Anda di halaman 1dari 239

larangan-larangan berbisnis dalam Islam tersebut adalah sebagai berikut:

Kesamaran (Jahalah)

Kesamaran atau ketidakjelasan (jahalah) merupakan salah satu bentuk larangan yang harus
dihindari dalam berusaha, terlebih lagi dalam urusan berbisnis. Dalam percakapan umum, istilah
jahalah semakna dengan ungkapan “tidak transparan” atau “membeli kucing dalam karung”,
yang mengisyaratkan tentang perlunya transparansi dalam melakukan segala bentuk transasksi
mu’amalah.

Dalam praktek jual beli misalnya, orang yang terbebas dari unsur jahalah adalah orang yang
melakukan transaksi jual beli dengan transparan dan akuntable, baik menyangkut jenis barang,
jumlah atau ukuran, kehalalan dan keharamannya, masa kadaluarsa dan lain sebagainya,
sehingga dalam praktek bisnis yang dijalankannya tidak ada pihak yang merasa tertipu dan
dirugikan.

Esensi yang terkandung dalam hadis tersebut terkait dengan berbagai bentuk usaha yang
dijalankan secara tidak transparan dan penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja praktek-praktek
bisnis atau berusaha semacam itu tidak hanya terjadi pada kurun waktu tertentu saja, namun hal
tersebut dapat ditemukan di setiap kurun dan generasi. Salah satu jenis praktek jual beli yang
banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini dan memiliki banyak kesamaan dengan praktek
jual beli terlarang sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah jual beli dengan sistem
ijon.

Jual beli ijon yang dimaksudkan di sini adalah jual-beli buah-buahan (seperti padi dan lainnya)
yang masih hijau atau masih di atas pohonnya. Prakteknya, seorang pembeli membayar padi atau
buah-buahan yang masih di atas pohonnya tersebut secara kontan jauh sebelum musim panen
tiba, tanpa mengetahui secara pasti kuantitas dan kualitas barang yang akan didapatkannya nanti.
Praktek jual beli seperti ini tentu akan membuka peluang terjadinya kerugian yang bisa menimpa
salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi.

Praktek jual beli semacam ini bisa terjadi karena masing-masing pihak baik penjual maupun
pembeli memiliki strategi dan tujuan tertentu. Bagi pihak penjual (buah yang masih di atas
pohon) mau melepas dengan harga tertentu karena ia memprediksi bahwa volume barang sesuai
dengan harga yang ditetapkan atau bahkan keuntungan yang akan didapatkan jauh melebihi
volume barang yang dijualnya. Sedangkan pihak pembeli rela membeli dengan harga tertentu,
karena ia memprediksi bahwa barang yang akan didapatkan di musim panen nanti melebihi
harga yang telah ditentukan jauh sebelumnya. Maka jika prediksi yang telah mendorong kedua
belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, niscaya
akan melahirkan kekecewaan (gelo) dan bahkan penyesalan yang sangat mendalam atau bahkan
terjadi percekcokan di antara kedua belah pihak.
Contoh lain dari praktek jual beli yang memiliki unsur kesamaran (jahalah) ini adalah; jual beli
ikan yang masih dalam kolam. Praktek semacam ini juga sarat dengan unsur manipulasi dan
ketidakpastian yang berakibat pada kerugian salah satu pihak. Praktek semacam ini banyak
terjadi di berbagai tempat, dimana seorang menjual ikan yang masih di dalam tambak atau dalam
kolamnya dengan harga tertentu, sesuai dengan perkiraannya terhadap jumlah ikan yang terdapat
dalam kolam atau tambaknya.

Padahal bagi seseorang yang menyaksikan ikan yang masih dalam kolam, ia dapat saja melihat
yang sedikit seolah terlihat banyak, atau ikan yang masih kecil terlihat besar dan sebagainya.
Faktor-faktor semacam ini dapat menyebabkan seseorang membuat keputusan yang tidak tepat
dan berahir dengan kerugian dan penyesalan.

2. Perjudian (Maisir)

Salah satu motivasi seseorang melakukan praktek perjudian adalah untuk mendapatkan
penghasilan sekalipun dengan cara yang diharamkan. Dalam perkembangannya, praktek
perjudian (maisir) tidak lagi sekedar praktek penyimpangan yang berdiri sendiri dan tidak terkait
dengan aspek mu’amalah lainnya. Namun saat ini praktek perjudian (maisir) justru dapat
dijumpai dalam beberapa bentuk mu’amalah seperti jual-beli dan lainnya.

Salah satu contoh praktek jual beli yang mengandung unsur maisir (perjudian) adalah; jual beli
minuman botol (seperti; sprite/coca cola dan lainnya) dengan cara (media) gelang yang terbuat
dari plastik atau rotan, untuk disewakan atau dijual dengan harga tertentu. Lalu gelang-gelang
tersebut dilemparkan ke arah botol-botol minuman yang dijajakan secara berbaris. Jika gelang
tersebut masuk (melingkari) botol, maka minuman tersebut menjadi hak pembeli, tetapi jika
tidak ada yang masuk maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa sekalipun gelang yang dibeli
jauh melampui harga minuman yang disediakan. Praktek semacam ini banyak ditemukan di
pasar-pasar tradisional hingga mal-mal besar dengan teknis yang beraneka ragam.

Sebagaimana perjudian (maisir) pada umumnya, orang yang sudah terlanjur mengeluarkan uang
untuk mendapatkan sesuatu barang, ia akan semakin terobsesi untuk mendapatkan barang yang
menjadi targetnya. Jika ia belum berhasil, ia akan semakin penasaran hingga barang yang diincar
bisa didapatkan, sekalipun ia harus mengeluarkan biaya yang banyak bahkan melebihi harga
barang yang menjadi targetnya. Begitu pula jika dengan kelihaiannya ia berhasil mendapatkan
suatu barang, maka ia akan terobsesi untuk mendapatkan barang yang lebih banyak dengan biaya
yang relatif sedikit.

3. Penindasan (Az-Zhulmu)

Kezaliman merupakan tindakan melampui batas yang sering terjadi dan digunakan oleh
seseorang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tindakan dengan melakukan
kezaliman untuk mendapatkan keuntungan ini sering juga disebut dengan “Machiavellian” yaitu
sikap menghalalkan segala cara asal tujuan bisa tercapai (al-ghayah tubalighul washilah).
Kezaliman (penindasan) merupakan salah satu hal yang sangat dimurkai dan diharamkan dalam
Islam. Bahkan kezaliman kepada orang lain tidak akan diampuni oleh Allah sehingga orang
tersebut meminta maaf kepada orang yang dizaliminya. Kezaliman juga dapat menjadi faktor
penyebab seseorang mengalami kerugian besar (muflis) pada hari kiamat. Karena semua
kebaikan dan pahala yang diperolehnya di dunia habis untuk membayar setiap kezaliman yang
pernah dilakukannya saat ia hidup di dunia.

Adapun contoh-contoh kezaliman yang seringkali terjadi dalam bidang mu’amalah antara lain;
melakukan penipuan, penimbunan barang sehingga menyebabkan kelangkaan barang dan
melonjaknya harga barang di pasaran (ihtikar), pemaksaan, pencurian, perampokan dan lain
sebagainya. Termasuk di antaranya salah satu bentuk bisnis yang banyak digandrungi oleh
sebagian orang, yaitu Multi Level Marketing (MLM), sekalipun tidak semua bentuk MLM
memiliki unsur maisir, kezaliman dan gharar (penipuan atau manipulasi). Namun pada
umumnya MLM sarat dengan money game, dan tidak murni sebagai praktek jual beli yang syar’i.

4. Mengandung Unsur Riba

Riba merupakan salah satu rintangan sekaligus tantangan yang seringkali menggiurkan banyak
orang untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu dalam banyak ayat dan hadis Nabi saw.
persoalan riba ini memperoleh perhatian yang sangat serius dan dijelaskan dengan sangat rinci.
Diharamkannya riba dalam Islam tentu memiliki banyak hikmah baik bagi diri sendiri maupun
orang lain, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Beberapa ayat dan hadis di
bawah ini sangat cukup memberikan gambaran kepada kita tentang maksud, tujuan dan hikmah
diharamkannya riba dalam Islam.

5. Unsur Membahayakan (adh-Dharar)

Perintah maupun larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat prinsip dan mendasar guna
menjaga lima kebutuhan mendasar manusia. Kelima kebutuhan pokok manusia (dlaruriyat) ini
lebih dikenal dengan maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam), yaitu: Menjaga nyawa
(hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul ‘Aql), menjaga harta (hifzhul mal), menjaga keturunan
(hifzhun Nasl), dan menjaga agama (hifzhud din).

Maka barometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha, bisnis atau segala
usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar), tentu
mengacu kepada maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam ) di atas.
6. Penipuan atau Kecurangan (al-Gharar)

Menurut bahasa, al-gharar berarti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan (al-jahalah).


Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas
hasilnya (majhul al-‘aqibah). Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa semua praktik jual-beli,
seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buah-buahan sebelum tampak
buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Dari penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung
ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian.

Di dalam syari’at Islam, jual-beli gharar termasuk salah satu bentuk jual-beli yang terlarang. Hal
ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

Sekalipun telah dilarang, tetapi praktik jual-beli gharar masih dapat ditemukan di tengah-tengah
masyarakat. Pertama, seorang penjual menjajakan berbagai bentuk barang dagangan dengan
variasi harga dan menyediakan batu kerikil, atau gelang yang terbuat dari rotan atau sejenisnya.
Kemudian, seorang pembeli melemparkan kerikil atau gelang tersebut ke arah barang yang
diinginkannya. Apabila kerikil yang dilempar mengenai salah satu barang atau gelang tersebut
masuk pada barang yang diinginkannya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik
pembeli. Sebaliknya, jika kerikil tersebut tidak mengenai atau gelang yang dilempar tidak masuk
pada barang yang diinginkan, maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa, sekalipun harga barang
sudah diserahkan kepada penjual. Kedua, menjual tanah atau pekarangan dengan harga tertentu
sejauh batas lemparan pembeli. Apabila lemparannya jauh, maka pekarangan yang akan
didapatkannya pun luas, dan begitu pula sebaliknya. Ketiga, jual-beli barang yang belum ada
atau belum jelas (ma’dum), seperti misalnya jual-beli janin binatang yang masih dalam rahim
induknya (habal al habalah).

Dalam syari’at Islam, larangan jual-beli gharar tentu memiliki banyak hikmah. Di antara hikmah
tersebut adalah agar seseorang tidak memakan harta orang lain secara batil. Di dalam Islam,
memakan harta orang lain secara batil termasuk perbuatan yang dilarang agama. Hal ini
sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT:

7. Penyalahgunaan Hak (at–Ta’assuf )

Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (ta’assuf fi isti’malil haqq) berarti penggunaan hak
secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap
kepentingan orang lain maupun masyarakat umum. Jika difahami secara mendalam, adanya
larangan penyalahgunaan hak (at-ta’assuf) ini tidak lepas dari pembicaraan tentang hakikat
kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan harta benda tidak bersifat absolut
sebagaimana dianut oleh faham kapitalis, dan juga tidak membenarkan kepemilikan serba negara
seperti dianut oleh faham sosialis.

Islam mengakui hak individu sebagai amanah Allah SWT, dan dalam saat yang sama juga
mengakui bahwa di dalam kepemilikan individu terdapat hak orang lain (fakir miskin). Terkait
dengan masalah kepemilikan, Islam mengatur tentang dua hal sekaligus, yaitu dari mana
sumbernya (halal atau haram) dan untuk apa pendistribusian atau penggunaannya. Oleh sebab
itu, sekalipun harta benda merupakan milik seseorang, namun tidak berarti ia dengan leluasa
menggunakannya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemudharatan yang
mungkin akan dialami oleh masyarakat luas. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

Di antara beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak
(ta’assuf) adalah: pertama, penggunaan hak yang dapat mengakibatkan pelanggaran hak orang
lain. Islam tidak membenarkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak
asasi dengan mengabaikan dan melanggar hak asasi orang lain. Dalam ungkapan para ulama
disebutkan “haqqul mar’i mahjûbun bihaqqi ghairihi” (hak seseorang dibatasi oleh hak orang
lain. Kedua, penggunaan hak untuk kemaslahatan pribadi tetapi dapat mengakibatkan madharat
yang besar terhadap pihak lain serta tidak sesuai tempatnya atau bertentangan dengan adat
kebiasaan yang berlaku. Ketiga, penggunaan hak secara ceroboh dan tidak hati-hati.

8. Monopoli dan Konglomerasi (Ihtikar)

Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Sedangkan menurut istilah,
para ulama telah mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin Ali as-Syaukani
mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang dagangan dari
peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh
penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut. Sedangkan, ulama
madzhab Maliki menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik
makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar.”

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ihtikar adalah
penimbunan barang dalam jumlah banyak yang menyebabkan kelangkaan dan harganya
melonjak naik, sehingga mengakibatkan harga pasar menjadi rusak serta kebutuhan konsumen
terganggu. Imam as-Syaukani dalam kitab “Nailul Authaar V/338” menjelaskan bahwa
penimbunan (ihtikar) yang diharamkan Islam adalah sebagai berikut: pertama, menimbun barang
kebutuhan manusia dengan tujuan menaikkan harga di pasaran. Kedua, memborong barang
kebutuhan pokok dengan cara memonopoli dan menimbunnya sehingga terjadi kelangkaan dan
memunculkan kemudharatan bagi banyak orang.

