Anda di halaman 1dari 43

Apa itu Injeksi?

Injeksi yang sering disebut sebagai ‘shot’ atau ‘jab’ dalam bahasa Inggris, adalah
proses memasukkan cairan ke tubuh menggunakan jarum. Dalam praktik medis,
cairan yang kerap dimasukkan ke tubuh melalui injeksi adalah obat dan vitamin.
Adapun jarum yang digunakan dalam proses injeksi adalah jarum hipodermik dan
jarum suntik. Dalam dunia medis pula, injeksi kerap dikenal sebagai teknik
pemberian obat melalui parenteral, yaitu pemberian melalui rute selain saluran
pencernaan. Injeksi parenteral meliputi injeksi subkutan, intramuskular, intravena,
intraperitoneal, intrakardiak, intraartikular, dan intrakavernosa.

Injeksi umumnya diberikan satu kali pada suatu waktu tertentu, meski dapat juga
digunakan untuk pemberian obat secara terus-menerus, dan dalam kasus tertentu.
Bahkan, ketika diberikan satu kali pada waktu tertentu, pengobatannya mungkin
bersifat jangka panjang, yang kemudian disebut sebagai injeksi depot. Pemberian
obat melalui kateter yang menetap biasanya lebih disukai daripada injeksi, jika obat
perlu diberikan secara berulang.

Injeksi adalah salah satu prosedur perawatan kesehatan yang cukup umum.
Sebagian besar injeksi dilakukan dalam rangka perawatan kuratif, sedangkan
sebagian kecilnya untuk imunisasi, atau tujuan lain seperti transfusi darah. Dalam
beberapa kasus istilah injeksi digunakan secara sinonim dengan inokulasi bahkan
oleh pekerja yang berbeda di rumah sakit yang sama.

Kenapa Melakukan Injeksi?


Injeksi biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan medis tertentu. Mulai dari
penyembuhan, hingga pencegahan penyakit. Cairan yang diberikan melalui injeksi
biasanya akan disesuaikan dengan apa yang diperlukan tubuh, atau yang
diresepkan dokter.

Bagaimana Melakukan Injeksi?


Secara umum, cara melakukan injeksi adalah mengisi jarum suntik dengan cairan
yang ingin diberikan, lalu menusukkan jarum ke salah satu bagian tubuh, keluarkan
cairan secara perlahan, cabut jarum, dan tutup luka dengan perban kecil. Namun,
prosedur melakukan injeksi sebenarnya berbeda-beda, tergantung jenis injeksi yang
akan diberikan.

Berikut beberapa jenis injeksi yang ada dalam dunia medis, dan cara melakukannya:

1. Injeksi Intravena

Injeksi intravena adalah injeksi yang melibatkan penyisipan jarum secara langsung
ke dalam vena, dan cairan yang dimasukkan akan langsung dikirim ke aliran darah.
Dalam pengobatan dan penggunaan obat-obatan, rute pemberian ini adalah cara
tercepat untuk mendapatkan efek yang diinginkan, karena obat segera berpindah ke
sirkulasi darah dan ke seluruh tubuh. Jenis injeksi ini adalah yang paling umum dan
sering dikaitkan dengan penggunaan narkoba.

2. Injeksi Intramuskular

Injeksi intramuskular adalah injeksi yang dilakukan untuk mengantarkan suatu zat ke
dalam otot, dengan tujuan dapat diserap dengan cepat oleh pembuluh darah.
Sebagian besar vaksin yang tidak aktif, seperti vaksin influenza, diberikan dengan
cara injeksi intramuskular ini.

3. Injeksi Subkutan

Dalam proses injeksi subkutan, obat atau cairan akan dikirimkan ke jaringan antara
kulit dan otot. Dengan menggunakan injeksi jenis ini, penyerapan obat akan berjalan
lebih lambat dibandingkan injeksi intramuskular. Jarum yang digunakan pun
cenderung lebih pendek, karena tidak perlu mencapai otot. Tempat pemberian
injeksi jenis ini adalah jaringan lemak di belakang lengan. Injeksi insulin adalah yang
paling umum menggunakan teknik injeksi ini. Selain itu, vaksin tertentu seperti MMR
(Campak, Gondok, dan Rubela), Varisela (Cacar Air), dan Zoster (herpes zoster)
juga diberikan secara subkutan.

4. Injeksi Intradermal

Dalam Injeksi intradermal, obat dikirim langsung ke dalam dermis, yaitu lapisan yang
berada tepat di bawah epidermis kulit. Suntikan sering diberikan pada sudut 5
sampai 15 derajat dengan jarum ditempatkan hampir rata pada kulit pasien.
Penyerapan membutuhkan waktu paling lama dari rute ini dibandingkan dengan
injeksi intravena, intramuskular, dan subkutan. Oleh karena itu, injeksi intradermal
sering digunakan untuk tes sensitivitas, seperti tes tuberkulin dan alergi, dan tes
anestesi lokal. Reaksi yang disebabkan oleh tes ini mudah dilihat karena lokasi
suntikan pada kulit. Bagian tubuh yang sering dijadikan lokasi injeksi intradermal
adalah lengan bawah dan punggung bawah.

5. Injeksi Depot

Injeksi depot adalah injeksi yang dilakukan untuk menyimpan obat dalam massa
lokal, yang disebut depot, untuk kemudian secara bertahap diserap oleh jaringan di
sekitarnya. Injeksi jenis ini memungkinkan senyawa aktif dilepaskan secara
konsisten dalam jangka waktu lama. Zat yang dimasukkan dalam injeksi depot
biasanya berbentuk agak padat atau berbahan dasar minyak.

Contoh injeksi depot termasuk Depo Provera dan haloperidol decanoate. Pasien
kanker prostat yang menerima terapi hormon biasanya mendapatkan suntikan depot
sebagai pengobatan atau terapi. Zoladex adalah contoh obat yang dikirim oleh depot
untuk perawatan atau terapi kanker prostat. Naltrexone dapat diberikan dalam
suntikan depot bulanan untuk mengendalikan penyalahgunaan opioid. Dalam hal ini,
injeksi depot meningkatkan kepatuhan dengan mengganti administrasi pil setiap
hari.

Kapan Melakukan Injeksi?


Injeksi biasanya dilakukan sesuai saran dokter, atau untuk tujuan tertentu seperti
ketika ingin mendonorkan darah.

Di Mana Melakukan Injeksi?


Injeksi dapat dilakukan di rumah sakit, laboratorium, atau tempat-tempat yang
menyediakan layanan kesehatan lainnya. Untuk melakukan pemeriksaan, kamu
bisa langsung membuat appointment sesuai poliklinik atau dokter spesialis

Mengulik jenis-jenis infus


Metode pemberian obat secara intravena ternyata dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Manual. Metode ini dilakukan dengan melibatkan gaya gravitasi supaya jumlah obat
tetap sama selama periode waktu tertentu. Perawat dapat mengatur kecepatan
tetesan cairan infus dengan cara mengurangi atau menambah tekanan penjepit pada
tabung intervena yang dipasang di selang.
2. Pompa. Laju aliran cairan dalam infus dapat diatur dengan pompa listrik. Perawat
akan memprogram pompa agar cairan infus dapat menetes dengan kecepatan dan
jumlah yang sesuai kebutuhan pasien. Pompa hanya dapat digunakan ketika takaran
dosis obat sudah tepat dan terkontrol.

