Anda di halaman 1dari 197

Marxisme dan Ekologi

Kumpulan Wawancara
John Bellamy Foster, dkk

Kata Pengantar:
Siti Maimunah
Marxisme dan Ekologi Kumpulan Wawancara
John Bellamy Foster, dkk

INDOPROGRESS

Judul : Marxisme dan Ekologi Kumpulan


Wawancara
Pengarang : John Bellamy Foster, dkk
Penerjemah : Fathimah Fildzah Izzati
Editor : Coen Husain Pontoh
Desain sampul & Isi : Rinto Pangaribuan
Penerbit : Pustaka IndoPROGRESS, 2021
Daftar Isi

1 Kata Pengantar: Merefleksikan


Indonesia: Menautkan Krisis
Iklim, Patriarki dan Marxisme

31 Bab I: Kembalinya Alam dan Ekologi


Marx (Wawancara Alejandro Pedregal
dengan John Bellamy Foster)

83 Bab II: Kapitalisme dalam Jaring


Kehidupan (Wawancara Kamil Ahsan
dengan Jason W. Moore)

110 Bab III: Pandangan Ekososialis Karl


Marx (Wawancara dengan
Kohei Saito)

128 Bab IV: Kita Butuh Leninisme Ekologi


untuk Menghentikan Krisis Iklim
(Wawancara Dominic Mealy dengan
Andreas Malm)
158 Bab V: Marxisme Menawarkan
Alat untuk Mengatasi Krisis Ekologi
Kontemporer (Wawancara
Niu DongJie dan Ming
Haiying dengan Zhang Yunfei)

168 Bab VI: Kapitalisme Vs. Iklim


(Wawancara Johnny Finn dengan
Naomi Klein)
Kata Pengantar: Merefleksikan
Indonesia: Menautkan Krisis
Iklim, Patriarki dan Marxisme
Siti Maimunah

“Capitalism is dependent upon appropria-


ting the unpaid work of humans and the rest of
nature”. (Jason Moore, 2015)
Prolog
SEBAGAI pelajar yang memulai prosesnya
dari lapangan dan aktivisme lingkungan, bukan
dengan kefasihan berteori, saya adalah pelajar
pemula untuk Marxisme. Meneliti tentang dina-
mika capitalist frontier (Tsing, 2005) dan penga-
ruhnya dalam membentuk identitas etnis dan
relasi gender di Kalimantan Tengah, memaksa
saya membaca naskah-naskah teori-teori yang

1
berkaitan dengan sistem kapitalisme dan ran-
tai komoditas. Buku saku berisi kumpulan wa-
wancara ini menjawab rasa ingin tahu menge-
nai pandangan sarjana Marxis terhadap isu-isu
perubahan ekologi, bahasan yang saya tekuni
dalam dua dekade terakhir. Menulis pengan-
tar ini merupakan bagian dari mempercakapkan
pengalaman aktivisme dan teori. Buku saku ini
membuat saya mengalami paradoks Socrates,
“I know that I know nothing”, merasa makin ti-
dak tahu dan memicu banyak pertanyaan.
Teori-teori Marxisme pada dasarnya menje-
laskan bagaimana sistem kapitalisme beropera-
si. Namun bagaimana dia bisa digunakan untuk
memahami dan merespons situasi Indonesia?
Tanah air yang kompleks secara geografi dan so-
sial budaya dengan pengalaman dijajah bangsa
Eropa? Belum lagi berada di tengah pusaran re-
lasi kuasa dunia yang sedang menghadapi krisis
iklim dan pandemik global.
Buku saku ini merupakan kumpulan wa-
wancara terpilih dari enam sarjana Marxis ter-
kemuka tentang pandangan mereka terhadap
2
perubahan ekologi, yang dipublikasikan di anta-
ra 2015 -2020. Percakapan di dalamnya menun-
jukkan pemikiran dan perdebatan para sarjana
Marxis dalam mengembangkan teori pokok Karl
Marx untuk menganalisis krisis ekologi kontem-
porer. Mereka adalah Andreas Malm (sarjana
ekologi manusia asal Swedia, jurnalis politik,
penulis majalah kiri terkemuka di AS Jacobin),
John Bellamy Foster (Profesor di Universitas
Oregon AS, pemikir Marxist, menteorisasi
Ekologi Marxist, editor Monthly Review maja-
lah sosialis terkemuka di AS), Jason W. Moore
(Profesor Sosiologi di Universitas Birmingham
AS, penulis Capitlism in the web of life ), Kohei
Saito (Associate Profesor di Universitas Osaka
Jepang, penulis Karl Marx’s Ecosocialism),
Zhang Yunfei (Profesor di Universitas School
of Marxism Studies) dan Naomi Klein (kolum-
nis majalah AS The Nation dan Inggris The
Guardian, penulis buku No Logo, The Shock
Doctrine dan It Change Everything).
Kumpulan wawancara ini, jika diikuti, seper-
ti rentetan dialog internal para sarjana Marxis.

3
Dialog yang menjawab kritik dan keragu-ragu-
an – mungkin juga keraguan para pengikutnya-
terhadap teori Marxis yang dianggap tak cukup
memadai dalam memberikan perangkat analisis
bagi persoalan ekologi. Dihadapkan pada krisis
sosial-ekologis skala global sebagai konsekuen-
si beroperasinya sistem kapitalisme, seperti “ke-
mendesakan yang kronik” bernama perubahan
iklim (Malm, 2020), para sarjana Marxis dalam
waktu dan ruang berbeda di buku ini memper-
debatkan bagaimana mereka memberikan pen-
jelasan dan solusi. Tapi sepertinya, persoalan
yang makin kompleks ini mengharuskan mere-
ka berdialog dengan pandangan lainnya, apala-
gi jika dipraktikkan di Indonesia. Oleh karena-
nya, pengantar ini berusaha menghubungkan
enam wawancara dalam hubungan satu sama
lain, lantas mengajaknya bercakap dengan kon-
sep lainnya agar memberikan keleluasaan dan
arena yang lebih luas dalam menghadapi sis-
tem kapitalisme dan krisis kehidupan yang ma-
kin kompleks.

4
Perdebatan tentang Politik Ekologi di
antara Sarjana Marxis
Menautkan sistem kapitalisme dengan eko-
logi adalah tantangan tersendiri. Sebabnya,
menurut Kohei Saito, Karl Marx belum meng-
eksplorasi secara mendalam hubungan sistem
kapitalisme dan persoalan ekologis. Ia memang
mempelajari ilmu alam di masa-masa akhir hi-
dupnya, namun tak sempat diintegrasikan da-
lam karyanya, Capital. Dia hanya meninggal-
kan catatan-catatan tentang ilmu alam, yang
sayangnya, “tak seorang pun memberikan per-
hatian terhadap catatan-catatan itu, dan tak ba-
nyak yang membacanya saat ini”, tambah Saito. 
Meskipun begitu, Saito menyebut Marx se-
bagai seorang environmentalis. Ia mengakui
Marx memang belum mampu memprediksi hu-
bungan sistem kapitalisme dengan penyebab
pemanasan global saat ini, namun semasa hi-
dupnya Marx telah terpapar isu perubahan iklim
ketika membaca Climate and Plant World Over
Time karya Carl Fraas (1868). Di buku itu Fraas

5
membahas fenomena perubahan iklim lokal,
bukan karena Gas Rumah Kaca, namun oleh
penggundulan hutan yang luar biasa sehingga
mengubah sirkulasi dan penguapan udara da-
lam skala lokal. Inilah yang membuat Marx ter-
tarik melihat karakter lebih lanjut dari penyedot-
an oleh produksi kapitalis. Karakter yang belum
dia jumpai saat mengamati pemiskinan hara ta-
nah di Irlandia akibat kolonialisme Inggris yang
memberinya gagasan konsep “metabolic rift”,
konsep yang kemudian dikembangkan sebagai
Ekologi Marxis dan eko-sosialis oleh para peng-
anutnya, seperti Saito, John Bellamy Foster,
Zhang Yunfei, Paul Burkett, dan Naomi Klein.
Para sarjana Marxis dalam buku saku ini de-
ngan benderang menjelaskan sistem ekonomi
kapitalisme sebagai penyebab utama krisis de-
ngan skala yang tak pernah dialami sebelum-
nya: perubahan iklim dan COVID-19. Penyebab
dua krisis ini beririsan, yaitu deforestasi yang te-
rus berlangsung sejak masa kolonial yang ber-
ujung pada penumpukan kekayaan di nege-
ri penjajah. Cara ini diteruskan polanya oleh

6
penguasa pasca penjajahan dengan menum-
puk kapital untuk kepentingan pribadi dan ke-
lompoknya. Hasilnya? Penggundulan hutan me-
nyumbang emisi karbon kedua terbesar setelah
pembakaran energi fosil yang menjadi penye-
bab pemanasan global dan perubahan iklim.
Penyebab yang sama juga memicu virus pato-
gen yang berumah pada tubuh binatang liar –
termasuk kelelawar, yang makin mendekat ke
wilayah manusia dan menyebabkan zoonosis.
Sekitar 60-70% penyakit baru terhadap manusia
sejak 1990 adalah zoonosis.
Kenapa kelelawar? Kelelawar ini istimewa,
selain satu-satunya binatang mamalia yang bisa
terbang, dia juga memiliki toleransi terhadap
patogen intraseluler, seperti virus Corona, se-
hingga dia tidak sakit meskipun menjadi inang
utama (primary reservoirs). Sebenarnya se-
cara ekologi peran kelelawar sangat penting.
Mamalia yang terbang ini tinggal di kawasan
hutan dan pegunungan kapur dan sangat mem-
bantu penyerbukan tanaman-tanaman tinggi di
hutan hujan tropis, sehingga bisa menghasilkan

7
buah dan biji-bijian. Regenerasi hutan bergan-
tung salah satunya kepada kelelawar. Salah
satu penanda lingkungan yang sehat adalah ti-
dak terganggunya habitat kelelawar, atau he-
wan liar lainnya yang memiliki peran serupa.
Penggundulan hutan besar-besaran membu-
at binatang ini kehilangan rumahnya, dan ke-
luar dari habitatnya dan berpotensi menginfek-
si satwa liar lainnya yang kemudian menjadi
inang berikutnya, sebelum akhirnya sampai ke
tubuh manusia dan menjadi penyakit, dan lan-
tas tersebar dengan cepat ke manusia lainnya.
Dalam karyanya, “Memahami krisis dan keme-
lut Pandemi COVID-19”, Noer Fauzi Rachman
dan Isa Nelwan (2021) menyebutkan zoono-
sis bisa menjadi titik simpul penghubung anta-
ra ilmu-ilmu kedokteran hewan, kedokteran ma-
nusia dan kesehatan lingkungan.
Percakapan dalam buku ini menunjukkan
Teori Marxis bisa membantu kita membayang-
kan bahwa model pembangunan dengan per-
tumbuhan ekonomi seperti saat ini bisa meng-
antarkan pada percepatan zoonosis berikutnya.

8
Dampak perubahan iklim, menurut Malm,
memberikan reaksi balik: mengubah suhu uda-
ra secara global dan memaksa binatang melaku-
kan adaptasi, diantaranya dengan cara bermigra-
si. Migrasi kelelawar atau hewan lainya bersama
patogen dalam tubuhnya memungkinkan terja-
dinya zoonosis. Ke depan, penulis buku Kapital
Fosil ini memprediksi terjadinya dua kecende-
rungan: pemanasan global dan penyakit global.
Dua tren krisis di atas terjadi karena kapi-
talisme memperlakukan manusia dan alam se-
bagai “cheap nature” (Moore, 2015), dan me-
nguatkan pemikiran dualisme antara manusia
dengan alam. Manusia menganggap derajatnya
lebih tinggi sehingga sewenang-wenang me-
lakukan kekerasan terhadap alam untuk aku-
mulasi kapital. Pandangan dualisme ini sebe-
narnya mewarnai seluruh aspek kehidupan,
seperti laki-perempuan, barat dan timur, pu-
tih dan hitam, desa dan kota, beradab dan ter-
belakang, dan seterusnya. Menurut Moore,
pembedaan-pembedaan tersebut bagian dari

9
“Capitalism in the Web of Life”, seperti judul
bukunya yang terbit pada 2015.
Moore menyerukan untuk mengikis pan-
dangan dualisme tersebut, sebab manusia ada-
lah bagian dari alam dan kapitalisme diproduk-
si secara bersamaan oleh manusia dan alam.
Langkah ini bisa mengubah cara kita melihat
kehidupan yang sebenarnya memiliki ‘metabo-
lisme tunggal’: manusia dalam Oikos, atau da-
lam jaring kehidupan yang saling memengaruhi
antara manusia dan alam. Lebih jauh, cara ini
membantu kita menghubungkan momen sosi-
al dan momen ekologi sehingga berpotensi me-
nyatukan pandangan gerakan sosial yang sela-
ma ini saling abai dan terpecah-pecah, seperti
gerakan lingkungan sendiri, gerakan sosial, dan
ekonomi sendiri dan seterusnya. Dengan begi-
tu, kita bisa lebih jernih melihat hubungan isu
keuangan, atau sosial ekonomi dengan perde-
batan tentang perubahan alam atau ekologi.
Di Indonesia, masyarakat adat mengajar-
kan tak ada dualisme antara alam dan manu-
sia. Filosofi orang Mollo di pulau Timor, Nusa
10
Tenggara Timur, menunjukkan tentang kesatu-
an antara alam dan manusia, jauh sebelum te-
ori Marxis lahir. Mereka memandang alam itu
bagai tubuh manusia: batu seperti tulang, air se-
perti darah, tanah bagaikan daging dan hutan
bagaikan kulit. Merusak alam, berarti merusak
tubuh manusia. Dualisme merupakan pandang-
an dan pengetahuan Barat yang dibawa bang-
sa Eropa ke negeri jajahan untuk merampok ke-
kayaan alam dan mengenalkan modernitas dan
cita-cita menjadi masyarakat beradab (civilized
society) melalui kekerasan dan eksklusi. Itulah
sebabnya Moore meletakkan awal mula sistem
kapitalisme beroperasi bersamaan dengan pe-
naklukan bangsa-bangsa Amerika, Afrika dan
juga Asia bersama perampokan kekayaan alam-
nya pada sekitar abad 14-17.
Menghapus dualisme ini akan membawa
kita mempertanyakan konsep anthropocene,
yang menganggap problem krisis akibat sistem
kapitalisme merupakan tanggung jawab selu-
ruh umat manusia. Moore menolak konsep
yang menurutnya sangat rasis, Eropa Sentris dan

11
patriarkal itu. Menurutnya, justru sistem kapital-
isme yang memperlakukan buruh, energi, pa-
ngan dan bahan mentah (raw materials) sebagai
“cheap nature” lah penyebabnya. Dia kemudian
menawarkan konsep Capitalocene. Sistem ka-
pitalis yang menguntungkan sekelompok kecil
orang dengan akumulasi kekayaannya dan men-
ciptakan berbagai macam ketidakadilan dan kri-
sis berlapis. Di Indonesia, sistem ini memben-
tuk, dibentuk dan menguntungkan 1 persen
penduduk yang mengangkangi 49 persen aset
negara melalui konsesi-konsesi penebangan hu-
tan, perkebunan sawit, pertambangan skala be-
sar, properti sepaket dengan korupsinya yang
kronis. Menurut pemikir Ekofeminis Maria Mies,
yang dikutip Moore dalam wawancaranya, “sis-
tem kapitalis melakukan perampasan terhadap
perempuan, alam dan (wilayah) jajahan”.
Kutipan Mies ini memicu pertanyaan le-
bih lanjut. Apakah pandangan konseptual dari
Sarjana di negara-negara Utara ini, berlaku se-
cara umum, bisa diterapkan di manapun tan-
pa kritik? Bagaimana dengan Indonesia? Negara

12
dengan kompleksitas geografi, sosial budaya
dan ekologisnya, yang rakyatnya terpapar oleh
ideologi beragam agama, bersama pengalam-
an dijajah Eropa? Bagaimana Marxisme menje-
laskan hubungan sistem kapitalis dengan sistem
patriarki? Atau keterkaitan krisis sosial ekologis
dengan ketidak adilan gender dan kritik deko-
lonial dari para feminis dan pemikir Selatan se-
perti Vandana Shiva, Maria Lugenos dan Anibal
Quijano? Kumpulan wawancara dalam buku ini
belum mampu menjelaskannya.
Faktanya kata “women” dan “gender” da-
lam buku ini hanya ditemui pada percakapan
dengan Moore dan Naomi Klein. Sementara
kata “colonial” disinggung John Bellamy Foster,
Kohei Saito dan Jason W. Moore sebatas men-
jadi rujukan pemikiran, tidak dalam kerangka
kritik dekolonial. Kritik dekolonial melihat pe-
nyebab krisis saat ini adalah penjajahan secara
mental, pengetahuan dan fisik di masa lalu, yang
logikanya dipraktikkan hingga saat ini. Para pe-
mikir dekolonial menawarkan konsep deko-
lonialisasi pengetahuan, yang salah satunya

13
mengajak kita mengubah pandangan terhadap
hubungan-hubungan sosial ekologis dari hirar-
ki yang biner menjadi hiterarki (Fraguel, 2009),
atau dunia dengan jalinan multi kuasa yang di-
bentuk sejak masa kolonial dan dinamis, seper-
ti ras, gender, etnik, umur, pendidikan, dan la-
innya.
Memang dari percakapan Moore dan Malm
memperlihatkan sedikit banyak para Marxian
mulai menghubungkan pemikiran Marxis de-
ngan kritik feminis dan dekolonial. Bagian ini
sangat penting buat Indonesia dimana sistem ka-
pitalis bergandengan tangan dengan sistem pat-
riarkal, yang disebut ekofeminis sebagai “sistem
kapitalisme patriarkal” (Meis & Shiva, 2014).
Percakapan ini memungkinkan kita membuka
arena baru melawan sistem kapitalisme dengan
merujuk jalinan relasi kuasa sebagai keterba-
tasan sistem kapitalisme, yang menurut Moore,
“capitalism is dependent upon appropriating
the unpaid work of humans and the rest of na-
ture”. Sistem yang mengakumulasi kekayaan
ini membutuhkan ekspansi ke wilayah-wialyah

14
baru (frontier) dan beroperasi dengan mendeva-
luasi alam dan pekerja tak berbayar - umumnya
perempuan, inilah kekuatan sistem kapitalis, se-
kaligus kelemahannya.
COVID-19 dan Kapitalisme Bencana
Sistem kapitalisme menghisap kerja-kerja
alam dan manusia melalui daur produksi dan
konsumsi (prosumsi). Produksi barang-barang
membutuhkan bahan mentah yang ada di alam.
Eksploitasi alam dilakukan melalui perampas-
an “free gift of nature” (Bellamy Foster, 2019;
Bridge, 2017). Bahan mentah memiliki sejarah
pembentukannya masing-masing, seperti batu-
bara dan minyak bumi yang usia pembentuk-
annya dipengaruhi oleh waktu dan ruang yang
panjang dan spesifik, jutaan tahun waktunya
pada lokasi-lokasi tertentu. Terbatas dan tidak
terbarukan. Eksploitasi bahan bakar fosil yang
terus menerus dan berskala gigantik tak hanya
mensyaratkan perluasan wilayah eksploitasi dan
defisit, tapi pada skala tertentu ia juga memicu
“reaksi balik” dalam bentuk bencana ekologis

15
dan industrial pada situs-situs ekstraksi, macam
pencemaran sungai hingga banjir langganan di
semua provinsi di Kalimantan, atau bencana ka-
rena kelalaian teknis pengeboran seperti banjir
lumpur Lapindo. Reaksi balik serupa digambar-
kan Malm melalui hubungan deforestasi dengan
pandemik COVID-19.
Namun apakah krisis dan bencana ekologis
ini menghambat ekspansi sistem kapital?
Menurut pengikut Marxis, jikapun seluruh
wilayah planet Bumi menurun kualitasnya dan
tak layak huni, bukan masalah asalkan akumula-
si kekayaan masih bisa dilakukan. Itulah meng-
apa jikapun “cheap nature” berakhir, menurut
Saito, tak akan memberikan hambatan berarti
bagi kapital dalam melakukan akumulasi. Inilah
kontradiksinya, kapital mampu menciptakan
keuntungan atas bencana ekologis manapun.
Naomi Klein menyebutnya sebagai “disaster ca-
pitalism”, yang membuat penderitaan atau ben-
cana sebagai ladang bisnis baru, seperti dalam
krisis iklim. Alih-alih mengurangi drastis eks-
ploitasi dan pembakaran energi fosil penyebab
16
utama perubahan iklim, justru bisnis-bisnis re-
kayasa metabumi (geoengineering), perdagang-
an karbon, biodiversity offset, REDD++, green
energy, dan lainnya yang justru menguat.
Green energy adalah bukti pengisapan ba-
han mentah dari negara-negara Selatan oleh ne-
gara-negara Utara terus berlangsung. Energi hi-
jau biasanya dikaitkan dengan pengembangan
energi terbarukan yang dianggap sebagai cara
paling tepat menjawab krisis iklim. Salah satu
bagian pengembangan program ini membutuh-
kan baterai listrik yang harus dibuat dari nikel
dan mineral tanah krisis lainnya, juga minyak
bumi dan batubara untuk menggerakkan me-
sin pengangkut dan pabriknya. Siapa yang akan
diuntungkan oleh pembangunan infrastruk-
tur pengadaan baterai listrik ini di Indonesia?
Para oligarki dan kelompok menengah yang
menikmati harga mobil listrik murah. Siapa
yang paling rugi? Masyarakat yang lingkung-
annya rusak karena pembongkaran batubara
di Kalimantan Timur, dan warga kampung ne-
layan Ganda-Ganda di pesisir Sulawesi Tengah

17
yang gunungnya dibongkar untuk diambil pak-
sa nikelnya, sementara limbah dari pabrik smel-
ternya mencemari udara dan pesisir laut. Cerita
lama berulang.
Benarkah COVID-19 mengganggu sistem
kapitalisme? Selain mengakibatkan kematian ju-
taan orang di dunia, pandemik sempat dianggap
sebagai peluang bagi pemulihan ekologi dan
melambatnya pemanasan global. Khususnya
saat orang dipaksa melambatkan kegiatannya,
dibatasi keluar rumah, termasuk pembatasan
transportasi udara. Bayangkan efeknya terha-
dap pengurangan produksi dan konsumsi ener-
gi fosil, jika sebuah pesawat macam Boeing 747
yang membutuhkan 150 ribu liter bahan bakar
fosil dalam 10 jam terbang tak bisa beropera-
si. Tahun lalu dilaporkan 17 ribu pesawat dipar-
kir tak bisa terbang sehingga perjalanan dengan
pesawat menurun hingga 80 persen di seluruh
dunia. Belum lagi transportasi lainnya, berapa
konsumsi bahan bakar fosil yang berhasil ditu-
runkan di seluruh dunia?

18
Apalagi beberapa negara industri yang ber-
kontribusi besar terhadap emisi karbon meng-
ambil tindakan yang sebelumnya tak terba-
yangkan bisa dilakukan: Lockdown! Membatasi
bahkan menghentikan warganya melakukan
aktivitas ekonomi serta memobilisasi dukung-
an untuk mencegah meluasnya pandemik.
Respons yang cukup mengherankan diban-
ding kelambanan mereka menjawab krisis ik-
lim. Menurut Malm ada dua hal yang mendo-
rong ini, pertama, korban COVID-19 di masa
awal justru menjangkau orang-orang kelas me-
nengah. Mereka yang memiliki kemampuan un-
tuk bergerak, kelompok menengah yang mam-
pu bepergian menggunakan pesawat: politisi,
artis, orang kaya, dan baru belakangan menye-
rang orang biasa. Kedua, para politisi lebih ku-
atir terhadap citranya yang memburuk di mata
publik bersama tingginya angka kematian dan
infeksi oleh COVID-19, apalagi jika mendekati
jadwal pemilihan umum.
Namun, alih-alih menurunkan akumulasi ka-
pital, di Amerika Utara dan Asia jumlah crazy

19
rich justru meningkat di masa pandemik. Di
Indonesia, pada 2020 Credit Suisse mencatat
peningkatan orang kaya sebesar 61,69 persen
dengan kekayaan bersih sebanyak 1 juta dol-
lar AS atau lebih, dibanding tahun sebelumnya.
Orang kaya baru dari China, Amerika Serikat
dan India muncul dari bisnis online di masa
pandemik. Transaksi perdagangan online me-
ningkat hampir 50 persen di Indonesia.
Di negara-negara Asia Tenggara, krisis pan-
demik justru ditunggangi untuk meloloskan
peraturan pro bisnis dan melakukan kekeras-
an terhadap warganya yang kritis. Presiden dan
Parlemen Indonesia justru meloloskan UU Cipta
Kerja yang mengamandemen 800-an dan meng-
ganti UU Pertambangan Mineral dan Batubara
untuk mempermudah masuknya investasi ska-
la besar, khususnya pertambangan, melakukan
kriminalisasi dan kekerasan kepada mahasis-
wa yang protes, dan mereka yang berseberang-
an dengan pemerintah. Penanganan pandemik
bahkan menjadi ajang korupsi para pejabat ter-
masuk kasus korupsi Menteri Sosial terhadap

20
dana bantuan korban COVID-19. Di Filipina,
Presiden Duterte melakukan hal serupa terha-
dap aktivis lingkungan dan pemimpin masyara-
kat adat, melonggarkan peraturan untuk investa-
si sambil berkedok memberantas perdagangan
obat-obatan terlarang. Sedangkan junta-oligar-
ki militer Burma melakukan kekerasan terhadap
para pembela demokrasi pengkritik pemerintah,
dan terus memasok tembaga dan timahnya ke
China sebagai bahan baku elektronik dan per-
alatan militer
Apakah pandemik menguatkan kelom-
pok penekan yang menghadang perluasan sis-
tem ekonomi kapitalis? Gerakan penekan yang
menjanjikan di Eropa karena kerap turun ke ja-
lan, melakukan sabotase dan blokade para pro-
yek-proyek ekstraksi, seperti Fridays for Future,
Extinction Rebellion dan Ende Galende justru
menurun dan banyak melakukan kampanye
online. Di Indonesia, meskipun advokasi ka-
sus-kasus terus berjalan dalam skala lokal, na-
mun sebagian besar kelompok masyarakat si-
pil juga tiarap, mengurangi aksi massa dan

21
menggunakan ruang digital untuk melakukan
tekanannya, seperti membuat petisi online hing-
ga menyelenggarakan Sidang Tribunal Rakyat
terhadap amandemen UU Minerba yang diga-
lang Koalisi Bersihkan Indonesia.
Malm menunjukkan, justru kelompok kanan
yang lebih banyak menangguk keuntungan poli-
tik dari kampanye digital. Kelompok kanan (far-
right) yang rasis justru semakin menguat ber-
sama naiknya dukungan terhadap partai-partai
kanan dan terpilihnya para pemimpin yang ra-
sis di Amerika Serikat, Brazil dan beberapa ne-
gara Eropa. Mereka justru menguatkan barisan
para penyangkal perubahan iklim dan mempro-
mosikan percepatan eksploitasi hutan dan ener-
gi fosil. Itulah sebabnya, mitigasi iklim juga ha-
rus merespon menguatnya kelompok kanan
baik di negara “pencemar” dan “bukan pence-
mar”, jika menggunakan istilah pada Perjanjian
Perubahan Iklim.

