Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PROMOSI KESEHATAN

“PERAN ADVOKASI DAN KEMITRAAN DALAM PENANGGULANGAN


MASALAH SAMPAH”

OLEH

NAMA : INDRI MELANIE MESAH

NIM :1807010040

KELAS :E

SEMESTER :IV

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa karena atas bimbingan dan
penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “ Peran Advokasi dan
Kemitraan dalam Penanggulangan Masalah Sampah”. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah promosi kesehatan.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak sekali


kekurangan. Untuk itu saran dan masukan dari pembaca senantiasa penulis harapkan.

Kupang, 4 maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….i

DAFTAR ISI……………………………………………………………..ii

BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………1

A. Latar Belakang………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah……………………………………………..1
C. Tujuan………………………………………………………....1
BAB II : PEMBAHASAN………………………………………………..3
A. Advokasi………………………………………………………3
B. Kemitraaan…………………………………………………….8
C. Pemberdayaan Masyarakat……………………………………11
D. Masalah Sampah………………………………………………11
BAB III : PENUTUP……………………………………………………..20
A. Kesimpulan……………………………………………………20
B. Saran…………………………………………………………..20
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah sampah sampai saat ini merupakan persoalan nasional yang
belum memiliki pemecahan optimal bahkan cenderung menjadi masalah yang
tetaplah menjadi masalah setiap tahunnya. Penanganan dan pengelolaan
sampah masih lemah, salah satunya dikarenakan kebijakan atau program
pengelolaannya yang kurang terintegrasi serta kurangnya dukungan dan peran
serta masyarakat (baik dunia usaha maupun masyarakat umum). Dalam
mendukung tercapainya lingkungan yang bersih dan bebas dari sampah, di
perlukan kerja sama dari segala pihak bukan saja pemerintah dan masyarakat
tetapi juga dari sektor swasta, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain.
Advokasi, kemitraan dan pemberdayaan masyarakat merupakan 3 strategi
utama untuk mencapai tujuan promosi kesehatan dalam hal ini
penanggulangan sampah Kegiatan advokasi kepada pihak-pihak yang
memiliki kekuasaan di lakukan untuk mendapat dukungan berupa kepastian
hukum dan penyediaan sarana-prasarana. Terjalinnya hubungan kemitraan
antar berbagai sektor di harapkan mampu mewujudkan lingkungan yang
bersih dan bebas dari sampah serta adanya dukungan masyarakat yang di
lakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat tentunya menjadi penentu
tercapainya upaya promosi kesehatan yang di lakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari advokasi, kemitraan, pemberdayaan masyarakat dan
masalah sampah?
2. Bagaimana cara atau strategi advokasi, kemitraan dan pemberdayaan
masyarakat itu dilakukan ?
3. Apa peran dari advokasi dan kemitraan dalam promosi kesehatan
khususnya dalam upaya penanggulangan sampah?
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian dari advokasi, kemitraan, pemberdayaan
masyarakat dan masalah sampah
2. Untuk memahami cara atau strategi advokasi, kemitraan dan
pemberdayaan masyarakat itu dilakukan

1
3. Untuk memahami peran dari advokasi dan kemitraan dalam promosi
kesehatan khususnya dalam upaya penanggulangan sampah

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Advokasi
1. Definisi Advokasi
Advokasi adalah upaya mendekati, mendampingi, dan mempengaruhi
para pembuat kebijakan secara bijak, sehingga mereka sepakat untuk
member dukungan terhadap pembangunan kesehatan. Advokasi
merupakan upaya pendekatan (approach) atau proses yang strategis dan
terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak terkait
(stake holders). Advokasi cenderung berfokus pada perubahan besar-
besaran dalam kebijakan, program, dan lingkungan serta memobilisasi
sumber daya dan pendapat untuk mendukungnya. Target advokasi
cenderung kepada pembuat keputusan, pembuat kebijakan, manajer
program, dan lebih umum mereka yang berada dalam posisi untuk
mempengaruhi tindakan yang mempengaruhi banyak orang secara
bersamaan (Rice, 1999, hal. 2).
Advokasi telah diakui sebagai salah satu dari tiga strategi utama untuk
mencapai tujuan promosi kesehatan, yang lainnya adalah pemberdayaan
dan mediasi (WHO, 1986). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1995)
menggambarkan advokasi untuk kesehatan sebagai 'kombinasi tindakan
individu dan sosial yang dirancang untuk mendapatkan komitmen politik,
dukungan kebijakan, penerimaan sosial dan dukungan sistem untuk tujuan
atau program kesehatan tertentu.