Terlepas dari metode apa yang digunakan, perawat atau tenaga medis harus tetap
memantau infusan Anda secara intensif. Hal ini dilakukan supaya laju cairan yang menetes
dari kantong infus terkontrol dengan baik. Laju cairan yang terlalu cepat atau bahkan terlalu
dapat memebuat pengobatan menjadi tidak optimal.
Proses pemasangan infus
Sebelum menginfus Anda, dokter, perawat, atau tenaga medis lainnya harus terlebih dahulu
menentukan jenis infus yang akan digunakan pasien. Entah itu secara manual atau pompa
listrik,

Nah, setelah dokter atau perawat berhasil menentukan metode mana yang terbaik untuk
pasien, barulah infus bisa disuntikkan melalui kulit. Namun sebelum memasukkan jarum ke
dalam pembuluh darah, perawat biasanya akan membersihkan area yang disuntik dengan
alkohol. Hal ini dilakukan agar area tersebut bersih dari paparan kuman.

Pada orang dewasa, bagian yang paling sering diinfus adalah punggung tangan atau lipatan
antara lengan atas dan bawah. Sementara pada bayi, infus dapat diberikan melalui kaki,
tangan, atau bahkan kulit kepala.

Anda mungkin akan merasakan rasa tidak nyaman saat kateter dimasukkan ke pembuluh
vena. Tak perlu cemas, rasa nyeri ini adalah reaksi normal dan umumnya segera membaik
setelah prosedur selesai dilakukan.

Adakah efek samping setelah diinfus?


Setiap prosedur medis tentu memiliki efek samping. Termasuk ketika Anda diinfus oleh
tenaga medis di klinik atau rumah sakit. Efek samping setelah diinfus dapat terjadi secara
ringan atau berat, tergantung pada reaksi tubuh Anda terhadap obat dan faktor-faktor
lainnya.

Secara umum, berikut beberapa efek samping diinfus yang paling sering terjadi:

1. Infeksi

Dalam banyak kasus, infeksi bisa saja terjadi di area bekas suntikan. Biasanya, efek
samping ini terjadi akibat proses pemasangan jarum dan kateter yang tidak tepat, atau
penggunaan peralatan medis yang tidak steril.

Kondisi ini bisa menyebabkan infiltrasi. Ketika infiltrasi terjadi, obat yang harusnya masuk ke
aliran darah justru bocor ke jaringan di sekitarnya. Inflatrasi sendiri dapat menyebabkan
kerusakan jaringan parah jika tidak segera ditangani.

Biasanya, gejala infeksi akibat suntikan berupa kemerahan, nyeri, dan bengkak di area
bekas suntikan yang disertai dengan demam tinggi hingga menggigil. Segera cari
pertolongan medis apabila Anda merasakan berbagai gejala tersebut setelah diinfus.

2. Emboli udara

Emboli udara dapat terjadi akibat adanya udara di jarum suntik atau kantong obat infus.
Apabila saluran kantung obat infus mengering, gelembung udara bisa masuk ke pembuluh
darah.

Gelembung-gelembung udara ini dapat mengalir ke arah jantung atau paru-paru sehingga
aliran darah menuju area tersebut bisa terhambat. Jika terus-terusan terjadi, emboli udara
dapat menyebabkan masalah serius seperti serangan jantung atau stroke.
3. Penggumpalan darah

Terapi intervena juga dapat menyebabkan penggumpalan darah. Darah yang menggumpal
ini menyebabkan aliran darah melambat sehingga menyebabkan daerah yang tersumbat
menjadi bengkak, merah, dan menyakitkan.

Bisakah terapi intervena dilakukan sendiri?


Sayangnya, Anda tidak bisa melakukan terapi infus sendiri. Pemberian infus harus dilakukan
oleh dokter atau perawat. Pasalnya, dosis yang digunakan pada terapi infus tergantung
pada berat badan, riwayat medis, obat-obatan yang sedang dikonsumsi, serta kondisi
kesehatan pasien secara menyeluruh.

Jumlah cairan yang mengalir dari kantong infus ke dalam vena juga harus diperhitungkan
dengan tepat. Cairan infus yang mengalir terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat
menyebabkan komplikasi seperti sesak napas dan tekanan darah tinggi. Kondisi ini dapat
berbahaya, apalagi jika dialami oleh pasien dengan riwayat penyakit kronis.

Di sisi lain, pemasangan infus pun harus dilakukan secara hati-hati karena pemberian obat
harus diberikan langsung ke dalam pembuluh darah di bagian tubuh tertentu. Jika Anda
salah dalam menentukan letak pembuluh darah, maka infeksi dan penyempitan pembuluh
darah bisa saja terjadi. Keduanya pun sama-sama dapat memperparah kondisi Anda.

Jadi, jangan sekali-kali Anda mencoba untuk melakukan prosedur ini seorang diri.

amu inginkan di sini

SOP Pemasangan Infus


Lengkap Sesuai Standar
Akreditasi
By
 Nerslicious
 -
June 25, 2018

Facebook

Twitter
 

Pinterest

Pemasangan infus merupakan salah satu tindakan dasar dan pertama yang


dilakukan oleh tenaga kesehatan – khususnya perawat – sebagai awal dari
rangkaian kegiatan pengobatan dan perawatan terhadap hampir semua jenis
kasus baik itu gawat, darurat, kritis, ataupun sebagai tindakan profilaksis.

Karenanya, sebagai tenaga kesehatan – khususnya perawat – adalah sebuah


keharusan untuk bisa melakukan tindakan pemasangan infus yang baik dan
benar sesuai standar operasional prosedur yang berlaku agar hal-hal yang
tidak diinginkan dapat dihindari.

Untuk SOP pemasangan infus, setiap instansi pelayanan kesehatan pasti


mempunyai SOP yang berbeda-beda, tergantung referensi mana yang
digunakan. Namun secara garis besar, terapi intravena semuanya sama.

Berikut adalah SOP pemasangan infus yang umum digunakan di berbagai


fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia baik itu Rumah Sakit, Puskesmas
ataupun Klinik.
Pengertian Pemasangan Infus
Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk
memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien (Darmawan, 2008).

Sementara itu menurut Lukman (2007), terapi intravena adalah


memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk
dilewati cairan infus / pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan atau
obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu
tertentu.

Rekomendasi artikel :

 50 Tips Pemasangan Infus dalam 1 Kali Tusukan


 12 Tips Sukses Pemasangan Infus pada Bayi dan Anak-anak
Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada kehilangan
cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan terapi dan
cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang
keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa.

Tujuan Pemasangan Infus


Menurut Hidayat (2008), tujuan utama terapi intravena adalah
mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air,
elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan
melalui oral, mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit,
memperbaiki keseimbangan asam basa, memberikan tranfusi darah,
menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu
pemberian nutrisi parenteral.

Indikasi Pemasangan Infus


Secara garis besar, indikasi pemasangan infus terdiri dari 4 situasi yaitu ;
Kebutuhan pemberian obat intravena, hidrasi intravena, transfusi darah atau
komponen darah dan situasi lain di mana akses langsung ke aliran darah
diperlukan. Sebagai contoh :

1. Kondisi emergency (misalnya ketika tindakan RJP), yg


memungkinkan untuk pemberian obat secara langsung ke dalam
pembuluh darah Intra Vena
2. Untuk dapat memberikan respon yg cepat terhadap pemberian obat
(seperti furosemid, digoxin)
3. Pasien yg mendapat terapi obat dalam jumlah dosis besar secara
terus-menerus melalui pembuluh darah Intra vena
4. Pasien yg membutuhkan pencegahan gangguan cairan & elektrolit
5. Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi
kepentingan dgn injeksi intramuskuler.
6. Pasien yg mendapatkan tranfusi darah
7. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur
(contohnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang
jalur infus intravena untuk persiapan seandainya berlangsung syok,
juga untuk memudahkan pemberian obat)
8. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yg tidak stabil, contohnya syok
(meneror nyawa) & risiko dehidrasi (kekurangan cairan) , sebelum
pembuluh darah kolaps (tak teraba), maka tak mampu dipasang
pemasangan infus.