22
“Unpaid Works” dan Ekspansi Kapitalis
Patriarkal
Keterbatasan berikutnya dari sistem kapital-
isme adalah pengisapan tenaga kerja laki-laki
dan perempuan (dan alam). Menurut Marx, pro-
ses tenaga kerja merupakan proses metabolis-
me manusia dengan alam, sedangkan dualisme
manusia dan alam justru menghasilkan ‘meta-
bolic rift/keretakan metabolik”. Itulah sebab-
nya John Bellamy Foster menyangkal tuduhan
Moore yang mengangap ekologi Marxis yang di-
kembangkan dari konsep “metabolic rift” men-
dualisme manusia dengan alam. Sebelum mem-
bahas lebih jauh, mari membayangkan sistem
kapitalis mengakumulasi kekayaan lewat penye-
dotan tenaga kerja manusia dan alam. Seperti
apa kerja-kerja tak berbayar oleh alam?
Dalam sebuah wawancara, Donna Haraway,
feminis AS, memberikan contoh sederhana ten-
tang “pembagian tenaga kerja” antara alam dan
manusia melalui pembuatan kompos. Manusia
menyiapkan sampah dan bahan organik lainnya,

23
sementara pekerjaan sisanya dilanjutkan oleh
jutaan makhluk hidup beragam spesies, seper-
ti cacing, kutu, jamur, bakteri, dan jenis lainnya
baik yang terlihat pun kasat mata. Mereka be-
kerjasama tanpa kontrak melakukan dekompo-
sisi sampah dalam beberapa waktu dan meng-
ubahnya menjadi kompos yang berwarna hitam
dan harum, siap digunakan sebagai bahan pro-
duksi berikutnya: pupuk. Mahluk hidup di se-
kitar kita inilah yang membuat daur materi dan
energi berjalan sehingga kita tidak hidup de-
ngan sampah dan bisa menghirup udara ber-
sih. Dalam satu sendok makan tanah terkan-
dung populasi makhluk hidup yang lebih besar
dibanding jumlah populasi manusia di bumi. Ini
memberikan kita gambaran bagaimana hidup
dalam dunia yang multispesies!
Membaca buku ini membawa ingatan saya
ke desa Makroman, Samarinda Kalimantan
Timur, dan membayangkan bagaimana sistem
kapitalis bekerja menghisap tenaga kerja alam
dan manusia. Petani desa Makroman adalah
transmigran yang datang sejak 1950an melalui

24
program transmigrasi. Mereka (bersama alam)
mengubah wilayah rawa menjadi wilayah per-
tanian padi dan kebun buah produktif setelah
mengolahnya selama 20-30 tahun, dan terus
merawatnya hingga puluhan tahun kemudian.
Namun, desa itu masuk dalam konsesi tambang
batubara pada 2004. Perusahaan mulai menam-
bang daerah hulu yang juga tangkapan air wila-
yah pertanian di hilir dua tahun kemudian. Pada
2008, banjir lumpur batubara menghantam per-
sawahan dan kebun orang Makroman. Apa aki-
batnya? Biaya produksi padi meningkat, jum-
lah panen menurun, lahan padi menyusut, dan
jumlah lahan kebun menyusut. Tujuh tahun ke-
mudian desa itu dikelilingi delapan lubang tam-
bang yang ditinggalkan, dan warganya meng-
alami krisis air dan terpaksa mengonsumsi air
dari lubang tambang. Proyek-proyek ekstraksi
merupakan proyek percepatan perampokan ru-
ang dan waktu kerja manusia dan alam, yang
dalam istilah ilmu pengetahuan dan hukum ha-
nya dinamakan sebagai “eksternalitas”.

25
Namun perampokan oleh sistem kapitalis-
me ada yang tersembunyi dan disembunyikan
bersama sistem patriarki. Yaitu, kerja-kerja re-
produksi perempuan, termasuk reproduksi bi-
ologis, yang memungkinkan tersedianya tena-
ga kerja dan reproduksi sosial dalam merawat
komunitas (Dunaway, 2014; Bauhard, 2017).
Rahim perempuanlah yang melahirkan (mem-
produksi) generasi baru dan bersama sistem so-
sial pendukungnya membiayai perawatan sejak
menstruasi pertama, hamil, melahirkan, menyu-
sui dan nifas, membesarkan anak, membayar
pendidikan dan keterampilannya, hingga siap
menjadi buruh “memasok” sistem kapital. Tak
hanya itu, begitu si anak masuk dalam sistem
kapitalisme, menjadi buruh, kerja-kerja domes-
tik dan pengasuhan perempuan terus berlang-
sung - baik sebagai nenek, ibu, kakak/adik, istri
untuk menopang kerja laki-laki agar sistem ka-
pitalisme bisa membayar buruhnya dengan mu-
rah. Itulah sebabnya setiap perempuan adalah
pekerja perempuan, menurut Sylvia Federici.

26
Ekofeminis sebagai pengetahuan membantu
kita menautkan isu-isu perempuan dengan sis-
tem kapitalisme. Sebab sistem kapitalisme di-
untungkan oleh sistem patriarkal yang berpusat
pada pengetahuan laki-laki dan mengatur-atur
tubuh dan pengetahuan perempuan. Disinilah
ketidakadilan gender menjadi analisis penting
dalam melihat relasi perempuan dan laki-laki.
Sayangnya masih banyak organisasi masyarakat
sipil, bahkan yang mengklaim dirinya kiri, atau-
pun peduli lingkungan, justru resisten terhadap
isu-isu gender dan menganggap upaya memun-
culkan suara dan pengetahuan perempuan ada-
lah agenda kedua, atau berikutnya, atau bukan
bagian esensial dalam perang melawan sistem
kapitalisme.
Penutup
“Past research was mostly concerned with
the theoretical contributions of ecological
Marxism, but more attention should be paid to
praxis”. (Zhang Yunfei, 2018)

27
Menggunakan kutipan Yunfei (2019), saya
ingin menutup pengantar ini. Jika kita sepakat
sistem kapitalisme adalah musuh bersama, ber-
hentilah memperdebatkan perbedaan konsep
dari akar yang sama, dan sudah waktunya ber-
praktik dan mengganggu sistem kekuasaan de-
ngan sungguh-sungguh!
Percakapan dalam buku ini menunjukkan
manusia berada dalam situasi krisis sosial eko-
logis yang makin kronik, sementara pemerintah
hanya mengurus gejalanya (symptom), bukan
esensi: sistem kapitalisme. Malm mengingat-
kan skala krisis ini menuntut gangguan-ganggu-
an yang dilancarkan dalam skala negara, bukan
personal dan voluntary. Negara harus turun ta-
ngan. Meskipun mengkritik, sepertinya Malm
terkesan dengan kemampuan mobilisasi ne-
gara-negara industri menangani krisis pande-
mik. Sayangnya usulan Malm tak mungkin di-
lakukan di Indonesia, karena pengurus negara
sedang tidak baik saja. Batas pengurus nega-
ra dengan oligarki makin blur. Saya juga tak
melihat tanda-tandanya bisa dilakukan oleh

28
negara-negara Eropa yang terus memperlakukan
negara-negara Selatan sebagai sumber penge-
rukan bahan mentah. Tapi saya percaya pada
kekuatan rakyat yang sadar untuk melawan sis-
tem kapitalisme dan memulihkan (healing) kri-
sis sosial ekologis.
Oleh karenanya penting melihat beragam
pandangan untuk melawan dan memulihkan,
termasuk mempercakapkan Marxisme dengan
pandangan lainnya, seperti ekofeminis dan kri-
tik dekolonial. Sebagai pengetahuan ataupun
alat analisis, ketiganya akan membantu akade-
misi, aktivis dan gerakan rakyat di Indonesia un-
tuk menyambungkan isunya, dan mengikis du-
alisme yang dikritik Moore. Tindakan penting
yang bisa kita lakukan dalam waktu dekat ada-
lah memberikan perhatian yang sunguh-sung-
guh untuk menghadang ekspansi frontier dan
perubahan ekologi, mengangkat dan memper-
karakan “unpaid work” serta kaitannya dengan
isu gender dan identitas marginal lainnya ser-
ta terus menemukan cara menyatukan gerakan
keadilan lingkungan, perjuangan kelas pekerja,

29
dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya mela-
wan oligarki yang makin menggurita.
***
Siti Maimunah adalah Kandidat PhD di
Universitas Passau, Jerman, dan pendiri Sekolah
Ekofeminis Ruang Baca Puan.

30
Bab I

Kembalinya Alam dan Ekologi


Marx
Wawancara Alejandro Pedregal dengan
John Bellamy Foster

JOHN Bellamy Foster mengirim surat ke-


pada saya sebelum meninggalkan Eugene,
Oregon, Amerika Serikat (AS): “Kami harus
mengungsi dan menempuh perjalanan jauh.
Tapi saya akan mencoba mengirim wawancara
kita besok pagi.”
Kebakaran besar di Pantai Barat AS telah me-
micu naiknya indeks kualitas udara hingga 450,
dan dalam beberapa kasus bahkan melebihi titik

31
maksimum 500—situasi kesehatan yang sangat
berbahaya. 40 ribu orang di Oregon telah me-
ninggalkan rumah mereka dan setengah juta la-
innya menunggu untuk melarikan diri ketika an-
caman telah semakin meningkat. “Seperti itulah
perubahan iklim dunia,” kata Foster. Profesor
sosiologi di University of Oregon dan editor jur-
nal Monthly Review ini, dua puluh tahun yang
lalu merevolusi ekososialisme Marxis melalui
bukunya Marx’s Ecology. Buku ini, bersama de-
ngan Marx and Nature karya Paul Burkett, telah
menggiring Marxisme pada gelombang kedua
kritik ekososialis yang mengonfrontasi semua
jenis asumsi yang mengakar tentang Karl Marx
untuk menguraikan metode dan program eko-
sosialis di zaman kita. Perkembangan besar pe-
mikiran ekologi Marxis dalam beberapa tahun
terakhir – yang meskipun ditulis pada abad ke-
19, telah menunjukkan relevansinya dalam me-
refleksikan degradasi ekologi kontemporer kita
- sebagian adalah produk dari perubahan yang
dilakukan oleh Foster dan mereka yang terka-
it dengan Monthly Review. Arus pemikirannya,

32
yang kemudian dikenal sebagai aliran keretakan
metabolik (metabolic rift), karena gagasan sen-
tral Foster disematkan dari jilid 3 Kapital (yang
ditulis oleh Karl Marx), telah mengembangkan
banyak jalur penelitian ekomaterialis dalam
ilmu sosial dan alam — dari soal imperialisme
dan studi tentang eksploitasi lautan, hingga seg-
regasi sosial dan epidemiologi.
Pada kesempatan peluncuran buku terbaru-
nya, The Return of Nature, yang menampilkan
silsilah monumental dari para pemikir ekososi-
alis besar yang membutuhkan waktu dua puluh
tahun untuk diselesaikan, Foster memberi tahu
kita tentang jalan yang ditempuh tokoh-tokoh
kunci ini, dari kematian Marx hingga kemun-
culan environmentalisme di tahun 1960-an dan
70-an, hubungan buku barunya dengan Marx’s
Ecology, serta perdebatan paling menonjol dari
pemikiran ekologi Marxis saat ini. Refleksinya
membantu kita memikirkan kembali penting-
nya warisan ini, mengingat kebutuhan mende-
sak akan proyek yang melampaui kondisi yang
mengancam keberadaan planet kita saat ini.

33
Alejandro Pedregal (AP): Dalam buku
Marx’s Ecology, Anda membantah beberapa
asumsi yang sangat mapan tentang hubungan
antara Marx dan ekologi, baik di dalam mau-
pun di luar Marxisme — yaitu, bahwa pemikir-
an ekologis dalam literatur Marx adalah mar-
jinal; bahwa sedikit wawasan ekologisnya,
sebagian besar (jika tidak) hanya ditemukan da-
lam karya-karya awalnya; bahwa ia memegang
pandangan Promethean tentang kemajuan;
bahwa ia melihat teknologi dan perkembang-
an tenaga produktif sebagai solusi bagi kontra-
diksi masyarakat dengan alam; dan bahwa ia ti-
dak menunjukkan minat ilmiah besar pada efek
antropogenik terhadap lingkungan. Buku-buku
Anda, bersama dengan karya-karya para sarja-
na lainnya, membantah asumsi ini dan mengu-
bah banyak paradigma yang terkait dengannya.
Menurut Anda, apakah ide-ide ini masih ada di
dalam perdebatan-perdebatan saat ini?

John Bellamy Foster (JBF): Dalam lingkaran


sosialis dan ekologi di negara-negara berbahasa

34
Inggris, dan memang menurut saya di sebagi-
an besar dunia, kritik awal yang ditujukan pada
Marx tentang ekologi, saat ini semuanya diakui
sebagai tidak terbukti. Argumen-argumen me-
reka tak hanya tidak memiliki dasar, tetapi se-
penuhnya bertentangan dengan perlakuan eko-
logis Marx yang sangat kuat, yang fundamental
bagi perkembangan ekososialisme pada semua
perlakuan ilmiah-sosial atas keretakan ekologi
yang ditimbulkan oleh kapitalisme. Hal ini teru-
tama terbukti dalam pengaruh yang meluas dan
berkembang dari teori Marx tentang keretakan
metabolik, pemahaman yang terus berkembang
dan kini telah diterapkan pada hampir seluruh
masalah ekologi kita saat ini. Di luar dunia ber-
bahasa Inggris, sesekali masih dijumpai bebera-
pa kesalahpahaman sebelumnya, tidak diragu-
kan lagi karena beberapa karya terpenting sejauh
ini berbahasa Inggris, dan sebagian besar belum
diterjemahkan. Namun demikian, saya pikir
kita dapat memperlakukan kritik-kritik awal ter-
sebut sebagai sesuatu yang kini dipahami seca-
ra universal sebagai hal yang tidak valid, bukan

35
hanya karena apa yang telah saya kemukakan
dalam tulisan saya, tetapi juga sebagaimana te-
lah diungkapkan oleh Paul Burkett dalam Marx
and Nature, Kohei Saito dalam Karl Marx’s
Ecosocialism, dan banyak lainnya. Hampir ti-
dak ada orang di kiri saat ini yang melihat Marx
secara sederhana sebagai pemikir Promethean,
dalam arti mempromosikan industrialisasi di
atas segalanya. Sekarang ada pemahaman yang
luas tentang bagaimana sains dan konsepsi ma-
terialis tentang alam merasuki pemikirannya, se-
buah persepsi yang diperkuat oleh publikasi be-
berapa buku catatan ilmiah/ekologisnya dalam
proyek Marx-Engels Gesamtausgabe. Jadi, saya
tidak melihat bahwa pandangan mengenai ana-
lisis ekologi Marx itu marjinal dalam pemikiran-
nya, sebagaimana juga dipercaya oleh kalang-
an sosialis di dunia berbahasa Inggris saat ini,
dan kepercayaan serupa dengan cepat menye-
bar ke tempat lain. Ekologi Marxisme adalah to-
pik yang sangat besar di Eropa, Amerika Latin,
Tiongkok, Afrika Selatan, Timur Tengah — bah-
kan hampir di semua tempat. Satu-satunya cara

36
di mana analisis ekologi Marx dapat dilihat se-
bagai sesuatu yang marjinal adalah jika ekologi
didefinisikan dengan sangat sempit. Selain itu,
dalam sains, seringkali wawasan paling “marji-
nal” dari seorang pemikir terbukti justru meru-
pakan yang paling revolusioner dan tajam.
Mengapa sebelumnya begitu banyak orang
meyakini bahwa Marx telah mengabaikan ekolo-
gi? Saya pikir jawaban paling langsung dari per-
tanyaan itu adalah bahwa sebagian besar sosialis
mengabaikan analisis ekologis yang ada dalam
karya-karya Marx. Setiap orang membaca hal
yang sama dalam karya-karya Marx dengan cara
yang ditentukan, melompati apa yang kemudian
dianggap sebagai hal sekunder dan tidak terla-
lu penting. Saya ingat, pernah berbicara dengan
seseorang bertahun-tahun yang lalu di mana
ia mengatakan bahwa tidak ada diskusi ekolo-
gis dalam karya-karya Marx. Saya bertanya apa-
kah dia pernah membaca bab tentang pertanian
dan sewa di volune 3 Kapital? Ternyata dia ti-
dak pernah membacanya. Saya kemudian berta-
nya: “Jika Anda belum membaca bagian-bagian

37
Kapital di mana Marx menjelaskan tentang per-
tanian dan tanah, bagaimana Anda bisa begitu
yakin bahwa Marx tidak pernah berurusan de-
ngan pertanyaan-pertanyaan ekologis?” Dia ti-
dak dapat menjawab pertanyaan saya. Masalah
lain disebabkan oleh terjemahan. Dalam terje-
mahan asli bahasa Inggris dari Kapital, penggu-
naan awal Marx atas Stoffwechsel, atau meta-
bolisme, diterjemahkan sebagai pertukaran atau
pertukaran materi, yang menghalangi, alih-alih
memberikan pemahaman mengenai makna as-
linya. Tetapi ada juga alasan yang lebih dalam,
seperti kecenderungan untuk mengabaikan apa
yang dimaksud Marx dengan materialisme itu
sendiri, yang tidak hanya mencakup konsepsi
materialis tentang sejarah, tetapi juga, lebih da-
lam, konsepsi materialis tentang alam.
Hal penting tentang kritik ekologi Marx ada-
lah bahwa kritik itu bersatu dengan kritik eko-
nomi politik kapitalisme. Memang, dapat dika-
takan bahwa tidak ada yang masuk akal tanpa
yang lain. Kritik Marx tentang nilai tukar di ba-
wah kapitalisme tidak memiliki signifikansi di

38
luar kritiknya terhadap nilai guna, yang terkait
dengan kondisi material-alam. Konsepsi materi-
alis tentang sejarah tidak ada artinya kecuali jika
dilihat dalam hubungannya dengan konsepsi
materialis tentang alam. Keterasingan kerja tidak
dapat dilihat terlepas dari keterasingan alam.
Eksploitasi alam oleh kapital didasarkan pada
perampasan dari “apa yang secara gratis dibe-
rikan oleh alam”. Definisi Marx tentang manu-
sia sebagai makhluk alam yang memediasi diri,
seperti dijelaskan István Mészáros dalam Marx’s
Theory of Alienation, didasarkan pada konsepsi
proses kerja sebagai metabolisme manusia dan
alam. Ilmu sebagai sarana untuk meningkatkan
eksploitasi tenaga kerja tidak dapat dilepaskan
dari ilmu yang dipahami sebagai dominasi atas
alam. Gagasan Marx tentang metabolisme sosi-
al tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan ten-
tang keretakan metabolik. Dan seterusnya. Hal-
hal ini sebenarnya tidak terpisah dalam Marx,
tetapi kemudian dipisahkan satu dengan lain-
nya itu oleh para pemikir kiri, yang umumnya
mengabaikan pertanyaan ekologis, atau yang

39
menggunakan perspektif idealis, mekanis, atau
dualis dan dengan demikian mencerabut kritik
ekonomi politik dari basis materialnya yang se-
benarnya.
AP: Berkenaan dengan Prometheanisme?
Anda telah menunjukkan dalam karya Anda ba-
gaimana refleksi Marx mengenai Prometheus
harus dibaca dalam kaitannya dengan peneli-
tian ilmiahnya tentang Epicurus (serta penya-
ir Romawi Lucretius), dan karenanya perlu di-
tafsirkan sebagai suatu hal yang berhubungan
dengan pengetahuan sekuler dari Pencerahan,
bukan sebagai advokasi buta untuk kemaju-
an. Namun, penggunaan dominan dari istilah
Prometheanisme tetap cukup umum, juga da-
lam literatur Marxis, yang memberi ruang pada
tren akselerasionis dan tekno-fetishist yang
mengklaim kembali Marx untuk tujuan mere-
ka. Haruskah gagasan ini ditantang secara le-
bih efektif, setidaknya dalam kaitannya dengan
Marx dan pemikiran materialisnya?

40
JBF: Ini adalah masalah yang sangat ru-
mit. Semua orang tahu bahwa Marx memu-
ji Prometheus. Dia adalah pemuja, tentu saja,
dari Prometheus Bound karya Aeschylus, yang
sering dia baca ulang. Dalam disertasinya, ia
membandingkan Epicurus dengan Prometheus
dan Marx sendiri bahkan dikarikaturkan seba-
gai Prometheus dalam konteks pemberangus-
an surat kabar Rheinische Zeitung dimana ia
menjadi pemimpin redaksinya, dalam sebuah
gambar terkenal yang muncul di Volume 1 dari
Collected Works Marx dan Frederick Engels.
Dengan demikian menjadi umum bagi ber-
bagai kritikus di dalam dan di luar Marxisme
untuk mencirikan pandangan Marx sebagai
Promethean, terutama dengan cara yang me-
nunjukkan bahwa ia melihat produktivisme eks-
trim sebagai tujuan utama masyarakat. Karena
tidak memiliki bukti bahwa Marx menempatkan
industrialisasi di atas hubungan sosial (dan eko-
logis) manusia, para pengkritiknya hanya meng-
gunakan istilah Promethean sebagai cara untuk
menyampaikan pendapat mereka tanpa bukti,

41
dan hanya mengambil keuntungan dari hubung-
an yang umum ini dengan Marx.
Namun, ini adalah distorsi dalam banyak
hal. Dalam mitos Yunani, Prometheus, seorang
Titan, menentang Zeus dengan memberikan api
kepada umat manusia. Api tentu saja memiliki
dua kualitas nyata. Yang satu adalah cahaya,
yang lainnya adalah energi atau tenaga. Dalam
interpretasi mitos Yunani di Lucretius, Epicurus
diperlakukan sebagai pembawa cahaya atau
pengetahuan dalam pengertian Prometheus,
dan dari sinilah Voltaire mengambil gagas-
an Pencerahan. Dalam pengertian yang sama
inilah Marx sendiri memuji Epicurus sebagai
Prometheus, pemberi cahaya, merayakannya
sebagai sosok Pencerahan zaman kuno. Selain
itu, referensi Marx tentang Prometheus Bound
karya Aeschylus juga selalu menekankan pe-
ran Prometheus sebagai protagonis revolusioner
yang menentang dewa-dewa Olympian.
Di zaman Pencerahan itu sendiri, mi-
tos Prometheus dipandang, tidak mengheran-
kan, sebagai semua tentang Pencerahan, bukan
42
tentang energi atau produksi. Walt Sheasby,
seorang ekososialis hebat yang bekerja sama
dengan saya pada masa-masa awal jurnal
Capitalism, Nature, Socialism dan ketika saya
juga menjadi editor dari jurnal Organization
and Environment, menulis sebuah artikel yang
luar biasa untuk jurnal terakhir pada Maret
1999. Sheasby menegaskan bahwa gagas-
an Prometheanisme dan mitos Promethean
digunakan hingga abad ke-19 terutama da-
lam pengertian Pencerahan ini. Saya tidak ya-
kin kapan penggunaan ini berubah. Tapi, ten-
tu saja, Frankenstein dari Mary Shelley; atau,
Prometheus Modern dan The Philosophy of
Poverty karya Pierre-Joseph Proudhon mewakili
sebuah perubahan di mana Prometheanisme di-
artikan sebagai industrialisme dan permesinan,
sesuatu yang melambangkan Revolusi Industri.
Di sini, Prometheus dianggap mewakili kekuat-
an mekanik.
Menarik bahwa Marx mengambil
Prometheanisme mekanistik Proudhon secara
langsung, menyerang semua gagasan semacam

43
itu dalam The Poverty of Philosophy. Namun,
mitos Promethean menjadi terungkap seba-
gai kisah industrialisasi, sesuatu yang orang
Yunani kuno sendiri tidak akan pernah bisa
bayangkan, dan identifikasi umum Marx de-
ngan Prometheus dalam pikiran orang menjadi
cara untuk menyalahkan dia dalam hal ekolo-
gi. Menariknya juga, tuduhan bahwa Marx ada-
lah Promethean, yang Anda temukan dalam to-
koh-tokoh seperti Leszek Kolakowski, Anthony
Giddens, Ted Benton, dan Joel Kovel, ditujukan
kepada Marx secara eksklusif dan tidak kepada
pemikir lain, yang menunjuk pada karakter ide-
ologisnya.
Hal terdekat yang dapat dilakukan untuk me-
nemukan bukti bahwa Marx adalah Promethean,
dalam arti mengagungkan industrialisasi karena
tujuannya sendiri, adalah dalam panegyric (ke-
kagumannya) nya terhadap borjuasi di bagian
pertama The Communist Manifesto. Tetapi ini
hanyalah awal dari kritiknya terhadap borjua-
si yang sama. Karena itu, dia membalik bebe-
rapa halaman kemudian, mengantarkan semua

44
kontradiksi tatanan borjuis, mengacu pada ma-
gang tukang sihir, kondisi ekologi (kota dan
desa), siklus bisnis, dan tentu saja proletariat se-
bagai penggali kuburan kapitalisme. Faktanya,
tidak ada tempat di mana Marx mempromosi-
kan industrialisasi sebagai tujuan itu sendiri se-
bagai lawan dari pembangunan manusia yang
bebas dan berkelanjutan.
Menjelaskan semua ini, meskipun mem-
butuhkan waktu dan sementara saya telah me-
ngemukakan semua poin ini pada berbagai
kesempatan dalam tulisan-tulisan saya, biasa-
nya cukup hanya untuk menunjukkan bahwa
Marx sama sekali bukan pemikir Promethean,
jika yang dimaksud dengan itu adalah pemuja-
an terhadap industri, teknologi, dan produktivis-
me sebagai tujuan itu sendiri, atau kepercayaan
pada pendekatan mekanistik yang ekstrim ter-
hadap lingkungan. Dalam pengertian yang kon-
kret ini, mengesampingkan kebingungan yang
timbul dari mitos, adalah sebuah keharusan.

45
AP: Dua puluh tahun setelah buku Anda
Marx’s Ecology, karya lebih luas dari aliran ke-
retakan metabolik telah mengubah perdebat-
an hari ini tentang Marxisme dan ekologi. Apa
kontinuitas dan perubahan antara konteks keti-
ka buku itu terbit dan saat ini?

JBF: Ada beberapa jenis diskusi dan debat.


Satu, yang paling penting, seperti yang saya tun-
jukkan, adalah sejumlah besar penelitian ten-
tang keretakan metabolisme sebagai cara un-
tuk memahami krisis ekologi di planet kita saat
ini dan bagaimana membangun gerakan ekoso-
sialis revolusioner sebagai tanggapannya. Pada
dasarnya, apa yang telah mengubah banyak
hal adalah kebangkitan spektakuler dari ekolo-
gi Marxian itu sendiri, menyoroti begitu banyak
bidang yang berbeda, tidak hanya dalam ilmu
sosial, tetapi juga dalam ilmu alam. Misalnya,
Mauricio Betancourt baru-baru ini menulis stu-
di yang luar biasa untuk Global Environmental
Change tentang “Pengaruh Agroekologi Kuba
dalam Mengurangi Keretakan Metabolik.”

46
Stefano Longo, Rebecca Clausen, dan Brett
Clark telah menerapkan metode Marx pada ana-
lisis retakan samudera dalam The Tragedy of the
Commodity. Hannah Holleman telah menggu-
nakannya untuk menjelajahi badai debu (dust
bowl) dulu dan sekarang dalam Dust Bowl of
Empire. Sejumlah besar karya telah memanfa-
atkan konsepsi keretakan metabolik untuk me-
mahami masalah perubahan iklim, termasuk
karya-karya Brett Clark, Richard York, dan saya
sendiri dalam buku The Ecological Rift dan Ian
Angus dalam Facing the Anthropocene. Karya-
karya ini, serta kontribusi oleh orang-orang lain-
nya, seperti Andreas Malm, Eamonn Slater, Del
Weston, Michael Friedman, Brian Napoletano—
dan semakin banyak sarjana dan aktivis yang ter-
lalu banyak untuk disebutkan—semuanya dapat
dilihat pada dasarnya dalam terang ini. Sebuah
organisasi penting adalah Global Ecosocialist
Network di mana John Molyneux telah mema-
inkan peran utama, bersama dengan System
Change Not Climate Change di Amerika Serikat.
Karya Naomi Klein yang mengacu pada konsep

47
keretakan metabolik telah memainkan peran
dalam Gerakan Pekerja Tanpa Tanah (MST) di
Brazil dan dalam diskusi seputar pertanyaan
mengenai peradaban ekologi di Tiongkok.
Masalah lain menyangkut hubungan anta-
ra ekologi Marxian dan teori reproduksi sosi-
al feminis Marxis dan analisis baru kapitalisme
rasial. Ketiga perspektif ini telah ditarik dalam
beberapa tahun terakhir pada konsep eksprop-
riasi Marx sebagai bagian integral dari kritik-
nya secara keseluruhan, melampaui eksploitasi.
Hubungan inilah yang memotivasi Brett Clark
dan saya sendiri untuk menulis buku terbaru
kami The Robbery of Nature tentang hubung-
an antara perampokan dan keretakan, yaitu pe-
rampasan tanah, nilai guna, dan tubuh manusia,
dan bagaimana hal ini terkait dengan keretak-
an metabolik. Area penting lainnya adalah selu-
ruh ranah imperialisme ekologis dan pertukaran
ekologis yang tidak setara di mana saya bekerja
dengan Brett Clark dan Hannah Holleman.
Saat ini, terdapat beberapa kritik baru ter-
hadap pemikiran Marx mengenai ekologi yang
48
ditujukan pada teori keretakan metabolik itu
sendiri, dengan mengatakan bahwa teori terse-
but bersifat dualistik daripada dialektis. Tetapi
ini tentu saja merupakan kesalahpahaman, ka-
rena bagi Marx, metabolisme sosial antara ma-
nusia dan alam (ekstra-manusia) melalui proses
kerja dan produksi per definisi adalah mediasi
alam dan masyarakat. Dalam kasus kapitalisme,
ini memanifestasikan dirinya sebagai mediasi
teralienasi dalam bentuk keretakan metabolik.
Pendekatan seperti itu, yang berfokus pada ker-
ja/metabolisme sebagai mediasi dialektis dari
totalitas, tentu saja sangat bertentangan dengan
dualisme.
Yang lain mengatakan bahwa jika Marxisme
klasik membahas pertanyaan-pertanyaan ekolo-
gis, mereka akan muncul dalam analisis sosia-
lis berikutnya setelah Marx, tetapi kenyataan-
nya tidak. Posisi ini juga salah. Faktanya, itulah
pertanyaan yang diangkat dalam The Return of
Nature, yang secara tegas dimaksudkan untuk
mengeksplorasi dialektika kesinambungan dan
perubahan dalam ekologi sosialis dan materialis

49
pada abad setelah kematian Charles Darwin
dan Marx, masing-masing pada tahun 1882 dan
1883.
AP: Memang, dalam Marx’s Ecology Anda
berfokus pada kemunculan dan pembentuk-
an materialisme Marx dalam hubungannya de-
ngan teori evolusi Darwin dan Alfred Russell
Wallace, yang berakhir tepat dengan kematian
dua tokoh yang pertama. Sekarang, dalam buku
baru Anda, Anda mulai dari titik ini untuk me-
nelusuri silsilah intelektual para pemikir ekoso-
sialis utama hingga munculnya gerakan ekolo-
gi di tahun 1960-an dan 70-an. Untuk waktu
yang lama, beberapa dari cerita ini tidak men-
dapat perhatian yang cukup. Mengapa butuh
waktu lama untuk memulihkannya? Dan bagai-
mana penemuan kembali tautan ini membantu
kita memahami kemunculan gerakan ekologis
secara berbeda?

JBF: The Return of Nature melanjutkan meto-


de Marx’s Ecology. Hal ini dapat dilihat dengan
membandingkan epilog dari buku sebelumnya

50
dengan argumen di dalam buku yang baru.
Marx’s Ecology (terlepas dari epilognya) bera-
khir dengan kematian Darwin dan Marx; The
Return of Nature dimulai dengan pemakam-
an mereka dan dengan satu orang yang diketa-
hui hadir di kedua pemakaman tersebut, E. Ray
Lankester, ahli zoologi Inggris yang hebat yang
merupakan anak didik Darwin dan Thomas
Huxley serta teman dekat Marx. The Return of
Nature tidak hanya diarahkan pada pengem-
bangan ide-ide Marxis, tetapi pada kaum sosi-
alis dan materialis yang mengembangkan apa
yang sekarang kita sebut ekologi sebagai ben-
tuk analisis kritis. Selain itu, kita dapat melihat
bagaimana ide-ide ini diwariskan secara genea-
logis-historis.
Seperti semua historiografi Marxian, The
Return of Nature menjelaskan asal-usul dan di-
alektika kontinuitas serta perubahan. Buku ini
menyajikan silsilah yang sebagian besar tidak
terputus dan meluas, meskipun dengan cara
yang rumit, dari Darwin dan Marx hingga le-
dakan ekologi di tahun 1960-an. Sebagian dari

51
argumen saya menyatakan bahwa tradisi sosialis
di Inggris dari akhir abad 19 hingga pertengahan
abad 20 sangatlah penting dalam hal ini. Periode
ini bukan hanya periode utama perkembangan
sosialisme Inggris, tetapi dalam sains, dan karya
paling kreatif adalah produk dari semacam sin-
tesis Darwin dan Marx di sepanjang garis eko-
logi evolusioner. Ilmuwan Marxis Inggris terka-
it erat dengan para pemikir Marxis revolusioner
yang terlibat dalam fase awal dan paling dina-
mis dari ekologi Soviet (hampir semuanya ke-
mudian disingkirkan di bawah Joseph Stalin).
Tetapi tidak seperti rekan-rekan Soviet mere-
ka, ilmuwan kiri Inggris mampu bertahan hidup
dan mengembangkan ide-ide mereka, dan seca-
ra fundamental melahirkan perspektif sosioeko-
logis dan ilmiah yang baru.
Kritik umum terhadap Marx’s Ecology se-
jak awal, misalnya, dalam jurnal Capitalism,
Nature, Socialism tepat setelah buku itu diter-
bitkan, adalah bahwa, bahkan jika Marx telah
mengembangkan kritik ekologis yang kuat, hal
ini tidak diteruskan dalam pemikiran sosialis

52
selanjutnya. Ada dua jawaban untuk ini. Yang
pertama adalah pernyataan Rosa Luxemburg
bahwa sains Marx telah menjangkau jauh me-
lampaui pergerakan langsung dan isu-isu saat
itu, dan bahwa, ketika kontradiksi dan tantang-
an baru muncul, jawaban baru akan ditemukan
dalam warisan ilmiah Marx.
Faktanya, benar bahwa persepsi Marx ten-
tang krisis ekologi kapitalisme, yang didasar-
kan pada kecenderungan pada masanya, jauh
di depan perkembangan dan pergerakan seja-
rah, yang dalam beberapa hal membuat ana-
lisisnya lebih berharga, bukan kurang. Tetapi
jawaban lainnya adalah anggapan bahwa ti-
dak ada analisis ekologi sosialis adalah salah.
Memang, ekologi sebagai bidang kritis sebagi-
an besar merupakan ciptaan kaum sosialis. Saya
sudah mencoba menjelaskan hal ini dalam epi-
log Marx’s Ecology, tetapi masih dibutuhkan le-
bih banyak lagi. Tantangannya adalah meng-
ungkap sejarah ekologi sosialis dan materialis di
abad setelah Marx. Tetapi melakukan ini mem-
butuhkan usaha besar karena tidak ada literatur

53
sekunder untuk dibicarakan, kecuali dalam be-
berapa hal, melalui karya Helena Sheehan
yang luar biasa, Marxism and the Philosophy of
Science.
Saya memulai penelitian arsip untuk The
Return of Nature pada tahun 2000, sekitar wak-
tu Marx’s Ecology diterbitkan. Idenya selalu
untuk mengeksplorasi lebih jauh isu-isu yang
diangkat dalam epilog, dengan fokus pada kon-
teks Inggris. Tetapi pada saat yang sama, ketika
saya memulai pekerjaan ini, saya juga mengam-
bil posisi sebagai coeditor (dan akhirnya editor
tunggal) dari jurnal Monthly Review, dan itu se-
cara alami menarik saya kembali ke ekonomi
politik, pekerjaan saya selama bertahun-tahun.
Terlebih, ketika saya menulis tentang ekologi
pada tahun-tahun ini, saya harus menghadapi
pertama-tama dan terutama, krisis yang tengah
berlangsung. Jadi, saya hanya dapat mengerja-
kan proyek intensif seperti The Return of Nature
pada saat tekanan hilang, selama liburan singkat
dari mengajar. Akibatnya, pekerjaan tersebut
berjalan lambat selama bertahun-tahun dengan

54
gangguan yang tak terhitung banyaknya. Saya
mungkin tidak akan pernah menyelesaikan buku
ini kecuali atas dorongan terus-menerus dari be-
berapa teman (terutama John Mage, yang kepa-
danya buku ini didedikasikan), dan fakta bahwa
masalah ekologi menjadi begitu besar sehingga,
untuk Monthly Review sendiri, kritik ekologis
menjadi sama pentingnya dengan kritik terha-
dap ekonomi politik, membuat pengembangan
pendekatan historis sistematis lebih diperlukan
dari sebelumnya.
Namun, alasan yang lebih besar menga-
pa penulisan buku tersebut memakan waktu
lama adalah karena cerita-cerita ini tidak dike-
tahui dan oleh karenanya dibutuhkan penelitian
arsip lanjutan yang tidak sedikit serta mencari
sumber-sumber yang sulit, termasuk karya-kar-
ya yang tidak pernah dibaca oleh siapa pun sela-
ma lebih dari setengah abad. Karya-karya besar
dibuang dan menjadi berjamur di sudut-sudut
yang tidak jelas. Tulisan-tulisan lain tidak diter-
bitkan atau hanya muncul di tempat yang su-
lit ditemukan. Peran para pemikir seperti JBS

55
Haldane, Joseph Needham, JD Bernal, Hyman
Levy, dan Lancelot Hogben dalam perkembang-
an pemikiran ekologis, terlepas dari keunggulan
mereka sebelumnya, kemudian tidak diketahui
atau dilupakan, sebagian merupakan korban dari
perjuangan internal dalam Marxisme itu sendi-
ri. Yang juga dilupakan adalah pemikir-pemi-
kir besar kiri klasik seperti Benjamin Farrington,
George Thomson, dan Jack Lindsay. Dengan se-
mua hal yang harus ditangani ini, dibutuhkan
waktu untuk memahami cakupan analisis yang
luas, yang ditempatkan dalam konteks historis
yang tepat.
Tapi keterkaitan historis, seperti yang Anda
katakan, pasti ada di sana. Cerita ini pada
akhirnya mengarah pada tokoh-tokoh seperti
Barry Commoner dan Rachel Carson, dan juga
Stephen Jay Gould, Richard Levins, Richard
Lewontin, Steven dan Hilary Rose, Lindsay, dan
EP Thompson (yang menjadi aktivis antinuklir
terkemuka Inggris) —semuanya sangat terpe-
ngaruh, meskipun dengan cara yang berbeda,
oleh warisan intelektual dan politik ini. Sebagai
56
jawaban atas pertanyaan Anda tentang bagaima-
na sejarah ini dapat membantu kita dalam per-
juangan hari ini, mungkin jawaban yang paling
ringkas adalah pernyataan dari Quentin Skinner,
yang saya kutip dalam pengantar The Return
of Nature, yang mengatakan bahwa satu-satu-
nya tujuan dari sejarah semacam itu adalah un-
tuk menunjukkan “bagaimana masyarakat kita
membatasi imajinasi kita”. Dia menambahkan
bahwa “sejauh ini kita semua adalah Marxis.”

AP: Marx’s Ecology menyebutkan bagaima-


na internalisasi Anda sendiri atas warisan Georg
Lukács (dan Antonio Gramsci) mencegah Anda
menggunakan metode dialektis untuk alam se-
mesta. Anda tunjukkan bagaimana, karena ke-
lemahan umum ini, Marxisme Barat sebagian
telah meninggalkan bidang alam dan filsafat
sains ke dominasi varian pemikiran mekanik
dan positivis. Namun, The Return of Nature
justru dimulai dengan mempertanyakan bebe-
rapa asumsi tentang Lukács yang menjadi inti
penyimpangan Marxisme Barat dari dialektika

57
alam. Kondisi apa yang menunda begitu ba-
nyak temuan yang penting ini? Apa pengaruh
utama asumsi-asumsi ini terhadap Marxisme,
khususnya dalam kaitannya dengan ekologi?

JBF: Mungkin saya bisa menjelaskan ini


melalui perkembangan intelektual saya sendi-
ri. Ketika saya masih sarjana, saya mempelajari
karya-karya Immanuel Kant, GWF Hegel, Arthur
Schopenhauer, Marx, Engels, VI Lenin, dan Max
Weber dengan cukup ekstensif, serta para pe-
mikir seperti Herbert Marcuse, Mészáros, Ernst
Cassirer, H. Stuart Hughes, dan Arnold Hauser.
Jadi, ketika saya masuk ke jenjang pascasarja-
na, saya memiliki gambaran umum yang cukup
bagus tentang batas-batas antara Kantianisme/
neo-Kantianisme dan Hegelianisme/ Marxisme.
Oleh karena itu, saya terkejut, ketika berpartisi-
pasi dalam kursus teori kritis, saya menemukan
bahwa proposisi pertama yang diajarkan adalah
bahwa dialektika tidak berlaku untuk alam, ter-
utama berdasarkan otoritas catatan kaki dalam
buku Lukács History and Class Consciousness,

58
di mana dia telah mengkritik Engels pada dia-
lektika alam. Hanya dengan menolak dialektika
alam, dialektika dapat didefinisikan dalam ke-
rangka subjek-objek yang identik dari proses se-
jarah.
Tentu saja, Lukács sendiri, seperti yang ke-
mudian dia tunjukkan, tidak pernah sepe-
nuhnya meninggalkan gagasan “hanya dia-
lektika objektif” atau dialektika alam, yang ia
rujuk di tempat lain dalam History and Class
Consciousness. Memang, dalam kata pengan-
tar tahun 1967 yang terkenal untuk History and
Class Consciousness, Lukács, mengikuti Marx,
bersikeras pada mediasi dialektis antara alam
dan masyarakat melalui kerja sebagai metabo-
lisme, dan dalam pengertian itu pada dialektika
konsepsi alam. Argumen yang sama dibuat da-
lam tulisannya Conversations with Lukács, yang
saya baca di awal 1980-an.
Dalam konteks inilah saya menginternalisa-
si, sampai batas tertentu, pada tingkat praktis,
tanpa pernah sepenuhnya merangkul, gagasan
filosofis Marxis Barat bahwa dialektika hanya
59
dapat diterapkan pada ranah sejarah manusia
dan bukan pada alam (atau ilmu alam), yang
mana itu diserahkan kepada mekanisme atau
positivisme. Saya melihat dialektika historis da-
lam kerangka prinsip Vician bahwa kita dapat
memahami sejarah karena kita telah membuat-
nya, seperti yang dikemukakan oleh sejarawan
Marxis EP Thompson — meskipun saya menya-
dari bahwa, pada tingkat yang lebih dalam, ini
tidak sepenuhnya memuaskan karena manusia
tidak membuat sejarah sendirian, tetapi mela-
kukannya dalam hubungannya dengan metabo-
lisme alam semesta di mana masyarakat manu-
sia menjadi bagian yang muncul. Tetapi minat
saya di tahun 1980-an terutama diarahkan pada
ekonomi politik dan sejarah, di mana masalah
seperti itu jarang muncul. Sejauh menyangkut
ranah sejarah manusia, cukup mudah untuk me-
masukkan pertanyaan tentang dialektika alam.
Ketika saya beralih lebih langsung ke per-
tanyaan tentang ekologi di akhir 1980-an dan
90-an, masalah ini menjadi tidak terhindarkan.
Dialektika alam hanya dapat secara konsisten

60
dikesampingkan atas dasar idealis atau mate-
rialis mekanis. Namun, dalam menulis Marx’s
Ecology, saya secara sadar menghindari, seba-
gian besar, pertimbangan eksplisit dan rinci ten-
tang dialektika alam dalam kaitannya dengan
Marx, mengingat kompleksitas masalah, yang
saat itu tidak siap saya tangani, meskipun je-
las Konsep Marx mengenai metabolisme sosi-
al membawanya ke arah itu. Jadi, dalam epilog
Marx’s Ecology, saya hanya merujuk pada rujuk-
an Marx pada “metode dialektis” sebagai cara
menangani “pergerakan materi yang bebas,”
dan bagaimana ini adalah bagian dari warisan
yang dia ambil dari Epicurus dan para materia-
lis sebelumnya, dimediasi oleh studinya tentang
Hegel. Sebagai pendekatan epistemologis, saya
melihat bahwa ini dapat dipertahankan karena
secara heuristik setara dengan peran yang dima-
inkan teleologi untuk kognisi manusia di Kant.
Tetapi pertanyaan ontologis yang lebih luas ten-
tang “yang disebut dialektika objektif,” seperti
yang muncul di Engels (dan dalam Lukács), dan

61
hubungannya dengan Marx, sebagian besar di-
hindari (dibiarkan tersirat) dalam buku saya.
Saya tidak membahas dialektika alam seca-
ra eksplisit hingga tahun 2008, dalam sebuah
bab yang saya tulis untuk sebuah buku tentang
dialektika yang diedit oleh Bertell Ollman dan
Tony Smith (kemudian dimasukkan dalam The
Ecological Rift). Di sini, saya masih terjebak da-
lam apa yang saya sebut “masalah Lukács,” bah-
kan jika saya mengerti bahwa, bagi Lukács, ar-
gumen metabolisme Marx menawarkan jalan
keluar yang luas dari seluruh dilema epistemo-
logis-ontologis. (Sementara jalur lain, menurut
saya, dapat ditemukan dalam apa yang dise-
but Marx sebagai “dialektika kepastian sensu-
al” yang diwakili oleh materialisme Epicurus,
Francis Bacon, dan Ludwig Feuerbach, dan di-
masukkan ke dalam karya awal Marx). Namun,
pendekatan saya di sana, bahkan jika bisa di-
bilang selangkah lebih maju, dalam berbagai
hal masih tidak memadai. Bagian dari kesulit-
an ketika saya memahaminya terletak pada ke-
terbatasan filosofis (dan pada saat yang sama

62
cakupan ilmiah yang jauh lebih besar) dari di-
alektika materialis yang tidak akan pernah bisa
menjadi sistem melingkar yang tertutup seper-
ti dalam filsafat idealis Hegel — atau sistem to-
talisasi yang secara eksklusif terdiri atas hubung-
an internal dan monad tanpa jendela. Dialektika
Marx terbuka, tidak tertutup, seperti halnya du-
nia fisik itu sendiri.
Pertanyaan tentang dialektika alam menjadi
inti dari The Return of Nature. Salah satu ele-
mennya adalah studi tentang Lukács di masa
berikutnya, khususnya The Young Hegel dan
Ontology of Social Being. Faktor kunci di sini
adalah perlakuan Lukács terhadap determina-
si refleksi Hegel, yang membantu saya mema-
hami cara di mana naturalisme dialektis Engels
telah diilhami oleh Doktrin Esensi dalam Logic
karya Hegel. Elemen lain yang memengaruhi
pandangan saya, kembali ke Marx’s Ecology
adalah realisme kritis Roy Bhaskar, terutama
Dialectic: The Pulse of Freedom. Tetapi inti
dari proyek saya di The Return of Nature ada-
lah penelitian cermat dari Dialectics of Nature

63
Engels itu sendiri (serta tulisan-tulisan filosofis
Lenin), yang memiliki kedalaman yang tak ter-
hitung. Ini memungkinkan saya untuk memeta-
kan pengaruh yang diberikan Engels pada para
pemikir berikutnya — terutama, dalam kaitan-
nya dengan dialektika masalah alam itu sendi-
ri, pada Needham, Christopher Caudwell, dan
Lindsay. Selain itu, William Morris dalam seni
dan Haldane, Bernal, Hogben, dan Levy dalam
sains menawarkan berbagai wawasan yang kuat
ke dalam ekologi dialektis dan materialis.
AP: Lukács juga mencatat bagaimana pem-
bagian kerja teralienasi berfungsi untuk me-
ningkatkan pembagian disiplin ilmu sesuai de-
ngan kebutuhan spesialisasi fungsional modal.
Sebagai filosofi praksis, Marxisme diusulkan se-
bagai proyek totalisasi, antara lain, untuk me-
nyusun kembali berbagai keretakan yang te-
lah diperluas atau dipaksakan oleh kapitalisme:
alam dan masyarakat, tetapi juga sains dan seni.
Tema sentral buku baru Anda adalah keberada-
an pendekatan paralel terhadap ekologi dan
sosialisme dalam sains dan seni. Bagaimana
64
hubungan ini berkontribusi pada pemikiran
ekososialis materialis? Dan bagaimana mereka
dapat membantu kita memikirkan kembali in-
teraksi ini dalam kaitannya dengan ekologi dan
krisis ekososial yang kita hadapi?

JBF: Saat menulis The Return of Nature, per-


nyataan Morris di News from Nowhere bahwa
ada dua bentuk pengetahuan yang tidak dapat
diatasi, sains dan seni, selalu ada di benak saya.
Semua pemikir Marxis yang peduli dengan eko-
logi melintasi batas-batas ini dengan berbagai
cara, sehingga perkembangan paralel harus di-
periksa dalam catatan silsilah-historis mana
pun. Jelas, perkembangan analitis ekologi se-
bagai ilmu dan hubungannya dengan dialektika
alam berkembang terutama melalui aliran ilmi-
ah. Tetapi hampir tidak mungkin untuk mengi-
solasi ini dari estetika sosialis.

65
Jadi, Lankester berteman dengan Morris dan
pra-Raphaelites1. Hogben mengambil inspira-
si utama untuk sosialismenya dari Morris. Pada
Morris, kami menemukan analisis yang berakar
pada konsepsi bahwa semua karya yang tidak di-
alienasi mengandung seni, sebuah gagasan yang
dia tarik dari John Ruskin, tetapi dia menambah-
kan kedalaman melalui Marx. Morris juga mere-
produksi gagasan tentang karakter sosial semua
seni secara independen dari Marx. Caudwell
dengan cemerlang menangkap untaian estetika
dan ilmiah dari kritik ekologi secara keseluruh-
an. Estetikanya didasarkan pada konsep mimesis
yang didasarkan pada Aristoteles dan dalam tra-
disi klasik radikal Inggris dari ritualis Cambridge
1 Pre-Raphaelites adalah sebuah kelompok pelukis,
penyair dan kritikus seni Inggris yang didirikan pada
1848 oleh William Holman Hunt, John Everett Millais,
Dante Gabriel Rossetti, William Michael Rossetti, James
Collinson, Frederic George Stephens and Thomas
Woolner. Informasi lebih jauh, lihat
https://en.wikipedia.org/wiki/Pre-Raphaelite_
Brotherhood

66
yang diwakili oleh Jane Harrison, yang kemudi-
an digabung oleh Caudwell dengan dialektika
materialis. Pendekatan kuat Caudwell mengha-
silkan analisis luar biasa George Thomson ten-
tang asal-usul puisi dan drama.
Seluruh perkembangan estetika-ekologi di
kiri ini memuncak di seorang Marxis Australia
Jack Lindsay, yang karena banyaknya studi kla-
sik, sastra, filosofis, dan ilmiahnya menyatukan
gagasan tentang dialektika alam, dengan me-
manfaatkan estetika dan sains. Bukan kebetulan
bahwa para pemikir seperti Lukács, Mészáros,
dan Thompson sangat memikirkan Lindsay,
yang karyanya kurang dihargai, mungkin kare-
na menavigasi korpusnya yang berjumlah 170
jilid, mulai dari karya klasik kuno hingga sastra,
puisi, sejarah, dan filsafat sains itu terlalu me-
nakutkan.
AP: Engels adalah karakter kunci dalam
buku baru Anda. Untuk waktu yang lama, da-
lam Marxisme tertentu, Engels dituduh telah
memvulgarisasi pemikiran Marx, tetapi Anda

67
menunjukkan relevansi dan kompleksitas mate-
rialisme dialektis Engels untuk kritik sosial dan
ekologis terhadap kapitalisme. Meskipun se-
makin dikenal, Anda masih dapat menemukan
penghinaan tertentu untuk Engels dan untuk
karyanya yang terkait dengan Marx. Bagaimana
ini bisa terjadi? Bagaimana kita menentang po-
sisi ini dari sudut pandang pemikiran ekologi
Marxis?

JBF: Saya ingat pernah mendengar David


McClellan berbicara pada bulan Desember
1974, tidak lama setelah dia menulis biografi-
nya tentang Marx. Saya benar-benar terkejut de-
ngan omelan luar biasa terhadap Engels, yang
merupakan inti dari pembicaraannya. Ini ada-
lah perkenalan nyata pertama saya mengenai
serangan terhadap Engels, yang dalam banyak
hal terkait dengan usaha untuk mendefinisi-
kan tradisi Marxis Barat di masa Perang Dingin,
dan yang telah terbawa hingga era pasca-
Perang Dingin. Semua ini jelas bukan tentang
Engels sebagai pemikir dari apa yang kemudian

68
disebutkan sosiolog Alvin Gouldner sebagai
“dua Marxisme”. Marxisme Barat dan, dalam
banyak hal, dunia akademis mengklaim Marx
sebagai milik mereka, sebagai pemikir yang so-
pan, tetapi sebagian besar menolak Engels kare-
na dianggap terlalu “kasar”, memberinya peran
sebagai perusak, sebagai orang yang telah men-
ciptakan “Marxisme” yang tidak ada hubungan-
nya dengan Marx, dan yang karenanya bertang-
gung jawab atas ekonomisme, determinisme,
saintisme, dan perspektif filosofis dan politik
yang vulgar dari Internasional Kedua dan sete-
rusnya, sampai ke Stalin.
Oleh karena itu, adalah tidak mengejutkan
bahwa meskipun kita dapat menemukan ratus-
an, bahkan ribuan, buku dan artikel yang me-
nyebutkan karya Engels Dialectics of Nature,
hampir tidak ada yang bisa dipelajari darinya
karena mereka memperlakukan pandangannya
dengan cara doktriner, seperti dalam banyak
Marxisme versi resmi yang lama, atau, dalam
kasus tradisi filosofis Marxis Barat, hanya me-
ngutip beberapa baris dari Dialectics of Nature,

69
atau kadang-kadang Anti-Duhring, untuk mene-
tapkan vulgarisasinya tentang Marxisme. Yang
lainnya, seperti Terrell Carver, yang telah ba-
nyak menulis tentang Engels, mengabdikan diri
tidak untuk memajukan pemahaman tentang
karya Engels, tetapi untuk memutuskan secara
sistematis karya Engels dari karya Marx.
Saya ingat, ketika membaca Letters of Karl
Marx karya Karl Padover dan bertanya-tanya
mengapa itu terasa seperti pekerjaan kosong
yang gersang, terlepas dari kenyataan bahwa itu
sepenuhnya diisi dengan kata-kata Marx sendi-
ri. Saya menyadari itu karena hampir semua su-
rat untuk Engels dan Engels tidak ada di buku
itu. Jadi ini adalah percakapan sepihak, seo-
lah-olah hanya Marx yang diperhitungkan dan
Marx hanya berbicara kepada dirinya sendiri.
Korespondensi Marx-Engels jelas merupakan
percakapan dua sisi dan mengambil sebagian
besar kecemerlangannya sebagai dialog berke-
lanjutan antara dua pemikir magisterial ini, yang
bersama-sama mendirikan materialisme sejarah.

70
Dalam tradisi ekologi Marxian, Engels sangat
penting. Karena betapa pun briliannya analisis
Marx dalam hal ini, kita tidak dapat mengabai-
kan kontribusi besar Engels pada epidemiologi
berbasis kelas (subjek utama dari Condition of
the Working Class in England), pada dialektika
alam dan kemunculannya, untuk kritik terhadap
penaklukan alam, atau untuk memahami per-
kembangan evolusi manusia. Penerapan kritis
Engels atas Darwin dalam Anti-Dühring adalah
fundamental bagi perkembangan ekologi evo-
lusioner. Materialisme emergentis yang dikem-
bangkan dalam Dialectics of Nature adalah inti
dari pandangan dunia ilmiah yang kritis.
AP: Monthly Review selalu menunjukkan
kepekaan yang besar terhadap perjuangan re-
volusioner Dunia Ketiga. Teori imperialisme
Lenin, bersama dengan teori kapital monopoli
oleh Paul Sweezy dan Paul Baran, teori keter-
gantungan (antara lain dalam Ruy Mauro Marini
dan Samir Amin) dan dialognya dengan analisis
sistem dunia, atau kontribusi Mészáros, di an-
tara banyak pengaruh lainnya, sangat penting
71
untuk elaborasi kritik spesifik ekososialis Anda.
Sayangnya, dan sampai batas tertentu sehu-
bungan dengan keterbatasan Marxisme Barat,
hubungan antara ekologi dan imperialisme se-
ring diremehkan dalam arus Marxis dan eko-
logis lainnya. Beberapa bahkan menganggap
imperialisme sebagai kategori yang ketinggal-
an zaman untuk berurusan dengan kapitalisme
global. Mengapa pemisahan antara geopolitik
dan ekologi ini tetap kuat di sektor kiri tertentu?
Apakah pendekatan yang berbeda untuk masa-
lah ini dimungkinkan?

JBF: Dalam generasi saya di Amerika Serikat,


yang terkena dampak Perang Vietnam dan ku-
deta di Chile, kebanyakan dari mereka yang
tertarik pada Marxisme adalah karena penen-
tangannya imperialisme. Sebagian karena alas-
an inilah saya sejak awal tertarik pada Monthly
Review, yang, secara praktis sejak kelahirannya
pada tahun 1949, telah menjadi sumber utama
kritik terhadap imperialisme, termasuk teori ke-
tergantungan dan analisis sistem dunia. Tulisan

72
Harry Magdoff tentang imperialisme, dalam
The Age of Imperialism dan Imperialism: From
the Colonial Age to the Present sangat pen-
ting bagi kita. Begitu pula karya tentang impe-
rialisme oleh Paul Baran, Paul Sweezy, Oliver
Cromwell Cox, Che Guevara, Andre Gunder
Frank, Walter Rodney, Samir Amin, Immanuel
Wallerstein, dan sejumlah lainnya. Fakta bah-
wa perspektif paling revolusioner di Amerika
Serikat secara historis berasal dari gerakan ku-
lit hitam, yang selalu lebih internasionalis dan
anti-imperialis dalam perspektifnya, sangat pen-
ting dalam mendefinisikan sayap kiri AS yang
radikal. Namun, dengan semua ini, selalu ada
tokoh-tokoh besar sosial demokrat di Amerika
Serikat, seperti Michael Harrington, yang berda-
mai dengan imperialisme AS. Saat ini, beberapa
perwakilan dari gerakan baru untuk “sosialisme
demokratis” secara teratur menutup mata terha-
dap intervensi kejam Washington di luar negeri.
Tentu saja, semua ini tidak baru. Varian kon-
flik imperialisme di kiri dapat dilihat sejak awal
gerakan sosialis di Inggris. H. M. Hyndman,

73
pendiri Federasi Sosial Demokratik, dan George
Bernard Shaw, salah satu Fabian terkemuka, ke-
duanya mendukung Kerajaan Inggris dan “im-
perialisme sosial.” Di sisi lain, tokoh-tokoh
yang terkait dengan Liga Sosialis, seperti Morris,
Eleanor Marx, dan Engels semuanya anti-impe-
rialis. Adalah isu imperialisme yang paling me-
nentukan untuk memecah gerakan sosialis
Eropa pada saat Perang Dunia Pertama, seperti
yang diceritakan Lenin dalam Imperialism, the
Highest Stage of Capitalism.
Dalam Kiri Baru di Inggris dari tahun 1960-
an, imperialisme adalah sumber utama perti-
kaian. Mereka yang diidentifikasi sebagai First
New Left, seperti Thompson, Ralph Miliband,
dan Raymond Williams, sangat anti-imperialis,
sedangkan Second New Left, khususnya yang
terkait dengan New Left Review, melihat impe-
rialisme sebagai kekuatan progresif dalam seja-
rah seperti dalam kasus Bill Warren, atau cende-
rung mengecilkan signifikansinya sama sekali.
Akibatnya, terutama dengan munculnya ideo-
logi globalisasi di abad ini, terjadi penurunan

74
dramatis dalam studi imperialisme (meskipun
disertai dengan studi budaya yang berkembang
tentang kolonialisme dan poskolonialisme) baik
di Inggris maupun di Amerika Serikat. Hasil lo-
gis dari ini adalah bahwa seorang tokoh yang
sekarang berpengaruh di akademi kiri seperti
David Harvey, baru-baru ini menyatakan bah-
wa imperialisme telah “dibalik,” dengan Barat
sekarang di ujung yang kalah.
Semua ini membawa kita pada pertanyaan
tentang kinerja sayap kiri yang secara umum sa-
ngat lemah dalam mengembangkan teori impe-
rialisme ekologis atau pertukaran ekologis yang
tidak setara. Ini adalah produk dari kegagalan
sistematis untuk mengeksplorasi perampasan
kejam kapitalisme atas sumber daya dan eko-
logi di sebagian besar dunia. Ini tentang nilai
pakai, bukan hanya nilai tukar. Dengan demi-
kian, kelaparan yang diperkenalkan di India di
bawah pemerintahan kolonial Inggris berkaitan
dengan bagaimana Inggris secara paksa meng-
ubah rezim pangan di India, menggeser nilai
guna, hubungan metabolisme, dan infrastruktur

75
hidrologi yang penting untuk kelangsungan hi-
dup manusia, sementara juga menguras surplus
India. Meskipun proses pengambilalihan ekolo-
gis ini telah lama dipahami oleh kaum kiri di
India, dan di banyak belahan Dunia Selatan la-
innya, proses ini masih belum sepenuhnya di-
pahami oleh kaum Marxis di Dunia Utara.
Pengecualian adalah karya Mike Davis yang
luar biasa berjudul Late Victorian Holocausts.
Demikian pula, perampasan besar-besar-
an guano dari Peru untuk menyuburkan tanah
Eropa, yang telah dirampas nutrisinya (manifes-
tasi dari keretakan metabolik), akan memiliki se-
gala macam efek perkembangan negatif jangka
panjang di Peru, dan termasuk impor Pekerja
Tionghoa dalam kondisi yang sering dicirikan
sebagai “lebih buruk dari perbudakan” untuk
menggali guano. Semua ini terkait dengan apa
yang oleh Eduardo Galeano disebut The Open
Veins of Latin America.
Apa yang ditunjukkan di sini adalah bahwa
masalah ekologi dan imperialisme selalu terkait
erat dan semakin erat terjalin sepanjang waktu.
76
Laporan Ecological Threat Register 2020 dari
Institute of Economics and Peace menunjuk-
kan bahwa sebanyak 1,2 miliar orang mungkin
mengungsi dari rumah mereka, menjadi peng-
ungsi iklim, pada tahun 2050. Dalam kondisi
historis seperti itu, imperialisme tidak dapat lagi
dianalisis secara independen dari planet. Dalam
hal ini, imperialisme tidak bisa lagi dianalisis se-
cara independen dari kehancuran ekologis pla-
net yang ditimbulkannya saat ini. Ini adalah pe-
san yang ingin saya dan Brett Clark sampaikan
dalam The Robbery of Nature, dan kami ber-
dua, bersama dengan Hannah Holleman, beru-
saha keras untuk menjelaskannya dalam artikel
kami “Imperialism in the Anthropocene,” yang
terbit dalam Monthly Review Juli – Agustus
2019. Dalam artikel itu, kami menyimpulkan:
“Tidak akan ada revolusi ekologis dalam meng-
hadapi krisis eksistensial saat ini kecuali jika ia
anti-imperialis, yang mengambil kekuatannya
dari massa besar umat manusia yang mende-
rita.… Orang miskin akan mewarisi bumi atau

77
tidak akan ada lagi bumi yang tersisa untuk di-
wariskan. “
AP: Seperti yang telah kita lihat, minat pada
ekososialisme Marx telah berkembang pesat da-
lam beberapa dekade terakhir. Tapi, tentu saja,
ini melampaui konteks historis Marx. Mengapa
penting bagi pemikiran ekologi saat ini untuk
kembali ke ide-ide Marx? Dan apa tantangan
pemikiran ekologi Marxis hari ini?

JBF: Ekologi Marx adalah titik awal dan se-


kumpulan fondasi, bukan sebuah titik akhir. Di
dalam pemikiran Marx lah kita menemukan da-
sar-dasar kritik terhadap ekonomi politik yang
juga merupakan kritik terhadap kerusakan eko-
logis kapitalisme. Ini bukan kebetulan, karena
Marx secara dialektis menampilkan proses ker-
ja sebagai metabolisme sosial (mediasi) alam
dan masyarakat. Menurut Marx, kapitalisme,
dalam mengasingkan proses kerja, juga menga-
singkan metabolisme antara manusia dan alam,
sehingga menimbulkan keretakan metabolik.
Marx mengambil kesimpulan logis ini, dengan

78
alasan bahwa tidak ada yang memiliki bumi,
bahkan tidak semua orang di semua negara di
dunia memiliki bumi, bahwa mereka hanya me-
miliki tanggung jawab untuk merawatnya dan,
jika mungkin, memperbaikinya untuk mata ran-
tai generasi mendatang sebagai kepala rumah
tangga yang baik.
Marx mendefinisikan sosialisme sebagai re-
gulasi rasional dari metabolisme manusia dan
alam, untuk menghemat sebanyak mungkin
energi dan mendorong perkembangan manusia
seutuhnya. Tidak ada dalam teori konvensional
maupun teori hijau kiri - betapapun banyaknya
hal-hal yang dipersoalkan dari kapitalisme- yang
memiliki kesatuan antara kritik ekologi dan kri-
tik ekonomi, atau sebagai sintesis sejarah yang
komprehensif. Akibatnya, dalam keadaan da-
rurat planet kita, ekososialisme tak terelakkan
bertumpu pada konsepsi dasar Marx. Gerakan
lingkungan, jika memang penting, haruslah eko-
sosialis.
Tetapi, tentu saja, saya tidak akan menulis
The Return of Nature, yang berfokus pada abad
79
setelah kematian Marx dan Darwin, jika ekolo-
gi sosialis hanya dimulai dan diakhiri dengan
Marx. Sangatlah penting untuk memahami ba-
gaimana perspektif dialektis, materialis, dan eko-
logis sosialis berkembang dari akhir abad ke-19
hingga akhir abad ke-20 untuk memahami teo-
ri dan praktik historis yang menjadi bagian dari
perjuangan saat ini. Tugas kita sekarang bukan
hanya untuk berlama-lama di masa lalu, tetapi
untuk menarik semua ini bersama-sama agar ter-
libat dengan tantangan dan beban sejarah kita
sekarang. Marx berfungsi untuk mendemonstra-
sikan satu-kesatuan esensial dari kontradiksi po-
litik-ekonomi-ekologis kita dan dasarnya dalam
tatanan sosial dan ekologis yang teralienasi saat
ini. Ini membantu kita mengungkap kontradik-
si masa kini. Tetapi untuk melakukan perubah-
an yang diperlukan, kita perlu melakukannya
dengan memperhatikan bagaimana masa lalu
menginformasikan masa kini dan memungkin-
kan kita untuk membayangkan tindakan revolu-
sioner yang diperlukan.

80
Tujuan pemikiran ekologi Marxian tidak ha-
nya untuk memahami kontradiksi sosial dan
ekologi kita saat ini, tetapi untuk melampaui-
nya. Mengingat bahwa umat manusia mengha-
dapi bahaya yang lebih besar daripada sebelum-
nya dan berada di kereta kapitalis yang melaju
kencang menuju ke jurang, ini harus menjadi
perhatian utama kita. Menghadapi keadaan da-
rurat ekologi planet berarti kita harus lebih re-
volusioner dari sebelumnya, dan tidak takut un-
tuk mengajukan pertanyaan tentang perubahan
masyarakat, seperti yang dikatakan Marx, “dari
atas ke bawah,” mulai dari tempat kita berada.
Pendekatan sedikit demi sedikit dan reformis
dari kebanyakan pegiat lingkungan hidup, yang
menaruh kepercayaan pada pasar dan teknolo-
gi, sementara berdamai sebagian besarnya de-
ngan sistem yang berlaku, dengan kehancuran
ekologisnya yang tak henti-hentinya, tidak akan
berhasil, bahkan dalam jangka pendek. Kini, se-
telah lebih dari satu abad kritik sosialis terhadap
kontradiksi ekologis kapitalisme, memiliki ke-
kuatan teoritis yang sangat besar dan menunjuk

81
pada filosofi praksis yang berbeda. Dalam peng-
alaman kita yang terus berkembang saat ini, ti-
dak ada pilihan selain meninggalkan rumah ka-
pitalisme yang terbakar ini. Kita membutuhkan
pemahaman teoritis yang lebih dalam tentang
manusia, sosial, dan kemungkinan ekologis,
tentang kebebasan sebagai kebutuhan, yang di-
tawarkan oleh Marxisme ekologis. Sebagaimana
Doris Lessing, yang muncul secara singkat da-
lam The Return of Nature, menyatakan dalam
pengantar The Golden Notebook: “Marxisme
melihat segala sesuatu secara keseluruhan dan
dalam hubungannya satu sama lain.” Ini adalah
kapasitas revolusioner yang paling kita butuh-
kan saat ini.***
*Wawancara ini sebelumnya terbit di Jurnal
Monthly Review, 1/12/2020 (https://monthlyre-
view.org/2020/12/01/the-return-of-nature-and-
marxs-ecology/), dengan judul asli “The Return
of Nature and Marx’s Ecology”. Diterbitkan
ulang di sini atas ijin dari jurnal Monthly Review
untuk tujuan pendidikan.

82
Bab II

Kapitalisme dalam Jaring


Kehidupan
Wawancara Kamil Ahsan dengan Jason W.
Moore

DALAM bukunya Capitalism in the Web of


Life, Jason W. Moore menjelaskan urgensi bagi
pengerjaan ulang teoritis yang lengkap dan sin-
tesis dari pemikiran Marxis, pegiat lingkungan,
dan feminis dengan menyatakan: “Saya pikir ba-
nyak dari kita memahami secara intuitif - bah-
kan jika kerangka analitis kita tertinggal di be-
lakang - bahwa kapitalisme lebih dari sekadar

83
sistem “ekonomi,” dan bahkan lebih dari sistem
sosial. Kapitalisme adalah cara mengatur alam.”
Kamil Ahsan berbicara dengan Moore ten-
tang bukunya yang diterbitkan oleh penerbit
Verso, London, mengenai pergulatannya de-
ngan tantangan-tantangan barunya terhadap
asumsi-asumsi lama.
Kamil Ahsan (KA): Apa yang mendorong di-
tulisnya Capitalism in the Web of Life?

Jason W. Moore (JWM): Saya ingin mengha-


silkan kerangka kerja yang memungkinkan kita
memahami sejarah lima abad terakhir dengan
cara yang memadai untuk krisis yang kita ha-
dapi saat ini. Selama empat dekade terakhir, kita
menggunakan pendekatan “Aritmatika Hijau”
terhadap krisis. Ketika kita mengalami krisis
ekonomi atau sosial atau krisis lainnya, semua-
nya masuk ke dalam satu kotak. Kemudian kita
menghadapi krisis ekologi - air atau energi atau
iklim - yang masuk ke kotak yang terpisah.

84
Jadi selama kurang lebih empat dekade ter-
akhir, aktivis lingkungan dan radikal lainnya te-
lah meningkatkan kewaspadaan tentang krisis
ini tetapi tidak pernah benar-benar menemu-
kan cara untuk menggabungkannya. Para pemi-
kir lingkungan telah mengatakan satu hal dan
kemudian melakukan hal lain - mereka meng-
klaim bahwa manusia adalah bagian dari alam
dan bahwa segala sesuatu di dunia modern ada-
lah tentang hubungan kita dengan biosfer, teta-
pi kemudian ketika mereka mulai mengatur atau
menganalisis, semuanya turun ke “Masyarakat
plus Alam,” seolah-olah hubungan itu tidak
seintim, langsung serta bersifat segera seperti
yang sebenarnya.
KA: Premis dari buku ini adalah bahwa kita
perlu mendobrak dualisme “Alam/Masyarakat”
yang telah berlaku di banyak pemikiran Merah
dan Hijau. Dari manakah ide ini berasal, dan
mengapa secara keseluruhan ide ini artifisial?

JWM: Gagasan bahwa manusia berada di


luar alam memiliki sejarah yang panjang. Itu

85
adalah ciptaan dunia modern. Banyak peradab-
an sebelum kapitalisme merasa bahwa manusia
itu berbeda. Tetapi pada abad 16, 17 dan 18,
ide yang sangat kuat ini muncul - yang tertanam
dalam kekerasan imperialis dan perampasan pe-
tani dan seluruh rangkaian rekomposisi tentang
apa artinya menjadi manusia, terutama perpe-
cahan seputar ras dan gender yang ada adalah
sesuatu, dalam kata-kata Adam Smith, disebut
sebagai “masyarakat yang beradab,” yang men-
cakup segelintir manusia.
Tetapi kebanyakan manusia masih dimasuk-
kan ke dalam kategori “Alam,” yang dianggap
sebagai sesuatu yang harus dikendalikan dan
didominasi dan digunakan untuk bekerja - dan
beradab. Kedengarannya sangat abstrak, tetapi
dunia modern benar-benar didasarkan pada ga-
gasan bahwa beberapa kelompok manusia di-
sebut “Masyarakat” tetapi kebanyakan manu-
sia masuk ke kotak lain yang disebut “Alam”
dengan huruf A besar. Itu sangat kuat. Itu tidak
terjadi hanya karena ada ilmuwan, kartogra-
fer, atau penguasa kolonial yang memutuskan

86
bahwa itu adalah ide yang bagus, tetapi karena
proses yang sangat jauh yang menyatukan pasar
dan industri, kerajaan, dan cara-cara baru untuk
melihat dunia yang berjalan seiring dengan kon-
sepsi Revolusi Ilmiah yang luas.
Gagasan tentang Alam dan Masyarakat ini
berakar sangat dalam pada dualisme lain dari
dunia modern: kapitalis dan pekerja, Barat dan
lainnya, laki-laki dan perempuan, kulit putih
dan hitam, peradaban dan barbarisme. Semua
dualisme lain ini benar-benar menemukan akar-
nya dalam dualisme Alam/Masyarakat.
KA: Apa pentingnya mematahkan dualisme
ini, terutama dalam hal bagaimana Anda mere-
konseptualisasikan kapitalisme sebagai “dipro-
duksi bersama,” seperti yang Anda katakan,
oleh kodrat manusia dan ekstra-alam manusia
(human natures)?

JWM: Penting untuk dipahami bahwa kapi-


talisme diproduksi bersama oleh manusia dan
alam lainnya, terutama untuk memahami krisis
yang sedang berlangsung saat ini. Cara berpikir
87
yang biasa tentang masalah dunia kita saat ini
adalah dengan meletakkan krisis sosial, ekono-
mi dan budaya ke dalam rubrik “krisis sosial”
- dan kemudian kita mengalami krisis ekologi
dan itu adalah iklim dan yang lainnya. Saat ini,
kita semakin menyadari bahwa kita tidak dapat
membicarakan satu hal tanpa yang lain, tetapi
itulah kenyataannya selama ini.
Kita perlu mengatasi dualisme ini agar kita
dapat membangun pengetahuan kita tentang
krisis saat ini, sebuah krisis tunggal dengan ba-
nyak ekspresi. Beberapa, seperti finansialisasi,
terlihat murni sosial, dan lainnya, seperti poten-
si kepunahan keenam kehidupan di planet ini,
tampak murni ekologis. Namun nyatanya, ke-
dua momen itu terkait sangat erat dalam berba-
gai cara yang menarik.
Begitu kita memahami bahwa hubungan itu
sangat penting, kita mulai melihat bagaimana
Wall Street sebenarnya merupakan cara meng-
atur alam. Kita melihat terungkapnya masa-
lah hari ini - seperti gejolak baru-baru ini di pa-
sar saham Tiongkok dan Amerika - dibungkus
88
dengan masalah iklim dan kehidupan yang le-
bih besar di planet ini dengan cara yang bahkan
para ekonom radikal tidak mau mengakuinya.
Ini berdampak pada politik kita. Kita melihat ge-
rakan hari ini - seperti gerakan keadilan pangan
- yang mengatakan bahwa kita perlu memahami
transformasi ini dan ini berkaitan dengan hak
atas pangan dalam arti ekologis, tetapi juga da-
lam arti budaya dan demokrasi, dan ini tidak da-
pat dipisahkan.
Masalah dengan “Aritmatika Hijau” dari
“Masyarakat + Alam” adalah pemisahan yang
aneh antara keadilan lingkungan dari keadilan
sosial, kelestarian lingkungan dari keberlanjutan
sosial, imperialisme ekologis dari imperialisme
secara umum - meskipun siapa pun yang me-
ngetahui sejarah imperialisme tahu bahwa itu
adalah selalu tentang “siapa yang akan kita har-
gai” dan “kelompok masyarakat apa yang akan
kita hargai?” Begitu kita menghentikan adjecti-
val promiscuity ini, kita melihat bahwa imperia-
lisme selalu tentang bagaimana manusia dan se-
luruh alam berkelindan satu sama lain.

89
Saya pikir secara praktis kita kemudian bisa
mulai membuat aliansi baru dengan berbagai
bagian gerakan sosial dunia yang terputus - an-
tara gerakan tani dan gerakan buruh, antara ge-
rakan perempuan dan gerakan keadilan rasial.
Ada akar yang sama. Alasan mengapa menyu-
sun apa yang saya sebut sebagai “metabolisme
tunggal” manusia dalam jaring kehidupan sa-
ngatlah penting - memungkinkan kita untuk mu-
lai membuat hubungan antara momen sosial
dan momen ekologis.
KA: Bertentangan langsung dengan biner
Alam/Masyarakat, Anda mengajukan sintesis
baru, “oikos”. Apa itu dan bagaimana hal itu
membawa kita pada analisis kapitalisme yang
lebih mendalam?

JWM: Inti dari pemikiran radikal adalah se-


suatu yang melanggar penekanan kita pada se-
jarah dan hubungan antara manusia dan jaring-
an kehidupan. Apa yang terjadi adalah gagasan
inti tentang alam sebagai sesuatu yang murni,
yang berada di luar hubungan manusia, atau

90
alam yang tanpa sejarah. Premis ini mengarah
pada rasa di mana kita perlu melindungi alam
karena jika tidak, kiamat akan datang. Ada ba-
gian yang benar dari premis tersebut, akan teta-
pi itu juga memberikan apa yang kalangan radi-
kal selalu kuasai: menamai sistem dengan salah.
Kaum radikal berbicara tentang interaksi an-
tara manusia dan alam, tetapi tidak menyebut-
kan hubungan makhluk hidup yang mengha-
silkan lingkungan dan spesies. Umat manusia
berkembang melalui serangkaian aktivitas ling-
kungan yang mengubah tidak hanya lanskap te-
tapi juga biologi manusia. Misalnya, pemanfaat-
an api memungkinkan nenek moyang manusia
mengembangkan sistem pencernaan yang lebih
kecil dan memperlakukan api sebagai semacam
perut bagian luar.
Salah satu gagasan besar dalam buku ini ada-
lah bahwa Alam secara umum memiliki banyak
pola yang relatif konstan — Bumi berputar da-
lam pola orbit mengelilingi Matahari, misalnya
— tetapi selain itu, alam juga memiliki sejarah.

91
Dengan oikos, kita berbicara tentang hu-
bungan penciptaan kehidupan, dan kita mena-
mai hubungan yang memunculkan banyak eko-
sistem yang mencakup manusia ini. Manusia
selalu membuat lingkungannya dan dalam pro-
sesnya, membuat hubungan mereka satu sama
lain dan biologi mereka sendiri. Struktur kekua-
saan dan produksi, dan yang terpenting dari re-
produksi, adalah bagian dari cerita tentang ba-
gaimana kita membuat lanskap dan lingkungan,
dan bagaimana lingkungan itu membentuk kita.
Namun, kosa kata dan konsep kita selama ini
terprogram dalam dualisme ini. Kita perlu me-
mecahkan dualisme ini dan menawarkan bebe-
rapa konsep baru.
KA: Di awal buku, Anda mengutip penga-
matan Marx bahwa industrialisasi mengubah
“darah menjadi kapital.” Anda selanjutnya ber-
bicara tentang transformasi mengerikan dari se-
gala bentuk kerja alam menjadi nilai. Bentuk
alam apa yang secara historis telah diram-
pas oleh kapitalisme dan apa tren kapitalisme

92
dengan alam yang sebelumnya tidak tereksploi-
tasi?

JWM: Kapitalisme adalah sistem yang aneh,


karena tidak benar-benar antroposentris se-
perti yang biasanya dibicarakan Partai Hijau.
Kapitalisme antroposentris dalam cara sem-
pit yaitu manusia bekerja dalam sistem komo-
ditas, yang didasarkan pada eksploitasi: peker-
ja bekerja empat jam untuk menutupi gajinya
sendiri dan kemudian 4-10 jam lagi untuk kapi-
talis. Itulah salah satu dimensi yang menjadi fo-
kus Marx. Tapi dia sadar akan dimensi yang le-
bih luas.
Kapitalisme memperlakukan satu bagian
dari kemanusiaan sebagai sosial - bagian dari
kemanusiaan yang ada di dalam cash nexus (hu-
bungan yang dibentuk oleh transaksi keuang-
an) dan direproduksi dalam cash nexus. Tetapi
- dan ini adalah bagian kontra-intuitif - kapital-
isme juga merupakan pulau produksi komoditas
dan pertukaran di dalam lautan yang jauh lebih
besar dari perampasan kerja/energi yang tidak

93
dibayar. Setiap proses kerja, katakanlah, seorang
pekerja di Shenzhen, Cina, atau di Detroit 70 ta-
hun yang lalu di sebuah pabrik mobil, bergan-
tung pada penggunaan kerja/energi yang tidak
dibayar dari bagian alam lainnya. Kapitalisme,
di atas segalanya, adalah sistem yang luar bia-
sa dan merusak dari “perampasan perempuan,
alam, dan koloni,” untuk menggunakan frasa
hebat Maria Mies.
Masalah kapitalisme saat ini adalah bah-
wa peluang memperoleh pekerjaan secara gra-
tis - dari hutan, lautan, iklim, tanah, dan ma-
nusia - secara dramatis menyusut. Sementara
itu, sejumlah besar kapital yang mengambang
di seluruh dunia semakin besar mencari sesu-
atu untuk diinvestasikan dengan semakin be-
sar dan besar. Pandangan kapitalisme dalam
buku ini berbicara tentang sesuatu yang dina-
mis tentang situasi saat ini dan akan masuk ke
dalam situasi yang semakin tidak stabil dalam
satu atau dua dekade mendatang. Kami memi-
liki modal besar yang ingin diinvestasikan dan
hambatan luar biasa besar bagi peluang untuk

94
mendapatkan pekerjaan gratis. Artinya kapitalis-
me harus mulai membayar biaya sendiri untuk
berbisnis, yang berarti peluang untuk mengin-
vestasikan modal semakin menyusut. Ada ba-
nyak uang yang tak seorang pun tahu apa yang
harus dilakukan dengannya.
Apa yang terjadi dalam kritik radikal ada-
lah dua garis paralel. Pertama, dunia akan se-
gera berakhir, yang merupakan pandangan ki-
amat planet dari John Bellamy Foster. Lalu ada
pandangan lain tentang kapitalisme, bahwa ia
memiliki masalah konsumsi-kurang atau ke-
timpangan. Tetapi masing-masing dari dua ar-
gumen ini tidak lengkap tanpa yang lain, dan
keduanya perlu disatukan. Dan ketika Anda
mempertemukan ekologis ke dalam teori krisis
ekonomi atau analisis ketimpangan sosial, isti-
lah pemahaman ekonomi boom dan bust dan
ketimpangan mulai berubah, begitu pula seba-
liknya. Sebagian dari itu adalah bahwa masalah
inti dari ketidaksetaraan sosial, di sepanjang ga-
ris kelas, ras, dan gender, semuanya berkaitan

95
dengan cara kerja kapitalisme dalam jaringan
kehidupan.
KA: Mari beralih ke proses kerja, landasan
eksploitasi kapitalis dalam pemikiran Marxis
klasik. Anda berpendapat bahwa Marx berpikir
bahwa kapitalisme bukan hanya berpusat pada
tenaga kerja upahan tetapi juga kerja dan ener-
gi yang tidak dibayar dari kedua jenis manu-
sia, terutama perempuan, dan sifat ekstra-alami
manusia. Dan Anda juga mencatat bahwa kita
hidup di dunia di mana, kita tampaknya se-
makin mengadu upah dan pekerjaan dengan
iklim, yang merupakan dikotomi yang salah.
Bagaimana kita mulai menjauh dari biner yang
ingin Anda hancurkan ini?

JWM: Saya pergi ke inti pemikiran Marxis


untuk menemukan interpretasi baru yang kon-
sisten dengan bagaimana Marx memikirkannya.
Nilai adalah salah satu hal paling membosan-
kan yang dapat dibicarakan oleh setiap Marxis
- mengucapkan kata-kata “hukum nilai” tentu
saja membuat mata saya berkaca-kaca. Tetapi

96
semua peradaban memiliki cara untuk meng-
hargai kehidupan. Itu tidaklah unik dalam kapi-
talisme. Apa yang dilakukan kapitalisme adalah
mengatakan bahwa produktivitas tenaga kerja
dalam cash nexus adalah yang terpenting dan
kemudian kita akan mendevaluasi pekerjaan pe-
rempuan, alam, dan koloni. Ini membalikkan ar-
gumen Marxis yang biasanya. Ada sejenis hu-
kum nilai dalam kapitalisme yang merupakan
hukum “alam murah” atau hukum yang mende-
valuasi pekerjaan manusia bersama dengan ta-
tanan alam lainnya.
Saya dibesarkan di Pacific Northwest semen-
tara jenis politik ini sedang berlangsung. Di satu
sisi Anda memiliki konservasionis yang, me-
mang demikian, ingin melindungi hutan tua.
Dan di sisi lain, Anda memiliki borjuasi tetapi
juga serikat buruh yang berkata, kita butuh pe-
kerjaan.
Ini berubah. Menjadi jelas, bahkan untuk
banyak bisnis besar, bahwa perubahan iklim
akan mengubah kondisi secara fundamental un-
tuk menghasilkan keuntungan. Kita bisa melihat
97
ini di sekitar makanan. Dunia modern dibangun
di atas makanan murah, yang bisa Anda peroleh
jika Anda tinggal di iklim yang sangat teratur,
memiliki banyak tanah (yang subur), tenaga ker-
ja murah - Anda bisa menanam (sumber) kalori
dengan harga yang relatif murah. Tapi kita me-
lihat gerakan kedaulatan pangan muncul yang
mengatakan tidak ada pekerjaan, dan tidak ada
cara untuk membuat alam bekerja secara gratis
lebih dari yang sudah ada, karena sekarang kita
melihat semua tagihan datang karena atmosfer
global telah menjadi tempat pembuangan polu-
si.
Kita juga melihat situasi di California, mi-
salnya, di mana kekeringan menjadi begitu pa-
rah — yang terburuk dalam 1200 tahun, katanya
— bahwa pusat pertanian tanaman komersi-
al Amerika Utara mungkin akan hilang begitu
saja selama beberapa dekade mendatang. Jadi
dalam banyak hal, percepatan perubahan histo-
ris membuat wacana “pekerjaan vs. lingkungan”
menjadi usang.

98
KA: Anda banyak berbicara tentang modus
operandi kapitalisme yang menggunakan pe-
kerjaan tak berbayar yang diperlukan secara
sosial, dan pemikiran Hijau dan Merah secara
umum cenderung mengabaikannya. Apa sajak-
ah contohnya?

JWM: Hal pertama yang perlu kita sadari


adalah bahwa mitos pengorganisasian pemi-
kiran Hijau dan aktivisme lingkungan yang pa-
ling kuat selama empat dekade terakhir ada-
lah Revolusi Industri — inilah argumen dari
“Antroposen” hari ini, yang mengatakan bahwa
segala hal yang buruk tentang perubahan ling-
kungan kembali ke Inggris sekitar tahun 1800
dengan mesin uap dan batu bara. Itu tidak be-
nar, tetapi gagasan itu tertanam dalam cara kita
belajar tentang dunia modern dan terutama cara
kita berpikir tentang krisis lingkungan.
Nyatanya, kebangkitan kapitalisme dapat
dilihat paling jelas pada abad ke-15, 16, dan
17 dalam cara dimana lanskap dan manusia di
lanskap tersebut diubah. Ada revolusi dalam

99
pembuatan lingkungan yang belum pernah ter-
jadi sebelumnya dalam skala, kecepatan, dan
cakupan antara 1450 dan 1750.
Ekspresi paling dramatis dari ini adalah pe-
naklukan Amerika, yang jauh lebih dari sekedar
penaklukan militer dan genosida, meskipun itu
adalah bagian besar darinya. Dunia Baru men-
jadi tempat pembuktian bagi kapitalisme indus-
tri dalam segala hal. Asal-usulnya bisa dilihat di
perkebunan gula. Yang kedua adalah pertam-
bangan perak di Potosi, di Bolivia, di Spanyol,
Meksiko hari ini. Ada operasi produksi yang sa-
ngat besar, banyak mesin, uang mengalir ma-
suk, pekerja yang diatur oleh waktu dan tugas
- dan itu semua didasarkan pada penggunaan
kerja alam secara gratis atau dengan biaya yang
sangat rendah dan mengubahnya menjadi sesu-
atu yang dapat dibeli dan dijual.
Hal itu menghancurkan tanah dan zona pe-
gunungan Andes, misalnya, yang benar-benar
gundul dari pohon, menyebabkan erosi tanah
yang parah. Tapi itu juga menghancurkan ma-
nusia yang terlibat. Dalam viceroyalitas Peru
100
pada abad 16 dan 17, Castilians, Spanyol, mi-
salnya, memiliki kata khusus untuk penduduk
asli yaitu “naturales.” Para pekerja dan masyara-
kat adat ini dianggap sebagai bagian dari alam.
Jenis dialog yang sama terjadi di seputar
perbudakan Afrika. Perdagangan budak Afrika
adalah realitas yang digabungkan dengan per-
kebunan gula, yang memberi tahu kita sesuatu
yang penting - tidak hanya tanah Dunia Baru di-
ambil alih dan dikeringkan dan hutan ditebangi,
tetapi juga budak Afrika diperlakukan bukan se-
bagai manusia atau bagian dari masyarakat, te-
tapi sebagai bagian dari alam. Pekerjaan orang
Afrika disesuaikan, dan pekerjaan tanah serta
hutan disesuaikan. Atas dasar inilah hubungan
baru dengan alam mulai muncul, dan itu berka-
itan dengan ekonomi.
Setiap kali kerajaan baru keluar, Portugis
ke Dunia Baru dan Samudra Hindia, Belanda,
Spanyol, hal pertama yang mereka lakukan ada-
lah mulai mengumpulkan semua hal dari alam
yang dapat mereka temukan, termasuk ma-
nusia, dan memberi kode dan merasionalisasi
101
mereka. Akhirnya, ada proses luar biasa dalam
memobilisasi pekerjaan tak berbayar untuk me-
layani produksi dan pertukaran komoditas. Hal
pertama yang diinginkan oleh kapitalis mana
pun, atau yang diinginkan oleh kekuatan kolo-
nial mana pun, adalah meletakkan sedikit uang
dan mendapatkan kembali banyak energi yang
berguna dengan kemunculan Revolusi Industri,
baik dalam bentuk perak, gula, tembakau dan
kapas. Itu adalah proses yang sama di mana se-
tiap tindakan terobosan teknologi - mesin uap
atau sebelumnya, inovasi dalam pembuatan ka-
pal - didasarkan pada: mendapatkan cara-cara
baru di alam untuk bekerja secara gratis atau de-
ngan biaya rendah dan dalam skala massal. Hal
yang sama terjadi pada abad yang lalu dengan
minyak.
KA: Apa kritik Anda terhadap Antroposen
dan bagaimana hal tersebut malah mereduksi
analisis historis kapitalisme yang sebenarnya?

JWM: Kita perlu membedakan dua peng-


gunaan dari istilah tersebut. Salah satunya

102
adalah Antroposen sebagai percakapan buda-
ya, jenis percakapan dengan teman saat ma-
kan malam atau di watercooler. Dalam peng-
ertian ini, Anthropocene memiliki keutamaan
dalam mengajukan pertanyaan penting: bagai-
mana manusia cocok dengan jejaring kehidup-
an? Tetapi Antroposen tidak dapat menjawab
pertanyaan itu, karena istilah konsepnya sangat
dualistis, seperti dalam artikel terkenal “The
Anthropocene: Are Human Now Overwhelming
the Great Forces of Nature?” Bukan pertanyaan
yang bagus jika Anda yakin manusia adalah ba-
gian dari alam.
Argumen Antroposen dalam bentuk domi-
nannya, di sisi lain, adalah model historis yang
absurd. Dikatakan, kurang lebih, bahwa semua-
nya dimulai di Inggris pada tahun 1800 dengan
mesin uap dan batu bara. Ada berbagai macam
masalah sejarah dengan itu, yang mana ini men-
jadi fokus pembicaraan kita. Jauh sebelum me-
sin uap, ada urutan peningkatan yang sangat
besar dalam kemampuan kapitalisme untuk

103
mengubah lingkungan, dalam hal skala, kece-
patan, dan ruang lingkup.
Saya sangat prihatin bahwa Antroposen
memainkan trik borjuis lama yang mengata-
kan bahwa masalah yang diciptakan oleh kapi-
talis adalah tanggung jawab seluruh umat ma-
nusia. Itu adalah pandangan yang sangat rasis,
Eurosentris, dan patriarkal yang menghadirkan
sederet masalah yang sangat nyata sebagai tang-
gung jawab umat manusia secara keseluruhan.
Pada tataran filosofis yang dalam, kita semua
sama di mata Antroposen. Dalam pengertian
historis, itu adalah beberapa kekerasan kon-
septual terburuk yang dapat Anda terapkan. Ini
akan seperti mengatakan ras tidak menjadi ma-
salah di Amerika saat ini - siapa pun yang me-
ngatakan itu akan ditertawakan. Tetapi bagian
dari cara menghindar dari gagasan Antroposen
adalah dualisme Alam/Masyarakat.
KA: Apakah kapitalisme saat ini, dalam ana-
lisis terakhir, berada dalam krisis?

104
JWM: Semuanya tergantung bagaimana
Anda memikirkan kapitalisme. Jika Anda memi-
liki definisi standar kapitalisme yang berkomit-
men pada pertumbuhan ekonomi tanpa akhir
dan memaksimalkan profitabilitas, Anda dapat
mengatakan banyak hal tentang kemampuan
kapitalisme untuk bertahan hidup. Tetapi jika
Anda mengatakan kapitalisme bergantung pada
penggunaan pekerjaan manusia yang tidak di-
bayar dan seluruh alam, maka Anda mulai me-
miliki pandangan yang berbeda tentang batas-
an.
Pertanyaan inti dari ekonomi politik adalah:
bagaimana ledakan besar investasi dan akumu-
lasi kapitalis terjadi di dunia modern, dan apa
batasannya?
Bahkan jika perubahan iklim tidak terjadi,
batasan ini akan sangat besar. Kapitalis sela-
lu menemukan jalan keluar dari krisis, sesuatu
yang disepakati oleh kaum radikal dan konser-
vatif. Keduanya mengatakan hal yang sama ka-
rena sama-sama buta alam. Kapitalisme di atas
segalanya adalah sistem dari alam yang murah,
105
yang terdiri atas empat elemen murah: tena-
ga kerja, energi, makanan, dan bahan mentah.
Kapitalisme mengembalikan murahnya hal-hal
tersebut dengan menemukan bagian-bagian
baru dari alam yang belum dikomodifikasi atau
dibawa ke dalam cash nexus. Pada abad ke-
19, itulah Asia Selatan dan Asia Timur. Selama
30 tahun terakhir, neoliberalisme masuk ke
Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Brazil.
Lalu ada perubahan iklim. Itu memberi um-
pan balik dengan cara yang memperlambat “si-
fat murah” dari apa pun yang tersisa. Perubahan
iklim adalah vektor tunggal terbesar dari kena-
ikan biaya bisnis seperti biasanya. Ini akan me-
rongrong dasar dari seluruh hubungan kapital-
isme dengan alam dan dengan secara radikal
merongrong strategi alam murah yang menjadi
dasarnya.
KA: Anda menyebutkan bahwa gerakan
lingkungan dan sosial perlahan-lahan menya-
dari bahwa biner Alam/Masyarakat adalah sa-
lah, mungkin karena ancaman nyata pada Alam

106
dan Masyarakat dan kapitalisme, terutama de-
ngan proyek pengeboran ekstraktif skala be-
sar yang melanggar batas sifat dimana manusia
menjadi bagiannya.

JWM: Saya pikir beberapa gerakan melihat


Alam dan Masyarakat terkait erat. Karenanya,
menurut saya, langkah selanjutnya adalah ber-
gerak ke pusat pertanyaan tentang ras, gender,
dan ketidaksetaraan untuk menunjukkan bah-
wa masalah ini sangat berkaitan dengan bagai-
mana Alam dan Masyarakat dibayangkan di du-
nia modern. Jika Anda mengajukan pertanyaan
sederhana, seperti mengapa beberapa kehidup-
an manusia lebih penting daripada yang lain -
sehingga kita jadi berpikir tentang Black Lives
Matter - atau mengapa beberapa genosida lebih
penting daripada yang lain, Anda mulai melihat
bahwa ada anggapan yang sangat kuat tentang
Alam dan Masyarakat yang masuk ke sana.
Saya pikir gerakan di sekitar pasir tar atau
pipa Keystone XL menghadirkan jenis pengo-
rganisasian gerakan sosial yang sangat cocok

107
dengan argumen buku ini. Gerakan untuk ke-
adilan tidak dapat dimoderasi lagi melalui dis-
tribusi hadiah baru, sebagian karena kapitalis-
me tidak memiliki surplus seperti dulu. Anda
melihat percakapan ini terutama tentang ener-
gi, fracking, minyak, dan proyek ekstraktif di
Amerika Latin. Dan tentu saja, di Amerika Latin,
banyak kelompok masyarakat adat tidak pernah
percaya pada dualisme ini sejak awal. Mereka
selalu unggul.
Tapi masih terlalu banyak kaum Kiri, teruta-
ma di Amerika Utara, yang memandang Alam
sebagai di luar sana, sebagai variabel, atau kon-
teks, yang akan menjadi jalan buntu politik
yang lengkap. Kita perlu membawa Alam ke da-
lam kapitalisme, dan memahami kapitalisme di
Alam.
***
Jason W. Moore adalah asisten profesor so-
siologi di Binghamton University dan koordi-
nator Jaringan Riset Ekologi Dunia. Dia sering
menulis tentang sejarah kapitalisme di Eropa,

108
Amerika Latin, dan Amerika Serikat, dari abad
keenam belas yang panjang hingga era neolibe-
ral. Saat ini, dia menyelesaikan Ecology and the
rise of capitalism, sebuah sejarah lingkungan
dari kebangkitan kapitalisme, untuk University
of California Press.

Kamil Ahsan adalah seorang penulis lepas


dan kandidat PhD dalam biologi perkembang-
an di University of Chicago.

* Wawancara ini sebelumnya terbit di majalah


Viewpoint, 28/9/2015 (https://viewpointmag.
com/2015/09/28/capitalism-in-the-web-of-
life-an-interview-with-jason-moore/), dengan
judul asli “Capitalism in the Web of Life: an
Interview with Jason W. Moore”.. Diterbitkan
ulang di sini atas ijin dari majalah Viewpoint
untuk tujuan pendidikan.

109
Bab III

Pandangan Ekososialis Karl Marx


Wawancara dengan Kohei Saito

PEMENANG Penghargaan Deutscher 2018


ini membahas pemahaman radikal Karl Marx
tentang gangguan mematikan kapitalisme terha-
dap metabolisme alam semesta.
Kohei Saito adalah profesor ekonomi politik
di Universitas Osaka dan penulis Ekososialisme
Karl Marx, pemenang Penghargaan Memorial
Deutscher 2018. Dia juga editor Marx-Engels-
Gesamtausgabe (MEGA), yang mencakup ba-
nyak buku catatan Marx tentang ilmu alam yang
sebelumnya tidak diterbitkan.

110
Climate&Capitalism (C&C): Anda menu-
lis dalam pengantar buku Anda, Karl Marx’s
Ecosocialism, bahwa selama bertahun-tahun,
para environmentalis (pegiat lingkungan) - dan
bahkan banyak kaum Marxis - percaya bahwa
Marx memegang sudut pandang Promethean
dan bahwa dia tidak kritis terhadap teknologi
yang dikembangkan di bawah kapitalisme. Dari
mana ide ini berasal dan mengapa itu bertahan
hingga saat ini?

Kohei Saito (KS): Salah satu alasan yang jelas


adalah bahwa Marx tidak menyelesaikan penu-
lisan bukunya Kapital. Marx dengan penuh se-
mangat mempelajari ilmu alam di tahun-tahun
terakhirnya, tetapi dia tidak dapat sepenuhnya
mengintegrasikan temuan barunya ke dalam
Kapital. Meskipun ia berencana untuk menge-
laborasi masalah ekologi di Volume 3, teruta-
ma dalam menulis ulang teorinya tentang sewa
tanah, ia tidak pernah melakukannya sampai
jauh, bahkan Volume 2 dari Kapital tidak di-
terbitkan selama hidupnya. Sebaliknya, Marx

111
hanya menyisakan sejumlah buku catatan ten-
tang ilmu alam. Sayangnya, tidak ada yang be-
nar-benar memperhatikannya — dan juga ti-
dak banyak orang yang membacanya hari ini
— dan bahkan tidak diterbitkan untuk wak-
tu yang lama, meskipun sekarang Marx-Engels-
Gesamtausgabe (MEGA) menerbitkannya dalam
bagian keempatnya.
C&C: Mengapa pengabaian ini terjadi? Saya
pikir apa yang disebut Marxisme tradisional
memperlakukan proyek materialis Marx seba-
gai sistem dialektis tertutup yang menjelaskan
segala sesuatu di alam semesta, termasuk seja-
rah manusia dan alam. Dalam pengertian ini,
kaum Marxis tidak cukup memperhatikan ma-
nuskrip ekonominya dan bahkan lebih sedikit
pada buku catatannya, yang mendokumentasi-
kan karakter dari Kapital karya Marx secara ti-
dak lengkap.

KS: Tentu saja ada kaum Marxis yang me-


nolak pembacaan diktatorial ini. Mereka seka-
rang dikenal di bawah panji “Marxisme Barat.”

112
Namun, ketika mereka menolak Marxisme tradi-
sional, mereka dengan kasar mencela Engels se-
bagai pendiri Marxisme tradisional yang menye-
satkan itu, yang secara keliru memperluas kritik
dialektis Marx terhadap masyarakat kapitalis ke
sistem ilmiah alam semesta. Akibatnya, ketika
kaum Marxis Barat mengusir Engels dan dialek-
tikanya tentang alam, mereka juga mengecua-
likan bidang alam dan ilmu pengetahuan alam
dari analisis mereka. Hasilnya, keterlibatan seri-
us Marx dengan ilmu alam diabaikan baik oleh
kaum Marxis tradisional maupun Marxis Barat.
Tapi saat ini, tidak ada yang benar-benar
percaya pada kekuatan teori Marx yang bersi-
fat diktatorial ini, dan MEGA membuat keter-
libatan Marx dengan ilmu alam terlihat jelas.
Oleh karena itu, kita perlu menemukan pende-
katan alternatif terhadap teks-teks Marx, dan ini
adalah kesempatan untuk memanfaatkan keter-
bukaan proyek Marx secara produktif dengan
materi-materi baru. Dengan kata lain, dengan
melihat manuskrip ekonominya serta buku ca-
tatannya tentang ilmu alam, kita dapat belajar

113
dari Marx bagaimana mengembangkan kritik
ekologis terhadap kapitalisme di abad ke-21. Ini
adalah tugas praktis dan teoretis yang mendesak
bagi kaum kiri saat ini, karena manusia sekarang
menghadapi krisis ekologi global yang serius di
bawah kapitalisme neoliberal.
C&C: Buku Anda didedikasikan untuk me-
nyelamatkan kritik ekologis Marx terhadap ka-
pitalisme, melanjutkan pekerjaan yang dila-
kukan oleh para ahli ekososialis seperti Paul
Burkett dan John Bellamy Foster. Menurut Anda
mengapa analisis ekologi Marx begitu penting
untuk kaum kiri dan kaum environmentalis atau
pemerhati dan pegiat lingkungan hari ini?

Ya, pendekatan saya adalah kelanjutan yang


jelas dari teori “keretakan metabolik” yang di-
promosikan oleh Foster dan Burkett, dan salah
satu tujuan buku saya adalah untuk memperta-
hankan konsep keretakan metabolik terhadap
kritik yang baru-baru ini diungkapkan oleh Jason
W. Moore. Sangat jelas saat ini bahwa produk-
si dan konsumsi massal di bawah kapitalisme

114
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
lanskap global dan menyebabkan krisis ekologi.
Teori Marxis dengan demikian juga perlu me-
nanggapi situasi dengan tuntutan praktis yang
jelas untuk membayangkan masyarakat yang
berkelanjutan di luar kapitalisme. Kapitalisme
dan kondisi material untuk produksi berkelan-
jutan tidaklah berkesesuaian/berjalan selaras.
Inilah wawasan dasar ekososialisme.
Menurut saya, This Changes Everything kar-
ya Naomi Klein telah memberikan analisis yang
sangat meyakinkan dan konkret tentang bagai-
mana regenerasi gagasan Marxis mengenai ke-
retakan metabolik dapat membuka imajinasi
baru untuk proyek ekososialis di abad ke-21.
Dia menunjukkan bahwa gerakan radikal seper-
ti itu sudah muncul dan tujuan mereka sebenar-
nya layak untuk diperjuangkan. Menurutnya,
pengurangan emisi karbon dalam jumlah besar
setiap tahun perlu dilakukan mulai saat ini di
negara-negara industri, jika kenaikan suhu rata-
rata global pada tahun 2100 harus dijaga da-
lam 2 derajat Celcius. Tetapi para elit kapitalis

115
dan perusahaan global tidak mungkin meneri-
ma permintaan ini karena mereka tahu bahwa
proyek tersebut tidak sesuai/selaras dengan kon-
disi akumulasi kapital yang diperlukan.
Inilah sebabnya mengapa Perjanjian Paris
(Paris agreement ) tidak mencukupi untuk men-
capai pengurangan emisi karbon yang diperlu-
kan. Donald Trump (presiden AS kala itu, ed.),
bahkan tidak dapat menerima tingkat pengu-
rangan karbon itu. Kita terlalu sering menyak-
sikan ketidakmampuan total elit global dalam
mengambil tindakan serius terhadap perubah-
an iklim dalam beberapa dekade terakhir. Kita
harus menyadari bahwa masalahnya bukan ha-
nya neoliberalisme tetapi kapitalisme itu sen-
diri. Inilah sebabnya mengapa Klein sekarang
juga dengan jelas mendukung ekososialisme,
“bentuk baru ekososialisme demokratis, de-
ngan kerendahan hati untuk belajar dari ajaran
indigenous tentang tugas-tugas untuk generasi
mendatang dan keterkaitan semua kehidupan,
tampaknya merupakan bidikan terbaik umat
manusia untuk bertahan hidup secara kolektif.”

116
Antagonisme antara merah dan hijau perlu di-
hentikan.
C&C: Bagian pertama buku Anda berfokus
pada gagasan Marx tentang metabolisme antara
manusia dan alam. Bisakah Anda ceritakan ten-
tang bagaimana para ekososialis menerapkan
teori keretakan metabolik pada berbagai krisis
ekologi yang sedang kita saksikan? Bagaimana
teori Marx berbeda dari aliran teori ekologi la-
innya?

KS: Marx dengan jelas dan kritis menga-


kui kekuatan destruktif kapital dan berpenda-
pat bahwa gangguan dalam metabolisme alam
semesta secara tak terelakkan merusak kondi-
si material untuk pembangunan manusia yang
bebas dan berkelanjutan. Karakter perampok-
an yang melekat pada perkembangan kekuat-
an produksi kapitalis tidak membawa kemajuan
yang mengarah pada masyarakat masa depan.
Marx berusaha menganalisis bagaimana lo-
gika kapital menyimpang dari siklus alam yang
abadi dan pada akhirnya menyebabkan berbagai
117
ketidakharmonisan dalam interaksi metabolik
antara manusia dan alam. Yang cukup terkenal,
dia menganalisis poin ini dengan mengacu pada
kritik Justus von Liebig terhadap perampokan
pertanian modern - Raubbau - yang mengambil
sebanyak mungkin nutrisi dari tanah tanpa me-
ngembalikannya. Perampokan pertanian dido-
rong oleh maksimalisasi keuntungan, yang tidak
sesuai dengan kondisi material tanah untuk pro-
duksi berkelanjutan. Dengan demikian, mun-
cul jurang pemisah antara logika pelipatganda-
an (valorization) kapital dan logika metabolisme
alam, yang menciptakan keretakan metabolik
dalam interaksi manusia dengan lingkungan.
Meskipun Marx di Kapital terutama memba-
has masalah keretakan metabolisme dalam ka-
itannya dengan tingkat degradasi kesuburan ta-
nah, ini sama sekali tidak perlu membatasi ruang
lingkupnya. Bahkan, Marx sendiri juga menco-
ba mengaplikasikan konsep teoritis ini pada ber-
bagai isu di tahun-tahun terakhir hidupnya, se-
perti deforestasi dan stock farming. Oleh karena
itu, Marx akan senang melihat bahwa saat ini

118
terdapat berbagai upaya untuk menerapkan ke-
rangka teoritis ini sebagai alat untuk mengana-
lisis krisis lingkungan yang sedang berlangsung.
Untuk menyebutkan beberapa nama, Longo
tentang ekologi laut, Ryan Gunderson tentang
agribisnis ternak, serta Del Weston tentang per-
ubahan iklim adalah contoh yang sangat baik
untuk menunjukkan aplikasi ekososialis dari te-
ori keretakan metabolik ala Marx.
Satu perbedaan nyata antara pendekatan
ekososialis dan pendekatan teori ekologi la-
innya adalah pemahaman bahwa selama sis-
tem kapitalis bertahan, degradasi kondisi mate-
rial produksi cenderung tak terelakkan. Dengan
kata lain, pasar tidak dapat berfungsi sebagai
mediator yang baik untuk produksi yang berke-
lanjutan. Ini berlawanan dengan keyakinan libe-
ral yang gigih bahwa kapitalisme hijau, bagai-
manapun juga, adalah hal yang mungkin untuk
diwujudkan dalam waktu dekat. Sementara
waktu yang tersisa untuk kita sangatlah terbatas.
Dalam kondisi ini, harapan kaum libe-
ral bahwa perdagangan karbon atau transaksi
119
pasar lainnya dapat menyelesaikan perubah-
an iklim hanya berfungsi sebagai alat ideolo-
gis untuk mengalihkan perhatian kita dari kon-
frontasi akan bahaya dan ancaman yang nyata,
seolah-olah pasar dapat secara otomatis menye-
lesaikan masalah tanpa keterlibatan kita secara
sadar untuk secara radikal mengubah mode pro-
duksi yang ada. Kaum liberal sangat berbahaya
dalam pengertian ini.
C&C: Bagian kedua dari buku Anda ber-
fokus pada pandangan Marx tentang kemung-
kinan mencapai “pertanian rasional” di bawah
kapitalisme dan bagaimana pandangan itu ber-
ubah seiring waktu saat dia melanjutkan pene-
litiannya. Apakah Marx menyimpulkan bahwa
kerusakan ekologis yang disebabkan oleh kapi-
talisme tidak dapat diselesaikan dalam batasan
kapitalisme?