2. Tujuan Advokasi
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007), tujuan
advokasi adalah:
a. Tujuan umum
Diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upaya kesehatan, baik
berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, keikutsertaan
dalam kegiatan maupun berbagai bentuk hal lainnya sesuai dengan
keadaan dan usaha.
b. Tujuan khusus
 Adanya pengenalan atau kesadaran
 Adanya ketertarikan atau peminatan atau tanpa penolakan

3
 Adanya kemauan atau kepedulian atau kesanggupan untuk
membantu dan menerima perubahan
 Adanya tindakan, perbuatan, kegiatan,yang nyata (yang
diperlukan)
 Adanya kelanjutan kegiatan
3. Sasaran dan pelaku advokasi
Sasaran advokasi adalah berbagai pihak yang diharapkan dapat
memberikan dukungan terhadap upaya kesehatan, khususnya para
pengambil keputusan dan penentu kebijakan di pemerintahan, lembaga
perwakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan
rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra
dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan
pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau
swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan
rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra
dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan
pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau
swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan
rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra
dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan
pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau
swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan
rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra
dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan
pengusaha atau swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau
swasta, wakilan rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, wakilan
rakyat, mitra dikalangan pengusaha atau swasta, badan penyandang dana,
media massa, o dana, media massa, orgrgananisisasi profesi, organisasi
kemasyarakatan, LSM, tokoh masyarakat yang berpengaruh serta
kelompok potensial lainnya dimasyarakat. Semuanya itu bukan hanya
berpotensi mendukung tetapi juga menentang hal-hal yang berlawanan
atau yang merugikan kesehatan.
Pelaku advokasi kesehatan adalah siapa saja yang peduli terhadap
upaya kesehatan dan memandang perlu adanya mitra untuk mendukung
upaya tersebut. Pelaku advokasi dapat berasal dari kalangan pemerintah,
swasta, perguruan tinggi, organisasi profesi, LSM dan tokoh lain yang
berpengaruh. Advokasi dilakukan untuk menjalin kemitraan sehingga

4
terbentuk kemitraan antara sektor kesehatan dengan pemerintah, ataupun
dengan para pengusaha maupun LSM. Melalui kemitraan ini diharapkan
adanya dukungan dari pihak yang di advokasi bagi program kesehatan
baik berupa dana, sarana prasarana, maupun bantuan teknis lainnya.
4. Prinsip advokasi
a. Realitas
Memilih isu dan agenda yang realistis, jangan buang waktu untuk
sesuatu yang tidak mungkin tercapai
b. Sistematis
Advokasi memerlukan perencanaan yang akurat, kemas informasi
semenarik mungkin dan libatkan media yang efektif.
c. Taksis
Advokasi tidak mungkin bekerja sendiri, jalin koalisi dan aliansi
terhadap sekutu. Sekutu dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan
dan saling percaya.
d. Strategis
Kita dapat melakukan perubahan bagi masyarakat dengan membuat
strategi jitu agar advokasi berjalan sukses
e. Berani
Jadikan isu dan strategi sebagai motor gerakan dan tetaplah berpijak
pada agenda bersama
5. Pendekatan dalam advokasi
a. Melibatkan para pemimpin
b. Bekerja sama dengan media massa
c. Membangun kemitraan
d. Mobilisasi massa
e. Membangun kapasitas
6. Langkah advokasi
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) terdapat lima
langkah kegiatan advokasi, antara lain:
a. Mengidentifikasi dan analisis masalah atau isi yang memerlukan
advokasi.
b. Identifikasi dan analisis kelompok sasaran
c. Siapkan dan kemas data informasi
d. Rencanakan teknik dan acara kegiatan operasional
e. Laksanakan kegiatan, pantau evaluasi serta laukan tindak lanjut

5
7. Kegiatan advokasi
Kegiatan advokasi diharapkan untuk mendapatkan komitmen dan
dukungan/ bentuk dukungan dan komitmen tersebut seperti peraturan,
undang-undang, surat keputusan, sarana, prasarana, anggaran ksehatan dan
sebagainya. Untuk mencapaj tujuan tersebut, kegiatan advokasi dilakukan
dengan cara:
a. Lobi politik
Berbicara secara informal menyampailkan informasi atau masalah
kesehatan dan program yang akan dilaksanakan dengan pejabat atau tokoh
politik. Lobi dilakukan dengan membawa dan menunjukkan data yang
akurat.
b. Seminar atau presentasi
Mengadakan seminar dan presentasi masalah kesehatan dan program
yang akan dilaksanakan disajikan secara menarik dengan gambar atau
grafik, sekaligus diskusi untuk membahas masalah tersebut secara
bersama.
c. Media
Menggunakan media massa seperti media cetak dan elektronik
untuk menyajikan masalah kesehatan secara lisan, gambar, atau bentuk
artikel, berita, menyampaikan pendapat dan sebagainya. Media massa
dapat memengaruhi masyarakat serta menjadi tekanan bagi penentu
kebijakan dan pengambil keputusan.
Contoh saat sosialisaikan kesehatan reproduksi anti_AIDS dengan
membagikan kondom gratis melalui perguruan tinggi "masuk kampus"
berbagai reaksi muncul protes, kecaman dan demonstrasi yang tidak
menyetujui kebijakan tersebut. Sehingga program tersebut diberhentikan.
d. Perkumpulan asosiasi peminat
Asosiasi atau perkumpulan orang yang mempunyai minat dan
keterkaitan terhadap masalah tertentu atau perkumpulan profesi luga
merupakan bentuk advokasi. Contoh kelompok masyarakat peduli AIDS
adalah kumpulan orang yang peduli terhadap masalah AIDS yang melanda
masyarakat. Kemudian kelompok ini melakukan kegiatan untuk
menaggulangi AIDS. Kegiatan ini disamping partisipasi menangani
masalah AIDS tetapi juga untuk menarik perhatian pejabat dan pembuat
kebijakan agar peduli terhadap AIDS.

