Anda di halaman 1dari 18

1

PRAWACANA
Masih ingat nama Dimas Kanjeng Taat Pribadi? Heran, kalau
anda sudah lupa tentang “tokoh beken” yang amat populer tahun
2016. Ia adalah pria kelahiran 28 April 1970 dari keturunan Arab-
Jawa di kota Probolinggo, Jawa Timur, yang pernah menempuh
pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota Malang, namun
ternyata malang bagi perjalanan perkuliahannya yang tidak lancar
dan akhirnya ia harus drop out. Setelah itu ia malang melintang
berburu ilmu ke berbagai wilayah di tanah air, sampai tahun 2000
kembali ke Probolinggo untuk mendirikan sebuah padepokan (sebut
saja tempat retreat atau peristirahatan model zaman dulu). Di
tempat yang luasnya 7 hektar itulah ia menjadi pimpinan, pengasuh,
pemilik, bahkan guru besar (jangan tanya: kenapa tidak lulus kuliah
tapi bisa jadi guru besar, sebab pertanyaan model gini susah dapet
jawabannya di bumi nusantara).
Dimas Kanjeng juga dipanggil dengan sebutan raja Anom,
sebuah sebutan yang muncul karena ia dianggap “berhasil”
mengintegrasikan ajaran agama dengan unsur-unsur gaib yang
didapatnya dari ilmu kejawen (memang biasanya yang kagak lulus
kuliah suka “larinya” ke arah yang beginian). Misalnya, ia pernah
mengeklaim mampu menarik barang berharga atau logam mulia
(contohnya, emas) dari dalam tanah (kalau ini beneran, tentunya
saham Freeport langsung rontok, bukan?).
Yang paling bikin heboh adalah kehebatannya menciptakan
“bank” jadi-jadian, di mana ia dikatakan dapat menggandakan
uang secara gaib. Contohnya, kalau ada orang menyetor 1 juta
rupiah, ia bisa “memberanakkan” duit itu 1000 kali lipat dalam
waktu relatif tidak lama sehingga jumlahnya menjadi 1 milyar
2
rupiah. Bank gelap mana pun tidak ada yang seperti itu, apalagi
bank di Singapore, Jepang, atau Amerika Serikat yang rata-rata
bunganya kecil sampai negatif. Pelipatgandaan uang tersebut
dilakukan dengan cara berzikir dan bantuan jin ifrit (sejenis jin
“senior” yang dianggap sudah emeritus sejak masa sebelum
masehi), sehingga keluarlah fulus bergepok-gepok dari jubah
hitamnya yang sekilas mirip jubah hitam pendeta (juga jangan
tanya: apakah duit yang keluar itu ada nomor serial dari Bank
Indonesia?).
Kegiatan penggandaan dana ini mulai terhenti sesudah Dimas
Kanjeng diperkarakan karena keterlibatannya dalam kasus
pembunuhan terhadap dua orang bekas anak buahnya, Ismail
Hidayah (yang tewas Februari 2015) dan Abdul Ghani (terbunuh
April 2016). Setelah ditangkap polisi dan masuk pengadilan,
barulah terungkap bahwa kedua orang itu dibunuh karena Dimas
disebut khawatir keduanya akan membocorkan dugaan praktik
penipuan penggandaan uang. Akhirnya ia kena vonis 18 tahun
penjara pada Agustus 2017 oleh pengadilan negeri Kraksaan,
Kabupaten Probolinggo.
Berikutnya, praktik penggandaan kapitalnya otomatis tidak
dapat dilanjutkan, dan Dimas sendiri mengaku tidak dapat
melakukannya karena jin ifrit yang selama ini menjadi “pabrik
pencetak uang”nya telah kabur karena takut sewaktu didatangi
petugas kepolisian dan tentara (sejak kapan jin atau roh jahat takut
sama aparat?). Maka mulailah bermunculan para penagih, yaitu
mereka yang sebelumnya tergiur oleh iming-iming berupa returns
atau imbal-hasil yang besar dan yang telah menyetorkan doku yang
tidak sedikit (ada yang menyerahkan 50 juta, 900 juta, 1,5 milyar,
malahan ada yang 200 milyar). Mereka kebanyakan adalah orang
biasa, namun ada juga yang berprofesi sebagai pegawai, guru, orang
3
yang sebenarnya sudah kaya, dan terpelajar serta lulusan perguruan
tinggi dengan gelar doktor.
Pertanyaannya: Kenapa ya ada orang yang sudah terdidik atau
justru sudah kaya raya masih terpikat dengan fenomena irasional
semacam itu? Jawabnya: semua itu bermula dari hasrat untuk
memperoleh uang atau kekayaan materi (material wealth)
dengan cara cepat (fast money atau easy money). Artinya, di
mana-mana di seluruh dunia, godaan cinta uang—khususnya lewat
cara instan tanpa mesti berjerih lelah atau kerja keras—adalah
“pancingan maut” yang sama menggiurkan bagi orang kaya atau
miskin, tua-muda, bertitel tinggi atau tidak pernah “makan
sekolahan.”