Dengan demikian, stok barang yang sengaja disimpan di gudang dalam jumlah terbatas
sebagaimana dilakukan oleh para pemilik toko, mini market dan swalayan pada umumnya, tentu
tidak termasuk kategori penimbunan (ihtikar). Sebab tindakan tersebut hanya dijadikan sebagai
persediaan, sehingga tidak sampai mengakibatkan kelangkaan barang dan merusak harga pasar.
Hal ini sesuai dengan spirit yang terkandung dalam firman Allah SWT dan sabda Rasulullah
sebagai berikut:

9. Obyek Bisnis Bukan Sesuatu yang Haram


Islam tidak menganut paham serba boleh, sebagaimana yang diyakini oleh kaum sekuler.
Islam tidak pula menganut faham yang serba tidak boleh (haram) sebagaimana keyakinan
segelintir orang. Namun, dalam syari’at Islam diatur regulasi tentang persoalan yang halal
dan haram. Kehalalan sesuatu bisa disebabkan oleh zat barang itu sendiri yang dihukumi
haram, atau karena cara memperolehnya yang dilarang oleh agama. Karena itu, faham
Machiavellian, yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, sebagaimana
dilakukan sebagian orang dalam memperoleh keuntungan materi, merupakan faham yang
sangat menyimpang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.

Oleh sebab itu, salah satu etika bisnis dalam Islam yang harus diperhatikan dan dipraktikkan oleh
setiap muslim adalah menghindari segala sesuatu yang diharamkan sekalipun hal tersebut
menguntungkan secara finansial. Setiap muslim dilarang memperjual-belikan barang yang
diharamkan oleh agama, seperti menjual daging babi, minuman keras, dan narkotika. Selain itu,
setiap muslim juga haram memakan hasil penjualan barang-barang tersebut. Dalam haditsnya,
Rasulullah SAW menjelaskan beberapa contoh barang yang haram untuk diperjualbelikan:

10. Tidak Boleh Mubazzir

Salah satu persoalan yang sangat dimurkai oleh agama adalah sikap berlebihan dalam
menggunakan sesuatu hingga melampui batas yang diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam
terminologi agama, persoalan itu disebut tabzir atau mubazzir. Bahkan orang yang melakukan
tindakan mubazzir dianggap sebagai saudaranya setan. Penyerupaan manusia yang melakukan
tindakan mubazzir sebagai saudara setan tentu memiliki makna penghinaan dan larangan yang
sangat keras. Karena itulah, setiap muslim harus menghindari tindakan tersebut. Allah SWT
menjelaskan:

Salah satu makna dan tindakan tabzir dalam perilaku bisnis adalah menimbun kekayaan dan
keuntungan secara berlebihan (dengan tidak wajar), sehingga ia hidup dalam bergelimang harta
namun keluarga dekat, tetangga dan orang yang seharusnya mendapatkan santunannya diabaikan
dan hidup dalam kekurangan. Sikap semacam ini, di samping merupakan tindakan berlebihan
(tabzir), juga merupakan tindakan zalim, rakus, pelit, kufur nikmat dan beberapa bentuk perilaku
(akhlak) yang dilarang oleh agama. Wallahu A’lam bis Shawab.

Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk
menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah
untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat
Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian
pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk
penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Penawaran dan
pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukanoleh penjual seolah barang dagangannya
ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk
padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya. 2. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan
yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,
atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu. 3. Eksploitasi wanita, produk-
produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi
tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang
menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan
menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhada

p produk mereka.Model promosi tersebut dapat

kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang

menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian
yang lain.

Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian

utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang
tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti

syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.

4. Konsep Bisnis Dalam Al-

Qur’an

Konsep Al-

Qura’n tentang bisnis

yang sebenarnya

seperti night club discotic cafe tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang
menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-
A’raf;32. QS: Al

Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan. b. Menghindari cara memperoleh dan
menggunakan harta secara tidak halal.Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang
riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat
kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga
besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh
orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan
mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34

35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk

tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui
batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana

dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).

c. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalamAl-

Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara
yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah men

cela perbuatan

tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu
diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”.

Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk
menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah
untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat

besar. Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja mel

akukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang
terbuat dari api neraka kelak di

hari kiamat”.

d. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan
kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam
QS:Al-
Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang
benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual

maka jangan menipu orang dengan kata-kat

a manis”.

Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian
pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk
penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Penawaran dan
pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukanoleh penjual seolah barang dagangannya
ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk
padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya. 2. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan
yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,
atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu. 3. Eksploitasi wanita, produk-
produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi
tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang
menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan
menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhada

p produk mereka.Model promosi tersebut dapat

kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang

menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian
yang lain.

4.

Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian

utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang
tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti

syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.

PERBEDAAN ETIKA BISNIS ISLAM DENGAN KONVENSIONAL


Dari bebrapa paparan diatas ada beberapa poin yang dapat membedakan etika bisnis islam
dengan etika bisnis konvensional. Agar lebih jelas kami paparkan dengan bagan sebagai berikut:
NO PERBEDAAN ETIKA BISNIS ISLAM KONVENSIONAL
1. Sumber Al-Quran dan Al-Hadits Daya fikir Manusia
2. Motif Ibadah Mencari keuntungan
3. Paradigma Syariah Pasar
4. Landasan Falah Utiliti individualisme
5. Pondasi Dasar Muslim Manusia bisnis

Diantara beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam antara lain;

1. Bai’ al-Talji’ah (‫)بيع التلجئة‬

Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang penjual yang
dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya diambil oleh orang lain. Atau harta
yang masih dalam status sengketa sehingga agar tidak mengalami keruguan, harta tersebut dijual
kepada pihak lain. Pilihan untuk menjual barang dilatarbelakangi oleh tujuan untuk
menyelamatkan hartanya atau mendapatkan keuntungan lebih sebelum harta dibagi dengan
pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini termasuk jenis jual beli yang dilarang dalam Islam,
karena dapat menimbulkan ketidakpastian, sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan
kerugian pada salah satu pihak, terutama pihak pembeli.

Bahkan dalam fikih Islam dikenal istilah “al-Hajru” yaitu; pencegahan atau menahan seseorang
untuk melakukan transaksi atau membelanjakan hartanya (termasuk menjual) karena dianggap
belum cakap demi menjaga keselamatan harta benda tersebut. Pada dasarnya “al-Hajru” ini
sering dikaitkan dengan persoalan ketidakcakapan seseorang dalam melakukan transaksi jual-
beli jika pelakunya masih terlalu kecil, gila atau dalam kondisi tertentu yang tidak
memungkinkan untuk melakukan transaksi secara sadar dan bertanggung jawab serta dapat
mengakibattkan keruguan bagi yang bersangkutann maupun pihak lain. Namun “al-hajru” juga
dapat diterapkan dalam kasus yang berbeda untuk menghindari kerugian bagi pihak lain maupun
yang bersangkutan.

Diantara hikmah disyari’atkannya hal ini adalah; untuk menjaga hak orang lain, misalnya; orang
yang sakit parah dilarang menjual hartanya melebih 1/3 hartanya, guna menjaga hak ahli
warisnya. Atau salah seorang ahli waris dilarang menjual harta warisan sebelum harta warisan
tersebut dibagikan kepada ahli waris lain yang masih memiliki hak kewarisan, dan lainnya.
Hikmah yang lain adalah untuk menjaga haknya sendiri, misalnya; anak yang masih kecil atau
orang gila, mereka harus dicegah untuk melakukan transaksi jual beli untuk menjaga hartanya
dari kepunahan.

Adapun contoh bai’ al-talji’ah antara lain;: menjual barang atau tanah yang masih dalam posisi
sengketa, atau menjual barang atau rumah untuk mengelak dari proses lelang yang akan
dilakukan oleh bank atau pemberi hutang. Menjual barang yang masih dalam sengketa tentu
merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik berdasarkan norma, hukum terlebih lagi agama.
2. Jual Beli dengan Sistem Uang Hangus (‫)بيع العربون‬

Jual-beli ‘Urbun (bai’ al-‘Urbun) adalah suatu sistem atau bentuk jual beli dimana pembeli
membayar sejumlah uang (uang muka) untuk menunjukkan keseriusan dalam melakukan
transaksi jual beli. Jika jual beli tersebut dilanjutkan, maka uang muka tersebut akan menjadi
bagian dari harga barang yang diperjual belikan, sehingga pembeli hanya menggenapkan atau
melengkapi kekurangan dari harga barang. Namun jika transaksi jual beli dibatalkan, maka
keseluruhan uang muka menjadi milik calon penjual dan sedikitpun tidak dikembalikan kepada
calon pembeli. Dalam istilah yang lebih populer jenis jual beli seperti ini sering disebut
dengan “jual beli dengan sistem uang hangus”.

Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini,
sebagaimana dijelaskan oleh para sahabat; “Naha Rasulullah saw ‘an bai’ al-‘Urbun”
(Rasulullah saw telah melarang jual beli ‘Urbun).

Jenis jual beli ini termasuk yang diharamkan karena penuh dengan kezaliman, rekayasa serta
mengambil hak orang lain secara bathil dan dapat merugikan pihak lain. Sebab pada prinsifnya
uang muka merupakan hak milik pembeli, sehingga jika terjadi pembatalan transaksi karena
faktor-faktor tertentu, maka uang muka harus dikembalikan kepada calon pembeli, karena
pembeli tidak mengambil sedikitpun dari barang yang sedang ditransaksikan. Namun jika
pembatalan itu dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang dibenarkan dan dapat merugikan
pihak calon penjual, maka calon penjual dapat meminta kompensasi yang wajar menurut
kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan
dan dikhianati.

Hal ini juga berlaku pada bisnis transportasi yang banyak ditemukan dewasa ini, seperti;
seseorang memesan travel beberapa hari sebelumnya untuk tujuan tertentu, namun sehari atau
pada saat jadwal pemberangkatan tiba si calon penumpang membatalkan secara sepihak dengan
alasan tertentu. Maka pihak pemilik jasa travel merasa dirugikan oleh calon penumpangnya
karena bangku yang sudah dipesan tidak dapat diberikan (dijual) kepada pemesan lainnya
karena sudah terlanjur dipesan oleh calon penumpang pertama. Konsekwensinya adalah terjadi
kekosongan yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik jasa travel tersebut. Terhadap kasus
seperti ini, pemilik travel dapat mengambil sebagian dari uang muka (seperti; 25% atau 50%)
sebagai kompensasi terhadap kerugian yang dideritanya. Atau pihak pemilik jasa travel dapat
membuat regulasi (peraturan) yang ditempelkan atau dipublikasikan sehingga diketahui oleh para
calon penumpang, bahwa jika terjadi pembatalan pada hari pemberangkatan maka akan dipotong
sebesar 25% atau lebih dari uang muka atau dari tarif yang telah ditentukan.

3. Bai’ Ihtikar (‫)بيع اإلحتكار‬

Jual beli Ihtikar adalah salah satu jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, yaitu suatu jenis jual
beli dengan sistem penimbunan. Dimana seorang penjual (pedagang) sengaja memborong barang
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak lalu menimbunnya,
sehingga menyebabkan kelangkaan barang di pasaran, yang pada akhirnya mengakibatkan harga
barang melambung tinggi sehingga mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat dan lemahnya
daya beli mereka.

Motif utama dari pelaku jual beli ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda,
karena biasanya mereka akan menjual barang timbunannya setelah harga melonjak naik di
pasaran. Oleh sebab itu Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini dan dikategorikan sebagai
bentuk kesalahan dan kezhaliman kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda, sebagaimana
diriwayatkan dari Ma’mar;

َ ُ‫ع َْن يَحْ َي َوه َُو ا ْبن‬: ‫ِث أَنَّ َم ْع َم ًرا قَا َل‬
‫س ِع ْي ٍد َقا َل‬ ُ ‫ب يُحَد‬
ِ َّ‫سي‬ َ َ‫كَان‬: ‫سلَّ َم َم ِن احْ تَك ََر َف ُه َو‬
َ ‫س ِع ْي ُد ا ْبنُ ا ْل ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫َقا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
‫ – رواه مسلم و أحمد و أبو داود‬.…‫اطئ‬ ِ ‫خ‬ َ

“Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan
bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menimbun barang, maka
ia telah melakukan kesalahan (berdosa) …”(HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawu)

Dalam prakteknya, jenis jual beli ini sering kali terjadi di tengah masyarakat baik yang
menyangkut kebutuhan pokok masyarakat (sembako) maupun kebutuuhan-kebutuhan lainnya,
terutama dalam momen-momen tertentu seperti lebaran atau pergantian tahun, atau bahkan
ketika berhembusnya wacana kenaikan harga barang oleh pemerintah. Sehingga tidak jarang
karena kezhaliman ini, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng, bumbu-bumbu
dapur, bensin, solar, hingga air mineral.

