Anda di halaman 1dari 5

Humanopolis

Kalau kita mau jujur, proses pembangunan visualisasi kota Pekanbaru, sebenarnya


mulai menggiat dan sangat berkembang pesat mulai lima tahun kebelakang, terutama
pendirian berbagai pusat-pusat perbelanjaan, gedung-gedung perhotelan dan
perkantoran yang menjulang tinggi di berbagai sudut-sudut kota. Kota yang
menyandang predikat sebagai Kota Bertuah, saat ini mulai terasa kehilangan
“nyawanya”. Salah satu penyebabnya ialah kurang konsistennya para pengambil
kebijakan dan Rencana Tata Ruang Kota yang kerap berubah. 
            Sebagai contoh adalah keadaan lalu lintas yang semerawut dan kemacetan lalu
lintas yang terjadi hampir di semua ruas jalan Kota Pekanbaru, terutama di sudut-
sudut kota yang memiliki pusat-pusat keramaian dan perbelanjaan. Kondisi
kemacetan itu terjadi, karena tidak seimbangnya antara luas badan jalan dengan
jumlah kendaraan dan sistem transportasi umum yang tidak sesuai aturan.

            Coba kita simak pemberitaan di media beberapa waktu yang lalu (pada saat
menyambut kedantangan SAUM) di kota Bertuah. Banyak pembangunan ruko tidak
sesuai Perda, penerapan sumur resapan tidak diindahkan, pembangunan pos-pos
polisi dan jembatan di atas sungai kota tidak mengantongi izin dan tiga halte bus
Sarana Angkutan Umum Masal (SAUM) yang tidak memiliki izin dan sebagainya.
Pembangunan kota yang berlangsung sepotong-sepotong tanpa koordinasi
menyeluruh semacam ini, bila tidak dibenahi memang tak pelak lagi akan
menghadirkan kondisi kota yang menyengsarakan bagi penduduknya.

            Sungai Siak yang semula mengalir jernih dan mengemban fungsi sebagai
salah satu sumber kehidupan pendudukan dan makhluk hidup lainnya, tidak lagi bisa
melanjutkan fungsinya karena kadar pencemaran yang melampaui ambang batas.
Tidak hanya partikel CO2, Pb tetapi juga partikel-partikel berbahaya lainnya.
Anehnya, Perusahaan daerah Air Minum (PDAM) masih mengambil sumber air yang
digunakan warga untuk minum, mandi, mencuci dan sebagainya dari air sungai yang
mulai tercemar. Hutan yang semula menjadi cadangan untuk menampung peresapan
air tanah sudah berubah menjadi perumahan yang penuh beton dan memangkas
rerimbunan pepohonan. Taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak
tersedia, bermetamorfosis menjadi bangunan pertokoan dan perkantoran yang
menambah padat dan sumpek wajah perkotaan. Alun-alun yang merupakan paru-paru
kota dan menjadi lambang kebanggaan dan jati diri penduduk, terpaksa merelakan
diriya untuk diubah menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan.

            Kita harus jujur, adanya berbagai permasalahan yang muncul diperkotaan itu,
bila diteliti sebenarnya merupakan efek samping dari perkembangan Kota Pekanbaru
itu sendiri yang tidak terkendali. Hal inilah, sebenarnya yang seharusnya kita sadari
bersama. Kita tidak mungkin dapat mengelak dari proses perkembangan kota ini.
Tapi, di sini yang harus sama-sama kita pikirkan adalah bagaimana caranya kita dapat
mengeliminir segala efek negatif dari perkembangan sebuah kota itu, sehingga
akhirnya eksistensi dan citra sebuah kota dapat dipertahankan keberadaannya.

Menyikapi adanya pertumbuhan sebuah kota ini, padahal jauh-jauh hari Doxiadis,
telah meramalkan bahwa kota-kota yang ada di dunia ini, termasuk di Pekanbaru akan
tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin kuat dan sulit dikendalikan. Kota
(polis) akan menjadi metropolis (kota raya), kemudian megapolis (kota mega), lalu
menjadi ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan
kota mayat (necropolis).