8. lndikator Hasil Advokasi

6
Kegiatan advokasi diharapkan menghasilkan suatu produk yaitu
komitmen politik dan dukungan kebijakan dari penentu kebijakan atau
pembuat keputusan. Oleh karena advokasi dalam bentuk kegiatan maka
melalui: input - proses - output (keluaran). Penilaian advokasi didasarkan
pada indikator yang jelas. Indikator komponen evaluasi berikut ini:
a. lnput
Kegiatan advokasi sangat ditentukan oleh orang yang
melakukan advokasi (advokator) serta bahan, informasi yang
membantu atau mendukung argumen advokasi. Indikator evaluasi
terhadap advocator atau tenaga kesehatan yang melakukan
advokasi, antara lain:
 Berapa kali petugas kesehatan, pejabat telah melakukan
pelatihan tentang komunikasi, pelatihan tentang advokasi dan
hubungan antar manusia.
 Dinas kesehatan pusat dan daerah berkewajiban memfasilitasi
petugas kesehatan melalui pelatihan advokasi.
 Data hasil studi, survoilence atau laporan merupakan
pendukung informasi atau program yang akan dilaksanakan.
Sehingga data merupakan ind ikator evaluasi input dalam
advokasi.
b. Proses
Proses merupakan kegiatan untuk melakukan advokasi oleh
sebab itu evaluasi proses advokasi harus sesuai dengan bentuk
kegiatan advokasi tersebut. Indikator proses advokasi antara lain:
 Berapa kali dilakukan lobi, kepada siapa lobi tersebut
dllakukan.
 Berapa kali menghadiri rapat atau pertemuan yang membahas
masaiah dan progam pembangunan termasuk program
kesehatan, siapa yang mengadakan rapat tersebut.
 Berapa kali seminar atau lokakarya tentang masalah dan
program kesehatan diadakan, siapa yang diundang dalam
acara tersebut.
 Berapa kali pejabat rnenghadiri seminar atau lokakarya yang
diadakan sektor lain, dan membahas masalah dan program
pembangunan yang terkait dengan kesehatan.

7
 Seberapa sering media lokal termasuk media elektronik
membahas atau mengeluarkan artikel tentang kesehatan yang
terkait dengan masalah kesehatan.
c. Output
Output menghasilkan perangkat lunak (software) dan
perangkat keras (hardware). Indikator dalam perangkat lunak:
 Undang-undang
 Peraturan pemerintah
 Keputusan presiden
 Keputusan menteri atau dirjen
 Peraturan daerah
 Surat keputusan gubernur, bupati, camat

Indikator output dalam bentuk perangkat keras antara lain:

 Meningkatnya dana atau anggaran untuk pembangunan


kesehatan
 Tersedianya atau dibangunnya fasilitas atau sarana pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik dan
sebagainya
 Dibangunnya atau tersedianya sarana dan prasarana
kesehatan, misalnya air bersih, jamban keluarga atau jamban
umum, tempat sampah, dan sebagainya.
 Dilengkapinya peralatan kesehatan, seperti laboratorium,
peralatan pemeriksaan fisik dan sebagainya.

B. Kemitraan
1. Definisi
Di lndonesia istilah kemitraan atau partnership masih relatif baru,
namun demikian praktiknya di masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak
zaman dahulu. Sejak nenek moyang kita telah mengenal istilah gotong
royong yang sebenarnya esensinya kemitraan. Robert Davies, ketua
eksekutif "The Prince of Woles Bussines Leader Forum" merumuskan,
"Partnership is a formal cross sector relationship between individuals,
groups or organization who".
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan
adalah suatu kerjasama formal antara individu, kelompok atau organisasi
untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut

8
ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan orang yang terlibat dalam
kemitraan, tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan yang telah
dibuat dan saling berbagi baik dalam risiko maupun keuntungan yang
diperoleh.
Dari definisi ini terdapat tiga kata kunci dalam kemitraan, yaitu:
 Kerjasama antar kelompok, organisasi dan Individu
 Bersama mencapai tujuan tertentu (yang disepakati)
 Saling menanggung risiko dan keuntungan.

Pentingnya kemitraan atau pdrtnership inj mulai digencarkan oleh


WHO pada konferensi internasional promosi kesehatan yang keempat
diJakarta pada tahun 1997. Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan
upaya kerjasama yang saling memberikan manfaat. Hubungan kerja sama
tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila juga didasar dengan
kesetaraan.

Mengingat kemitraan adalah bentuk kerjasama atau aliansi, maka


setiap pihak yang terlibat didalamnya harus ada kerelaan dtri untuk
bekerja sama dan melepaskan kepentingan orang yang terlibat dalam
kemitraan kemudian membangun kepentingan bersama. Oleh karena itu
membangun kemitraan harus didasarkan pada:

a. Kesamaan perhatian (common interest) atau kepentingan.


b. Saling mempercayai dan menghormati.
c. Tujuan yang jelas dan terukur.
d. Kesediaan berkorban baik waktu, tenaga maupun sumber daya
yang lain.
2. Prinsip Kemitraan
Dalam membangun kemitraan ada tiga prinsip kunci yang perlu
dipahami oleh masing anggota kemitraan, yaitu:
a. Equity atau Persamaan.
Individu atau organisasi yang telah bersedia menjalin
kemitraanharus merasa "duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Oleh sebab itu didalam forum kemitraan asas demokrasi harus
diutamakan, tidak boleh satu anggota memaksakan kehendak
kepada yang lain karena merasa lebih tinggi dan tidak ada
dominasi terhadap yang lain.

