Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan Makalah

Wajib belajar sembilan tahun merupakan salah satu program yang


dicanangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional atau sekarang disebut
Kementerian Pendidikan Nasional. Program ini dilatar belakangi dari
munculnya program wajib belajar enam tahun pada tahun 1984. Kemudian
pada tahun 1994 melalui Inpres Nomor 1 tahun 1994 ditingkatkan menjadi
program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Hal ini berarti
bahwa setiap anak Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun diwajibkan
untuk mengikuti Pendidikan Dasar sembilan tahun. Program ini mewajibkan
setiap warga negara untuk bersekolah selama sembilan tahun pada jenjang
pendidikan dasar yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah
Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau
Madrasah Tsanawiyah (MTs). 

1.2 Masalah atau Topik Bahasan

1. Apakah wajib belajar sembilan tahun itu ?


2. Apa saja peran pemerintah dalam menuntaskan program wajib belajar
sembilan tahun ?
3. Siapa saja yang terlibat dalam penuntasan program wajib belajar sembilan
tahun ?
4. Bagaimanakah proses pendidikan dasar sembilan tahun dalam upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia warga Indonesia ?
5. Apakah upaya pemerintah dalam memberikan dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) dalam pendidikan dasar sembilan tahun sudah berjalan
dengan lancar ?
6. Mengapa penerapan sanksi terhadap pelanggar-pelanggar wajib belajar
sembilan tahun yang dianggap kurang efektif bagi masyarakat ?
 

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

1. Memahami pengertian dari wajib belajar sembilan tahun.


2. Mengetahui apa saja peran pemerintah dalam penuntasan program wajib
belajar sembilan tahun.
3. Mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penuntasan program wajib
belajar sembilan tahun.
4. Mendeskripsikan tentang pendidikan dasar sembilan tahun dalam
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
5. Mendeskripsikan tentang dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam
pendidikan dasar sembilan tahun.
6. Memahami tentang penerapan sanksi terhadap pelanggar wajib belajar
sembilan tahun, yang dianggap kurang efektif oleh sebagian kalangan
masyarakat.
BAB II

TEKS UTAMA

2.1 Pengertian dari Wajib Belajar Sembilan Tahun

Wajib belajar sembilan tahun merupakan salah satu program pendidikan


yang dicanangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional atau sekarang
disebut Kementerian Pendidikan Nasional. Program ini dilatar belakangi dari
munculnya Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1984.
Kemudian pada tahun 1994 melalui Inpres Nomor 1 tahun 1994, ditingkatkan
menjadi Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada pendidikan dasar
sembilan tahun. Jadi setiap anak Indonesia yang berumur 7 sampai 15 tahun
diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dasar sembilan tahun. Seperti yang
diketahui oleh masyarakat umum, pendidikan merupakan satu aspek penting
bagi pembangunan bangsa. Karena itu, hampir semua bangsa menempatkan
pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program
pembangunan nasional. Sumber daya manusia yang bermutu dan yang
merupakan produk pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan
suatu negara. Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara
nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan
nasional yang dimulai sejak Pelita IV. Pada hari Pendidikan Nasional tanggal
2 Mei 1984 secara resmi presiden Suharto mencanangkan dimulainya
pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar.

Pada tahap ini penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas pada
tingkat SD. Maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan
kepada anak-anak usia 7-12 tahun.

Dua kenyataan mendorong segera dilaksanakannya gerakan pendidikan wajib


belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak usia 7-12 tahun
yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat sekolah dasar,
pada tahun 1983 terdapat sekitar dua juta anak usia 7-12 tahun yang terlantar
dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Sedangkan pada saat
dicanangkannya pendidikan wajib belajar pada tahun 1984 masih terdapat
anak berusia 7-12 tahun sekitar kurang lebih 1,5 juta orang yang belum
bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya keinginan pemerintah untuk
memenuhi ketetapan GBHN yang telah mencantumkan rencana
penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978 maupun GBHN
1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mei 1984 dipandang
sebagai sembilan pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana
dan prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-
cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam
Pembukaan UUD 1945 segera dapat diwujudkan (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar, menjadi pendidikan wajib belajar
sembilan tahun dengan harapan terwujudnya pemerataan pendidikan dasar
SD/MI dan SMP/MTS yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk
daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-
Undang RI No: 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai berikut:

