Anda di halaman 1dari 65

BAB VII

PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

A. UMUM

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan usaha sadar untuk


menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 mengamanatkan
bahwa salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah
mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Arah kebijakan peningkatan perluasan dan pemerataan


pendidikan dilaksanakan melalui antara lain penyediaan fasilitas
layanan pendidikan berupa pembangunan unit sekolah baru;
penambahan ruang kelas dan penyediaan fasilitas pendukungnya;
penyediaan berbagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang
membutuhkan perhatian khusus; serta penyediaan berbagai beasiswa
dan bantuan dana operasional sekolah yang dalam pelaksanaannya
dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) mengungkapkan bahwa tingkat
pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang cukup
berarti yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama
sekolah penduduk berusia 15 tahun keatas yaitu dari 6,7 tahun pada
tahun 2000 menjadi 7,1 tahun pada tahun 2003, dan meningkatnya
proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SMP
ke atas menjadi 36,2 persen pada tahun 2003. Sejalan dengan itu
angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga mengalami
peningkatan dari 89,5 persen pada tahun 2002 menjadi 89,8 persen
pada tahun 2003. Membaiknya tingkat pendidikan penduduk sangat
dipengaruhi oleh meningkatnya partisipasi pendidikan untuk semua
kelompok usia sekolah dan untuk semua jenjang pendidikan. Pada
tahun 2003 data Depdiknas dan Depag menunjukkan bahwa angka
partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun mencapai 99,29
persen, penduduk usia 13-15 tahun mencapai 80,43 persen, dan
penduduk usia 16-18 tahun mencapai 50,65 persen. Pada tahun yang
sama angka partisipasi kasar (APK) SD/MI/SDLB mencapai 114,53
persen, APK SMP/MTs/SMPLB mencapai 78,43 persen, APK
SMA/SMK/MA/MAK mencapai 48,79 persen dan APK PT mencapai
14,25 persen.

Upaya memperbaiki tingkat pendidikan penduduk telah dilakukan


melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang telah
berhasil meningkatkan jumlah lulusan SMP-MTs per tahun secara
signifikan dalam lima tahun terakhir yaitu dari 2,78 juta orang pada
tahun 1999/00 menjadi 3,04 juta orang pada tahun 2003/04. Hal
tersebut lebih lanjut berdampak pada meningkatnya jumlah lulusan
SMP-MTs yang melanjutkan ke jenjang menengah. Apabila pada
tahun ajaran 1999/2000 jumlah murid baru tingkat SM sebanyak 1,86
juta orang, maka pada tahun 2003/2004 jumlahnya meningkat menjadi
2,2 juta orang. Penambahan tersebut meningkatkan jumlah seluruh
siswa SLTA menjadi 6,2 juta orang, sehingga APK SLTA juga
meningkat dari 41,26 persen menjadi 48,79 persen. APK tersebut telah
melampaui sasaran yang direncanakan dalam Propenas yang akan
dicapai pada tahun 2004 yaitu sebesar 42,3 persen.

Pada kurun waktu yang sama jumlah mahasiswa meningkat dari


3,2 juta pada tahun ajaran 1999/2000 menjadi 3,55 juta pada tahun
ajaran 2003/2004. Penambahan jumlah mahasiswa tersebut berhasil
meningkatkan APK pendidikan tinggi dari 12,40 persen menjadi 14,25
persen.

VII-2
Peningkatan yang cukup berarti tersebut juga disertai dengan
upaya meningkatkan layanan pendidikan melalui jalur pendidikan
nonformal yang terus dikembangkan dalam upaya untuk memberikan
pelayanan bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan
formal, dan yang putus sekolah. Pendidikan nonformal antara lain
diberikan melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B, dan
Paket C serta kursus-kursus. Kejar Paket A dan Paket B dilaksanakan
baik bagi kelompok penduduk usia sekolah sebagai pendidikan
alternatif terhadap pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun maupun penduduk usia dewasa sebagai bagian dari
pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan keaksaraan fungsional
diberikan bagi penduduk dewasa untuk meningkatkan kemampuan
keaksaraan mereka yang dikaitkan dengan kebutuhan fungsional
dalam kehidupan sehari-hari seperti ketrampilan vokasional.
Sementara itu kursus-kursus yang dilakukan ditujukan terutama untuk
memberi ketrampilan bagi warga belajar sehingga memiliki
kemampuan yang memadai untuk bekerja.

GBHN 1999-2004 juga mengamanatkan agar pembangunan


pendidikan diarahkan pula untuk mengembangkan kualitas
sumberdaya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan
menyeluruh. Sangat disadari bahwa usia dini merupakan masa
perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi
perkembangan pada tahap berikutnya. Dengan demikian pembinaan
anak sejak dini dapat memperbaiki prestasi belajar dan meningkatkan
produktivitas kerja di masa dewasa. Stimulasi dini pada masa golden
age sangat diperlukan untuk memberikan rangsangan terhadap seluruh
aspek perkembangan anak yang mencakup penanaman nilai-nilai
dasar, pembentukan sikap dan pengembangan kemampuan dasar. Di
Indonesia, pendidikan usia dini dilakukan melalui antara lain
pendidikan di taman kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain, dan
Raudhatul Atfhal (RA).

Di samping upaya memperluas akses dan pemerataan pendidikan,


peningkatan kualitas pendidikan juga terus mendapat perhatian besar.
Kemampuan akademik dan profesional serta jaminan kesejahteraan
tenaga kependidikan terus ditingkatkan. Pendidikan lanjutan serta
pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan baik untuk

VII-3
meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan maupun
untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut
bidang studi. Berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilakukan telah
meningkatkan jumlah guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan
minimal, sehingga pada tahun 2003 proporsi guru SD yang
berpendidikan Diploma-2 ke atas mencapai 48,6 persen dan guru
SLTP yang berpendidikan Diploma-3 ke atas menjadi 62,1 persen.
Meskipun demikian, kondisi tersebut belum mencukupi untuk
menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Bahkan untuk
jenjang pendidikan SLTP-MTs dan SLTA-MA yang menggunakan
sistem guru mata pelajaran, banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara
pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru.
Untuk itu diperlukan jumlah dan kualitas pendidikan dan latihan bagi
guru dan tenaga kependidikan lainnya secara lebih memadai sehingga
mereka mampu menyelenggarakan proses belajar mengajar yang lebih
berkualitas. Untuk menjawab kurangnya jumlah guru pada semua
jenjang pendidikan, pada tahun 2003 telah dikaryakan sebanyak 194
ribu guru untuk sekolah umum dan 13,5 ribu guru untuk madrasah dan
guru agama pada sekolah umum. Untuk meningkatkan kesejahteraan
guru, pada tahun 2002 tunjangan kependidikan bagi guru telah pula
ditingkatkan sebesar 50 persen. Selain itu telah disediakan pula
berbagai insentif bagi guru sekolah negeri dan swasta seperti
tunjangan kelebihan jam mengajar dan bantuan khusus guru yang
secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong guru untuk tetap
berkarya. Meskipun kualitas pendidikan yang masih belum
sepenuhnya baik, pada tahun 2002 Indonesia berhasil menjadi salah
satu juara Olimpiade Fisika Internasional yang diikuti oleh 340
peserta dari 72 negara. Pada tahun 2003 Indonesia telah berpartisipasi
dalam Olimpiade IPA dan Matematika baik tingkat nasional maupun
tingkat ASEAN yang diikuti oleh 10 negara, dan meraih 1 medali
emas, 1 perak, dan 2 perunggu. Sementara itu pada tahun 2004
mengikuti Olimpiade Fisika Asia di Thailand, dan kontingen
Indonesia berhasil meraih 6 medali emas.

Arah kebijakan pembangunan pendidikan untuk melakukan


pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum
berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta
didik dan potensi daerah, serta diversifikasi jenis pendidikan secara

VII-4
profesional telah pula dilaksanakan. Penambahan jam pelajaran untuk
muatan lokal ditujukan untuk mengakomodasi keragaman kebutuhan
di setiap wilayah meskipun pelaksanaannya masih belum optimal dan
secara umum baru digunakan untuk pendidikan kesenian lokal dan
bahasa daerah. Kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan
diharapkan dapat menjawab diversifikasi kebutuhan pembangunan.
Reposisi pendidikan kejuruan terus dilakukan untuk lebih menjamin
kesesuaian atau relevansi antara pendidikan dengan kebutuhan dunia
kerja. Bidang studi yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan
pembangunan terus direposisi menjadi bidang studi yang memiliki
prospek yang baik dalam dunia kerja.

Upaya melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem


pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi
keilmuan dan manajemen sebagai arahan kebijakan pembangunan
tahun 2000-2004 telah menjadi agenda utama dalam pembangunan
pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2003 telah disahkan Undang-
Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sebagai
pengganti UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 yang diikuti dengan
penyiapan 14 buah Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai
operasionalisasi UU tersebut.

Pembaruan sistem pendidikan nasional sebagaimana amanat


Undang Undang Dasar 1945 amandemen ke empat pasal 31, mengatur
pemerintah untuk mengaloksikan anggaran pendidikan sebanyak 20
persen dari APBN dan APBD. Mengingat keterbatasan kemampuan
keuangan negara, pemenuhan amanat tersebut belum dapat dilakukan.
Meskipun demikian pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran
untuk pembiayaan pendidikan dan secara bertahap alokasi anggaran
diupayakan mencapai 20 persen dari APBN dan APBD.

Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah


kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
membangun pendidikan di masing-masing wilayah sejak dalam
penyusunan rencana, penentuan prioritas program serta mobilisasi
sumberdaya untuk merealisasikan rencana yang telah dirumuskan.
Sejalan dengan itu, otonomi pendidikan telah pula dilaksanakan
melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi

VII-5
perguruan tinggi yang memberikan wewenang yang lebih luas pada
satuan pendidikan untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki
termasuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Hal
ini sebagai langkah yang dilakukan agar sekolah lebih tanggap
terhadap kebutuhan setempat. Dana dekonsentrasi telah mulai
diberikan langsung kepada satuan pendidikan dalam bentuk block
grant yang diharapkan dapat dikelola oleh setiap satuan pendidikan
dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi
dan partisipatif. Meskipun demikian sampai tahun 2004 sekolah yang
melaksanakan manajemen berbasis sekolah masih sangat terbatas
jumlahnya karena belum maksimalnya pemahaman dan kemampuan
sumberdaya manusia pada satuan pendidikan.

Dengan memperhatikan hasil pelaksanaan desentralisasi bidang


pendidikan sejak tahun 2001, upaya untuk menyelaraskan kebijakan
dan program antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota
perlu terus dilakukan. Penetapan peran dan tanggungjawab yang lebih
jelas masing-masing tingkat pemerintahan perlu mendapat prioritas.
Standar pelayanan minimal (SPM) yang lebih operasional perlu
disusun untuk menjadi acuan penyediaan layanan pendidikan pada
setiap kabupaten/kota dengan mengacu pada pedoman penyusunan
SPM bagi provinsi yang tercantum dalam Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang
Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pada jenjang pendidikan tinggi, otonomi pendidikan dilaksanakan


melalui pemberian wewenang yang lebih besar kepada perguruan
tingi. Competitive based funding mechanism yang diterapkan dalam
program pendidikan tinggi telah mendorong unit-unit di perguruan
tinggi untuk terus meningkatkan kapasitas institusinya sehingga
mampu bersaing dalam memperoleh berbagai sumber pembiayaan
dari pemerintah. Competitive based funding mechanism yang
penerapannya diikuti dengan output based funding mechanism
mendorong perguruan tinggi menghasilkan output yang sebanding
dengan pembiayaan yang diterimanya. Namun demikian sampai tahun
2003 pendidikan tinggi masih dihadapkan pada belum optimalnya
pelaksanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-

VII-6
BHMN) karena perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut belum
diberi keleluasaan penuh dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki.
Oleh karena itu upaya peningkatan mutu dan relevansi dalam proses
belajar mengajar serta dalam pelaksanaan penelitian dan pengabdian
pada masyarakat sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi
belum dapat secara maksimal dilakukan.

Dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi pendidikan,


peran serta masyarakat terus ditingkatkan. Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah telah dikeluarkan sebagai landasan hukum bagi
partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Dengan
menggunakan pendekatan sukarela (voluntary basis) kabupaten/kota
didorong untuk membentuk dewan pendidikan yang dapat berperan
sebagai (a) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan
kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (b) pendukung baik
secara finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan
pendidikan, (c) pengontrol dalam penerapan prinsip transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan pengeluaran pendidikan, dan (d)
mediator antara lembaga eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam
pembangunan pendidikan. Sampai tahun 2002 kabupaten/kota yang
telah memiliki dewan pendidikan berjumlah 321 kabupaten/kota. Pada
saat yang sama proporsi sekolah yang memiliki komite sekolah juga
terus meningkat.

Peningkatan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan di bidang


pendidikan telah meningkatkan keterbukaan, akuntabilitas, dan
efisiensi pembiayaan sebagai bagian dari penerapan good governance
bidang pendidikan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat perlu
diperluas cakupannya sehingga masyarakat dapat pula mengawasi
pembangunan pendidikan baik dalam proses alokasi, pelaksanaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban sesuai dengan kaidah-kaidah good
governance. Hal tersebut perlu diperkuat dengan tersusunnya berbagai
kerangka peraturan (regulatory framework) yang mengatur secara
jelas dan terukur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Upaya memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah


maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan

VII-7
kemampuan dilaksanakan melalui penerapan pendidikan kecakapan
hidup (life skill education) yang ditujukan untuk memfungsikan
pendidikan dalam mengembangkan potensi manusiawi peserta didik
melaksanakan peranannya di masa datang. Kecakapan yang
dikembangkan meliputi antara lain mengenal diri, yang juga sering
disebut kemampuan personal, berfikir rasional, akademik, dan
vokasional serta sosial. Melalui pendidikan tersebut peserta didik
diharapkan menjadi lebih beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang
membangun, memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik,
dan memiliki kecakapan komunikasi dan empati sebagai dasar dalam
menumbuhkan hubungan yang harmonis dalam lingkungannya. Pada
jenjang pendidikan menengah, kecakapan vokasional atau kejuruan
peserta didik ditingkatkan sehingga lulusannya memiliki ketrampilan
untuk bekerja. Dalam pelaksanaannya masih dijumpai pendidikan
kecakapan hidup yang terbatas pada ketrampilan vokasional saja.
Pelaksanaan konsep pendidikan kecakapan hidup perlu terus
ditingkatkan agar peserta didik benar-benar memperoleh kemampuan
yang sesuai dengan masa pertumbuhan dan kebutuhan untuk
menjalani hidupnya sehari-hari.

Namun, walaupun telah terjadi berbagai peningkatan yang cukup


berarti, pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memberi
pelayanan secara lebih merata, berkualitas dan terjangkau, yang antara
lain ditunjukkan oleh masih tingginya penduduk buta aksara,
rendahnya cakupan layanan pendidikan bagi anak usia dini, serta
masih rendahnya partisipasi pendidikan terutama untuk jenjang
pendidikan menengah pertama sampai dengan pendidikan tinggi,
dengan kesenjangan yang masih cukup tinggi antarkelompok
masyarakat seperti antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara
penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara penduduk di
perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Sebagian penduduk tidak
dapat menjangkau biaya pendidikan yang dirasakan masih mahal dan
pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai
tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai
bentuk investasi.

VII-8
Di samping itu fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk
jenjang pendidikan menengah pertama ke atas belum tersedia secara
merata khususnya di daerah terpencil termasuk pulau-pulau kecil
sehingga menyebabkan sulitnya anak-anak terutama anak perempuan
untuk mengakses layanan pendidikan, di samping fasilitas pendidikan
khusus dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang
mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang juga belum
tersedia secara memadai.