Kontraindikasi Pemasangan Infus


Kontraindikasi relatif pada pemasangan infus, karena ada berbagai situasi
dan keadaan yang mempengaruhinya. Namun secara umum, pemasangan
infus tidak boleh dilakukan jika ;
1. Terdapat inflamasi (bengkak, nyeri, demam), flebitis, sklerosis
vena, luka bakar dan infeksi di area yang hendak di pasang infus.
2. Pemasangan infus di daaerah lengan bawah pada pasien gagal
ginjal, terutama pada pasien-pasien yang mempunyai penyakit
ginjal karena lokasi ini dapat digunakan untuk pemasangan fistula
arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yg berpotensi iritan pada pembuluh vena kecil yg aliran
darahnya lambat (contohnya pembuluh vena di tungkai & kaki).

Keuntungan dan Kerugian Pemasangan Infus


Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi intravena
adalah :

1. Keuntungan Pemasangan Infus – Keuntungan terapi intravena


antara lain : Efek terapeutik segera dapat tercapai karena
penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat, absorbsi
total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat
diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek
terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit dan
iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau subkutan
dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi
dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau
ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.
2. Kerugian Pemasangan Infus – Kerugian terapi intravena adalah :
tidak bisa dilakukan “drug recall” dan mengubah aksi obat tersebut
sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi, kontrol pemberian
yang tidak baik bisa menyebabkan “speed shock” dan komplikasi
tambahan dapat timbul, yaitu : kontaminasi mikroba melalui titik
akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya
flebitis kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai
obat tambahan.

Lokasi Pemasangan Infus


Menurut Perry dan Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang
sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau
perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling
mudah untuk terapi intravena.

Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan


(vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian
dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median
lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna,
ramus dorsalis).

Dougherty, dkk (2010)


Menurut Dougherty, dkk, (2010), Pemilihan lokasi pemasangan terapi
intravana mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:

1. Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah


sangat penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir
2. Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima
jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti
pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun
3. Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak,
perubahan tingkat kesadaran
4. Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan
sering memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya
hiperalimentasi adalah sangat mengiritasi vena-vena perifer)
5. Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan
pengukuran untuk memelihara vena; pilih vena yang akurat dan
baik, rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke
proksimal (misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan)
6. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada,
pemilihan sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting ;
jika sedikit vena pengganti
7. Terapi intravena sebelumnya : flebitis sebelumnya membuat vena
menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering membuat
vena menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau sklerosis)
8. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang
terkena pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat
(misalnya pasien mastektomi) tanpa izin dari dokter
9. Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada
pasien dengan stroke
10. Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami
pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi

Jenis Cairan Pemasangan Infus


Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Perry dan Potter, (2005) cairan
intravena (infus) dibagi menjadi 3, yaitu :

1. Cairan bersifat isotonis : osmolaritas (tingkat kepekatan)


cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah),
sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada
pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh,
sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya
overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat
(RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
2. Cairan bersifat hipotonis : osmolaritasnya lebih rendah
dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai
akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel
mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis)
dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula
darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang
membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam
pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa
orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
3. Cairan bersifat hipertonis : osmolaritasnya lebih tinggi
dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari
jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan
tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi
edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose
5%+Ringer-Lactate.

Alat dan Bahan Pemasangan Infus


Sebelum melaksanakan pemasangan infus, berikut adalah alat dan bahan
yang harus dipersiapkan ketika hendak melakukan tindakan pemasangan
infus. Pastikan bahwa ke 12 alat dan bahan ini sudah tersedia.

1. Standar infus
2. Cairan infus sesuai kebutuhan
3. IV Catheter / Wings Needle/ Abocath sesuai kebutuhan
4. Perlak
5. Tourniquet
6. Plester
7. Guntung
8. Bengkok
9. Sarung tangan bersih
10. Kassa steril
11. Kapal alkohol / Alkohol swab
12. Betadine

SOP Pemasangan Infus


Standar Operasional Prosedur (SOP) memasang selang infus yang digunakan
oleh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Cuci tangan
2. Dekatkan alat
3. Jelaskan kepada klien tentang prosedur dan sensasi yang akan
dirasakan selama pemasangan infus
4. Atur posisi pasien / berbaring
5. Siapkan cairan dengan menyambung botol cairan dengan selang
infus dan gantungkan pada standar infus
6. Menentukan area vena yang akan ditusuk
7. Pasang alas
8. Pasang tourniket pembendung ± 15 cm diatas vena yang akan
ditusuk
9. Pakai sarung tangan
10. Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm
11. Tusukan IV catheter ke vena dengan jarum menghadap ke
jantung
12. Pastikan jarum IV masuk ke vena
13. Sambungkan jarum IV dengan selang infus
14. Lakukan fiksasi ujung jarum IV ditempat insersi
15. Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester
16. Atur tetesan infus sesuai program medis
17. Lepas sarung tangan
18. Pasang label pelaksanaan tindakan yang berisi : nama
pelaksana, tanggal dan jam pelaksanaan
19. Bereskan alat
20. Cuci tangan
21. Observasi dan evaluasi respon pasien, catat pada dokumentasi
keperawatan

Komplikasi Pemasangan Infus


Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu
yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi.
Komplikasi dari pemasangan infus yaitu flebitis, hematoma, infiltrasi,
tromboflebitis, emboli udara (Hinlay, 2006).

1. Phlebitis
Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi
ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di
sekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak
pada area insersi atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
2. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling
tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan
(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang
menurun) di sekitar area insersi, ketidaknyamanan dan penurunan
kecepatan aliran secara nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat
penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas yang
berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk memastikan infiltrasi
adalah dengan memasang torniket di atas atau di daerah proksimal dari
tempat pemasangan infus dan mengencangkan torniket tersebut secukupnya
untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada
obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.

3. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH
rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin, vancomycin,
eritromycin, dan nafcillin).

4. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar area
insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan
selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai
yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan.
Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada
tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat penusukan.

5. Trombophlebitis
Trombophlebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan
dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang
terlokalisasi, kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area
insersi atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa
tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam,
malaise, dan leukositosis.

6. Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran
infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena,
pelekatan platelet.
7. Occlusion
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran
balik darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.

8. Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar vena,
aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme vena bisa
disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh
obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.

9. Reaksi vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,
berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.

10. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament


Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi otot.
Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan deformitas.
Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat sehingga
menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

Pencegahan pada Komplikasi Pemasangan


Infus
Menurut Hidayat (2008), selama proses pemasangan infus perlu
memperhatikan hal-hal untuk mencegah komplikasi yaitu :

1. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
2. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda
infeksi
3. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
4. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
5. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir
6. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum
infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus
7. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester
dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu)
8. Gunakan alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik
sterilisasi dalam pemasangan infus
9. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena
yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak
stabil
10. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus dengan tepat.
11. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah
penghitungan millimeter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes
permenit.

SOP Pemasangan Infus pdf


Untuk Anda yang membutuhkan SOP pemasangan infus versi pdf, silahkan
tuliskan email teman-teman di kolom komentar dibawah, segera saya akan
mengirimkannya melalui email tersebut. Fast response.

Nah itulah SOP pemasangan infus yang biasa digunakan di berbagai fasilitas
kesehatan di Indonesia. Semoga bermanfaat ya!

Kateter adalah perangkat medis yang terdiri dari tabung panjang dan tipis yang bisa
dipasang dengan berbagai variasi ujung yang berbeda untuk memenuhi berbagai
fungsi. Kateter dimasukkan ke dalam tubuh sebagai bagian dari berbagai macam
prosedur medis; misalnya, alat ini digunakan untuk mendiagnosis genitourinari (GU)
perdarahan pada saluran, untuk memonitor tekanan intrakranial, dan bahkan
memberikan obat-obatan tertentu. Untuk praktek yang umum dilakukan,
"memasukkan kateter" biasanya memasukkan kateter urin ke dalam kandung kemih
melalui uretra pasien yang bertujuan untuk menguras urin. Sebagaimanal halnya
kebanyakan prosedur medis, bahkan yang umum sekalipun, pelatihan medis yang
tepat dan ketaatan terhadap prosedur keselamatan dan sanitasi adalah suatu
kewajiban. Lihat Langkah 1 di bawah ini untuk memulai.

