Anda di halaman 1dari 12

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1. Good Dairy Farming Practice

Good Dairy Farming Practice adalah tatalaksana peternakan sapi perah

yang meliputi segala aktivitas teknis dan ekonomis dalam hal pemeliharaan

sehari-hari seperti reproduksi, cara dan sistem pemberian pakan, sanitasi, serta

pencegahan dan pengobatan penyakit. Direktorat Jenderal Peternakan

menerbitkan metode identifikasi faktor-faktor penentu teknis sapi perah (impact

point) tahun 1983. Faktor-faktor penentu teknis merupakan tolak ukur dalam

menilai tingkat tatalaksana peternakan sapi perah. Standarisasi impact point yang

diterbitkan Ditjennak terdiri dari tiga aspek tatalaksana: tatalaksan reproduksi,

tatalaksana pakan, dan tatalaksana pemeliharaan sehari-hari.

Organisasi pangan dunia juga menerbitkan standarisasi tatalaksana usaha

peternakan sapi perah dalam Guide to Good Dairy Farming Practice edisi

pertama terbit tahun 2004 dan edisi kedua terbit tahun 2011. Edisi pertama

membahas aspek pakan, pemerahaan, kesehatan ternak, kesejahteraan ternak, dan

lingkungan. Edisi kedua juga membahas lima aspek tersebut dan satu aspek

tambahan yaitu manajemen sosial ekonomi. Aspek-aspek GDFP bila dilaksanakan

dengan baik tingkat keuntungan peternak akan selalu dapat dipertahankan,

sebaliknya apabila aspek manajemen tersebut diabaikan atau kurang mendapat

perhatian, sekalipun menggunakan sapi yang unggul dan mendapat bahan

makanan yang berkualitas baik, tingkat produksi akan tetap rendah atau tingkat
11

keuntungan tetap sedikit (rendah). Keberhasilan dalam usaha peternakan sapi

perah erat kaitannya dengan baik buruknya tatalaksana peternakan yang

dijalankan oleh peternak (Makin, 2011).

2.2. Aspek-aspek Good Dairy Farming Practice

2.2.1. Reproduksi Ternak

Sapi perah dara dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15 bulan

apabila sudah mencapai bobot 275 kg jika sapi dara sudah dikawinkan pada umur

tersebut maka pada umur 24-30 bulan sapi dara sudah beranak pertama (Sudono,

dkk. 2005). Umur beranak pertama kurang dari 2 tahun dapat menurunkan

produktivitas, baik untuk beranak lagi ataupun untuk berproduksi susu (Prihatin,

dkk. 2007). Sapi FH dan keturunannya dapat beranak pertama pada umur 24 bulan

asalkan manajemen pakan pada saat pedet dan dara dilakukan dengan baik

sehingga dapat dikawinkan lebih cepat (Atabany, 2012). Peningkatan umur

beranak pertama dari 21 bulan menjadi 24 bulan, produksi susu meningkat,

namun penundaan lebih dari 24 bulan produksi susu akan menurun (Nilforooshan

dan Edris 2004).

Ball dan Peters (2007) menyatakan, untuk menghindari kemungkinan

gangguan reproduksi dan mendapatkan angka konsepsi yang tinggi sebaiknya sapi

dikawinkan minimal 60 hari setelah melahirkan. Menurut Atabany (2012) Secara

histology, involusi benar-benar terjadi secara sempurna antara 50-60 hari setelah

beranak. Di KUD Sinar Jaya rata-rata induk sapi perah dikawinkan pada interval

32-188 hari atau rata-rata 77,82 ± 29,61 hari setelah beranak (Rasad, 2009).
12

Service per conception (S/C) adalah penilaian atau penghitungan jumlah

pelayanan (service) yang dibutuhkan oleh seekor betina untuk sampai terjadi

kebuntingan (Toelihere 1993). Service per conception yang tinggi dapat terjadi

karena manajemen perkawinan yang buruk. Nilai S/C sapi FH untuk beberapa

daerah di pulau Jawa memperlihatkan nilai lebih dari 2.0. Menurut Sarwiyono,

dkk. (1993) sapi FH di wilayah Jawa Timur mempunyai nilai S/C 2.5 di daerah

Pujon, 2.4 di daerah Batu dan 2.3 di daerah Karang Ploso.

