Anda di halaman 1dari 15

TUGAS BAHAN TAMBAHAN MAKANAN

ANTI PENCOKLATAN

DISUSUN OLEH :
RISMA SEPTIANA (J1A 014 106)
RIZKI AMELIYA (J1A 014 107)
SELDAROSITA (J1A 014 112)
SEPTRIA PUJIAN HARTINI (J1A 014 113)
SHANTI ARMELIA (J1A 014 114)
SILFINA FIRDAUUS (J1A 014 115)
SITI AISYIATUSSUPRIANA (J1A 014 116)
SITI NUR KHOLIDA (J1A 014 117)
SITTIL QATRUNNADA (J1A 014 118)

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS MATARAM
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah,
rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan Makalah Bahan
Tambahan Makanan ini pada waktu yang telah ditentukan. Terimakasih kepada
bapak dosen pengampu mata kuliah Bahan Tambahan Makanan yang telah
memberikan tugas ini. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi
persyaratan tugas bagi mahasiswa yang tengah mempelajari mata kuliah Bahan
Tambahan Makanan, khususnya mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan di
Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram tahun 2017.
Ucapan terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karenanya kritik dan saran
penyusun harapkan sebagai langkah perbaikan kedepannya.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 04 Juni 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut Permenkes 722, 1988 adalah bahan
yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang
dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi
(termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan,
pegepakan, pengemasan, penyimpanan, atau pengangkutan makanan untuk
menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu
komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut
Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan
gizi pangan pada bab I pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan
tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan atau produk makanan (Viana, 2012).
Menurut FAO (1980), bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat
dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan. Bahan ini
berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta
memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama.
Menurut codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim
dikonsumsi sebagai makanan , yang dicampurkan secara sengaja pada proses
pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang tidak.

1.2. Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai tentang bahan tambahan
makanan
b. Untuk mengetahui fungsi dan tujuan bahan tambahan makanan
c. Untuk mengetahui gambaran umum tentang bahan tambahan makanan
mengenai anti pencoklatan
d. Untuk mengetahui jenis-jenis reaksi pencoklatan
e. Untuk mengetahui cara untuk mencegah anti pencoklatan beserta
mekanismenya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Gambaran Umum Tentang Bahan Tambahan Makanan


Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang
secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi
ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan,
antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan
pengental. Bahan Tambahan Pangan atau aditif makanan juga diartikan sebagai
bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk
meningkatkan mutu. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu aditif sengaja dan aditif tidak sengaja. Aditif
sengaja adalah aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan
tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa,
mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan
lainnya. Sedangkan aditif yang tidak sengaja adalah aditif yang terdapat dalam
makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan. Bila
dilihat dari asalnya, aditif dapat berasal dari sumber alamiah (misalnya lesitin);
dan dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa benar
dengan bahan alamiah yang sejenis, baik dari susunan kimia maupun sifat
metabolismenya (misal asam askorbat).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88
dijelaskan bahwa BTP adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai
pangan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas pangan, mempunyai atau
tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam pangan
untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, pengepakan, pengemasan,
penyimpanan atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen
atau mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari BTP
sudah digunakan secara umum oleh masyarakat, termasuk dalam pembuatan
pangan jajanan. Masih banyak produsen pangan yang menggunakan bahan
tambahan yang beracun atau berbahaya bagi kesehatan yang sebenarnya tidak
boleh digunakan dalam pangan.