1. Setiap warga negara yang berusia enam tahun dapat mengikuti program
wajib belajar.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
3. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
4. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
 

Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk


memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan
menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah
dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar
pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mei 1994 pemerintah mencanangkan
program pendidikan wajib belajar sembilan tahun. lebih lanjut dikemukakan
bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan
pendidikan wajib belajar enam tahun menjadi sembilan tahun (Sri Hadjoko
Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74, 182). Pendidikan wajib belajar
sembilan tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic
education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan
dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan
orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti
pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan
kerja di Indonesia. Maksudnya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan
untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk
belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia
kerja (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).

Pelaksanaan pendidikan wajib belajar sembilan tahun telah diatur lebih luas
di dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi
hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan
juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5). Bagi warga negara yang memiliki kelainan
emosional, mental, intelektual, dan atau sosial serta warga negara yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh
pendidikan khusus. Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau
terbelakang berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3
dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib belajar sembilan tahun
bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa dipungut biaya (Arifin,
2003: 11).

Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami


bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar sembilan tahun di
Indonesia adalah: (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2) tidak ada
sanksi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri, dan (4)
keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin
meningkat.

Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan yang melatar


belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar sembilan tahun
bagi semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah:

1. Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992 hanya


berpendidikan sekolah dasar atau lebih rendah, yaitu mereka tidak tamat
sekolah dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan
dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura.
2. Dari sudut pandang kepentingan ekonomi, pendidikan, dasar sembilan
tahun merupakan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang
dapat memberi nilai tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan rata-rata pendidikan dasar sembilan tahun, diharapkan bagi
mereka dapat memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan
ekonomi secara beranekaragam (diversified).
3. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang
untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-
sektor ekonomi atau sektor-sektor industri.
4. Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia wajib belajar dari
enam tahun menjadi sembilan tahun akan memberikan kematangan yang
lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan. Dengan meningkatnya penguasaan kemampuan dan
keterampilan, akan memperbesar peluang yang lebih merata untuk
meningkatkan martabat, kesejahteraan, serta makna hidupnya.
5. Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar sembilan tahun, maka usia
minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun menjadi
15 tahun.
 

Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkannya program-


program pendidikan wajib belajar sembilan tahun sebagaimana yang
dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah
pada diri individu masyarakat itu sendiri mengenai penguasaan ilmu
pengetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan ekonomi,
peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya,
hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua.

Dengan demikian, diharapkan jumlah anak putus sekolah bisa diminimalisir


dan juga sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia serta penuntasan wajib belajar yang tidak hanya merupakan upaya
agar anak masuk ke sekolah, tetapi sekolah dengan sistem pembelajaran yang
berkualitas. Namun rendahnya partisipasi sebagian kelompok masyarakat
dalam mendukung wajib belajar sebagai akibat adanya hambatan geografis,
sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat mengakibatkan program ini
terhambat. Terkait dengan itu semua sebagai masyarakat yang baik, kita
harus ikut berpartisipasi atau ikut serta dalam mendukung wajib belajar
sembilan tahun ini. Karena program ini sangat baik untuk meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap masa depan generasi
penerus bangsa yang berkualitas serta upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa.

2.2 Peran Pemerintah dalam Penuntasan Program Wajib Belajar


Sembilan Tahun

Peran pemerintah dalam penuntasan program wajib belajar sembilan tahun


sangat aktif. Sebagai buktinya adalah :

1. Pemerintah mampu meningkatkan peran serta organisasi kemasyarakatan


dalam mensukseskan penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
2. Pemerintah mampu meningkatkan peran, fungsi dan kapasitas pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan dalam
penuntasan wajib belajar di daerah masing-masing.
3. Pemerintah mampu menurunkan angka putus sekolah.
4. Pemerintah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk
pendidikan dasar SD maupun SMP.
5. Pemerintah mampu melindungi siswa, guru dan perangkat kurikulum yang
berlaku serta menyediakan sarana dan prasarana.
2.3 Yang Terlibat dalam Penuntasan Program Wajib Belajar
Sembilan Tahun