Metode 1
Mempersiapkan Pemasangan
1.
1
Menjelaskan proses metode ini kepada pasien sebelum
menjalankannya. Kebanyakan pasien tidak terbiasa menjalani metode seperti ini,
apalagi dipasang tabung panjang ke dalam uretra mereka. Meskipun metode ini
tidak selalu digambarkan "menyakitkan", seringkali bahkan pada umumnya
dikatakan cukup banyak menimbulkan "ketidaknyamanan". Untuk menghormati
pasien, jelaskanlah dengan detail langkah-langkah prosedur sebelum memulai
metode ini.
 Menjelaskan langkah-langkah dan yang akan terjadi juga dapat menenangkan
pasien dan mengurangi kecemasan.
2.
2
Minta pasien untuk berbaring terlentang. Kaki pasien harus dalam posisi
mengangkang. Berbaring dalam posisi terlentang akan melemaskan kandung kemih
dan uretra, memudahkan pemasangan kateter. Uretra yang tegang akan menekan
kateter, sehingga menimbulkan perlawanan selama pemasangan. Kondisi ini bisa
memicu rasa sakit dan terkadang bahkan kerusakan pada jaringan utama uretra.
Dalam kasus yang parah bahkan dapat menyebabkan perdarahan.
 Bantu pasien melakukan posisi terlentang jika diperlukan.
3.
3
Mencuci bersih tangan dan mengenakan sarung tangan steril. Sarung tangan
merupakan bagian penting dari PPE (Alat Pelindung Diri) yang digunakan pekerja
kesehatan untuk melindungi diri mereka sendiri dan pasien selama prosedur medis.
Dalam kasus pemasangan kateter, sarung tangan steril mencegah bakteri masuk ke
dalam uretra dan menghindari cairan tubuh pasien bersentuhan dengan tangan
Anda.
4.
4
Membuka perlengkapan kateter. Kateter sekali pakai dikemas dalam segel dan
berisikan alat-alat steril. Sebelum membuka perlengkapan, pastikan kateter yang
tersedia memang sesuai untuk tujuan pemakaiannya. Anda membutuhkan kateter
dengan ukuran yang sesuai bagi pasien. Kateter diukur berdasarkan satuan unit
yang disebut French (1 French = 1/3 mm [1]) dan tersedia dalam berbagai ukuran
mulai dari 12 (kecil ) hingga ke 48 (besar) French. Kateter kecil biasanya lebih
sesuai untuk kenyamanan pasien, tetapi kateter yang lebih besar mungkin
diperlukan untuk mengalirkan urin yang kental atau memastikan kateter tetap dalam
posisinya.
 Beberapa kateter juga memiliki bagian ujung khusus yang memungkinkannya
mampu melayani fungsi yang berbeda. Misalnya, jenis kateter yang disebut kateter
Foley biasanya digunakan untuk menguras urin karena terdapat balon yang
dipasang dan dapat ditiup untuk mengamankan posisi kateter di belakang leher
kandung kemih.
 Selain itu siapkan desinfektan taraf medis, seperti penyeka kapas, tirai bedah,
pelumas, air, tabung, kantong drainase dan plester. Semua harus dibersihkan
secara benar dan / atau disterilkan.
5.

5
Mensterilkan dan menyiapkan area genital pasien. Seka area genital pasien
dengan penyeka kapas yang sudah direndam ke dalam desinfektan. Bilas atau seka
daerah tersebut dengan air steril atau alkohol untuk menghilangkan kotoran. Ulangi
sesuai kebutuhan. Setelah selesai, pasang tirai bedah di sekitar alat kelamin,
sisakan ruang untuk akses ke penis atau vagina.
 Untuk pasien wanita, pastikan untuk membersihkan labia dan uretra meatus (bagian
luar pembukaan uretra yang terletak di atas vagina). Untuk pria, bersihkan
pembukaan uretra pada penis.
 Pembersihan harus dilakukan dari dalam ke luar agar tidak mencemari uretra.
Dengan kata lain, mulai dari pembukaan uretra dan dengan perlahan lembut
teruskan ke arah luar dengan gerakan melingkar.

Metode 2
Memasukkan Kateter ke dalam Kandung Kemih
1.

1
Lumasi ujung kateter dengan pelumas. Olesi bagian distal kateter (bagian 2-5 cm
di ujung) dengan cukup banyak pelumas. Ini adalah bagian ujung yang akan
dimasukkan ke dalam lubang uretra. Jika menggunakan kateter balon, pastikan
untuk melumasi bagian ujung balon juga.
2.

2
Jika pasien wanita, tahan labia supaya terbuka lalu masukkan kateter ke dalam
meatus uretra. Tahan kateter dengan tangan dominan Anda dan gunakan tangan
yang non-dominan untuk membuka labia pasien supaya pembukaan uretra bisa
terlihat. Masukkan ujung kateter ke dalam uretra secara lembut dan perlahan.
3.
3
Jika pasien laki-laki, pegang penis dan masukkan kateter ke dalam lubang
uretra. Tahan penis dengan tangan non-dominan Anda dan tarik perlahan ke atas,
tegak lurus dengan tubuh pasien. Masukkan ujung kateter ke dalam uretra pasien
dengan tangan dominan Anda.
4.
4
Teruskan mendorong sampai kateter sampai di kandung kemih. Kateter yang
panjang tersebut harus dimasukkan secara perlahan melalui uretra dan terus ke
dalam kandung kemih sampai urin bisa diamati. Setelah urin mulai mengalir,
teruskan mendorong kateter ke dalam kandung kemih sepanjang 5 cm untuk
memastikan kateter menyentuh leher kandung kemih.
5.
5
Jika menggunakan kateter balon, pompa balon dengan air steril. Gunakan
syringe berisi air untuk memompa balon melalui tabung steril yang terhubung ke
kateter. Balon yang sudah dipompa berfungsi sebagai jangkar untuk mencegah
kateter berpindah posisi saat bergerak. Setelah terpompa, tarik kateter secara
perlahan untuk memastikan balon menempel pada leher kandung kemih.
 Jumlah air steril yang digunakan untuk memompa balon bergantung pada ukuran
balon pada kateter. Biasanya, sekitar 10 cc air diperlukan, namun untuk memastikan
periksalah ukuran balon yang tersedia.
6.
6
Hubungkan kateter ke kantong drainase. Gunakan tabung medis steril untuk
mengalirkan urin ke kantong drainase. Pasang kateter ke paha atau perut pasien
dengan plester.
 Pastikan Anda meletakkan kantong drainase lebih rendah dari kandung kemih
pasien. Kateter bekerja dengan gravitasi - urin tidak dapat mengalir ke "tanjakan".
 Dalam lingkungan medis, kateter dapat dibiarkan selama 12 minggu sebelum
diganti, meskipun seringkali dibuang lebih cepat. Beberapa kateter, misalnya,
langsung dibuang setelah urin berhenti mengalir.

Tips
 Kateter tersedia dalam berbagai bahan termasuk lateks, silikon dan Teflon. Alat ini
juga tersedia tanpa balon atau balon dengan ukuran yang berbeda.

 Kebanyakan petugas kesehatan mengikuti aturan tindakan pencegahan universal,


yang meliputi mengenakan sarung tangan, wajah dan / atau pelindung mata, dan
jubah ketika memasang kateter.

 Kosongkan kantong drainase setiap 8 jam sekali.

 Mengevaluasi jumlah, warna dan bau urin yang tertampung di dalam kantung
drainase.