UANG DAN GODAAN INGIN CEPAT KAYA


Godaan ingin cepat kaya dengan cara mudah lewat
penggandaan uang ala Dimas Kanjeng dalam bentuk yang lebih
modern dan canggih tampak marak terjadi hari-hari belakangan ini,
terutama lewat banyaknya kasus penipuan investasi robot
trading, perdagangan kripto, saham bodong, investasi emas,
bank gelap, dan investasi ilegal sejenisnya. Sebagai contoh, pada
kasus robot trading ilegal biasanya para pelaku menggunakan skema
piramida atau ponzi scheme untuk menjual aplikasi tak berizin,
melalui tiga paket penawaran seharga, 150 USD, 300 USD, dan 500
USD. Kemudian member yang akan ikut diharuskan memakai
referral link yang telah disediakan. Hal ini berarti yang dijual
adalah sistemnya, bukan barangnya. Bila seseorang join dalam

4
“bisnis” tersebut dan berhasil meraih member, maka ia
mendapatkan 10 persen (selanjutnya 6 persen hingga 20 persen).

Sebenarnya apakah robot trading itu salah? Perlu dimengerti


bahwa robot trading adalah program yang dimasukkan dalam
komputer untuk melakukan analisa pergerakan pasar forex atau
saham, mengeksekusi penjualan dan pembelian forex atau saham,
dan mengelola risiko sesuai dengan batasan-batasan yang
diprogramkannya. Dengan demikian, robot trading berfungsi
bagaikan expert financial advisor yang akan terus bekerja kapanpun
selama 24/7 asal mesinnya menyala.
Prinsip praktis yang harus diperhatikan sewaktu mau
mencoba ikutan investasi di pasar uang seumpama robot trading,
perdagangan kripto ataupun reksa dana, adalah: 1) check dulu
5
seperti apa mekanismenya; 2) bagaimana kinerjanya di masa lalu
(kinerja untung-ruginya selama 1-2 tahun yang lalu), dan 3) siapa
yang bertanggung jawab menjalankan robot trading atau
perdagangan kripto tersebut? Apakah ada legalitasnya? Ingat,
biasanya broker ilegal ataupun broker yang tidak yakin produknya
baik akan menggunakan metode member-get-member dan meng-
iming-imingi keuntungan yang di luar kewajaran.
Setiap jargon jaminan “pasti untung” atau “cepat kaya”
harus selalu diwaspadai! Karena prinsip investasi adalah selalu
“Semakin tinggi risiko, maka semakin tinggi kemungkinan
mendapat untungnya,” atau sebaliknya, “Investasi yang rendah
risikonya biasanya juga lebih rendah tingkat pengembaliannya”
(“high risk—high return” atau “low risk—low return”). Perhatikan:
Amsal 13:11 sudah mengingatkan “harta yang cepat diperoleh akan
cepat berkurang, tetapi siapa yang mengumpulkan sedikit demi
sedikit, menjadi kaya.”
Yang mengherankan, khalayak yang tertipu kebanyakan sudah
merasa ini kok rasanya gampang banget untuk untung dan sebagian
bahkan sudah tahu bahwa kegiatan usaha tersebut hanyalah
semacam money games atau (boleh juga disebut) sejenis gambling
yang tentu saja tidak memiliki perizinan di bidang perdagangan
yang diberikan oleh kementerian terkait, namun mereka tetap tergiur
oleh umpan imbal atau profit yang menarik dengan tujuan supaya