Sementara itu kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum


mampu memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan, yang
terutama disebabkan oleh kurang dan belum meratanya pendidik dan
tenaga kependidikan baik secara kuantitas maupun kualitas, belum
memadainya ketersediaan fasilitas belajar terutama buku pelajaran dan
peralatan peraga pendidikan, dan belum berjalannya sistem kendali
mutu dan jaminan kualitas pendidikan, dan belum tersedianya biaya
operasional yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proses belajar
mengajar secara bermutu.

Di samping itu sistem pengelolaan pendidikan juga belum


sepenuhnya efektif dan efisien yang antara lain ditunjukkan oleh
belum tersedianya informasi pendidikan yang memungkinkan
masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih satuan pendidikan
secara tepat, belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi pendidikan, belum mampunya Indonesia meningkatkan daya
saing institusi pendidikan dalam menghadapi era global pendidikan,
belum berjalannya sistem pengawasan pendidikan, dan belum
optimalnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan
termasuk partisipasinya dalam Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah/Madrasah.

Sehubungan dengan hal tersebut, langkah langkah tindak lanjut


yang perlu dilakukan adalah meningkatkan mutu pendidik dan tenaga
kependidikan untuk meningkatkan kualitas, kompetensi dan
profesionalismenya baik pada satuan pendidikan negeri maupun
swasta; meningkatkan budaya baca dan mengembangkan
perpustakaan untuk menciptakan masyarakat belajar; meningkatkan

VII-9
penelitian dan pengembangan pendidikan sebagai dasar kebijakan,
program dan kegiatan pembangunan pendidikan; mengembangkan
manajemen pelayanan pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan pendidikan, meningkatkan kapasitas lembaga-
lembaga pengelola pendidikan di pusat dan daerah, mendorong
penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif dan
demokratisasi; meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pendidikan kedinasan dalam rangka meningkatkan
kemampuan, keterampilan dan profesionalisme pegawai dan calon
pegawai negeri departemen atau lembaga pemerintah non departemen
dalam pelaksanaan tugas kedinasan.

Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai


bagian integral pembangunan nasional ditujukan untuk turut
menciptakan terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan. Pasal 31 UUD 45 yang telah diamandemen, ayat 5
mengamanatkan bahwa pemerintah memajukan iptek dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kemudian
ditekankan lagi dalam Tap MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang GBHN
1999-2004, bahwa arah kebijakan umum dalam pembangunan iptek
adalah untuk meningkatkan penguasaan, pengembangan dan
pemanfaatan iptek termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia
usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna
meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumberdaya lokal.
Amanat ini mencakup pengertian bahwa teknologi harus memiliki
kontribusi dalam peningkatan kemandirian dan daya saing bangsa.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan fokus


kegiatan penelitian adalah dirumuskannya agenda riset tematik sesuai
kompetensi inti lembaga, dilaksanakannya mekanisme seleksi riset
secara kompetitif, disempurnakannya kegiatan riset unggulan dan
strategis, dikembangkannya kajian sosial budaya sebagai masukan
kebijakan pemerintah, dan pelaksanaan evaluasi riset sains dan
teknologi untuk pembangunan. Dalam rangka mendorong penguatan
hak atas kekayaan intelektual (HKI) telah dilakukan pemasyarakatan
program HKI dan pembentukan Sentra HKI. Dalam rangka penguatan
infrastruktur lembaga litbang dilakukan melalui program Standarisasi

VII-10
Laboratorium (STANLAB), yang membantu laboratorium-laboratorium
penguji maupun kalibrasi agar memenuhi Standar Nasional dan Standar
Internasional, serta penyusunan kriteria akreditasi pranata penelitian dan
pengembangan di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi.
Terselesaikannya UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas
P3 Iptek) telah memberikan landasan hukum bagi perguruan tinggi,
badan usaha, pemerintah dan masyarakat untuk berpartisipasi
membentuk jaringan dan bersinergi mengembangkan dan memperkuat
sistem iptek nasional. Dalam rangka keterpaduan kebijakan iptek
nasional terus dikembangkan berbagai model pendekatan terpadu antara
lain melalui pembentukan Forum Perencanaan Pembangunan Iptek,
pengembangan sistem informasi program riptek (riset, ilmu
pengetahuan dan teknologi), peningkatan sinergi pelaksanaan program
riset unggulan, penyelarasan perencanaan program terintegrasi antara
pusat, daerah, perguruan tinggi dan lembaga masyarakat, dan
identifikasi penentuan prioritas program penelitian jangka panjang.

Secara umum pembangunan kapasitas iptek nasional dinilai masih


belum memadai. Beberapa faktor penghambat adalah masih rendahnya
kualitas penelitian nasional diukur dari hasil riset yang dimuat dalam
jurnal internasional, belum optimalnya pengembangan riset ilmu-ilmu
dasar, rendahnya riset yang berorientasi kepada pemecahan masalah
atau kebutuhan pasar, dan minimnya hasil riset yang berhasil diterapkan
pada kegiatan produktif masyarakat. Di samping itu belum adanya
kebijakan yang terintegrasi mengakibatkan tidak fokusnya kegiatan
penelitan dan pengembangan, serta tidak optimalnya pengembangan
sumberdaya litbang. Akibatnya masih ditemui inefisiensi dalam bentuk
tumpang tindih topik penelitian, inefisiensi pemanfaatan sumberdaya
litbang yang ada, serta sulitnya mobilisasi pemanfaatan fasilitas litbang
antar lembaga. Selanjutnya belum adanya suatu instrumen yang secara
reguler dapat menggambarkan tingkat pencapaian perkembangan iptek
nasional secara komprehensif dan kuantitatif, karena berbagai data dan
indikator yang ada saat ini masih bersifat parsial dan lebih pada
kebutuhan internal lembaga litbang yang bersangkutan. Hambatan lain
adalah infleksibilitas dalam pembiayaan kegiatan iptek, khususnya yang
bersumber dari dana pemerintah yang bersifat tahunan dan bersifat

VII-11
swakelola. Masalah lain adalah menyangkut insentif peneliti, khususnya
terkait dengan unit cost penelitian yang masih dirasa kurang memadai.

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah


meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya iptek, meningkatkan
dayaguna hasil-hasil penelitian di berbagai bidang pembangunan,
memperkuat kompetensi inti lembaga riset, membentuk iklim yang
kondusif bagi pengembangan sumberdaya litbang, serta memperkuat
landasan dan arah serta prioritas pembangunan iptek dalam bentuk
penyusunan rencana jangka menengah pembangunan iptek nasional.

B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

1. Program Pendidikan Dasar dan


Prasekolah

a. Tujuan, Sasaran, dan


Arah Kebijakan

Program pendidikan dasar dan prasekolah bertujuan untuk:


(1) memperluas jangkauan dan daya tampung SD dan MI, SMP
dan MTs dan lembaga pendidikan prasekolah sehingga
menjangkau anak-anak dari seluruh lapisan masyarakat; (2)
meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung, termasuk
mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kumuh perkotaan,
daerah bermasalah, masyarakat miskin, dan anak yang
berkelainan; (3) meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan
prasekolah dengan kualitas yang memadai; dan (4) meningkatkan
pelaksanaan manajemen pendidikan dasar dan prasekolah
berbasis pada sekolah dan masyarakat.

Dalam Propenas 2000-2004, sasaran yang direncanakan


untuk dicapai Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah sampai
dengan tahun 2004 adalah: (1) meningkatkan APK SD/MI
menjadi 120,7 persen dan APK SMP/MTs menjadi 78,9 persen;
(2) terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang

VII-12
lebih demokratis, transparan, efisien, terakunkan, dan
meningkatnya partisipasi masyarakat, dan (3) terwujudnya
manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan
mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah
di setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan
Komite Sekolah di seluruh SD dan MI serta SMP dan MTs.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah


diuraikan pada bagian Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, berbagai


kegiatan yang dilakukan selama tahun 2000 sampai dengan
tahun 2004 telah berhasil meningkatkan APK SD/MI dari
108,26 persen di tahun ajaran 1999/00 menjadi 114,53 persen
pada tahun ajaran 2003/04. Meningkatnya APK tersebut
disebabkan oleh meningkatnya jumlah siswa SD/MI hampir
635,8 ribu orang yaitu dari 28,54 juta menjadi 29,17 juta.
Pencapaian tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan
sasaran Propenas tahun 2004 yaitu sebesar 120,7 persen. Dari
hasil analisis situasi terungkap bahwa penetapan target
tersebut adalah terlalu tinggi karena sasaran tersebut
mendorong meningkatnya jumlah anak usia dibawah 7 tahun
dan di atas 12 tahun untuk sekolah pada jenjang SD/MI.
Sementara pada jenjang SMP/MTs terjadi peningkatan APK
dari 74,43 persen pada tahun 1999/00 menjadi 78,43 persen
pada tahun 2003/04 dengan penambahan jumlah siswa
sebanyak 759,3 ribu orang dari 9,41 juta orang menjadi 10,16
juta orang pada tahun 2003/04 (termasuk siswa SMLB
sebanyak 5.988 orang).

Selanjutnya data Susenas tahun 2003 menunjukkan


bahwa pada jenjang SD/MI sudah tidak terdapat ketimpangan
partisipasi pendidikan yang signifikan antarkelompok
masyarakat seperti dilihat dari wilayah tempat tinggal dan

VII-13
pengeluaran keluarga. APK SD/MI di perdesaan (106,15
persen) bahkan sedikit lebih tinggi dibanding di perkotaan
(105,31 persen). Berbeda dengan kinerja jenjang SD/MI,
pada jenjang SMP/MTs masih ditemukan perbedaan
partisipasi pendidikan yang signifikan antarkelompok
masyarakat, dimana APK di perkotaan (93,65 persen) jauh
lebih tinggi dibanding APK di perdesaan (72,89 persen).
Sementara APK penduduk perempuan (82,37 persen) sedikit
lebih baik dibandingkan penduduk laki-laki (79,92 persen).
Kesenjangan partisipasi pendidikan juga terjadi secara
signifikan antarkelompok pengeluaran keluarga.

Pencapaian hasil seperti tersebut di atas didukung oleh


berbagai kegiatan pokok yang dilakukan pada tahun 2003
antara lain melalui penyediaan layanan pendidikan alternatif
seperti SD Kecil, pemberian beasiswa bagi sekitar 5,91 juta
orang siswa SD-MI, 878 orang siswa SDLB, dan 1,83 juta
orang untuk siswa SMP-MTs. Selain itu juga diberikan
subsidi/block grant untuk 657 taman kanak-kanak (TK),
103,7 ribu SD, 1,53 ribu SLB, 30.147 SMP, serta 501,53 ribu
set alat pendidikan. Di samping itu, di beberapa SD/MI dan
SMP/MTs telah dibentuk Komite Sekolah/Madrasah yang
akan memberikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
dan penyelenggaraan pendidikan yang lebih demokratis,
transparan, efisien dan terakunkan. Di samping itu, juga
dilakukan pembangunan 24 unit gedung TK, 15 sekolah TK
Percontohan, 30 TK-SD Satu Atap, 42 TK Pembina, dan 250
TK Perdesaan, serta pembangunan 74 unit gedung SD, 103
unit SLB, 765 unit SMP, 3,17 ribu SMP Terbuka, dan 5,35
ribu USB SD daerah tertinggal serta pembangunan dan
rehabilitasi ruang belajar MI dan MTs sebanyak 6.650 ruang,
rehabilitasi 10,99 ribu ruang SD. Untuk membantu
sekolah/madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan secara
lebih bermutu pada tahun 2003 telah diberikan dana bantuan
operasional (DBO) untuk 104,6 ribu SD-MI dan 18,3 ribu
SMP-MTs.

VII-14
Untuk memberikan dampak yang lebih signifikan
terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk, upaya
peningkatan akses dan pemerataan pendidikan ditunjang pula
oleh upaya peningkatan mutu pendidikan. Kemampuan
akademik dan profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga
kependidikan terus ditingkatkan. Pendidikan lanjutan serta
pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan
baik untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan
kepemimpinan maupun untuk meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan mengajar menurut bidang studi. Berbagai
pendidikan dan pelatihan yang dilakukan telah meningkatkan
jumlah guru yang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal,
sehingga sampai dengan tahun 2003/04 proporsi guru SD-MI
yang berpendidikan Diploma-2 ke atas menjadi 50,10 persen,
meningkat dari dari tahun 2001 yang baru mencapai 40,95
persen. Sementara di tingkat SMP-MTs, guru yang
berpendidikan Diploma-3 ke atas pada tahun 2003/04
menjadi 66,00 persen, meningkat dari tahun 2001 yang baru
mencapai 48,95 persen. Meskipun demikian, kondisi tersebut
belum mencukupi untuk menyediakan pelayanan pendidikan
yang berkualitas. Jumlah guru juga tidak mengalami
peningkatan secara memadai. Hal ini terutama disebabkan
oleh kebijakan zero growth pengangkatan guru pegawai
negeri sipil serta adanya guru yang telah mendapatkan gelar
sarjana pindah mengajar pada jenjang SLTA serta terjadinya
pengisian jabatan non struktural di kantor pemerintah daerah
terutama daerah pengembangan. Permasalahan lain yang
dihadapi selain kurangnya jumlah guru adalah distribusi guru
yang belum merata dan lebih terkonsentrasi pada daerah
perkotaan. Untuk menjawab kekurangan jumlah guru, pada
tahun 2003 dan 2004 Pemerintah telah mengkaryakan guru
bantu sementara sebanyak 136.009 orang guru untuk jenjang
SD dan 60.966 orang guru untuk jenjang SMP.

Guna mendukung peningkatan mutu, selama tahun 2001


sampai dengan 2002 telah diberikan pula insentif bagi 318,3
ribu guru sekolah umum, penyediaan buku dan alat peraga
pendidikan sebanyak 74,4 juta bagi sekolah umum dan 2,6

VII-15
juta bagi madrasah, pengembangan kurikulum, serta
penyediaan bantuan operasional manajemen mutu bagi
sekolah negeri maupun swasta yang dapat dimanfaatkan
sesuai kebutuhan sekolah. Untuk MI dan MTs pada kurun
waktu 2000-2004 diberikan insentif bagi 383.251 guru MI
dan 415.131 guru MTs, serta 76.426 guru RA. Dalam rangka
peningkatan mutu dan relevansi pada tahun 2003 telah
dilaksanakan kegiatan-kegiatan pemberian subsidi
operasional untuk 13.853 SD inti, 1.061 SD terpencil, 1.240
imbal swadaya TK, 2.905 orang guru daerah terpencil, 103
unit TK/SD satu atap, dan 104 SD rujukan. Pada tahun 2004
akan direalisasikan pemberian subsidi bagi guru tidak tetap
(negeri dan swasta) sebanyak 608 ribu orang, dan pemberian
kelebihan jam hadir mengajar sebanyak 114,4 jam pelajaran.
Selain itu telah dilaksanakan pemberian bantuan operasional
manajemen mutu (BOMM) di 276 lokasi MI dan 1.295 lokasi
MTs. Pada tahun 2004 telah dikembangkan 2 buah lembaga
pendidikan agama bertaraf internasional yang bekerjasama
dengan Universitas Al-Azhar Cairo yaitu MI-MTs Al-Azhar
Al-Syarif yang berlokasi di Jakarta.

Berbagai upaya telah pula dilakukan untuk mencapai


sasaran terwujudnya organisasi sekolah di setiap
kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien,
terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat serta
terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis
sekolah/masyarakat dengan mengenalkan konsep dan
merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap
kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan
Komite Sekolah/Madrasah di seluruh SD dan MI serta SMP
dan MTs.

Sejak dirintis penerapan manajemen berbasis sekolah


(MBS) yang memberikan wewenang lebih besar kepada
sekolah untuk mengelola institusinya terdapat lebih dari
3.000 sekolah jenjang SMP yang telah menerapkan MBS.
Konsep tersebut dinilai memberikan dampak yang baik
terhadap peningkatan mutu pendidikan.