Menurut Hafez (2000) dan Izquierdo, dkk (2008) selang beranak adalah

jangka waktu dari saat induk beranak hingga saat beranak berikutnya yaitu selama

12-13 bulan. Penelitian yang telah dilakukan di daerah Bogor dan Lembang

mendapatkan bahwa selang beranak yang lebih dari 365 hari akan mengurangi

pendapatan rata-rata Rp. 2.308,77/ekor/hari di daerah Bogor dan Rp.

3.333,92/ekor/hari di daerah Lembang (Siregar dan Rays, 1992). Selang beranak

(calving interval) yang optimal untuk sapi perah adalah 12-13 bulan (Sudono,

dkk. 2005).

2.2.2. Kesehatan Ternak

Hazard atau bahaya yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak

dapat terjadi pada setiap mata rantai (Bahri, 2008). Bahaya tersebut meliputi

penyakit ternak, penyakit yang ditularkan melalui pangan atau yang disebut food

borne diseases, dan kontaminan bahan kimia atau bahan toksik lainnya. Program

manejeman pada proses on farm penting diterapkan mengingat susu yang baik

berasal dari sapi yang sehat. Poin penting dalam manajemen kesehatan:
13

membentuk ternak yang resisten terhadap penyakit, mencegah masuknya penyakit

ke dalam peternakan, memiliki program kesehatan ternak yang efektif, dan

penggunaan obat-obatan serta bahan kimia secara aman (FAO dan IDF, 2011).

Biosecurity merupakan salah satu tindakan penting dan strategis guna

mencegah masuk atau keluarnya suatu penyakit oleh karena itu, biosecurity dapat

dikatakan sebagai investasi dalam sebuah peternakan. Biosecurity adalah kondisi

dan upaya untuk memutuskan rantai masuknya agen penyakit ke induk semang

dan atau untuk menjaga agen penyakit yang disimpan dan diisolasi dalam suatu

laboratorium tidak mengkontaminasi atau disalahgunakan. Elemen dasar

biosecurity antara lain isolasi, pembersihan, desinfeksi , dan pengaturan lalulintas.

Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk melakukan

tindakan pengamatan intensif dan tindakan perlakuan khusus terhadap sebagian

hewan selama masa karantina, serta menempatkan dan menangani ternak yang

mengalami gangguan kesehatan. Desinfeksi merupakan hal yang sangat penting

dalam menjaga biosecurity di area peternakan. Penggunaan disinfektan harus

memperhatikan kandungan disinfektan tersebut sehingga disinfektan tidak salah

penggunaannya dan sesuai dengan syarat disinfektan yang baik: aman, efektif, dan

efisien. Pengaturan lalu lintas dalam peternakan dapat berupa pembatasan

pengunjung dan kendaraan tamu agar tidak masuk ke dalam peternakan.

Herrick (1993) melaporkan bahwa pemakaian obat yang dilakukan oleh

peternak telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk ternak lebih

dari 60, sekitar 50% disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti pemberian obat.
14

Peternak sapi perah di Jawa Barat hanya 20% yang mengetahui jenis obat yang

digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi, dari 20% hanya 14,28%

yang mengetahui waktu henti obat dan sebanyak 8,16% tidak menjual susu ke

koperasi selama 2-5 hari setelah pengobatan hanya. (Kusmaningsih, dkk., 1996).

Residu antibiotik dalam pangan asal ternak dapat mengakibatkan reaksi alergi,

resistensi, dan kemungkinan keracunan (Bahri, 2008).

2.2.3. Higien Pemerahan

Manajemen pemerahan mencakup seluruh aspek mulai dari proses

memerah yang efektif dan efisien, menjamin kesehatan ternak, dan kualitas susu

yang dihasilkan (FAO dan IDF, 2011). Manajemen pemerahan terbagi menjadi

tiga tahap: manajeman pra pemerahan, pemerahan, dan pasca pemerahan.