proses penggandaan uangnya bisa melejit, apalagi minat ikutan itu
akibat ramainya influencers dan selebgram yang
mempromosikannya. Artinya, orang yang join biasanya dipancing
dengan janji pasti untung ditambah dengan umpan profit di
awal keikutsertaan, lalu supaya betah, dikasi cuan (untung)
6
beberapa kali, sehingga yang bersangkutan semakin bernafsu
menambah modal investasi, dan ujung-ujungnya setelah sejangka
waktu terbitlah kerugian demi kerugian.
Fakta di atas memperlihatkan bahwa dewasa ini tampak
semakin banyak orang yang mengabaikan cara berpikir yang
tepat dalam berinvestasi secara benar, yaitu seharusnya mereka
menerapkan cara berpikir “Nanti Gimana” (Nanti gimana investasi
saya? Apa ada kemungkinan bodong? Apa saja risikonya?). Justru
di saat pandemi sekarang ini—sewaktu kebanyakan orang memiliki
tempo lowong dan senggang di rumah—malahan mereka
menerapkan prinsip “Gimana Nanti Saja,” yaitu: yang penting
untung dulu dan kita coba saja! Akhirnya, bukan untung yang
diraih, melainkan buntung, yang tidak diharapkan siapa pun.
Setelah Bappebti (Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka
Komoditi) menutup lebih dari 1.220 situs trading ilegal dan pihak
yang berwajib pun mulai menyelidiki kasus-kasus yang telah
merugikan banyak kalangan, barulah ketahuan bahwa kerugian
masyarakat bukan hanya ratusan milyar, tetapi disinyalir mencapai
angka fantastik 114 triliun rupiah; belum lagi kemudaratan berupa
tanah, rumah, dan barang berharga lainnya. Alih-alih
mengharapkan terwujudnya penggandaan dengan keuntungan
besar, yang dituai malah penderitaan akibat defisit tak terkirakan.
(Konon diduga: kasus bunuh diri yang melibatkan seorang model
yang terjun dari lantai 8 sebuah apartemen baru-baru ini ada
kaitannya dengan kekalahan dalam trading.) Ironisnya, yang
termakan bujuk rayu para penipu itu bukan hanya orang biasa, ibu-
ibu, keluarga muda, pekerja kantor, pedagang, pengusaha, orang
7
kaya, orang terpelajar, melainkan juga orang-orang beragama,
termasuk orang gereja, dan malahan ada juga pendeta!
Rupanya di masa pandemi covid—yang boleh juga dinamakan
sejenis wabah mirip influenza—tampak dalam perikehidupan
masyarakat masa kini juga berkembang yang disebut “affluenza”
yang merupakan gabungan kata “affluence” (kemakmuran,
kekayaan, berkelebihan) dan kata “influenza.” Kamus Oxford of
Organizational Behaviour mendefinisikan “affluenza” sebagai “a
virus with symptoms relating to an unhealthy obsession with the
accumulation of wealth” (semacam virus yang gejala-gejalanya ada
hubungannya dengan sebuah obsesi yang tidak sehat untuk
penumpukan kekayaan).
Sebenarnya pembahasan tentang topik ini banyak diulas di
dalam Alkitab. Sebagai contoh, tema tentang kekayaan, harta,
kepemilikan, dan uang, termasuk yang kerap dibicarakan oleh
Tuhan Yesus. Dari 38 perumpamaan yang pernah dituturkan-Nya,
16 buah berkaitan dengan tema tersebut. Misalnya, Ia berucap:
“Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”