VII-16
Pada tahun 2001 telah dimulai penyusunan konsep
pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang
kemudian diterbitkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah. Mengingat pembentukan lembaga tersebut
bersifat sukarela, maka kegiatan sosialisasi terus digalakkan
untuk memberikan pemahaman bagi semua stakeholder baik
di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat umum mengenai
pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan
pendidikan. Sampai dengan semester 2 tahun ajaran
2002/2003 diperkirakan 60 persen sekolah/madrasah telah
memiliki Komite Sekolah.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang cukup mengemuka pada jenjang


SD/MI adalah masih tingginya jumlah putus sekolah dan
jumlah mengulang kelas. Angka putus sekolah per tahun
meningkat terus-menerus selama tiga tahun yaitu sebesar
2,58 persen dengan jumlah absolut siswa yang putus sekolah
sebanyak 736,5 ribu pada tahun 2000/01, 2,67 persen pada
tahun 2001/02 dengan jumlah absolut siswa yang putus
sekolah sebanyak 766,7 ribu, dan pada tahun 2002/03 sebesar
2,94 persen dengan jumlah absolut siswa yang putus sekolah
sebanyak 851,2 ribu. Dari data Susenas 2003
mengungkapkan bahwa sekitar 75% anak usia 7-18 tahun
yang putus sekolah disebabkan oleh alasan ekonomi baik
karena mereka tidak mampu membayar biaya sekolah
maupun harus bekerja. Angka mengulang yang cukup tinggi
menyebabkan berkurangnya kapasitas sekolah/madrasah
untuk menambah jumlah siswa baru. Angka putus sekolah
yang masih tinggi khususnya untuk kelas I s/d III SD/MI
dapat berpengaruh terhadap bertambahnya penduduk buta
aksara karena mereka belum sepenuhnya mampu
mempertahankan kemampuan keaksaraannya. Namun, angka
mengulang kelas terus-menerus turun, pada tahun 2000/01
mencapai 5,91 persen atau sebanyak 1,68 juta siswa,

VII-17
kemudian menjadi 5,41 persen atau sebanyak 1,55 juta siswa
pada tahun 2001/02, dan kemudian turun menjadi 3,79 persen
atau sebanyak 1,10 juta siswa pada tahun 2002/03.
Pada jenjang SMP/MTs meskipun angka mengulang
kelas sudah sangat rendah yaitu 0,47 persen pada tahun
ajaran 2000/01, 0,44 persen pada tahun ajaran 2001/02, dan
0,46 persen pada tahun ajaran 2002/03, namun angka putus
sekolah masih sangat tinggi yaitu sebesar 3,53 persen dengan
jumlah absolut sebanyak 332,0 ribu pada tahun 2000/01, 3,20
persen dengan jumlah absolut sebanyak 306,1 ribu pada
tahun 2001/02, dan menjadi 2,84 persen dengan jumlah
absolut sebanyak 277,1 ribu anak putus sekolah pada tahun
2002/03. Banyaknya siswa putus sekolah pada jenjang ini
akan sangat menghambat penuntasan Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Permasalahan lain yang masih dihadapi dalam program


ini adalah masih belum maksimalnya angka melanjutkan dari
SD/MI atau yang sederajat ke SMP/MTs atau yang sederajat.
Apabila tidak seluruh lulusan SD/MI atau yang sederajat
melanjutkan ke SMP/MTs atau yang sederajat, maka
penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun akan
lebih sulit untuk dicapai.

Namun demikian masih terdapat pula tantangan yang


dihadapi dalam pencapaian sasaran peningkatan akses dan
pemerataan pendidikan. Faktor pertama adalah kemampuan
ekonomi masyarakat. Data Susenas 2003 secara jelas
mengungkapkan bahwa partisipasi pendidikan khususnya
jenjang SMP/MTs diantara penduduk yang miskin masih
jauh lebih rendah dibanding penduduk kaya. Opportunity
cost keluarga miskin untuk menyekolahkan anak relatif jauh
lebih besar dibanding keluarga kaya karena membantu
orangtua bekerja dinilai memberikan manfaat yang lebih
besar dibanding belajar di sekolah. Pada beberapa kelompok
masyarakat faktor sosial budaya juga masih menjadi
penghambat. Faktor ketiga adalah geografi yang
menyebabkan wilayah-wilayah terpencil, pegunungan dan

VII-18
kepulauan menjadi wilayah tersulit untuk dijangkau
pelayanan pendidikan. Dari sisi penduduk yang perlu
dilayani pendidikannya, geografi yang sulit menyebabkan
keengganan bagi mereka untuk bersekolah. Di sisi lain
pembangunan fasilitas pendidikan di wilayah tersebut
menjadi lebih mahal dengan tidak ada jaminan
pemanfaatannya. Faktor lain yang berpengaruh adalah
keamanan. Berbagai konflik yang terjadi di Indonesia telah
menurunkan kinerja pembangunan pendidikan dasar dan
prasekolah. Konflik yang terjadi tidak hanya menyebabkan
rusaknya berbagai fasilitas pendidikan tetapi juga
menyebabkan ketakutan pada anak untuk pergi ke sekolah
serta berkurangnya guru dan tenaga kependidikan lainnya di
wilayah tersebut.

Sulitnya pemenuhan jumlah guru terutama guru Pegawai


Negeri Sipil (PNS) yang disebabkan oleh zero growth policy
merupakan faktor penghambat upaya peningkatan mutu
pendidikan. Di samping itu sistem remunerasi guru yang
dinilai masih belum cukup baik menjadikan profesi guru
menjadi tidak cukup menarik bagi lulusan-lulusan terbaik
perguruan tinggi untuk berkarir sebagai guru.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha


menyelesaikan permasalahan dan tantangan Program
Pendidikan Dasar dan Prasekolah akan dilakukan melalui
berbagai kegiatan seperti antara lain (1) menyusun sistem
pembiayaan pendidikan yang berkeadilan pada jenjang
pendidikan dasar dan prasekolah dengan berbasis pada
jumlah siswa dengan mempertimbangkan antara lain kinerja
pendidikan dasar dan prasekolah, kemampuan ekonomi
masyarakat, kemampuan fiskal daerah, dan tingkat kesulitan
geografi daerah; (2) menyelenggarakan pendidikan layanan
khusus bagi peserta didik di daerah terpencil dan/atau
mengalami bencana alam dan bencana sosial seperti melalui
SD Kecil, SD Satu Guru, SD Multi-kelas, SD-SMP satu atap

VII-19
SMP-MTs Terbuka, SMP-MTs Kelas Jauh/Guru Kunjung
sesuai dengan kondisi dan situasi daerah serta penyediaan
trauma konseling bagi siswa-siswa di daerah konflik; (3)
menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang
memiliki keunggulan dan yang memiliki tingkat kesulitan
dalam proses pembelajaran khususnya yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau intelektual;
(4) melaksanakan penjaringan anak usia sekolah baik yang
belum pernah sekolah maupun yang putus sekolah untuk
masuk ke dalam sistem pendidikan; (5) menambah ruang
kelas baru dan unit sekolah/madrasah baru (termasuk melalui
dana imbal swadaya) baik negeri maupun swasta termasuk
penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah
dengan jumlah penduduk usia jenjang pendidikan dasar dan
prasekolah yang masih banyak belum tertampung; (6)
melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga
tidak mampu termasuk beasiswa untuk menarik anak usia
jenjang pendidikan dasar yang berada di luar sistem sekolah
baik yang belum bersekolah maupun yang putus sekolah
dengan tetap memberi perhatian pada keadilan dan
kesetaraan gender; (7) menata pelaksanaan kurikulum
nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan prasekolah yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional; (8)
meningkatkan pelaksanaan manajemen pendidikan dasar dan
prasekolah berbasis pada sekolah dan masyarakat, (9)
meningkatkan jumlah, mutu dan kualifikasi guru melalui
rekruitmen, pendidikan dan latihan sesuai kebutuhan dalam
rangka meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (10)
melakukan advokasi dan sosialisasi untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang pentingnya menyelesaikan
pendidikan sampai jenjang SMP/MTs; dan (11)
meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun
pendidikan dasar dan prasekolah.

VII-20
2. Program Pendidikan Menengah

a. Tujuan, Sasaran, dan


Arah Kebijakan

Tujuan program pendidikan menengah adalah: (1)


memperluas jangkauan dan daya tampung sekolah menengah
umum (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah
aliyah (MA) bagi seluruh masyarakat; (2) meningkatkan
kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi
kelompok yang kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal
di daerah terpencil dan kumuh perkotaan, daerah bermasalah dan
masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan
kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta didik
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi dan kebutuhan dunia kerja; (4) meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia, (5)
meningkatkan keadilan dalam pembiayaan dengan dana publik,
(6) meningkatkan efektivitas pendidikan sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi setempat, (7) meningkatkan kinerja personel dan
lembaga pendidikan, (8) meningkatkan partisipasi masyarakat
untuk mendukung program pendidikan, dan (9) meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.

Sasaran yang akan dicapai program pembinaan pendidikan


menengah adalah (1) meningkatnya Angka Partisipasi Kasar
(APK) SMA, SMK, dan MA; (2) meningkatnya daya tampung
termasuk untuk lulusan SMP dan MTs sebagai hasil penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebanyak 5,6
juta siswa; (3) mewujudkan organisasi sekolah di setiap
kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien,
terakunkan (accountable), serta mendorong partisipasi
masyarakat; dan (4) terwujudnya manajemen pendidikan yang
berbasis sekolah/masyarakat (school/community based
management) dengan mengenalkan konsep dan merintis
pembentukan Dewan Sekolah di setiap kabupaten/kota serta
pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di setiap
sekolah.

VII-21
Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah
diuraikan pada bagian Umum.

b. Pelaksanaan Program

i. Hasil yang Dicapai

Berdasarkan berbagai tujuan dan sasaran tersebut di atas,


kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama tahun 2000 sampai
dengan tahun 2004 telah berhasil meningkatkan APK SLTA
dari 41,26 persen di tahun ajaran 1999/00 menjadi 42,78
persen di tahun ajaran 2000/01, 44,73 persen di tahun ajaran
2001/02, 44,73 persen pada tahun ajaran 2002/03, dan
meningkat menjadi 48,79 persen pada tahun ajaran 2003/04.
Pencapaian tersebut lebih tinggi dari sasaran Propenas tahun
2004 yaitu sebesar 42,30 persen. Peningkatan APK terjadi
pada semua jalur pendidikan. APK SMA meningkat dari
22,55 persen pada tahun 1999/00 menjadi 22,94 persen pada
tahun 2000/01, 23,67 persen pada tahun 2001/02, 24,68
persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi 25,93
persen pada tahun 2003/04. Sementara APK SMK meningkat
dari 14.65 persen pada tahun 1999/00 menjadi 15,10 persen
pada tahun 2000/01, 15,87 persen pada tahun 2001/02, 16,48
persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi 17,31
persen pada tahun 2003/04. Sedangkan APK MA mengalami
peningkatan yang relatif kecil, yaitu meningkat dari 4,04
persen pada tahun 1999/00 menjadi 4,73 persen pada tahun
2000/01, 5,17 persen pada tahun 2001/02, serta menjadi 5,48
persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi 5,52
persen pada tahun 2003/04. Pencapaian hasil seperti tersebut
di atas didukung oleh berbagai kegiatan pokok seperti antara
lain penyediaan akses memperoleh pendidikan menengah
khususnya untuk menampung luapan lulusan SMP-MTs
sebagai hasil percepatan dari Program Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Kegiatan pokok lainnya adalah
pemantapan sistem pengelolaan pendidikan serta mutu dan
relevansi pendidikan. Secara absolut jumlah siswa SLTA
meningkat dari 5,30 juta pada tahun 1999/00 menjadi 5,48

VII-22
juta pada tahun 2000/01, 5,72 juta pada tahun 2001/02, 5,94
juta pada tahun 2002/03, dan menjadi 6,195 juta pada tahun
2003/04.

Upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan


pada jenjang SMA sampai dengan tahun 2004 dilakukan
melalui antara lain pembangunan 1.369 unit gedung,
rehabilitasi dan pembangunan 2.012 ruang MA, imbal
swadaya pembangunan 4.487 UGB, pembangunan 786 RKB,
872 ruang teori, 612 ruang praktek, 235 ruang perpustakaan
dan 124 ruang laboratorium. Selain itu juga dilakukan
rehabilitasi 8.135 ruang kelas SMA Negeri, pembangunan
802 ruang perpustakaan SMAN, pengadaan 2.064 unit alat
pendidikan, serta pengadaan 6.498.720 eksemplar buku SMA
dan 4.305.218 eksemplar buku MA. Pada Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), peningkatan daya tampung dilakukan
melalui pembangunan 94 unit gedung SMK, pembangunan
3.582 RKB SMK, rehabilitasi 125 ruang kelas SMK Negeri,
pengadaan 957.600 eksemplar buku SMK, pengadaan guru
bantu sementara untuk jenjang SMA dan SMK sebanyak
24.418 orang guru dan pemberian subsidi untuk 41.234
sekolah SMK.

Upaya meningkatkan akses juga dilakukan dengan


pemberian beasiswa melalui program bakat prestasi bagi
384.014 siswa SMA dan 183.000 siswa MA dan partisipasi
lembaga swasta bagi 3.000 siswa. Melalui program Jaring
Pengaman Sosial (JPS) juga telah dilakukan pemberian
beasiswa dan dana bantuan operasional (DBO) untuk SMA,
SMK, MA dan sekolah menengah luar biasa (SMLB) negeri
dan swasta.

Meskipun demikian, berdasarkan data Susenas tahun


2003 terungkap bahwa pada jenjang SLTA masih terdapat
ketimpangan partisipasi pendidikan yang signifikan
antarkelompok masyarakat seperti dilihat dari wilayah tempat
tinggal (perdesaan vs. perkotaan), kondisi ekonomi keluarga,
dan jenis kelamin. APK SLTA di perkotaan (70,63 persen)

VII-23
dua kali lipat lebih tinggi dibanding perdesaan (35,82
persen). Selanjutnya, partisipasi pendidikan penduduk laki-
laki dan perempuan juga menunjukkan perbedaan. Pada
tahun 2003 APK penduduk laki-laki mencapai 51,32 persen
dan APK penduduk perempuan adalah sebesar 50,43 persen.
Meskipun perbedaan persentase tersebut tampak tidak terlalu
besar, apabila dianalisis lebih lanjut terungkap bahwa pada
jenjang pendidikan menengah terutama pendidikan kejuruan
terlihat adanya gejala pemisahan gender (gender segregation)
dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk
diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily
discrimination) ke dalam bidang keahlian. Pemisahan jurusan
bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik
atau kerumahtanggaan, sementara itu anak laki-laki
diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga
sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-keahlian ilmu
keras, teknologi dan industri. Sebagai contoh pada tahun
2001 siswa perempuan yang bersekolah di SMK program
studi teknologi industri baru mencapai 18,46 persen dan
program studi pertanian dan kehutanan 29,74 persen.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan menengah


telah dilakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi guru
dan pengelola sekolah serta pemberian block grant.
Pemberian bantuan operasional manajemen mutu (BOMM)
bagi 870 SMA pada tahun 2001 dan 610 SMA pada tahun
2002 serta pada tahun 2003 telah dilaksanakan BOMM untuk
MA di 382 lokasi, pemberian subsidi bagi 142 SMK (untuk
bangunan, perabot, dan peralatan), pengembangan SMK
model, pengembangan sistem informasi manajemen (SIM)
dan melakukan rekayasa ulang (reengineering) SMK,
pembinaan dan pengembangan 500 SMK standar nasional
dan 100 SMK standar internasional pada tahun 2001 yang
dilanjutkan dengan pemberian subsidi fasilitas bagi 327 SMK
nasional dan internasional pada tahun 2002. Tahun 2003
telah dibangun SMK berstandar internasional 100 sekolah,
peningkatan pengelolaan manajemen pendidikan 40 sekolah,
Diklat teknis fungsional untuk guru 30.985 orang. Pada tahun

VII-24
yang sama telah disubsidi SMK 41.234 sekolah, uji
kompetisi Test of English for International Communication
(TOEIC) 1500 siswa, SMK berstandar nasional 500 sekolah.
Pada tahun 2004 akan diberikan BOMM untuk MA di 392
lokasi. Penanggulangan pendidikan di daerah kerusuhan dan
bencana alam; pengadaan peralatan pendidikan dan buku
pelajaran; serta penyelenggaraan Olimpiade Fisika. Melalui
program PKPS-BBM sebagai akibat karena kesulitan
ekonomi telah dilakukan pemberian Bantuan Khusus Murid
(BKM) yang diprogramkan dengan tujuan utama agar siswa
SLTA tidak mengalami putus sekolah. Selain itu, telah
dilakukan pula pemberian insentif bagi 18.000 guru tidak
tetap SLTA negeri, dan 164.084 guru SLTA Swasta
disamping pemberian insentif kelebihan jam mengajar bagi
guru.

Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi


pendidikan dilakukan kegiatan-kegiatan penyusunan
pedoman umum standar operasional prosedur pengembangan
silabus dan pedoman teknis untuk 8 mata pelajaran,
penyusunan pola induk sistem pengujian/penilaian KBM dan
sistem evaluasi penilaian 8 mata pelajaran, penyusunan
model-model penyelenggaraan pendidikan di SMA/MA,
studi akreditasi kelembagaan dan kinerja sekolah. Selain itu
dilaksanakan studi standarisasi peralatan dan bahan ajar
SMA, model pengembangan sekolah termasuk kerjasama
SMA/MA dengan SMK dalam hal pelaksanaan pendidikan
dan manajemen berbasis sekolah (MPMBS), pengkajian
tentang pelaksanaan akreditasi guru, sekolah, dan standar
mutu sarana pendidikan, pelaksanaan needs assessment
(kebutuhan pelatihan) bagi guru, serta pengadaan buku dan
peralatan pendidikan.

Berbagai upaya telah pula dilakukan untuk mencapai


sasaran terwujudnya organisasi sekolah di setiap
kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien,
terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat serta
terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis

VII-25
sekolah/masyarakat dengan memberdayakan atau
membentuk Komite Sekolah di seluruh SMA, SMK dan MA.
Sampai dengan semester 2 tahun ajaran 2002/2003
diperkirakan 41,7 persen sekolah/madrasah aliyah telah
memiliki komite sekolah.

Di samping itu, walaupun jumlah siswa SMK


meningkat, jenis dan mutu pendidikan kejuruan belum
sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Sehubungan dengan masalah tersebut, sejak tahun 2000
dilakukan reposisi pendidikan kejuruan dengan kegiatan
antara lain sosialisasi kebijakan dan reposisi pendidikan
kejuruan menjelang 2020 dalam kerangka otonomi daerah,
pemberian subsidi jaringan internet bagi 300 SMK dan
pengembangan unit produksi sekolah pada 150 SMK negeri
dan swasta. Selain itu ditingkatkan upaya pemanfaatan
potensi lingkungan (out sourcing) untuk kemandirian
sekolah, penerapan model pembelajaran berbasis kompetensi
(competency based training), dan pemberlakuan kurikulum
berbasis kompetensi (competency based curriculum).
Kegiatan tersebut didukung dengan penambahan ruang teori,
praktik, dan penunjang, pengadaan buku pelajaran dan
bacaan, penyediaan peralatan pendidikan yang sesuai,
peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan
sistem evaluasi hasil belajar siswa.

Dalam rangka pengembangan madrasah berbasis iptek


telah dilakukan pembinaan terhadap 32 madrasah (MA Insan
Cendekia Serpong, MA Insan Cendekia Gorontalo dan 30
MA yang ada di Pondok Pesantren).

ii. Permasalahan dan Tantangan

Kemampuan ekonomi penduduk merupakan


permasalahan yang sangat dominan dalam peningkatan
kinerja pendidikan menengah. Mengingat penduduk usia 15
tahun secara hukum sudah diperkenankan untuk bekerja,

VII-26
maka pertentangan antara bekerja dan bersekolah pada
jenjang SLTA bagi penduduk miskin menjadi lebih besar.

Masih rendahnya animo masyarakat untuk memperoleh


pendidikan menengah sebagai akibat belum adanya kejelasan
masa depan lulusannya untuk dapat bekerja dengan
renumerasi yang sesuai juga merupakan faktor yang
menghambat kinerja pendidikan menengah. Di samping itu
faktor sosial budaya juga sangat menghambat kinerja
pendidikan menengah terutama dalam upaya menurunkan
kesenjangan gender. Stereotipi antara laki-laki dan
perempuan sangat menyulitkan upaya menghilangkan
terjadinya pemisahan gender secara sukarela. Faktor lainnya
adalah belum optimalnya kerjasama antara dunia pendidikan
dan dunia usaha dan industri yang menyebabkan relevansi
pendidikan belum dapat dicapai sepenuhnya atau dengan kata
lain demand dan supply belum sepenuhnya bertemu.

Seperti halnya pada jenjang pendidikan dasar dan


prasekolah, sulitnya pemenuhan jumlah guru terutama guru
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebabkan oleh zero
growth policy merupakan faktor penghambat upaya
peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah. Di
samping itu sistem remunerasi guru yang dinilai masih belum
cukup baik menjadikan profesi guru menjadi tidak cukup
menarik bagi lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi untuk
berkarir sebagai guru. Masalah tersebut lebih mengemuka
pada jenjang pendidikan menengah khususnya pendidikan
kejuruan karena dibutuhkan guru yang memiliki
keterampilan praktis.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka


tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan angka
partisipasi agar sejajar dengan negara Asia lainnya,
menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa sains dan
teknologi, memberdayakan lembaga pendidikan menengah
sebagai pusat pembudayaan nilai sikap dan kemampuan serta

VII-27
meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha


menyelesaikan permasalahan dan tantangan Program
Pendidikan Menengah akan dilakukan berbagai kegiatan
seperti antara lain (1) menyusun sistem pembiayaan
pendidikan yang berkeadilan pada jenjang pendidikan
menengah dengan berbasis pada jumlah siswa dan
mempertimbangkan antara lain kinerja pendidikan
menengah, kemampuan ekonomi masyarakat, kemampuan
fiskal daerah, dan tingkat kesulitan geografi daerah; (2)
menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi peserta
didik di daerah terpencil dan/atau mengalami bencana alam
dan bencana sosial sesuai dengan kondisi dan situasi daerah
serta penyediaan trauma konseling bagi siswa-siswa di
daerah konflik; (3) menyelenggarakan pendidikan khusus
bagi anak-anak yang memiliki keunggulan dan yang
memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran
khususnya yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
sosial dan/atau intelektual; (4) menambah ruang kelas baru
dan unit sekolah/madrasah baru (termasuk melalui dana
imbal swadaya) baik negeri maupun swasta termasuk
penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah
dengan jumlah penduduk usia jenjang pendidikan menengah
yang masih banyak belum tertampung; (5) melanjutkan
program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu
termasuk beasiswa dengan tetap memberi perhatian pada
keadilan dan kesetaraan gender; (6) menata pelaksanaan
kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan menengah yang
disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional; (7)
melaksanakan reengineering dan menyelenggarakan program
studi khusus untuk pendidikan kejuruan yang disesuaikan
dengan kebutuhan daerah setempat; (8) memfasilitasi
sekolah/madrasah untuk melaksanakan pendidikan
kecakapan hidup termasuk keterampilan vokasional bagi

VII-28
siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi; (9)
meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha dan industri
dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan; (10)
meningkatkan pelaksanaan manajemen pendidikan menengah
berbasis pada sekolah dan masyarakat, (11) meningkatkan
jumlah, mutu dan kualifikasi guru melalui rekruitmen,
pendidikan dan latihan sesuai kebutuhan dalam rangka
meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (12)
meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun
pendidikan menengah.

3. Program Pendidikan Tinggi

a. Tujuan, Sasaran, dan


Arah Kebijakan

Tujuan program pendidikan tinggi adalah: (1) melakukan


penataan sistem pendidikan tinggi; (2) meningkatkan kualitas dan
relevansi pendidikan tinggi dengan dunia kerja; dan (3)
meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
tinggi, khususnya bagi siswa berprestasi yang berasal dari
keluarga kurang mampu.

Sasaran yang akan dicapai adalah: (1) mewujudkan otonomi


pengelolaan enam perguruan tinggi negeri Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) – yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB),
Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI),
Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Sumatera Utara
(USU), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan merintis
penerapannya di beberapa perguruan tinggi negeri lainnya; (2)
meningkatkan jumlah lulusan menjadi 912.912 mahasiswa, (3)
meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) menjadi 14,25
persen dan (4) pada tahun 2004 jumlah mahasiswa diproyeksikan
menjadi 3,55 juta orang.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah


diuraikan pada bagian Umum.

VII-29
b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Berdasarkan sasaran Propenas 2000-2004, pada tahun


2000 telah ditetapkan 4 Perguruan Tinggi Badan Hukum
Milik Negara (PT BHMN ) melalui PP No. 152/2000 untuk
Universitas Indonesia, PP No. 153/2000 untuk Universitas
Gadjah Mada, PP 154/2000 untuk Institut Pertanian Bogor
dan PP 155/2000 untuk Institut Teknologi Bandung.
Sedangkan pada tahun 2003, Universitas Sumatera Utara
(USU) ditetapkan sebagai BHMN melalui PP No. 56 dan
pada tahun 2004 melalui PP No. 6, Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) ditetapkan sebagai BHMN. Secara bertahap
masing-masing perguruan tinggi BHMN telah melaksanakan
ketentuan dalam PP tersebut, seperti dalam pemilihan rektor,
pembentukan Majelis Wali Amanat, serta dalam pengaturan
organisasi dan penataan administrasi akademik.

Dalam kurun waktu lima tahun yaitu 2000 sampai


dengan 2004, angka partisipasi pendidikan (APK) meningkat
dari 12,40 persen pada tahun 1999/2000 menjadi 14,25
persen pada tahun 2003/2004 atau masih dibawah sasaran
propenas yaitu 15,00 persen. Meskipun demikian kapasitas
tampung mahasiswa baru dan pemberian beasiswa semakin
meningkat dari tahun ke tahun.

Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam program ini


selama kurun waktu tahun 2000-2004 untuk perluasan dan
pemerataan pelayanan pendidikan melalui antara lain:
pemberian beasiswa yang secara keseluruhan berjumlah
1.460.000 beasiswa meliputi 333.997 beasiswa PPA
(peningkatan prestasi akademik), 647.233 beasiswa BBM
(bantuan belajar mahasiswa), 478.770 beasiswa akibat
dampak kerusuhan dan 131.219 beasiswa lainnya. Sedangkan
untuk mahasiswa PTA jumlah penerima beasiswa sebanyak
33.521 orang. Di samping itu juga dilakukan penerapan SPP

VII-30
(sumbangan pembinaan pendidikan) secara proporsional
terutama pada perguruan tinggi dengan status Badan Hukum
Milik Negara (BHMN).

Jumlah perguruan tinggi secara keseluruhan mengalami


peningkatan sejalan dengan kenaikan jumlah mahasiswa.
Kalau pada tahun 2000 jumlah PTN sebanyak 77 unit dan
jumlah PTS sebanyak 1.748 unit dengan jumlah mahasiswa
sebanyak 3.199.174 orang. Jumlah mahasiswa tersebut
termasuk mahasiswa PTA baik yang ada di IAIN maupun
STAIN. Pada tahun 2004 jumlah PTN menjadi sebanyak 81
unit dan PTS sebanyak 2.399 unit dengan jumlah mahasiswa
sebanyak 3.671.759 orang. Sementara itu jumlah IAIN dan
STAIN pada tahun 2000 berjumlah masing-masing sebanyak
14 unit dan 32 unit. Pada tahun 2002 jumlah tersebut
mengalami perubahan yaitu menjadi 13 IAIN, 32 STAIN dan
1 UIN, dan pada tahun 2004 menjadi 12 IAIN, 31 STAIN
dan 3 UIN.

Pembangunan sarana dan prasarana juga dilakukan


dalam kurun waktu yang sama, antara lain melalui
pembangunan ruang kuliah 180.735 m2, ruang laboratorium
267.120 m2, ruang perpustakaan 334.941 m2, ruang
kantor/administrasi 15.507 m2 dan ruang penunjang 866.682
m2. Di samping itu juga dilakukan pengadaan peralatan
lab/pendidikan 13.582 unit/paket/buah, pengadaan buku
964.396 buah dan 19.727 judul/ paket, pengadaan jurnal
181.869 buah dan 1.305 judul/paket, pengadaan bahan
kuliah/praktek kerja 327 lembaga serta perbaikan peralatan
laboratorium pendidikan sebanyak 219.800 unit/paket.

Peningkatan mutu dosen dilakukan antara lain melalui


pendidikan lanjutan yang berorientasi pada bidang keahlian
dan pengembangan profesi. Sedangkan untuk peningkatan
kualifikasi dosen dilakukan melalui perluasan kesempatan
mengikuti pendidikan pascasarjana, baik di dalam maupun di
luar negeri. Jumlah dosen yang mengikuti pendidikan pasca
sarjana S2 dalam negeri untuk PT umum sebanyak 30.434

VII-31
orang dan 393 orang di PTA, dosen yang mengikuti
pendidikan S3 dalam negeri sebanyak 11.500 orang di PT
umum dan 32 orang dosen di PTAI, S2 luar negeri sebanyak
1.004 orang, dan S3 luar negeri sebanyak 1.344 orang. Untuk
pendidikan lanjutan yang berorientasi pada bidang keahlian
dilakukan melalui pendidikan D-IV sebanyak 818 orang
dosen. Di samping itu juga dilakukan
pelatihan/penataran/magang tenaga dosen sebanyak 7.685
orang, serta workshop/seminar/lokakarya tenaga dosen
sebanyak 6.242 orang.

Peningkatan kualifikasi dosen tersebut membawa


dampak pada proporsi jumlah dosen yang berkualifikasi S2
dan S3 terhadap jumlah dosen secara keseluruhan. Pada
tahun 2001 proporsi jumlah dosen yang berkualifikasi S2 dan
S3 adalah sebesar 50,13 persen di PTN dan 32,76 persen di
PTS. Proporsi ini mengalami peningkatan sehingga pada
tahun 2002 proporsi dosen yang berkualifikasi S2/S3 di PTN
menjadi 52,58 persen dan di PTS mencapai 34,87persen dan
tahun 2003 mencapai 54,96 persen pada PTN dan 36,99
persen pada PTS.

Jumlah dan mutu penelitian ditingkatkan melalui


peningkatan kualitas tenaga peneliti, pemantapan sistem
kompetitif berjenjang, seleksi proposal penelitian,
peningkatan penguasaan pengembangan dan pemanfaatan
iptek untuk meningkatkan daya saing produk yang berbasis
sumber daya lokal, serta mengupayakan hasil penelitian yang
memenuhi stándar agar dapat memperoleh hak atas kekayaan
intelektual (HAKI).

Terkait dengan upaya peningkatan kesesuaian program


studi di PT terhadap tuntutan kerja dan kebutuhan
pembangunan nasional, pada tahun 2001 dilakukan antara
lain perubahan status 10 IKIP Negeri menjadi universitas
negeri dan menambah proporsi program studi sains (basic
sciences) dan teknologi (engineering sciences). Pada tahun
2002 telah dilakukan perubahan 1 IAIN menjadi Universitas

VII-32
Islam Negeri yaitu Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah di Jakarta sedangkan pada tahun 2004 telah
dilakukan perubahan STAIN Malang menjadi Universitas
Islam Negeri Malang dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Penataan program studi dilakukan agar terjadi
keselarasan antara program studi sains dan keteknikan
dengan program studi sosial dan humaniora. Sehubungan
dengan hal tersebut dilakukan penataan dan pengembangan
program studi, peningkatan daya tampung bidang sains dan
teknologi, pengembangan kerja sama dengan industri,
pemantapan kurikulum, pembukaan dan perluasan bidang
studi unggulan, serta pemantapan pengelolaan program
program studi baru. Pada tahun 2000 proporsi program studi
dan keteknikan di PTN mencapai 47,9 persen atau 1.116
program studi dari 2.330 program studi yang ada, pada tahun
2004 telah meningkat menjadi 55,15 persen atau 1.623
program studi dari 2.943 program studi yang ada. Proporsi
ini berbeda untuk PTS. Untuk PTS, pada tahun 2001 proporsi
program studi sains dan keteknikan adalah 29,67 persen atau
2.246 program studi dari 7.571 program studi yang ada,
sedangkan pada tahun 2004 proporsi ini tidak mengalami
perubahan yaitu 29,67 persen dengan jumlah program studi
sebanyak 3.437 dari 9.248 program studi yang ada. Sulitnya
meningkatkan proporsi bidang studi sains dan teknologi di
PTS adalah karena relatif tingginya biaya investasi
dibandingkan bidang studi sosial dan humaniora. Biaya
investasi yang tinggi tersebut akan berpengaruh pada
meningkatnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh
mahasiswa.