Praktek seperti ini, disamping merupakan bentuk egoisme dan kezhaliman terhadap masyarakat
luas, namun juga salah satu bentuk kebiadaban (kezhaliman) dan dosa kemanusiaan yang sangat
besar.

4. Jual Beli Benda Najis

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan benda-benda najis di sini adalah makanan, minuman atau
hewan yang dianggap najis dan dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, anjing, minuman keras,
bangkai dan lain sebagainya. Benda-benda ini tidak hanya dilarang untuk dikonsumsi secara
langsung, namun juga dilarang untuk diperjual belikan. Bahkan orang yang memakan hasil
penjualannya sama dengan mengkonsumsi barang itu sendiri.

Dalam hadis nabi saw, banyak menjelaskan tentang larangan mengkonsumsi dan memperjual
belikan benda-benda najis ini, antara lain:

ُ ‫سلَّ َم َيقُ ْو ُل عَا َم ا ْل َفتْحِ َوه َُو بِ َمكَّةَ إِنَّ هللاَ َو َر‬
‫س ْولَهُ ح ََّر َم بَ ْي َع ا ْل َخ ْم ِر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫س ِم َع َر‬ َ ُ‫ع ْب ِد هللاِ أَنَّه‬
َ ‫ع َْن جَابِ ِر اب ِْن‬
‫ص ِب ُح ِبهَا‬ ْ َ‫ست‬ ْ َ‫سفُنُ َويُ ْدهَنُ ِبهَا ا ْل ُجلُ ْو ُد َوي‬ ُّ ‫ش ُح ْو ُم ا ْل َم ْيت َ ِة فَ ِإنَّهُ يُ ْطلَى ِبهَا ال‬ ُ َ‫س ْو َل هللاِ أ َ َرأَيْت‬
ُ ‫ار‬ ْ َ ‫َوا ْل َم ْيتَ ِة َوا ْل ِخ ْن ِزي ِْر َواأل‬
َ َ‫صنَ ِام فَ ِق ْي َل ي‬
‫علَي ِْه ْم‬
َ ‫حَر َم‬ َّ ‫سلَّ َم ِع ْن َد ذَا ِلكَ َقاتَ َل هللاُ ا ْل َي ُه ْو َد إِنَّ هللاَ ع ََّز َو َج َّل لَ َّما‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫ َفقَا َل الَ ه َُو ح ََرام ث ُ َّم قَا َل َر‬.‫اس‬ ُ َّ‫الن‬
َ َ
‫ – رواه الجماعة‬.ُ‫ش ُح ْو ُمهَا أجْ َملُ ْوهُ ث ُ َّم َباع ُْوهُ فأ َكلُ ْوا ث َ ُمنَه‬ َ ُ
“Dari jabir Ibn Abdullah r.a. ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu tahun
kmenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk
mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-orang untuk penerangan.
Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau bersabda: Allah melaknat orabr-
orang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya, mereka mencairkan lemak
itu, kemudian menjualnya dan makan hasil penjualannya”. (HR. al-Jama’a)

‫ش ُح ْو ُم فَ َباع ُْو َها َو أَ َكلُ ْو أَثْ َما ِنهَا َو ِإنَّ هللاَ ِإذَا‬ َ ْ‫ لَ َعنَ هللاُ ا ْل َي ُه ْو َد ُح ِر َمت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬
ُّ ‫علَي ِْه ُم ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫اس أَنَّ النَّ ِب َي‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬ ٍ ‫ع َّب‬
َ ‫ع َِن اب ِْن‬
‫ – رواه أحمد و أبو داود‬.ُ‫علي ِْه ْم ث َمنَه‬ َ َ َ َ
َ ‫على ق ْو ٍم أ ْك َل‬
َ ‫ش ْي ٍئ ح ََّر َم‬ َ َ ‫ح ََّر َم‬

“Dari Ibnu Abbas Nabi saw bersabda: Allah melkanat orang-orang Yahudi, karean telah
diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan
hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan
sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah saw menjelaskan tentang akibat dari mengkonsumsi barang
najis seperti khamar dan lainnya, antara lain dalam hadisnya:

ْ‫سلَّ َم لُ ِعنَت‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع َم َر َيقُو ُل َقا َل َر‬ َ ‫ط ْع َمةَ َم ْو َال ُه ْم أَنَّ ُه َما‬
ُ َ‫س ِم َعا ا ْبن‬ ُ ‫َّللاِ ا ْل َغا ِف ِقي ِ َوأ َ ِبي‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
َ
‫حَام ِلهَا َوا ْل َمحْ ُمولَ ِة إِلَ ْي ِه َوآ ِك ِل ث َمنِهَا َوش َِاربِهَا‬
ِ ‫َاص ِر َها َو ُم ْعت َ ِص ِر َها َو َبائِ ِعهَا َو ُم ْبتَا ِعهَا َو‬
ِ ‫ش َر ِة أ ْو ُج ٍه بِعَ ْينِهَا َوع‬ َ َ ‫علَى‬
ْ ‫ع‬ َ ‫ا ْل َخ ْم ُر‬
‫سا ِقيهَا‬ ‫–و‬
َ َ ‫ماجة‬ ‫ابن‬ ‫و‬ ‫أحمد‬ ‫رواه‬

“Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah mantan budak mereka,
keduanya mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw bersabda: ” dilaknat (akibat)
khamar sepuluh pihak; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, yang
minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil
penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya (pelayannya), “ (HR. Ahmad dan Ibnu
Majah)

5. Jual Beli dengan Penipuan

Jenis jual beli ini telah umumm dikenal di tengah masyarakat sebagai salah satu bentuk jual beli
yang dilarang dan tidak disukai oleh masyarakat, baik dengan cara-cara tradisional hingga cara-
cara penipuan yang moderen. Sehingga dalam pembahasan ini penulis hanya mengemukakan
salah satu dalil yang melarang disertai beberapa contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang
banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Adapun salah satu dalil yang melarangnya adalah
sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra:

‫صب َْر ِة َطعَ ٍام َفأ َ ْد َخ َل يَ َدهُ فِ ْيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَالً فَ َقا َل َما َهذَا َيا‬
ُ ‫علَى‬ َ ‫سلَّ َم َم َّر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ُ ‫ع َْن أَبِى ه َُري َْرةَ أَنَّ َر‬
‫ – رواه مسلم‬.‫ْس ِمنِى‬ َ ‫ش فَلَي‬ َ ‫اس َم ْن‬
َّ ‫غ‬ ُ َّ‫ق ال َّطعَ ِام ك َْي يَ َراهُ الن‬ َ
َ ‫س ْو َل هللاِ َقا َل أفَالَ َجعَ ْلتَهُ فَ ْو‬ُ ‫ار‬ َّ ‫ب ال َّط َع ِام َقا َل أَصَابَتْهُ ال‬
َ َ‫س َما ُء ي‬ َ ‫َاح‬
ِ ‫ص‬
“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw lewat pada setumpuk makanan, kemudian beliau
memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, maka jari-jari beliau terkena
makanan yang basah. Beliau bertanya; Apa ini wahai pemilik (penjual) makanan ? Ia
menjawab: Terkena hujan, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Mengapa kamu tidak menaruh
yang basah ini di atas agar dapat dilihat orang ? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan
golonganku”. (HR. Muslim)

Sedangkan contoh-contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak beredar di tengah-tengah
masyarakat antara lain; menjual sembako (contoh: beras) dengan takaran atau neraca yang
direkayasa (dilas atau dipasang magnet) sehingga berat barang tidak sesuai dengan realitanya,
menjual buah yang sesungguhnya sudah tidak layak namun diberikan zat pewarna sehingga
terkesan masih segar, menjual daging sapi namun dicampur dengan daging babi dan sejenisnya,
menjual ayam yang sudah menjadi bangkai (ayam tiren) lalu direkayasa seolah ayam yang baru
disembelih, barang kemasan yyang sudah kadaluarsa atau terbuat dari bahan-bahan haram lalu
disembunyikan masa kadaluarsanya atau ditempelkan llabel halal, dan lain sebagainya.

Cara cerdas agar seseorang tidak menjadi korban penipuan dalam transaksi jual beli adalah;
hendaknya para calon pembeli berhati-hati dan waspada dengan berbagai modus yang banyak
dilakukan oleh para penipu yang hanya mementingkan keuntungan pinansial tanpa memikirkan
dampak dan kerugian bagi para pembeli, tidak terlalu konsumtif dan harus jeli melihat barang
yang akan dibelinya baik yang terkait dengan bahan dasarnya, rupanya hingga labelnya.

6. Bai’ al-wafa’ (‫)بيع الوفاء‬

Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang menjual
barangnya kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada dirinya (penjual)
dengan harga tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau menjual barang
dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka seorang pembeli harus menjual kembali
barangnya kepada penjual pertama itu. Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli,
barang ini saya jual dengan harga satu juta rupiah, dengan syarat tiga bulan yang akan datang
kamu harus menjual barang tersebut kepada saya dengan harga tertentu.

Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena termasuk rekayasa dan
memberikan ketidakpastian, atau kepemilikan yang tidak utuh terhadap barang yang dibeli oleh
seseorang. Padahal dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu cara terjadinya perubahan
kepemilikan (al-Taghayyur al-Milkiyah) dari seseorang kepada orang lain. Dengan terjadinya
perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang pembeli berhak memiliki barang yang
dimilikinya tanpa terikat dengan waktu tertentu. Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu
yang dia inginkan serta berhak menghibahkan atau menjual barang (harta) nya kepada siapapun
secara leluasa.

7. Jual Beli Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabazah dan Muzabanah


Larangan tentang keempat jenis jual beli ini telah disebutkan dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ra, sebagai berikut:

‫س ِة َوا ْل ُمنَابَذَ ِة‬


َ ‫سلَّ َم ع َِن ا ْل ُمحَاقَلَ ِة َوا ْل ُم َخاض ََر ِة َوا ْل ُمالَ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّهُ قَا َل نَهَى َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ع َْن أَنَ ِس ب ِْن َمالِكٍ َر ِض َى هللا‬
‫وا ْل ُم َزابَنَ ِة – رواه البخارى‬

“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli al-Muhaqalah, al-
Mukhadharah, al-Mulamasah, al-Munabazah dan jual beli al-Muzabanah.” (HR. Al-Bukhari)

Adapun pengertian dari kelima jenis jual beli tersebut adalah;

1. Jual beli al-Muhaqalah adalah; jenis jual beli dengan cara sewa menyewa tanah, baik
berbentuk sawah, kebun maupun berbentuk tambak dengan cara hasilnya nanti dibagi
antara pemilik tanah dengan penyewa tanah.
2. Jual beli al-Mukhadharah adalah; pengadaan jual beli buah-buahan yang masih berada
di atas pohon yang belum diketahui secara pasti kualitas (baik-buruknya) buah yang
masih diatas pohon itu pada saat terjadinya musim panen. Pengertian jual beli seperti ini
daalam praktek masyarakat di Indonesia sering disebut dengan jual beli Ijon.
3. Jual beli al-Mulamasah adalah; mengadakan jual beli dengan cara meraba barang yang
akan diperjual belikan dengan tanpa melihat barangnya.
4. Jual beli al-Munabazah adalah; mengadakan jual beli dengan cara saling melemparkan
barang-barang yang akan dijual belikan dengan tampa memeriksanya kembali.
5. Jual beli al-Muzabanah adalah; mengadakan jual beli kurma basah dengan kurma
kering yang masih berada di atas pohon. Hal ini juga berlaku terhadap semua jenis buah-
buahan lainnya, sehingga taksiran perbedaan volume (baik secara kuantitas maupun
kualitas) antara yang basah apabila telah kering tidak dapat diketahui.

Dengan melihat definisi dari kelima jenis jual beli yang dilarang tersebut, dapat difahami bahwa
di antara faktor yang menyebabkan dilarangnya praktek jual beli tersebut antara lain; faktor
jahalah (kesamaran atau ketidaktahuan) terhadap kuantitas dan kualitas barang, tidak
memberikan kepastian, adanya unsur maisir (spekulasi yang tidak dibenarkan), mengandung
unsur riba, kezhaliman terhadap salah satu pihak yang bertransaksi, berpeluang menimbulkan
penyesalan dari salah satu di antara dua belah pihak karena dapat menyebabkan kerugian bahkan
dapat memunculkan ketidak harmonisan karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan
yang dihadapinya.