Penuntasan Wajib Belajar Sembilan tahun adalah program nasional. Oleh


karena itu, untuk mensukseskan program ini, perlu kerjasama yang
menyeluruh antara lain :

1)      Pemerintah pusat (Mendiknas, Menko Kesra, Mendagri, Menkeu,


Menpan/ Ketua Bappenas, Menag, Mensos, Menteri Perikanan dan Kelautan,
Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian,
Menakertrans, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Kominfo, Meneg
Lingkungan Hidup, Meneg Pemberdayaan Perempuan, Meneg Pembangunan
Daerah Tertinggal, Meneg Pemuda dan Olah Raga, Meneg BUMN, Kepala
Badan Pusat Statistik.

2)      Pemerintah Propinsi (Dinas Pendidikan Provinsi).

3)      Pemerintah Kabupaten/Kota (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota).

4)      Pemerintah Dinas Pendidikan Kecamatan.


5)      Kelurahan.

Disamping itu masyarakat dan organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan,


seperti Dharma Wanita, PKK, Bhayangkara, Dharma Pertiwi dan lainnya yang
diharapkan tetap meningkatkan partisipasinya dalam penuntasan wajib
belajar sembilan tahun.

2.4 Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dalam Peningkatan Kualitas


Sumber Daya Manusia Warga Indonesia

Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara (the founding fathers) telah
memiliki komitmen untuk memenuhi hak asasi rakyatnya untuk memperoleh
pendidikan, seperti yang termaksud dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 mencantumkan tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa yang secara konstitusional menjelma ke dalam pasal 31 UUD 1945,
ayat (1) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran, sedang ayat (2) menegaskan kepada pemerintah untuk
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2,
maka berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional ditetapkan untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam, rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta
bertanggung jawab (Arifin, 2003:29).
Pendidikan nasional berfungsi sebagai alat utama untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat bangsa.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan indirect investment bagi proses
produksi dan direct investment bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia (human quality).

Pendidikan akan meningkatkan dan mempertinggi kualitas tenaga kerja,


sehingga memungkinkan tersedianya angkatan kerja yang lebih terampil,
handal dan sesuai dengan tuntutan pembangunan serta meningkatkan
produktivitas nasional (A. Daliinan, 1995:138, Adiwikata, 1988). Berbagai
penelitian di sejumlah negara maju telah membuktikan bahwa pendidikan
memiliki kontribusi yang sangat tinggi terhadap produktivitas nasional, dan
dapat meningkatkan pendapatan nasional (national income).

Sedangkan menurut Muhibbin Syah yang merujuk kepada pemikiran Jean


Piaget dan L. Kohlberg mengemukakan bahwa pendidikan dilihat dari sudut
psikososial merupakan upaya pengembangan sumber daya manusia melalui
proses hubungan interpersonal yang berlangsung dalam lingkungan
masyarakat, yang terorganisir dalam masyarakat pendidikan dan keluarga.
(Muhibbin Syah, 1995).
Pandangan yang hampir senada dikemukakan oleh Lawrence E. Shapiro
(1996), Daniel Goleman (1997), bahwa pendidikan berperan untuk
mengembangkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional, lalu ia
menambahkan bahwa kedua kecerdasan ini harus di capai secara bersama-
sama, sebab betapa banyak orang yang memiliki kecerdasan kognitif yang
tinggi, tetapi kederdasan emosionalnya rendah, sehingga ia gagal dalam
menjalankan tugas dengan baik. Adapun Kecerdasan Ernosional yang
dimaksudkan oleh Daniel Goleman adalah mencakup kesadaran diri, kendali
dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, berempati, serta
kecepatan sosial.

Dengan merujuk pada paparan di atas, maka untuk mencapai keberhasilan


atau kesuksesan harus melalui pendidikan, oleh karena itu pemerintah
Indonesia telah bertekad, sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN 1988.
Untuk mendukung dunia baru dituntut kualitas manusia Indonesia yang
memadai.
Karena itu, pendidikan dasar enam tahun yang dicanangkan 1984 dipandang
tidak mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi pendidikan dasar sembilan
tahun yang mulai dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Mei
1994, yang bertepatan pada hari pendidikan nasional.

Pendidikan dasar sembilan tahun diharapkan bahwa setiap warga negara


akan memiliki kemampuan untuk memahami dunianya, mampu
menyesuaikan diri bersosialisasi dengan perubahan masyarakat dan zaman,
mampu meningkatkan mutu kehidupan baik secara ekonomi, sosial budaya,
politik dan biologis, serta mampu meningkatkan martabatnya sebagai
manusia warga negara dari masyarakat yang maju. Dalam dunia baru ini
setiap orang harus memiliki potensi untuk bekerja di berbagai bidang
dimanapun juga (Soedijarto. 1985:5, Vembrirto, 1987).

Jika perluasan dan mutu pendidikan dilakukan di dalam kerangka


keterkaitan, maka pendidikan dasar sembilan tahun secara langsung
berfungsi sebagai strategi dasar dalam upaya: (1) mencerdaskan kehidupan
bangsa karena diperuntukkan bagi semua warga negara tanpa membedakan
golongan, agama, suku bangsa, dan status sosial ekonomi, (2) menyiapkan
tenaga kerja industri masa depan melalui pengembangan kemampuan dan
keterampilan dasar belajar, serta dapat menunjang terciptanya pemerataan
kesempatan pendidikan kejuruan dan profesional lebih lanjut, dan (3)
membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena melalui wajib
belajar pendidikan dasar sembilan tahun ini memungkinkan untuk dapat
memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa yang memiliki
kemampuan luar biasa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih
tinggi (Sir Hardjoko Wirjomartono, :995:49-50). Pandangan yang hampir
senada dikemukakan oleh Khaeruddin (1995), gerakan wajib belajar sembilan
tahun, pada dasarnya mempunyai maksud meningkatkan kualitas bangsa.
Melalui pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun di harapkan setiap warga
negara Indonesia memiliki kemampuan dasar yang diperlukan dalam
kehidupan bangsa yang lebih tinggi, sehingga secara politis mereka akan lebih
menyadari hak dan kewajiban, dan sebagai warga negara serta mampu
berperan serta sebagai tenaga pembangunan yang lebih berkualitas. Dalam PP
nomor 29 tahun 1990 dapat kita lihat adanya dua sasaran yang ingin dicapai
yaitu : (1) pembekalan kemampuan dasar yang dapat dikembangkan melalui
kehidupan, (2) kemampuan dasar yang diperlukan untuk melanjutkan
pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Hadari
Nawawi (1994), tujuan pendidikan dasar adalah untuk memberikan bekal
kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan
kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan
anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti
pendidikan menengah.

Pendidikan wajib belajar sembilan tahun secara hukum merupakan kaidah


yang bermaksud mengintegrasikan SD/MI dan SMP/MTS secara
konsepsional, dalam dan tanpa pemisah dan merupakan satu satuan
pendidikan, pada jenjang yang terendah. Pengintegrasian secara konsepsional
yang menempatkan SD dan SLTP sebagai kesatuan program, dinyatakan
melalui kurikulum yang berkelanjutan atau secara berkesinambungan. Kedua
bentuknya tidak diintegrasikan secara fisik dengan tetap berbentuk dua
lembaga yang terpisah, masing-masing dengan kelompok belajar kelas I
sampai dengan Kelas VI untuk SD dan Kelas I sampai Kelas III untuk SMP
(Hadari Nawawi, 1994:351). Peran dan fungsi serta tanggung jawab
pendidikan semakin besar bahkan menentukan, khususnya dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang
bermutu ini ditentukan dukungan dari berbagai faktor, antara lain pendidikan
di lingkungan keluarga, pendidikan luar sekolah, pendidikan dasar,
pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Sejarah menunjukkan bahwa
faktor yang menentukan keberhasilan suatu bangsa bukanlah melimpahnya
kekayaan alam melainkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam era
kedua kebangkitan nasional, SDM yang berkualitas adalah yang :

1. Memiliki kemampuan dan menguasai keahlian dalam suatu bidang.


2. Mampu bekerja secara profesional dengan orientasi mutu dan keunggulan.
3. Dapat menghasilkan karya-karya unggul dan mampu bersaing secara global
sebagai hasil dari keahlian dan profesionalismenya (Avidiman
Suryohadiprodjo. 1987, Faisal, 246-252).
Dengan sumber daya manusia yang berkualitas sebuah bangsa akan sanggup
belajar dari kenyataan yang serba dinamis, sanggup mencari jalan alternatif
pemecahan masalah, serta sanggup mengembangkan pola-pola pemikiran
yang pada akhirnya akan dapat melahirkan strategis persaingan unggul di era
global.

Berdasarkan dengan semua kenyataan yang dipaparkan di atas, pelaksanaan


pendidikan dasar sembilan tahun bukanlah suatu keharusan dan kebutuhan
bagi negara dan masyarakat melainkan bagi setiap warga negara. Masalah
yang dihadapi adalah bagaimana keharusan dan kebutuhan itu dapat
dirasakan pada kebutuhan setiap warga negara, dan bukan kebutuhannya
para masyarakat dan tokoh masyarakat. Inilah tantangan dan tanggung jawab
para pejabat pemerintah terutama di lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan serta Departemen Dalam Negeri. Untuk berupaya menjadikan
setiap anggota masyarakat merasakan bahwa memperoleh pendidikan dasar
sembilan tahun adalah kebutuhannya. Program pendidikan wajib belajar
sembilan tahun pada hakekatnya berfungsi memberikan pendidikan dasar
bangsa, setiap warga negara agar masing-masing memperoleh sekurang-
kurangnya pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk dapat
berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks pembangunan nasional wajib belajar sembilan tahun adalah
suatu usaha yang harus dilakukan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan untuk memelihara dunianya,
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, mampu meningkatkan kualitas
hidup dan martabatnya, dan wajib belajar diartikan sebagai pemberian
kesempatan belajar seluas-luasnya kepada kelompok usia sekolah untuk
mengikuti pendidikan dasar tersebut.

Gerakan Pendidikan wajib belajar sembilan tahun merupakan perwujudan


konstitusi serta tekad pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangunan pendidikan merupakan upaya menuju peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan
tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa artinya meningkatkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional.
Wajib belajar pada hakekatnya untuk memenuhi hak asasi setiap warga
negara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan prinsip pendidikan
untuk semua (education for all). Tujuannya adalah agar setiap warganegara
memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk
berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.5 Bantuan Operasional Sekolah dalam Pendidikan Dasar


Sembilan Tahun

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah dana dan pemerintah pusat yang
didistribusikan melalui pemerintah daerah ke SD/MI dan SMP/MTS yang
sederajat melalui rekening sekolah untuk membantu kegiatan operasional
sekolah dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun.

BOS dihitung berdasarkan jumlah siswa, sehingga sekolah yang jumlah


siswanya lebih banyak dalam penuntasan wajib belajar akan menerima BOS
lebih besar. BOS sebagai bagian dan dana penyelenggaraan pendidikan
digunakan untuk membantu sekolah dalam hal-hal berikut:

 Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka Penerimaan Siswa Baru.


 Pembelian buku teks pelajaran dan buku penunjang untuk dikoleksi di
perpustakaan.
 Pembelian bahan-bahan habis pakai seperti ATK, bahan praktikum, buku
induk siswa, buku inventaris, langganan koran, dan kebutuhan sehari-hari
di sekolah.
 Pembiayaan kegiatan kesiswaan.
 Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan
hasil belajar siswa.
 Pengembangan profesi guru: pelatihan, KKG/MGMP dan KKKS/MKKS.
 Pembiayaan perawatan sekolah seperti pengecatan, perbaikan atap bocor,
dan perawatan lainnya.
 Pembiayaan langganan daya dan jasa listrik, air, telepon
 Pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honorer sekolah
yang tidak dibiayai Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
 Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa yang tidak mampu.
 Khusus untuk pesantren salafiyah dan sekolah keagamaan non Islam, dana
BOS dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan membeli
peralatan ibadah.
 Pembiayaan pengelolaan BOS ATK, penggandaan, surat menyurat dan
penyusunan laporan.
 Bila seluruh komponen di atas telah terpenuhi dan BOS dan masih terdapat
sisa dana maka sisa dana BOS tersebut dapat digunakan untuk membeli alat
peraga, media pembelajaran dan meubelair sekolah.
 