Penataan sistem dan kelembagaan akreditasi menjadi


suatu lembaga yang independen dilakukan dengan
meningkatkan kualitas pengelolaan akreditasi program studi
yang dilaksanakan secara teratur, efisien dan efektif melalui
peningkatan kinerja proses akreditasi dan perluasan
jangkauan pelaksanaan program studi, peningkatan kesiapan
PT yang membutuhkan akreditasi dan tindak lanjut hasil

VII-33
akreditasi. Pada tahun 2000, BAN-PT melakukan akreditasi
sebanyak 1.539 program studi S-1, 70 program studi
Diploma dan 275 program studi Pasca Sarjana. Sedangkan
pada tahun 2003 akan dilakukan akreditasi bagi 1.746
program studi S-1, 61 program studi Diploma dan 348
program studi Pasca Sarjana.

Upaya memantapkan penerapan paradigma baru


pendidikan tinggi dilakukan antara lain melalui pemberian
kewenangan yang lebih luas kepada perguruan tinggi dalam
merencanakan dan mengelola sumber daya yang dimiliki
secara bertanggung jawab dan terkendali (accountability).
Hal tersebut dilaksanakan dengan melakukan penerapan
mekanisme perencanaan program dan penganggaran terpadu
melalui mekanisme block grant berdasarkan kompetisi
berjenjang yang mengacu pada kualitas (merit based tiered
competition) yang didahului dengan evaluasi diri secara
berkelanjutan dengan melibatkan seluruh komponen
perguruan tinggi terutama unit akademik dasar dalam proses
perencanaan. Dalam kurun waktu 2000-2004, dilaksanakan
pemberian block grant untuk 1.376 program studi S1 dan 457
program studi politeknik/diploma. Di samping itu juga
diberikan bantuan untuk University Wide Program (UWP)/
Institutional Support System (ISS) sebanyak 234 unit.

Dalam rangka memanfaatkan sumber daya pendidikan


secara terpadu dan efisien untuk menunjang kelancaran
penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat dilakukan kerjasama antar perguruan
tinggi; antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah;
dan antara perguruan tinggi dengan dengan lembaga lain.
Pada tahun 2000 telah dilakukan 139 kerja sama antar
perguruan tinggi, 76 kerjasama antara perguruan tinggi
dengan pemerintah daerah dan 76 kerjasama antara
perguruan tinggi dengan lembaga lain. Sedangkan pada tahun
2003 dilakukan 140 kerjasama antar perguruan tinggi, 82
kerjasama antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah
dan 85 kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga

VII-34
lain. Sementara itu, untuk perguruan tinggi agama telah
dilakukan 146 kerjasama, baik dengan perguruan tinggi,
pemerintah daerah maupun dengan lembaga lain.

Berbagai upaya tersebut, berhasil meningkatkan efisiensi


internal perguruan tinggi yang antara lain ditunjukkan oleh
meningkatnya proporsi mahasiswa yang menyelesaikan
program S-1 dalam waktu 5 tahun, pada tahun 2001 sebesar
57,6 persen dan mahasiswa yang menyelesaikan program
Diploma dalam waktu 3 tahun mencapai 49,7 persen; pada
tahun 2002 meningkat menjadi 68,75 persen untuk program
S1 dan 63,39 persen untuk program diploma dan pada tahun
2003 menjadi 72,50 persen untuk program S1 dan 68,50
persen untuk program diploma termasuk politeknik.

Selain itu terjadi pula peningkatan produktivitas


perguruan tinggi yang ditunjukkan melalui angka efisiensi
edukasi atau perbandingan jumlah lulusan dengan jumlah
mahasiswa terdaftar (graduates to enrollment ratio). Pada
tahun 2001, angka efisiensi untuk program S1 mencapai 57,6
persen dan program diploma mencapai 49,70 persen. Pada
tahun 2002, angka efisiensi ini mengalami peningkatan
sebesar 11,15 persen yaitu menjadi 68,75 persen. Angka
efisiensi edukasi untuk program diploma/politeknik sebesar
63,39 persn. Sedangkan pada tahun 2003 menjadi 72,50
persen untuk program S1 dan 68,50 persen untuk program
diploma.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Pembangunan pendidikan tinggi dituntut untuk


meningkatkan mutu pendidikan dan tetap mempertahankan
terlaksananya proses belajar mengajar dan kinerja yang
sesuai dengan tuntutan pembangunan. Namun dalam
pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala dan
tantangan. Salah satu kendala yang dihadapi adalah masih
lemahnya manajemen pendidikan tinggi, belum terwujudnya
kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan, teknologi

VII-35
dan seni di kalangan akademisi dan belum optimalnya
pelaksanaan otonomi perguruan tinggi termasuk pengelolaan
PT BHMN (UGM, UI, ITB, IPB, USU dan UPI) yang masih
dalam tahap transisi karena PT tersebut belum diberi
keleluasaan penuh dalam mengelola sumber daya yang
dimiliki. Di samping itu kemampuan tenaga pengelola
pendidikan belum bisa mengikuti peningkatan kemampuan
tenaga akademik sehingga kualitas pelayanan pendidikan
belum dapat dilakukan secara optimal.

Upaya untuk meningkatkan kualitas dan relevansi


pendidikan tinggi juga telah dilakukan, namun hasilnya
masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis
terungkap bahwa mutu lulusan perguruan tinggi masih
rendah sehingga mereka mengalami kesulitan dalam mencari
pekerjaan dengan masa tunggu untuk bekerja (job seeking
period) yang masih cukup lama. Terbatasnya ketersediaan
lapangan kerja berpengaruh pada masih rendahnya
penyerapan lulusan perguruan tinggi. Praktik-praktik
rekruitmen tenaga kerja yang memprioritaskan tenaga kerja
berpengalaman menyebabkan lulusan baru (fresh graduate)
memiliki peluang yang lebih rendah dalam memperoleh
pekerjaan.

Faktor kemampuan ekonomi masyarakat merupakan


faktor yang sangat dominan terhadap rendahnya partisipasi
pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi yang mahal
menghambat penduduk ekonomi menengah ke bawah untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Selanjutnya faktor
sosial budaya sangat menghambat kinerja pendidikan tinggi
terutama dalam upaya menurunkan kesenjangan gender.
Stereotipi antara laki-laki dan perempuan sangat menyulitkan
upaya menghilangkan terjadinya pemisahan gender secara
sukarela.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka


tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraaan
pendidikan tinggi adalah kesenjangan mutu sumber daya

VII-36
manusia antarperguruan tinggi yang diakibatkan oleh
perbedaan kebijakan para pimpinan PT, arus globalisasi
terutama dalam perkembangan teknologi informasi, dan
penataan sistem manajemen perguruan tinggi.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha


menyelesaikan permasalahan dan tantangan Program
Pendidikan Tinggi akan dilakukan berbagai kegiatan antara
lain: (1) menyiapkan naskah akademik dalam rangka
penyusunan RUU perguruan tinggi sebagai Badan Hukum
Pendidikan; (2) memantapkan penerapan paradigma baru
pendidikan tinggi melalui aktualisasi asas otonomi,
akreditasi, akuntabilitas, evaluasi diri dan kualitas; (3)
melakukan penataan organisasi dan pengembangan sistem
informasi manajemen, serta pengkajian perundang-undangan
perguruan tinggi; (4) meningkatkan efisiensi dan efektivitas
sistem akreditasi program studi untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan tinggi; (5) menerapkan
mekanisme perencanaan program dan penganggaran terpadu
melalui mekanisme block grant berdasarkan kompetisi
berjenjang; (6) melakukan penyempurnaan mekanisme dan
sistem evaluasi diri dan sosialisasi pentingnya evaluasi diri
sebagai dasar (“entry point”) dalam perencanaan
pengembangan perguruan tinggi; dan (7) meningkatkan
pemanfaatan sumberdaya pendidikan secara terpadu dan
efisien untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Sementara itu untuk peningkatan kualitas pendidikan


tinggi telah dilakukan beberapa kegiatan pokok antara lain:
(1) meningkatkan proporsi dosen yang berpendidikan pasca
sarjana; (2) meningkatkan penyelenggaraan program pasca
sarjana dalam hal pengelolaan dan daya tampung; (3)
meningkatkan mutu dan kapasitas program S-1 dan diploma;
(4) mengadakan sarana dan prasarana penunjang pendidikan;
(5) meningkatkan jumlah dan mutu penelitian melalui

VII-37
peningkatan kualitas tenaga peneliti dan pemantapan sistem
kompetitif berjenjang; (6) mendorong kerjasama penelitian
dan pengembangan hasil penelitian antarperguruan tinggi,
antarperguruan tinggi dan lembaga penelitian/dunia usaha
baik nasional maupun internasional, khususnya untuk
mendukung sumber daya lokal; (7) memberdayakan
stakeholder pendidikan tinggi dalam mendukung
penyelenggaraan dan evaluasi kualitas pendidikan tinggi; (8)
meningkatkan kegiatan pengabdian pada masyarakat melalui
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna untuk
kemaslahatan masyarakat; (9) meningkatkan kualitas
kegiatan kemahasiswaan dan meningkatkan partisipasi
mahasiswa dalam kegiatan ekstra kurikuler; dan (10)
meningkatkan kerja antara lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK), sekolah dan instansi terkait lainnya
sebagai upaya penyegaran pengalaman mengajar dan
peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Dalam rangka meningkatkan perluasan dan pemerataan


kesempatan pendidikan tinggi telah dilakukan upaya antara
lain: (1) meningkatkan daya tampung terutama untuk
program studi yang menunjang kemajuan ekonomi,
penguasaan sains dan teknologi, peningkatan kualitas hidup
serta mendorong peran PT swasta; (2) meningkatkan
pelaksanaan sistem belajar jarak jauh; (3) melaksanakan
pembukaan program studi baru program S-1 dan program
diploma secara terkendali, terutama bidang sains dan
teknologi, dan peningkatan penyebaran program studi
prioritas, sehingga mencerminkan keseimbangan geografis
dan kawasan pertumbuhan ekonomi terpadu; (4)
meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
proses pembelajaran agar mahasiswa dapat menyelesaikan
studi tepat waktu dengan tidak mengurangi kualitas lulusan
PT; (5) melanjutkan pemberian beasiswa prestasi dan
beasiswa bantuan belajar kepada mahasiswa yang kurang
mampu, serta bantuan lainnya bagi mahasiswa yang terkena
dampak kerusuhan dan bencana alam; dan (6) meningkatkan
pemerataan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis

VII-38
untuk mendukung pembangunan daerah dan memberikan
kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan
rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah yang
bermasalah.

4. Program Pendidikan Luar Sekolah

a. Tujuan, Sasaran, dan


Arah Kebijakan

Program pendidikan luar sekolah (PLS) ditujukan untuk


menyediakan pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang
tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal dan
putus sekolah untuk dapat mengembangkan diri, sikap,
pengetahuan dan ketrampilan, potensi pribadi dan dapat
mengembangkan usaha produktif guna meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Selain itu program PLS diarahkan pula
untuk memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha
secara profesional sehingga warga belajar mampu mewujudkan
lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan anggota keluarganya.

Sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program


Pendidikan Luar Sekolah adalah (1) menurunkan angka buta
aksara latin, angka buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan
dasar pada penduduk usia 10-44 tahun, (2) menyediakan
pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum
sempat memperoleh pendidikan formal termasuk anak usia dini,
serta (3) pendidikan berkelanjutan yang berorientasi pada
peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah


diuraikan pada bagian Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

VII-39
Peningkatan partisipasi pendidikan melalui pendidikan
luar sekolah telah meningkatkan proporsi penduduk melek
aksara. Data Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa
penduduk usia 15 tahun keatas yang melek aksara sudah
mencapai 89,79 persen. Lebih lanjut terungkap bahwa angka
melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas terjadi
keragaman antarperdesaan dan perkotaan, dan antarkelompok
laki dan perempuan. Angka melek aksara di perdesaan
mencapai 86,20 persen atau masih jauh lebih rendah dari
perkotaan yang sudah mencapai 94,51 persen.

Berbagai kegiatan dilakukan untuk memberikan


pelayanan pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum
sempat mengikuti pendidikan persekolahan. Selama kurun
waktu 2000 sampai dengan 2004 telah dilakukan pelayanan
pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat
mengikuti pendidikan formal melalui keaksaraan fungsional,
Kejar Paket A Setara SD, Paket B Setara SMP dan Paket C
Setara SMA serta pemberian beasiswa bagi peserta
magang/kursus. Pada tahun 2000 jumlah warga belajar yang
mengikuti Keaksaraan Fungsional sebanyak 12.900 orang,
Kejar Paket A sebanyak 50.128 orang, dan Paket B sebanyak
190.276 orang. Jumlah warga belajar yang dijangkau setiap
tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 kegiatan
Keaksaraan Fungsional menjangkau 150.000 orang, Kejar
paket A sebanyak 64.900 orang, Paket B sebanyak 290.800
orang, dan Paket C sebanyak 14.800 orang. Sementara itu
kegiatan kelompok belajar usaha (KBU) bagi warga belajar
juga memberikan dampak positif dalam upaya penuntasan
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Kegiatan tersebut
pada tahun 2003 akan menjangkau 23.200 orang di
Kelompok Belajar Usaha. Selain itu juga dilakukan
pembinaan 30 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
dan taman bacaan masyarakat (TBM) 200 lokasi. Untuk
menunjang kegiatan tersebut dilakukan pemberdayaan tenaga
kependidikan melalui diklat teknis/fungsional dan
peningkatan kompetensi bagi 15.948 orang serta pembinaan
tenaga lapangan dikmas (TLD) 5.163 orang,

VII-40
Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga pengelola
pendidikan luar sekolah juga telah dilakukan. Hal ini
mengingat bahwa berdasarkan hasil identifikasi hampir 70
persen tenaga pengelola PLS di tingkat kabupaten/kota dan
provinsi adalah pegawai baru yang sebagian besar belum
memahami tentang substansi PLS. Untuk menunjang
keberhasilan program PLS dan untuk menyatukan persepsi
tentang pentingnya PLS dalam mencerdaskan bangsa, para
pengelola tersebut akan diberikan orientasi yang berkaitan
dengan substansi program PLS yakni dalam hal
merencanakan, memprogramkan dan mengevaluasi program-
program PLS di wilayah kerjanya.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, pada tahun 2001,


2002 dan 2003 telah dilakukan peningkatkan kemampuan
fungsional bagi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) masing-masing sebanyak 1.157 orang, 2.298 orang
dan 2.148 orang. Pada tahun 2004 kegiatan serupa dilakukan
melalui 30 lembaga PKBM. Sementara itu untuk kelancaran
pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan masyarakat juga
dilakukan rekruitmen Tenaga Lapangan Dikmas (TLD). Pada
tahun 2001 telah direkrut sebanyak 2.874 orang, tahun 2002
sebanyak 2.379 orang, dan tahun 2003 sebanyak 4.725 orang.
Di samping itu dilakukan pula pembinaan tutor dan pelatihan
bagi penilik PLS

Melalui Program Pendidikan Luar Sekolah dilakukan


pula pengembangan anak usia dini (PAUD) dan telah
berhasil merumuskan berbagai kebijakan awal serta
mensosialisasikannya kepada pihak-pihak yang terkait.
Program ini telah menjangkau 12 kabupaten/kota pada tahun
2001 dan meningkat menjadi 16 kabupaten/kota pada tahun
2002 dan pada tahun 2003 telah diperluas menjadi 85
kabupaten/kota. Pendidikan bagi anak dini usia telah
mendapat perhatian besar karena peranannya dalam
mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah yang

VII-41
lebih lanjut berdampak pada meningkatkan kinerja
pembangunan pendidikan secara keseluruhan.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, dilakukan


pembangunan fasilitas PAUD 681 unit, sertifikasi lokasi
pembangunan fasilitas PAUD 135 dokumen, pengadaan
bahan belajar 681 set, guru TK kontrak 1.122 orang, bantuan
kerja sama peningkatan kelembagaan 5.462 lembaga,
peningkatan tenaga kependidikan PAUD 19.806 kegiatan,
mutu petugas dan pembina 4.200 orang, sosialisasi dan
pemasyarakatan PAUD 893 kegiatan.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor-faktor yang paling mempengaruhi kinerja


Program Pendidikan Luar Sekolah adalah faktor sosial
budaya, kemampuan ekonomi masyarakat, demografi dan
geografi, ketersediaan pelayanan pendidikan keaksaraan, dan
jenis pendidikan luar sekolah lainnya. Selain itu jumlah dan
mutu tenaga kependidikan luar sekolah merupakan faktor
yang cukup berpengaruh jika dibandingkan dengan jumlah
sasaran dan modul pembelajaran yang akan dikembangkan.

Faktor sosial budaya menyebabkan rendahnya laju


penurunan angka buta aksara khususnya pada penduduk usia
tua dan penduduk perempuan. Penurunan jumlah penduduk
buta aksara lebih cepat pada kelompok usia muda
dibandingkan kelompok usia tua. Keadaan tersebut terjadi
mengingat kelompok usia tua atau yang sudah tidak produktif
kemampuan keaksaraan kurang berpengaruh terhadap
peningkatan kesejahteraan hidupnya. Berbeda dengan
kelompok usia produktif yang lebih mampu melihat manfaat
dari kemampuan keaksaraan sebagai nilai tambah terutama
dalam meningkatkan pendapatan mereka.

Pada saat yang sama laju penurunan angka buta aksara


lebih cepat terjadi pada penduduk laki-laki dibanding
penduduk perempuan. Hal ini diduga terjadi karena faktor

VII-42
sosial budaya juga masih dominan yang meletakkan
perempuan untuk lebih banyak berperan dalam urusan
domestik atau yang berkaitan dengan rumah tangga. Oleh
karena itu mereka menjadi tidak dapat melihat manfaat
kemampuan keaksaraan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan
keharusan mereka untuk keluar rumah untuk mengikuti
pendidikan keaksaraan yang lokasinya tidak selalu dekat
dengan tempat tinggalnya dan waktu yang juga tidak selalu
sesuai dengan pekerjaan mereka di rumah. Faktor tersebut
berpengaruh juga pada kinerja pendidikan berkelanjutan
karena keengganan penduduk perempuan untuk mengikuti
pendidikan luar sekolah.

Faktor internal lain yang berpengaruh adalah kondisi


ekonomi penduduk. Meskipun sebagian besar pendidikan
luar sekolah diberikan secara cuma-cuma, tetapi dalam
pelaksanaannya peserta mungkin perlu mengeluarkan biaya
yang bukan hanya biaya tidak langsung misalnya untuk
transportasi tetapi juga forgone earning atau pendapatan
yang hilang karena mereka harus meninggalkan
pekerjaannya.

Sementara itu faktor eksternal adalah hal-hal yang


berasal dari luar individu antara lain adalah (a) efisiensi
pendidikan persekolahan terutama angka putus sekolah yang
masih tinggi khususnya pada kelas I – III SD/MI yang
menyebabkan anak menjadi buta aksara kembali dan (b)
efisiensi pendidikan keaksaraan yang dipengaruhi secara
langsung oleh terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana
belajar termasuk tenaga kependidikan baik jumlah maupun
kualitasnya.

Dengan jumlah sasaran PLS sebesar 75 juta orang


dengan berbagai program dan kegiatan yang tersebar di
lokasi pembelajaran yang sangat bervariasi, termasuk di
daerah terpencil, daerah tertinggal/miskin, pada saat ini
hanya didukung oleh 20 ribu tenaga kependidikan luar
sekolah. Selain itu, mutu tenaga kependidikan PLS yang juga

VII-43
dituntut untuk mampu mengembangkan model pembelajaran
secara kualitatif.

Dengan semakin kecilnya presentase penduduk buta


aksara, sebaran tempat tinggal penduduk buta aksara sangat
besar. Hal ini menyebabkan sulitnya pencarian sasaran untuk
pelaksanaan program serta evaluasi dan monitoring hasil
pendidikan keaksaraan fungsional.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam mengatasi


berbagai permasalahan pada Program Pendidikan Luar
Sekolah akan dilakukan berbagai kegiatan seperti antara lain
(1) memperluas jangkauan layanan PAUD bekerjasama
dengan instansi terkait dan masyarakat; (2) melaksanakan
penghapusan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional
untuk mengurangi buta aksara latin dan angka, buta bahasa
Indonesia dan pengetahuan dasar, serta keterampilan; (3)
menyelenggarakan program Paket A setara SD dan Paket B
setara SMP dalam rangka mendukung Wajar Dikdas 9 Tahun
dan pendidikan dasar untuk orang dewasa serta Paket C
setara SMA secara berkualitas; (4) meningkatkan mutu
tenaga kependidikan PLS (penilik, tenaga lapangan dikmas,
pamong belajar, tutor dan penyelenggara kelompok belajar,
PAUD dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; (5)
melanjutkan pembinaan dan perluasan pendidikan
masyarakat yang diarahkan pada perluasan lapangan kerja
dan pengentasan kemiskinan melalui Kelompok Belajar
Usaha (KBU), pemberian beasiswa/magang dan pelatihan
keterampilan dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender; (6) memberikan dukungan terhadap lembaga PAUD
melalui sosialisasi dan pelaksanaan program, (7)
meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap program dan
lembaga UPT PLS seperti Balai Pengembangan Kegiatan
Belajar (BPKB), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan
Masyarakat, kursus-kursus dan lembaga PLS lainnya, (8)

VII-44
melaksanakan kerjasama dengan berbagai instansi/lembaga
terkait dalam pelaksanaan program PLS; dan (9)
melaksanakan supervisi, evaluasi, monitoring dan pelaporan
pelaksanaan program serta pemetaan sasaran dan potensi
PLS secara akurat, tepat waktu dan terkini untuk
meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan
program PLS.

5. Program Sinkronisasi dan Koordinasi


Pembangunan Pendidikan Nasional

a. Tujuan, Sasaran, dan


Arah Kebijakan

Tujuan Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan


Pendidikan Nasional adalah untuk meningkatkan sinkronisasi dan
koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan
pengawasan program-program pendidikan baik antarjenjang,
jalur, dan jenis maupun antardaerah.

Sasaran yang akan dicapai melalui program sinkronisasi dan


koordinasi adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan
program-program pembangunan pendidikan, antarjenjang, jalur
dan jenis maupun antardaerah.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah


diuraikan pada bagian Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Program Sinkronisasi dan Koordinasi yang baru mulai


dilaksanakan pada tahun 2001 telah memberikan dampak
yang positif dalam menyelaraskan pembangunan pendidikan
antarjalur, jenis dan jejang pendidikan serta antardaerah.
Melalui program ini salah satu hasil yang dicapai sampai

VII-45
dengan tahun 2003 adalah tersusunnya Undang-Undang No:
20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sebagai
pengganti UUSPN No. 2 Tahun 1989. Selanjutnya dalam
upaya pembangunan pendidikan telah pula dilaksanakan
penyiapan kerangka dasar pembangunan pendidikan yang
memuat antara lain arah kebijakan, strategi, dan sasaran
berdasarkan pentahapan pada setiap tahunnya.

Pada tahun 2004 akan dilakukan penyelesaian 14


Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi UUSPN
tersebut, yaitu (1) Pendidikan Anak Usia Dini, (2)
Pendidikan Dasar dan Menengah, (3) Pendidikan Tinggi, (4)
Pendidikan Nonformal dan Informal, (5) Pendidikan Khusus
dan Layanan Khusus, (6) Pendidikan Kedinasan, (7)
Pendidikan Agama dan Keagamaan, (8) Pendidikan Jarak
Jauh, (9) Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (10)
Pendidikan Kejuruan, Vokasi, dan Profesi, (11) Wajib
Belajar, (12) Standar Nasional Pendidikan, (13) Pendidikan
Berbasis Masyarakat, (14) Pengelolaan dan Dana Pendidikan.

Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999,


berbagai kegiatan telah dilakukan untuk mempercepat dan
memperlancar pelaksanaan otonomi daerah. Pada tahun
2001, upaya yang dilakukan adalah melakukan pengkajian
dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang
kepegawaian khusus untuk tenaga kependidikan dalam
rangka otonomi daerah. Berkaitan dengan hal tersebut antara
lain telah disusun pedoman pembinaan karir jabatan
struktural pengelola pendidikan, pedoman pemberian
penghargaan di bidang pendidikan, dan pedoman penilaian
pengangkatan Kepala Sekolah di era otonomi daerah, serta
penyusunan dan pengembangan sistem dan prosedur kerja
aparatur di lingkungan Depdiknas. Sedangkan pada tahun
2002 kegiatan yang dilakukan meliputi antara lain
pendayagunaan dan realokasi PNS akibat restrukturisasi;
pengkajian mengenai pendayagunaan dan pengalihan status
pegawai pada PT BHMN; dan pengkajian kebutuhan
widyaiswara pada Pusdiklat, Pusat Pengembangan Penataran

VII-46
Guru (PPPG), dan Balai Penataran Guru (BPG) yang
ditingkatkan fungsinya menjadi Lembaga Penjamin Mutu
Pendidikan (LPMP). Pada tahun 2003 telah dilaksanakan
penataan pegawai akibat restrukturisasi dan kebijakan
rasionalisasi, pembinaan PNS yang menjadi
pengurus/anggota parpol/pejabat negara yang
diperbantukan/dipekerjakan di departemen lain, pengkajian
dan penyempurnaan sistem pembinaan karier guru,
pengkajian/evaluasi pelaksanaan pemberian penghargaan dan
tunjangan pendidikan bagi guru, pamong, dan penilik.

Di samping itu, dengan dilaksanakannya desentralisasi


pendidikan sebagai pelaksanaan PP No. 25 Tahun 2000,
untuk mempercepat dan memperlancar pelaksanaan
desentralisasi tersebut berbagai upaya telah dilakukan antara
lain: pengkajian dan penataan perangkat organisasi
Depdiknas, pengkajian kewenangan bidang pendidikan yang
akan didekonsentrasikan dan pembantuan, pengkajian dan
pengembangan sistem serta prosedur kerja unit instansi
pengelola pendidikan, pengkajian dan pengembangan kriteria
penyusunan organisasi PTN berdasarkan beban kerja.

Selain itu, melalui program sinkronisasi dan koordinasi


ini, pada tahun 2001 telah dilakukan kegiatan antara lain
konsolidasi rencana program dan anggaran pembangunan
pendidikan; penyusunan Rencana Strategis (Renstra) dan
REPETA bidang Pembangunan Pendidikan; serta melakukan
sosialisasi dan advokasi kebijakan Renstra dan REPETA
bidang Pembangunan Pendidikan. Sedangkan pada tahun
2002, telah dilakukan kegiatan antara lain: sosialiasi program
otonomi daerah bagi Dinas Pendidikan di tingkat provinsi
dan Kab/Kota; pengkajian pelaksanaan kebijakan manajemen
berbasis sekolah; penerapan strategi kebijakan lintas sektoral;
serta inventarisasi dan analisis masalah pendidikan di daerah
konflik dan bencana alam. Pada tahun 2003 mulai
disosialisasikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan implikasinya pada
perencanaan dan pengelolaan keuangan negara pada bidang

VII-47
pendidikan. Selain itu, mulai tahun 2004 dilakukan penataan
proses perencanaan dan penganggaran yang berbasis pada
kinerja instansi pendidikan.

Kegiatan penelitian dan pengembangan pendidikan telah


pula dilaksanakan dengan menitikberatkan pada upaya
peningkatan mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan, dan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang
pendidikan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini difokuskan
pada upaya pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi
pendidikan (education reform) di bidang kurikulum dan
sistem pengujian serta penilaian kinerja pembangunan
pendidikan.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi,


telah dilakukan pemberdayaan kemampuan perekayasaan
kurikulum di tingkat daerah, serta diikuti dengan penyusunan
kurikulum berbasis kompetensi yang berlaku secara nasional
namun diversifikasinya dilakukan di masing-masing daerah
yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, keberagaman
dan minat peserta didik. Di samping itu pada tahun 2001
telah dilakukan penelitian tentang kebijakan pengembangan
kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan
dilakukan pula pengkajian, analisis dan evaluasi terhadap
pelaksanaan kurikulum 1994 untuk penyempurnaan materi
yang lebih akomodatif terhadap perkembangan jaman dan
metode pembelajaran. Selanjutnya pada tahun 2002
dilakukan pengkajian proses belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kurikulum dan pada
tahun 2003 tentang peningkatan mutu pendidikan,
pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan serta efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan pada semua jenis dan jenjang
pendidikan. Sejalan dengan itu dilakukan penyempurnaan
kurikulum yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
pembangunan baik tingkat lokal, nasional, dan global.

VII-48
Dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan,
pada tahun 2001 telah disusun berbagai model pelayanan
antara lain: (a) model sistem pelayanan pendidikan bagi
warga masyarakat yang kurang beruntung untuk memperoleh
pendidikan dasar, (b) pengembangan model sekolah
berasrama untuk daerah yang kurang efisien dengan sistem
pendidikan konvensional dan (c) model kurikulum dan model
pelayanan pendidikan sebagai penjabaran dari UUSPN
mengenai pemberian pelayanan khusus bagi peserta didik
yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
Selanjutnya pada tahun 2002 dilakukan penyusunan model
alat test psikologi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan antara lain untuk alat diagnosis kesulitan belajar
siswa, penjurusan, penerimaan pegawai dan promosi
karyawan. Pada tahun 2003 dilakukan pengembangan model
pendidikan bagi penyandang masalah sosial pada pendidikan
dasar dan menengah, pengembangan model layanan
pendidikan bagi anak jalanan, masyarakat miskin,
berkelainan, terisolir, terasing, termasuk daerah bermasalah.
Pada Tahun 2004 dirintis alternatif pembelajaran melalui
Televisi Pendidikan Nasional dengan menyusun program
tayangannya.

Untuk mendukung sinkronisasi dan koordinasi


pembangunan pendidikan maka pengembangan sistem dan
informasi manajemen mendapat perhatian yang besar. Selain
disediakan peralatan pendataan, pelatihan intensif juga
diberikan bagi sumberdaya manusia di provinsi dan
kabupaten/kota untuk memberikan kemampuan yang
memadai dalam mengelola data dan informasi. Sejalan
dengan itu jaringan dan kapasitas sistem informasi
perencanaan pendidikan juga diperluas dan dilakukan
penyusunan program aplikasi serta optimalisasi pemanfaatan
baseline data bagi staf perencana pendidikan di
kabupaten/kota. Di samping itu dilakukan pula pendidikan
dan pelatihan teknis bagi tenaga perencana pendidikan 500
orang dan tenaga pengelola program sampai tingkat
kabupaten/kota.