(Mat. 6:24). Istilah “mammonas” ada konotasinya dengan
penyembahan (ilah) uang yang sesungguhnya adalah “ilah palsu”
(false god) dan tindakan money worship ini tentu saja akan
menghalangi seseorang untuk menyembah Allah yang benar.
Singkatnya, worship kepada Allah harus bersifat manunggal (satu),
tidak bisa kedua-duanya sekaligus, yakni berdampingan dengan ilah
palsu.
Jangan salah mengerti: Tuhan Yesus tidak anti uang, sebab
dalam pelayanan-Nya Ia juga memakai uang, dan ada bendahara
yang mengurusi penggunaan uang, serta ada orang-orang kaya yang
8
meng-support aktivitas perjalanan dan pelayanan-Nya (Luk. 8:2-3).
Tambahan pula, beberapa tokoh Alkitab adalah orang kaya, seperti
Abraham, Daud, Salomo, Filemon, Lidia, atau Febe (Rm. 16:2).
Lebih dari itu, Tuhan Yesus malahan sempat ngomong begini:
“Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga” (Mat. 6:20;
“Stockpile treasure in heaven”; MSG). Hal ini menandakan ada
perbedaan antara material wealth (kekayaan/harta kebendaan yang
sifatnya sementara) dan spiritual/eternal wealth (kekayaan/harta
yang rohani dan kekal). Setiap orang percaya didorong untuk
menyetok harta/kekayaan pada tingkatan yang lebih tinggi dan
rohani, yaitu di sorga yang kekal. Cara melakukannya bukan
dengan men-transfer material wealth berupa emas, saham, uang,
deposito, bitcoin, ke “bank” di sorga. Cara yang dimaksudkan
Yesus adalah dengan memperbanyak perbuatan kasih yang
dikerjakan dalam nama Kristus (bdk. Mat. 25:40).
Tentu saja orang Kristen sama sekali tidak didorong untuk
mengejar, mencintai, atau mendewakan material wealth yang
sifatnya temporal. Maka, yang hendak Yesus tekankan pada Matius
6:24 adalah: Seseorang yang menyembah atau memperilah uang
atau dunia material akan meletakkan seluruh kiblat dan cintanya
pada lingkup kebendaan semata, sehingga itu semua menguasai,
mengendalikan, mendominasi, bahkan dianggap menentukan hari
depannya. Itulah orientasi dan motivasi yang keliru pada
sebagian insan: membiarkan “false god” (ilah palsu), yaitu
material wealth mendikte, menguasai, mengendalikan,
mendominasi, dan lebih dari itu, menentukan takdir masa
depannya.
9
Idealnya adalah manusia-lah yang mengontrol uang dan harta
bendanya, bukan sebaliknya. Secara prinsip yang benar, uang dan
kepemilikan seharusnya diberdayakan juga untuk mendatangkan
berkat untuk kepentingan, kebutuhan, kebaikan, dan kegunaan bagi
banyak orang. Sekali lagi, secara teori, uang seharusnya bukan tuan
atau majikan yang mengendalikan dan memberi perintah, melainkan
manusia-lah yang mengatur dan “berdaulat” terhadap fungsi harta
bendanya, tetapi pada realitasnya, yang terjadi tidak se-ideal “cita-
cita” pada cukup banyak orang, sehingga terjadilah penyimpangan,
kekeliruan, dan distorsi pemakaian uang ke arah yang negatif,
destruktif, hedonistik, dan soteristik (seakan-akan dunia kebendaan
adalah juru selamat manusia; bdk. Luk. 12:16-21).