Faktor-faktor tersebut dapat dibuktikan, salah satunya ialah pada praktek jual beli Muzabanah.
Secara substantif, definisi jual beli Muzabanah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama
adalah; setiap jual beli barang yang tidak/belum diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya
kemudian ditukar dengan barang lain yang sudah jelas timbangan atau jumlahya. Seperti;
menukar kurma atau padi/beras yang sudah ditimbang dengan kurma atau padi yang masih
berada di pohonnya. Dalam praktek seperti ini terdapat beberapa unsur larangan seperti; adanya
unsur riba, karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika
menukar barang ribawi yang sejenis harus dengan cara tunai dan takaran yang sama. Pada contoh
praktek tersebut juga terdapar unsur kezhaliman karena dapat merugikan salah satu pihak, serta
adanya unsur maisir, karena adanya ketidakpastian dan spekulasi yang dilarang.
Oleh sebab itu, Rasulullah saw menegaskan dalam hadis lain dari sahabat Abdullah bin Umar ra;

‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ا ْل ُم َزابَنَ ِة َوا ْل ُم َزابَنَةُ بَ ْي ُع الثَّ َم ِر ِبالتَّ ْم ِر َكي ًْال‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أَنَّ َر‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫ع َم َر َر ِض َي‬
ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
‫ب ِبالك َْر ِم َكيْال – رواه البخاري ومسلم‬ ً ْ َّ
ِ ‫َوبَ ْي ُع الزبِي‬

“Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw melarang Al Muzaabanah. Al Muzaabanah
adalah menjual kurma matang dengan kurma mentah yang ditimbang dan menjual anggur
kering dengan anggur basah yang ditimbang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

8. Jual Beli ‘Inah

Selain dari kelima jenis jual beli di atas, masih terdapat lagi beberapa jenis jual beli yang
dilarang oleh agama (Islam) karena memiliki unsur riba, yaitu jual beli ‘Inah, yaitu; suatu jenis
jual beli dimana seseorang menjual barang kepada orang lain (pembeli) secara tidak tunai,
kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tersebut secara tunai dengan harga yang lebih murah.

Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali memperdaya pihak lain agar mendapatkan
keuntungan dari transaksi utang piutang yang dikemas dengan akad atau transaksi jual beli.

Contoh jual beli ‘Inah: “Seorang Pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh seseorang (pihak lain
atau calon pembeli). Karena pada saat transaksi pihak yang ditawarkan belum memiliki uang
tunai, maka pemilik tanah mengatakan kepadanya; Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit
seharga 200 juta rupiah dengan tenggang waktu pelunasan sampai dua tahun ke depan. Namun
beberapa waktu kemudian, pemilik tanah mengatakan kepada pihak pembeli, sekarang saya
membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.

Sebenarnya di sini, pemilik tanah telah melakukan tipu muslihat, karena ia sesungguhnya ingin
meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai
perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut
transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena dalam hadis Nabi saw
disebutkan: “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”

Sedangkan hadis yang melarang jenis jual beli ‘Inah ini terdapat dalam hadis riwayat Abu
dawwud sebagai berikut:

‫الز ْرعِ َوتَ َر ْكت ُ ْم‬ َ َ‫سلَّ َم َيقُو ُل ِإذَا تَ َبا َي ْعت ُ ْم ِبا ْل ِعينَ ِة َوأ َ َخ ْذت ُ ْم أَ ْذن‬
َّ ‫اب ا ْل َبقَ ِر َو َر ِضيت ُ ْم ِب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬َ ‫ع َم َر قَا َل‬
ُ ‫ع َْن اب ِْن‬
ُُ‫ار ِل َج ْع َف ٍر َو َهذَا لَ ْفظه‬
ُ َ‫اإل ْخب‬ِ ْ ‫َاود‬ َ َ َ
ُ ‫عهُ َحتَّى ت َ ْر ِجعُوا إِلى دِينِ ُك ْم قا َل أبُو د‬ ُ َ
ُ ‫عل ْي ُك ْم ذ اال َال يَ ْن ِز‬َ ُ‫َّللا‬ َ
َّ ‫سلط‬َّ ْ
َ ‫ال ِجهَا َد‬

“Dari Ibnu Umar ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian berjual
beli secara cara ‘inah, mengikuti ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan
jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari
kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” Abu Daud berkata, “Ini adalah riwayat
Ja’far, dan hadits ini adalah lafadznya.” (HR. Abu Daud)
9. Bisnis (Jual Beli) Jasa Tato

Seni tato merupakan salah satu jenis bisnis yang cukup digemari oleh sebagian orang terutama
anak-anak muda. Bahkan dianggap sebagai karya seni yang menjadi ciri khas dan identitas
sekelompok orang. Orang yang menggunakannya pun merasa percaya diri, macho dan gaul,
tetapi oleh sebagian orang, para penggunanya justru sering diidentikkan dengan penilaian-
penilaian negatif, seperti preman, anak jalanan dan lain sebagainya.

Dalam Islam, praktek tato atau bertato ini mendapatkan perhatian yang sangat serius, bahkan
termasuk salah satu perbuatan yang dikutuk atau dimurkai oleh Rasulullah saw. Maka jika hal ini
termasuk perbuatan yang dimurkai (dilaknat) oleh Rasulullah saw, maka tentu memfasilitasi dan
menjual jasa tato juga bagian yang terlarang. Hal ini dapat dijumpai penjelasannya dalam
beberapa hadis Nabi saw, antara lain:

‫الر َبا َو ُمو ِك ِل ِه‬ ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ث َ َم ِن الد َِّم َوثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬
ِ ‫ب َوآ ِك ِل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ع َْن ع َْو ِن ب ِْن أَبِي ُج َح ْيفَةَ قَا َل َرأَيْتُ أَبِي فَقَا َل إِنَّ النَّبِ َّي‬
‫ – رواه البخاري‬.‫ش َم ِة‬ ْ ‫ش َم ِة َوا ْل ُم‬
ِ ‫ست َ ْو‬ ِ ‫َوا ْل َوا‬

“Dari Aun bin Abu Juhaifah dia berkata; aku pernah melihat Ayahku berkata; sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil (menjual) darah dan hasil penjualan anjing,
memakan riba dan yang memberi makan dan yang mentato dan yang meminta ditato.” (HR. Al-
Bukhari)

Dalam hadis lain disebutkan:

ْ‫س َرت‬ ِ ‫شت َ َرى َحجَّا ًما فَأ َ َم َر ِب َمح‬


ِ ‫َاج ِم ِه فَ ُك‬ ْ ‫ش ْعبَةُ َقا َل أ َ ْخبَ َرنِي ع َْونُ ْبنُ أ َ ِبي ُج َح ْيفَةَ قَا َل َرأَيْتُ أ َ ِبي ا‬ ُ ‫ج ْبنُ ِم ْنهَا ٍل َح َّدث َ َنا‬
ُ ‫َح َّدثَنَا َحجَّا‬
َ‫ش َمة‬ ْ َ َ
ِ ‫ب األ َم ِة َولعَنَ ال َوا‬ْ ِ ‫س‬ ْ ‫ب َو َك‬ ْ ْ َ َ َ
ِ ‫سل َم نهَى ع َْن ث َم ِن الد َِّم َوث َم ِن ال َكل‬ َّ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫صلى‬ َّ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سأ َ ْلتُهُ ع َْن ذ ِلكَ قا َل إِنَّ َر‬
َ َ َ َ‫ف‬
‫ – رواه البخاري‬.‫الربَا َو ُمو ِكلَهُ َولَعَنَ ا ْل ُمص َِو َر‬ َ
ِ ‫ش َمة َوآ ِك َل‬ ْ ‫َوا ْل ُم‬
ِ ‫ست َ ْو‬

“Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada kami Syu’bah
berkata, telah mengabarkan kepada saya ‘Aun bin Abu Juhaifah berkata; Aku melihat Bapakku
membeli tukang bekam lalu memerintahkan untuk menghancurkan alat-alat bekamnya.
Kemudian aku tanyakan masalah itu. Lalu Bapakku berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah melarang harga (uang hasil jual beli) darah, anjing, memeras budak wanita dan
melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba’ dan yang
meminjamkan riba, serta melaknat pembuat patung.” (HR. Al-Bukhari)

10. Bisnis (Jual Beli) Prostitusi

Prostitusi (zina/pelacuran) merupakan salah satu penyakit masyarakat (pekat) yang sudah lama
muncul dan berkembang baik secara liar maupun secara terorganisir (baca: lokalisasi). Bahkan,
bisnis ini dikembangkan oleh sebagian oknum untuk meraup keuntungan finansial sebanyak
mungkin baik dengan cara yang santun maupun cara-cara pemaksaan, penculikan, penipuan dan
berbagai cara yang tidak manusiawi.

Pada zaman moderen, penyakit masyarakat ini semakin mengkhawatirkan karena sering
dijadikan solusi oleh sebagian orang untuk mencari dan mencukupi penghidupan. Jual beli
kenikmatan ini telah diharamkan dan dilaknat oleh Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan
dalam hadisnya;

‫ان‬ ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬


ِ ‫ب َو َمه ِْر ا ْلبَ ِغي ِ َو ُح ْل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سعُو ٍد ْاأل َ ْنص‬
َّ ‫َاري ِ َر ِض َي‬ ْ ‫ح ع َْن أَبِي َم‬
‫ – رواه البخاري‬.‫ا ْلكَا ِه ِن‬

“Dari Abu Mas’ud Al Anshariy ra. bahwa Rasulullah saw melarang uang hasil jual beli anjing,
mahar seorang pezina (prostitusi) dan upah bayaran dukun.” (HR. Al-Bukhari)

11. Jual Beli Babi dan Anjing

Keharaman dan kenajisan tentang dua jenis benda atau makhluk ini banyak dijumpai baik dalam
al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Berikut ini merupakan dalil tentang kenajisan sekaligus
keharaman babi dan anjing baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw:

َّ ‫َّللاِ بِ ِه َوا ْل ُم ْن َخنِقَةُ َوا ْل َم ْوقُوذَةُ َوا ْل ُمت َ َر ِديَةُ َوالنَّ ِطيحَةُ َو َما أ َ َك َل ال‬
‫سبُ ُع إِ َّال َما‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َو َلحْ ُم ا ْل ِخ ْن ِز‬
َّ ‫ير َو َما أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬ َ ْ‫ُح ِر َمت‬
3 :‫س ُموا بِ ْاأل ْز َال ِم…… – المائدة‬ َ ِ ‫ست َ ْق‬ َ
ْ َ ‫ب َوأ ْن ت‬ِ ‫ص‬ ُ ُّ‫علَى الن‬ َ ‫ذَ َّك ْيت ُ ْم َو َما ذُبِ َح‬

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkanjuga) mengundi nasib dengan anak panah…. “
(QS. Al-Ma’idah: 3)

ُ ‫سلَّ َم َط ُه‬
ِ َ‫ور إِن‬
‫اء‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ َ ‫سلَّ َم َفذَك ََر أَحَاد‬
ُ ‫ِيث ِم ْنهَا َوقَا َل َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ِل‬ُ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ ع َْن ُم َح َّم ٍد َر‬
‫ – رواه مسلم‬.ٍ‫س ْب َع َم َّرات‬ ِ ‫ب ِفي ِه أَ ْن يَ ْغ‬
َ ُ‫سلَه‬ ُ ‫أ َ َح ِد ُك ْم إِذَا َولَ َغ ا ْل َك ْل‬

“Dari Abi Hurairah, Muhammad Rasulullah sawbersabda: “Sucikanlah bejana kalian apabila
ia dijilat oleh anjing dengan mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim)

Selain ayat dan hadis tersebut di atas, secara khusus tentang keharaman mengkonsumsi dan
memakan hasil penjualan anjing dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi saw., antara lain:

‫ – رواه‬.ِ‫ان ا ْلكَا ِه ِن َو َمه ِْر ا ْلبَ ِغي‬ ِ ‫سلَّ َم ع َْن ثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬


ِ ‫ب َو ُح ْل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع ْنهُ قَا َل نَهَى النَّبِ ُّي‬
َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ ْ ‫ع َْن أَبِي َم‬
َّ ‫سعُو ٍد َر ِض َي‬
َ ُ‫َّللا‬
‫البخاري ومسلم‬

“Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata; Nabi saw melarang untuk memakan hasil keuntungan dari
anjing, dan dukun dan pelacur (prostitusi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
12. Jual Beli Khamar dan Obat Terlarang

Salah satu jenis jual beli yang dilarang adalah Jual beli khamar dan sejenisnya. Mengkonsumsi
barang-barang terlarang ini telah disebutkan secara tegas baik dalam al-Qur’an maupun hadis
Nabi saw. Ketika Allah dan Rasulnya melarang mengkonsumsi sesuatu, maka sesuatu itupun
dilarang untuk diperjual belikan, sebab memakan hasil penjualan barang haram sama dengan
mengkonsumsinya. Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi
khamar dan sejenisnya antara lain;

219 :‫اس َو ِإثْ ُم ُه َما أ َ ْك َب ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما – البقرة‬ ِ ‫سأَلُونَكَ ع َِن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر قُ ْل ِف‬
ِ َّ‫يه َما ِإثْم َك ِبير َو َمنَا ِف ُع ِللن‬ ْ ‫َي‬

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah; pada keduanya terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya….” (QS. Al-Baqarah: 219)

90 :‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحونَ – المائدة‬


ِ ‫ش ْي َط‬ َ ‫َاب َو ْاأل َ ْز َال ُم ِرجْ س ِم ْن‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َو ْاأل َ ْنص‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90)

Sedangkan hadis Nabi yang melarang dan melaknat bisnis dan mengkonsumsi khamar antara
lain;

‫اس‬ َ َّ‫س ِج ِد فَقَ َرأَهُن‬


ِ ‫ع َلى ال َّن‬ ْ ‫سلَّ َم ِإلَى ا ْل َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ور ِة ا ْل َبقَ َر ِة ِفي‬
َ ‫الر َبا َخ َر َج النَّ ِب ُّي‬ َ ‫س‬ُ ‫ع َْن عَا ِئشَةَ قَالَتْ لَ َّما أ ُ ْن ِزلَتْ ْاْليَاتُ ِم ْن‬
‫ – رواه البخاري‬.‫جَارة ال َخ ْم ِر‬ ْ َ ُ
َ ِ‫ث َّم ح ََّر َم ت‬