KS: Marx muda masih cukup optimis ten-


tang perkembangan kapitalis dari teknolo-
gi dan ilmu alam. Karena itu, ia berpikir bah-
wa itu akan mempersiapkan kondisi pertanian

120
berkelanjutan dalam sosialisme. Namun, ketika
dia menulis Kapital, dia mulai menekankan bah-
wa tujuan utama produksi kapitalis bukanlah
produksi yang berkelanjutan, tetapi untuk me-
ningkatkan nilai kapital. Marx menyadari bah-
wa, pada akhirnya, bagi kapitalis, bahkan jika
sebagian besar planet menjadi tidak layak untuk
kehidupan pun tidak masalah, selama akumula-
si modal masih memungkinkan.
Sejalan dengan itu, Marx menyadari bahwa
perkembangan teknologi diatur sebagai “keku-
atan produktif kapital,” yang mengarah pada re-
alisasi penuh atas aspek negatif dari teknologi,
sehingga tidak dapat berfungsi sebagai landasan
material bagi masyarakat sosialis.
Masalahnya terlihat pada kenyataan bah-
wa kapital dapat memperoleh keuntungan bah-
kan dari bencana lingkungan. Kecenderungan
ini terlihat jelas dalam apa yang telah dilakukan
oleh “kapitalisme bencana” neoliberal dalam
beberapa dekade terakhir, seperti yang didoku-
mentasikan secara rinci oleh Naomi Klein. Jika
ini masalahnya, maka salah untuk berasumsi
121
bahwa akhir dari sifat murah akan menimbul-
kan kesulitan besar pada akumulasi kapital, se-
perti yang ditunjukkan oleh James O’Connor
dalam teorinya tentang “kontradiksi kedua ka-
pital.”
Akibatnya, kapital sebenarnya dapat terus
memperoleh keuntungan lebih banyak dari kri-
sis ekologi saat ini dengan menciptakan pelu-
ang bisnis baru, seperti geoengineering, GMO
(genetically modified organism), perdagang-
an karbon, dan asuransi untuk bencana alam.
Dengan demikian, batasan alam tidak menye-
babkan runtuhnya sistem kapitalis. Ia dapat te-
rus melampaui batas tersebut, tetapi tingkat per-
adaban saat ini tidak dapat melampaui batas
tertentu. Inilah sebabnya mengapa keterlibatan
serius dengan pemanasan global secara bersa-
maan membutuhkan perjuangan yang sadar da-
lam melawan kapitalisme.
C&C: Anda tunjukkan bahwa, menjelang
akhir hidupnya, Marx menjadi sadar akan ba-
haya perubahan iklim sebagai akibat dari

122
pengelolaan alam yang tidak rasional oleh ma-
syarakat - sebuah wawasan yang luar biasa
mengingat dia menulis satu setengah abad yang
lalu. Bagaimana Marx memahami perubahan
iklim?

KS: Foster berpendapat bahwa Marx mung-


kin menghadiri ceramah John Tyndall tentang
efek rumah kaca, jadi dia tahu tentang penye-
bab pemanasan global saat ini. Argumen saya
agak berbeda, karena tidak ada bukti langsung
yang menunjukkan keakraban Marx dengan to-
pik ini. Sebaliknya, saya memeriksa buku catat-
an Carl Fraas berjudul Climate and Plant World
over Time, yang dibaca Marx di awal tahun
1868. Buku itu membahas perubahan iklim, se-
bagai akibat bukan dari emisi gas rumah kaca te-
tapi dari penggundulan hutan yang berlebihan,
yang mengubah sirkulasi udara lokal dan curah
hujan. Analisis Fraas memperluas minat Marx
pada karakter perampokan produksi kapitalis di
luar degradasi tanah, dan dalam beberapa hal,

123
dia mengevaluasi teori Fraas bahkan lebih dari
teori Liebig.
Bahkan jika Marx tidak mengetahui penye-
bab pasti dari pemanasan global hari ini, itu bu-
kanlah defisit besar karena Marx tidak meng-
klaim telah menjelaskan semuanya. Hingga
saat-saat terakhir dalam hidupnya, dia sangat
ingin mengintegrasikan temuan-temuan baru
dalam ilmu alam ke dalam analisisnya tentang
keretakan metabolik. Dia tidak dapat sepenuh-
nya mencapai tujuan ini, dan Kapital tetap be-
lum selesai. Tetapi kritiknya terhadap ekonomi
politik cukup elastis untuk memasukkan kema-
juan ilmiah baru-baru ini.
Karena kritiknya terhadap keretakan meta-
bolik memberikan dasar metodologis bagi anali-
sis kritis dari krisis ekologi global saat ini, maka
menjadi tugas kita sekarang untuk memperku-
at dan memperbarui ekologi Marx di abad ke-
21 dengan mengembangkan analisis sintetis
ekonomi politik dan ilmu alam sebagai sebuah
kritik yang radikal terhadap kapitalisme. Inilah
yang dilakukan oleh orang-orang seperti Brett
124
Clark dan Richard York serta orang-orang lain
yang telah disebutkan sekarang.
C&C: Menggunakan contoh habisnya tanah
Irlandia akibat kolonialisme Inggris, Marx me-
nunjukkan bagaimana ekspansi kapital di selu-
ruh dunia terkait langsung dengan krisis ekologi
di negara-negara kolonial. Pelajaran apa yang
dapat kita ambil dari contoh ini, dan apa yang
diceritakannya tentang mengatasi krisis ekologi
dunia saat ini, yang jauh lebih besar skalanya?

KS: Dalam bagian kunci dari konsep kere-


takan metabolik, Marx menulis bahwa cara pro-
duksi kapitalis “menghasilkan kondisi yang me-
micu keretakan yang tidak dapat diperbaiki
dalam proses yang saling bergantung antara me-
tabolisme sosial dan metabolisme alami yang
ditentukan oleh hukum alam di tanah. Hasilnya
adalah pemborosan vitalitas tanah dan perda-
gangan yang membawa kehancuran ini jauh
melampaui batas-batas satu negara (Liebig).”
Dengan ekspansi akumulasi kapitalis, keretakan
metabolisme pun menjadi masalah global.

125
Teori Marx terbukti benar, karena inilah
yang kita saksikan hari ini, terutama dengan
adanya perubahan iklim. Seperti yang saya kata-
kan, perubahan iklim tidak akan mengakhiri re-
zim kapital. Bagaimanapun, kapitalisme jauh le-
bih elastis karena sistem sosial ini kemungkinan
besar akan bertahan dan terus mengakumulasi
modal bahkan jika krisis ekologi semakin dalam
menghancurkan seluruh planet dan menghasil-
kan proletariat lingkungan massal di seluruh du-
nia.
Orang kaya mungkin akan bertahan hidup,
sementara orang miskin jauh lebih rentan ter-
hadap perubahan iklim, meskipun mereka ti-
dak terlalu bertanggung jawab atas krisis dari-
pada orang kaya. Kaum miskin tidak memiliki
sarana teknologi dan keuangan yang efektif un-
tuk melindungi diri mereka dari konsekuen-
si bencana perubahan iklim yang akan datang.
Memperjuangkan keadilan iklim jelas menca-
kup komponen perjuangan kelas, seperti yang
terjadi dalam kolonialisme Inggris di Irlandia
dan India.

126
Sementara perubahan iklim dapat mengu-
bah segalanya tentang hidup kita, mengubah
perubahan iklim akan mengubah kapitalisme.
Beginilah cara ekososialisme memahami krisis
ekologis dan keretakan metabolik sebagai kon-
tradiksi utama kapitalisme. Marx adalah salah
satu ekososialis pertama karena dia menyadari
hal ini ketika dia menemukan “kecenderungan
sosialis” dalam peringatan Carl Fraas terhadap
deforestasi dan perubahan iklim yang berlebih-
an. Jadi, untuk mengatasi keterasingan dari alam
adalah tugas utama bagi kaum merah dan kaum
hijau, yang hanya dapat diwujudkan di luar ka-
pitalisme. Bukan di dalam “kapitalisme hijau.”
***
* Wawancara ini sebelumnya terbit di
Climate&Capitalism, 16/6/2019 (https://cli-
mateandcapitalism.com/2019/06/16/ecosoci-
alist-views-of-karl-marx-kohei-saito/), dengan
judul asli: “The ecosocialist views of Karl Marx
– An interview with Kohei Saito”. Diterbitkan
ulang di sini atas ijin dari Ian Angus, editor
C&C untuk tujuan pendidikan.
127
Bab IV

Kita Butuh Leninisme Ekologi


untuk Menghentikan Krisis Iklim
Wawancara Dominic Mealy dengan
Andreas Malm

TERLEPAS dari adanya penghentian berke-


giatan secara total karena virus corona, negara
masih belum menunjukkan itikad baik dalam
menetapkan tolak ukur yang diperlukan untuk
mengatasi situasi darurat iklim. Bagi Andreas
Malm, kita harus berhenti melihat bahwa per-
ubahan iklim merupakan masalah di masa de-
pan – dan menggunakan kekuatan negara saat

128
ini untuk memaksakan restrukturisasi ekonomi
kita secara drastis.
Pada hari terakhir di tahun 2019 - tahun
yang ditandai dengan rekor tingginya suhu uda-
ra, kebakaran hutan, dan badai tropis –Tiongkok
melaporkan kepada Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) bahwa virus baru telah menye-
bar di kota Wuhan. Pada awalnya, para peng-
amat Barat menganggap laporan tersebut ha-
nyalah sebatas insiden tidak menyenangkan di
Tiongkok. Namun, kemudian, COVID-19 pun
berkembang dengan cepat menjadi pandemi
dunia, menyebabkan kematian pada ratusan
ribu orang, meningkatkan ketidaksetaraan kelas
dan ras, dan mengantarkan pada resesi terbesar
di dunia sejak peristiwa Depresi Hebat.
Dalam waktu beberapa minggu saja, kebi-
jakan ekonomi tentang batas-batas intervensi
negara yang selama ini diterima pun berubah
dengan drastis, begitu pula dengan kehidupan
sehari-hari miliaran pekerja di seluruh dunia.
Kegiatan di pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah
dihentikan, pintu-pintu atau gerbang-gerbang
129
perbatasan ditutup, dan seluruh penduduk di-
minta untuk diam di rumah-rumah mereka di-
sertai dengan munculnya ancaman denda yang
berat dan bahkan hukuman penjara jika mereka
tidak mematuhinya. Selain itu, para pemimpin
teknokratis bodoh juga telah menjadikan diri
mereka sebagai komandan masa perang dengan
musuh yang tidak terlihat.
Wacana yang dominan di media menge-
nai pandemi pun telah menjadikan pandemi
yang sangat mengejutkan menjadi hal yang bi-
asa saja, di mana asalnya ada pada keterpisah-
an proses-proses alami dari pengaruh manusia
atau dalam kegagalan negara atau budaya ter-
tentu – atau secara umum berarti Tiongkok.
Seruan telah muncul untuk menghukum pela-
ku yang masih belum diketahui, teori konspirasi
pun bermunculan dengan masif, dan kaum radi-
kal kiri internasional - hampir di semua tempat
telah kehilangan kekuatan yang sebenarnya –
berfungsi sekadar sebagai pemandu sorak pada
penguncian sosial (lockdown) yang kejam dan

130
berhenti bermimpi tentang dunia yang lebih
baik di masa depan.
Pada saat yang sama, narasi mengenai krisis
iklim yang sedang berlangsung saat ini sebagi-
an besar telah dihapus dari narasi/wacana arus
utama. Media sosial dibanjiri gambar langit biru
di atas kota-kota yang biasanya tertutup kabut
asap, atau gambar lumba-lumba yang melom-
pati saluran air, serta hewan liar yang mencari
makan di kota-kota terpencil. Banyak pengamat
berperspektif lingkungan pun mengungkapkan
harapan mengenai pemulihan hijau dari krisis
- tetapi sebagian besar dari mereka tidak meng-
ungkapkan kendala struktural yang mengha-
langinya.
Dalam upaya untuk memahami pandemi,
asal-usulnya serta konsekuensinya bagi gerakan
keadilan iklim, Dominic Mealy dari Jacobin du-
duk bersama Andreas Malm, seorang cendeki-
awan terkemuka dunia di bidang ekologi ma-
nusia. Andreas Malm adalah seorang penulis
setengah lusin buku dan esai yang tak terhitung
banyaknya tentang ekonomi politik perubahan
131
iklim, anti-fasisme, dan perjuangan di Timur
Tengah. Karya-karya Malm di antaranya The
Progress of This Storm dan pemenang penghar-
gaan Deutscher Prize-winner Fossil Capital. Dia
juga sedang menulis buku tentang COVID-19
berjudul Corona, Climate, Chronic Emergency:
War Communism in the Twenty-First Century,
yang akan diterbitkan oleh Verso Books.
Dominic Mealy (DM): Bisakah Anda mulai
dengan menjelaskan hubungan antara pandemi
COVID-19 saat ini dan perubahan iklim global?

Andreas Malm (AM): Sejak awal pandemi,


para pengamat mulai membuat perbandingan
antara krisis COVID-19 dan krisis iklim. Namun,
menurut saya, perbandingan langsung seper-
ti itu tidaklah tepat, dalam arti bahwa pandemi
saat ini merupakan peristiwa tertentu, sementa-
ra pemanasan global adalah tren yang fluktuatif
(secular trend). Namun demikian, kita akan ke-
hilangan esensi wabah COVID-19 jika kita ga-
gal untuk mengenalinya, yaitu satu manifesta-
si ekstrim - tetapi sudah lama diharapkan - dari

132
tren fluktuatif lainnya: peningkatan tingkat pe-
nyakit menular yang melompat dari hewan liar
ke populasi manusia. Ini adalah kecenderung-
an yang telah meningkat selama beberapa deka-
de terakhir dan diperkirakan akan meningkat di
masa depan.
Kekuatan pendorong terpenting di balik pro-
duksi pandemi sangatlah jelas di dalam literatur
ilmiah dan itu adalah deforestasi (penghancur-
an hutan) - yang juga merupakan penyumbang
perubahan iklim global terbesar kedua. Tempat
di mana Anda menemukan keanekaragaman
hayati terbesar di Bumi adalah di hutan tropis
dan keanekaragaman hayati ini termasuk pa-
togen. Patogen ini, yang beredar di antara he-
wan di habitat liar (bukan manusia), umumnya
tidak menimbulkan masalah bagi umat manu-
sia selama manusia menjauh darinya. Namun,
masalah muncul ketika ekonomi manusia me-
lakukan serangan yang semakin mendalam ke
habitat-habitat ini. Pembabatan hutan untuk pe-
nebangan, pertanian, pertambangan, dan pem-
bangunan jalan menciptakan koneksi baru di

133
mana manusia bersentuhan dengan satwa liar.
Melalui hubungan baru ini, patogen hewan da-
pat bermutasi dan melompat ke populasi manu-
sia melalui proses yang disebut limpahan zoo-
nosis.
Pemanasan global sendiri juga memperce-
pat tren ini. Seiring dengan meningkatnya suhu
secara global, beberapa jenis hewan tertentu
dipaksa untuk bermigrasi demi mencari iklim
yang cocok dengan tempat mereka beradap-
tasi. Kekacauan umum terjadi di mana populasi
hewan - termasuk, secara signifikan, kelelawar
- semakin sering bersentuhan dengan populasi
manusia, sehingga meningkatkan laju penular-
an. Meskipun ada lebih dari 1.200 spesies kele-
lawar yang berbeda, namun mereka semua me-
miliki sifat yang sama yang membuat mereka
unik di antara mamalia lainnya, yaitu kemampu-
an mereka untuk terbang secara berkelanjutan.
Karakteristik bersama ini tidak hanya membu-
at mereka sangat mudah berpindah dan kare-
na itu menjadi rentan terhadap migrasi akibat
perubahan iklim, tetapi juga membuat mereka

134
membutuhkan energi dalam jumlah yang luar
biasa, ketika mendorong laju metabolisme ke
titik di mana suhu tubuh mencapai 40°C sela-
ma berjam-jam, sebuah tingkat yang oleh keba-
nyakan mamalia lainnya akan dialami sebagai
demam. Proses ini telah didalilkan sebagai alas-
an utama di balik kelelawar sebagai pembawa
utama patogen seperti virus Corona. Virus yang
hinggap pada hewan ini harus beradaptasi de-
ngan suhu tubuh mereka yang seperti demam.
Meskipun patogen ini tidak merusak sistem ke-
kebalan tubuh kelelawar tersebut, namun pa-
togen ini dapat mengalahkan sistem kekebalan
hewan lain, jika patogen menyeberang ke tubuh
hewan lainnya. Di seluruh dunia, Tiongkok ti-
dak terkecuali, kelelawar dipindahkan melalui
deforestasi dan didorong ke lintang yang lebih
tinggi oleh kenaikan suhu. Populasi kelelawar
semakin terdorong ke Tiongkok utara dan te-
ngah sehingga menjadi lebih dekat dengan ma-
nusia yang hidup dalam populasi dengan ting-
kat kepadatan yang tinggi. Hal ini kemudian

135
semakin menciptakan interaksi baru di mana
limpahan zoonosis dapat terjadi.
Ini hanyalah sebagian dari hubungan kau-
salitas antara krisis COVID-19 dan krisis iklim.
Sementara perbedaan harus dibuat, dua tren pe-
manasan global dan penyakit global terkait de-
ngan berbagai faktor penyebab yang berbeda
dan, dengan demikian, merupakan dua dimen-
si dari satu bencana ekologi yang lebih luas dan
belum dapat diungkap secara keseluruhan.
DM: Namun, respons terhadap kedua krisis
ini sangatlah berbeda. Sementara perubahan ik-
lim sebagian besar ditanggapi dengan kelam-
banan dan tindakan setengah-setengah yang
tidak efektif, wabah COVID-19 telah memba-
wa tingkat intervensi ekonomi yang tinggi, di
mana skala tersebut tidak terlihat sejak Perang
Dunia II. Bagaimana Anda menjelaskan perbe-
daan ini?

136
AM: Suatu ketika di bulan Maret 2020, ada
masa ketika banyak dari kita dalam gerakan ke-
adilan iklim merasa sangat terkejut menemukan
bahwa pemerintah di Eropa dan di tempat lain
pada dasarnya siap untuk menutup seluruh eko-
nomi mereka dalam upaya untuk mengatasi pan-
demi. Ini mengejutkan, mengingat negara-nega-
ra yang sama tidak pernah mempertimbangkan
untuk melakukan intervensi apa pun dalam eko-
nomi demi menangani krisis iklim. Alasan uta-
ma atas hal ini terletak pada garis waktu yang
berbeda dari korban yang dimanifestasikan oleh
dua krisis ini.
Saat ini, secara keseluruhan, pandemi te-
lah terjadi serupa dengan pemanasan global da-
lam arti sederhana bahwa mereka yang paling
menderita dan yang paling mungkin mening-
gal adalah kelas pekerja - terutama orang-orang
dari kelas pekerja kulit berwarna dan mereka
yang berada di titik-titik yang berbeda di Dunia
Selatan. Sementara itu, orang-orang kaya dapat
dengan mudah mengisolasi diri dengan melari-
kan diri ke rumah-rumah cadangan mereka di

137
wilayah pedesaan serta (tentu saja) dapat meng-
akses perawatan kesehatan swasta.
Namun, ada satu perbedaan utama: terda-
pat sebuah anomali bahwa pada tahap awal,
COVID-19 juga menyerang mereka yang cen-
derung tidak memiliki kerentanan terhadap kri-
sis iklim pada tahap ini: orang kaya, para kapi-
talis, selebriti, dan pemimpin politik. Berbeda
dengan dampak pemanasan global, penularan
virus Corona mengikuti jalur penerbangan dan,
sederhananya, orang kaya terbang lebih banyak
daripada orang-orang miskin. Sementara pan-
demi disebarkan oleh saluran lain saat tiba di
berbagai negara, penerbangan menyediakan ti-
tik masuk utama untuk virus, sehingga menim-
bulkan paradoks bahwa orang kaya termasuk
yang pertama tertular virus. Di Brazil, misalnya,
bagian masyarakat yang makmurlah yang per-
tama-tama terpapar virus, tetapi sekarang malah
kelas pekerja biasa lah yang sekarat secara ma-
sif. Hal ini tidak terjadi pada bencana perubah-
an iklim dan ini adalah salah satu faktor kunci

138
yang menjelaskan reaksi yang sangat berbeda
dari pihak pemerintah.
Biasanya, dari persepsi Dunia Utara, ben-
cana terjadi di Haiti, di Somalia, atau di tem-
pat-tempat yang sangat miskin di mana
orang-orang tampaknya selalu hidup dalam ke-
sengsaraan yang menyedihkan. Mereka menga-
lami gempa bumi, Ebola dan HIV, dan ini telah
menjadi bagian dari kebisingan latar belakang
kehidupan modern. Sementara itu, pandemi te-
lah melanda negara-negara makmur dengan
sangat tiba-tiba pada tahap awal, dan karena-
nya merupakan ancaman bagi keutuhan tubuh
orang-orang yang diharapkan dapat mendo-
rong produksi dan konsumsi sebagai inti ka-
pitalisme global, sehingga negara pun turun
tangan. Melakukannya, juga, tentu saja, meru-
pakan masalah kelangsungan politik bagi peme-
rintahan-pemerintahan ini. Ini menjelaskan, mi-
salnya, kebijakan putar balik yang tajam oleh
pemerintahan Tory di Inggris. Setelah awal-
nya mendukung strategi “kekebalan kelompok/
herd immunity,” kini pemerintahan Tory beralih

139
mendukung kebijakan penguncian total dan tin-
dakan intervensionis lainnya setelah memper-
timbangkan harga yang harus mereka bayar di
kotak suara di kemudian hari jika mereka tan-
pa perasaan membiarkan lebih dari ratusan ribu
orang mati.
DM: Tampaknya, kaum Kiri terperangkap
oleh skala intervensi negara yang dilakukan un-
tuk mengatasi pandemi. Kebijakan yang hanya
beberapa bulan lalu diejek sebagai hal yang
mustahil oleh sebagian besar komentator arus
utama sekarang diterima begitu saja. Apakah
ini lonceng kematian kapitalisme neoliberal?
Mungkinkah ini benar-benar menjadi kesem-
patan bagi kaum Kiri untuk memobilisasi du-
kungan bagi gerakan dan idenya sendiri?

AM: Menurut saya, secara umum, pemerin-


tah menjalankan kebijakan ini dengan harapan
krisis akan segera berakhir dan kita dapat kemba-
li ke urusan-urusan kita seperti biasanya. Sejauh
ini, saya tidak melihat inisiatif apa pun untuk
mengatasi COVID-19, yang lebih dari sekadar

140
menjaga agar sistem ini tetap hidup. Namun de-
mikian, ini adalah peluang. Dalam arti, pande-
mi ini telah menghentikan sementara banyak ak-
tivitas yang paling merusak lingkungan, seperti
penerbangan massal, emisi karbon juga telah
menurun, bahan bakar fosil masih tersisa di da-
lam tanah, dan sebagainya. Ini adalah momen
di mana kita dapat mengatakan kepada peme-
rintah: “Jika Anda dapat melakukan interven-
si untuk melindungi kami dari virus, Anda juga
dapat melakukan intervensi untuk melindungi
kami dari krisis iklim, yang implikasinya jauh
lebih buruk.” Oleh karena itu, momen ini mem-
beri kita kesempatan untuk menentang kemba-
linya kita pada kebiasaan-kebiasaan lama, demi
mendorong transformasi ekonomi global dan
peluncuran sesuatu seperti Kesepakatan Hijau.
Namun demikian, kita harus jujur tentang si-
tuasi yang kita hadapi. COVID-19 telah menye-
babkan gerakan keadilan iklim secara tiba-tiba
musnah dalam segala hal yang telah dibangun
pada akhir tahun 2019. Sejak awal tahun 2020,
COVID-19 telah benar-benar melumpuhkan

141
semua perkembangan yang paling menjan-
jikan dalam gerakan lingkungan - Jumat un-
tuk Masa Depan, Pemberontakan Kepunahan,
Ende Gelände, dan seterusnya - ini adalah si-
tuasi bencana besar. Sebelumnya, ada momen-
tum yang berkembang untuk mengganggu sta-
tus quo secara agresif, dan meskipun ada upaya
untuk sementara waktu memindahkan tindakan
ini secara daring, namun tidak ada cara untuk
memberikan tekanan yang sama melalui sarana
digital. Aksi-aksi langsung dan pengorganisiran
massa tidak dapat digantikan dengan sekadar
memasang foto yang memegang poster protes di
Instagram. Menurut saya, digitalisasi lebih lanjut
tidak baik bagi kita mengingat digitalisasi politik
yang berlangsung saat ini cenderung lebih me-
rugikan kelompok kiri radikal dan lebih meng-
untungkan bagi kelompok ekstrem kanan.
Kita juga harus realistis dalam melihat kese-
imbangan kekuatan dunia. Di berbagai belahan
dunia, tren politik secara umum mengarah pada
kebangkitan sayap kanan. Di banyak negara,
terutama negara-negara di Eropa, mereka telah

142
dikesampingkan untuk sementara, di mana para
pemilih berada bersama pemerintah petahana
mereka. Kini, seiring dengan pembatasan pe-
nguncian yang dipermudah, saat yang mena-
rik pun telah tiba. Pencairan politik akan terjadi,
dengan banyak kekuatan yang bergerak sebe-
lum COVID-19 akan hidup kembali tepat keti-
ka krisis kesehatan masyarakat berubah menjadi
krisis ekonomi yang memperkuat diri sendi-
ri. Pertanyaannya, kekuatan mana yang paling
baik diposisikan untuk mendapatkan keuntung-
an dari situasi pengangguran massal dan dislo-
kasi sosial? Mungkin saya terlalu pesimis, tetapi
bagi saya, tampaknya sayap kanan ekstrem, ha-
nya karena posisinya jauh lebih kuat sebelum
wabah COVID-19 dan juga karena pandemi te-
lah memperkuat paradigma politik tertentu, da-
lam hal menutup perbatasan, mengutamakan
bangsanya, dan mencurigai orang asing.
Ini menimbulkan masalah serius bagi gerak-
an lingkungan, dalam arti bahwa kekuatan sa-
yap kanan ekstrem - terutama di Eropa, Amerika
Serikat, dan Brazil - telah muncul sebagai salah

143
satu pendukung utama yang paling vokal atas
kapital fosil. Mereka menyangkal ilmu iklim
dan mendorong percepatan penggundulan hu-
tan massal sekaligus mendorong ekstraksi bahan
bakar fosil. Oleh karena itu, jelaslah, misalnya,
bahwa jika Anda ingin menutup tambang batu
bara di Jerman, Anda harus mengalahkan poli-
tik [sayap kanan] Alternatif für Deutschland; jika
Anda ingin mencegah perusakan hutan hujan
Amazon, Anda perlu melakukan gerakan politik
melawan Jair Bolsonaro. Jadi, tidak ada mitiga-
si iklim tanpa kekalahan besar-besaran sayap ka-
nan ekstrem di negara-negara kapitalis maju dan
juga di banyak negara berkembang.
Diperlukan cara untuk menyatukan keadilan
lingkungan, perjuangan kelas pekerja, dan opo-
sisi terhadap sayap kanan demi mencapai sua-
tu strategi yang berhasil dalam mengatasi kri-
sis iklim. Jalan keluar dari krisis kesehatan dan
ekonomi yang sedang berlangsung adalah de-
ngan membangun sebuah gerakan yang mam-
pu mencapai transisi yang sangat cepat dari ba-
han bakar fosil, bukan Keynesianisme hijau,

144
bukan pula sedikit investasi terbarukan baru
yang diterapkan pada ekonomi bahan bakar fo-
sil, tetapi penghancuran yang sebenarnya dari
kapital fosil itu sendiri, termasuk penutupan se-
gera tambang-tambang batu bara dan penghen-
tian penerbangan massal. Ini hanya dapat terja-
di melalui investasi publik secara besar-besaran
dan peningkatan kendali negara atas sebagian
besar ekonomi. Setiap krisis adalah kesempat-
an bagi kaum Kiri, tetapi kita telah membukti-
kan diri kita cukup mahir menyia-nyiakan pelu-
ang ini di masa lalu.
DM: Dapatkah Anda memberikan gambar-
an kepada para pembaca tentang sejauh mana
intervensi yang diperlukan untuk mencapai
transisi hijau yang berkelanjutan?