9
b. Transparancy atau keterbukaan.
Keterbukaan maksudnya adalah apa yang menjadi kekuatan
atau kelebihan atau apa yang menjadi kekurangan atau kelemahan
tiap anggota harus diketahui oleh anggota Iainnya. Demikian pula
berbagai sumber daya yang dimiliki oleh anggota yang satu harus
diketahui oleh anggota yang lain. Bukan untuk menyombongkan
yang satu terhadap yang lainnya, tetapi lebih untuk saling
memahami satu dengan yang lain sehingga tidak ada rasa saling
mencurigai. Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan rasa
saling melengkapi dan saling membantu diantara anggota.
c. Mutual benefit atau saling menguntungkan
Menguntungkan disini bukan selalu diartikan dengan materi
ataupun uang tetapi lebih kepada non materi. Saling
menguntungkan disini lebih dilihat dari kebersamaan atau
sinergitas dalam mencapai tujuan bersama.
3. Landasan dalam kemitraan
Tujuh landasan kemitraan yaitu:
a. Saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi (kaitan dengan
struktur)
b. Saling memahami kemampuan anggota (kapasitas unit atau
organisasi)
c. Saling menghubungi secara proaktif (linkage)
d. Saling mendekati, bukan hanya secara fisik tetapi juBa pikiran dan
perasaan (empati, proximity)
e. Saling terbuka, dalam arti kesediaan untuk dibantu dan membantu
(openness )
f. Saling mendorong atau mendukung kegiatan (syrergy)
g. Saling menghargai kenyataan/kemampuan pribadi (reword)
4. Pengembangan dalam Kemitraan
Enam langkah pengembangan, meliputi:
a. Penjajakan atau persiapan.
b. Penyamaan persepsi.
c. Pengaturan peran.
d. Komunikasi intensif
e. Melakukan kegiatan.
f. Melakukan pemantauan & penilaian.

10
C. Pemberdayaan masyarakat
1. Definisi pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan,
memampukan masyarakat, sehingga mempunyai kemampuan untuk hidup
mandiri.
2. Prinsip pemberdayaan masyarakat
a. Menumbuh kembangkan potensi masyarakat
b. Menumbuhkan atau mengembangkan peran serta masyarakat
dalam pembangunan kesehatan.
c. Mengembangkan royong dalam pembangunan pembangunan
kesehatan
d. Bekerja sama dengan masyarakat
e. Penyerahan pengambilan keputusan kepada masyarakat
f. Menggalang kemitraan dengan LSM dan organisasi
kemasyarakatan yang ada dimasyarakat
g. Promosi, pendidikan, dan pelatihan sebanyak mungkin
menggunakan dan memanfaatkan potensi setempat
h. Upaya dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak
i. Desentralisasi
3. Strategi pemberdayaan masyarakat
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan
b. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah disediakan oleh pemerintah
c. Mengembangkan berbagai cara untuk menggali dan memanfaatkan
sumber daya yang di miliki oleh masyarakat untuk pembangunan
kesehatan
d. Mengembangkan berbagai bentuk kegiatan pembangunan kesehatan
yang sesuai dengan kultur budaya masyarakat setempat
e. Mengembangkan manajemen sumber daya yang dimiliki masyarakat
secara terbuka(transparan)

D. Masalah Sampah
1. Definisi sampah
Pengertian sampah (UU No. 18 Tahun 2008) adalah sisa kegiatan sehari-
hari manusia dan/atau proses alam yang padat. Menurut Adibroto (2004:1),
“Sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang melainkan dapat diolah
menjadi produk baru. Sampah juga tidak perlu berkonotasi kotor dan bau bila

11
dikelola dengan baik.” Untuk mencapai kondisi masyarakat yangsehat dan
sejahtera dimasa yang akan datang, diperlukan adanya lingkungan
permukiman yang sehat. Dari aspek persampahan, maka kata sehat akan
berarti sebagai kondisi yang akan dicapai apabila sampah dapat dikelolah
secara baik sehingga bersih dari lingkungan permukiman dimana manusia
beraktifitas didalamnya. Sampah berasal dari rumah tangga, pertanian,
perkantoran, perusahaan, rumah sakit, pasar, dan sebagainya. Secara garis
besar sampah dibedakan menjadi: 1). Sampah organik/basah, contoh : sampah
dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah, sisa buah, dll. 2).
Sampah anorganik/kering, contoh : logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol,
dll yang tidak dapat mengalami pembusukkan secara alami. 3logam, besi,
kaleng, plastik, karet, botol, dll yang tidak dapat mengalami pembusukkan
secara alami. 3logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol, dll yang tidak dapat
mengalami pembusukkan secara alami. 3). Sampah berbahaya, contoh :
baterai, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas, dll.
Persoalan lingkungan yang selau menjadi isu besar dihampir seluruh
wilayah perkotaan adalah masalah sampah(Febriane dalam Kompas, 2004).
Laju pertumbuhan ekonomi di kota dimungkinkan menjadi daya tarik luar
biasa bagi penduduk untuk melakukan urbanisasi. Akibatnya jumlah
penduduk di kota semakin membengkak, konsumsi masyarakat perkotaan
melonjak, yang pada akhirnya akan mengakibatkan jumlah sampah juga ikut
meningkat.
Pertambahan jumlah sampah yang tidak diimbangi dengan pengelolaan
yang ramah lingkungan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan dan
pencemaran lingkungan (Tuti Kustiah, 2005). Lebih jauh lagi, penanganan
sampah yang tidak komprehensif akan memicu terjadinya masalah sosial,
seperti amuk massa, bentrok antar warga, pemblokiran fasilitas TPA, dll.
2. Bahaya dan dampak pencemaran lingkungan akibat sampah
Sampah sangatlah berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan
sekitar. Limbah dan sampah berpotensi besar dalam pencemaran lingkungan
karena menyebabkan memenyebabkan menurunnya kualitas lingkungan hidp
serta merusak ekosistem alaminya. Dampak negatif dari menurunnya kualitas
lingkungan hidup, baik karena terjadi pencemaran atau kerusakan sumber
daya alam adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, menurunnya nilai
estetika, kerugian ekonomi dan terganggunya sistem alami. Dampak negatif
terhadap kesehatan masyarakat akan dirasakan dalam kurun waktu yang
panjang.

