbohidrat, protein, lemak, serat dan
kolesterol dihubungkan dengan kadar kolesterol darah denan menggunakan uji regresi linear
ganda stepwise dua peubah dummy (wilayah dan jenis kelamin).

HASIL

Sebaran subjek berdasarkan tingkat aktivitas fisik menunjukkan hasil sebesar (p>0.05).
Sebagian besar subjek status gizi di kabupaten maupun kota tergolong dalam status gizi normal.
Sebagian besar subjek memiliki kadar kolesterol darah  normal dan tidak ditemukan subjek
hiperkolesterolemia. Tetapi pada hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
kadar kolesterol darah yang nyata antara subjek pria dan wanita (p<0.05), dengan kadar
kolesterol darah pria lebih tinggi. Konsumsi pangan rata-rata digunakan untuk menghitung
asupan zat gizi dan asupan non gizi. Secara total, asupan zat gizi dan non gizi pada subjek pria
lebih tinggi dibanding subjek wanita. Pada hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan asupan zat gizi dan non gizi yang signifikan berdasarkan jenis kelamin (p>0.05).
Tingkat kecukupan dan kategori asupan zat gizi dan non gizi asupan karbohidrat defisit
(84.37%), asupan lemak tergolong normal (45.32%) tetapi masih terdapat subjek asupan lemak
yang defisit (14.07%), asupan protein defisit (70.32%) dan tingkat kecukupan energi sebagian
besar subjek dalam kategori defisit berat (46.88%). Konsumsi pangan yang mengandung
kolesterol pada subjek digolongkan menjadi beberapa kelompok jenis pangan. Variabel aktifitas
fisik, asupan karbohidrat, protein, lemak, serat dan kolesterol diuji hubungan fungsionalnya
dengan kadar kolesterol darah dengan uji regresi linear ganda stepwise. Model persamaan terbaik
yang didapat dari regresi adalah Y=364.699-0.299X-1.678X 2+0.317X5-112.595X6+35.750 JK.
Berdasarkan hasil regresi, asupan protein tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol
darah (p>0.10) demikian pula dengan asupan karbohidrat dan asupan kolesterol. Asupan serat
pangan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol darah pada  , tetapi berpengaruh nyata
pada . Tingkat aktivitas fisik berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol darah (p<0.05). Jenis
kelamin juga memengaruhi kadar kolesterol darah (p<0.05), dengan koefisisen 35.750.

PEMBAHASAN

Aktivitas fisik berpengaruh terhadap kadar kolesterol darah. Sehingga dapat  mengarah
pada penyimpangan energi dan penambahan berat badan, akibatnya akan berpengaruh terhadap
peningkatan kadar kolesterol darah. Status gizi normal disebabkan subjek yang berpartisipasi
dalam penelitian ini juga merupakan subjek dalam penelitian payung dan status gizi subjek
dikategorikan berdasarkan WHO. Hasil uji beda t-test subjek pria adalah perokok sedangkan
subjek wanita tidak ada yang merokok hal ini menyatakan bahwa rokok merupakan salah satu
penyebab radikal bebas yang dapat menurunkan kadar HDL dalam darah sehingga menyebabkan
peningkatan kadar kolesterol pada pria. Konsumsi pangan subjek pria secara total lebih banyak
mengonsumsi kelompok pangan serealia dan snack merupakan sumber utama karbohidrat.
Tingkat kecukupan dan kategori asupan zat gizi dan non gizi yang defisit akibat asupan lemak,
karbohidrat dan protein tidak cukup atau sesuai anjuran. Asupan serat pangan yang dianjurkan
sebesar 25-30  g/hari. Asupan kolesterol subjek dapat ditentukan setelah mengetahui konsumsi
pangan sumber kolesterol subjek dan kadar kolesterol pada pangan tersebut. Batas anjuran
konsumsi kolesterol dalam makanan adalah ≤300 mg/hari. Salah satu faktor pengaruh asupan
serat pangan bahwa lemak yang cenderung meningkatkan kadar kolesterol darah adalah lemak
jenuh dalam bahan pangan. Olahraga secara teratur dapat menurunkan kadar kolesterol darah
secara signifikan dan meningkatkan kadar HDL dalam darah.