2.2. Fungsi dan Tujuan Bahan Tambahan Makanan


2.2.1 Fungsi Bahan Tambahan Makanan
Berdasarkan fungsinya, menurut peraturan Menkes No. 235 tahun 1979, BTP
dapat dikelompokan menjadi 14 yaitu : Antioksidan; Antikempal;
Pengasam,penetral dan pendapar; Enzim; Pemanis buatan; Pemutih dan pematang;
Penambah gizi; Pengawet; Pengemulsi, pemantap dan pengental; Peneras;
Pewarna sintetis dan alami; Penyedap rasa da aroma, Sekuestran; dll. BTP
dikelompokan berdasarkan tujuan penggunaanya di dalam pangan.
Pengelompokkan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan dapat
digolongkan sebagai : Pewarna; Pemanis buatan; Pengawet; Antioksidan;
Antikempal; Penyedap dan penguat rasa serta aroma; Pengatur keasaman;
Pemutih dan pamatang tepung; Pengemulsi; Pemantap dan pengental; Pengeras,
Sekuestran, Humektan, Enzim dan Penambah gizi.
2.2.2 Tujuan Penambahan Bahan Tambahan Makanan
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan
atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan
lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan.
Secara khusus tujuan penggunaan BTM dalam pangan adalah untuk:
a. Mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak
pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu
pangan.
b. Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan enak dimulut.
c. Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik.
d. Meningkatkan kualitas pangan.
e. Menghemat biaya.

2.3. Gambaran Umum Tentang Pencoklatan


Proses pencoklatan atau browning dapat kita temukan pada suatu bahan
pangan, baik yang disengaja dengan maksud mempercantik tampilan atau
menambah flavor, maupun yang tidak disengaja atau tidak diinginkan. Reaksi
pencoklatan dapat dialami oleh buah-buahan dan sayur-sayuran yang tidak
berwarna. Reaksi ini disebut reaksi pencoklatan karena menyebabkan warna
makanan berubah menjadi coklat. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
reaksi pencoklatan, salah satunya adalah keberadaan enzim. Reaksi pencoklatan
ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu reaksi pencoklatan enzimatis dan
reaksi pencoklatan non-enzimatis.

2.4. Jenis-Jenis Reaksi Pencoklatan


2.4.1 Reaksi Pencoklatan Enzimatis
Reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada
sayuran dan buah buahan oleh enzim polifenol oksidase yang menghasilkan
pigmen warna coklat (melanin). Proses pencoklatan enzimatis memerlukan enzim
polifenol oksidase dan oksigen untuk berhubungan dengan substrat tersebut.
Enzim enzim yang dikenal yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase,
fenolase/polifenolase, enzim enzim ini berkerja secara spesifik untuk substrat
tertentu (Winarno, 1997). Reaksi pencoklatan enzimatis pada bahan pangan
memiliki dua macam dampak yaitu dampak yang dapat menguntungkan dan juga
dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan misalnya saja pada teh
hitam, teh oolong, dan the hijau. Reaksi pencoklatan enzimatis bertanggung jawab
pada warna dan flavor yang terbentuk (Fennama, 1996). Begitu juga yang terjadi
pada produk pangan lain seperti misalnya kopi. Polifenol oksidase juga
bertanggung jawab pada karakteristik warna coklat keemasan pada buah buahan
yang dikeringkan seperti kismis, buah prem, dan buah ara.
Reaksi pencoklatan enzimatis ini juga memiliki kerugian yaitu hilangnya
nilai gizi pada produk pangan dan dapat merusak flavor dari bahan pangan itu
sendiri. Dalam industri pangan perlu dilakukan langkah langkah untuk
meminimalisasi adanya penurunan mutu produk yaitu dengan mengendalikan
reaksi pencoklatan enzimatis. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yakni
blanching, pendinginan, pembekuan, mengubah pH, dehidrasi, iradiasi, HHP
(High Pressure Processing), penambahan inhibitor, ultrafiltrasi, dan juga
ultrasonikasi. Pencoklatan enzimatis melibatkan enzim polifenol oksidase ini
membentuk melanin sehingga menyebabkan warna coklat. Reaksi yang
menyebabkan warna coklat ini merupakan suatu reaksi kimia yang dikenal
sebagai oksidatif enzimatik dengan oksigen sebagai katalisator dalam reaksi
tersebut. Jadi reaksi pencoklatan enzimatik ini membutuhkan tiga agen yaitu
oksigen (dibantu katalis Cu+ ),enzim (polifenolase/PPO) serta komponen fenolik.
Secara normal, sel memisahkan enzim dari komponen fenolik, tapi ketika buah
atau sayuran dipotong atau memar, enzim dan fenol bereaksi dengan kehadiran
oksigen membentuk produk yang kecoklatan.
Mekanisme reaksi pembentukan melanin dapat dijelaskan sebagai berikut :
Reaksi pertama merupakan pengubahan p-cresol menjadi 4-methylcathecol.
Hasilnya yaitu 4-methylcathecol yang tidak setabil dan mengalami oksidasi non-
enzimatis oleh oksigen dan terpolimerisasi membentuk melanin. Reaksi kedua
adalah cathecol menjadi o-benzoquinone. Hasilnya yaitu o-benzoquinone beraksi
dengan group amino dari residu lisin protein (Winarno, 1997).