12
3. Peran advokasi dan kemitraan dalam penanggulangan sampah
Dengan berlakunya UU No 18/2008 tentang pengelolaan sampah.
Substansi penting dari UU ini adalah semua pemerintah kota/kabupaten harus
mengubah sistem pembuangan sampah menjadi sistem pengelolaan sampah.
Sampah yang biasanya diangkut dan dibuang ke TPA, saat ini harus ada
pengelolaan sampah baik di tingkat hulu maupun hilir.
Penanganan masalah sampah tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak.
Harus ada kesadaran, dukungan dan partisipasi serta kerja sama dari semua
pihak.
Peran advokasi dan kemitraan dalam penanggulangan sampah akan
menghasilkan beberapa hal penting antara lain.
a. Pengelolaan sampah secara komprehensif dari hulu ke hilir
Mengelola sampah dari hulu dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri
dengan melakukan pemilahan/ pemisahan sampah berdasarkan jenisnya.
Pemilahan tersebut misalnya dengan membagi apakah sampah tersebut
sampah kering, sampah basah, atau sampah plastik dan botol. Hal ini tentunya
akan memudahkan petugas kebersihan untuk memberikan perlakuan yang
lebih cepat dibanding harus dilakukan pemilahan sendiri oleh petugas
kebersihan. Konsepsi 3 R yaitu (1) reduce, sebisa mungkin kita mengurangi
penggunaan barang yang menghasilkan sampah, (2) re-use, menggunakan
kembali barang yang biasa dibuang dengan menghindari barang-barang yang
disposable (sekali pakai buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu
pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah dan yang ke (3) recycle yaitu
mendaur ulang. Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian
dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke
sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan
industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk
memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk
semua jenis dan alur sampah, dimana dengan pemilahan tersebut, maka akan
dengan mudah bagi pemulung atau pengusaha daur ulang menemukan sampah
yang dapat didaur-ulangkan. Selain itu pembuangan sampah yang tercampur
dapat merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa
dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari
bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat
menghancurkan kegunaan dari keduanya.
Selanjutnya, TP (Tempat Penampungan) sampah perlu tersedia dan
tersebar dititik-titik yang memudahkan tidak hanya masyarakat, tetapi juga

13
petugas kebersihan untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah tersebut ke
TPA setiap harinya. Pemerintah Daerah memang perlu untuk memberlakukan
jam-jam tertentu pembuangan sampah yang dapat dilakukan oleh masyarakat,
biasanya diberlakukan pada Pukul 18.00 hingga Pukul 06.00. Masyarakat
tidak diperkenankan lagi untuk membuang sampah di luar jam tersebut,
bahkan langsung akan dikenakan denda/ sanksi. Jika hal ini berjalan dengan
baik, maka dapat dipastikan TP akan bersih di atas jam 8.00 pagi sehingga
akan terlihat pemandangan daerah yang bersih, rapi, dan tertata. Di sisi lain,
tidak akan didapati mobil pengangkut sampah yang menimbulkan bau yang
menyengat dan menganggu pernafasan hilir mudik dengan intensitas yang
sering di jalan.
Dari TP sampah tersebut kemudian diangkut ke TPA. TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) merupakan hal mendasar yang perlu dipersiapkan dengan
baik. Diperlukan pemilihan tempat TPA yang jauh dari pemukiman penduduk
serta luas TPA yang memenuhi standar yang baik. Oleh Sudradjat (2007)
dikatakan, bahwa prasyarat penetapan suatu lokasi TPA yaitu :
 Lokasi TPA ditempatkan jauh dari pemukiman penduduk
 Jalan untuk mencapai lokasi dapat ditempuh tanpa melalui pemukiman
atau kampung. Dihindarkan jalan sempit yang di kiri-kanannya adalah
pemukiman penduduk karena baunya akan langsung terjebak di dalam
kamar-kamar di setiap rumah penduduk
 Diupayakan jalan menuju TPA dibuat jalur sendiri dengan batas aman
yang tidak boleh dibuat pemukiman selebar 100 m kiri-kanan jalan.
Mulai jarak 1 km mendekati lokasi TPA di kiri-kanan jalan dijadikan
tempat pemukiman pemulung. Hal ini untuk pengamanan dari protes
masyarakat, mendorong bisnis di sekitar TPA, dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat miskin
 TPA sebaiknya dialokasikan mengarah ke hilir, tetapi tidak terlalu
dekat ke pantai untuk menghindari pencemaran perairan. Minimal
jarak ke pantai adalah 10 km. Selain itu, TPA sebaiknya mendekati
aliran sungai untuk menetralisir polutan sampah melalui pencucian
dan pembilasan oleh air sungai sepanjang aliran sungai menuju pantai
 TPA tidak boleh dialokasikan di daerah yang dingin karena akan
menghambat proses perombakan bahan organic
 TPA bisa ditempatkan di tengah-tengah hutan (HTI) atau perkebunan
dan di hulu gunung. Tujuannya agar TPA jauh dari lokasi pemukiman
karena limbah buangannya akan mencemari sumur penduduk. TPA di