KESIMPULAN

Hasil regersi stepwise menunjukkan bahwa asupan protein tidak berpengaruh nyata

terhadap kadar kolesterol darah (p>0.10), demikian pula dengan asupan karbohidrat dan asupan

kolesterol. Tingkat aktivitas fisik dan jenis kelamin berpengaruh nyata terhadap kadar kolesterol

darah (p<0.05). asupan serat pangan dan asupan lemak berpengaruh nyata terhadap kadar

kolesterol darah (p<0.1). subjek dalam penelitian ini sebagian besar berstatus gizi normal karena

terkait kriteria penelitian payung.


No. 4

JUDUL : KAITAN ASUPAN VITAMIN A DENGAN PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI)

PADA IBU NIFAS

JURNAL : Gizi Dan Pangan

VOLUME DAN HALAMAN : Vol.8 (No.22), Hal 83-88

TAHUN : 2013

PENULIS : Bibi Ahmad Chahyantodan Katrin Roosita, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

REVIEWER : Kezia Andries

TANGGAL : 22 Januari 2020

PENDAHULUAN

Dewasa ini, banyak permasalahan kesehatan dan gizi di Indonesia khususnya pada bayi.
Hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk (Berat Badan/Umur)
pada balita di Indonesia yakni 17.90% (Riskesdas 2010). Volume produksi Air Susu Ibu (ASI)
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif dimana
produksinya dipengaruhi oleh asupan gizi yang diperoleh ibu. Kebutuhan zat gizi ibu menyusui
lebih besar dibanding ibu hamil yaitu penambahan energi (500 kkal pada enam bulan pertama
dan 400 kkal pada bulan selanjutnya), protein (20 g), dan konsumsi makanan sumber zat besi
serta air yang cukup (Picciano 2003). Vitamin A merupakan zat gizi mikro yang penting bagi ibu
nifas. Vitamin A membantu hipofise anterior untuk merangsang sekresi hormon prolaktin di
dalam epitel otak dan mengaktifkan sel-sel epitel pada alveoli untuk menampung air susu di
dalam payudara (Soetarini et al. 2009). Asupan vitamin A dari pangan pada perempuan di
Indonesia hanya sepertiga dari jumlah yang dianjurkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1)
menghitung jumlah dan jenis konsumsi pangan dan asupan vitamin A; 2) menilai kecukupan
produksi ASI pada masa nifas; 3) menganalisis hubungan antara asupan vitamin A dengan
produksi ASI pada ibu nifas.
METODE
 Sampel Penelitian : 30 orang ibu nifas yang bertempat tinggal di Desa Ciherang,
Sukawening, Dramaga, Sinarsari, dan Neglasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
pada bulan April – Mei 2013.
 Pengambilan sampel : Menggunakan teknik purposive, non probability quota sampling.
Penarikan subjek dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan ibu nifas yang memenuhi
kriteria inklusi : 1) tidak termasuk wanita risiko tinggi terhadap risiko kematian dan
kesakitan pada ibu dan bayi (berumur 20—35 tahun); 2) umur bayi 10—40 hari dan bukan
kelahiran pertama; 3) bersedia menjadi subjek yang ditegaskan melalui informed consent; 4)
subjek dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan kejiwaan; 5) bertempat tinggal di
Desa Ciherang, Sukawening, Dramaga, Sinarsari, dan Neglasari, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor.
 Alat pengumpulan data : Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data
primer yang diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner meliputi karakteristik
subjek, keluarga, dan bayinya, konsumsi dan frekuensi konsumsi pangan, konsumsi kapsul
vitamin A, serta persepsi kecukupan produksi ASI. Data berupa berat badan subjek dan
bayinya diukur secara langsung dengan menggunakan timbangan injak ketelitian 0.10 kg.
Panjang LiLA (Lingkar Lengan Atas) subjek diukur menggunakan meteran ketelitian 0.10
cm. Data konsumsi makanan sumber vitamin A diperoleh melalui wawancara dengan metode
food recall 2×24 jam pada dua hari yang berbeda dan tidak berurutan serta Food frequency
questionnaire (FFQ) semi kuantitatif. Data sekunder yang dikumpulkan berupa catatan ibu
nifas yang diperoleh dari bidan desa dan gambaran umum wilayah serta kondisi sosial ekono-
mi penduduk yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Dramaga dan Unit Pelayanan Teknis
(UPT) Puskesmas Dramaga. Selanjutnya, dilakukan analisis normalitas data menggunakan
uji one sample Kolmogorov-Smirnov dan analisis korelasi menggunakan uji kolerasi
spearman terhadap data.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rata-rata asupan vitamin A dari pangan sumber vitamin A sebesar 536±369.00 RE,
dengan proporsi 436±380.83 RE berasal dari pangan nabati, dan 100±116.00 RE dari pangan
hewani. Seluruh subjek dalam penelitian ini juga sudah mengkonsumsi dua kapsul vitamin A
yang menyumbangkan vitamin A sebanyak ±2 000 SI (650 RE) per hari dengan tingkat
kecukupan sebesar 76.50%.Tingkat kecukupan vitamin A dari kapsul (76.50%) jika dijumlahkan
dengan rata-rata tingkat kecukupan vitamin A dari seluruh pangan (66.50%), maka tingkat
kecukupannya akan lebih dari sama dengan 77.00%. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila
asupan vitamin A dari pangan kurang selama masa nifas, namun dibantu dengan konsumsi
kapsul vitamin A program pemerintah, maka kebutuhan vitamin A harian akan tercukupi
(≥77.00%). Kecukupan produksi ASI dikelompokkan menjadi tidak cukup (skor<3), kurang
(skor 3—6), dan cukup (skor>6). Sebanyak 80.00% subjek memiliki produksi ASI yang cukup
bagi bayinya, sisanya (20.00%) kurang. Hasil uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan
yang signifikan antara asupan vitamin A dari pangan yang mengandung vitamin A maupun
pangan sumber vitamin A saja dengan produksi ASI (p<0.05). Hal ini berarti semakin tinggi
konsumsi pangan sumber vitamin A, maka produksi ASI juga akan semakin tercukupi.