2.4.1 Reaksi Pencoklatan Non-Enzimatis


Pada setiap proses pengolahan bahan pangan dengan mneggunakan media
pemanas, akan terjadi reaksi pencoklatan pada bahan pangan. Reaksi pencoklatan
non-enzimatis disebabkan oleh adanya reaksi Maillard, karamerisasi dan
pencoklatan akibat vitamin C (Winarno, 1997).Reaksi Maillard merupakan reaksi
yang terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina
primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat (Winarno,
1997).
Menurut de Man (1997), reaksi pencoklatan dapat didefinisikan sebagai
urutan peristiwa yang dimulai dengan gugus amino, peptida, atau protein dengan
hidroksil glikosidik pada gula, diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen
berwarna coklat atau melanoidin.Reaksi non-enzimatis (Maillard) adalah reaksi
yang terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin beba
dari asam amino dan protein. Reaksi ini banyak terjadi pada produk pangan.
Reaksi pencoklatan non-enzimatis adalah reaksi pencoklatan yang bukan
diakibatkan oleh aktivitas enzim. Reaksi ini meliputi reaksi Maillard, reaksi
karemelisasi, dan reaksi oksidasi asam aksorbat (vitamin C). reaski karamelisasi
gula terjadi pada suhu diatas 1000C baik saat dibawah kondisi asam atau basa.
Mekanisme reaksi Maillard sangat komplek, di mana gula amin akan
mengalami denaturasi, siklitasi, fragmentasi, dan polimerisasi sehingga terbentuk
komplek pigmen yang disebut melanoidin. Hasil reaksi Maillard mungkin
dikehendaki misalnya, pada pembentukan kulit luar coklat pada roti, dan mungkin
juga tidak dikehendaki, seperti pelenturan susu yang diuapkan dan disterilkan.
Selain itu reaksi Maillard juga dapat memicu daya cerna pada protein
(Prangdimurti, et al., 2007). Mekanisme reaksi maillard terdiri dari 3 tahapan
yaitu, reaksi tahapan awal (initial stage), reaksi intermediate, dan reaksi tahap ahir
(final stage). Reaksi tahap awal meliputi reaksi pembentukan glikosilamin dan
Amadori rearrangement. Tahap reaksi intermediate yaitu reaksi dehidrasi, fission,
dan degradasi stecker. Reaksi tahap ahir terdiri dari kondensasi aldol dan
polimerisasi aldehid amin yaitu pembentukan komponen nitrogen heterosiklik
(Batles, 1999).
Karamelisasi yaitu bila suatu larutan sukrosa diuapkan maka
konsentrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Keadaan ini akan
terus berlangsung sehingga seluruh air menguap semua. Bila keadaan tersebut
telah tercapai dan pemanasan diteruskan, maka cairan yang ada bukan lagi terdiri
dari air tetapi cairan sukrosa yang lebur. Titik lebur sukrosa adalah 160 oC. Bila
gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui
titik leburnya, misalnya pada suhu 170oC, maka mulailah terjadi karamelisasi
sukrosa. Reaksi yang terjadi bila gula mulai hancur atau terpecah-pecah tidak
diketahui pasti, tetapi paling sedikit melalui tahap-tahap seperti berikut: Mula-
mula setiap molekul sukrosa dipecah menjadi sebuah molekul glukosa dan sebuah
fruktosan (Fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi mampu
mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadilah
glukosan, suatu molekul yang analog dengan fruktosan. Proses pemecahan dan
dehidrasi diikuti dengan polimerisasi yang menghasilkan warna kecoklatan
Oksidasi vitamin C termasuk ke dalam reaksi pencoklatan non enzimatis.
Vitamin C yang teroksidasi akibat kontak dengan udara dan dpercepat dengan
suhu tinggi menghasilkan asam dehidroaskorbat yang tidak mempunyai aktivitas
vitamin C. degradasi terhadap produk oksidasi vitamin C menghasilkan senyawa
yang berwarna cokelat.