Kegiatan pra pemerahan diantaranya penyediaan sarana dan peralatan

yang diperlukan untuk kegiatan memerah, pembersihan kandang, pembersihan

ambing menggunakan air hangat, dan pemerahan awal yaitu mengeluarkan 3-4

pancaran susu awal dari masing-masing puting. Hasil penelitian Pavicic, dkk.

(2008), bahwa pembersihan dan suci hama ambing serta puting sapi mempunyai

dampak yang signifikan dalam menurunkan jumlah bakteri patogen dan sel

somatik. Menurut Handayani dan Purwanti (2010), jumlah sel somatik dan

kandungan bakteri dapat dijadikan indikator kesehatan ambing. Suci hama ambing

dan puting sebelum pemerahan juga secara signifikan dapat menurunkan infeksi

bakteri stapilococus dan coliform (Gleeson, dkk, 2009).


15

Pada peternakan sapi perah rakyat pemerahan dilakukan secara manual

menggunakan tangan. Pemerah harus mengikuti peraturan dasar higien

diantaranya pemerah menggunakan pakaian khusus memerah (wearpack) yang

bersih, menjaga tangan tetep bersih dan kering, dan memotong kuku secara teratur

(FAO dan IDF, 2011). Hasil penelitian Handayani dan Purwanti (2010), tangan

pemerah dapat berperan sebagai kontaminan dengan pada ditemukannya S. aureus

dan koliform. Forsythe dan Hayes (1998) juga menjelaskan bahwa di bawah kuku

manusia dapat ditemukan bakteri patogen sampai 107 CFU/cm2, dengan demikian

mencuci tangan dengan sabun sebelum memerah merupakan suatu keharusan.

Kegiatan pemerahan meliputi proses memerah sapi yang memperhatikan

jarak, waktu, dan metode pemerahan. Pemerahan harus berada dalam selang

waktu yang dianjurkan yaitu 12 dan 12 jam atau 9 dan 15 jam. Pemerahan harus

dilakukan secara rutin dan teratur.

Kegiatan-kegiatan setelah pemerahan meliputi desinfeksi puting,

menyaring susu menggunakan kain yang higienis, dan menyetor susu ke TPK.

Diping adalah perlakuan pasca pemerahan dengan cara mencelupkan larutan

desinfektan pada puting sapi dengan tujuan untuk mencegah masuknya bakteri

dari luar. Desinfektan yang digunakan dapat menutup saluran-saluran susu pada

puting agar tidak terkontaminasi bakteri dari udara sekitar yang dapat

menyebabkan turunnya kualitas susu dan menyebabkan terjadinya mastitis.


16

2.2.4. Nutrisi (Pakan dan Air)

Nutrisi (pakan dan air) harus mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan

kontinuitas guna menunjang keberhasilan suatu usaha peternakan. Kuantitas

menjamin banyak sedikitnya pakan untuk ternak sesuai kebutuhannya, kualitas

merupakan baik buruknya pengaruh pakan terhadap ternak dan kontinuitas

menunjukkan kesinambungan ada tidaknya pakan untuk ternak. Pakan yang

diberikan harus memenuhi kebutuhan ternak akan nutrien, palatabel, ekonomis,

dan baik untuk kesehatan ternak.

Hal yang harus diperhatikan dalam penyediaan hijauan adalah aplikasi

penggunaan pupuk guna menunjuang pertumbuhan dan perkembangan hijauan.

FAO dan IDF (2011) menyatakan bahwa penggunaan bahan kimia termasuk

pupuk harus sesuai rekomendasi pihak berwenang dan sebelum

mengaplikasikannya diharuskan membaca label serta cara penggunanya.

Hasil penelitian Indraningsih (2013), pada hijauan pakan ternak di lokasi

penelitian terdeteksi residu pestisida organokhorin sebesar 0,0711 mg/kg yang

terdiri dari lindan (0,0029 mg/kg), heptakhlor (0,0099 mg/kg) dan klorfirifos

(0,0071 mg/kg). Keberadaan residu pestisida organokhlorin pada pakan ternak

dapat mempengaruhi kualitas produk ternak baik berupa daging atau susu.