Paling tidak ada empat penyebab pokok yang menurut Prof. Ir. Budiharjo. MSc
beriuran paling besar terhadap keberantakan wajah dan tata ruang perkotaan di
Indonesia. Pertama, adanya kesenjangan antara perencanaan kota yang dwi-matra
dengan perancangan arsitektur yang tri-matra. Perancangan kawasan perkotaan
(urban design) masih merupakan benda aneh di negara kita. Kedua, membengkaknya
pengaruh kendaraan bermotor (khususnya mobil pribadi) dalam jaringan kegiatan
perkotaan. Pejalan kaki dan pelangganan kendaraan umum masih dilihat sebagai
warga negara kelas dua. Ketiga, curahan perhatian yang terlalu ditekankan pada aspek
keuntungan ekonomi dan kecanggihan tenologi dengan melecehkan manfaat sosial
atau kepentingan masyarakat banyak, khususnya pada pembangunan fasilitas
komersial oleh pihak swasta. Keempat, lemahnya aparat dan mekanisme kontrol
pembangunan, atau memang sengaja dibikin tidak jelas aturan permainan dan
sanksinya, saya kurang begitu paham.
Menyadari gejala perkotaan yang meruyak semacam ini, Peter’ Hall mengajukan
perencanaan humanopolis, yaitu kota yang lembut dan manusiawi, dengan
menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-
wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antara manusia dan lingkungan
binaannya secara lebih akrab. Penciptaan ruang perkotaan yang bersifat publik,
dengan jaringan pedestrian atau pejalan kaki yang terstruktur, seyogyanya lebih
digalakkan.
Kehadiran bangunan-bangunan tinggi yang serba cerdas di Pekanbaru dengan
segenap perangkapnya mekanikal dan elektrikalnya, hendaklah dimanusiawikan
terutama pada lantai-lantai bawahnya dengan peralatan terbuka ataupun pedestrian
mal yang dilengkapi dengan perabot seperti bangku, monumen, jam, lampu hias,
gardu telepon, kaki lima, air mancur (ke bawah) atau air muncrat (ke atas) dan lain-
lain.
Ruang-ruang perkotaan yang pribadi, sepatutnya saling dihubungkan satu sama lain
agar terjalin menjadi satu kesatuan degan ruang perkotaan yang bersifat sosial. Ruang
sosial itulah yang akan menjadi perekat bagi tumbuhnya rasa kebersamaan dan
kekentalan komunitas perkotaan.*