14
lokasi tersebut bisa difungsikan sebagai sumber pupuk organik
pengganti pupuk kandang untuk areal hutan atau perkebunan
Selanjutnya di TPA, sampah-sampah yang terkumpul dilakukan
pemilahan antara bahan organik (dilakukan komposting), bahan untuk
daur ulang (diambil oleh pemulung), serta bahan non daur ulang
(dibakar atau dikembalikan ke tanah, seperti batuan, tanah, keranjang
bambu, dll). Sampah tersebut di olah dengan prinsip, produk habis,
polusi rendah, aman dan sehat, pemilihan teknologi yang tepat,
menghasilkan produk yang dapat dijual dan habis terjual, serta
memberikan dampak positif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi
masyarakat.
Dari sisi kelembagaan pun untuk urusan kebersihan daerah, sebaiknya
pemerintah daerah membentuk perusahaan daerah (Perusda) atau dapat
memitrakan urusan kebersihan tersebut pada pihak ke-3 (swasta). Jika hal ini
diwujudkan dapat dipastikan pengelolaan persampahan akan semakin baik
dan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).Lebih lanjut, dalam
perencanaan pembangunan daerah pun perlu dilakukan integrasi kebijakan
yang mengarah pada penataan dan pengelolaan sampah yang terintegrasi.
Integrasi kebijakan ini, dapat dilakukan melalui penataan kawasan
pemukiman penduduk yang dilengkapi dengan tempat penampungan sampah,
kaitannya dengan tata ruang wilayahdan pihak pengembang perumahan;
relokasi penduduk yang tinggal disepanjang bantaran sungai, dimana dapat
berpotensi menghambat aliran sungai serta membuang sampah disungai;
pengembangan sosial-ekonomi masyarakat yang bekerja dengan
mengandalkan sampah; kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) terkait dengan limbah yang dihasilkan; pemanfaatan dan
pengelolaan sumber energi sampah; pengkajian dan pengembangan
pengelolaan/ manajemen sampah; membangun kerjasama dan kemitraan
kepada seluruh pihak dalam pengelolaan sampah; serta kebijakan pengawasan
pengelolaan sampah yang perlu diintensifkan diseluruh sektor.
b. Pentingnya sektor usaha dalam penanganan sampah
Kemasan yang sukar terurai tersebut dan paling banyak digunakan
disektor swasta yaitupenggunaan kantung/ kemasan plastik. Kantung/
kemasan plastik dalam dunia usaha adalah hal yang lazim dan paling banyak
dihabiskan pada sektor ini. Namun, perlu disadari bahwa plastik adalah
sampah yang sukar diuraikan dalam tanah serta dapat menjadi bahan yang

15
berbahaya jika dibakar. Oleh karenanya, penggunaannya saat ini justru akan
terus semakin menambah jumlah sampah yang ada.
Mewujudkan progam Reduce, Re-use dan Recycle (3R) di sektor
bisnis sangatlah mudah untuk dilakukan dan merupakan pilar utamanya.
Sektor bisnis justru dapat mengupayakan menghasilkan produk yang ramah
lingkungan, gampang didaur ulang, serta dapat digunakan secara
berkesinambungan oleh masyarakat. Pemerintah kemudian menginformasikan
secara intensif kepada masyarakat untuk menggunakan dan mengkonsumsi
produk-produk yang mendukung program 3R tersebut. Selanjutnya
pemerintah juga diharapkan dapat melakukan penilaian dan pemberian
penghargaan kepada perusahaan-perusahaan yang mampu menjalankan
program 3R tersebut secara konsisten setiap tahunnya. Jika hal ini dapat
berjalan dengan baik, sektor usaha lainnya akan terdorong dan termotivasi
untuk hanya menghasilkan produk dengan label 3R tersebut. Sektor usaha
dalam mendukung pengelolaan sampah, juga dapat melalui penyediaan tempat
pembuangan sampah yang telah dipilah berdasarkan jenisnya serta memasang
ketentuan untuk selalu menjaga kebersihan dan membuang sampah pada
tempatnya. Untuk sektor usaha yang bergerak dibidang produksi, pengelolaan
limbah sisa produksi yang dihasilkan perlu menjadi perhatian serius dan
dilakukan upaya netralisir terhadap limbah tersebut sebelum dibuang ke aliran
sungai (tidak berbahaya bagi manusia maupun lingkungan). Hal ini penting
sebab, limbah sisa produksi biasanya mengandung zat berbahaya yang dapat
menyebabkan penyakit, terganggunya kesehatan, bahkan untuk tingkat yang
lebih parah dapat menyebabkan kematian. Dalam hal lain, pihak swasta yang
memiliki teknologi penanganan sampah yang baik dan modern, ataukah
memiliki kemampuan dan minat untuk mengelola sampah menjadi sesuatu
yang bernilai ekonomis dapat melakukan kemitraan atau kerjasama dengan
pemerintah daerah,sehingga diharapkan penanganan sampah akan semakin
optimal, terdapat keuntungan PAD yang bisa diraih, dan secara tidak langsung
membantu pemerintah dalam mewujudkan daerah yang bersih.
c. Ketentuan hukum pengelolaan sampah secara proporsional, efektif dan
efisien
Kebijakan pemerintah mengenai sampah selama ini dinilai masyarakat
kurang memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang
berkesinambungan (sustainable). Pengelolaan sampah di berbagai daerah di
Indonesia hanya mengacu pada paradigma pengelolaan yang instan dengan
pendekatan akhir (end of-pipe). Pengelolaan sampah hanya dilakukan dengan