 KESIMPULAN

Jenis pangan nabati sumber vitamin A yang dikonsumsi oleh subjek ialah bayam, wortel,
daun katuk, kangkung, sawi, tomat, ubi jalar merah, dan daun singkong. Jenis pangan hewani
sumber vitamin A yang banyak dikonsumsi oleh subjek ialah daging ayam, telur ayam, susu
bubuk, dan susu kental manis. Rata-rata asupan vitamin A dari seluruh pangan yang
mengandung vitamin A sebesar 565±351.40 RE dengan rata-rata sumbangan 66.50±41.30%,
sedangkan rata-rata asupan vitamin A dari pangan sumber vitamin A sebesar 536±369.00 RE
dengan rata-rata sumbangan 63.10±43.40 %.Konsumsi pangan sehari-hari belum dapat me-
nyumbangkan vitamin A yang cukup bagi kebutuhan vitamin A. Tingkat kecukupan zat gizi
sebagian besar subjek masih defisit. Sebanyak 80.00% subjek memiliki produksi ASI yang
cukup bagi bayi yang disusui. Terdapat hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A dari
pangan sumber vitamin A dan asupan vitamin A dari seluruh pangan yang mengandung vitamin
A dengan produksi ASI (p<0.05). Konsumsi pangan dan kapsul vitamin A memiliki manfaat
yang penting bagi ibu nifas. Untuk itu, sebaiknya asupan vitamin A baik dari seluruh pangan
yang mengandung vitamin A dan pangan sumber vitamin A harus ditingkatkan sehingga asupan
vitamin A dapat tercukupi.
No. 5
JUDUL : KOMPOSISI KIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL PATI JAGUNG BERBAGAI