“Dari ‘Aisyah berkata; Ketika turun ayat-ayat dalam Surah al-Baqarah tentang masalah riba,
Nabi saw keluar ke masjid lalu membacakan ayat-ayat tersebut kepada manusia. Kemudian
beliau mengharamkan perdagangan khamar.” (HR. Al-Bukhari)

ْ‫سلَّ َم لُ ِعنَت‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع َم َر يَقُو ُل َقا َل َر‬
ُ َ‫س ِمعَا ا ْبن‬َ ‫ط ْع َمةَ َم ْو َال ُه ْم أَنَّ ُه َما‬
ُ ‫َّللاِ ا ْل َغافِ ِقي ِ َوأَبِي‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
‫َام ِلهَا َوا ْل َمحْ ُمولَ ِة إِلَ ْي ِه َوآ ِك ِل ث َ َمنِهَا َوش َِار ِبهَا‬
ِ ‫َاص ِر َها َو ُم ْعت َ ِص ِر َها َو َبائِ ِعهَا َو ُم ْبتَا ِعهَا َوح‬ َ
ِ ‫عش َْر ِة أ ْو ُج ٍه ِبعَ ْينِهَا َوع‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ا ْل َخ ْم ُر‬
‫ساقِيهَا‬
َ ‫و‬. َ – ‫رواه الترميذي و إبن ماجة‬

“Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah bekas budak mereka, keduanya
mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Khamer
dilaknat atas sepuluh bagian; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya,
yang minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil
penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya, “ (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

JUAL BELI YANG DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM


Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum (fikih) Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi
al-Naqd, Bai’ al-Muqayadhah, Bai’ al-Salam, Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ al-
Tauliah, Bai’ al-Inah, Bai’ al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Di bawah ini akan diurakan mengenai
pengertian dan contoh-contoh dari bentuk jual beli tersebut.

1. Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd (‫)بيع السلعة بالنقد‬

Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar resmi atau uang. Jenis
jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat
dewasa ini.

Contoh Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah
sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.

2. Bai’ al-Muqayadhah (‫)بيع المقايضة‬

Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang tertentu atau yang sering disebut
dengan istilah barter. Jenis jual beli ini tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga
masih menjadi salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus
diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah memperhatikan aspek-aspek yang
terkait dengan etika berbisnis dalam Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan
adalah hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta tidak
memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran (barter) antara dua barang sejenis
dengan perbedaan ukuran dan harga.

Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung, pakaian dengan tas, atau
binatang ternak dengan barang tertentu lainnya.

3. Bai’ al-Salam (‫)بيع السلم‬

Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan penyerahan barang yang telah
dibayar secara tunai. Praktik jual beli jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang
hanya membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan jenis, kualitas dan
harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis
jual beli ini termasuk jual beli yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela
dan tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan ketentuan ini,
maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah
uang kepada pihak yang lain (penjual/sales).

Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari
dari seorang sales yang menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang.
Selanjutnya, barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu. Contoh
lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media atau jaringan internet (iklan). Calon
pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru
dikirim kepada pembeli.

4. Bai’ al-Murabahah (‫)بيع المرابحة‬

Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi harga pokok, atau menjual
barang dengan menaikkan harga barang dari harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan
keuntungan sesuai dengan tujuan bisnis (jual beli). Tatkala seseorang menjual barang, ia harus
mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebih-lebih hal itu untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian, mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat
menyulitkan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual harus memiliki pertimbangan
antara aspek komersial dan sosial untuk saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis
yang dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan sosial. Dalam agama
Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil akhirati khasanah (kebahagiaan dunia dan
akhirat)”.

Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga aslinya Rp. 35.000,- menjadi
Rp.40.000,-. Dengan demikian, penjual mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-.

5. Bai’ al-Wadhiah (‫)بيع الوضيعة‬

Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu menjual barang dengan harga
yang lebih murah dari harga pokoknya. Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone
(HP) yang baru dibelinya dengan harga Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan tertentu,
maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. 450.000,. Praktik jual beli seperti ini
diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu dibangun atas prinsip saling rela (‘an–taradin), dan
bukan karena paksaan.

6. Bai’ al-Tauliah (‫)بيع التولية‬

Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga pokok, tanpa ada kelebihan atau
keuntungan sedikitpun. Praktik jual beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli
sebuah motor baru dengan harga Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki kebutuhan lainnya yang
lebih penting atau pertimbangan tertentu, maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama

Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan tujuan jual beli
pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup (ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik jual beli al-tauliyah
dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual
barang yang dimilikinya sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan
sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama
dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–Taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta
kezaliman.

7. Bai’ al-Inah (‫)بيع العينة‬

Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak (penjual dan pembeli), di mana
seseorang menjual barangnya kepada pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan
menjual dengan harga lebih murah jika dibayar secara tunai (cash). Dalam fikih Islam, jenis jual
beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin ‘ajil” atau jual beli dengan sistem
kredit, atau jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan.

Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat, penjual harus memperhatikan hak-
hak pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat
unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk menyediakan dan
melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang penjual membantu menyediakan barang
bagi calon pembeli sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan.

Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan
dengan memanfaatkan ketidakmampuan ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan
semaksimal mungkin. Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti sistem
yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak terhadap barang tertentu.

Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan barang dengan melakukan
penyitaan (mengambil kembali) barang yang telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup
melunasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau penambahan
waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain yang sangat
dibenci dan dilarang oleh ajaran Islam.

8. Bai’ al-Istishna’ (‫)بيع االستصناع‬

Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan (pembuatan) barang dengan
spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya
memberikan uang muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad atau
kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang dipesan sesuai kriteria dan
keinginan pemesan.

Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli Salam (bai’ al-Salam), namun
tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya
sudah ada, namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman) hanya
membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah
terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang
diperjual-belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah terjadinya
kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan jenis barang yang dipesan.

Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain sebagainya kepada
pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang
yang diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–
taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan
pesanan sesuai kesepakatan yang telah diputuskan bersama.

9. Bai’ al-Sharf (‫)بيع الصرف‬

Bai’ al-Sharf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang sama atau berbeda jenis
(currency exchange), seperti menjual rupiah dengan dolar Amerika, rupiah dengan rial dan
sebagainya. Jual beli mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau “al-
ittijaar bi al-‘umlat”. Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’ al-sharf sebagai pertukaran
harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang
sama, maupun dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak. Menurut para
ulama, hukum jual beli mata uang adalah Mubah (boleh), selama memenuhi syarat-syarat
tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut:

ْ ‫ير َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر َوا ْل ِم ْل ُح ِبا ْل ِم ْلحِ ِمثْالً بِ ِمثْ ٍل يَدًا بِيَ ٍد فَ َم ْن َزا َد أَ ِو ا‬
‫ستَ َزا َد‬ ِ ‫ش ِع‬
َّ ‫ير بِال‬ َّ ‫ب َوا ْل ِفضَّةُ بِا ْل ِف‬
َّ ‫ض ِة َوا ْلبُ ُّر بِا ْلبُ ِر َوال‬
ُ ‫ش ِع‬ ِ ‫ب بِالذَّ َه‬
ُ ‫الذَّ َه‬
‫ – رواه مسلم‬.‫س َواء‬ َ ‫اْلخذُ َوا ْل ُم ْع ِطى فِي ِه‬ِ ‫فَقَ ْد أ َ ْر َبى‬

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir
(salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual
dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah
atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama”
[HR. Muslim].

Dalam hadits lain, dijelaskan:

ِ ُ ‫ َوالَ ت‬، ‫ق إِالَّ ِمثْالً بِ ِمثْ ٍل‬


‫شفُّوا‬ ِ ‫ق ِبا ْل َو ِر‬
َ ‫ َوالَ تَبِيعُوا ا ْل َو ِر‬، ‫ض‬ ٍ ‫ع َلى بَ ْع‬
َ ‫ضهَا‬ َ ‫شفُّوا بَ ْع‬ ِ ُ ‫ َوالَ ت‬، ‫ب إِالَّ ِمثْالً ِب ِمثْ ٍل‬
ِ ‫ب بِالذَّ َه‬
َ ‫الَ تَبِيعُوا الذَّ َه‬
‫ – رواه البخاري ومسلم‬.‫اج ٍز‬ َ ‫ َوالَ ت َ ِبي ُعوا ِم ْنهَا‬، ‫ض‬
ِ ‫غا ِئ ًبا ِب َن‬ ٍ ‫ع َلى بَ ْع‬َ ‫ضهَا‬ َ ‫بَ ْع‬

“Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan
janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual
perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan
salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan
secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari
dan Muslim].
Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau pertukaran emas dan perak,
namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada
pada emas dan perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau uang (al-
nuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama Indonesia, transaksi jual beli mata
uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan);


2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan);
3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh);
4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Khiyar merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melaksanakan
berbagai aktifitas bisnis, khususnya dalam persoalan jual beli. Saking pentingnya persoalan ini,
maka para ulama fikih (fuqaha’) membahasnya secara panjang lebar dalam pembahasan
tersendiri atau setidaknya dalam sub pembahasan tersendiri pada bab buyu’ (jual beli). Atas dasar
itulah, maka dalam pembahasan kali ini, penulis membahas persoalan khiyar baik dari aspek
definisi khiyar, dasar hukumnya, klasifikasinya, problematikanya, dampaknya serta hikmah
disyari’atkannya khiyar.

Dalam praktiknya, tidak sedikit orang merasa gelo (menyesal) dalam melakukan transaksi jual
beli. Penyesalan tersebut dapat terjadi baik di pihak penjual maupun pihak pembeli. Penyesalan
umumnya dapat diakibatkan oleh tidak adanya transparansi, tekhnik penjualan yang tidak oftimal
sampai persoalan kualitas barang yang ditransaksikan tidak sesuai dengan harapan, baik karena
kesengajaan pihak penjual maupun karena ketidak cermatan, kurang hati-hati (tergesa-gesa) atau
faktor-faktor lainnya dari pihak pembeli.

Padahal salah satu prinsip pokok dalam transaksi jual beli adalah harus didasari oleh sikap saling
suka atau saling ridha (Innamal bai’ ‘an taradin; hanya saja jual beli harus didasari saling
meridhai) sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi. Atas dasar itulah, agama memberi
kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau akad jual beli untuk
memilih antara dua kemungkinan, yaitu melangsungkan transaksi (akad) jual beli atau
membatalkannya, atau yang sering disebut dengan khiyar.

Pengertian Khiyar

Secara lughah (bahasa), khiyar berarti; memilih, menyisihkan atau menyaring. Secara semantik
kebahasaan, kata khiyar berasal dari kata khair yang berarti baik. Dengan demikian khiyar dalam
pengertian bahasa dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik dari dua hal (atau
lebih) untuk dijadikan pegangan dan pilihan. Sedangkan menurut istilah, khiyar adalah; hak yang
dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara
meneruskan perjanjian jual-beli atau membatalkannya.

Macam-Macam Khiyar

Khiyar dalam transaksi atau akad jual beli – sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili
dalam kitabnya “Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu”, banyak sekali ragamnya. Ulama Hanafiyah
membagi khiyar menjadi 17 macam, dan ulama Hanabilah membaginya menjadi 8 (delapan)
macam, yaitu; Khiyar Masjlis, Khiyar Syarat, Khiyar Ghubn, Khiyar Tadlis, Khiyar Aib, Khiyar
Takhbir Bitsaman, Khiyar bisababi takhaluf, dan Khiyar ru’yah. Sementara Ulama Malikiyah
membagi khiyar menjadi 2 (dua) macam (khiyar mutlak dan khiyar naqishah), yakni apabila
terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual. Sedangkan Ulama Syafi’iyah berpendap
bahwa khiyar terbagi dua; Pertama, khiyar at-tasyahhi, yakni khiyar yang menyebabkan pembeli
memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun
syarat. Kedua, khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya
kesalahan dalam pembuatan atau pergantian. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, karya
Wahbah Az-Zuhaili, Juz. IV, hlm. 519-522, Damaskus, Dar Al-Fikri, cet. Ke-2 th.1985).

Agar tulisan ini dapat menjadi sebuah tuntunan praktis, maka dari berbagai pembagian khiyar
sebagaimana dikemukakan oleh para ulama tersebut di atas, di sini hanya dibahas tiga macam
khiyar yang umumnya dijelaskan dalam kitab-kitab fikih mu’tabar dan banyak dilakukan dalam
praktek jual-beli masyarakat. Ketiga macam khiyar tersebut adalah; Khiyar Majlis, Khiyar
Syarat dan Khiyar Aib.

Pertama: Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian)

Pengertian khiyar majlis adalah; hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi
atau perjanjian jual-beli, antara melanjutkan atau membatalkan transaksi/perjanjian selama masih
berada dalam majlis akad (seperti; di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau, khiyar majlis
adalah; kebebasan untuk memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk melangsungkan jual beli
atau membatalkannya selama masih berada ditempat jual beli. Apabila kedua belah pihak telah
terpisah dari majlis maka hilanglah hak khiyar sehingga perubahan dalam jual beli itu tidak bisa
dilakukan lagi.