AM: Tingkat intervensi yang diperlukan un-


tuk krisis iklim mencakup intervensi yang lebih
halus dan lebih keras sekaligus, ketimbang apa
yang telah diterapkan untuk memerangi pan-
demi. Tidak ada yang menyerukan penutupan/
penguncian untuk mengatasi perubahan iklim,

145
tidak ada yang menyerukan tahanan rumah un-
tuk seluruh populasi atau agar perekonomi-
an terhenti dari satu hari ke hari lainnya. Di
sisi lain, yang dibutuhkan adalah transformasi
mendasar dari sistem dan produksi energi seca-
ra berkelanjutan dalam jangka panjang, bukan
sekadar jeda sementara dari status quo. Untuk
menstabilkan kenaikan suhu global pada 1,5°C,
emisi harus dikurangi 8 persen setahun sampai
Anda mencapai titik nol bersih. Perubahan se-
macam ini sama sekali tidak mungkin dilakukan
hanya dengan mengutak-atik mekanisme pasar
atau memperkenalkan beberapa pajak karbon;
sebaliknya, hal itu akan membutuhkan perluas-
an kepemilikan negara secara besar-besaran dan
perencanaan ekonomi yang komprehensif.
DM: Bagaimana Anda menjawab keberatan
yang umumnya dilontarkan terhadap argumen
bahwa banyak perusahaan-perusahaan yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak su-
dah menjadi milik negara, namun tetap menja-
di sumber utama emisi?

146
AM: Kepemilikan publik bukanlah obat
mujarab dalam dirinya secara otomatis mes-
ki membuat tugas dekarbonisasi menjadi jauh
lebih mudah. Keuntungan dimilikinya perusa-
haan-perusahaan yang berkenaan dengan ha-
jat hidup orang banyak oleh negara adalah me-
mungkinkan pemerintah untuk mengaturnya
kembali dengan sangat cepat. Anda tidak perlu
mengambil alih terlebih dahulu dalam melaku-
kan tugas memaksa perusahaan milik swasta un-
tuk merombak praktik mereka saat ini dan mem-
biarkan bahan bakar fosil tetap di tempatnya (di
dalam tanah).
DM: Anda adalah salah satu kritikus terke-
muka atas gagasan Antroposen, yang mencip-
takan istilah “Kapitalosen” untuk menggambar-
kan zaman geologi saat ini. Wabah COVID-19
tampaknya telah menghidupkan kembali ga-
gasan tentang tanggung jawab kolektif bersama
atas krisis yang mungkin paling baik dikemas
dengan slogan “Korona adalah obatnya, manu-
sia adalah penyakitnya.” Bagaimana Anda me-
nanggapi perkembangan ini?

147
AM: Argumen bahwa kemanusiaan itu sen-
diri adalah masalah, merupakan momok yang
menghantui wacana lingkungan. Anda da-
pat menemukannya dalam film dokumen-
ter Michael Moore yang terbaru, Planet of the
Humans, dalam retorika sayap kanan esktrem,
dalam wacana lingkungan liberal - itu meru-
sak, sangat keliru, dan berbahaya secara politik.
Namun, tidak ada satu hal pun tentang pande-
mi COVID-19 yang membuatnya lebih kredi-
bel daripada sebelumnya. Bukan kemanusiaan
pada umumnya yang memikul tanggung jawab
atas deforestasi, pemanasan global, dan perda-
gangan satwa liar, yang merupakan pendorong
utama meningkatnya limpahan zoonosis; mela-
inkan kapital.
Kebijakan yang digunakan untuk menangani
pandemi hanya berusaha untuk mengatasi geja-
lanya, yaitu virus itu sendiri, sementara akar pe-
nyebabnya tidak disebutkan dan tidak ditangani
sama sekali. Tanggung jawab untuk menahan
penyebaran penularan virus pun telah dialihkan
148
ke orang-orang biasa, yang kemudian secara ru-
tin dihukum jika mereka tidak dapat mengisola-
si diri. Anda tidak dapat menangani faktor-faktor
yang mendorong pandemi ini dengan mengim-
bau setiap warga untuk mengubah cara mereka,
sama seperti Anda tidak dapat mengatasi peru-
bahan iklim dengan mengubah pola konsumsi
seseorang semata.
Ambil contoh, kelapa sawit, yang budidaya-
nya merupakan salah satu pemicu utama defo-
restasi di daerah tropis, tidak terkecuali di Asia
Tenggara, di mana sejumlah besar kelelawar
dan hewan liar lainnya menderita akibat peram-
bahan perkebunan. Di sini, di Swedia, ketika
saya ingin makan sepotong flapjack (semacam
kue), hampir tidak mungkin saya menemukan
flapjack yang tidak mengandung minyak sawit,
dan tidak ada yang dapat saya, sebagai konsu-
men, lakukan tentang hal ini - tanggung jawab
ada di produsen. Selain itu, sebagian besar mi-
nyak sawit tidak digunakan untuk produk yang
dibeli konsumen biasa, tetapi digunakan dalam
proses industri yang bahkan, secara hipotesis,

149
tidak dapat diubah melalui pergeseran konsum-
si.
DM: Haruskah kekuasaan negara diguna-
kan untuk membatasi bentuk-bentuk tertentu
dari konsumsi yang merusak lingkungan, atau
haruskah itu hanya digunakan untuk mengubah
produksi?

AM: Kekuasaan negara pasti harus diguna-


kan untuk mencegah emisi mewah yang dilaku-
kan oleh orang kaya - jet pribadi harus langsung
dilarang, seperti halnya SUV dan kendaraan lain
yang mengonsumsi bahan bakar dalam jumlah
yang sama sekali tidak dapat dipertahankan. Ini
adalah hasil minimal bagi gerakan keadilan ik-
lim, karena sumber emisi ini termasuk yang pa-
ling tidak dibutuhkan secara sosial. Situasinya
sangat berbeda ketika kita mempertimbang-
kan, misalnya, metana dari sawah di India, di
mana masalah yang disebabkan oleh emisi ha-
rus ditimbang dengan memperhitungkan kebu-
tuhan menghasilkan makanan untuk menopang
kehidupan populasi. Transisi yang berhasil dari

150
bahan bakar fosil tidak akan memerlukan pe-
rencanaan ekonomi yang lengkap, dalam arti
memiliki perencanaan negara bagian dan jatah
konsumsi individu - jauh dari itu. Tetapi bebe-
rapa bentuk konsumsi memang harus dibatasi
atau dihapuskan secara langsung - ini tidak da-
pat dilakukan melalui pasar atau seruan akan
konsumsi etis, melainkan hanya dapat dilaku-
kan melalui regulasi negara.
Peningkatan kekuasaan negara seperti itu
membawa serta bahaya birokratisasi dan otori-
tarianisme. Memang sudah ada kecenderungan
ke arah ini, Hungaria, misalnya, menggunakan
pandemi untuk melemahkan demokrasi dan me-
ningkatkan paksaan negara. Namun demikian,
jika Anda mengalami transisi energi yang diba-
wa oleh kekuatan populer dari bawah, dengan
gerakan sosial yang berkuasa atas badan-badan
negara yang mendorong transisi tersebut, maka
bahaya ini dapat dikendalikan. Meskipun mung-
kin tampak utopis pada tahap ini, namun pen-
ting untuk membuat proposisi penutupan lem-
baga yang dirancang untuk mensurvei dan

151
mengendalikan populasi dan menggunakan-
nya kembali untuk menyerang kapital, menutup
sumber pemanasan global dan penularan zoo-
nosis. Dalam buku saya, misalnya, saya meng-
usulkan agar kita menghapuskan badan-badan
perbatasan dan mengubahnya menjadi lembaga
untuk menindak perdagangan satwa liar.
DM: Berbicara tentang utopia, Anda tam-
paknya menolak mentah-mentah argumen
yang dibuat oleh akselerasionis kiri dan pen-
dukung Fully Automated Luxury Communism/
Komunisme Mewah Otomatis Penuh dan seba-
liknya mengedepankan gagasan “komunisme
perang ekologis.” Bisakah Anda menjelaskan
argumen Anda di sini?

AM: Saya melihat bahwa ide di balik per-


spektif tekno-utopis ini sepenuhnya ke-
kanak-kanakan dan tidak berhubungan dengan
realitas material. Gagasan bahwa kita berada
di ambang alam kelimpahan materi yang be-
lum pernah terjadi sebelumnya adalah gagasan
yang tidak dapat dipertahankan secara rasional,

152
mengingat kendala material yang parah yang
mendekati kita hampir dalam segala hal, terma-
suk penipisan tanah, berkurangnya siklus air ta-
war, dan naiknya permukaan laut. Bahkan jika
kita menghentikan semua emisi pada saat ini,
kita akan tetap menghadapi dampak iklim yang
parah untuk waktu yang lama.
Saya mengembangkan gagasan komunisme
perang ekologis dalam buku sebagai tanding-
an dari gagasan lama bahwa Perang Dunia II
memberikan model untuk diikuti negara-nega-
ra dalam menghadapi krisis iklim, gagasan yang
baru-baru ini muncul kembali dalam wacana se-
putar COVID -19 pandemi. Argumen saya ada-
lah bahwa sementara mobilisasi Perang Dunia
II memberikan sebuah analogi yang berguna, ia
memiliki beberapa keterbatasan, tidak sedikit di
antara upaya perang didasarkan pada konsumsi
bahan bakar fosil yang luar biasa dan hal itu te-
lah membiarkan sebagian besar posisi kelas ka-
pitalis tetap kokoh.
Sementara itu, mengatasi krisis iklim dan
mencegah limpahan zoonosis membutuhkan
153
tindakan darurat yang bertentangan dengan ke-
pentingan faksi-faksi yang sangat kuat dari ke-
las-kelas dominan sekaligus memfasilitasi
transformasi ekonomi yang cepat. Perang ko-
munisme memberikan analogi yang dapat di-
mainkan - bukan dalam arti meniru semua
yang dilakukan kaum Bolshevik selama Perang
Saudara Rusia, lebih dari contoh Perang Dunia
II yang menuntun kita untuk mengatasi pema-
nasan global dengan menjatuhkan bom atom
lain di Hiroshima. Sebaliknya, perang komun-
isme memberikan contoh transformasi produk-
si yang cepat dan digerakkan oleh negara serta
pengorganisasian ekonomi dalam menghadapi
oposisi besar-besaran dari kelas-kelas dominan.
Transisi hijau juga akan membutuhkan tingkat
otoritas koersif yang akan diterapkan pada peru-
sahaan berbahan bakar fosil yang sejauh ini de-
ngan segala cara menunda dan menghalangi mi-
tigasi perubahan iklim.
DM: Anda membangun argumen ini dengan
menyerukan “Leninisme ekologis” dalam buku

154
tersebut. Bisakah Anda menjelaskan apa yang
Anda maksud dengan istilah tersebut?

AM: Mengingat bahwa kapitalisme perlu


ditantang untuk melakukan transisi secara sig-
nifikan, warisan sosialis menawarkan serang-
kaian sumber daya untuk digunakan. Masalah
dengan sosial demokrasi adalah ia tidak memi-
liki konsep malapetaka - sebaliknya, ia didasar-
kan pada kebalikannya, yaitu anggapan bahwa
kita memiliki waktu untuk kita miliki dan seja-
rah berada di pihak kita, artinya kita dapat ber-
gerak dengan langkah-langkah bertahap menuju
masyarakat sosialis. Apapun kebenaran sejarah-
nya, hal ini tentunya tidak terjadi sekarang. Kita
menemukan diri kita dalam situasi darurat kro-
nis, dengan krisis yang menyerang dengan se-
makin cepat dan dengan demikian memaksakan
sebuah garis waktu yang sama sekali berbeda
dari yang dihadapi, misalnya, demokrasi sosi-
al Swedia selama tahun 1950-an dan 1960-an.
Oleh karena itu, penting untuk melihat bagi-
an dari warisan sosialis yang memiliki gagasan

155
tentang bencana. Anarkisme juga tidak cukup
untuk tugas ini, mengingat ia, menurut defini-
si, memusuhi negara. Sangat sulit untuk melihat
bagaimana kekuasaan selain negara dapat men-
capai transisi yang diperlukan, mengingat bah-
wa akan ada saatnya kebutuhan untuk meng-
gunakan otoritas koersif terhadap mereka yang
ingin mempertahankan status quo.
Pilihan yang jelas ketika mencari tradi-
si yang memiliki konsep menggunakan keku-
asaan negara dalam situasi darurat kronis ada-
lah tradisi Leninis anti Stalinis. Tetapi kita juga
harus sadar bahwa di dalam tradisi ini juga ter-
dapat wawasan tentang bahaya dan kontradik-
si kekuasaan negara yang muncul dari pelajaran
Revolusi Bolshevik. Seluruh arah strategis Lenin
setelah 1914 adalah mengubah Perang Dunia I
menjadi pukulan fatal melawan kapitalisme. Ini
adalah orientasi strategis yang sama persis yang
harus kita rangkul hari ini - dan inilah yang saya
maksud dengan Leninisme ekologis. Kita harus
menemukan cara untuk mengubah krisis ling-
kungan menjadi krisis kapital fosil itu sendiri.

156
***
Tentang Penulis
Andreas Malm adalah sivitas di Lund
University pada divisi ekologi manusia. Ia ada-
lah penulis buku Fossil Capital: The Rise of
Steam Power and the Roots of Global Warming,
yang akan segera diterbitkan oleh Verso Books.
Tentang Pewawancara
Dominic Mealy adalah penulis dan editor
yang tinggal di Berlin. Saat ini ia tengah menyi-
apkan sebuah proyek doktoral mengenai krisis
kapitalisme dan marketisasi di Uni Eropa.
***
* Wawancara ini sebelumnya terbit di ma-
jalah Jacobin, 15/6/2020 (https://jacobin-
mag.com/2020/06/andreas-malm-corona-
virus-covid-climate-change), dengan judul
asli “To Halt Climate Change, We Need An
Ecological Leninism”.

157
Bab V

Marxisme Menawarkan Alat


untuk Mengatasi Krisis Ekologi
Kontemporer
Wawancara Niu DongJie dan Ming
Haiying dengan Zhang Yunfei

ZHANG YUNFEI lahir pada tahun 1963 di


Kota Fengzhen, Daerah Otonomi Mongolia
Dalam, China. Ia mendapatkan gelar doktor da-
lam bidang filsafat dari Renmin University of
China. Saat ini, adalah profesor di Fakultas Studi
Marxisme di Renmin University of China dan
pembimbing mahasiswa doktoral dalam prin-
sip-prinsip dasar Marxisme.

158
Konsep Marxisme ekologis muncul pada
pertengahan abad ke-20 ketika para ahli teo-
ri berusaha untuk melampaui sistem kapitalis
sambil menyelesaikan konflik umat manusia
dengan alam serta mewujudkan kebebasan ma-
nusia yang sebenarnya. Niu DongJie dan Ming
Haiying wartawan dari Chinese Social Sciences
Today (CSST) duduk bersama Zhang Yunfei dan
membicarakan Marxisme ekologis serta bagai-
mana hal itu dapat diterapkan dalam konteks
kontemporer untuk mewujudkan pembangun-
an sosial yang berkelanjutan.
CSST: Apa hubungan antara Marxisme eko-
logis dan Marxisme?

Zhang Yunfei (ZY): Hubungan antara kedua-


nya dapat dilihat dari tiga perspektif.
Beberapa orang melihat Marxisme ekolo-
gis sebagai Marxisme ortodoks. Berdasarkan
teks-teks Marxis dan sejarah dari disiplin ini,
beberapa ahli teori mencoba mengeksplo-
rasi sumber-sumber rujukan yang melibat-
kan pemikiran ekologis dalam Marxisme dan
159
membangun kerangka pemikiran ekologis da-
lam Marxisme. Dengan demikian, Marxisme
dapat memecahkan masalah-masalah ekologis.
Sementara itu, beberapa yang lain melihat-
nya sebagai Marxisme revisioner. Beberapa sar-
jana berpendapat bahwa Marxisme tidak me-
nawarkan solusi bagi masalah “konsumsi yang
teralienasi,” yang menyebabkan krisis ekologi.
Oleh karena itu, pandangan mengenai masalah
ekologi harus melengkapi Marxisme. Sarjana
lain berpendapat bahwa Marxisme hanya mena-
ngani kontradiksi pertama - antara kekuatan pro-
duktif dan hubungan produktif - sambil meng-
abaikan kontradiksi antara mereka dan kondisi
produksi, tetapi kontradiksi kedua adalah sum-
ber dari krisis ekologi.
Karenanya, kontradiksi kedua menjadi ti-
tik awal bagi Marxisme ekologis. Faktanya,
Marx dan Engels telah menyentuh masalah
ini. Mereka hanya tidak memberikan penje-
lasan yang jelas dan mendetail tentang hal itu.
Memperkenalkan pendekatan ekologis adalah

160
revisi dari Marxisme, tetapi teorinya belum ten-
tu “revisionisme”.
Perspektif ketiga adalah bahwa Marxisme
ekologis adalah inovasi dari Marxisme. Setelah
meneliti dilema-dilema ekologis yang dihadapi
umat manusia, beberapa sarjana telah meng-
usulkan berbagai skema teoritis dan rencana
praktis untuk menyelesaikan masalah-masa-
lah ekologis dan berjuang untuk pembangun-
an berkelanjutan, berpegang pada pendirian
Marxisme sambil menggabungkan sudut pan-
dang dan metode Marxisme dengan praktik da-
lam perlindungan lingkungan. Dengan cara ini,
pemikiran ekologis dalam Marxisme dapat di-
perkaya dan dikembangkan.
CSST: Dapatkah masalah ekologi diselesai-
kan secara radikal melalui Marxisme ekologis?

ZY: Dalam hal alat produksi, Marxisme eko-


logis menentang kepemilikan pribadi, terutama
kepemilikan pribadi kapitalis. Sarjana Amerika
Joel Kovel mengkritik neoliberalisme yang di-
khotbahkan oleh para pendukung teori “Tragedy
161
of the Commons.” Untuk tujuan produksi, John
Bellamy Foster, penulis Marx’s Ecology, berpen-
dapat bahwa kebutuhan dasar dan perlindung-
an lingkungan jangka panjang harus ditekan-
kan. Dalam hal distribusi, Foster berpendapat
bahwa hanya dengan berpedoman pada “kese-
taraan lingkungan,” gerakan lingkungan dapat
terhindar dari keterasingan dengan kelas peker-
ja, yang berdiri teguh melawan kapitalisme da-
lam hal alat produksi. James O’Connor berpen-
dapat bahwa inti dari keadilan borjuis adalah
“keadilan distributif,” sedangkan keadilan pro-
duktif adalah tujuan dari sosialisme ekologis.
Marxisme ekologis menggantikan kapital-
isme dengan sosialisme sebagai model ekono-
mi, yang memfasilitasi solusi akhir dari masa-
lah-masalah ekologis. Hanya dengan berpegang
pada gagasan kedaulatan rakyat maka transfor-
masi ekologis masyarakat dapat dicapai.
Sedangkan dalam model budaya, Marxisme
ekologis melihat dampak reformasi budaya
terhadap harmoni antara manusia dan alam.
Pemikiran mekanistik, faktor utama yang
162
menyebabkan masalah-masalah ekologis, harus
diubah menjadi pemikiran ekologis. Kovel ber-
pendapat bahwa memiliki pemahaman ekolo-
gis berarti mengakui fakta bahwa manusia ada-
lah bagian dari alam dan tidak dapat dipisahkan
dari lingkungannya. Dari segi nilai, Foster me-
ngemukakan bahwa cara pandang harus berori-
entasi pada orang dan fokus pada orang miskin
pada khususnya. Kovel berpendapat bahwa ke-
adilan penting dalam misi membebaskan tenaga
kerja dan meredakan krisis ekologis.
Adapun dari segi model sosial, Marxisme
ekologis telah mengamati parahnya krisis eko-
logis yang disebabkan oleh konsumsi tinggi da-
lam masyarakat konsumen kapitalis dan de-
ngan demikian menyerukan konsumsi yang
wajar dan berorientasi ekologis. Selain itu, se-
bagai unit dasar masyarakat dan kehidupan, ko-
munitas-komunitas secara langsung memenga-
ruhi efisiensi pengelolaan ekologi. Oleh karena
itu, Marxisme ekologis menekankan pada ko-
munitas dan mendukung keadilan komunitas.
Namun, beberapa eko-sosialis mempertemukan

163
komunitas dengan anarkisme, yang harus dita-
ngani berdasarkan kasus-kasus khusus.
Pakar lingkungan sosialis Fred Magdoff me-
ngemukakan model umum bagi “budaya har-
moni.” “Budaya harmoni itu sama dengan sosi-
alisme ditambah dengan tujuan ekonomi demi
memenuhi kebutuhan dasar umat manusia seka-
ligus menjaga lingkungan juga kesetaraan serta
kesederhanaan dalam hidup.” Model ini cukup
menginspirasi bagi pembentukan sistem ekolo-
gis yang sehat dalam masyarakat sosialis.
CSST: Apakah Marxisme ekologis mengha-
dapi batasan atau dilema dalam teori dan prak-
tiknya?

ZY: Ada beberapa masalah yang diha-


dapi perkembangan Marxisme. Pertama, on-
tologi filosofis Marxis tidak bersatu atau je-
las. Menyadari hal ini, Kovel memperkenalkan
konsep “nilai intrinsik” eko-sentrisme ke da-
lam Marxisme, dengan berpendapat bahwa
Marxisme ekologis mengacu pada pencapaian
nilai intrinsik melalui sarana sosialis. Namun,
164
ekosentrisme termasuk dalam ranah pemikiran
hijau, yang tidak melibatkan politik, sedangkan
Marxisme ekologis berkaitan dengan pemikiran
merah, yang didedikasikan untuk isu-isu politik.
Oleh karena itu, terdapat hambatan teoritis dan
politik dalam mengintegrasikan kedua konsep
tersebut. Selain itu, isu-isu tentang Marxisme
ekologis sebagian besar diperdebatkan dengan
menggunakan materialisme historis, alih-alih di-
alektika alam yang jarang dirujuk.
Kedua, penekanan harus ditempatkan pada
pembangunan sistem ekologi yang sehat di
Cina. Persepsi peradaban ekologi, pencipta-
an Marxisme dalam konteks Cina, merupakan
perkembangan inovatif dalam pemikiran ekolo-
gi Marxis. Konstruksi ekologi sosialis di China
merupakan inovasi untuk mencapai tujuan ter-
sebut. Oleh karena itu, karena para sarjana Cina
membutuhkan Marxisme sebagai prinsip pandu-
an, Marxisme ekologis perlu mengabdikan diri
pada praktik-praktik Cina. “Marxisme Organik”
yang baru-baru ini dikemukakan oleh beberapa

165
sarjana Amerika menyoroti konstruksi peradab-
an ekologi sosialis di Cina.
CSST: Upaya apa yang harus dilakukan un-
tuk mempromosikan studi ekologi Marxis di
Cina?

ZY: Pertama, sebagian besar penelitian ten-


tang Marxisme ekologis berpusat pada pemikir-
an tokoh-tokoh tertentu saja, sementara tidak
banyak yang menyentuh pengenalan logika dan
kontribusi teoretis umum. Oleh karena itu, yang
kita butuhkan sekarang adalah perspektif pene-
litian komparatif yang komprehensif dan pema-
haman keseluruhan tentang Marxisme ekologis
untuk menemukan signifikansinya yang relatif
terhadap Marxisme global secara keseluruhan.
Kedua, penelitian sebelumnya sebagian be-
sar berkaitan dengan kontribusi teoretis dari
Marxisme ekologis, tetapi lebih banyak perhati-
an harus diberikan pada aspek praksis. Penelitian
masa depan yang layak untuk diselidiki terma-
suk Marxisme ekologis dan gerakan lingkung-
an Barat, hubungan antara LSM lingkungan dan
166
Partai Hijau, dan apakah LSM ini telah mendo-
rong pengelolaan ekologis di Barat untuk secara
efektif mencegah kerusakan ekologis yang dise-
babkan oleh kapitalisme. Penting untuk mem-
perkenalkan buah dari Marxisme ekologis ke
dalam praktik Tiongkok sambil merenungkan
peran yang dimainkan Marxisme ekologis da-
lam manajemen ekologi global.
Tentu saja, kita harus mempertimbangkan
semua kesulitan dan kerugian yang dihadapi
Marxisme ekologis. Konstruksi masyarakat eko-
logis harus dipromosikan dengan berjalan ber-
sama dan bukan dengan men”cocokologi”kan
teori.
***
* Wawancara ini sebelumnya terbit di si-
tus online Chinese Social Sciences Today
(CSST), 6/5/2016 (http://www.csstoday.com/
Item/3392.aspx), dengan judul asli “Marxism
Offers Tool to Address Contemporary
Ecological Crises”.