Kesulitan penyediaan hijauan makanan ternak dalam jumlah besar,

berkadar protein tinggi, mudah dibudidayakan, daya adaptasi tinggi, dan produksi

tinggi merupakan suatu masalah yang sering terjadi di daerah tropis terutama pada

musim kemarau (Suharlina, 2010). Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan


17

menggunakan hijauan lokal (Saragi, 2014). Bahan baku pakan lokal adalah setiap

bahan yang merupakan sumberdaya lokal Indonesia yang berpotensi untuk

dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Sukria dan Krisnan 2009). Limbah pertanian

dapat dikatakan sebagai bahan pakan hijauan lokal. Berdasarkan penelitian Saragi

(2014) di Kabupaten Bandung memiliki lima jenis limbah pertanian yang

berpotensi untuk dijadikan pakan ternak, yaitu jerami padi, jerami jagung, limbah

wortel, limbah kubis, dan limbah buncis.

Pemberian hijauan sekitar 10% dari bobot badan hanya mampu memenuhi

kebutuhan hidup pokok serta produksi susu sebanyak 3-4 liter/hari (Sutarno dan

Adiarto 2002). Penambahan konsentrat terutama pada sapi perah yang sedang

laktasi sangat penting karena diperlukan sebagai sumber energi dalam

mengoptimalkan produksi susu (Soeharsono dan Gunawan, 2013).

Konsentrat akan meningkatkan kecernaan ransum, meningkatkan dan

menjamin kesinambungan produksi susu dalam jangka panjang. Sumber utama

konsentrat yang lazim diberikan pada sapi perah di daerah sentra produksi adalah

yang diproduksi oleh koperasi susu yang umumnya berbahan dasar sisa hasil

pertanian dan agroindustri dengan harga yang relatif murah dengan nilai nutrisi

yang bervariasi. Pakan yang seimbang adalah pakan dengan kandungan nutrisi

dalam jumlah dan proporsi yang memenuhi kebutuhan fisiologis, reproduksi dan

produksi. Pemberian pakan yang sesuai kebutuhan diharapkan mampu memenuhi

kebutuhan pakan yg seimbang tanpa menyebabkan gangguan pada ternak dengan

biaya yang lebih efisien.


18

2.2.5. Kesejahteraan Ternak

Kesejahteraan ternak atau yang lebih dikenal dengan istilah animal

welfare adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peternakan sapi perah. Prinsip

dasar kesejahteraan ternak disebut dengan five freedoms, diantaranya :

1). Bebas dari rasa lapar dan haus. Sapi perah yang dipelihara harus cukup

tersedia pakan dan air yang mampu memenuhi kebutuhan.

2). Bebas dari rasa tidak nyaman. Temperatur dan kelembaban sesuai untuk

hidup, terlindung dan secara fisik nyaman untuk bergerak dan beristirahat.

3). Bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit. Program pencegahan penyakit

baik infeksi ataupun non infeksi, pengamatan dini terhadap tingkah laku

tidak normal, dan melakukan diagnosis yang cepat dalam usaha mengatasi

cedera dan sakit.

4). Bebas dari rasa takut dan stres. Selama pemeliharaan ternak harus terjamin

kenyamanannya artinya dijamin tidak menyababkan cekaman dan

ketakutan yang menimbulkan penderitaan psikologis.

5). Bebas untuk mengekspresikan tingkah laku alamiah. Ruang yang cukup

memberikan kesempatan bagi ternak untuk mengekspresikan pola perilaku

normal sebagai wujud kenyamanan hidup.

Kesejahteraan ternak adalah kondisi ternak yang dipelihara dalam

lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan fisik dan fisiologis. Penerapan

kesejahteraan ternak pada peternakan sapi perah harus memperhatikan: pekerja,

pakan dan air, kandang dan peralatan, manajemen peternakan, dan manajemen
19

kesehatan (IDF, 2008). Peternak atau orang yang bekerja pada suatu peternakan

harus memiliki skill yang terlatih dan memiliki kemampuan dasar : membedakan

kondisi sapi yang sehat atau tidak, memahami arti dari perubahan tingkah laku

ternak, mengimplementasikan menajemen kesehatan dengan baik, dan

mengetahui waktu pengobatan (FAO dan IDF, 2011).