Dalam ungkapan yang paling sederhana, khiar Majlis adalah tawar menawar antara penjual dan
pembeli pada saat mereka masih berada di tempat transaksi, yang menyebabkan terjadinya jual
beli atau sebaliknya.

Dampak dari khiyar majlis adalah, transaksi jual beli dinilai sah dan mengikat secara hukum
semenjak disepakatinya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak
mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak
khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli.

Landasan Hukum Khiyar Majlis

Landasan dasar disyariatkannya khiyar ini berdasarkan hadis-hadis Nabi saw., antara lain:

‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِبا ْل ِخيَ ِار َما لَ ْم يَتَ َف َّر َقا َوكَا َنا ج َِم ْيعًا‬ َّ ‫ إِذَا ت َ َبايَ َع‬:َ‫سلَّ َم أَنَّهُ قَال‬
ِ ‫الر ُجالَ ِن فَ ُك ُّل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ص َّلى هللا‬
َ ‫س ْو ِل هللا‬ ُ ‫ع َم َر ع َْن َر‬ ُ ‫ع َِن اب ِْن‬
‫احد ِم ْن ُه َما‬ َ َ
ِ ‫َب ا ْلبَ ْي َع َوإِ ْن ت َ َف َّرقا بَ ْع َد أ ْن تَ َبايَعَا َولَ ْم يَتْ ُركْ َو‬ َ َ
َ ‫ع َلى ذ ِلكَ ف َق ْد َوج‬ َ ‫أ َ ْو يُ َخ ِي ُر أ َ َح ُد ُه َما ْاْل َخ َر ف ِإ ْن َخيَّ َر أ َح ُد ُه َما اْل َخ َر فتَبَايَ َعا‬
َ َ َ
‫ – رواه البخاري ومسلم‬.‫َب ا ْل َب ْي َع‬ َ ‫ا ْل َب ْي َع فَقَ ْد َوج‬

“Dari Ibnu Umar ra. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang
melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar,
selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan
hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar
kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah
sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual
belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR. Al.Bukhari dan Muslim)

‫ ا ْل َب ِيعَا ِن ِبا ْل ِخيَ ِار َما لَ ْم َيتَفَ َّرقَا إِالَّ أَ ْن‬:َ‫سلَّ َم َقال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ص َّلى هللا‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬:َ‫ب ع َْن أ َ ِب ْي ِه ع َْن ج َِد ِه قَال‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ َ ‫ع َْن‬
ُ ُ‫ع ْم ُرو ا ْبن‬
‫ست ِقيله – رواه الترميذى والنسائي‬ ُ َ َ ْ َ َ ْ َ
ْ َ‫َاحبَه خشيَة أن ي‬ ُ َ ْ َ ُ َ َ
ِ ‫صفقة ِخ َي ٍار َوال يَ ِح ُّل له أن يُف ِارقَ ص‬ َ َ ْ َ َ‫ُون‬ َ
‫تك‬

“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli
dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena
khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Kedua: Khiyar Syarat (Hak Pilih Berdasarkan Persyaratan)

Khiyar Syarat yaitu, khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau
penjual memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan batas waktu yang
telah ditentukan. Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu harus dipastikan apakah
dilanjutkan atau tidak.

Dalil yang dijadikan dasar disyariatkan (kebolehan) khiyar Syarat adalah hadis yang
diriwayatkan imam al-Bukhari, Musllim, Nasa’i dan Abu Dawud:

‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم َقا َل‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫يم ب ِْن ِح َز ٍام أَنَّ َر‬
ِ ‫ث ع َْن َح ِك‬ ِ ‫َّللاِ ب ِْن ا ْلح‬
ِ ‫َار‬ َ ‫ع َْن‬: ‫ص َد َقا‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ان ِبا ْل ِخ َي ِار َما َل ْم َي ْفتَ ِر َقا َف ِإ ْن‬
ِ ‫ا ْل َب ِي َع‬
‫ – رواه أبو داود‬.‫ار‬ َ َ َ
َ َ‫َاو َد َحتَّى َيتَف َّرقا أ ْو يَ ْخت‬ َ َ ُ ْ
ُ ‫ قا َل أبُو د‬.‫ت البَ َركَة ِم ْن بَ ْي ِع ِه َما‬ َ َ َ
ِ ‫وركَ ل ُه َما فِى بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َكت َ َما َو َكذبَا ُم ِحق‬ ِ ُ‫َوبَيَّنَا ب‬

“Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Dua
orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum
berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya (transparan), niscaya diberkahi
dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua menyembunyikan atau berdusta, niscaya
akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka
berdua berpisah atau melakukan jual beli dengan akad khiyar.” (HR. Al-Bukhari-Muslim dan
imam ahli hadis lainnya)

َّ‫َاح ِب ِه َما لَ ْم يَتَفَ َّر َقا إِال‬ َ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِبا ْل ِخيَ ِار‬
ِ ‫علَى ص‬ ِ َ‫ اَ ْلبَ ِيع‬:َ‫سلَّ َم قَال‬
ِ ‫ان ُك ُّل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬: ‫ع َم َر‬
َ ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ع َْن نَافِ ٍع ع َْن اب ِْن‬
‫بَ ْي َع ال ِخيَ ِار – رواه مسلم‬ْ

“Dari Nafi’ dari Ibnu Umar; bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Dua orang yang melakukan
jual beli, masing-masing mereka memiliki hak untuk memilih atas saudaranya (teman akadnya)
selama mereka berdua belum berpisah kecuali jual beli dengan menggunakan akad khiyar.”
(HR. Muslim).

ِ ‫ث لَيَا ٍل فَ ِإ ْن َر ِضيتَ َفأ َ ْم‬


ْ‫سك‬ ِ ‫ ث ُ َّم أ َ ْنتَ فِى ك ُِل‬.َ‫ ِإذَا أ َ ْنتَ بَايَ ْعتَ فَقُ ْل الَ ِخالَبَة‬:‫سلَّ َم‬
َ َ‫س ْلعَ ٍة ا ْبت َ ْعتَهَا بِا ْل ِخ َي ِار ثَال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫قَا َل النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هللا‬
‫ – رواه ابن ماجه‬.‫َاح ِبهَا‬ ِ ‫علَى ص‬ ْ َ‫س ِخ ْطتَ ف‬
َ ‫ار ُد ْد َها‬ َ ‫َو ِإ ْن‬

“ Nabi saw bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan jangan menipu.
Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela
maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah)

Secara faktual, khiyar syarat sebagaimana dijelaskan di atas sangat dibutuhkan oleh seseorang
dengan berbagai alasan dan pertimbangan, sehingga kedua belah pihak merasa nyaman dan hak-
hak mereka terlindungi.

Namun, terkait dengan batas maksimal waktu kebolehan khiyar Syarat, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Dalam hal ini pendapat para ulama dapat dikategorikan
menjadi tiga pendapat: Pertama: Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Zhahiri berpendapat; bahwa tidak
boleh bagi kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya untuk memberikan syarat lebih
dari tiga hari untuk jenis barang apa saja. Jika keduanya atau salah satunya menyaratkan lebih
dari tiga hari, maka akadnya menjadi rusak (tidak sah).

Kedua: Mazhab Hambali, Al-Auza’i dan sebagian ulama Hanafi berpendapat; kedua belah
pihak boleh mensyaratkan lebih dari tiga hari asalkan penjual merelakannya (ridha). Sedangkan
yang ketiga; Madzhab Maliki berpendapat; bahwa tempo khiyar berbeda-beda berdasarkan
perbedaan barang yang dijual apakah ia termasuk barang yang perlu ada khiyar untuk mencari
informasi atau meminta pendapat keluarga atau pihak yang ahli di bidangnya, seperti dalam satu,
dua atau tiga hari untuk memilih baju, satu bulan untuk membeli tanah, semuanya ditetapkan
berdasarkan keperluan dan pertimbangan barang yang dijual.

Dari ketiga pendapat ulama’ tersebut, tentu yang paling realistis adalah gabungan dari pendapat
yang kedua dan ketiga, yaitu kebolehan untuk melakukan hak khiyar disesuaikan dengan
keperluan dan pertimbangan barang serta keridhaan dari pihak penjual.

Jika tengggang waktu khiyar yang disyaratkan habis tanpa pernah terjadi penolakan atau
meneruskan akad pada saat tenggang waktu masih tersisa, maka khiyar dianggap gugur, sebab ia
terbatas dengan tenggang waktu tertentu, dan sesuatu yang dibatasi dengan batas waktu (limits)
tertentu maka ia dianggap habis jika masa itu tiba.
Perbedaan dan Persamaan antara Khiyar Syarat dan Garansi

Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud disyariatkannya khiyar Syarat, maka dapat
difahami bahwa antara khiyar Syarat dan garansi memiliki perbedaan yang cukup mendasar
sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi kesamaan.

Perbedaan mendasarnya adalah; bahwa Khiyar Syarat merupakan suatu transaksi antara penjual
dan pembeli yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli sesuai dengan
kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi umumnya merupakan salah satu bentuk
pelayanan pihak penjual untuk menjamin kualitas barang, dimana selama waktu yang telah
ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap barang yang telah dijual jika terjadi sesuatu,
baik menyangkut perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada pembatalan transaksi
jual beli.

Adapun persamaannya adalah, baik khiyar Syarat maupun sistem garansi, sama-sama memiliki
motif untuk menjamin hak-hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka tidak merasa
dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling ridha antara mereka berdua sesuai dengan spirit
yang diajarkan oleh Rasulullah saw “Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya saja jual beli harus atas
dasar saling meridhai).

Ketiga: Khiyar ‘Aib (Hak Pilih karena Cacat Barang)

Yang dimaksud dengan khiyar ‘aib adalah; hak untuk memilih antara membatalkan atau
meneruskan akad jual beli apabila ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang
diperjualbelikan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat akad
berlangsung. Atau dengan kata lain, jika seseorang membeli barang yang mengandung kecacatan
dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli
berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada penjualnya, dengan meminta ganti
barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan perbandingan kerusakan
dan harganya.

Dalam khiyar ‘aib, pembeli memiliki dua pilihan (hak khiyar) apakah ia rela dan puas terhadap
barang yang dibelinya ataukah tidak. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan kecacatan yang
ada pada barang, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang yang telah
dibelinya tersebut. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka
akad tersebut menjadi batal. Konsekwensinya, bagi penjual harus menerima pengembalian
barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual (cacat bawaan) dan bukan karena
kelalaian ata kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya.

Dalam hal mengembalikan barang yang cacat tersebut, pihak pembeli hendaknya
mengembalikannya dengan segera tanpa menunda-nunda. Karena menunda-nunda waktu
pengembalian – terlebih lagi dalam waktu yang cukup lama – merupakan salah satu bentuk
melalaikan tanggung jawab, sehingga ia dapat dianggap rela terhadap barang yang cacat, kecuali
karena ada halangan yang dapat dibenarkan dan dimaklumi bersama.
Dasar Hukum Disyariatkan Khiyar ‘Aib

Dasar hukum disyari’atkannya khiyar aib dapat dijumpai penjelasannya dalam berbagai hadis
Nabi saw, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibnu Majah, ad-Daruqutni, al-
Hakim dan at-Thabrani dari Uqbah bin Amir ra.:

َ ‫ ْال ُم ْس ِل ُم أ َ ُخو ْال ُم ْس ِل ِم َوالَ يَ ِح ُّل ِل ُم ْس ِل ٍم بَا‬:َ‫سلَّ َم قَال‬


‫ع ِم ْن أ َ ِخي ِه بَ ْيعًا فِي ِه َعيْبٌ ِإالَّ بَ َّينَهُ لَهُ (رواه أحمد وابن‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
)‫ماجة وغيره‬

“Bahwasanya Nabi saw bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah
bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal
pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani)

Faktor-Faktor yang Menghalangi Pembatalan Akad dan Pengembalian Barang

Ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat telah banyak dirumuskan
dalam kitab-kitab fikih, termasuk faktor-faktor yang menghalangi pembatalan akad dan
pengembalian barang. Dalam pembahasana ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama: Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik dengan
mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk/indikator lainnya. Misalnya;
membeli buah yang sudah diumumkan atau diberitahukan kecacatannya oleh pihak penjual
seperti sudah layu atau sebagiannya ada yang rusak, lalu pembeli rela/ridha membelinya setelah
terjadi penyesuaian harga, maka pembatalan dan pengembalian barang tidak dapat dilakukan
(tidak ada hak khiyar ‘aib).

Kedua: Menggugurkan Khiyar, baik secara langsung atau adanya indikator/petunjuk lainnya.
Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih) ku”, atau setelah ia
mengetahui adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan barang tersebut dalam
jangka waktu yang cukup lama atau bahkan barang yang dibelinya sudah berubah wujud atau
habis karena telah dikonsumsi.

Ketiga: Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. Seperti gelas
pecah atau retak karena terjatuh oleh pihhak pembeli, atau sebagian barang ada yang tidak utuh
atau hilang akibat kelalaian pembeli.