MALANG SECABA EC0P0US


Oleh: DJAJUSMAN HADI Inventor dan Penyunting Majalah Komunikasi Universitas
Negeri Malang
GELIAT pembangunan Kota Malang memasuki era metropolis frekuensinya kian
meningkat. Pembangunan infrastmktur dan tata lingkungan fisik sudah terealisasi
sebagai jembatan emas perkembangan ekonomi bagi warga Malang Raya seperti
penataan taman Ijen Boulevard, lampu taman di taman Kunang-kunang. Kota Malang
juga dipercantik dengan trotoarya yang dilengkapi dengan furniture street, lampu-lampu
bias yang indah, kursi-kursi klasik yang menarik, ataupun bunga-bunga dengan pot-pot
besamya yang artistik. Sentuhan penataan di atas adalah salah satu maneuver
perwujudan menuju Malang yang ecopolis atau kata berwawasan lingku – ngan.
Di kota Malang sendiri terdapat aset penghijauan, yaitu sebuah taman hutan kota yang
letaknya berada di jalan Malabar dengan sebutan Hutan Kota Malabar. Luas hutan ini
kurang lebih 16.718 m2 dan di tengah Hutan Kota Malabar terdapat kolam air yang
konon menjadi sumber untuk mengairi taman-taman di kota Malang. Hutan kota ini
begitu banyak manfaatnya, salah satunya adalah sarana untuk rekreasi karena di tempat
ini begitu teduh dan tenang sehingga membuat hati kita menjadi damai. Bisa juga untuk
edukasi karena banyak tantanan pepohonan dengan nama spesies yang bermacam-
macam. Begitu masuk ke dalam Hutan Kota Malabar ini, mulai terasa hawa yang sejuk
dan terdengar kicauan burung. Hutan Kota Malabar ini sudah mulai lebat pohon
komprehensif kebijakan pemerintah dan tentu – nya ‘butuh” kepedulian kolektif dari
masyarakat dan investor guna mengembalikan hutan kota pada khitahnya.
Memperlihatkan asas yang mendasari pembangunan perkotaan yang berwawasan
lingkungan, maka diharapkan intervensi pemerintah dan kepedulian kolektif publik akan
tetap mempertahanka keadaan kota sebagai kota yang lestari dengan tetap
mengupayakan dan menyediakan hutan di tengah kota atau yang lebih dikenal de –
ngan hutan kota. Hal ini juga diperkuat konsepsi Fokura (1987) bahwa hutan kota adalah
tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat
lingkungan yang sebesar-besamya dalam kegunaan proteksi, estetika,
rekreasi, dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya. Sebagai contoh, Kebun Raya Bogor
yang dibangun oleh Sir Stanford Raffles pada tahun 1817, Kebun Raya Cibodas dan
hutan Raya Ir. H. Djuanda di Malang setidaknya dapat dijadikan contoh model
pembangunan dan pengembangan hutan kota di Indonesia.
Berdasarkan kriteria sasaran dan fungsi penting vegetasi, intensitas manajemen serta
statusnya, maka hutan kota dapat dikelompokkan ke dalam 4 bentuk, yakni taman,
kebun, pekarangan, jalur hijau serta hutan konservasi (Anonymous, 1987). Sedangkan
menurut UUPK No. 5 Tahun 1967, hutan adalah lapangan yang ditumbuhi oleh pohon-
pohonan yang secara keseluruhan merupakan relokasi pasar tradi – sional, penataan
taman, perbaikan trotoar, saluran irigasi sampai dengan melakukan
aneka rekayasa jalur lalu lintas kendaraan untuk menghindari terjadinya kemacetan di
sana-sini. Proses pembangunan visualisasi kota Malang, sebenarnya mulai meng – giat
dan sangat berkembang pesat sejak Kota Malang dijabat Walikota Abah Anton. Bukti
percepatan lingkungan telah dibuktikan dengan upaya tata hijau keindahan kota.
Memang secara singkat dapat dikatakan kalau pembangunan berupa visua – lisasi kota
secara ecopolis ini identik dengan nuansa keindahan tata kota berbasis
lingkungan.
Begitu juga yang menghiasi sudut Kota Malang yang pemah menyandang predikat
sebagai Kota Paris van Java pada masa Kolonialnya, sehingga berada cli dekatnya pun
akan terasa hawa yang segar Pohon yang ada. di hutan kota ini yaitu pohon palm,
bringin, demara, jambu, dan lain-lain.
Gagasan tentang pembangunan Kota Malang secara ecopolis dengan tajuk “Kembalikan
Hutan Malang” memang memukau berbagai kalangan untuk pro aktif di dalamnya.
Pertama, ibarat menanam pohon yang direncanakan berbeda dengan pohon yang
tumbuh dengan sendirinya secara organik, terbuka peluang untuk mencipta dan
mengatur segala sesuatunya sejak awal secara holistik. Kedua, membangun hutan
ibarat suatu tatanan kota barn merupakan salah satu basil penjetajahan metode
persekutuan hidup dengan alam lingkungannya dan mempu – nyai luas paling sedikit
0,25 hektar. Keberadaan tain yang menunjang perlunya pengembangan hutan di
kawasan Malang Raya adalah adanya kecenderungan penduduk kota Malang yang
mendambakan suasana alami seperti tempo dulu.Hal ini ditunjukkan juga dengan