2.2.6. Lingkungan

Peternakan sapi perah di Indonesia sebagian besar di kelola oleh

peternakan rakyat yang dalam pemeliharaannya lebih mementingkan

produktivitas ternak dengan mengesampingkan aspek ekologis. Peternakan

berdampak pada seluruh aspek lingkungan, seperti udara, lahan dan tanah, air,

perubahan iklim dan keanekaragaman hayati baik secara langsung ataupun tidak

langsung (FAO, 2006).

Tahun 2006, FAO mengeluarkan laporan berjudul Livestock’s Long

Shadow. Berdasarkan laporan tersebut, total penggunaan lahan dunia 30%

digunakan untuk peternakan dan dari total lahan agriculture 70% diantaranya

untuk lahan peternakan. Subsektor peternakan menggunakan air sebanyak 8% dari

total persediaan air global 7% diantaranya digunakan untuk iragasi tanaman pakan

ternak dan 1% lainnya untuk tatalaksana pemeliharaan sehari-hari. Subsektor

peternakan juga merupakan sumber pencemaran terhadap air. Sumber utama

pencemaran tersebut berasal dari limbah ternak, antibiotik dan hormon, bahan

kimia, pupuk dan pestisida yang digunakan untuk pakan hijauan.


20

Industri peternakan menyumbang 18% GRK berupa karbondioksida

(CO2), metana (CH4), dan dinitro oksida (N2O). Gas Rumah Kaca yang dihasilkan

oleh peternakan jauh lebih besar dari sumbangan gas rumah kaca

(karbondioksida) dari seluruh moda transportasi di dunia yang sebesar 13,5%.

Menurut Herawati (2012), aspek yang mempengaruhi besar kecilnya emisi gas

adalah budidaya ternak, mencakup perkandangan, pemberian pakan, sanitasi dan

pemanfaatan kotoran. Pemanfaatan limbah ternak selain mengurangi dampak

terhadap lingkungan juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Hasil

penelitian Herawati (2012), kesadaran peternak dalam pemanfaatan potensi

sumberdaya di sekitar usaha peternakannya dapat membantu mitigasi gas rumah

kaca dan mendapatkan keuntungan ekonomi dalam bentuk pemanfaatan biogas

dan pupuk organik.

2.2.7. Manajemen Sosial – Ekonomi

Usaha peternakan sapi perah harus memberikan manfaat baik dari segi

ekonomi ataupun dari segi sosial. Menurut FAO dan IDF (2011) social

responsible dan economically sustainable merupakan bagian integral dari GDFP.

Keduanya membahas dua resiko dalam menjalankan usaha sapi perah yaitu

Sumber Daya Manusia (SDM) dan manajeman keuangan. Kedua elemen tersebut

harus dijalankan secara seimbang dan berkesinambungan, dalam hal ini suatu

usaha yang menghasilkan keuntungan secara ekonomi juga harus memberikan

manfaat untuk kepentingan masyarakat luas.


21

Prinsip dasar social responsibillity adalah bahwa sebuah organisasi bisnis

memiliki tanggung jawab untuk memberikan dampak positif pada berbagai

kelompok masyarakat (Bitsch, 2011). Fokus utama social responsibillity dalam

GDFP terlatak pada pekerja/staf. Penggunaan SDM harus memperhatikan hukum

yang berlaku, diantaranya beban kerja yang sesuai, tidak adanya eksploitasi (anak

dibawah umur), keamanan dalam kerja harus terjamin, dan kesejahteraan serta

produktivitas seorang staf selalu ditingkatkkan.

Economically Sustainable mengandung arti bahwa setiap usaha sapi perah

dari segi ekonomi menguntungkan dan keuntungan tersebut harus meningkat

secara berkesinambungan. Manajemen keuangan yang baik dinilai dapat

memberikan dampak yang baik pula bagi keuntungan usaha sapi perah. Membuat

anggaran adalah hal mendasar dari manajeman keuangan, hal tersebut dapat

mencegah pembelian hal-hal yang diluar kebutuhan.

Anda mungkin juga menyukai