2.4. Cara Mencegah dengan Anti Pencoklatan


Penambahan Sulfit
Senyawa sulfit sejak lama digunakan sebagai bahan pengawet makanan.
Sejarah mencatat bahwa bangsa Mesir kuno dan bangsa Romawi telah
menggunakan asap hasil pembakaran belerang untuk sanitasi dalam pembuatan
anggur. Asap hasil pembakaran belerang akan mengandung gas belerang
dioksidasi (SO2), yang kemudian akan larut dalam air membentuk asam sulfit.
Kemudian penggunannya berkembang, dan sulfit digunakan untuk mengawetkan
sayuran dan buah buahan kering, daging serta ikan. Senyawa senyawa sulfit
biasa digunakan berbentuk bubuk kering, seperti natrium atau kalium sulfit,
natrium atau kalium bisulfit dan kalium metabisulfit. Ada dua tujuan yang
diinginkan dari penggunaan sulfit yaitu: (1) untuk mengawetkan (sebagai senyawa
anti mikroba), dan (2) untuk mencegah perubahan warna bahan makanan menjadi
kecoklatan. Umunya, senyawa sulfit hanya efektif untuk mengawetkan bahan
makanan bersifat asam, dan tidak efektif untuk bahan makanan yang bersifat
netral atau alkalis. Sulfit dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat
merusak atau membusukkan bahan makanan dengan tiga macam mekenisme yang
berbeda, tetapi pada dasarnya adalah menginaktifkan enzim enzim yang
terkandung dalam mikroba.
Sulfit dapat mencegah timbulnya reaksi pencoklatan enzimatis dan non-
enzimatis. Kemampuan sulfit dalam mencegah reaksi pencoklatan dan sekaligus
mengawetkan belum dapat disaingi oleh bahan kimia lain. Itulah sebabnya
mengapa sulfit luas sekali pemakainnya. Misalnya untuk sayuran dan buah
buahan kering, asinan, manisan, sari buah, konsentrat, pure, sirup, anggur
minuman dan bahkan untuk produk daging serta ikan yang dikeringkan.
Mekanisme sulfit dalam pencegahan reaksi pencoklatan non-enzimatis
yaitu sulfit akan membelokir gugus karbonil dari gula reduksi, akibatnya asam
amino tidak dapat bereaksi dengan gula reduksi. Gugus karbonil dari gula reduksi
pada ahirnya akan bereaksi dengan komponen sulfit membentuk hidroksi sulfonat
yang stabil. Dengan demikian tidak akan terjadi reaksi antara komponen gula
dengan komponen asam amino yang menyebabkan pembentukan melanoidin
(Evily, 1992). Menurut Fennema (1996), ion sulfit akan bereaksi dengan group
karboksil dari gula pereduksi membentuk - hidroksi sulfonat. Senyawa ini tidak
bereaksi dengan gugus amino dari protein, sehingga reaksi Maillard tidak terjadi.
Sedangkan Braverman (1963) menyatakan bahwa natrium bisulfit (NaHSO3)
dapat mencegah terjadinya reaksi Maillard karena NaHSO3 akan bereaksi dengan
gugus karbonil bebas sehingga gugus karbonil tersebut tidak dapat bereaksi
dengan asam amino.