Penggunaan dana BOS untuk transportasi dan uang lelah bagi guru PNS
diperbolehkan hanya dalam rangka penyelenggaraan suatu kegiatan sekolah
selain kewajiban jam mengajar. Satuan biaya untuk keperluan di atas harus
mengikuti batas kemampuan.

Pertanyaan lebih mendetail tentang penuntasan Wajib Belajar Sembilan


Tahun dapat ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam penuntasan
waib belajar sembilan tahun seperti pernyataan di atas.

2.6 Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggar Wajib Belajar Sembilan


Tahun yang Dianggap Kurang Efektif oleh Sebagian Kalangan
Masyarakat

Beberapa tahun yang lalu, mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang


Soedibyo mencanangkan penjatuhan denda atau sanksi terhadap orang tua
siswa yang tidak menaati sistem wajib belajar sembilan tahun. Guru besar
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo,
SH, MA menyatakan ketidaksetujuannya mengenai adanya implementasi
penjatuhan denda atau sanksi terhadap orang tua siswa yang tidak menaati
sistem wajib belajar sembilan tahun tersebut. Hal itu disebabkan karena tidak
lantas membuat pernyataan atau peraturan yang justru kemungkinan besar
tidak akan efektif berjalan, terutama bagi warga yang tidak mampu. Jika
tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan ekonomi sehari-hari,
legitimasi tersebut tidak pantas dan tidak kontekstual untuk ukuran kondisi
Indonesia saat ini, apalagi mengeluarkan aturan yang bersifat mengancam.
Lebih lanjut Harkristuti berpendapat terhadap mereka yang tidak mengikuti
program wajib belajar sembilan tahun sebaiknya dilakukan pendekatan
sosialisasi terlebih dahulu sebelum penerapan sanksi diterapkan. Namun
demikian, itu membutuhkan waktu dan kesiapan yang sangat matang.

Dari tempat yang sama, dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof.
Hikmahanto Juwana, SH, LLM,PhD menyatakan hal itu tidak etis, karena
ditinjau dari hakikat hukum itu sendiri masih belum layak dan secara tidak
langsung membimbing masyarakat dalam keterpaksaan semu, untuk
melakukan aturan yang sesungguhnya, dan tidak terlalu perlu bahkan
cenderung tidak mendidik, karena disaat situasi sosial ekonomi bangsa
Indonesia yang belum begitu baik.

 
 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini adalah wajib belajar sembilan tahun merupakan
program pemerintah yang dilatar belakangi dari munculnya Program Wajib
Belajar enam Tahun pada tahun 1984. Kemudian pada tahun 1994 melalui
Inpres Nomor 1 tahun 1994 ditingkatkan menjadi program wajib belajar
sembilan tahun. Program ini mewajibkan setiap warga negara untuk
bersekolah selama 9 tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat
kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9
Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Program ini bertujuan untuk :

1. Meningkatkan angka partisipasi anak untuk masuk sekolah, terutama di


daerah yang jumlah anak tidak bersekolahnya masih tinggi.
2. Menurunkan angka putus sekolah.
3. Meningkatkan peran, fungsi dan kapasitas pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan dalam penuntasan wajib belajar
sembilan tahun di daerahnya masing-masing.
Disamping itu pula, pemerintah memberikan beasiswa dan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk mengembangkan dan memajukan kualitas
mutu pendidikan dasar sembilan tahun di Indonesia ini supaya masyarakat
Indonesia ini menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan menjadi
masa depan yang lebih baik.

3.2 Saran

Dengan adanya program pemerintah wajib belajar sembilan tahun ini, sebagai
warga negara yang baik, hendaknya seluruh warga negara Indonesia
mendukung dan melaksanakan program ini, supaya pendidikan di Indonesia
menjadi lebih maju dan lebih bermutu.

Anda mungkin juga menyukai