Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU

ANALISIS PERILAKU KESEHATAN MENGGUNAKAN TEORI


SNEHANDU B. KARR, WHO DAN TRANSTHEORITICAL
MODEL (STAGES OF CHANGE)

OLEH :
Nama : Indri Melanie Mesah
NIM : 1807010040
Kelas :E
Semester :2

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019

1. Teori perubahan perilaku menurut Snehandu B. Karr


Contoh kasus: Menggunakan kondom untuk perlindungan diri dari HIV
A. Pengertian Kondom
Kondom adalah salah satu metode kontrasepsi yang bekerja dengan menghalangi
masuknya sperma ke dalam vagina. Mulanya kondom adalah metode kontrasepsi
yang dikembangkan untuk digunakan oleh pria, namun kini juga terdapat kondom
wanita. Untuk membantu mencegah penularan IMS termasuk penyebaran HIV,
kondom harus digunakan dengan benar dan konsisten. Jika hanya digunakan pada
saat tertentu atau penggunaan yang tidak benar dan rusak, maka kondom tidak
dapat melindungi. Kondom tidak dapat melindungi sepenuhnya karena penyakit
seperti herpes dan infeksi lainnya seperti kondiloma akuminata bisa menular
melalui area luar yang tidak terlindungi oleh kondom.
Promosi kondom merupakan salah satu kegiatan pokok program pencegahan dan
pemberantasan IMS di Indonesia. Hal ini sejalan dengan salah satu upaya
pencegahan IMS menurut Population Council (1997) yaitu melalui pemasaran
sosial, sehingga kondom mudah dijangkau. Ketersediaan kondom yang
berkualitas, murah dan mudah didapat merupakan salah satu faktor yang
memungkinkan peningkatan pemakaian kondom.
Perubahan perilaku menggunakan kondom untuk perlindungan dari HIV
menurut teori Snehandu B. Karr.
1. Adanya niat seseorang untuk bertindak berhubungan dengan kesehatan
dan perawatan kesehatan ( behavior intention)
Para pelaku seks bebas memiliki niat untuk menggunakan kondom
agar dapat terhindar dari bahaya HIV karena mungkin mereka telah
mendapatkan informasi mengenai bahaya HIV dan cara pencegahannya
sehingga timbul niat pada mereka untuk mau berubah dan mau
menggunakan kondom ketika berhubungan seks.
2. Dukungan sosial (social support)
Adanya dukungan dari keluarga, sahabat, ataupun keluarga terdekat
lain yang dapat mendorong para pelaku seks bebas untuk berubah dan
memakai kondom ketika berhubungan seks sehingga dengan dukungan
tersebut mereka dapat dengan yakin untuk mau berkomitmen berubah
dari yang sebelumnya tidak menggunakan kondom, mulai untuk
menggunakan kondom ketika berhubungan seks agar terhindar dari
penularan HIV melalui hubungan seks.
3. Ada tidaknya informasi kesehatan dan fasilitas kesehatan.
Para pelaku seks bebas akan dengan yakin berubah juga ketika
mereka menerima informasi tentang kesehatan reproduksi dan cara
mencegah berbagai penyakit baik menular maupun tidak menular
termasuk HIV/AIDS dari petugas kesehatan yang notabene ahli dalam
bidang tersebut sehingga mereka dapat berkonsultasi sehingga informasi
tentang cara mencegah HIV dengan penggunaan kondom dapat diperoleh
secara baik dan benar tentang bahaya yang dapat di timbulkan jika tidak
menggunakan kondom bagi mereka yang sering bergonta-ganti pasangan
4. Personal Autonomi(hak pribadi seseorang untuk mengambil keputusan
atau tindakan.
Dengan informasi yang telah diperoleh dari berbagai sumber atau
pun melalui pengalaman pribadi dari individu sendiri sehingga berani
untuk mengambil tindakan menggunakan kondom untuk melindungi diri
dari penularan HIV. Dengan pengetahuan dan pengalaman itu juga yang
dapat mendorong individu untuk mau berkomitmen secara tegas untuk
berubah dan mengambil keputusan atau tindakan sesuai dengan hak
pribadinya untuk mau berubah.
5. Action Situation.
Seseorang akan berubah bukan hanya karena memiliki niat tetapi
juga ada situasi yang memungkinkan atau mendorong individu untuk
berubah. Mungkin telah banyak terjadi kasus HIV/AIDS sehingga para
pelaku seks bebas bersikeras untuk mau berubah dan menggunakan
kondom agar tidak sampai tertular HIV ataupun sampai mengidap AIDS.

2. Teori perubahan perilaku menurut WHO


Contoh kasus: Perubahan Perilaku Untuk Menggunakan Jamban
A. Pengertian Jamban
Kotoran manusia (tinja) adalah segala benda atau zat yang dihasilkan
sebagai sisa metabolisme tubuh dan dipandang tidak berguna lagi sehingga
perlu dikeluarkan atau dibuang (Azwar, 1986). Dalam aspek kesehatan
lingkungan sisa metabolisme tubuh manusia berupa tinja dan air seni
merupakan bahan buangan yang harus diperhatikan, karena memiliki
karakteristik yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Lebih
dari 50 jenis infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun
mikroorganisme yang lain yang ditularkan dan bersumber pada tinja orang
sakit ke mulut orang lain. Untuk menghindari terjadinya penularan
penyakit yang bersumber pada tinja, maka diperlukan isolasi tinja yang
baik dan memenuhi syarat kesehatan (Kusnoputranto, 1997).
B. Jenis sarana jamban
Pembangunan sarana jamban sebagai alat isolasi tinja manusia dapat
dipengaruhi oleh kondisi geologi setempat, geografi wilayah, sosial
ekonomi masyarakat serta kebiasaan masyarakat setempat. Untuk itu
desain dan konstruksi jamban dapat berbeda-beda.
Jenis dan macam bentuk dan model Jamban/ WC/ kakus (Wagner dan
Leonix, 1958):
1. Kakus Cemplung
Adalah bentuk pembuangan kotoran manusia yang banyak dibangun dan
dipergunakan di daerah yang sulit untuk memperoleh air. Cara pembuangannya
adalah dengan membuat lubang penampungan tinja berada di bawah tempat
jongkok dan tidak menggunakan leher angsa. Apabila lubang penanpungan sudah
penuh, maka di timbun dengan tanah kemudian membuat di tempat yang baru. Di
tinjau dari segi penampungan tinja, kaskus cemplung termasuk mendekati
persyaratan untuk digunakan sebagai sarana pembuangan kotoran pada daerah
tertentu, walau dalam upaya mencegah pencemaran lingkungan dan penularan
penyakit masih belum sepenuhnya memenuhi persyaratan.
2. Kakus Cubluk Berair
Adalah bentuk pembuangan kotoran manusia yang jarang dibangun
dan dipergunakan di pedesaan karena memerlukan banyak air dan
pemeliharaan yang telaten. Cara pembangunannya adalah dibuat dari
konstruksi kedap air, sehingga dapat dibangun dekat rumah. Tempat
tinja selalu berisi air, sehingga tinja akan terurai dalam air kemudian
mengendap di bagian bawah dan air buangan dapat masuk kedalam
lubang peresapan. Keuntungannya adalah tidak mencemari air tanah,
tidak menimbulkan bau dan serangga tidak dapat masuk ke dalam
tangki, karena tangki terbuat dari beton yang rapat air. Sedangkan air
buangan dapat masuk ke dalam lubang peresapan
3. Kakus Angsa Latrine
Model jamban leher angsa adalah jamban yang bentuknya
melengkung mirip leher angsa yang banyak digunakan di seluruh
dunia. Toilet jenis ini bisa berbentuk wc jongkok dan wc duduk
tergantung selera. Wc ini dapat mencegah bau dan keluar masuk
binatang sehingga menjadi kakus yang paling baik dan sehat karena
disertai septic tank / sepiteng / penampung tinja yang aman dari
kontaminasi ke lingkungan sekitar dan jaraknya bisa disesuaikan
dengan situasi dan kondisi lokasi yang ada.
4. Kakus Plengsengan
Adalah tempat pembuangan tinja yang banyak digunakan di daerah
yang permukaan air tanahnya dalam serta jumlah air banyak. Cara
pembangunan seperti jenis ini, dimana tempat jongkok dihubungkan
dengan saluran miring ke lubang penampungan.
5. Tangki Septik
Bentuk pembuangan kotoran manusia atau jamban komponen
bangunannya terdiri dari tempat jongkok dan septik tank yang
berfungsi sebagai tempat penampungan kotoran manusia. Di dalam
septik tan, kotoran manusia yang bercampur dengan air buangan dari
kaskus mengalami proses penguraian selama satu sampai tiga hari
dan lama proses ini tergatung dari suhu dan kelembaban di dalam
septik tank.
Contoh kasus:
Perubahan perilaku untuk menggunakan jamban menurut teori WHO
1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling)
Seseorang mau berubah dan mulai menggunakan jamban karena dia telah
menerima atau mendapatkan informasi tentang keharusan menggunakan
jamban dan bahaya apa yang akan timbul akibat tidak menggunakan jamban
termasuk bahaya kesehatan yang akan timbul. Ada hubungan yang bermakna
antara pendidikan dengan pemanfaatan jamban sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Lapau (1980), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan,
makin besar presentase kepada keluarga atau wakilnya yang mengetahui
manfaat jamban.
2. Adanya orang penting sebagai referensi (personal reference)
Adanya panutan yang dapat mendorong individu untuk berubah dan
menggunakan jamban seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, ataupun
petugas kesehatan yang tinggal di sekitar mereka sehingga dapat menirunya
sebagai contoh. Di dalam masyarakat, dimana sikap paternalistik masih kuat,
maka perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan yang
pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat. Orang mau
membangun jamban keluarga, kalau tokoh masyarakatnya sudah lebih dulu
mempunyai jamban keluarga sendiri.
3.Adanya sumber-sumber daya
Untuk membuat jamban, pastinya dibutuhkan biaya, tenaga dan tempat
yang cukup untuk membuat sebuah jamban sehingga individu atau
masyarakat akan membuat jamban ketika ketiga komponen tersebut ada dan
tersedia. Ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan sarana PHBS
dengan praktik PHBS (yang salah satu indikatornya adalah kepemilikan
jamban keluarga). Hal tersebut terjadi bukan karena belum memahami akan
pentingnya menggunakan jamban keluarga, tetapi karena kurangnya
penghasilan yang didapat oleh kepala keluarga, yang hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya
sehingga untuk penyediaan jamban keluargabelum dapat terpenuhi dan pada
akhirnya berperilaku buang air besar di pinggir pantai ataupun di sungai.
4. Budaya (culture)
Masyarakat pedesaan memiliki kebiasaan BAB di pantai maupun di
sungai dan buang air besar sembarangan merupakan perilaku yang masih
sering dilakukan masyarakat pedesaan. Kebiasaan ini disebabkan tidak
tersedianya sarana sanitasi berupa jamban. Penyediaan sarana pembuangan
kotoran manusia (jamban) adalah bagian dari usaha sanitasi yang cukup
penting peranannya, khususnya dalam usaha pencegahan penularan penyakit
saluran pencernaan. Ditinjau dari sudut kesehatan, lingkungan, maka
pembuangan kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan,
terutama dalam mencemari tanah dan sumber air (Soeparmin, 2003).

3. Teori perubahan Perilaku Menurut Transtheoritical Model


Contoh kasus: Perubahan perilaku ibu untuk menjadi akseptor KB
A. Pengertian Keluarga Berencana
Menurut WHO (World Health Organisation) expert committe 1970:
Keluarga berencana adalah tindakan yang membantu pasangansuami istri
untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan,mendapatkan kelahiran
yang memang sangat diinginkan, mengatur interval di antara kehamilan,
mengontrol waktu saat kelahirandalam hubungan dengan umur suami istri
serta menentukan jumlahanak dalam keluarga. Secara umum KB dapat
diartikan sebagai suatu usaha yangmengatur banyaknya kehamilan
sedemikian rupa sehingga berdampakpositif bagi ibu, bayi, ayah, serta
keluarganya yang bersangkutan tidakakan menimbulkan kerugian sebagai
akibat langsung dari kehamilantersebut. Dari kajian selama ini, terlalu dekat
jarak antar kelahiran dapat membahayakan bayi yang akan dilahirkan karena
belum sempurna kondisi fisik alat kandungan ibu (Maternal Depletion
Syndrome). Oleh karena itu, diperlukan jarak optimal antara antar dua
kelahiran anak,yaitu minimal 3 tahun dan maksimal 5-6 tahun.
B. Tujuan
Gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi memiliki tujuan :
1. Tujuan demografi yaitu mencegah terjadinya ledakan penduduk dengan
menekan laju pertumbuhan penduduk (LPP) dan hal initentunya akan
diikuti dengan menurunkan angka kelahiran atau TFR (Total Fertility
Rate) dari 2,87 menjadi 2,69 per wanita. Pertambahan penduduk yang
tidak terkendalikan akanmengakibatkan kesengsaraan dan menurunkan
sumber daya alamserta banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dan
kesenjangan penyediaan bahan pangan dibandingkan jumlah penduduk.
Hal ini diperkuat dengan teori Malthus (1766-1834) yang menyatakan
bahwa pertumbuhan manusia cenderung mengikuti deret ukur, sedangkan
pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung.
2. Mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan, menundakehamilan
anak pertama dan menjarangkan kehamilan setelahkelahiran anak pertama
serta menghentikan kehamilan bila dirasakan anak telah cukup.
3. Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi pasangan yang telahmenikah
lebih dari satu tahun tetapi belum juga mempunyaiketurunan, hal ini
memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia.
4. Married Conseling atau nasehat perkawinan bagi remaja ataupasangan
yang akan menikah dengan harapan bahwa pasangan akanmempunyai
pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi dalammembentuk
keluarga yang bahagia dan berkualitas.
5. Tujuan akhir KB adalah tercapainya NKKBS (Norma KeluargaKecil
Bahagia dan Sejahtera) dan membentuk keluarga berkualitas,yaitu
keluarga yang harmonis, sehat, tercukupi sandang, pangan dan papan,
pendidikan dan produktif dari segi ekonomi.
C. Sasaran
1. Sasaran langsung :
Pasangan usia subur (PUS) yaitu pasangan yang wanitanya berusiaantara 15-49
tahun, karena kelompok ini merupakan pasangan yangaktif melakukan hubungan
seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan kehamilan. PUS
diharapkan secara bertahap menjadipeserta KB yang aktif lestari sehingga
memberi efek langsungpenurunan fertilisasi.
2. Sasaran tidak langsung :
Kelompok remaja usia 15-19 tahun, remaja ini memang bukan merupakan
target untuk menggunakan alat kontrasepsi secaralangsung tetapi
merupakan kelompok yang berisiko untuk melakukan hubungan seksual
akibat telah berfungsinya alat-alat reproduksinya. Sehingga program KB
disini lebih berupaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya
kehamilan yangtidak diinginkan serta kejadian aborsi.
3. Organisasi-organisasi, lembaga kemasyarakatan serta instansi pemerintah
maupun swasta serta tokoh masyarakat dan pemukaagama yang
diharapkan dapat memberikan dukungan dalammelembagakan NKKBS.

Perubahan perilaku Ibu untuk menjadi akseptor KB menurut Transtheoritical


Model:
1.Precontemplation atau adanya niat dalam hal ini ibh untuk mau menjadi
akseptor KB.
•Consciousness Raising; Ibu mengetahui dampak yang di timbulkan
apabila tidak melaksanakan KB
•Dramatic Relief; sang ibu pernah mendapatkan informasi tentang KB
baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya dari teman, sahabat,
keluarga ataupun dari media cetak ataupun media elektronik.
•Environmental Reevaluation; ibu mengetahui dampak dari tidak
melaksanakan KB bagi kelangsungan hidup keluarga maupun untuk
lingkungan sekitar dan terlebih dampak yang di timbulkan bagi negara
2. Contemplation
• Self Reevaluation; Sang ibu mengetahui dampak yang akan terjadi
apabila tidak KB baik untuk kesehatan ibu sendiri khususnya kesehatan
reproduksi dan dampak bagi anak-anaknya serta dampak bagi kelangsungan
hidup keluarganya kedepan jika ia memiliki banyak anak sehingga ibu sadar
untuk mau berubah
3. Preparation
•Self Liberation; dimana sang ibu berkomitmen secara tegas untuk mau
menjadi akseptor KB
4. Action atau tindakan nyata untuk berlaku positif dan berubah
• Contingensi Manajemen; Memberikan penghargaan kepada ibu-ibu
yang mau untuk menjadi akseptor KB dan mendorong ibu-ibu yang lain untuk
ikut melakukan KB
• Helping Relationships; Mulai bergaul dengan orang-orang yang dapat
mendukung ibu menjadi akseptor KB sehingga ibu tidak mendapat tekanan
• Counter Conditioning; Melakukan tindakan alternatif misalnya jika ibu
tidak menggunakan KB berupa alat kontrasepsi maka PUS dapat melakukan
KB alami
• Stimulus Control; Memberikan stimulasi/tanggapan/respon yang positif
terhadap ibu-ibu yang sudah menjadi akseptor KB dan respon negatif
terhadap ibu-ibu yang belum menjadi akseptor KB
5 Maintenance; Di mana ibu telah mampu secara konsisten untuk
melaksanakan KB
6. Termination
• Social Liberation; Memberikan dukungan terhadap ibu agar
melaksanakan KB walaupun terdapat tekanan dan hasrat untuk berhenti KB.

Anda mungkin juga menyukai