16
pembuangan ke tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa melalui proses reduce,
reuse, dan recycle (3R). Sampah yang ada dan berasal dari masyakat tidak
pernah diproses dan dilakukan kegiatan pemanfaatan secara ekonomis
terhadap sampah yang muncul. Akibatnya dapat kita saksikan bahwa sampah
yang menggunung pada akhirnya tidak dapat ditangani. Ketika tumpukan
sampah sudah sangat banyak dan tidak dapat tertangani maka langkah yang
sering diambil oleh sebagian besar daerah di Indonesia adalah dengan
memindahkan TPA ke tempat lain.
UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengolahan Sampah secara tegas
telah membagi tugas dan wewenang pemerintahan mulai dari pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten/ kota dimana pada
intinya diupayakan agar terselenggara pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan. Adapun tugas bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah terdiri atas upaya: a). Menumbuhkembangkan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah; b).
Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan
penanganan sampah; c). Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan
upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah; d). Melaksanakan
pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana
pengelolaan sampah; e). Mendorong dan memfasilitasi pengembangan
manfaat hasil pengolahan sampah; f). Memfasilitasi penerapan teknologi
spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi
dan menangani sampah; g). Melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan
sampah.
Pada dasarnya pengelolaan sampah mengandung arti, pemerintah
menetapkan kebijakan, Pemda melaksanakannya dikarenakan pemerintah
daerah lah yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Berpegang pada
hal ini, kewajiban Pemerintah menyiapkan juga budget khusus bagi
pengelolaan sampah secara nasional termasuk mengkoordinasikan
pengelolaan sampah secara nasional, agar tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan antar departemen dan lain-lain. Khusus mengenai kewajiban
Pemerintah Daerah, yang paling penting untuk lebih ditekankan adalah
penyiapan budget yang cukup bagi pengadaan sarana dan prasarana
pengelolaan sampah. Budgeting harus tergambar jelas dalam setiap APBD,
sehingga peruntukannya bisa dipantau oleh masyarakat. Pemerintah juga
berkewajiban mengelola sampah secara teratur dan terjadwal, sehingga

17
masyarakat bisa memantau kinerja mereka. Adapun kewajiban pelaku usaha
yang lupa disebut adalah internalisasi biaya pengelolaan sampah, padahal
dicantumkan dalam pembahasan mengenai asas-asal pengelolaan. Hal itu
perlu secara tegas dicantumkan, agar setiap pelaku usaha memasukan budget
khusus dalam setiap kegiatan usaha mereka. Dengan adanya kebijakan
desentralisasi, daerah diharapkan dapat menghasilkan Peraturan Daerah yang
tegas dan bersifat mengikat baik yang mengatur besaran retribusi yang
disesuaikan dengan volume sampah yang dihasilkan, jenis pelayanan
persampahan yang diberikan, waktu pelayanan, hingga sampai kepada sanksi
yang diberikan. Dari hal ini diharapkan dapat disikapi secara disiplin oleh
seluruh warga dan juga dapat tetap memperhatikan nilai dan kualitas
lingkungan hidup. Selain itu pemerintah daerah juga dapat membuat
kebijakan berupa mekanisme pengelolaan sampah yang lebih dapat
mengakomodasi partisipasi masyarakat, karena sebagaimana diketahui,
masyarakat merupakan produsen sampah yang terbesar.
Terkait dengan hubungannya dengan masyarakat dan sektor usaha,
pemerintah diharuskan memberikan insentif kepada setiap orang yang
melakukan pengurangan sampah; dan disinsentif kepada setiap orang yang
tidak melakukan pengurangan sampah. Insentif dapat diberikan misalnya
kepada produsen yang menggunakan bahan produksi yang dapat atau mudah
diurai oleh proses alam dan ramah lingkungan, sedangkan disinsentif
dikenakan misalnya kepada produsen yang menggunakan bahan produksi
yang sulit diurai oleh proses alam, diguna ulang, atau didaur ulang, serta tidak
ramah terhadap lingkungan.
d. Peningkatan Partisipasi masyarakat
Tentunya peran penting masyarakat sebagai bagian dari good
governance sangat diperlukan. Tingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi
ketentuan yang telah ditetapkan terkait pengelolaan sampah semisal,
membuang sampah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, melakukan
pemisahan terhadap jenis sampah, dan mengupayakan menggunakan kembali
bahan yang telah ada, seperti kantung plastik/ kertas, botol, atau kemasan lain
perlu dioptimalkan guna mendukung program 3R (reduce, recycle, dan re-use)
yang tengah digalakkan secara bersama-sama.
Mengubah perilaku masyarakat memang tidak mudah dan memerlukan
waktu yang tidak cepat. Terutama bagi masyarakat dengan pendidikan serta
tingkat ekonomi yang rendah. Masyarakat yang terbiasa membuang sampah di
sungai serta seenaknya menumpuk sampah tidak pada tempatnya merupakan