VARIETAS YANG DIEKSTRAK DENGAN PELARUT  NATRIUM BIKARBONAT

JURNAL : Journal Argoland

VOLUME DAN HALAMAN : Vol.2, Hal 89-94

TAHUN : 2008

PENULIS : Nur Alam dan Nurhaeni

REVIEWER : Kezia Andries

TANGGAL : 22 Januari 2020

PENDAHULUAN

Tanaman jagung merupakan sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras yang

juga berperan sebagai pakan ternak, bahan baku industri, dan rumah tangga. Komponen jagung

yang menjadi daya tarik untuk diolah menjadi berbagai produk adalah pati jagung. Pati jagung

diekstrak dari biji jagung dengan menggunakan pelarut tertentu. Penelitian dalam jurnal ini

bertujuan mengetahui komposisi kimia dan sifat fungsional pati jagung pada berbagai varietas

tanaman jagung dengan menggunakan pelarut narium bikarbonat.

METODE

Bahan uji dalam penelitian ini adalah biji jagung varietas N 35, pulut (P), srikandi kuning

(SK), dan lokal kuning (LK) dengan pembanding pati jagung komersial (PJK). Parameter yang

diamati adalah komposisi kimia pati, kadar amilosa, asam lemak bebas, daya serap air dan

minyak, dan kelarutan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

 KOMPOSISI KIMIA

Faktor yang membedakan komposisi kimia pada keempat varietas pati jagung tersebut diduga

adalah sifat genetik. Pati tersusun atas rangkaian unit-unit glukosa yang terdiri atas fraksi rantai

bercabang (amilopektin) dan fraksi rantai lurus (amilosa). Kadar pati, amilosa, serat, dan asam

lemak bebas tertinggi dimiliki oleh jagung varietas lokal kuning. Sedangkan gula, protein, dan

lipid paling tinggi didapatkan pada varietas srikandi kuning. Kadar abu tertinggi terdapat pada

varietas N 35. Hasil ini diperoleh dengan pelarut natrium bikarbonat. Teknik ekstraksi berbeda

akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap komposisi kimia pati jagung.

 SIFAT FUNGSIONAL

Sifat fungsional pati berkaitan dengan daya serap air, minyak, kelarutan, viskositas gel, tekstur,

kerekatan, dan sebagainya. Penelitian menunjukkan bahwa daya serap air dan kelarutan tertinggi

ditemukan pada jagung varietas lokal kuning. Daya serap minyak yang tinggi terdapat pada pati

jagung varietas pulut. Ekstrak pati jagung yang digunakan dalam penelitian ini masih belum

memenuhi standar food-grade untuk keperluan pengolahan pangan.

 ANALISIS KRITIS

Varietas tanaman jagung yang dipilih sebagai bahan uji semuanya adalah varietas lokal yang

berpotensi sebagai referensi bagi masyarakat lokal yang ingin mengembangkan produk berbahan

dasar pati tersebut lebih lanjut. Pemilihan ini sangat tepat sebab sumber daya lokal (indigenous

resources) di Nusantara perlu dieksplorasi secara ilmiah sehingga memunculkan nilai guna yang

bermanfaat. Namun, harus dipikirkan bagaimana hasil penelitian ini tidak hanya menghasilkan

data tetapi sekaligus dapat diaplikasikan sebagai alternatif bahan baku produk pangan. Hal ini
dapat dicapai dengan mengembangkan lebih lanjut pati yang memiliki standar food-grade agar

dapat menjadi substituen pati jagung komersial yang saat ini telah lazim digunakan.