semakin banyaknya penduduk kota lain yang sasarannya berlibur di kawasan Kota
Malang, dampaknya ketika liburan panjang Kota Malang menjadi langganan macet.
Malang Kota Ecopolis
Saat ini Kota Malang terus berbenah menata kotanya, mulai dari Belanda, saat ini
kelihatannya telah hilang “nyawanya”. Salah satupenyebabnya ialah tidak konsisten- nya
para pengambil kebijakan di Kota Malang dengan rencana tataruang kota pada zaman
Belanda yang telah disepakti pada awal perencanaan pembangunan Kota Malang itu
sendiri. Sehingga tidak heran, adanya efek yang muncul dari pelanggaran tata ruang
kota itu sendiri.
Menyikapi adanya pertumbuhan sebuah kota ini, padahal jauh-jauh hari Doxiadis, telah
meramalkan bahwa kota-kota yang ada di dunia ini, termasuk di Malang akan tumbuh
dan bengkak semakin besar, semakin kuat dan sulit dikendalikan. Peringatan itu,
kelihatannya sejalan dengan apa yang diinginkan oleh John Ormsbee (1986), bahwa kita
agar lebih berhati-hati dalam mengelola kota dan lingkungan binaan manusia. Selain im,
yang terpenting adalah kita berharap jangan sampai terjadi
“ecological suicide” (bunuh diri ekologi) oleh pihak-pihak tertentu terhadap pemba –
ngunan kota ini. Hal ini bisa terjadi secara sadar maupun tidak sadar.
Oleh karena itu, diharapkan masyarakat yang ada di Kota Malang harus bahu mem –
bahu terlibat dalam proses perencanaan pembangunan kota yang dihuninya. Saat ini,
bukanjamannya lagi pemerintah “bekerja sendirian“ dalam membangun kota dengan
mengabaikan peran serta nyata dari semua elemen masyarakatnya. Sehi – ngga dalam
konteks kekinian, menyikapi apa yang terjadi dalam perkembangan Kota Malang ini,
setidaknya ada satu pertanyaan yang mesti disikapi dan dijawab sebagai solusi terhadap
fenomena tersebut. Di sinilah kelihatannya kita perlu menerapkan sistem pembangunan
berkelanjutan, sebagai sebuah harapan akan kenyamanan
dan kewibawaan sebuah kota atas jati diri dan citra kota im sendiri.
Pembangunan Kota Malang secara berkelanjutan ini, pada dasarnya adalah pemba –
ngunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini tanpa mengabai –
kan kemampuan generasi pertimbangan utama dalam pembangunan kota,khususnya
Kota Malang yang sudah mulai berbenah mengubah Taman Malabar menjadi Hutan
Kota Malabar.
Bukti adanya Hutan Kota Malabar tersebut, diharapkan percepatan reboisasi dapat
berjalan maksimal, namun sesuai dengan perencanaan yang matang. Artinya tidak asal
memilih bibit dan menempatkan tanaman sembarangan, dan juga tetap mempe –
rhatikan kepentingan publik dan juga kelestarian sumber daya alam di sekitamya. Oleh
karena itu, kesempatan masih dapat diraih seiring dengan mendongkrak wisata di Kota
Malang. Upaya mewujudkan tata kota yang ideal (modemis tetapi ecopolis) tidak hanya
sebatas memikirkan kepentingan sepihak saja. Sehingga tidak ada kes – an “aji
mumpung” atau mencari kesempatan guna meraup keuntungan, sebaliknya
pemerintah daerah justru tanggap dapat menepis kesan bahwa kebijakan “memba –
ngun bukan berarti merusak”. Jika prinsip ini dipegang sebagai upaya revitalisasi
penataan kota yang ecopolis, maka secara signifikan akan mematahkan mitos
problem perkotaan.
Akhimya, jelas sudah kalau kita ingin Kota Malang ini menjaga jati diri dan memper –
tahankan citra kotanya dalam prestasi Adipura Kencana. Rasa kebersamaan dalam
percepatan membangun kota ini, kelihatannya menjadi sebuah mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka, sebagai suatu proses perubahan di mana pemanfaa –
tan sumber daya, arah investasi, orentasi pembangunan dan perubahan kelemba – gaan
selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini
maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ma – nusia 
(Brundtland, 1987).
Ecopolis adalah sebuah jawaban atas tata kota yang memperhatikan nilai-nilai kebe –
rlangsungan, kemajuan teknologi, kesehatan lingkungan, kebersihan alam, dan sir –
kulasi udara sebagai dasar kota layak hidup. Ecopolis, konsep ini berarti kalau dalam
pembangunan kota itu yang lebih dominan adalah dari kalangan ilmuwan dan pakar
ahli lingkungan. Dalam arti lain, konservasi energi dan pelestarian keseimbangan
ekologis menjadi keharusan yang mesti dilakukan antara Pemerintah Kota Malang,
perusahaan, dan warga kota. Bila hal itu tidak dilakukan, maka jangan harap citra kota
ini akan terwujud sebagai kota ecopolis. Dengan demikian, kelak kawasan di Kota
Malang akan menjadi rujukan wisata utama bagi wisatawan domestik maupun manca
negara untuk mengundang bemostalgia di Kota Malang yang penuh kenangan

Anda mungkin juga menyukai