VII-49
Berbagai advokasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan
nasional terus dilakukan seperti antara lain sosialisasi
Rencana Aksi Nasional (RAN) Hak Asasi Manusia dalam
bidang pendidikan, sosialisasi Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan
Komite Sekolah, sosialisasi pedoman penilaian pelaksanaan
pembinaan karier jabatan struktur pengelola pendidikan
tingkat provinsi; sosialisasi pedoman pelaksanaan pemberian
penghargaan pada PNS di bidang pendidikan; dan
pelaksanaan berbagai temu konsultasi antarlembaga yang
bertanggungjawab dalam pembangunan pendidikan nasional.

Kerjasama di bidang pendidikan dengan berbagai


lembaga baik di dalam maupun di luar negeri terus pula
dilaksanakan seperti antara lain melalui pengembangan
perpustakaan elektronik dan pengembangan situs regional
Asia Tenggara Global Distance Education Network serta
pengembangan SEAMEO Regional Open Learning Center
(SEAMOLEC) di Indonesia.

Selain itu juga dilakukan penyusunan desain pendidikan


jarak jauh yang antara lain meliputi penyusunan silabi, garis-
garis besar isi program media (GBIPM) program audio,
GBIPM program video, penulisan naskah program audio dan
program video, serta perintisan pendidikan terbuka jarak jauh
tingkat SMA.

Guna mendukung tercapainya pelaksanaan yang efektif,


efisien, transparansi, dan terakunkan juga telah dilakukan
pembinaan sistem kelembagaan, pengendalian, pengawasan,
dan penyerasian hasil-hasil pendidikan.

Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir


(2000-2004) mendapat prioritas tertinggi dalam
pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh penyediaan
anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan
dengan bidang-bidang pembangunan lainnya. Dengan adanya

VII-50
amandemen UUD 1945 dan ditetapkannya UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
mengamanatkan agar dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20
persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD,
anggaran pendidikan pada tahun 2004 mendapat porsi yang
lebih besar lagi. Anggaran pendidikan pada tahun 2004
mencapai 21,5 persen dari anggaran pembangunan
keseluruhan atau 6,6 persen dari APBN yang dibelanjakan
oleh pemerintah pusat. Anggaran pendidikan tersebut terdiri
dari Pengeluaran Rutin di luar gaji pendidik dan Pengeluaran
Pembangunan diluar anggaran untuk pendidikan kedinasan.
Karena anggaran yang dialokasikan untuk daerah masuk
sebagai penerimaan APBD maka dana perimbangan yang
berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan dana bagi hasil serta dana otonomi khusus tidak
diperhitungkan dalam menghitung 20 persen dari APBN.
Proporsi tersebut masih jauh dari 20 persen tetapi dengan
adanya komitmen yang lebih besar dari pemerintah dan
legislatif untuk melaksanakan amanat undang-undang
tersebut maka proporsi anggaran pendidikan terhadap APBN
akan terus ditingkatkan secara bertahap. Pada saat yang sama
pemerintah daerah juga didorong untuk secara bertahap
melaksanakan amanat undang-undang tersebut.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan


Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan
Pendidikan Nasional antara lain adalah belum meratanya
kapasitas pengelola pembangunan pendidikan dan belum
meratanya kesamaan pandangan mengenai pentingnya
pendidikan diantara stakeholders termasuk pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota. Pelaksanaan mutasi pegawai
yang cukup sering terutama di kabupaten/kota sangat
berpengaruh kurang baik pada efisiensi dan kesinambungan
pelaksanaan pembangunan pendidikan.

VII-51
Perubahan sistem peraturan perundang-undangan yang
tidak lagi menempatkan Keputusan Menteri sebagai
peraturan perundang-undangan yang mengikat bagi daerah
menjadi faktor lain yang turut menghambat pelaksanaan
sinkronisasi dan koordinasi pembangunan pendidikan
nasional. Salah satu dampak negatifnya adalah kurang
baiknya pelaksanaan sistem pelaporan, serta arus data dan
informasi dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat
nasional.

iii. Tindak Lanjut

Beberapa tindak lanjut yang diperlukan untuk


pencapaian sasaran-sasaran yang telah ditetapkan antara lain:
(1) mengembangkan kerangka peraturan (regulatory
framework) yang memungkinkan pelaksanaan pembangunan
pendidikan sesuai prosedur dan tata cara yang memenuhi
kaidah-kaidah good governance (transparan, terakunkan, dan
partisipatif); (2) mengembangkan sistem penghargaan
(reward) dan dorongan (incentive) bagi pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota yang memberikan prioritas tinggi pada
pembangunan pendidikan serta penghargaan bagi pelaku dan
pemerhati pendidikan yang berjasa dalam pembangunan
pendidikan; (3) mengintensifkan pelaksanaan sistem
informasi dan pendataan untuk semua jalur, jenis dan jenjang
pendidikan, serta daerah; (4) melakukan advokasi dan
sosialisasi UU Sistem Pendidikan Nasional dan kebijakan
pendidikan nasional; (5) meningkatkan mutu sumber daya
dan standardisasi sarana dan prasarana pendidikan untuk
mendukung pelayanan pendidikan dan proses belajar-
mengajar yang bermutu; (6) mengembangkan model
manajemen pendidikan dalam era otonomi; (7) melanjutkan
pengembangan jaringan kerja sama penelitian kebijakan
antara pusat dan daerah; (8) melakukan pengkajian kebijakan
antarjenis, jenjang dan jalur pendidikan sebagai bahan
masukan pengambilan kebijakan pembangunan pendidikan;
(9) menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk
pelaksanaan UU Sistem Pendidikan Nasional termasuk

VII-52
peraturan pemerintah yang mengatur pembiayaan
pendidikan, dan penuntasan penyusunan kebijakan
pembangunan pendidikan nasional yang mendukung
sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan
pelaksanaannya; (10) mengembangkan kemitraan secara
kelembagaan pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang
mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan
pendidikan antarjenjang, antarjalur, antarjenis dan
antardaerah; dan (11) meningkatkan efektivitas pelaksanaan
pengawasan dan pengendalian pembangunan pendidikan.

6. Program Penelitian, Peningkatan


Kapasitas, dan Pengembangan Kemampuan Sumber Daya Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi

a. Tujuan, Sasaran, dan


Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu hasil


penelitian; (2) meningkatkan kualitas peneliti; (3) meningkatkan
kompetensi lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan publik
searah dengan tuntutan masyarakat dan percepatan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (4) membentuk iklim yang
kondusif bagi terbentuknya sumber daya litbang.

Sasaran yang akan dicapai adalah terdayagunakannya ilmu


pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan nilai-nilai agama
dan budaya luhur bangsa untuk memecahkan berbagai masalah
pembangunan.

Arah kebijakan dari program ini adalah (1) Pengembangan


berbagai tema dan model riset unggulan yang berdampak strategis;
(2) Sinergisme program litbang dengan industri yang berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan masyarakat; (3) Perluasan kerjasama
riset secara efektif baik di tingkat lokal, nasional maupun
internasional; (4) Peningkatan peran dan pelayanan HKI; (5)
pemberdayaan dan pembinaan organisasi profesi ilmiah; serta (6)
pengembangan pranata dan infrastruktur iptek di daerah.

VII-53
b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan


fokus kegiatan penelitian adalah dirumuskannya agenda riset
sesuai kompetensi inti lembaga dalam bentuk program-
program tematis, dilaksanakannya mekanisme seleksi secara
kompetitif dalam penetapan kegiatan riset lembaga,
dikembangkan dan disempurnakannya kegiatan riset unggulan
dan strategis, seperti Riset Unggulan Terpadu (RUT), Riset
Unggulan Terpadu Internasional (RUTI), Riset Unggulan
Kemanusiaan (RUKK), ditetapkannya paten sebagai salah satu
indikator keluaran, dikembangkannya kajian sosial budaya
sebagai masukan kebijakan pemerintah.

RUT dirancang sebagai instrumen untuk meningkatkan


dan menyelaraskan penguasaan iptek dengan memadukan
SDM, dana dan prasarana riset yang tersedia dalam rangka
pembangunan sistem nasional inovasi yang lebih terpadu.
Pelaksanaannya mencakup sepuluh bidang riset, yaitu i)
pengembangan sistem nasional, sektoral dan daerah, ii)
pertanian dan pangan, iii) kesehatan, iv) lingkungan, v)
kelautan, kebumian dan kedirgantaraan, vi) transportasi dan
logistik, vii) energi, viii) manufaktur, ix) teknologi informasi
dan mikroelektronika, serta x) penemuan material baru. Selain
itu telah dihasilkan Penawaran Teknologi yang merupakan
kumpulan dari kegiatan RUT yang siap untuk ditindaklanjuti
sesuai dengan kebutuhan industri. Hasil-hasil yang dicapai dari
program RUT masih merupakan hasil antara dan memerlukan
penindaklanjutan oleh para peneliti yang bersangkutan. Untuk
itu telah dirancang program lanjutan yang bisa
mengoptimalkan hasil-hasil RUT untuk ditindaklanjuti
menjadi suatu produk komersial dalam bentuk program
katalis.

RUTI merupakan progran kerjasama Riptek Indonesia


dengan lembaga penelitian/universitas internasional
berdasarkan cost-sharing basis. Program ini ditujukan untuk

VII-54
mendorong peningkatan peran Riptek nasional dalam dunia
internasional, peningkatan kolaborasi antara lembaga
penelitian/universitas di Indonesia dengan mitra internasional
serta melakukan penelitian yang berkualitas dengan tujuan
publikasi internasional dan atau penemuan yang mengarah
pada pemanfaatan teknologi industri (patent).

Kegiatan lain yang dilakukan dalam rangka peningkatan


kapasitas dan kompetensi lembaga litbang adalah
dilaksanakannya studi agenda riset nasional, pelaksanan
evaluasi riset sains dan teknologi untuk pembangunan
(Periskop), dan kajian kebijakan Bioprospecting untuk
menunjang bidang kedokteran dan kesehatan. Hasil studi
agenda riset nasional merekomendasikan agenda kerja
lembaga litbang, struktur industri terpadu, peran teknologi
dalam pembangunan, pengembangan riset-riset murni
dibidang ekonomi serta manajemen akuntasi kegiatan riset.
Studi Periskop telah menemukan ketidakcocokan
(mismatched) antara kebutuhan industri dan produk lembaga
riset. Namun demikian dari studi itu juga ditekankan bahwa
lembaga riset adalah faktor utama dalam diseminasi dan
transfer teknologi pada dunia usaha.

Dalam bidang kesehatan dan obat-obatan selain kebijakan


bioprospecting, telah berhasil dilakukan karakterisasi virus
Hepatitis non-A dan non-C untuk mencegah penyebarannya.
Penelitian lain yang cukup berperan adalah mengenai tingkat
resistensi terhadap obat malaria di daerah endemi malaria yang
hasilnya menunjukkan bahwa tingkat resistensi tersebut sudah
memprihatinkan. Selain itu juga dilakukan penelitian untuk
menghambat laju pertambahan penderita Thalassemia dalam
hal peningkatan efisiensi penetapan cacat molekul pada
penyakit Thalassemia. Juga telah dilakukan pengembangan
antibody spesifik, diagnosis kelainan hemoglobin di Indonesia.

Program RUKK ditujukan sebagai upaya untuk


pengembangan ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Topik riset diprioritaskan pada pengembangan ide-ide baru
dalam bidang kemasyarakatan, verifikasi teori dan konsep-
konsep baru untuk mengkritisi fenomena kemasyarakatan dan

VII-55
kemanusiaan di Indonesia. Cakupan topik RUKK meliputi
bidang ekonomi, demografi, ketenagakerjaan, filsafat, sastra
dan budaya, politik, hukum, pemerintahan dan komunikasi,
sosiologi, antropologi dan sejarah, serta bidang agama. Hasil
yang didapat mengidentifikasikan kurangnya minat peneliti
dalam bidang sosial, khususnya dalam pengembangan teori,
konsep dan metodologi.
Program insentif lainnya dalam rangka penguatan Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) adalah pengembangan Sentra
HKI. Melalui program Sentra HKI para intelektual difasilitasi
dalam mengurus hak eksklusifnya mulai dari awal hingga
akhir proses. Kegiatan lain adalah insentif Oleh Paten yang
merupakan program insentif untuk membantu peneliti,
perekayasa, dan peneliti dan rekayasa (litkayasa) yang
temuannya mempunyai nilai potensial dan kekayaan
intelektualnya dapat dilindungi.

Pemasyarakatan HKI juga dilakukan melalui


pembentukan tiga kelompok kerja HKI yaitu Pokja I
membidangi Disain Industri, Indikasi Geografis dan Rahasia
Dagang; Pokja II membidangi Paten, Tata Letak Sirkuit
Terpadu dan Merek; serta Pokja III membidangi Pengetahuan
Tradisional dan Hak Cipta. Untuk memberikan peluang bagi
penemu dalam negeri dan membantu para pemilik HKI
khususnya hak paten juga telah dikembangkan insentif
Asuransi Teknologi.

Sementara itu dalam rangka penguatan kompetensi


lembaga litbang telah disusun pedoman sistem dan prosedur
penyusunan program, diterbitkannya buku keahlian dan sistem
informasi interaktif SDM dan penambahan porsi pakar
eksternal dalam penetapan kegiatan riset. Dalam rangka
memperoleh informasi yang rasional dan obyektif tentang data
SDM Iptek Daerah dilakukan studi potensi SDM daerah untuk
pemberdayaan iptek. Hasil studi mengidentifikasikan kecilnya
pergeseran tenga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri
yang disebabkan kurangnya keterampilan angkatan kerja
pertanian yang dapat dimanfaatkan langsung oleh sektor
industri dan jasa. Dengan demikian hasil temuan dan
produknya akan memenuhi keinginan intelektual dan pasar.

VII-56
Selain itu juga telah dialakukan penyusunan kriteria akreditasi
pranata penelitian dan pengembangan di lembaga litbang
pemerintah dan perguruan tinggi. Dari program ini telah
dihasilkan perangkat kriteria pengukuran untuk menentukan
klasifikasi dan tingkat akreditasi lembaga, melakukan
penilaian mutu dan efisisensi lembaga sebagai dasar penentuan
akreditasi dan langkah-langkah pembinaannya.
Dalam upaya meningkatkan peran kajian iptek dalam
pembangunan telah dilakukan kajian-kajian unggulan sesuai
kebutuhan masyarakat. Kajian tersebut mencakup berbagai
bidang ilmu termasuk bidang pangan dan energi serta sosial
budaya dan ekonomi. Dalam bidang energi telah dilakukan
pengembangan teknologi energi alternatif dan daur bahan
nuklir serta pengembangan iptek produksi isotop,
radiofarmaka dan bahan baru untuk mendukung
pengembangan teknologi nuklir di industri, serta diperolehnya
paket teknologi proses pengelolaan limbah nuklir.

Hal lain yang telah dicapai dalam program ini adalah


tersedianya laporan ilmiah penelitian bidang mitigasi bencana,
meningkatnya kemampuan rancang bangun prototipe wahana
dirgantara. Sedangkan dalam rangka penguatan budaya iptek
masyarakat telah dilakukan kajian tentang kebijakan local
content, peningkatan kapabilitas industri daerah untuk adopsi
iptek, pengembangan kemitraan dalam adopsi iptek dan
pembudayaan teknologi.

Penelitian dan pengembangan teknologi dirgantara


meliputi i) rancang bangun prototipe sistem wahana dirgantara
dan pemanfaatannya untuk keperluan ilmiah dan pertahanan,
ii) rancang bangun teknologi satelit mikro Indonesia, iii)
pengembangan sistem konversi energi angin. Di bidang sains,
pengkajian dan informasi dirgantara dilakukan pengkajian
media dirgantara (atmosfer sampai matahari); pemodelan dan
prediksi iklim; serta penelitian ionosfer untuk keperluan
komunikasi radio, navigasi maupun penentuan posisi berbasis
satelit.

Dibidang standarisasi telah dilakukan beragam riset


terkait, penguatan kapasitas, serta peningkatan kompetensi

VII-57
lembaga inspeksi dan laboratorium melalui program
Standarisasi Laboratorium (stanlab). Sementara itu kegiatan
penelitian di bidang survei dan pemetaan terus dilakukan
melalui penelitian astrogeodesi, geodetik, geodinamik,
termasuk penelitian survei dan pemetaan yang terkait dengan
upaya pencegahan dan penaggulangan bencana alam.