18
sebagian kendala yang dihadapi. Namun, upaya penyadaran tetap harus
dijalankan kepada masyarakat melalui sosialisasi dampak dan bahaya yang
ditimbulkan atas sampah tersebut. Selain itu, pemberian sanksi yang tegas
melalui Peraturan Daerah yang dikeluarkan akan sangat membantu upaya
penyadaran tersebut lebih cepat terwujud.
Banyak contoh wujud partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah. Pengelolaan sampah ini kemudian dikenal dengan pengelolaan
sampah berbasis komunitas (Pada intinya konsep ini berupaya melibatkan
secara optimal masyarakat dalam melakukan penanganan masalah sampah).
Masyarakat juga membuat asosiasi – atau yang dikenal sebagai Advanced
Locality Management (ALM) atau Manajemen untuk Memajukan Masyarakat
Setempat – dimana para anggotanya sepakat untuk menjaga kebersihan
lingkungan dan memilah sampah yang dibuang menjadi jenis-jenis sampah
yang biodegradable dan non-biodegradable untuk pengomposan dan daur
ulang.Masyarakat tentunya ingin melihat daerahnya bersih, rapi, dan sehat.
Oleh karenanya, peran masyarakat tidak hanya sampai pada penanganan dan
pengurangan sampah, tetapi lebih jauh sebagai pengawas di lingkungannya
untuk menjaga lingkungannnya senantiasa bebas dari sampah. Pengawasan
publik inipun akan menjadikan pelanggaran dan penyimpangan terhadap
pengelolaan sampah dapat diminimalkan bahkan kalau bisa tidak akan terjadi.
Pengawasan publik merupakan jalan untuk memudahkan pemerintah
menjalankan tugasnya dalam menata daerah menjadi lebih bersih, tertata,
sehat, dan rapi sehingga upaya meraih penghargaan sebagai daerah terbersih
melalui perolehan Piala Adipura akan dengan mudah diraih.
Ketentuan peraturan perundangan juga telah mengatur bahwa
masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah melalui: 1).Pemberian usul,
pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; 2).
Perumusan kebijakan pengelolaan sampah; dan/atau 3). Pemberian saran dan
pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan.

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masalah sampah merupakan masalah yang sangat kompleks.
Pengelolaan dan penanganan sampah yang buruk dapat menyebabkan terjadi
pencemaran dan kerusakan lingkungan. Bila hal tersebut terjadi maka akan
timbul berbagai masalah baru seperti terjadinya wabah penyakit di mana,
terganggu ekosistem dan menurunnya kualitas tanah. Perlu adanya upaya
penanggulangan sampah yang baik serta memberi hasil yang efektif dan
efisien. Penanggulangan masalah sampah merupakan tanggung jawab semua
pihak untuk itu di perlukan adanya peran dari kegiatan advokasi dan
kemitraan untuk mendukung tercapainya program penanggulangan sampah.
B. SARAN
Diharapkan agar semua pihak dapat berpartisipasi aktif serta memiliki
kesadaran diri yang tinggi untuk mendukung terciptanya lingkungan yang
bersih dan bebas dari sampah baik dari sektor pemerintah, swasta, pendidik
organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat itu sendiri.

20
DAFTAR PUTAKA
Estacio E, V. 2017. Effective Partnership in Community-Based Health
Promotion: Lesson from the Health Literacy Partnership. Journal of
Environmental Research and Public Health. Vol(14). Hal (12)

Carlisle, S. 2019. Health Promotion Advocacy and Health Inequalities: A


Conceptual Framework. Health Promotion Internasional. Vol (15). Hal (369-
376)

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://
media.neliti.com/media/publications/90702-ID-analisis-strategi-pengelolaan-
sampah-
ter.pdf&ved=2ahUKEwiitvmetf7nAhUBheYKHViLDxsQFjABegQIBBAL&
usg=AOvVaw1Gq9FEkrwsbtKDilYIDDX6

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://
www.samarinda.lan.go.id/jba/index.php/jba/article/download/
45/56&ved=2ahUKEwiitvmetf7nAhUBheYKHViLDxsQFjANegQICRAB&u
sg=AOvVaw1YBdUUnljSCxVNVO_sUefm

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://
repository.uinsu.ac.id/932/5/
Bab4%2520advokasi.pdf&ved=2ahUKEwiA86C-
kYDoAhXCwjgGHe7dD0wQFjACegQIBRAB&usg=AOvVaw3E20VmdutB
ywGEFKPt9YV8

21

Anda mungkin juga menyukai