Anda di halaman 1dari 3

HUBUNGAN MEMASAK DAN MAKANAN DENGAN GENDER

Memasak adalah kegiatan menyiapkan makanan untuk dimakan dengan cara


memanaskan pada bahan makanan agar bahan makanan tersebut bisa dikonsumsi. Gender
adalah peran dan kedudukan seseorang yang dikontruksikan oleh budaya karena seseorang
lahir sebagai perempuan atau lahir sebagai laki - laki. Tanyakan pada para pria jenis makanan
apa favorit mereka. Kebanyakan kaum pria akan menjawab menyukai makanan berasa gurih
seperti daging. Sedangkan kaum wanita tak jauh - jauh dari cokelat dan kue - kue manis.
Pengaruh jenis kelamin terhadap pilihan makanan sudah sejak lama menjadi pertanyaan para
ilmuwan dan ahli gizi. Apakah wanita dan pria memang pada dasarnya menyukai jenis
makanan berbeda?. Mengapa beberapa makanan cenderung maskulin (steak, burger, keripik)
dan makanan feminin (yogurt, salad, kue - kue manis)? Menurut Kim Terakes penulis buku
The Great Aussie Bloke's Cookbook, banyak pria merasa belum makan jika mereka belum
menyantap protein dalam porsi besar. Sementara wanita sudah merasa cukup dengan sedikit
karbohidrat atau salad di waktu makan.

Selain itu, kebanyakan orang menganggap pria memang makan lebih banyak daripada
wanita karena fisik mereka juga lebih besar. Para ahli nutrisi menyarankan asupan kalori
lebih besar bagi pria. Namun jumlah energi harian yang harus di penuhi dari makanan
sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari usia, tinggi dan berat badan, serta
tingkat aktivitas sehari - hari. Pilihan makanan seseorang banyak dipengaruhi oleh norma
budaya, kebiasaan, serta faktor genetik. Mungkin faktor jenis kelamin juga berpengaruh
cukup besar. “Jika dilihat dari indera pengecap pria memang tak terlalu sensitif pada rasa
pahit, itu sebabnya mengapa mereka lebih menikmati minuman alkohol dan makanan gurih.
Sebaliknya dengan wanita yang lebih sensitif pada rasa pahit sehingga lebih suka sesuatu
yang manis”. Menurut Lauren William dari University of Newcatle School of Health Science,
mengatakan sosialisasi adalah faktor utama yang menentukan apa yang kita sukai untuk
dimakan. “Budaya sosial telah menghasilkan kebiasaan makan bersama. Misalnya anak -
anak melihat ayah mereka makan dalam porsi besar dan ibu lebih sering makan dalam porsi
kecil”. Selain itu di kebanyakan budaya, makan daging sering dikatikan dengan kekuatan dan
maskulinitas. Pria meremehkan buah atau sayuran dan menganggap wanita mengasup
makanan sehat itu karena ingin langsing, sedangkan pria lebih memilih daging karena ingin
membangun otot. Sebaliknya pada wanita makan adalah sesuatu yang rumit dan rasa bersalah
ikut berpengaruh. Seorang psikolog di bidang sport Tracey Veivers, Wanita sering
mempertanyakan makanan yang mereka pilih sehingga mereka kerap merasa bersalah jika
makan sesuatu yang berkalori tinggi. Sedangkan pria tak terlalu memikirkan konsekuensi dari
apa yang mereka makan. Wanita selalu banyak berpikir tentang apa yang terhidangkan di
piring mereka, hal itu karena wanita sering mendengar banyak pesan tentang bagaimana
seharusnya penampilan mereka dan cara untuk mendapatkannya. Dengan pesan dan tuntutan
seperti itu, wajar saja rasanya jika wanita tak memperhatikan informasi nutrisi dari makanan
yang diasupnya.

Peran perempuan dalam sistem pangan, gizi dan kesehatan


Status gizi seseorang salah satunya dipengaruhi oleh asupan makanannya. Dalam
sebuah keluarga, perempuan terutama kaum ibulah yang berperan penting dalam
menyediakan makanan. Dimulai dari memilih bahan pangan hingga mengolahnya secara
sehat. Oleh karena itu, para ibu diharuskan memasak makanan yang sehat dan bergizi.
Pengetahuan perempuan mengenai bahan pangan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi
serta cara pengolahannya menjadi hal yang harus dikuasai. Dengan asupan makanan yang
bergizi seseorang dapat meningkatkan status gizinya sehingga kesehatan pun dapat dicapai.