CINTA UANG DAN KONSEKUENSINYA

Maka, ketika memperhatikan kata-kata rasul Paulus di 1


Timotius 6:10, kita perlu melihat konteks surat ini yang dipenakan
antara tahun 62-64 M. Yang jelas, Paulus menulis kepada anak
muda yang bernama Timotius yang waktu itu melayani di kota
Efesus, sebuah kota pelabuhan wilayah kekuasaan Romawi yang
lumayan makmur dan banyak orang kaya berdomisili di sana.
Intinya, ia mau mengajarkan pola hidup orang percaya yang sangat
praktis di tengah lingkungan sekular dan banyak pengajar palsu
yang memengaruhi dan membelokkan jemaat pada butir pengajaran
dan praktik kehidupan menuju ke arah yang tidak benar; salah
satunya adalah soal kekayaan/uang yang dalam realitasnya juga

10
berpengaruh terhadap ibadah seseorang sehingga kesaksian
hidupnya tidak memuliakan nama Tuhan.
Itulah sebabnya Paulus menegaskan: “Karena akar segala
kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa
orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan
berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10). Asal kata “cinta uang” adalah
“philarguria” yang terdiri “phileo” (cinta) dan “arguria” (perak,
uang). Sekali lagi, tolong dicatat baik-baik (sebab ayat ini sering
disalahmengerti oleh banyak kalangan): Paulus tidak katakan
bahwa “uang adalah akar segala kejahatan” dan memang uang
sebagai alat tukar atau instrumen transaksi pada dirinya sendiri
bersifat netral dan tidak ada masalah. (Bahkan, kalau mau jujur, kita
harus mengaku: uang adalah bagian yang penting dalam kehidupan
dan pelayanan, sekalipun bukan yang terpenting.)
Yang Paulus tuliskan adalah “cinta uang adalah akar segala
kejahatan.” Artinya, persoalan baru akan timbul ketika seseorang
memiliki kecenderungan mencintai uang, terlebih bila motif
dasarnya adalah “ingin kaya” (1Tim. 6:9). Poin ini memperlihatkan
bahwa uang pada dirinya sendiri tidak ada masalah, tetapi
penyalahgunaan uang (misuse of money) akan membawa pada
pelbagai persoalan. Bukankah Salomo jauh-jauh hari sudah
menegaskan bahwa “Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan
uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan
penghasilannya. Inipun sia-sia” (Pkh. 5:9).
Karena “cinta” adalah urusan wilayah hati manusia, maka
“philarguria” (lovers of money) pada instansi puncaknya ditandai
dengan di mana, atau pada posisi seperti apa, seseorang
menempatkan hati dalam urusan uang ini, yaitu seberapa besar
11
keinginan, dorongan, dan pertaruhan hatinya berkaitan dengan
uang dan harta benda, lebih-lebih bila tidak tampak limit dan
batas kepuasan hatinya dalam berdagang atau mencari
kekayaan. Sejalan dengan ini, benarlah ucapan Tuhan Yesus ketika
ia berujar: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu
berada” (Mat. 6:21).
Hati adalah aspek immaterial pada manusia yang letaknya di
dalam dan tidak kelihatan. Ini sejalan dengan kata “akar [segala
kejahatan]” di mana “akar” (Yun. rhiza; root) secara harfiah adalah
bagian dari kebanyakan tanaman yang letaknya di bawah, di dalam
tanah, dan tidak kelihatan. Sekalipun tidak kelihatan, yang namanya
“akar” sebenarnya adalah tanda kehidupan yang sangat esensial, dan
merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan. Secara
metafora, dalam konteks pembicaraan tentang manusia, orang yang
“tidak berakar” (mis. Mat. 13:21) adalah orang yang pada akhirnya
tidak akan hidup untuk Tuhan, sebab ia cenderung akan
menyangkali Tuhan atau meninggalkan keselamatan.

12
Maka orang yang disebut “lovers of money” amat berpotensi
melahirkan pelbagai “akar segala kejahatan” dimulai dari aspek
kehidupan yang tidak kelihatan (misalnya, penyimpangan dalam
ibadah; lih. 1Tim. 6:5). Artinya, pencinta uang belum tentu akan
langsung berubah menjadi orang yang melakukan setiap dan segala
jenis kejahatan atau immoralitas sekaligus. Bukan itu maksudnya.
Namun, yang sudah pasti, mereka yang terinfeksi “philarguria” juga
akan mengembangkan pola hidup sebagai “lovers of self”
(mencintai diri sendiri; philautoi; 2Tim. 3:2). Setelah itu, bila
duitnya sudah berjubel, apalagi kalau dapatnya mudah (easy money)
dan cepat (fast money), orientasi hatinya menjadi “lovers of sensual
pleasure” (mencintai hawa nafsu; philedonoi; 2Tim. 3:4). Kalau
sudah komplit seperti ini, mereka menjadi sulit dikatakan pribadi-
pribadi yang mencintai Allah (“lovers of God”; philotheoi; 2Tim.
3:4; bdk. Yak. 4:4; 1Yoh. 2:15), sekalipun mereka tetap bisa tampil
bersandiwara dalam lingkup publik atau gereja sebagai pribadi-
pribadi yang tampak baik, saleh, religius, dan melayani, tetapi
sebenarnya dalam hati mereka kiblatnya sudah berubah drastis.
Dalam konteks bergereja, idealnya seorang Kristen, aktivis,
majelis, penatua, terlebih penilik jemaat atau pendeta seharusnya
memiliki kualifikasi bukan sebagai “hamba uang” (aphilarguron;
“not lovers of money”; 1Tim. 3:3; Ibr. 13:5). Kontras tajam (dengan
negasi “not”) seperti ini merupakan sebuah penegasan yang sangat
diperlukan sebagai salah satu persyaratan calon majelis, calon
penatua, dan tentu saja calon pendeta yang diharapkan untuk
menjadi contoh teladan bagi jemaat. Sebaliknya, “image” yang
buruk tentang seorang calon majelis atau calon pendeta bisa-bisa
menggugurkan keterpilihannya, bila ia—sebelum dinominasikan
13
atau pada waktu mau diangkat sebagai majelis atau pendeta—
ternyata adalah seorang yang (maaf) “mata duitan” atau tidak
memiliki integritas dalam masalah keuangan (misalnya, suka
berutang, lalu lupa bayar atau sengaja tidak mau bayar). Bukankah
orang-orang Farisi adalah figur religius yang selalu tampil saleh
untuk konsumsi publik, namun dalam realitasnya adalah “hamba-
hamba uang” (Luk. 16:14)? Jadi, sekalipun mereka pandai
bersandiwara dan sering “membenarkan diri di hadapan orang . . .
[namun] Allah mengetahui hati [mereka]” (Luk. 16:15).
Bila hati seseorang sudah berubah secara radikal, maka tidak
sulit menemukan bahwa dalam kenyataannya ada juga orang yang
katanya Kristen pada kehidupannya “telah menyimpang dari iman
dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10).
Artinya, selain posisi iman yang mulai tidak jelas dan hidup dalam
kesalehan yang palsu, mereka yang “memburu uang” juga
mendatangkan akibat negatif yang berat. Kata “memburu” (Yun.
oregomai; “stretching after”; “craving for”; dalam bentuk present
middle participle) ada relasinya dengan keinginan yang sangat
mengebu-gebu untuk mengejar sesuatu, tetapi amat
disayangkan ia tidak pernah dapat meraihnya atau minimal
tidak pernah merasakan kepuasan, walau yang bersangkutan
siang malam senantiasa mengubernya. (Saya berkali-kali
mendengar ada orang-orang tertentu yang berubah menjadi
“manusia kalong” [namun mereka sama sekali tidak ada
hubungannya dengan Batman], dalam arti mereka kurang atau tidak
tidur di malam hari demi untuk “memburu” kekayaan atau cuan
lewat trading saham atau cryptocurrency. Oh, my.)
14
Akibat negatif yang berat terlihat pada aspek “menyiksa
dirinya” (Yun. periepeiran; piercing, cutting, stabbing), yang
dilukiskan secara kiasan bahwa ada insan yang saking anehnya kok
malah menyakiti diri sendiri dengan cara menusuk, menyilet,
menyayat, membabat dagingnya sendiri dari wilayah kepala hingga
kaki, sampai di sekujur tubuhnya dipenuhi luka pada tiap bagiannya.
Pendeknya, fenomena semacam ini dapat dijumpai di seluruh dunia:
ada orang yang kekayaannya berlimpah-limpah, tetapi, heran
sekali, batinnya tersiksa dengan rupa-rupa kemuraman,
kehampaan, penderitaan, kecemaran, hawa nafsu, perseteruan,
amarah, perpecahan, kepahitan, dan ketidakbahagiaan.
Bukankah ini sesuai dengan ungkapan raja Salomo ribuan tahun
yang lalu (yang sangat mungkin ia merasakannya sendiri): “Ada
kemalangan yang menyedihkan kulihat di bawah matahari:
kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaannya
sendiri. . . . Malah sepanjang umurnya ia berada dalam kegelapan
dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, penderitaan dan
kekesalan” (Pkh. 5:12, 16)? Bukankah hidup dengan keadaan
seperti itu hanya menghadirkan “berbagai duka,” apalagi yang
merasakannya tidak kembali kepada Tuhan dengan pertobatan
(2Kor. 7:10)?