Mengkontrol reaksi browning enzimatis dengan menambahkan enzim


mometiltransferase sebagai penginduksi.
Mengurangi komponen-komponen yang bereaksi browning melalui
deaktivasi enzim fenolase yang mengandung komponen Cu (suatu
kofaktor esensial yang terikat pada enzim PPO). Chelating agent EDTA
atau garamnya dapat digunakan untuk melepaskan komponen Cu dari
enzim sehingga enzim menjadi inaktif.
Pemanasan untuk menginaktivasi enzim-enzim. Enzim umumnya bereaksi
optimum pada suhu 30-40C. Pada suhu 45C enzim mulai terdenaturasi
dan pada suhu 60C mengalami dekomposisi.
Pemberian asam sitrat. Asam sitrat adalah asam trikarboksilat yang tiap
molekulnya mengandung tiga gugus karboksilat. Selain itu ada satu gugus
hidroksil yang terikat pada atom karbon di tengah. Asam sitrat termasuk
asidulan, yaitu senyawa kimia yang bersifat asam dan ditambahkan pada
proses pengolahan makanan dengan berbagai tujuan. Asidulan dapat
bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after taste
yang tidak disukai. Sifat senyawa ini dapat mencegah pertumbuhan
mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Asam sitrat (yang banyak
terdapat dalam lemon) sangat mudah teroksidasi dan dapat digunakan
sebagai pengikat oksigen untuk mencegah buah berubah menjadi berwarna
coklat. Ini sebabnya mengapa bila potongan apel direndam sebentar dalam
jus lemon, warna putih khas apel akan lebih tahan lama. Asam ini
ditambahkan pada manisan buah dengan tujuan menurunkan pH manisan
yang cenderung sedang sampai di bawah 4,5. dengan turunnya pH maka
kemungkinan mikroba berbahaya yang tumbuh semakin kecil. Selain itu
pH yang rendah akan mendisosiasi sulfit dan benzoat menjadi molekul-
molekul yang aktif dan efektif menghambat mikroorganisme.
Mengeluarkan senyawa fenol, yaitu dengan jalan membilas terus menerus
dengan air atau dengan aquadest., melakukan subkult berulang ulang,
mengabsorsi dengan arang aktif, mengabsorsi dengan polyvinylpirolidone
(PVP).
Memodifikasi potensial redok media
Mengurangi agen yang menyebabkan terjadinya pencoklatan, yang paling
umum biasanya yaitu dengan cara mengurangi jumlah karbohidrat mediu,
mengurangi atau memindahkan kontak dengan oksigen.
Menghambat dengan enzim phenol oksidase, untuk ini dapat digunakan
chelating agents. EDTA telah terbukti dapat menghambat kerja enzim
polyphenol oksidase.
Pengatur pH rendah, ini dapat dilakukan karena enzim polyphenol
oksidase optimalnya pada pH 6.5 dan menurun seirama dengan turunya
pH.
Penggunaan ruang gelap, karena kerja enzim polyphenol oksidase.
Efektifnya dipengaruhi oleh cahaya. Disarankan penggunaan ruang gelap
minimal 14 hari setelah penanaman eksplan (Untung Santoso, 2001) .
Blanching merupakan perlakuan panas terhadap bahan dengan cara
merendam bahan dalam air mendidih/ pemberian uap air panas terhadap
bahan dalam waktu singkat. Tujuan blanching itu sendiri adalah untuk
menginaktifkan enzim terutama enzim peroksidase dan katalase. Selain itu
ada beberapa manfaat lain yang dapat diambil dari proses blanching yaitu :
1. Membunuh mikrobia terutama yang tidak tahan terhadap panas.
2. Untuk menghilangkan gas-gas yang ada dalam sel/ jaringan bahan
sehingga akan menaikkan kualitas hasil akhir.
3. Untuk menghilangkan senyawa senyawa lilin pada permukaan
bahan.
4. Untuk mengerutkan bahan (menaikan isi kaleng dan memudahkan
memasukkan bahan kedalam kaleng dalam proses pengalengan).
5. Untuk mempertajam flavour dan warna.
Caranya setelah di kupas apel dipotong-potong, buah apel direndam dalam
air panas dengan suhu 82-93 derajat celcius) atau dikenai uap panas
selama 3 menit.
Selanjutnya direndam dalam larutan vitamin C, dengan ukuran 200
miligram per liter ( dalam 1 liter di berikan tablet kecil vitamin C). dengan
demikian akan didapatkan apel tetap dalam kondisi yang segar dan
memperoleh tambahan vitamin C dalam buah tersebut.
Asam askorbat adalah salah satu asam organik yang dapat memperlambat
proses browning pada pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Efektifitas
asam askorbat sebgai senyawa anti browning sangat bergantung pada
konsentrasi yang digunakan. Asam askorbat menghambat aktifitas enzim
polifenol oksidase yang ditunjukkan oleh penurunan indeks browning.
Pemotongan dan pengupasan buah salak sering kali menyebabkan
bowning. Browning disebabkan oleh oksidasi senyawa- senyawa fenolik
menjadi quinones yang dikatalisis menjadi enzim polifenol oksidase
(PPO). Asam askorbat merupakan senyawa yang dapat menghambat
browning pada buah salak.Berdasarkan fakta di ketahui bahwa potensi
asam askorbat sebagai senyawa anti browning sangat bergantung terhadap
konsentrasi yang digunakan. Oleh sebab itu tingkat penghambabtan
aktifitas PPO atau penurunan indeks browning buah salak pondoh sangat
bergantung pada konsentrasi asam askorbat berpengaruh terhadap
penghambatan aktivitas enzim polifenol oksidase yang ditunjukkan oleh
indeks browning
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan antara lain :


Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan teribat
dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan. BTP secara umum
bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi makanan, memperbaiki nilai estetika dan
sensori makanan dan memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. Salah
satu bahan tambahan pangan yang digunakan yaitu anti pencoklatan. . Reaksi
pencoklatan dapat dialami oleh buah-buahan dan sayur-sayuran yang tidak
berwarna. Reaksi ini disebut reaksi pencoklatan karena menyebabkan warna
makanan berubah menjadi coklat. Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
reaksi pencoklatan, salah satunya adalah keberadaan enzim. Reaksi pencoklatan
ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu reaksi pencoklatan enzimatis dan
reaksi pencoklatan non-enzimatis. Proses pencoklatan enzimatis memerlukan
enzim polifenol oksidase dan oksigen untuk berhubungan dengan substrat
tersebut. Enzim enzim yang dikenal yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase,
fenolase/polifenolase, enzim enzim ini berkerja secara spesifik untuk substrat
tertentu. Sedangkan Proses Browning non Enzimatis disebabkan oleh reaksi
pencoklatan tanpa pengaruh enzim, biasanya terjadi saat pengolahan berlangsung.
Beberapa bahan tambahan pangan yang dapat digunakan sebagai anti pencoklatan
adalah penambahan sulfit, asam sitrat dan asam askorbat. Adapula perlakuan-
perlakuan lain yang dapat mencegah pencoklatan pada pangan.
DAFTAR PUSTAKA

Anggrahini, Sri. 2008. Keamanan Pangan Kaitannya dengan Penggunaan Bahan


Tambahan dan Kontaminan. Diakses di :
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/732_pp0306017.pdf

Cheng GW, Crisosto CG. 2005. Browning potential, phenolic composition, and
polyphenoloxidase activity of buffer extracts of peach and nectarine skin
tissue. J. Amer. Soc. Horts. Sct. 120 (5):835-838.

Effendi, S.2012. Teknologi Dan Pengawetan Pangan. Cv Alfabeta. Bandung

Mardiah E. 1996. Penentuan aktivitas dan inhibisi enzim polifenol oksidase dari
apel (Pyrus malus Linn.). Jurnal Kimia Andalas 2: 2.

Naz, Shahina. 2002. Enzymes and Food. Oxford University Press, Oxford

Padmadisastra Y, Sidik, Ajizah S. 2003. Formulasi sediaan cair gel Lidah Buaya
(Aloe vera Linn.) sebagai minuman kesehatan. Bandung: Fakultas
Farmasi, Universitas Padjadjaran.

Rahmawati F. 2008. Pengaruh vitamin C terhadap aktivitas polifenol oksidase


buah Apel merah (Pyrus malus) secara in vitro [skripsi]. Surakarta:
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Viana, Aktia. 2012. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Guru Sekolah Dasar
tentang Makanan yang Mengandung Bahan Tambahan Pangan pada
Sekolah Dasar di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli Tahun 2011.
Diakses di: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31260 pada
tanggal 04 Juni 2017.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai