Anda di halaman 1dari 6

Uttara Kāṇḍa

Di taman Asoka yang indah Rāma bercengkrama dengan Sitā. Rāma sudah
mengetahui bahwa Sitā sudah hamil dan menanyakan keinginan Sitā selama
kehamilan Sitā. Sitā mengatakan keinginannya untuk mengunjungi pasraman para
pertapa di tepian sungai Gaṅga. Keinginan Sitā tersebut akan dikabulkan oleh Rāma
keesokan harinya. Setelah itu lalu Rāma pergi ke istana tengah dimana para sahabat
Rāma sedang berkumpul. Lalu Rāma menanyakan kepada para sahabatnya apa yang
menjadi perbincangan rakyatnya yang berada di kota maupun di desa. Salah seorang
sahabatnya yang bernama Ḅadra mengungkapkan bahwa yang menjadi desas desus
pergunjingan di dalam masyarakat di kota maupun di desa adalah mereka
menyangsikan kesucian Sitā yang bertahun-tahun disekap di Alengka oleh Ravana
yang bertabiat raksasa. Rakyatnya itu tidak yakin Sitā yang disekap oleh Ravana,
tidak pernah digoda, dicolek, diduduki di pangkuan Ravana, atau diperlakukan yang
tidak senonoh oleh Ravana. Bahkan rakyatnya berpikir selama bertahun-tahun Sitā
disekap di Alengka dijadikan barang mainan oleh para raksasa. Jika hal semacam ini
dialami oleh Sitā maka rakyatnya pun berpikir istri-istri mereka nantinya boleh
melakukan hal yang serupa, sebab apa yang dilakukan oleh raja selalu dicontohkan
oleh rakyatnya. Rāma merasa terpukul sekali oleh pengakuan para sahabatnya itu.
Rāma merenung dengan waktu yang lama sekali, lalu Rāma memanggil Lakṣmana,
Bharata, dan Satrughna.
Rāma menceritakan apa yang menjadi gunjingan di masyarakat yang didengar
dari para sahabatnya. Lalu Rāma memerintahkan Lakṣmana untuk mengajak Sitā
pergi ke tepian sungai Gaṅga dan meninggalkan Sitā di tempat para pertapa. Rāma
mengatakan bahwa siapa yang menolak perintahnya ini akan menjadi musuh
abadinya. Keesokan harinya Lakṣmana dengan perasaan yang tidak karuan
melaksanakan perintah Rāma. Dengan perasaan yang berat dan sangat sedih,
Lakṣmana menyampaikan tugas yang diberikan oleh Rāma kepada Sitā. Sitā
mendengarkan perintah terebut sangat sedih dan pingsan tidak sadarkan diri. Setelah
berapa lama lalu Sitā sadar dari pingsannya. Sitā menyadari karena ini perintah
seorang raja maka Sitā menerima dengan berat hati. Lalu Lakṣmana meninggalkan
Sitā di tepi sungai Gaṅga dekat dengan pasraman Vālmīki. Sang pertapa ṛṣi Vālmīki
merupakan sahabat dari Daśaratha ayahnya Rāma. Ṛṣi Vālmīki mengetahui hal
tersebut dan mengajak Sitā ke pasraman tempat pertapa kaum wanita.
Setelah bermalam semalam di sungai Keśinī, Lakṣmana akhirnya sampai di
istana Ayodhyā dan melaporkan ke Rāma mengenai tugas yang diembannya.
Keesokan harinya setelah melakukan upacara keagamaan, Rāma melakukan suatu
sidang istana yang dihadiri oleh para brāhmana, orang-orang bijaksana dan terpelajar,
termasuk Ṛṣi Kaśyapa. Lakṣmana diperintahkan oleh Rāma untuk melihat keluar
gerbang istana jika ada yang datang untuk mencari keadilan. Lalu Lakṣmana melihat
seekor anjing dengan kepalanya berdarah ingin bertemu dengan Rāma. Karena anjing
tersebut merasa tidak layak untuk masuk istana dan bertemu dengan Rāma, lalu
Lakṣmana minta ijin terlebih dahulu kepada Rāma untuk mempertemukan anjing
tersebut dengan Rāma. Rāma mengijinkan anjing tersebut untuk masuk istana dan
bertemu dengnnya. Lalu anjing tersebut bercerita mengenai apa yang dialaminya.
Anjing tersebut mengatakan bahwa selagi dia tertidur dijalan, ada seorang brāhmana
bernama Sarvatha Siddha datang memukul sampai kepalanya berdarah padahal dia
tidak melakukan kesalahan. Setelah mendengar cerita anjing tersebut, lalu Rāma
memerintahkan untuk mencari brāhmana tersebut dan membawa ke persidangan.
Tidak lama kemudian, brāhmana tersebut dihadapkan kepada Rāma di persidangan.
Rāma menanyakan hal yang disampaikan oleh anjing tersebut dan tidak disangkal
kebenarannya oleh brāhmana tersebut. Lalu brāhmana tersebut mengatakan alasannya
kenapa dia sampai memukul si anjing itu. Brāhmana itu mengatakan bahwa ketika dia
mengembara meminta sedekah, anjing tersebut menghalangi jalannya si brāhmana.
Karena brāhmana tersebut lelah dengan marah lalu dipukul anjing tersebut. Kelakuan
si brāhmana dianggap salah maka si brāhmana tersebut akan dijatuhi hukuman. Dari
hasil pemikiran para tokoh dan orang-orang bijaksana lainnya, bahwa seorang
brāhmana tidak dapat dihukum. Lalu anjing tersebut memberikan usul agar brāhmana
tersebut diangkat menjadi pimpinan kuil Kalañjara. Lalu Rāma menyetujui usul si
anjing tersebut dan si brāhmana tersebut diberi tugas sebagai pimpinan di kuil
Kalañjara. Para tokoh yang hadir dalam persidangan tersebut bertanya-tanya kenapa
si brāhmana yang bersalah diberikan jabatan terebut. Lalu si anjing tersebut bercerita
bahwa dalam kehidupannya terdahulu, si anjing tersebut adalah pemimpin kuil
Kalañjara. Si anjing dalam kehidupannya yang terdahulu telah melakukan
kewajibannya sebagai pemimpin kuil Kalañjara. Akan tetapi dia tetap terlahir sebagai
seekor anjing. Dapat dibayangkan jika seorang brāhmana seperti Sarvatha Siddha
dengan sifat pemarahnya memimpin kuil Kalañjara, apa yang akan terjadi dalam
kehidupannya yang akan datang. Rāma memandang kagum terhadap anjing tersebut.
Selesai anjing tersebut bicara tiba-tiba anjing tersebut lenyap dihadapan para tokoh
dan para ṛṣi lainnya.
Setelah beberapa waktu berlangsung, ada seorang brāhmana tua dari desa
menangis sambil membawa mayat anaknya di gerbang istana. Anaknya tersebut mati
muda padahal anaknya tersebut tidak mempunyai dosa apa-apa. Pada jaman
pemerintahan Rāma diyakini bahwa tidak ada rakyat Ayodhyā yang meninggal
sebelum waktunya. Jika hal tersebut terjadi maka dianggap ada kesalahan dan
kekeliruan terjadi. Kesalahan tersebut ditujukan kepada Rāma. Lalu Rāma berjanji
akan mencari penyebab dari malapetaka yang dialami oleh brāhmana tersebut dan
berjanji akan mengembalikan nyawa anaknya itu. Rāma memanggil delapan orang
brāhmana penasehat utama istana. Salah satu brāhmana yang bernama Nārada
memberikan usulan kepada Rāma sebagai bahan pertimbangan. Nārada
menyampaikan bahwa setiap masa masing-masing kasta mempunyai swadharma
tersendiri. Dimasa Kṛta-yuga hanya brāhmana yang boleh melakukan tapa. Masa
Tretā-yuga brāhmana dan ksatriya yang diperbolehkan melakukan tapa, Di masa
Dvāpara-yuga brāhmana, ksatriya, dan waisya diperbolehkan melakukan tapa
sedangkan śūdra dilarang keras melakukan tapa. Pada masa kali-yuga baru semua
kasta diperbolehkan melakukan tapa. Jika dimasa Dvāpara-yuga, seorang śūdra
melakukan tapa sudah dianggap melakukan kejahatan besar. Pelanggaran itu yang
menyebabkan tatanan kerajaan menjadi rusak dan sebagai penyebab meninggalnya
anak brāhmana sebelum waktunya. Lalu Rāma turun tangan sendiri untuk
menyelidiki terjadinya pelanggaran tersebut dengan menggunakan kereta angkasa
Puṣpaka. Di daerah selatan dekat gunung Śaivala di tepian sebuah danau besar,
terlihatlah seorang suci sedang melakukan penyiksaan diri dengan cara bergantung
terbalik. Diketahui orang suci tersebut dari kasta śūdra bernama Śaṁbūka. Dia ingin
memiliki dunia para dewa. Setelah Śaṁbūka selesai bicara, Rāma secepat kilat
mencabut pedangnya dan memenggal kepala Śaṁbūka. Para dewa memuji apa yang
dilakukan oleh Rāma, setelah itu Rāma memohon kepada dewa Indra untuk
mengembalikan nyawa anak brāhmana yang meninggal tersebut. Lalu dewa Indra
mengabulkan permohonan Rāma. Lalu Rāma mengungkapkan keinginannya untuk
melakukan upacara Persembahan Kuda. Atas tuntunan para brāhmana, upacara
Persembahan Kuda dilangsungkan.
Sementara itu, setelah beberapa bulan Sitā tinggal di pasraman ṛṣi Vālmīki,
lalu Sitā melahirkan anak kembar yang dinamakan Kuśa dan Lava. Kedua anak
kembar itu dididik oleh ṛṣi Vālmīki sehingga menjadi murid yang hebat dan berbakti
kepada gurunya. Sewaktu upacara Persembahan Kuda berlangsung, ṛṣi Vālmīki
menyuruh Kuśa dan Lava pergi ke hadapan Rāma untuk menyanyikan Rāmāyana
yang telah diajarkannya. Rāma terpesona mendengarkan nyanyian itu. Setelah
nyanyian itu berlangsung duapuluh bait, Rāma memerintahkan untuk memberikan
hadiah kepada dua anak kembar tersebut. Hadiah yang diberikan oleh Rāma
ditolaknya sesuai arahan dari ṛṣi Vālmīki. Rāma keheranan dan menanyakan
pengarang dari nyanyian tersebut. Anak kembar tersebut mengatakan bahwa peyusun
nyanyian terebut adalah guru mereka yaitu ṛṣi Vālmīki. Kisah tentang kehidupan
Rāma disusun kedalam sebuah buku dan buku yang terakhir adalah Uttara Kaṇḍa.
Anak kembar itu mengatakan jika Rāma berkenan, mereka akan menyanyikan lagu
tersebut disela-sela Rāma beristirahat selama upacara berlangsung. Setelah
memikirkan dengan sungguh-sungguh, lalu Rāma mengutus utusan khusus untuk
menemui ṛṣi Vālmīki dan menyampaikan mandat dari Rāma. Jika Sitā benar-benar
tak ternoda dan kepribadiannya murni, dia diminta untuk datang dan
membuktikannya.
Keesokan harinya ṛṣi Vālmīki dan Sitā datang ke tempat yang telah
dipersiapkan. Tempat tersebut penuh sesak oleh para raja, brāhmana, raksasa, rakyat
yang datang dari segala penjuru untuk menyaksikan pembuktian kesucian Sitā. Saat
yang dinanti tiba, lalu ṛṣi Vālmīki mengatakan yang ada dihadapan Rāma adalah Sitā
dan kedua anak kembar tersebut adalah anak-anaknya. Lalu Rāma menyuruh Sitā
membuktikan apakah benar Sitā masih suci. Setelah Sitā berkeliling kepada semua
hadirin, lalu Sitā mencakupkan tangannya dengan sikap añjali, menunduk dengan
mengucapkan kata-kata kepada Mādhavī Dewi yaitu dewi dari bumi: "Jika aku tidak
pernah, bahkan dalam pikiran pun mencintai orang selain Rāma, maka terimalah
aku. Dewi, bawalah aku ke dalam dirimu. Jika dalam pikiran, kata-kata dan
perbuatanku yang memikirkan Rāma dan hanya Rāma seorang saja, maka Dewi
Bumi, terimalah dan bawalah aku ke dalam dirimu. Jika memang benar aku tak
pernah mengenal pria selain Rāma, maka wahai Dewi Bumi, terimalah aku, bawalah
aku ke dalam dirimu".