REFLEKSI PENYUDAH

Sebelum tulisan ini berakhir, coba perhatikan: ada sebuah fakta


yang menarik pada semua mata uang koin dan kertas (banknotes)
Amerika Serikat, yakni pada setiap keping atau lembaran dollar itu
15
ada diselipkan empat kata “In God We Trust” (“Kepada Allah
Kami Percaya”). Mengapa tidak dituliskan “In [George]
Washington We Trust” (yang 1 dollar) atau “In [Benjamin] Franklin
We Trust” (yang gedean 100 dollar)? Atau, mengapa bukan terang-
terangan saja dituliskan “In Money We Trust” sebagaimana
kenyataan yang memang benar-benar terjadi pada cukup banyak
orang di sepanjang zaman? Kalau gitu, kenapa harus “In God We
Trust” yang seolah-olah mencampurkan urusan sekular dengan
lingkup spiritual?

16
Jawabnya adalah karena mereka menyadari bahwa eksistensi
Allah atau, paling sedikit, aspek religius, tidak dapat dipisahkan dari
aspek sekular, dan sebaliknya, supaya mereka yang memiliki
banknotes atau kekayaan material berupa uang itu sadar bahwa ada
spiritual wealth (in God) yang levelnya lebih tinggi dan kekal
ketimbang dunia kebendaan. Pendeknya, penulisan empat kata itu
bertujuan agar setiap orang yang memakai mata uang tersebut
mengingat dan memaklumi bahwa hanya Allah yang dapat
dipercaya di tengah lingkungan dunia material ini.
Tetapi, dalam praktiknya, bukankah kenyataan yang
berkembang sekarang ini dan di sepanjang zaman adalah
kebanyakan orang—baik Kristen atau bukan—seakan-akan lebih
menyukai “In Money We Trust” dari pada “In God We Trust”? Bila
ini situasi yang riil dari kehidupan mayoritas orang (termasuk orang
yang ke gereja), khususnya yang terjebak dalam “philarguria,”
maka tidak heran di mana-mana akan dapat dijumpai orang yang
tidak pernah memiliki rasa puas akan kepemilikannya, padahal
firman Tuhan mendorong orang percaya untuk memiliki “rasa
cukup” (contentment) terhadap dunia kebendaan, terutama uang
(1Tim. 6:6, 8).
Satu prinsip praktis bagi orang percaya untuk memiliki
contentment adalah belajar untuk “stick to your needs and cut your
wants” atau belajar menguasai diri untuk mencukupkan diri guna
memenuhi kebutuhan hidup yang penting dan mendasar dahulu
untuk keluarga, serta belajar menahan diri tidak mengumbar atau
berperilaku boros untuk sesuatu yang hanya memenuhi obsesi atau
keinginan mata semata. Karena sewaktu kita tidak dapat
mengatakan “enough is enough,” maka kita akan menjadi orang
17
yang serakah yang terus berkata “just a little bit more,” di mana
tidak terlihat batas atau limit dan senantiasa ingin memiliki lebih
dari apa yang sudah dimiliki.
Akibatnya, ada orang yang sering mengambil jalan pintas
dengan ikutan investasi yang menjanjikan untung besar. Demikian
pula dalam hal pemakaian kartu kredit, ada pihak yang begitu
mudahnya berutang demi memuaskan keinginan untuk memiliki ini
dan itu yang belum tentu ia butuh. Justru karena langkah-langkah
yang ceroboh inilah, seringkali kita jumpai ada orang yang
kehilangan damai sejahtera karena dikejar utang, atau
mengalami berbagai duka karena ketidak hati-hatian dalam
membuat keputusan investasi sehingga kehilangan uang yang cukup
besar.
Sebaliknya, orang percaya yang memiliki contentment akan
menjalani kehidupan ini dengan ketenangan dan damai
sejahtera, sekalipun kondisi di sekitarnya mengalami kesulitan atau
kekurangan. Hal ini berarti ia mempunyai kestabilan iman (“In
God alone, he or she trusts”), baik dalam kondisi lancar atau susah,
sehat atau sakit, dan berkecukupan atau krisis. Orang seperti inilah
yang akan memperlakukan uang sebagai sarana (money as a means),
bukan sebagai tujuan akhir (not money as an end in itself). Yang
paling penting dari itu semua: Hanya kembali kepada Kristus
dan hidup dengan rasa cukup (contentment lifestyle) akan
mendatangkan rasa puas dan kebahagiaan yang sejati. Mohon
permisi tanya: Punyakah saudara dan saya rasa puas dan
kebahagiaan yang sejati itu?

18

Anda mungkin juga menyukai