Coba kita simak pemberitaan di media beberapa waktu yang lalu (pada saat
menyambut kedantangan SAUM) di kota Bertuah. Banyak pembangunan ruko tidak
sesuai Perda, penerapan sumur resapan tidak diindahkan, pembangunan pos-pos
polisi dan jembatan di atas sungai kota tidak mengantongi izin dan tiga halte bus
Sarana Angkutan Umum Masal (SAUM) yang tidak memiliki izin dan sebagainya.
Pembangunan kota yang berlangsung sepotong-sepotong tanpa koordinasi
menyeluruh semacam ini, bila tidak dibenahi memang tak pelak lagi akan
menghadirkan kondisi kota yang menyengsarakan bagi penduduknya.
Sungai Siak yang semula mengalir jernih dan mengemban fungsi sebagai
salah satu sumber kehidupan pendudukan dan makhluk hidup lainnya, tidak lagi bisa
melanjutkan fungsinya karena kadar pencemaran yang melampaui ambang batas.
Tidak hanya partikel CO2, Pb tetapi juga partikel-partikel berbahaya lainnya.
Anehnya, Perusahaan daerah Air Minum (PDAM) masih mengambil sumber air yang
digunakan warga untuk minum, mandi, mencuci dan sebagainya dari air sungai yang
mulai tercemar. Hutan yang semula menjadi cadangan untuk menampung peresapan
air tanah sudah berubah menjadi perumahan yang penuh beton dan memangkas
rerimbunan pepohonan. Taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak
tersedia, bermetamorfosis menjadi bangunan pertokoan dan perkantoran yang
menambah padat dan sumpek wajah perkotaan. Alun-alun yang merupakan paru-paru
kota dan menjadi lambang kebanggaan dan jati diri penduduk, terpaksa merelakan
diriya untuk diubah menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan.
Kita harus jujur, adanya berbagai permasalahan yang muncul diperkotaan itu,
bila diteliti sebenarnya merupakan efek samping dari perkembangan Kota Pekanbaru
itu sendiri yang tidak terkendali. Hal inilah, sebenarnya yang seharusnya kita sadari
bersama. Kita tidak mungkin dapat mengelak dari proses perkembangan kota ini.
Tapi, di sini yang harus sama-sama kita pikirkan adalah bagaimana caranya kita dapat
mengeliminir segala efek negatif dari perkembangan sebuah kota itu, sehingga
akhirnya eksistensi dan citra sebuah kota dapat dipertahankan keberadaannya.
Menyikapi adanya pertumbuhan sebuah kota ini, padahal jauh-jauh hari Doxiadis,
telah meramalkan bahwa kota-kota yang ada di dunia ini, termasuk di Pekanbaru akan
tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin kuat dan sulit dikendalikan. Kota
(polis) akan menjadi metropolis (kota raya), kemudian megapolis (kota mega), lalu
menjadi ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan
kota mayat (necropolis).
Paling tidak ada empat penyebab pokok yang menurut Prof. Ir. Budiharjo. MSc
beriuran paling besar terhadap keberantakan wajah dan tata ruang perkotaan di
Indonesia. Pertama, adanya kesenjangan antara perencanaan kota yang dwi-matra
dengan perancangan arsitektur yang tri-matra. Perancangan kawasan perkotaan
(urban design) masih merupakan benda aneh di negara kita. Kedua, membengkaknya
pengaruh kendaraan bermotor (khususnya mobil pribadi) dalam jaringan kegiatan
perkotaan. Pejalan kaki dan pelangganan kendaraan umum masih dilihat sebagai
warga negara kelas dua. Ketiga, curahan perhatian yang terlalu ditekankan pada aspek
keuntungan ekonomi dan kecanggihan tenologi dengan melecehkan manfaat sosial
atau kepentingan masyarakat banyak, khususnya pada pembangunan fasilitas
komersial oleh pihak swasta. Keempat, lemahnya aparat dan mekanisme kontrol
pembangunan, atau memang sengaja dibikin tidak jelas aturan permainan dan
sanksinya, saya kurang begitu paham.
Menyadari gejala perkotaan yang meruyak semacam ini, Peter’ Hall mengajukan
perencanaan humanopolis, yaitu kota yang lembut dan manusiawi, dengan
menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-
wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antara manusia dan lingkungan
binaannya secara lebih akrab. Penciptaan ruang perkotaan yang bersifat publik,
dengan jaringan pedestrian atau pejalan kaki yang terstruktur, seyogyanya lebih
digalakkan.
Kehadiran bangunan-bangunan tinggi yang serba cerdas di Pekanbaru dengan
segenap perangkapnya mekanikal dan elektrikalnya, hendaklah dimanusiawikan
terutama pada lantai-lantai bawahnya dengan peralatan terbuka ataupun pedestrian
mal yang dilengkapi dengan perabot seperti bangku, monumen, jam, lampu hias,
gardu telepon, kaki lima, air mancur (ke bawah) atau air muncrat (ke atas) dan lain-
lain.
Ruang-ruang perkotaan yang pribadi, sepatutnya saling dihubungkan satu sama lain
agar terjalin menjadi satu kesatuan degan ruang perkotaan yang bersifat sosial. Ruang
sosial itulah yang akan menjadi perekat bagi tumbuhnya rasa kebersamaan dan
kekentalan komunitas perkotaan.*