KESIMPULAN

Pati dari tanaman jagung varietas N 35, pulut, srikandi kuning, dan lokal kuning dapat menjadi

alternatif penggunaan bahan baku pati jagung bagi industri pangan. Penelitian lebih lanjut

diperlukan agar mampu mendapatkan ekstrak pati yang aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
No. 6

JUDUL : FAKTOR DEMOGRAFI DAN RISIKO GIZI BURUK DAN GIZI KURANG

JURNAL : Makara Kesehatan

VOLUME DAN HALAMAN : Vol.16 (No.2), Hal 95-101

TAHUN : 2013

PENULIS : Wiko Saputra dan Rahmah Hida Nurrizka

REVIEWER : Kezia Andries

TANGGAL : 22 Januari 2020

PENDAHULUAN

Persoalan gizi dalam pembangunan kependudukan masih merupakan persoalan yang

dianggap menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Sehingga persoalan ini

menjadi salah satu poin penting yang menjadi kesepakatan global dalam Milleneum

Development Goals (MDGs). Setiap negara secara bertahap harus mampu mengurangi jumlah

balita yang bergizi buruk atau kurang gizi sehingga mencapai 15 % pada tahun 2015. Di

Indonesia persoalan gizi ini juga merupakan salah satu persoalan utama dalam pembangunan

manusia. Sebagai salah satu negara dengan kompleksitas kependudukan yang sangat beraneka

ragam, Indonesia berhasil menurunkan prevalensi balita kurang gizi dari 31 % pada tahun 1989

menjadi 18,4 % pada tahun 2007. Ini menunjukan bahwa proses pencapaian target MDGs secara

bertahap dapat dilakukan oleh Indonesia. Namun, terdapat kesenjangan antar daerah perkotaan

dan pedesaan. Di perkotaan angka balita kurang gizi mencapai 15,9 % lebih rendah dibanding di

daerah pedesaan yang mencapai 20,4 % dan terdapat juga disparitas antar kelompok sosial
ekonomi. Ini menjadi fokus utama dalam persoalan gizi buruk di Indonesia. Dimana pendapatan,

pendidikan, dan pekerjaan orang tua mempengaruhi perbandingan prevalensi gizi buruk.

METODE

Kajian ini mengunakan data mikro melalui studi lapangan yang dilaksanakan pada tahun

2010 pada tiga komunitas di Sumatera Barat. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 572 yang akan

merefleksikan situasi rumah tangga di Sumatera Barat, yang bercirikan masyarakat nelayan,

masyarakat pertanian dan perkebunan, dan masyarakat perkotaan. Ketiga jenis masyarakat ini

kemudian akan dipilih daerah yang representatif pada setiap kabupaten/kota. Jumlah sample

dilakukan dengan menentukan sampling terpilih, yakni desa yang terpilih secara acak. Kemudian

penarikan sample dilakukan secara sistematik random sampling dari interval sample yang