Dalam bidang pengembangan dan aplikasi riset nuklir,


fokus kegiatan dilakukan untuk bidang pangan melalui
penemuan lima varietas unggul padi; bidang kesehatan melalui
pengembangan beberapa jenis radiofarmaka untuk diagnosis
dan terapi penyakit jantung, kanker tulang, penyakit hati,
kanker thyroid, dan ginjal, serta pembuatan Bank Jaringan.
Selanjutnya di bidang industri manufaktur melalui
komisioning mesin berkas elektron, aplikasi radiotracer,
teknologi isotop alam, pembuatan renograph dan Distributed
Control System untuk sistem produksi. Dibidang penelitian
sumberdaya alam dan energi, telah dilakukan Comprehensive
Assessment of Difference Energy Resources yang
menyimpulkan bahwa PLTN secara ekonomi dan teknologi
layak dioperasikan pada tahun 2016. Disamping itu aplikasi
nuklir juga dilakukan untuk turut menjaga keselamatan
lingkungan.

Disamping itu juga telah dilakukan Kongres Ilmu


Pengetahuan Nasional (Kipnas) dan penyelenggaraan Widya
Karya Pangan dan Gizi sebagai salah satu kegiatan utama
dalam mendukung program Landmark iptek bidang pangan.
Kegiatan ini berupaya memformulasikan model kebijakan
pangan di era otonomi daerah. Berbagai program penelitian,
pengembangan dan rekayasa iptek telah dihasilkan antara lain
pengembangan teknologi telemetri pengelolaan sumberdaya
air; pengembangan program kompetitif tematik;
pengembangan potensi sumberdaya mineral, otomotif,
telekomunikasi dan informatika; konsep bioregional dan
optimalisasi sumberdaya hayati savana; eksplorasi mikroba
endofitik; pengembangan neuro science; dan prototype mobil
listrik ramah lingkungan (marlip).

ii. Permasalahan dan Tantangan

VII-58
Permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan
program ini adalah belum adanya kebijakan yang terintegrasi
antara kebijakan iptek dengan sektor produksi sehingga
mengakibatkan tidak fokusnya kegiatan penelitan dan
pengembangan yang dilakukan oleh lembaga litbang serta
tidak optimalnya pengembangan sumberdaya litbang.
Akibatnya masih ditemui inefisiensi dalam pelaksanaan
penelitian dalam bentuk tumpang tindih topik penelitian serta
inefisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya litbang yang ada
serta kedaluarsaan fasilitas litbang. Permasalahan lain adalah
ketidaktersediaan mekanisme intermediasi yang baik yang
mampu menjembatani antara riset dan inovasi.

Tantangan yang dihadapi adalah cepatnya laju


perkembangan iptek yang mengakibatkan ketergantungan
dalam sistem inovasi. Hal ini mendorong perlunya arah yang
jelas terhadap fokus dan kualitas litbang, sesuai dengan
keunggulan komparatif yang dimiliki Hal lain yang menjadi
tantangan adalah adanya keterbatasan anggaran kegiatan iptek.
Keterbatasan anggaran ini dinilai dapat mengurangi
terwujudnya peningkatan kompetensi dan kapasitas
sumberdaya iptek itu sendiri. Tantangan selanjutnya adalah
rendahnya perhatian masyarakat dan pemerintah daerah dalam
memacu perkembangan, penerapan dan kualitas kegiatan riset
iptek di daerah maupun adopsinya didalam kebijakan
pembangunan daerah.

iii. Tindak Lanjut

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan


kedepan adalah membentuk iklim yang kondusif bagi
pengembangan sumberdaya litbang melalui (1) pengembangan
kelembagaan iptek untuk mengoptimalkan transaksi produk
iptek; (2) peningkatan sistem manajemen teknologi terpadu;
(3) penyempurnaan sistem insentif iptek; (4) peningkatan
keterlibatan organisasi profesi ilmiah dalam perumusan
kebijakan iptek; (5) melindungi hak atas kekayaan intelektual
(HKI) atas produk litbang; (6) memberikan penghargaan
inovasi ilmiah; (7) pengembangan pranata iptek daerah; (8)

VII-59
reorientasi kebijakan makro dan koordinasi dengan
mempertimbangkan tingkat dari unsur-unsur teknologi, modal,
informasi dan birokrasi. Selain itu juga dlakukan upaya
peningkatan dayaguna hasil-hasil penelitian diberbagai bidang
pembangunan, dilakukan berbagai penelitian sebagai masukan
untuk penyusunan kebijakan pemerintah di bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya, hukum dan lain-lain. Dalam
rangka pemfokusan program penelitian dan pengembangan
akan dilakukan (1) penelitian dan pengembangan yang
ditekankan pada enam bidang fokus, yakni bidang pertanian
dan pangan, energi, kelautan, kebumian dan dirgantara,
bioteknologi, manufaktur, dan informatika; (2) penelitian dan
pengembangan program tematis unggulan dan strategis dengan
mekanisme kompetitif; (3) pengembangan teknologi proses
untuk mendukung peningkatan produksi. Sedangkan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya iptek
dilakukan melalui: (1) optimalisasi dan mobilisai potensi SDM
iptek dalam melaksanakan kegiatan litbang; (2) peningkatan
kualitas dan kuantitas penelitian; dan (3) Melakukan pelatihan
bagi para peneliti. Dalam rangka memperkuat kompetensi inti
lembaga riset, ilmu pengetahuan dan teknologi (riptek),
dilakukan kegiatan pokok: (1) penyusunan peta potensi dan
kemampuan pusat-pusat penelitian dan pengembangan; (2)
peningkatan jumlah kerjasama lembaga riptek dengan
departemen teknis, dunia usaha, dan lembaga riset luar negeri;
serta (3) mendorong kegiatan yang memanfaatkan sarana dan
prasarana iptek secara optimal.

7. Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan


pelayanan teknologi lembaga-lembaga litbang, Metrology,
Standardization, Testing and Quality (MSTQ), yang ditekankan
untuk mendukung daya saing dunia usaha dan mendorong
pelaksanaan litbang di dan oleh dunia usaha.

Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya kemandirian


pelayanan teknologi dan keunggulan inovasi teknologi bangsa

VII-60
sendiri agar dapat meningkatkan daya saing dunia usaha dan
masyarakat.

Arah kebijakan yang telah dilakukan untuk mencapai indikator


kinerja yang telah ditetapkan adalah mengembangkan pranata iptek
untuk mendukung sistem manajemen pelayanan iptek melalui
strategi pelayanan iptek yang efektif serta pengembangan sarana
dan prasarana iptek untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya
iptek.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil kegiatan yang telah dicapai adalah ditetapkannya


UU No 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Sisnas P3 Iptek). Undang-undang ini sangat
fundamental untuk mendorong keterlibatan semua unsur
masyarakat dalam pengembangan kemampuan iptek serta
memberikan landasan bagi pemerintah untuk menstimulasi
perkembangannya. Pengembangan kemampuan iptek tidak
hanya dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah dan
lembaga pendidikan, tetapi juga oleh pihak swasta juga
masyarakat, dimana pemerintah lebih berperan sebagai
fasilitator. Peraturan tersebut tertuang dalam bentuk pasal
khusus (lex spesialis) dimana saat ini konsep Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjabarkan undang-
undang tersebut sedang dalam tahap perumusan akhir. Dengan
adanya peraturan tersebut dimungkinkan setiap lembaga
litbang dan perguruan tinggi dapat mengelola pendapatan dari
hasil layanan jasa (alih teknologi) serta membentuk unit kerja
yang berfungsi untuk melakukan proses alih teknologi dengan
pola manajemen yang lebih fleksibel.

Hasil lain yang telah dicapai adalah mulai ditetapkannya


indikator kegiatan riptek secara jelas, serta tersusunnya
peraturan teknis dan standar mutu lembaga riptek sebagai basis
untuk lebih meningkatkan keberadaan dan kemampuan

VII-61
lembaga litbang dalam mendorong peningkatan daya saing
produk nasional.

Dalam rangka meningkatkan kemitraan dan jaringan


kelembagaan iptek dengan dunia usaha dan masyarakat serta
mampu memperkuat proses technology chain dalam
pembentukan keunggulan dan daya saing dilakukan berbagai
kegiatan antara lain pengembangan kerjasama riptek, reposisi
Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspiptek), pengembangan Dewan Riset Daerah (DRD), dan
penyusunan informasi kapabilitas lembaga iptek untuk Agenda
Riset Nasional. Pengembangan kerjasama riptek dilakukan
dalam upaya meningkatkan koordinasi dan saling pemahaman
untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas
pengembangan dan pendayagunaan riptek nasional.
Pengembangan kerjasama riptek ini dilakukan oleh lembaga
iptek melalui kerjasama dalam negeri dan luar negeri yaitu
dengan berbagai lembaga pemerintah pusat dan daerah,
perguruan tinggi dan dunia usaha. Sedangkan kerjasama luar
negeri dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral
diantaranya dengan Gerakan Non Blok, Asean COST
(Commitee on Science and Technology), China, India, Rusia,
Italia, Australia dan Jerman.

Rencana reposisi Puspiptek merupakan upaya untuk


meningkatkan kemampuan teknologi yang dimiliki oleh pusat-
pusat penelitian dan teknologi di lingkungan Puspiptek
sehingga dapat menumbuhkan daya dukung bagi sektor
produksi. Melalui reposisi ini diharapkan Puspiptek memiliki
fungsi kelembagaan yang dapat mengkaji prospek ekonomi
dari hasil-hasil penelitian dan membentuknya ke dalam paket-
paket teknologi produksi yang siap diadopsi oleh pelaku
bisnis. Dalam kaitan itu telah dibentuk Kerangka Kebijakan
Reposisi Puspiptek yang mencakup tiga strategi pokok yaitu:
memperkuat keterkaitan dengan sektor produksi, memperkuat
kemitraan dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi,
optimalisasi fungsi serta pemanfaatan kawasan dan prasarana
yang ada di Puspiptek untuk memfasilitasi kedua strategi di
atas.

VII-62
Penyusunan Informasi Kapabilitas Lembaga Iptek untuk
Agenda Riset Nasional (ARN) merupakan analitis dan
pemetaan kelembagaan iptek untuk mendukung proses
perumusan ARN. Kegiatan ini diterapkan dalam bentuk
program-program kegiatan yang mendukung tercapainya
pemberdayaan SDM yang unggul dan mandiri, pengembangan
kelembagaan Ripteknas, dan pengembangan jaringan
kemitraan antar lembaga dalam pelaksanaan penelitian
nasional.

Dalam rangka keterpaduan kebijakan Iptek Nasional telah


dikembangkan berbagai model pendekatan terpadu antara lain
pembentukan Forum Perencanaan Pembangunan Iptek,
pengembangan sistem informasi program riptek, peningkatan
sinergi pelaksanaan program riset unggulan, penyelarasan
perencanaan program terintegrasi antara pusat, daerah,
perguruan tinggi dan lembaga masyarakat, dan identifikasi
penentuan prioritas program penelitian.

Selain itu dalam rangka kemandirian pelayanan teknologi


telah dibentuk Forum Tekno Bisnis yang diselenggarakan oleh
lembaga ristek bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Juga telah dilakukan
pemasyarakatan HKI dalam membangun jaringan antara
penemu dan industri, tersedianya rekomendasi serta konsep
pengembangan Pusat-pusat Bisnis dan Teknologi (Business
Technology Centre), terselesaikannya konsep pengembangan
SDM Iptek di pedesaan serta kajian relevansi kurikulum
sekolah umum terhadap kebutuhan pengembangan Iptek masa
depan serta terlaksananya program insentif yang ditujukan
untuk melakukan pendirian penguatan sentra promosi dan
pemasaran iptek di lembaga-lembaga litbangyasa dalam
rangka pembentukan manajemen promosi dan pemasaran hasil
riptek.

Untuk pembinaan kelembagaan iptek yang mendukung


kebijakan dan pembangunan kedirgantaraan yang
berkelanjutan, telah dilakukan pengembangan kebijakan
kedirgantaraan nasional, untuk mendapatkan kepastian hukum
dalam pembangunan kedirgantaraan nasional dan melindungi

VII-63
kepentingan nasional dalam forum internasional.
Dikembangkannya bisnis dirgantara yang arahnya dapat
meningkatkan pertumbuhan industri dan komersialisasi
sebagai dampak dari produk dan jasa kedirgantaraan.

Dalam bidang aplikasi iptek untuk kegiatan survei dan


pemetaan telah dilakukan penentuan jaring kontrol horizontal
nasional, jaring kontrol vertikal nasional, jaring kontrol gaya
berat, jaring stasiun pasang surut dan jaring stasiun tetap
Global Positioning System (GPS), pengadaan Citra Landsat
dan foto udara untuk seluruh wilayah Indonesia. Sementara
itu terkait dengan kelembagaan iptek berbasis nuklir telah
dihasilkan 5 Peraturan Pemerintah, 6 Keppres yang mengatur
pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dalam pelaksanaan program ini adalah


belum adanya kebijakan yang terintegrasi yang mengkaitkan
antar berbagai sektor pembangunan sehingga memungkinkan
pelaksanaan program dapat secara simultan dilakukan, dan
belum adanya suatu instrumen yang secara reguler dapat
menggambarkan capaian serta perkembangan iptek nasional
dalam bentuk yang komprehensif dan kuantitatif. Berbagai
data dan indikator yang ada saat ini masih bersifat parsial dan
lebih pada kebutuhan internal lembaga litbang yang
bersangkutan. Permasalahan lainnya adalah terkait dengan
masalah in-fleksibilitas dalam pembiayaan kegiatan iptek,
khususnya yang bersumber dari dana pemerintah yang bersifat
tahunan dan bersifat swakelola. Penghargaan pemerintah
terhadap ara peneliti yang berprestasi dinilai masih belum
memadai.

Tantangan yang dihadapi berupa pesatnya permintaan


standarisasi produk-produk perdagangan, terutama komoditas
ekspor. Pada saat ini umumnya usaha kecil menengah di
Indonesia belum memiliki kemampuan teknologi dan
manejemen yang memadai sehingga kesulitan untuk
memenuhi persyaratan QCD (Quality, Cost and Delivery),
untuk itu aktifitas riset dibidang standarisasi produk,

VII-64
penyediaan fasilitas uji, peningkatan asistensi teknis menjadi
tantangan yang perlu terus diantisipasi. Selain itu tantangan
lainnya adalah perlunya pengembangan sistem pranata iptek
yang kondusif dan terpadu, sistem kelembagaan yang efektif
dan efisien dalam memacu peningkatan kualitas kegiatan iptek
dan pemanfaatannya bagi masyarakat.

iii. Tindak Lanjut

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan


adalah memperkuat landasan dan arah serta prioritas
pembangunan iptek dalam bentuk penyusunan rencana jangka
menengah pembangunan nasional iptek. Langkah lebih lanjut
yang dilakukan dalam program ini adalah penyempurnaan
sistem dan pengelolaan riset dalam bentuk (1) penetapan
program prioritas (priority setting), (2) penggunaan
mekanisme kompetitif dalam penetapan kegiatan riset, (3)
penentuan satuan target (deliverable) dalam kegiatan riset
sebagai alat ukur pencapaian, (4) pengembangan instrumen
analisis perkembangan teknologi dalam bentuk statistik iptek
dan indikator iptek, dan (5) menyusun peraturan teknis dan
standar mutu lembaga (struktur, personil, dan manajemen)
riptek. Hal lain yang akan dilaksanakan adalah penerapan
konsep pembiayaan riset berupa (1) pola pembiayaan riset
sistem paket, dengan model specific block grant, (2)
penyempurnaan standar unit cost penelitian, dan (3)
perumusan skema pembiayaan riset multiyears commitment
fund.

VII-65

Anda mungkin juga menyukai