167
Bab VI

Kapitalisme Vs. Iklim


Wawancara Johnny Finn dengan Naomi
Klein

DALAM buku terbaru This Changes


Everything: Capitalism vs. the Climate (Simon
& Schuster, 2014), aktivis, jurnalis, dan penu-
lis Naomi Klein, memaparkan argumen yang
mungkin tidak asing bagi banyak pembaca
Human Geography. Karbon bukanlah masalah-
nya, melainkan gejala dari masalah yang sebe-
narnya: kapitalisme global.
Buku ini dimulai dengan memaparkan re-
alitas ilmiah, ekonomi, dan politik dari situasi

168
saat ini. Ia (Naomi Klein) menggambarkan ske-
nario menakutkan bagi pemanasan 2°C, 4°C,
dan 6°C yang meramalkan bencana besar da-
lam skala yang mungkin membuat manusia ti-
dak dapat bertahan hidup. Ia mengidentifikasi
tatanan ekonomi global yang berakar pada pro-
duksi massal dan konsumsi massal berbasis kar-
bon ekstraktif yang telah membawa kita pada si-
tuasi ini. Dan ia menguraikan sistem politik di
Amerika Serikat (AS), penghasil emisi karbon
terbesar kedua di dunia, yang tampaknya tidak
hanya impoten di hadapan masalah polusi kar-
bon, tetapi yang cabang legislatifnya sekarang
dijalankan oleh partai politik yang secara berle-
bihan menolak ilmu pengetahuan tentang peru-
bahan iklim. Semua ini membawanya pada ke-
simpulan yang menarik dan kontra-intuitif: para
penolak hak iklim sebenarnya memahami de-
ngan tepat apa yang dibutuhkan: perubahan
sistemik yang dapat menggulingkan kapitalis-
me global. Di sinilah tepatnya alasan untuk ber-
pura-pura bahwa pemanasan global adalah ti-
puan. Tetapi banyak juga yang salah, jika tidak

169
sebagian besar dari kaum kiri, yang percaya
bahwa emisi karbon global dapat dikurangi ke
tingkat tertentu demi menghindari bencana per-
ubahan iklim tanpa perubahan sistemik.
Dalam menghadapi semua ini, Klein tetap
optimis, bahkan utopis. Dia melihat perubahan
iklim sebagai bencana yang akan datang dengan
peluang: tidak hanya perubahan lingkungan, te-
tapi juga penataan ulang yang signifikan dari ta-
tanan politik, ekonomi, dan sosial global. Klein
menulis:
Saya mulai melihat segala macam cara agar per-
ubahan iklim dapat menjadi kekuatan katalisator
untuk perubahan positif — bagaimana hal itu bi-
sa menjadi argumen terbaik yang pernah dimiliki
kaum progresif untuk menuntut pembangunan
kembali dan kebangkitan ekonomi lokal; untuk
merebut kembali demokrasi kita dari pengaruh
perusahaan yang korosif; untuk memblokir kese-
pakatan perdagangan bebas baru yang berbahaya
dan hanya menulis ulang yang lama; untuk be-
rinvestasi dalam infrastruktur publik yang sangat
minim seperti angkutan massal dan perumahan
yang terjangkau; untuk mengambil kembali ke-

170
pemilikan layanan penting seperti energi dan air;
untuk mengubah sistem pertanian kita yang sa-
kit menjadi sesuatu yang jauh lebih sehat; untuk
membuka perbatasan bagi para migran yang per-
pindahannya terkait dengan dampak iklim; untuk
akhirnya menghormati hak atas tanah adat — yang
semuanya akan membantu mengakhiri tingkat ke-
tidaksetaraan yang mengerikan di dalam negara
kita dan di antara mereka (hlm. 7).
Seperti yang baru-baru ini ditulis Elizabeth
Kolbert di New York Review of Books, ini ada-
lah “pesanan yang agak sulit.”
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan
untuk mewawancarai Naomi Klein. Selama per-
cakapan selama satu jam, saya bertanya kepa-
danya tentang optimismenya yang tampaknya
tidak proporsional, tentang perjanjian bilateral
AS-Tiongkok baru-baru ini untuk mengurangi
emisi karbon, tentang beberapa celah utama
dalam analisisnya, tentang politisasi ilmu pe-
ngetahuan, dan tentang tulisan mengenai ilmu
pengetahuan dan kebijakan sebagai “jurnalis
aktivis” (istilahnya). Wawancara lengkap akan
diterbitkan dalam edisi HG berikutnya (vol. 8,
171
no. 1) bersama dengan tinjauan buku oleh Noel
Castree, Juan Declet-Barreto, Leigh Johnson,
Wendy Larner, Diana Liverman, dan Michael
Watts. Untuk saat ini, berikut adalah beberapa
momen penting dari wawancara tersebut.
Johnny Finn (JF): Saya sebenarnya ingin me-
mulai bukan dengan pertanyaan tentang buku
Anda, melainkan dengan “kesepakatan berseja-
rah” antara AS dan Tiongkok yang diumumkan
beberapa hari lalu untuk mengurangi emisi kar-
bon dari kedua negara di seluruh dunia dalam
tahun-tahun mendatang.

Naomi Klein (NK): Kesepakatan ini terja-


di dalam konteks perjanjian perdagangan be-
bas yang dipercepat antara Tiongkok dan AS,
Tiongkok dan Kanada, dan pasar-pasar lain-
nya yang semuanya adalah tentang membe-
baskan arus barang dan mendorong lebih ba-
nyak konsumsi. Langkah-langkah kecil ke arah
yang benar ini terjadi dalam konteks dorong-
an tak henti-hentinya untuk model yang disebut
“perdagangan bebas” yang mendorong bentuk

172
konsumsi yang sangat boros dan penuh dengan
emisi. Kita masih melaju di jalan raya ke arah
yang salah dan pada saat yang sama ada indika-
si kecil ke arah yang benar.
Menurut saya, apa yang dilakukan Barack
Obama di Keystone dalam waktu dekat itu pen-
ting, karena dia benar-benar telah berhasil da-
lam hal target pengurangan emisi yang telah dia
buat — semua hal sulit dimulai saat dia tidak
menjabat. Jadi, sesuatu yang dapat dia lakukan
sekarang daripada hanya berbicara adalah me-
ngatakan tidak pada Keystone XL Pipeline. Jika
tidak, maka yang dia lakukan adalah mengun-
ci infrastruktur untuk sumber energi karbon
yang sangat tinggi yang dirancang untuk berta-
han selama beberapa dekade dan benar-benar
membuat penggantinya bekerja lebih keras.
Membuat semuanya lebih tidak mungkin bah-
wa mereka akan memenuhi target yang remeh
sekalipun.
JF: Buku Anda menurut saya agak dialek-
tis, menakutkan sekaligus hampir utopis. Anda

173
memaparkan situasi ini untuk pemanasan 2°
dan 4° dan 6° yang pada tingkat atas dapat me-
ramalkan jenis bencana global yang membawa
malapetaka yang mungkin akan membuat ma-
nusia tidak dapat lagi bertahan. Ditambah de-
ngan tatanan ekonomi dan politik global saat
ini. Dan Anda melihat semua ini dan juga meli-
hat situasi yang siap untuk peluang, tidak hanya
untuk perubahan lingkungan tetapi juga untuk
secara signifikan menata ulang tatanan politik,
ekonomi, dan sosial global. Mungkin saya ha-
nyalah seorang yang pesimis, tetapi meskipun
menurut saya ada banyak diagnosis Anda, saya
tidak tahu, terutama dengan kerangka waktu
yang sedang kita kerjakan, dapatkah Anda me-
yakinkan saya untuk menjadi optimis tentang
hal ini?

NK: Baiklah, saya pikir jika saya tidak me-


yakinkan Anda dalam buku, saya mungkin ti-
dak akan dapat melakukannya dalam pang-
gilan telepon ini. Dan saya pikir buku itu
telah mengilhami serangkaian tanggapan yang

174
mengungkapkan banyak hal tentang keadaan
individu kita dan di mana kita berada dalam
spektrum harapan dan keputusasaan pada saat
tertentu. Yang bergeser pada berbagai waktu,
yang tidak tetap. Saya pikir orang Amerika khu-
susnya berada dalam keadaan sangat putus asa
saat ini. Saya tidak dapat meyakinkan Anda atau
siapa pun yang benar-benar merasa bahwa ini
tidak ada harapan. Saya membuat argumen ten-
tang fakta tersebut dan bahwa faktanya sudah
seburuk ini berpotensi menjadi alat yang lebih
kuat ketimbang yang saat ini kita gunakan untuk
mengubah sistem yang memerlukan perubahan
radikal. Saya pikir, sebagian dari alasan meng-
apa kita semua merasa begitu putus asa di ha-
dapan sistem politik Amerika adalah karena sis-
tem itu sudah begitu rusak. Jadi tidak peduli apa
yang Anda pikirkan atau lakukan, itu tidak res-
ponsif, tidak demokratis. Saya pikir kita merasa
lebih putus asa dalam menghadapi iklim karena
itu sangat tidak masuk akal. Maksud saya, jika
kita melihat apa yang terjadi sekarang dengan
Keystone, bahwa Anda dapat memiliki kelas

175
politik yang sangat diinginkan sehingga mereka
akan mempertaruhkan nasib politik dari seorang
senator, dengan harapan bahwa Mary Landrieu
akan melakukan yang lebih baik dalam pelari-
annya, di atas kepentingan planet ini. Maksud
saya ini sangat gila, tapi itulah yang terjadi. Jadi
saya pikir ada cara agar iklim meningkatkan apa
yang sudah kita ketahui: bahwa ini hanyalah sis-
tem yang sangat korup.
Jika kita benar-benar percaya bahwa sega-
la sesuatunya seburuk yang dikatakan para il-
muwan iklim kepada kita, bukankah kita harus
berjuang secara berbeda? Bukankah kita ha-
rus mengatur diri kita sendiri secara berbeda?
Bukankah kita akan membuat argumen yang
berbeda? Bukankah tenor argumen tersebut ber-
beda? […] Tapi saya rasa Anda tidak harus ber-
harap dalam absennya gerakan sosial yang me-
ngorganisir pada skala yang seharusnya mereka
lakukan. Buku saya adalah panggilan untuk ting-
kat pengorganisasian dan tanggapan yang tidak
terjadi. Jadi, haruskah kita berharap sekarang?
Tanpa itu, tidak ada alasan untuk berharap. Tapi

176
haruskah kita melakukan apa yang kita bisa un-
tuk mencoba mengubah dinamika itu dan mem-
bangun gerakan itu? Nah, itulah pertanyaan po-
litik dalam hidup kita. Itulah yang membuatnya
berbeda dari ancaman perang nuklir, yang juga
merupakan ancaman eksistensial. Itu sebenar-
nya membutuhkan tindakan, kami perlu mene-
kan tombol, seseorang perlu memutuskan un-
tuk melakukannya. Padahal dengan perubahan
iklim, tidak ada yang perlu mengambil keputus-
an. Kita sudah melakukannya.
JF: Dalam sebuah artikel baru-baru ini di
Salon oleh Sean McElwee tentang kebangkit-
an kembali ide-ide Marx dan Marxis di lingkar-
an arus utama, dia berpendapat bahwa masalah
utama bagi kaum progresif adalah banyak me-
reka dari kaum kiri, dan terutama di kiri yang
kaku, tidak mengerti konsep ideologi. Dia me-
nulis bahwa adalah umum untuk mendengar
kaum kiri “menulis dan berdebat seolah-olah
seluruh sistem politik Amerika dikendalikan
oleh komplotan kecil bisnis atau pemimpin
politik yang berkonspirasi untuk membodohi
177
massa.” Tapi tidak sesederhana itu, bukan? Di
AS, masalah kita tidak hanya sekadar konsu-
merisme sederhana; konsumerisme adalah pat-
riotik, dan membatasi kemampuan kita untuk
mengonsumsi, betapapun sembrono, dibingkai
dan diyakini secara luas membatasi kebebas-
an kita. Saya kira pertanyaan saya untuk Anda
adalah ini: bagaimana Anda menjelaskan dan
menghadapi ideologi konsumerisme yang terse-
bar luas dan mengakar kuat ini?

NK: Pertama-tama, ini adalah fenomena


yang relatif baru di mana ada tradisi berhemat di
Amerika Serikat hanya beberapa generasi yang
lalu. Saya pikir, dalam banyak hal, ini terkait de-
ngan buku pertama yang saya tulis, No Logo,
yang bicara tentang peningkatan merek gaya hi-
dup dan cara neoliberalisme tidak hanya berpe-
rang di ruang publik, tetapi ketika ranah publik
menyusut dan saat kita menjadi lebih teratomi-
sasi, peran belanja dalam rasa diri dan identitas
kita meningkat sehingga kita sampai pada titik
di mana ketika seseorang berkata, “Anda tidak

178
bisa berbelanja sebanyak itu,” rasanya seperti
serangan pribadi, serangan terhadap diri sendi-
ri, bukan perubahan perilaku yang dapat Anda
adaptasi, dan lebih-lebih lagi terasa sebagai pri-
badi. Dan itulah keberhasilan pencitraan gaya
hidup yang ada sebelum tahun 90-an tetapi me-
lonjak pada periode itu. Tidak ada keraguan
bahwa itu adalah tantangan dan itulah menga-
pa dalam buku itu saya berpendapat bahwa kita
tidak akan menang tanpa pertarungan ideologis,
bahwa kita tidak akan menang tanpa perubahan
dalam pandangan dunia dan nilai-nilai.
Dan argumen balasannya adalah: tidak ada
waktu untuk itu, kita harus fokus pada apa yang
kita bisa dalam jangka pendek. Tetapi fakta-
nya adalah ini: itulah yang telah kami coba la-
kukan selama dua setengah dekade terkait de-
ngan perubahan iklim. Dan kami akan mundur.
Jadi, Anda tahu bahwa melakukan lompatan
yang bertentangan dengan langkah-langkah ke-
cil ini dapat menjadi strategi yang lebih praktis.
Artinya, apa yang disebut praktis dalam disku-
si iklim arus utama, apa yang dianggap serius?

179
Ini sudah memiliki rekam jejak kegagalan yang
tidak tanggung-tanggung: membicarakan pa-
jak karbon lebih serius daripada membicarakan
tentang pertarungan pandangan dunia, bukan?
Kecuali untuk bukti apa yang ada bahwa kita
mendekati pengenaan pajak karbon? Maksud
saya, James Inhofe akan menjadi Ketua Komite
Lingkungan di Senat. Jadi mengapa tidak menja-
di besar? Karena pendekatan inkremental sema-
cam ini tidak berfungsi. Itu bahkan tidak mem-
berikan perubahan tambahan yang tidak akan
membawa kita ke sana.
JF: Salah satu sumber ketegangan yang saya
rasakan saat membaca buku Anda adalah sema-
cam ketegangan antara solusi dan pendekatan
lokal dari bawah ke atas dan resep-resep kebi-
jakan universal dari atas ke bawah. Di satu sisi,
untuk waktu yang lama dalam pekerjaan Anda,
Anda telah memperjuangkan desentralisasi, un-
tuk lebih banyak pemberdayaan lokal. Di sisi
lain, Anda membuka buku yang membicara-
kan tentang Rencana Marshall untuk Bumi dan
proyek-proyek besar pemerintah yang universal
180
dari atas ke bawah. Saya hanya ingin tahu apa-
kah Anda bisa menjelaskan kepada kami ten-
tang ketegangan antara universal dan lokal itu.

NK: Saya pikir itu adalah cara untuk menye-


lesaikan ketegangan itu dengan cara kita me-
rancang kebijakan, itulah mengapa saya meng-
habiskan cukup banyak waktu untuk apa yang
berhasil tentang transisi Jerman. Saya pikir ini
adalah contoh yang sangat bagus tentang ba-
gaimana gerakan dapat memenangkan kebijak-
an. Contoh kemenangan seperti ini sangat kita
perlukan hari ini. Angela Merkle, dia tidak Kiri,
namun dia memperkenalkan platform transisi
energi paling ambisius dari setiap pemerintah
non-Skandinavia di dunia industri. Rancangan
transisi energi di Jerman, memiliki rencana na-
sional yang berani, target nasional yang berani
dalam hal berapa persentase energi Jerman akan
berasal dari energi terbarukan pada tahun bera-
pa dan program tarif feed-in nasional sehingga
tidak hanya bersifat lokal. Pada saat yang sama,
program tarif feed-in mendorong kepemilikan

181
lokal, kepemilikan kolektif, dan semua jenis de-
sentralisasi. Jadi menurut saya ini adalah con-
toh yang baik tentang bagaimana Anda dapat
mendamaikan kebutuhan atau perubahan da-
lam skala besar tanpa menggunakan solusi ne-
gara terpusat yang sering kali meniru pola ke-
terpencilan yang buruk dan tidak responsif serta
kecenderungan non-demokrasi.
Saya mulai menulis sebuah buku yang seca-
ra akurat mendiagnosis masalah dan dapat men-
jadi alat untuk menyatukan gerakan yang berbe-
da, untuk memperjuangkan ekonomi berikutnya
dan untuk memberikan beberapa prinsip yang
diperlukan untuk menghidupkan ekonomi ber-
ikutnya. Tapi dalam hal meletakkan cetak biru
untuk itu, saya mengerti mengapa orang men-
dambakan itu, tapi itu bukan buku yang ingin
saya tulis, atau yang menurut saya bisa saya tu-
lis. Saya mengakui poin bahwa buku ini lebih
menekankan pada kritik daripada tentang seper-
ti apa ekonomi selanjutnya. Tapi secara politis
saya sangat percaya bahwa proses pemetaan itu,
pertama-tama harus spesifik untuk tempat yang

182
berbeda dan harus merupakan proses yang de-
mokratis. Mungkin itu terdengar seperti peno-
lakan tetapi saya benar-benar percaya itu.
JF: Dalam tinjauan buku Anda di New York
Times baru-baru ini, Rob Nixon menjelaskan ti-
dak hanya buku ini, tetapi semua karya Anda
— No Logo, Shock Doctrine, dan This Changes
Everything — sebagai trilogi anti-globalisasi
Anda. Bagaimana Anda bereaksi terhadap ka-
rakterisasi sebagai “anti-globalisasi”?

NK: Istilah itu merupakan suatu hal yang


mundur, ya? Kita tidak benar-benar mengguna-
kannya; Anda bahkan tidak terlalu sering men-
dengarnya. Maksud saya, pada saat itu, kita
selalu mengatakan itu bukan gerakan anti-glo-
balisasi. Di spektrum liberal, itu adalah gerakan
anti-globalisasi perusahaan dan di sisi kiri ada-
lah gerakan globalisasi anti-kapitalis, dan itu te-
tap benar. Saya bahkan tidak pernah memahami
kata “globalisasi,” dan saya tidak menggunakan-
nya seperti yang Anda lihat di buku. Saya ber-
bicara tentang model globalisasi korporat ini,

183
yang merupakan nama samaran untuk gerakan
pembebasan korporasi. Jadi saya tidak pernah
menyukai istilah itu. Itu menggabungkan terla-
lu banyak hal sekaligus, dengan cara yang tidak
pernah berguna.
[Ada hal lain yang] muncul dalam bebera-
pa ulasan yang membuat saya agak bingung.
Masalah ini: Apakah ini anti-neoliberal? Ataukah
itu anti kapitalis? Beberapa pengulas telah mem-
buat klaim bahwa kasus yang saya buat berten-
tangan dengan neoliberalisme dan bukan me-
lawan kapitalisme. Dan saya pikir saya sangat
jelas dalam buku ini, dan saya tidak tahu bagai-
mana saya bisa menjadi lebih jelas lagi: kedua-
nya. Bahwa dalam hal alat yang kita butuhkan
untuk menanggapi krisis ini ketika melanda di
akhir tahun 80-an dan 90-an, adalah alat yang
paling dikecam oleh proyek neoliberal: regula-
si, perpajakan, gagasan aksi kolektif dalam ma-
syarakat dan begitu seterusnya. Kemajuan per-
dagangan bebas menciptakan lebih banyak
hambatan. Tetapi karena kita telah menunggu
selama yang kita miliki, dan kita sekarang perlu

184
mengurangi emisi kita sedalam yang kita butuh-
kan, kita sekarang memiliki konflik tidak hanya
dengan neoliberalisme, tetapi juga konflik de-
ngan kapitalisme karena itu menantang keharus-
an pertumbuhan. Jadi saya menyadari ini adalah
argumen dua tahap, tetapi keduanya.
JF: Dalam 30-35 tahun terakhir baik dalam
geografi maupun di luar, sekelompok besar pe-
neliti, pendidik, dan penulis telah mengem-
bangkan bidang ekologi politik. Sekarang ada
lebih dari 20 buku utama, ratusan artikel aka-
demis, mungkin ribuan kursus yang diajarkan
di seluruh dunia, dan ekologi politik sama seka-
li tidak disebutkan dalam buku Anda. Kenapa
tidak?

NK: Yah… Saya pikir ini mungkin tantang-


an yang cukup adil dan saya pikir salah satu pe-
rangkap menulis buku yang benar-benar inter-
disipliner adalah bahwa saya tidak akan 100%
memahami literatur di bidang mana pun. Saya
sangat menyadari fakta bahwa di setiap bidang
yang saya sentuh, dan saya menyentuh banyak

185
bidang, saya berdiri di atas banyak bahu. Ada
enam halaman ucapan terima kasih dan yang
bisa saya pikirkan hanyalah orang-orang yang
saya lupakan. Bagian darinya, dalam menulis
untuk audiens populer dan bukan untuk audi-
ens akademis, adalah bahwa ada pemeriksaan
nama yang konstan dalam tulisan akademis dan
dalam tulisan populer yang ada jauh lebih se-
dikit. Hanya untuk keterbacaan dan alur, dan
menurut saya hal itu berisiko membuat orang
merasa tidak diakui, terutama ketika saya men-
dapatkan semua perhatian populer ini dan me-
reka belum melakukannya. Saya merasa tidak
enak tentang itu jika saya mengacaukannya.
JF: Pertanyaan lain yang menurut saya se-
jalan dan muncul berdasarkan artikel Guardian
baru-baru ini yang ditulis Kate Raworth, yang
menyarankan bahwa nama yang lebih baik un-
tuk Antroposen mungkin adalah “Mantroposen.”
Dibandingkan dengan jumlah ilmuwan pria
yang Anda kutip, Anda hanya mengutip sedi-
kit ilmuwan dan peneliti perempuan. Dan ada
banyak perempuan yang melakukan penelitian
186
yang sangat penting, terutama di bidang kebi-
jakan perubahan iklim. Mengapa Anda mengu-
tip begitu banyak laki-laki dibandingkan de-
ngan perempuan?

NK: Menurutmu itu benar? Saya tidak yakin.


Saya merasa seperti saya menyadarinya di bagi-
an pertama buku ini. Saya merasa di bagian ke-
dua buku ini keseimbangan bergeser. Tapi saya
menyadarinya di bagian pertama buku ini, dan
saya pikir itu pasti benar dalam hal ilmu iklim
dan dalam beberapa hal pajak yang lebih mi-
ring, meskipun saya selalu mengutip lebih ba-
nyak Kevin Anderson dan Alice Bows-Larkin
lebih dari yang lain. Sebagian karena ada tim
ilmuwan iklim tertentu yang banyak memban-
tu kami, dan mereka semua adalah laki-laki, itu
benar dan itu tidak baik. Dan dunia geoengi-
neering sebagian besar memang diisi oleh laki-
laki.
Saya pikir saya menemukan debat iklim di-
dominasi oleh laki-laki meskipun di lapangan ti-
dak. Mengenai orang yang paling berisik, yang

187
paling banyak membuat blog, yang didengar…
Bagian dari apa yang saya coba lakukan de-
ngan buku ini adalah membuat orang yang ti-
dak merasa diterima di dunia ini, merasa mere-
ka juga bisa berbicara tentang perubahan iklim.
Dan bagian dari itu adalah dunia yang sangat le-
mah. Ada sisi sainsnya, tetapi kemudian ada du-
nia kebijakan, yang didominasi laki-laki, jika ti-
dak lebih. Dan bahkan kelompok hijau besar.
Meskipun gerakan keadilan lingkungan sebagi-
an besar dipimpin oleh perempuan di tingkat
akar rumput, ada beberapa analisis yang sangat
kuat yang melihat bagaimana kelompok hijau
besar didominasi laki-laki. Tetapi saya akan ber-
pikir bahwa buku seperti milik saya harus men-
coba untuk memperbaiki beberapa dari itu,
dalam hal siapa yang diperlakukan sebagai seo-
rang ahli. Saya rasa saya belum cukup. Saya be-
nar-benar berusaha untuk tidak meniru itu. Saya
rasa cukup adil untuk mengatakan dalam isti-
lah ilmu iklim bahwa sebagian besar ahli iklim,
selain Alice, adalah laki-laki, Alice dan Penny
Chisholm. Saya juga berpikir itu lucu, tentang

188
orang-orang yang dikutip. Ini adalah siklus yang
menguatkan diri dalam hal siapa yang dikutip.
Orang lebih khawatir tentang menyinggung
laki-laki karena mereka cenderung memiliki ego
yang lebih besar.
Saya pikir banyak suara yang paling pen-
ting dan paling bijaksana dalam buku ini da-
tang dari perempuan dan banyak dari mereka
wanita kulit berwarna, seperti Arundhati Roy
dan Angélica Navarro, yang saya mulai dengan
buku ini. Film ini secara khusus menurut saya
melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada
buku yang mengangkat beberapa gagasan ten-
tang siapa seorang ahli.
JF: Oke, pertanyaan terakhir: mengingat be-
tapa perubahan iklim itu sudah dipolitisasi, ter-
utama di AS, dan benar-benar politisasi yang
kuat dari segala sesuatu dalam politik Amerika
saat ini, apakah Anda khawatir bahwa buku
Anda mungkin hanya akan memolitisasi masa-
lah ini, itu mungkin sebenarnya menjadi bume-
rang dengan membuat tindakan iklim berbasis

189
luas, persis seperti tindakan iklim yang kita bu-
tuhkan, bahkan lebih keras lagi karena politisa-
si yang mengelilinginya?

NK: Saya mengerti kekhawatirannya, tapi


saya tidak bisa melihat bagaimana hal itu bisa
lebih dipolitisasi daripada yang sudah ada, da-
lam hal bagaimana hal itu dipersepsikan di ke-
lompok kanan. Maksud saya, kaum kiri, kaum
liberal takut dengan buku itu. Tapi benar, Anda
tahu, mereka sudah memikirkan ini. Ini ada-
lah intinya, tetapi salah satu hal yang membu-
at frustrasi tentang Obama adalah bahwa dia
mendapat semua serangan balik seolah-olah
dia sedang melakukan sesuatu, seolah-olah dia
sedang melakukan sesuatu yang radikal. Jadi
dia mungkin juga! Itu dengan asumsi dia be-
nar-benar ingin. Mengingat bahwa dia diperla-
kukan sebagai seorang sosialis ketika dia mela-
kukan reformasi neoliberal yang paling kecil,
dia mungkin juga melangkah lebih jauh. Saya ti-
dak berpikir bahwa kelompok kanan di Amerika
Serikat bisa lebih yakin bahwa perubahan iklim

190
adalah plot sosialis, jadi saya tidak terlalu kha-
watir tentang itu. Masalah lainnya adalah bah-
wa buku ini mengganggu narasi saat ini, tetapi
sepertinya narasi itu tidak berhasil. Ini bukan se-
olah-olah saya memasuki suatu gerakan, gerak-
an iklim, yang bergerak dari kekuatan ke keku-
atan dan memperkenalkan argumen yang dapat
menyabotase itu. Saya memperkenalkan debat
ke dalam gerakan yang kalah, dalam skala be-
sar, di setiap bidang. Jadi, saya rasa kita tidak
akan rugi jika mencoba pendekatan yang ber-
beda. Ada ketakutan yang sangat besar dan saya
mengakui bahwa itu berisiko. Jika saya melaku-
kan ini 15 tahun yang lalu atau bahkan 10 ta-
hun yang lalu, saya pikir argumen itu akan le-
bih berbobot. Saya telah mengatakan ini dalam
wawancara lain, kami mencobanya dengan cara
mereka: kami berpura-pura bisa melakukan ini
dan tidak ada yang akan menyadarinya. Dan itu
tidak berhasil. Jadi, mari kita coba mengatakan
yang sebenarnya dan lihat apa yang terjadi.
***

191
• Terima kasih kepada Colleen Garrison atas
bantuannya mentranskripsi wawancara ini.
• Versi lengkap dari wawancara ini de-
ngan Naomi Klein akan muncul di Human
Geography, vol. 8, No. 1 (2015).
• Johnny Finn, Departemen Sosiologi,
Pekerjaan Sosial, dan Antropologi,
Universitas Christopher Newport

* Wawancara ini sebelumnya terbit di situs on-


line Institute of Human Geography, dengan
judul asli “Capitalism Vs. The Climate: An
Interview with Naomi Klein”.

192

Anda mungkin juga menyukai