Namun menurut Savy Amira Women Crisis’s Centre (2014) implementasi kebijakan
dalam hal kesehatan dan gizi jangan hanya menekankan pada peran ibu atau perempuan.
Program pemberdayaan perempuan untuk sadar kesehatan dan gizi memang perlu, tetapi
tanpa dukungan suami dan masyarakat tujuan program tersebut akan sulit dicapai. Akan lebih
baik jika program diarahkan pada pemberdayaan orangtua (ibu bapak) dan komunitas. Mulai
dari tingkat keluarga perlu ada informasi dan pelatihan bahwa pemenuhan gizi keluarga
menjadi tanggung jawab suami istri dan kedua orangtua bukan hanya tanggung jawab ibu
atau perempuan.

Pada level komunitas misalnya, isu gizi berkaitan erat dengan persoalan ketahanan
pangan dan ekonomi. Untuk itu diperlukan pemikiran yang kreatif dalam menciptakan
program yang lebih realistis, menggugah kepedulian masyarakat atau swasta dan efeknya
dalam jangka waktu yang panjang. Keterlibatan masyarakat dan swasta cukup penting dalam
konteks yang menekankan pada partisipasi sebagai bagian dari penerapan prinsip demokrasi.
Misalnya, yang dapat diberikan adalah sosialisasi lumbung pangan, pemanfaatan pekarangan,
kolam dan sungai untuk perikanan, dan keanekaragaman pangan baik di perkotaan maupun
perdesaan.

Status gizi dan gender

Faktor yang mempengaruhi status gizi pada perempuan salah satunya ialah distribusi
makanan dalam keluarga. Kebiasaan tradisional yang mementingkan dan mendahulukan ayah
dalam distribusi makan dan mengesampingkan anak - anak terutama balita adalah hal yang
tidak dibenarkan. Balita dan anak yang masih kecil serta wanita merupakan kelompok yang
rentan terhadap pemberian pangan yang tidak merata dalam keluarga (Kurniasih, 2008 dan
Sediaoetama, 2003).

Faktor lainnya ialah kemiskinan. Dalam kondisi miskin yang menjadi masalah dalam
pemenuhan pangan dan gizi adalah ketersediaan bahan pangan. Karena dikondisikan oleh
nilai sosial budaya sebagai pengelola makanan dalam keluarga, maka perempuan akan ikut
memikirkan bagaimana anaknya bisa makan dan cenderung mengabaikan kebutuhan gizinya
sendiri (Savy Amira Women Crisis’s Centre, 2014).

Masalah gender dalam gizi darurat

Berdasarkan Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (GBV) Masa Kondisi


Darurat Kemanusiaan (2005), perempuan seringkali menghadapi resiko yang berbeda dengan
laki - laki ketika keadaan darurat, salah satunya adalah ketidakadaan makanan. Strategi
efektif pengadaan makanan dan gizi harus ada pemahaman tentang dimensi gender di saat
terjadi krisis sehingga dapat diidentifikasi dan dinilai apa kebutuhan kaum perempuan dan
kaum laki - laki. Keikutsertaan perempuan dalam membuat keputusan tentang cara terbaik
melaksanakan program - program ketersediaan makanan dan gizi adalah hal penting untuk
mengurangi risiko perempuan ketika keadaan darurat. Tindakan - tindakan tersebut berlaku
untuk sektor ketersediaan makanan dan gizi yaitu, organisasi yang melaksanakan program
pembagian makanan dan gizi. Sektor ketersediaan makanan dan gizi menunjuk seorang focus
yang secara berkala turut serta dalam kelompok kerja GBV dan memberikan laporan tentang
pencapaian dari tindakan utama sektor ketersediaan makanan dan gizi. Fokus dari sektor
ketersediaan makanan dan gizi berperan dalam fungsi lintas sektor yang dipimpin oleh badan
koordinator GBV dan kelompok kerja.

Daftar Pustaka

Savy Amira Women Crisis’s Centre, 2014. Gizi, Perempuan dan Masa Depan Bangsa.

UNFPA, 2005. Panduan Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender (GBV) Masa Kondisi
Darurat Kemanusiaan.

Warsono, 2012. Selisik Peran Perempuan dalam Ketahanan Pangan.

Anda mungkin juga menyukai