Peringatan
 Beberapa pasien mungkin alergi terhadap lateks. Perhatikan jika timbul reaksi alergi.
 Pantau munculnya komplikasi berikut: bau yang kuat, urin keruh, demam atau
perdarahan.
 Pemasangan kateter mungkin tidak benar jika terjadi kebocoran, urin sangat sedikit
atau hampir tidak ada urin di dalam kantong drainase.

Hal yang Anda Butuhkan


 Sarung tangan (steril)
 Tirai (steril)
 Cairan untuk membersihkan kulit
 Kapas penyeka
 Air steril
 Pelumas
 Tabung
 Kantong drainase
 Plester
 Syringe

Referensi
1. ↑ http://www.med.uottawa.ca/procedures/ucath/
2. http://www.med.uottawa.ca/procedures/ucath/
3. http://health.nytimes.com/health/guides/specialtopic/urinary-catheters/overview.html

Prosedur Tindakan Menjahit Luka atau Hecting


PROSEDUR TETAP MENJAHIT LUKA

I.PERSIAPAN ALAT:
Ø Sarung tangan steril
Ø Duk lubang
Ø Set alat bedah minor
Ø Benang jahit
Ø Jarum jahit
Ø Kassa steril
Ø Cairan normal saline (Nacl 0.9%)
Ø Cairan antiseptik
Ø Korentang steril dan tempatnya
Ø Perlak dan pengalasnya
Ø Obat anastesi
Ø Plester
Ø Gunting plester
Ø Kom steril
Ø Tempat sampah medis
Ø Disposible syringe
Ø Larutan H2O2/perhidrol
Ø Celemek
Ø Masker
Ø Trolly

II.PROSEDUR/CARA KERJA
Ø Cuci tangan dan keringkan,kemudian pakai sarung tangan steril
Ø Menyiapkan alat
Ø Bersihkan luka menggunakan cairan antiseptik
Ø Ganti sarung tangan dengan sarung tangan steril yang lain
Ø Jaringan disekitar luka dianastesi
Ø Bila perlu bersihkan luka dengan cairan normal saline(Nacl 0.9%)
Ø Bila luka kotor dan dalam gunakan larutan H2 O2/perl hidrol 10%
Ø Pasang duk lobang
Ø Gunakan jarum untuk menjahit kulit,masukan benang ke lubang jarum,pada penggunaan
jarum melengkung(curved needle) dari arah dalam keluar.
Ø Pegang jarum dengan menggunakan klem,kemudian mulai menjahit luka.
Ø jika luka dalam sampai jaringan otot,maka jahit lapis demi lapis (jenis benang disesuaikan
dengan jaringan yang robek,contoh:catgut,chromic,side,dll)
Ø Ikat benang dengan membentuk simpul.
Ø Potong benang,sisakan sepanjang 1mm(untuk jahitan dalam),0.65cm (jahitan luar)
Ø Lanjutkan menjahit luka sampai luka tertutup.
Ø Oleskan normal salin/desinfectan pada jahitan.
Ø Tutup dengan kassa steril.
Ø Pasang plester/hipafix
III.TERMINASI
Ø Mengakhiri prosedur dengan baik
Ø Menanyakan respon pasien
Ø Membereskan alat (mencuci alat dan menyeteril kembali)
Ø Cuci tangan
Ø Berterima kasih pada pasien/keluarga atas kerjasamanya.

Pendahuluan
Luka baru yang belum memasuki waktu kontaminasi Frederich (6 – 8 jam post trauma) dapat
dirawat secara primer yaitu dengan melakukan pembersihan luka dan lapangan sekitarnya,
pembuangan debris dan kotoran serta penjahitan luka secara sempurna, sedangkan yang
melebihi waktu kontaminasi bisa dilakukan pembersihan luka dan daerah sekitar luka,
merapikan luka dan penjahitan sementara atau situasi. Penjahitan luka membutuhkan
pengetahuan tentang penyembuhan luka, serta alat dan bahan untuk menjahit dan yang
terpenting sekali menguasai teknik jahitan (suture techniques).
Luka (Vulnus)
Luka adalah kerusakan anatomi karena hilangnya kontinuitas jaringan oleh sebab dari luar.
Luka terbagi menjadi dua : Luka terbuka (Vulnus Appertum) dan Luka tertutup (Vulnus
Occlusum).
Macam luka terbuka : Luka iris (Scissum), Tusuk (Ictum), Bakar (Combustio), Lecet
(Excoriasi/Abrasio), Tembak (Sclopetum), Laserasi, Penetrasi, Avulsi, Open Fracture dan
Luka Gigit (Vulnus Morsum).
Macam luka tertutup : Memar (Contusio), Bula, Hematoma, Sprain, Dislokasi, Close
Fracture, Laserasi organ dalam.
Teknik Perawatan Luka
¨ Desinfeksi
¨ Irigasi
¨ Debridement
¨ Perawatan perdarahan
¨ Penjahitan Luka
¨ Bebat Luka
¨ Angkat Jahitan
Desinfeksi (Sin. Antiseptik atau Germisida)
Adalah tindakan dalam melakukan pembebasan bakteri dari lapangan operasi dalam hal ini
yaitu luka dan sekitarnya.
Macam bahan desinfeksi: Alkohol 70%, Betadine 10%, Perhidrol 3%, Savlon (Cefrimid
+Chlorhexidine), Hibiscrub (Chlorhexidine 4%)
Teknik : Desinfeksi sekitar luka dengan kasa yang di basahi bahan desinfeksan
Tutup dengan doek steril atau kasa steril
Bila perlu anestesi Lido/Xylo 0,5-1%
Pembersihan Luka
Adalah mencuci bagian luka
Bahan yang di gunakan : Perhidrol, Savlon, Boor water, Normal Saline, PZ
Bilas dengan garam faali atau boor water
Debridement (Wound Excision)
Adalah membuang jaringan yang mati serta merapikan tepi luka
Memotong dengan menggunakan scalpel atau gunting
Rawat perdarahan dengan meligasi menggunakan cat gut
Perawatan Perdarahan
Adalah suatu tindakan untuk menghentikan proses perdarahan
Yaitu dengan kompresi lokal atau ligasi pembuluh darah atau jaringan sekitar perdarahan
Penjahitan luka
Penjahitan luka membutuhkan beberapa persiapan baik alat, bahan serta beberapa peralatan
lain. Urutan teknik juga harus dimengerti oleh operator serta asistennya.
Alat, bahan dan perlengkapan yang di butuhkan
Alat yang dibutuhkan :
Naald Voeder ( Needle Holder ) atau pemegang jarum biasanya satu buah.
Pinset Chirrurgis atau pinset Bedah satu buah
Gunting benang satu buah.
Jarum jahit, tergantung ukuran cukup dua buah saja.
Bahan yang dibutuhkan :
Benang jahit Seide atau silk
Benang Jahit Cat gut chromic dan plain.
Lain-lain :
Doek lubang steril
Kasa steril
Handscoon steril
Operasi teknik
Urutan teknik penjahitan luka ( suture techniques)
1. Persiapan alat dan bahan
2. Persiapan asisten dan operator
3. Desinfeksi lapangan operasi
4. Anestesi lapangan operasi
5. debridement dan eksisi tepi luka
6. penjahitan luka
7. perawatan luka
Macam-macam jahitan luka
1. Jahitan Simpul Tunggal
Sinonim : Jahitan Terputus Sederhana, Simple Inerrupted Suture
Merupakan jenis jahitan yang sering dipakai. digunakan juga untuk jahitan situasi.
Teknik : – Melakukan penusukan jarum dengan jarak antara setengah sampai 1 cm ditepi luka
dan sekaligus mengambil jaringan subkutannya sekalian dengan menusukkan jarum secara
tegak lurus pada atau searah garis luka.
- Simpul tunggal dilakukan dengan benang absorbable denga jarak antara 1cm.
- Simpul di letakkan ditepi luka pada salah satu tempat tusukan
- Benang dipotong kurang lebih 1 cm.
2. Jahitan matras Horizontal
Sinonim : Horizontal Mattress suture, Interrupted mattress
Jahitan dengan melakukan penusukan seperti simpul, sebelum disimpul dilanjutkan dengan
penusukan sejajar sejauh 1 cm dari tusukan pertama.
Memberikan hasil jahitan yang kuat.
3. Jahitan Matras Vertikal
Sinonim : Vertical Mattress suture, Donati, Near to near and far to far
Jahitan dengan menjahit secara mendalam dibawah luka kemudian dilanjutkan dengan
menjahit tepi-tepi luka. Biasanya menghasilkan penyembuhan luka yang cepat karena di
dekatkannya tepi-tepi luka oleh jahitan ini.
4. Jahitan Matras Modifikasi
Sinonim : Half Burried Mattress Suture
Modifikasi dari matras horizontal tetapi menjahit daerah luka seberangnya pada daerah
subkutannya.
5. Jahitan Jelujur sederhana
Sinonim : Simple running suture, Simple continous, Continous over and over
Jahitan ini sangat sederhana, sama dengan kita menjelujur baju. Biasanya menghasilkan
hasiel kosmetik yang baik, tidak disarankan penggunaannya pada jaringan ikat yang longgar.
6. Jahitan Jelujur Feston
Sinonim : Running locked suture, Interlocking suture
Jahitan kontinyu dengan mengaitkan benang pada jahitan sebelumnya, biasa sering dipakai
pada jahitan peritoneum. Merupakan variasi jahitan jelujur biasa.
7. Jahitan Jelujur horizontal
Sinonim : Running Horizontal suture
Jahitan kontinyu yang diselingi dengan jahitan arah horizontal.
8. Jahitan Simpul Intrakutan
Sinonim : Subcutaneus Interupted suture, Intradermal burried suture, Interrupted dermal
stitch.
Jahitan simpul pada daerah intrakutan, biasanya dipakai untuk menjahit area yang dalam
kemudian pada bagian luarnya dijahit pula dengan simpul sederhana.
9. Jahitan Jelujur Intrakutan
Sinonim : Running subcuticular suture, Jahitan jelujur subkutikular
Jahitan jelujur yang dilakukan dibawah kulit, jahitan ini terkenal menghasilkan kosmetik
yang baik
Tutup atau Bebat Luka
Setelah luka di jahit dengan rapi di bersihkan dengan desinfeksan (beri salep)
Tutup luka dengan kasa steril yang dibasahi dengan betadine
Lekatkan dengan plester atau hipafix ( bila perlu diikat dengan Verban)
Angkat Jahitan
Adalah proses pengambilan benang pada luka
Berdasarkan lokasi dan hari tindakan:
¨ Muka atau leher hari ke 5
¨ Pereut hari ke7-10
¨ Telapak tangan 10
¨ Jari tangan hari ke 10
¨ Tungkai atas hari ke 10
¨ Tungkai bawah 10-14
¨ Dada hari ke 7
¨ Punggung hari ke 10-14

TEKNIK TEKNIK PENJAHITAN KULIT


Oleh :
dr. DrRiawati MMedPH
Share To Social Media:
  
Teknik penjahitan luka diawali dengan anestesi luka, kemudian dilanjutkan dengan
pembersihan luka dari debris atau jaringan nekrotik.

Persiapan
Secara umum, informed consent diambil untuk melakukan prosedur ini. Anamnesis diambil
secara tepat yang berhubungan dengan:
 Kejadian luka, dan mekanismenya:

 Apakah dalam luka terdapat benda asing

 Apakah jaringan luka hancur/remuk akibat mekanisme tergilas, terhimpit

 Apakah terjadi kontaminasi, dan berapa tingkatnya

 Waktu dan lokasi terjadinya cedera tersebut

 Faktor predisposisi yang dapat menghambat penyembuhan luka, seperti diabetes,


imunosupresi, gangguan kolagen

 Status vaksinasi terhadap tetanus

 Status alergi terhadap antibiotik, anestesi, latex

Tergantung jenis luka, pasien dapat disediakan baju pengganti untuk dikenakan selama
tindakan prosedur, seperti umumnya pada operasi mayor, atau bedah minor tertentu. Luka
hendaknya dibersihkan dan disterilkan secara baik dan benar sebelum dilakukan tindakan,
menggunakan antiseptik yang sesuai dan tepat, dengan mengingat efek samping, keuntungan
yang lebih daripada risiko atau kerugiannya.

Anestesi

Pemberian obat anestetik disesuaikan dengan keadaan pasien, dan jenis luka. Sebelum
dilakukan anestesi, penting untuk memeriksa fungsi bagian tubuh yang terkena cedera,
beserta keadaan neurovaskularnya.

Setelah anestesi dilakukan, pemeriksaan fungsi bagian tubuh tersebut diulangi, disertai
dengan eksplorasi terhadap kemungkinan adanya benda asing, atau cedera parsial lainnya.

Persiapan Operator

Sebelum melakukan penjahitan kulit, operator mencuci tangan sesuai prosedur medis. Segera
setelah selesai pemeriksaan, handskoen dibuang secara benar. Cuci tangan lagi segera setelah
tindakan selesai.

Peralatan
Instrumen penjahitan kulit ditempatkan dalam satu nampan tertutup, dengan perlakuan yang
steril. Isi dari instrumen penjahitan kulit adalah handscoen steril, benang jahit, jarum
penjahitan, needle holder, pinset anatomis, pinset sirurgis, gunting, peralatan desinfeksi, dan
peralatan anestesi.
Benang Jahit

Benang jahit sintetis, dapat diabsorpsi tubuh sehingga tidak perlu angkat jahitan. Material
benang jahitan tradisional terdahulu adalah catgut dan silk. Benang tradisional tersebut telah
distandarisasi, dan bersama dengan benang sintetis terkini telah memberikan hasil estetik
yang superior dalam penyembuhan luka.
Benang jahit memiliki beragam jenis, tipe, struktur, patron, bahan, ukuran, dimana masing-
masing memiliki durasi ketahanan, dan daya absorpsi yang berbeda. Memilih benang yang
tepat guna dan sesuai, memiliki kontribusi yang besar terhadap hasil penyembuhan secara
fungsional dan kosmetik.

Karakteristik benang yang ideal adalah:

 Memiliki ciri khas good handling


 Tidak memberikan reaksi pada jaringan tubuh

 Mudah disimpul dengan baik

 Tidak mudah putus

 Tidak melukai jaringan

 Tidak bersifat elektrolitik

 Tidak bersifat allergen

 Ekonomis

Secara esensial, karakteristik benang semestinya:

 Steril

 Diameter dan ukuran yang sama

 Mudah dibentuk, dan disimpul dengan baik

 Tidak mudah putus secara keseragaman, baik dalam tipe, maupun ukurannya

 Bebas iritan, sehingga tidak menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya

Benang jahit dapat diklasifikasikan menjadi :

 Natural dan Sintesis : Benang natural biasanya dibuat dari kolagen yang didapatkan dari
traktus intestinal hewan mamalia, namun benang ini biasanya menimbulkan reaksi
peradangan. Benang sintetis dibuat dari polimer sintetik dan lebih sedikit menimbulkan reaksi
peradangan.
 Monofilamen dan Multifilamen : Benang monofilamen lebih resisten terhadap
mikroorganisme dan lebih mudah menembus jaringan kulit dibandingkan benang
multifilamen. Namun penggunaannya harus berhati-hati karena benang monofilamen lebih
mudah putus.

 Absorbable dan Non-absorbable  : Benang absorbable diabsorbsi tubuh melalui degradasi


enzimatik ataupun hidrolisis. Sedangkan benang non-absorbable tidak dapat diserap tubuh
sehingga harus dilakukan pengangkatan jahitan
Jenis benang jahit, diantaranya adalah :

 Benang absorbable natural : kolagen, plain catgut, chromic catgut


 Benang absorbable sintetik : vicryl, polysorb, polytrimethylen karbonat, dan monocryl
 Benang non-absorbable natural : surgical silk, surgical cotton, surgical steel
 Benang non-absorbable sintetik : nylon, poliester fiber, polybutester, dan prolene
Tabel 1 Karakteristik benang absorbable

Polytrimethylen
Karakteristik Gut Vicryl karbonat
Koefisien friksi Tinggi Medium Rendah
Kekuatan simpul Lemah Medium Baik
Tensile strength Lemah Tinggi Tinggi
Reaktivitas terhadap
jaringan Tinggi Rendah-sedang Rendah
Pada luka yang Pada luka yang
memerlukan memerlukan
Jaringan mukosa dan penyokong dermis penyokong dermis
Penggunaan ligasi pembuluh darah jangka pendek jangka lama
Elastisitas rendah
Berwarna transparan
atau violet Berwarna transparan
Lainnya   atau hijau
Tabel 2 Karakteristik benang non -absorbable

Nylon Nylon
Karakteristik Silk monofilamen multifilamen Prolene
Koefisien friksi Tinggi Rendah Tinggi Sangat rendah
Kekuatan simpul Baik Lemah Baik Lemah
Tensile strength Lemah Tinggi Tinggi Sedang
Reaktivitas terhadap Tinggi Rendah Sedang Rendah
jaringan
Jaringan mukosa,
konjungtiva atau Pada
zona penjahitan
intertriginosa, Penggunaan perkutan, dan
untuk minimal pada penjahitan
mengangkan atau Pada penjahitan operasi subkutikuler
Penggunaan retraksi jaringan perkutan dermatologi kontinyu
Berwarna hitam, Berwarna Berwarna biru
hijau, atau transparan atau atau
Lainnya Berwarna hitam transparan hijau transparan
Jarum Jahit

Jarum penjahitan kulit dibagi menjadi dua jenis, yaitu jarum cutting dan jarum tapered.
Selain daripada itu, jarum penjahitan kulit juga memiliki berbagai ukuran, seperti 11 mm, 13
mm, dan 19 mm.
Jarum cutting memiliki ujung berbentuk segitiga dan lebih runcing. Ujung yang tajam ini
mempermudah jarum menembus jaringan. Biasanya jenis ini digunakan pada penjahitan kulit.
Jarum tapered memiliki ujung yang lebih panjang dan lebih halus. Seringkali juga disebut
jarum rounded. Jarum jenis ini tidak memberikan trauma pada jaringan sehingga sering
digunakan pada penjahitan pembuluh darah dan usus.
Anestesi Lokal

Untuk anestesi lokal digunakan lidokain 1% yang dikombinasikan dengan epinefrin


perbandingan 1:100000. Efek lidokain ini berdurasi sekitar 1─2 jam. Bersama dengan
epinefrin, efek lidokain dapat mencapai durasi hingga 2─4 jam.

Akibat efek vasokonstriksi epinefrin, memberikan keuntungan:

 Membantu anestesi sekitar luka agar dapat bertahan lebih lama

 Meningkatkan hemostasis sekitar luka

 Memperlambat absorpsi anestesi lidokain sehingga waktu melakukan prosedur dapat lebih
lama

Sodium bikarbonat dapat ditambahkan kedalam campuran anestesi lokal tersebut diatas,
untuk mengurangi rasa terbakar pada waktu infiltrasi suntikan dilakukan, namun fasilitas
kesehatan yang mengadopsi praktik ini masih jarang di Indonesia.

Apabila prosedur hechting memerlukan waktu yang lebih lama, maka dapat menggunakan
bupivakain, 0,25─0,5%, dengan atau tanpa epinefrin. Efek bupivakain berdurasi sekitar 4─8
jam. Bersama epinefrin, bupivakain memberikan efek anestesi yang panjang hingga 8─16
jam.

Dengan memperhatikan efek samping obat anestesi, hendaknya pemberian kepada pasien
dengan memperhitungkan dosis sesuai berat badan, apakah pasien dalam keadaan hamil,
menyusui, dan kepastian akan fungsi hepar dan ginjal dalam keadaan normal

Posisi Pasien
Tergantung letak luka, pasien dapat berbaring dengan posisi supine, dengan kedua lengan dan
tangan diletakkan pada sisi tubuh. Posisikan pasien senyaman mungkin, dengan tidak
mengesampingkan prosedur penjahitan luka
Prosedur
Hal terpenting yang mesti diperhatikan pada penjahitan kulit adalah penutupan yang benar
pada tepi luka. Pada umumnya, penutupan luka yang superfisial dilakukan dengan
teknik single-layer. Pada beberapa situasi, dimana luka lebih dalam, memerlukan beberapa
lapis penjahitan dengan menggunakan jenis jarum dan benang yang sesuai. Perhatikan pada
saat penutupan luka agar tidak terlalu kencang. Pastikan bahwa luka yang akan ditutup, tidak
terdapat tunnelling, atau undermining, dan telah terjadi hemostasis secara benar.
Penjahitan Kulit Sederhana, atau Simple Interrupted Suture

Teknik ini merupakan teknik yang paling dasar dalam ilmu bedah penutupan luka dengan
penjahitan. Jarum dimasukkan dengan sudut 90o sekitar 1─2 mm dekat tepi luka hingga ke
jaringan subkutan, atau dermis. Kemudian jarum diarahkan ke sisi luka yang berseberangan,
menembus jaringan keluar ke arah permukaan kulit sisi yang berseberangan tersebut,
memberikan hasil antara titik masuk dan titik keluar berjarak yang sama. Tembusan jarum
kedalam jaringan dermis/subkutan yang lebih dalam daripada jarak/lebar kedua titik tersebut,
akan memberikan “tepi eversi” pada permukaan jahitan, ini yang diinginkan. Buat simpul,
dan gunting sesudahnya. Lakukan ulang penjahitan tersebut hingga luka tertutup, dan simpul
ditempatkan pada sisi yang sama
Keuntungan teknik ini adalah:

 Tidak perlu waktu lama

 Dapat digunakan untuk menutup semua jenis luka dengan hasil kosmetik yang memuaskan

 Luka dibagi dua, untuk mencegah adanya kelebihan jaringan antar tepi luka

Jahitan menggunakan teknik ini dilakukan sedikit mungkin untuk mengurangi efek inflamasi
terhadap bahan benang yang digunakan Jahitan tidak boleh terlalu kencang, tidak strangulasi,
karena tepi luka hanya butuh saling menyentuh untuk dimulainya proses primer
penyembuhan Jahitan yang terlalu kencang akan mengganggu peredaran darah, menimbulkan
nekrosis, jaringan parut, dan secara kosmetik akan buruk. Disamping itu luka yang telah
dijahit, bahkan dengan teknik yang baik sekalipun, akan menimbulkan edema, sehingga
beberapa waktu sesudahnya, keadaaan jahitan dapat lebih tegang.

Simple Running Suture

Metode ini hampir sama dengan teknik simple suture, hanya tanpa simpul setelah jahitan
yang pertama. Simpul dibuat pada jahitan pertama dan jahitan terakhir. Kecepatan melakukan
teknik ini dengan baik dan benar, menunjukkan kualitas ketrampilan operatornya.

Keuntungan teknik ini:

 Membantu hemostasis

 Mengurangi kemungkinan masuknya air

 Benang mudah untuk diangkat

Kerugian teknik ini adalah bila jahitan terlalu kencang, dapat menyebabkan strangulasi
jaringan sekitar, termasuk pembuluh darah.

Matras Vertikal

Teknik ini memudahkan untuk membentuk “tepi eversi” jahitan pada permukaan kulit.
Penjahitannya dapat menembus lebih dalam melalui lapisan dermal, atau bahkan subdermal.
Simpul dibuat dipermukaan kulit

Keuntungan teknik ini:

 Mengurangi dead space
 Meminimalkan tegangan dalam daerah luka

Kerugian teknik ini adalah memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Bila tidak trampil
melakukan teknik ini, maka hasil akhir penjahitan, akan terbentuk “tepi inversi”, tegangan
pada luka, dan meningkatkan risiko terbentuknya jaringan parut.

Matras Horizontal

Teknik ini memudahkan menutup luka yang memiliki perbedaan ketebalan jaringan.
Penjahitannya menembus jaringan subkutan, atau dermal terhadap sisi luka yang
berseberangan. Keuntungan teknik ini adalah:

 Membantu meminimalkan tegangan jaringan sekitar luka

 Menutup dead space
 Mmebantu terbentuknya “tepi eversi” pada jahitan permukaan kulit

Kerugian teknik ini adalah dapat menimbulkan strangulasi jaringan sehingga terjadi hipoksia,
nekrosis, dan perlambatan penyembuhan.

Penjahitan Kulit Subkutikular

Benang dapat ditempatkan intra dermal, dengan cara simple, atau metode running. Simpul
dibuat dengan ditanam dengan teknik simple suture.
Pada metode running, jahitan terakhir dapat dibuat tanpa simpul, tapi dengan melekatkan
ujung benang pada permukaan kulit.
Penjahitan pada anak-anak sebaiknya menggunakan benang yang absorbable, sehingga tidak
perlu ada pencabutan benang.
Apabila jahitan direncanakan untuk terpasang lebih lama, maka jenis non-absorbable, seperti
nylon lebih dipilih. Keuntungan teknik ini adalah :
 Meminimalkan tegangan pada tepi luka

 Metode running berguna untuk lebih memuaskan penyembuhan secara kosmetik


Follow up
Follow up  dilakukan saat pelaksanaan, selesai, jangka waktu pendek, dan jangka waktu
panjang setelah prosedur. Pada saat pelaksanaan prosedur, hal yang harus diawasi adalah :
 Monitor terhadap kemungkinan timbulnya efek samping obat anestesi dari ringan hingga
berat

 Mengawasi keadaan umum dan kesadaran pasie

Setelah selesai prosedur, pengawasan dilakukan tergantung jenis luka dan kesulitannya.
Observasi dapat terus dilanjutkan hingga sekitar beberapa jam. Tujuannya adalah:

 Untuk memantau kemungkinan timbulnya reaksi lambat terhadap obat anestesi, seperti
bengkak, gatal, eritema, atau kesulitan bernapas

 Untuk mengawasi dan memastikan bahwa keadaan luka post tindakan dalam keadaan baik

 Untuk memastikan keadaan umum dan kesadaran pasien baik pada saat dipulangkan

Untuk jangka waktu pendek setelah tindakan, follow up yang dilakukan adalah :


 Merawat dan mengobservasi luka post tindakan, agar sembuh cepat, atau sesuai dengan
perkiraan waktu yang telah ditetapkan

 Memastikan luka yang sembuh memiliki kekuatan jaringan yang kembali senormal mungkin

Untuk jangka waktu panjang, pengawasan dilakukan untuk memastikan agar luka yang
sembuh tidak terbentuk jaringan parut, atau seminimal mungkin.

Pengangkatan Benang
Pada saat dilakukan follow up mungkin perlu dilakukan pengangkatan benang setelah luka
kering atau setengah kering. Pengangkatan benang dilakukan sesuai dengan jenis benang
yang digunakan dan keadaan luka. Benang, semestinya diangkat sedini mungkin, untuk
mencegah, atau meminimalkan reaksi benang, dan tanda bekas benang pada jaringan kulit.
Namun demikian, benang tersebut hendaknya cukup waktu untuk menutup luka secara
sempurna, agar luka tidak robek atau terbuka kembali sehingga dapat menimbulkan jaringan
parut.
Secara umum, waktu pengangkatan benang non-absorbable biasanya 4─5 hari. Pada situasi
tertentu, benang non-absorbable diangkat setelah 10─12 hari.

Secara khusus, berikut ini adalah waktu pengangkatan benang pada masing-masing bagian
tubuh:

 Jahitan benang pada wajah, atau telinga sekitar 5─7 hari

 Jahitan benang pada kelopak mata, dapat diangkat antara 3─5 hari

 Jahitan benang pada leher diangkat dalam 7 hari

 Jahitan pada kepala dicabut sekitar 7─10 hari

 Jahitan pada bagian tubuh yang memiliki banyak pergerakan, atau tegangan kulit yang tinggi,
pengangkatannya dibiarkan agak lama, agar luka yang sembuh memiliki jaringan yang kuat.

 Jahitan pada badan, dan ekstremitas dibiarkan tinggal hingga sekitar 10─14 hari

Referensi
Kontraindikasi Teknik Penjahitan...
Komplikasi Teknik Penjahitan Kulit
ARTIKEL TERKAIT

Rasionalisasi Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Luka


Tinjauan Ulang Metode Packing paska Insisi dan Drainase Abses

Penanganan Tersambar Petir dan Luka Bakar Listrik Lainnya

Madu sebagai Balutan Luka Ulkus Diabetikum

Manfaat dan Keamanan Antibiotik Topikal untuk Terapi Luka Ringan


Lebih Lanjut
DISKUSI TERKAIT

Kontraindikasi penjahitan luka atau penutupan luka segera adalah pada jenis luka sebagai
berikut :
 Luka yang memungkinkan terjadinya infeksi, seperti:

 Luka akibat gigitan manusia

 Luka akibat gigitan hewan

 Luka avulsi dimana ada jaringan yang hilang, penjahitan dapat ditunda untuk mengawasi
kemungkinan terjadinya jaringan nekrotik, dan adanya debris

 Luka infeksi

Pada jenis luka tersebut, dilakukan perawatan luka secara terbuka dan pengawasan berkala.

Selain dari pada itu, penjahitan juga dikontraindikasikan pada luka pada bagian tertentu
wajah dimana terdapat lekuk konkaf, seperti lekuk cuping hidung, dahi samping dekat garis
rambut (temple), sulkus pre aurikular, lekuk mangkuk daun telinga. Adanya riwayat alergi
terhadap obat anestesi yang digunakan atau komponennya juga merupakan kontraindikasi
penjahitan luka.
Perlu diingat pula bahwa pasien yang menderita penyakit arteri perifer dikontraindikasikan
diberikan epinefrin sebagai kombinasi dengan obat anestesi pada saat dilakukan penjahitan
luka.

Referensi
Indikasi Teknik Penjahitan Kulit
Teknik Teknik Penjahitan Kulit
ARTIKEL TERKAIT

Rasionalisasi Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Luka

Tinjauan Ulang Metode Packing paska Insisi dan Drainase Abses


Penanganan Tersambar Petir dan Luka Bakar Listrik Lainnya

Indikasi penjahitan kulit pada umumnya adalah penanganan luka baru yang terbuka seperti
luka superfisial, luka yang bersih, ataupun luka operasi. Luka terbuka dapat pula ditunda
penutupannya, dan baru dilakukan penjahitan luka setelah dinilai layak ditutup untuk
penyembuhan.

Pada luka yang memungkinkan terjadinya infeksi, seperti luka gigitan manusia atau gigitan
hewan, sebaiknya tidak dilakukan penjahitan. Pada jenis luka ini, perwatan luka dilakukan
dengan secondary intention dimana dilakukan perwatan tanpa penjahitan
dengan monitoring  berkala. Kekurangan dari metode ini adalah besarnya risiko infeksi dan
waktu penyembuhan yang lebih lama

Anda mungkin juga menyukai