ditentukan sesuai dengan jumlah rumah tangga yang ada.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil studi menunjukan secara umum, masih besar jumlah penderita gizi buruk di
daerah kajian. 17,6 % balita memiliki resiko gizi buruk dan 14,0 % menderita kekurangan gizi.
Hal Ini sangat disayangkan karena daerah ini merupakan daerah dengan tingkat produksi
pertanian yang tinggi. Begitu juga dengan perikanan merupakan sentra perikanan untuk kawasan
Sumatera. Yang berarti pengaruh produksi pangan tidak memberikan jaminan terhadap resiko
penderita gizi buruk dan kurang di Sumatera Barat. Bila dilihat menurut komunitas, komunitas
nelayan memiliki proporsi tingkat penderita gizi buruk dan kekurangan gizi yang relatif tinggi
dibanding dua komunitas lain seperti komunitas perkotaan dan komunitas pertanian.
Faktor Pendidikan juga mempengaruhi pengetahuan terhadap gizi dan kesehatan. Bila
pengetahuan rendah maka pola asuh orang tua terhadap anak menjadi kurang baik. Selanjutnya
implikasinya akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sekitar 21,6 % balita yang
berasal dari kelompok masyarakat miskin menderita gizi buruk dan sekitar 10,2 % menderita
kekurangan gizi, yang berarti temuan tersebut terdapat implikasi bahwa tingkat kemiskinan yang
tinggi dan pendidikan yang rendah merupakan resiko terbesar dalam persoalan gizi buruk di
Sumatera Barat. Hal ini juga dipengaruhi oleh Usia Kepala Rumah Tangga, data menunjukan
bahwa resiko gizi buruk pada balita paling tinggi terjadi pada kepala rumah tangga dengan usia
muda yaitu usia 24 tahun kebawah dengan probability sekitar 1,298 kali lebih besar dibanding
usia lain. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD) memiliki resiko yang
besar terhadap kualitas gizi anak, dimana probability resiko gizi buruk 5,699 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang tua dengan pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP, SMA dan
Perguruan Tinggi. Namun, uniknya ada faktor Jumlah Anggota Rumah Tangga (JART). Hasil
temuan menunjukan hal yang unik bahwa semakin besar anggota rumah tangga semakin rendah
resiko anak balita menderita gizi buruk. Hal ini terjadi akibat besarnya tingkat produktivitas dari
rumah tangga dengan jumlah anggota yang banyak. Ada indikasi anak dilibatkan dalam
membantu ekonomi rumah tangga sehingga total pendapatan rumah tangga menjadi meningkat.
Faktor migran juga mempengaruhi gizi buruk di daerah ini, hasil temuan menunjukan
penduduk pendatang (migran) memiliki resiko penderita gizi buruk pada balita dibandingkan
dengan penduduk asli. Hal ini dapat dilihat dari nilai probability sebesar 1,190. Artinya terjadi
ketimpangan ekonomi di Sumatera Barat, dimana akses ekonomi lebih dikuasai oleh masyarakat
asli. Sedangkan pendatang cenderung miskin. Dan ketika kemiskinan terjadi maka akan berlanjut
dengan penderita gizi buruk pada balita.
Data dari study lapangan mampu menjawab analisis karakteristik dan resiko penderita
gizi buruk karena jumlah sample yang relatif besar dengan modul gizi yang dikembangkan dari
rekomendasi World Health Organizatiton (WHO). Dimana alat ukur WHO sesuai dengan tabel
gizi yaitu berat badan dan umur balita.

KESIMPULAN
Pangan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dan menjadi penyebab
munculnya persoalan gizi. Kekurangan gizi dipengaruhi oleh kurangnya asupan terhadap pangan
baik segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Tetapi tidak mutlak menyebabkan terjadinya kasus
gizi buruk dan kekurangan gizi. Hasil dari studi mikro terhadap penilaian status gizi balita
melihatkan implikasi tersebut. Faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua
merupakan faktor utama dalam resiko balita menderita gizi buruk dan kekurangan gizi.
Polemiknya justru bertambah rumit ketika intervensi pemerintah terhadap kemiskinan masih
lemah sehingga kemiskinan terutama yang terjadi pada komunitas nelayan, perkotaan dan
pertanian tradisional belum mampu memberikan perubahan terhadap kesejahteraan masyarakat
berimplikasi besar terhadap munculnya kasus gizi buruk dan kekurangan gizi pada balita.
Perlu strategi khusus dalam menangani persoalan gizi ini. Yaitu dapat melakukan
pendekatan kesejahteraan rumah tangga menjadi poin penting untuk mengatasi kekurangan gizi
pada balita, meningkatkan pelayanan kesehatan pada level posyandu, perlu sosialisasi mengenai
pengetahuan gizi kepada semua keluarga, program-program bantuan untuk masyarakat miskin
perlu diintensifkan terutama melakukan diversifikasi bantuan bukan saja terhadap karbohidrat
tapi juga mencangkup protein dan vitamin.

Anda mungkin juga menyukai