Setelah Sitā mengucapkan kata-kata tersebut, tiba-tiba bumi di hadapan Sitā
bumi terbelah dan muncul sebuah tahta. Dewi Bumi muncul dihadapan Sitā lalu
memeluk Sitā dan mendudukkan Sitā ke tahta tersebut. Hujan bunga turun dari langit,
lalu tahta yang diduduki Sitā perlahan-lahan turun ke dalam perut bumi lalu bumi
menutup kembali dan seluruh bumi bergetar keras. Melihat kejadian itu, Rāma
hampir roboh dan menangis tanpa suara. Pikirannya kacau dan memohon kepada
bumi untuk mengembalikan Sitā. Lalu Rāma ditenangkan oleh para rsi yang hadir.
Rāma disarankan untuk mendengarkan kisah akhir yang terdapat dalam Uttara Kaṇḍa.
Lalu Rāma berserta kedua anaknya kembali ke pasraman ṛṣi Vālmīki untuk bermalam
dan berduka mengenang Sitā.
Keesokan harinya Rāma memanggil para pertapa dan menyuruh anaknya
untuk menyanyikan bagian terakhir dari kisah itu. Setelah itu Rāma berserta anaknya
kembali ke Ayodhyā. Rāma tidak pernah kawin lagi. Dia memerintah untuk waktu
yang lama sesuai dharma. Keadaan kerajaan Ayodhyā aman dan sejahtera. Waktu
demi waktu berlalu, satu demi satu Ibunda Rāma meninggal, mulai dari Kausalya,
Sumitra lalu Kaikeyi. Waktu pun berlalu. Suatu hari, Kāla sang penguasa waktu
menyamar menjadi seorang brāhmana pengemis muncul di depan gerbang istana
yang dijaga oleh Lakṣmana. Brāhmana tersebut ingin menemui Rāma untuk
menyampaikan pesan kepada Rāma. Lalu brāhmana tersebut dihadapkan kepada
Rāma. Brāhmana itu mengatakan kepada Rāma bahwa selama dia menyampaikan
pesan ini, tidak ada seorang pun yang boleh mengganggu. Jika ada yang datang
menggangu pembicaraan mereka, orang tersebut harus dihukum yaitu dibunuh atau
diusir dari istana. Selang beberapa waktu pembicaraan Rāma dengan brāhmana
tersebut, tiba-tiba ṛṣi Durvāsa datang ingin menemui Rāma dan tidak bisa ditunda.
Lalu Lakṣmana menghalangi keinginan ṛṣi Durvāsa tersebut. Ṛṣi Durvāsa marah dan
akan mengutuk kerajaan jika dihalangi. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya
Lakṣmana menemui Rāma dan menyampaikan pesan dari ṛṣi Durvāsa. Lalu Rāma
menemui ṛṣi Durvāsa. Setelah selesai pertemuannya dengan ṛṣi Durvāsa, Rāma
kembali kepada brāhmana pengemis tadi lalu teringat dengan apa janjinya yaitu jika
ada seseorang datang mengganggu pembicaraannya, maka orang tersebut harus
dihukum yaitu dibunuh atau diusir dari istana.
Lalu Rāma mengumpulkan para menteri dan pendeta lalu menceritakan
kejadiannya. Lalu keputusan yang diambil adalah mengusir Lakṣmana dari pergaulan
ramai. Akhirnya Lakṣmana keluar dari istana dan pergi menuju sungai Sarayu,
memusatkan diri untuk yoga penguatan pernapasan. Para bidadari dan ṛṣi
menghujaninya dengan bunga lalu kereta Indra menjemputnya untuk diangkat ke
surga.
Sementara itu Rāma dengan sangat berduka, menyampaikan akan
mengundurkan diri sebagai raja Ayodhyā dan menobatkan Bharata sebagai
penggantinya. Mengangkat Kuśa sebagai raja di Kosala selatan serta Lava sebagai
raja di Kosala utara. Setelah dilakukan penyerahan jabatan dan penobatan terhadap
Kuśa dan Lava, lalu Rāma pamit menuju sungai Sarayu. Sesuai dengan sabda Brāhma
dari langit, maka Rāma kembali ke bentuk semula dan bersatu dengan Māyā.
Sumber: Buku "Rāmāyana" oleh: Kamala Subramaniam

Anda mungkin juga menyukai