Namun apabila pembeli dan penjual berselisih tentang pihak yang menyebabkan terjadinya
kecacatan barang, sementara transaksi sudah selesai dilakukan serta tidak ada bukti yang
menguatkan salah satunya, maka menurut para ulama’ pernyataan penjuallah yang dimenangkan
atau yang diterima setelah disumpah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:

ُ ‫ان َفا ْلقَ ْو ُل قَ ْو ُل ا ْلبَائِ ِع َوا ْل ُم ْبتَا‬


‫ – رواه‬.‫ع بِا ْل ِخيَ ِار‬ ِ َ‫ف ا ْلبَيِع‬ ْ ‫إِذَا‬:‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم‬
َ ‫اختَ َل‬ ُ ‫سعُو ٍد قَا َل َقا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ ْ ‫ع َِن اب ِْن َم‬
‫الترميذي و أحمد‬
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata; Rasulullah saw bersabda: Apabila penjual dan pembeli
berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki
hak pilih “. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) (imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadis ini
termasuk hadis mursal karena salah seorang rawi bernama ‘Aun bin Abdillah tidak bertemu
langsung dengan Ibnu Mas’ud, namun Al-Albani menshahihkannya)

‫علَى ا ْل ُم َّدعَى‬ َ ُ‫ب ع َْن أ َ ِبي ِه ع َْن ج َِد ِه أَنَّ النَّ ِب َّى صلى هللا عليه وسلم قَا َل فِى ُخ ْطبَتِ ِه ا ْلبَ ِينَة‬
َ ُ‫ع َلى ا ْل ُم َّد ِعى َوا ْليَ ِمين‬ ُ ‫ع َْن ع َْم ِرو ب ِْن‬
ٍ ‫شعَ ْي‬
‫علَ ْي ِه‬
َ . – ‫رواه الترميذي‬

“Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya; bahwasanya Nabi saw bersabda dalam
khutbahnya: mendatangkan bukti (al-Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus bersumpah
bagi yang tertuduh”. (HR. at-Tirmidzi) (hadis ini dikuatkan dari berbagai sumber yang
kuat baik dengan lafaz yang hampir sama maupun dengan lafaz yang berbeda).

Hikmah Disyari’atkan Khiyar

Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali dan
bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki peranan
yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi, kemaslahatan,
kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi mereka dari bahaya dan
kerugian bagi semua pihak.

Secara leih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam Islam, antara
lain:

(1) Dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam transaksi jual beli,

(2) mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli),

(3) menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli,

(4) Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli,

(5) Menjamin kesempurnaan proses transaksi,

(6) untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan pembeli,
dan lain-lain.

Wallahu A’lam bish-Shawab.

Pengertian Jual Beli


Dalam bahasa Arab, jual beli disebut dengan al-bai’, dari segi bahasa berarti memindahkan hak
milik terhadap benda dengan akad saling mengganti (Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010),
atau menukar suatu barang dengan barang yang lain (barter). Sedangkan menurut istilah, al-bai’
memiliki banyak pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ulama:

Pertama: Imam Hanafi (Mazhab Hanafi); jual beli ialah pertukaran suatu harta dengan harta
yang lain menurut cara tertentu.

Kedua: Imam Syafi’i (Mazhaab Syafi’i); jual beli ialah pertukaran sesuatu harta benda dengan
harta benda yang lain, yang keduanya boleh di-tasharruf-kan (dikendalikan), dengan ijab dan
qabul menurut cara yang diizinkan oleh syari’at.

Ketiga: Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini; jual beli adalah; kontrak pertukaran harta benda
yang memberikan seseorang hak memiliki sesuatu benda atau manfaat untuk selama-lamanya.

Keempat: Al-Qlayubi; akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan
terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu dan selamanya dan bukan untuk
bertaqarrub kepada Allah (bukan Hibah, Sadaqah, Hadiah, wakaf).

Defiinisi jual beli sebagaimana dikemukakan oleh para ulama di atas memberikan suatu
pengertian sekaligus penekanan bahwa istilah jual beli merupakan gabungan dari kata al-bai’
(menjual) dan syira’ (membeli) – karena adanya keterlibatan aktif antara dua belah pihak yang
melakukan transaksi jual beli. Atau dengan kata lain, jual beli merupakan aktifitas yang
melibatkan dua belah pihak atau lebih untuk melakukan pertukaran barang dengan cara tertentu,
baik pertukaran barang dengan barang (barter) maupun dengan alat tukar (uang).

Dalam definisi tersebut juga terkandung nilai, bahwa jual beli merupakan salah satu proses al-
taghayyur al-milkiyah (perubahan kepemilikan) dari pihak penjual kepada pihak pebeli yang
bersifat permanen. Oleh sebab itu, jual- beli yang syar’i adalah jual beli secara lepas atau tidak
diikat dengan syarat tertentu seperti menjual dalam waktu satu bulan, satu tahun dan lainnya,
atau menjual barang dengan syarat si pembeli harus menjual kembali barang tersebut kepada
pihak penjual pertama pada waktu yang sudah mereka tentukan.

Dasar Hukum Disyari’atkannya Jual-Beli

Jual beli merupakan salah satu aktifitas yang banyak dilakukan oleh ummat manusia, bahkan
hampir tidak ada seorangpun di dunia ini yang terbebas dari aktifitas jual-beli, baik sebagai
penjual maupun sebagai pembeli. Dasar hukum disyari’atkannnya jual-beli dapat dijumpai dalam
beberapa ayat al-Qur’an, antara lain;

1. Dalil al-Qur’an
َّ ‫الربَا َوأ َ َح َّل‬
‫َّللاُ ا ْلبَ ْي َع‬ ِ ‫ش ْي َطانُ ِمنَ ا ْل َم ِس ذَ ِلكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
َّ ‫طهُ ال‬ ِ َ‫الَّ ِذينَ يَأ ْ ُكلُون‬
ُ َّ‫الربَا َال يَقُو ُمونَ ِإ َّال َك َما يَقُو ُم ا َّلذِي يَت َ َخب‬
َ َّ
َ‫اب الن ِار ُه ْم فِيهَا خا ِل ُدون‬ َ َ ُ َ
ُ َ‫َّللاِ َو َم ْن عَا َد فأولئِكَ أصْح‬ َ َ
َّ ‫ف َوأ ْم ُرهُ إِلى‬ َ ‫سل‬ َ َ ‫الر َبا فَ َم ْن جَا َءهُ َم ْو ِعظة ِم ْن َربِ ِه فانتَهَى فلهُ َما‬
َ َ ْ َ َ ِ ‫َوح ََّر َم‬
– 275 :‫البقرة‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)”

‫َّللاَ كَانَ ِب ُك ْم‬ َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َو َال تَ ْقتُلُوا أَ ْنف‬


َّ َّ‫س ُك ْم ِإن‬ ٍ ‫جَارةً ع َْن تَ َرا‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا َال تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْل َب‬
َ ِ‫اط ِل ِإ َّال أ َ ْن تَكُونَ ت‬
29 :‫َر ِحي ًما – النساء‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu” [An-Nisaa : 29]

2. Dalil Hadis Nabi:

‫الر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُك ُّل َبي ٍْع َمب ُْر ْو ٍر – رواه االبزار والحاكم‬
َّ ‫ع َم ُل‬ ُ َ‫ب أ َ ْطي‬
َ ‫ب ؟ قَا َل‬ ِ ‫س‬ ُّ َ‫سلَّ َم أ‬
ْ ‫ي ا ْل َك‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫سئِ َل النَّبِ ُّي‬
ُ

“Nabi saw pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling baik (paling ideal) ?,
Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli
yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim)

ٍ ‫إِنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ع َْن ت َ َر‬


‫اض – رواه البيهقي‬

“Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling ridha (suka sama suka).” (HR. Al-Baihaqi)

Prinsip-Prinsip dalam Jual Beli

Dalam artikel-artikel sebelumnya, telah banyak diulas tentang etika bisnis dalam Islam. Namun
dalam pembahasan kali ini perlu dikemukakan beberapa prinsip dan etika yang relevan dengan
persoalan jual beli. Dengan demikian diharapkan setiap aktifitas jual beli yang dilakukan sesuai
dengan tuntunan syari’at Islam. prinsip-prinsip syar’i yang harus diperhatikan antara lain:

Pertama: Larangan menawar barang yang sedang diitawar oleh orang lain.

…‫ – رواه مسلم‬.… ‫ع َلى ِخ ْطبَ ِة أ َ ِخ ْي ِه‬


َ ‫ب‬ ُ ‫علَى بَي ِْع أ َ ِخ ْي ِه َوالَ يَ ْخ‬
ُ ‫ط‬ َّ ‫َوالَ يَبِ ْي ُع‬
َ ‫الر ُج ُل‬
“….dan janganlah seorang membeli (menawar) sesuatu yang sedang dibeli (ditawar) oleh
saudaranya, dan jangan pula ia melamar (wanita) yang sedang dilamar oleh
saudaranya….”(HR. Muslim)

Salah satu hikmah larangan menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain adalah untuk
menghindari munculnya kekecewaan (gelo), perkelahian dan pertentangan di antara sesama.
Sebab orang yang menawar (membeli) suatu barang umumnya dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk memiliki dan kebutuhkannya terhadap barang tersebut. Namun karena diambil oleh pihak
lain (pada saat terjadinya tawar menawar), menyebabkan hal tersebut tidak didapatkannya.
Akibatnya, muncul rasa kecewa, marah, bahkan kebencian di antara mereka.

Kedua: Sesuatu yang diperjual belikan adalah sesuatu yang mubah (boleh) dan bukan
sesuatu yang diharamkan

Dalam hadis Nabi saw. banyak dijelaskan tentang larangan menjual sesuatu yang diharamkan
oleh agama. Larangan menjual barang yang diharamkan tersebut tidak hanya secara zat (benda)
nya saja (bai’ an-najas), tetapi juga larangan memakan hasil penjualannya. Hal ini dapat
ditemukan penjelasannya dalam beberapa ayat dan hadis Nabi saw.sebagai berikut;

‫ش ُح ْو ُم فَ َباع ُْو َها َو أَ َكلُ ْو أَثْ َمانِهَا َوإِنَّ هللاَ إِذَا‬ َ ْ‫ لَعَنَ هللاُ ا ْليَ ُه ْو َد ُح ِر َمت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬
ُّ ‫علَي ِْه ُم ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫اس أَنَّ النَّ ِب َي‬
َ ُ‫ص َّلى هللا‬ ٍ َّ‫عب‬
َ ‫ع َِن اب ِْن‬
‫ – رواه أحمد و أبو داود‬.ُ‫علَي ِْه ْم ث َ َمنَه‬ َ ‫ع َلى قَ ْو ٍم أ َ ْك َل‬
َ ‫ش ْي ٍئ ح ََّر َم‬ َ ‫ح ََّر َم‬

“Dari Ibnu Abbas Nabi saw bersabda: Allah melkanat orang-orang Yahudi, karean telah
diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan
hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan
sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Contoh-contoh jual beli yang termasuk kategori ini misalnya; jual beli babi, anjing,
bangkai, khamar dan lainnya. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw., antara
lain:

90 :‫ – المائدة‬. َ‫ان َفاجْ تَ ِنبُ ْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬


ِ ‫ش ْي َط‬ َ ‫َاب واأل َ ْزالَ ُم ِرجْ س ِم ْن‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ُ ‫يَآيُّهَاا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر واأل َ ْنص‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntunga”. (QS. Al-
Ma’idah: 90)

Sedangkan dalam hadis Nabi saw, dijelaskan:

ُ‫س ْولَه‬ ُ ‫ إِنَّ هللاَ َو َر‬،َ‫عا َم ا ْلفَتْحِ َوه َُو بِ َمكَّة‬


َ ‫سلَّ َم َيقُ ْو ُل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫صلَّى هللا‬ َ ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫س ِم َع َر‬ َ ُ‫ أَنَّه‬: ‫ع ْن ُه َما‬
َ ‫ع ْب ِد هللا َر ِض َي هللا‬ َ ‫ع َْن جَابِ ِر ب ِْن‬
ُ َ‫س ْو َل هللاِ أ َ َرأَيْت‬
ُّ ‫ش ُح ْو َم ا ْل َم ْيتَ ِة فَ ِإنَّهَا يُ ْط َلى ِب َها ال‬
‫سفُنُ َويُ ْد ِهنُ ِبهَا ا ْل ُجلُ ْو ُد‬ ْ َ ‫ح ََّر َم بَ ْي َع ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيت َ ِة َوا ْل ِخ ْن ِزي ِْر َواأل‬
ُ ‫ فَ ِق ْي َل يَا َر‬.‫صنَ ِام‬
‫اس ؟ فَ َقا َل الَ ه َُو ح ََرام‬ ُ ‫صبِ ُح بِهَا ال َّن‬ ْ َ ‫ست‬ْ ُ‫–وي‬
َ ‫رواه البخاري ومسلم‬.

“Dari Jabir bin Abdillah ra; bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah saw bersbda pada saat
penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah); sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah
mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, babi dan patung (berhala). Lalu ditanyakan
(diantara sahabat ada yang bertanya); bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, maka
sesunggunnya ia (lemak bangkai) digunakan untuk menambal perahu dan untuk menyemir kulit
serta digunakan untuk alat penerangan oleh manusia ? lalu Rasulullah saw menjawab; Tidak !
ia (tetap) haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Disamping dijelaskan tentang status keharaman jual beli barang najis, juga dalam ayat dan hadis
Nabi saw dijelaskan tentang dampak yang akan didapatkan oleh orang yang melakukan jual-beli
benda najis, yaitu dosa dan murka Allah dan Rasul-Nya. Dalam hadis Nabi saw dijelaskan:

َ ‫َاملَهَا َوا ْل ُح ُم ْولَةَ إِلَ ْي ِه َو‬


‫ساقِيَهَا َوبَائِعَهَا‬ ِ ‫َاص َر َها َو ُم ْعتَ ِص َر َها َوش َِاربَهَا َوح‬
ِ ‫ ع‬:‫عش ََرة‬ َ ‫سلَّ َم ِفى ا ْل َخ ْم ِر‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬
َ ‫ص َّلى هللا‬
َ ‫لَعَنَ النَّبِ ُّي‬
‫شت َ َراةَ لَهَا – رواه الترميذى وابن ماجة‬ ْ ‫شت َ َرى َلهَا َوا ْل ُم‬ْ ‫َوآ ِك َل ث َ َمنِهَا َوا ْل ُم‬

“Nabi saw telah melaknat dalam masalah khamar sepuluh golongan; yang memerasnya
(produsennya), yang meminta diperskan (pemesan), yang meminumnya (konsumen), yang
membawanya, yang meminta diantarkan, yang menuangkannya (pelayan), yang menjualnya,
yang memakan hasil penjualannya, yang membelinya, dan yang meminta dibelikan.” (HR.
Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ketiga: Menghindari praktek perjudian dalam sistem jual beli

Pada saat ini, praktek perjudian (maisir) dalam sistem jual beli semakin banyak ditemukan, baik
di pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar moderen seperti di mall-mall besarr. Teknik dan
stateginyapun semakin beragam, bahkan dengan menggunakan peralatan canggih – seperti
komputer dan mesin-mesin judi. Sebagian penjual ada yang menjual barang dagangannya dengan
cara melemparkan batu, gelang dan sejenisnya, atau dengan memasukkan coin dalam mesin yang
sudah disiapkan. Jika barang yang dilempar tersebut kena atau gelangnya masuk dalam barang
yang diinginkan, maka barang tersebut bisa menjadi milik si pembeli. Namun jika sebaliknya,
maka si pembeli kehilangan uangnya tanpa mendapatkan barang yang diinginkan.

Praktek-praktek semacam ini termasuk kategori perjudian yang dikemas dalam bentuk jual beli.
Hal ini diharamkan baik berdasarkan ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi saw, antara lain:

90 :‫ – المائدة‬. َ‫ان َفاجْ ت َ ِنبُ ْو ُه لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬


ِ ‫ش ْي َط‬ َ ‫َاب واأل َ ْزالَ ُم ِرجْ س ِم ْن‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ُ ‫َيآ ُّيهَاا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا ِإنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر واأل َ ْنص‬

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntunga”. (QS. Al-
Ma’idah: 90)

ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر َوا ْلكُوبَ ِة َوا ْلغُبَي َْر‬
‫اء – رواه أحمد و أبو داود‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ع ْم ٍرو أَنَّ نَبِ َّي‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬

“Dari Abdullah bin Amru, bahwasanya Nabi saw melarang (meminum) khamar, perjudian,
menjual barang dengan alat dadu atau sejenisnya (jika gambar atau pilihannya keluar maka ia
yang berhak membeli) dan minuman keras yang terbuat dari biji-bijian (biji gandum). (HR.
Ahmad dan Abu Dawud)
Selain tiga prinsip di atas, masih banyak lagi prinsip-prinsip dan etika yang harus diperhatikan
sehingga sebuah praktek jual beli menjadi sah sesuai dengan ajaran agama Islam, antara lain;
menghindari berbagai bentuk penipuan dan kecurangan (gharar dan al-gasy), tidak transparan
(jahalah), menzalimi konsumen/pembeli; seperti menimbun barang (ihtikar) sehingga
menyebabkan kelangkaan barang di pasaran dan menyulitkan masyarakat untuk
mendapatkannya, atau mematok harga dengan sangat tinggi di saat masyarakat sangat
membutuhkannya, melakukan praktek yang membahayakan (dharar), praktek yang banyak
terjadi dalam sistem MLM (akan diulas dalam pembahasan tersendiri) dan lain sebagainya.

Keutamaan jual beli yang mabrur:

Jual beli tidak hanya merupakan salah satu cara untuk mencari nafkah dan keuntungan finansial,
namun jual-beli juga merupakan salah satu jenis usaha yang mendapatkan perhatian besar dalam
Islam, baik karena merupakan salah satu aktivitas yang banyak dibutuhkan oleh manusia, profesi
yang banyak dilakukan oleh para Nabi dan beberapa keutamaan lainnya. Karena itu wajar jika
dalam al-Qur’an hadis Nabi dan berbagai kajian fikih persoalan ini mendapatkan porsi
pembahasan yang cukup luas.

Di antara keutamaan atau nilau plus yang terdapat dalam praktek jua beli antara lain; (1)
merupakan usaha yang paling banyak menjanjikan keuntungan, (2) usaha yang tidak mungkin
dihindari oleh siapapun, sehingga akan tetap eksis dan dibutuhkan oarang, (3) usaha yang sangat
ideal dalam beberapa aspek, diantaranya seseorang lebih leluasa untuk mengatur dan memilih
jenis barang yang dibisniskan, tempat serta metode yang diinginkan, (4) peluang besar untuk
mencari nafkah yang halal serta kebahagiaan dunia dan akhirat jika dilakukan secara benar
sesuai norma dan hukum-hukum agama, dan lain sebagainya.

Dalam banyak hadis, Rasulullah saw menjelaskan tentang penting dan keutamaan persoalan ini,
antara lain dalam hadis berikut:

‫َاء – رواه الترمذى‬ ِ ‫ق األ َ ِم ْينُ َم َع النَّبِيِ ْينَ َو‬


ُّ ‫لص ِد ْي ِق ْينَ َوال‬
ِ ‫ش َهد‬ ُ ‫صد ُْو‬ ِ َّ‫ الت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬
َّ ‫اج ُر ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ع َْن أَبِى‬
َ ِ ‫س ِع ْي ٍد ع َِن النَّبِي‬

“Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para
Nabi, orang-orang yang jujur dan syuhada’”. (HR. Tirmidzi)

‫س ِة َوا ْل ُمنَابَذَ ِة‬


َ ‫سلَّ َم ع َِن ا ْل ُمحَاقَلَ ِة َوا ْل ُم َخاض ََر ِة َوا ْل ُمالَ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّهُ قَا َل نَهَى َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ع َْن أَنَ ِس ب ِْن َمالِكٍ َر ِض َى هللا‬
‫وا ْل ُم َزا َبنَ ِة – رواه البخارى‬

“Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli muhaqalah (yaitu; jual
beli buah yang masih di atas pohonnya),dan muhadharah (jual beli buah yang belum
matang/masih hijau dan belum jelas kualitasnya), jual beli raba (yaitu; jual beli dengan tidak
mengetahui ukuran, jenis dan kualitas barang), jual beli lempar dan jual beli muzabanah”. (HR.
Al-Bukhari).

Akad memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai persoalan
mu’amalah. Bahkan akad dapat menjadi salah satu penentu sah atau tidaknya suatu
transaksi. Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (akibat hukum) yang sangat luas.
Dengan sahnya akad sebuah kepemilikan bisa berpindah dari kepemilikan seseorang kepada
pihak yang lain. Dengan akad pula dapat merubah suatu kewenangan, tanggung jawab dan
kegunaan sesuatu. Atas dasar inilah kajian tentang akad menjadi sangat penting untuk diuraikan
sebelum berbicara tentang berbagai persoalan mu’amalah dalam Islam.

Pengertian Akad

Dalam al-Qamus al-Muhith dan Lisan al-‘Arab dijelaskan; Akad menurut bahasa berarti ikatan
atau tali pengikat. Pengertian akad secara hakiki (hissy) ini kemudian digunakan untuk sesuatu
yang bersifat asbstrak berupa ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog atau
berkomunikasi.

Secara bahasa akad adalah:

‫اح ٍد أ َ ْو ِم ْن جَا نِبَي ِْن‬ ٍ ِ‫ ِم ْن جَا ن‬،‫سياا أ َ ْم َم ْعنَ ِوياا‬


ِ ‫ب َو‬ ِ ‫س َواء أَكَانَ َر ْب ًطا ِح‬ ِ ‫ط بَ ْينَ أ َ ْط َر‬
َ ،‫اف الش َّْي ِء‬ ُ ‫لر ْب‬
َّ َ ‫ا‬.

“Ikatan antara pihak-pihak baik ikatan itu secara konkrit (hissy/hakiki) atau secara abstrak
(maknawi) yang berasal dari satu pihak atau kedua belah pihak.”

Dari sinilah kemudian akad diterjemahkan secara bahasa sebagai; menghubungkan antara dua
perkataan, yang di dalamnya masuk juga pengertian janji dan sumpah, karena sumpah
menguatkan niat orang yang berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya.

Sedangkan secara terminologi fikih, akad terbagi dua yaitu pengertian umum dan pengertian
khusus. Akad dalam pengertian umum adalah:

‫ف أ َ ْم اِحْ تَا َج ِإلَى ِإ َرا َدتَي ِْن فِي ِإ ْنشَائِ ِه كَا ا ْلبَي ِْع‬
ِ ‫صد ََر ِم ْن ِإ َرا َد ٍة ُم ْنفَ ِر َد ٍة كَاا ْل َو ْق‬ َ ‫ ُك ُّل َما ع ََز َم ا ْل َم ْر ُء‬.
َ ، ‫علَى فِ ْع ِل ِه‬
َ ‫س َواء‬

“Segala yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik bersumber dari keinginan pribadi
seperti waqaf atau bersumber dari dua pihak seperti jual-beli”.

Akad dengan makna luas ini dijelaskan dalam firman Allah swt;

1 :‫ – المائدة‬.…‫يَا أ َيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أ َ ْوفُوا بِا ْلعُقُو ِد‬

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs. al Maidah: 1)

Akad dalam pengertian khusus adalah:

‫ع َلى َوجْ ٍه َمش ُْر ْوعٍ َيثْبُتُ أَث َ ُر ُه ِفي َمح َِل ِه‬
َ ‫ب ِبقَبُ ْو ٍل‬ ُ ‫ا ِْر ِت َبا‬
ٍ ‫ط ِإيْجَا‬

“Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada sesuatu perikatan”.
Dalam ungkapan lain para ulama fikih menyebutkan bahwa akad adalah setiap ucapan yang
keluar sebagai penjelasan dari kedua keinginan yang ada kecocokan. Sedangkan Mustafa Ahmad
Az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum (action) yang dilakukan manusia terdiri atas dua
bentuk, yaitu: Tindakan (action) berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan. Pernyataan
pihak-pihak yang berakad itu lalu disebut dengan ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama
yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk
mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan
persetujuannya untuk mengikatkan diri dalam sebuah transaksi atau ikatan bisnis.

Sementara Abu Bakar al-Jashshash memaknai akad sebagai; setiap sesuatu yang diikatkan oleh
seseorang terhadap satu urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain
untuk dilaksanakan secara wajib (seperti; akad nikah, akad sewa menyewa, akad jual beli dan
lainnya). Menurut beliau, sesuatu dinamakan akad, karena setiap pihak telah memberikan
komitmen untuk memenuhi janjinya di masa mendatang. Lebih jauh lagi, sumpah juga dapat
dikategorikan sebagai akad, karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk
memenuhi janjinya baik dengan berbuat atau meninggalkan. Maka perkongsian
(syirkah/koperasi), bagi hasil (mudharabah) dan lainnya dinamakan akad, karena kedua belah
pihak memiliki kewajiban untuk melaksankan janjinya seperti yang telah diisyaratkan oleh kedua
belah pihak tentang pembagian keuntungan. Demikian pula setiap syarat yang ditetapkan oleh
seseorang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu di masa mendatang juga dapat disebut akad.

Sementara sebagian ulama fikih membedakan antara akad dengan janji, mereka mendefinisikan
akad sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan,
sedangkan janji merupakan komitmen dari satu pihak yang berkeinginan. Dengan landasan ini
Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta
diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat
dilakukan oleh satu orang saja.

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna akad secara syar’i yaitu; hubungan antara
ijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syari’at yang mempunyai pengaruh secara
langsung terhadap sesuatu yang diikatkan atau ditransaksikan. Artinya, bahwa akad termasuk
dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang
sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang selanjutnya disebut ijab dan qabul.

Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua syarat yang ada, maka syara’ akan menganggap
ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada sesuatu yang diakadkan baik
berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak ataupun beberapa persoalan lainnya. Maka
jika akad sudah ditunaikan, dapat berdampak pada terjadinya perubahan hak kepemilikan seperti
yang terjadi dalam transaksi jual beli – yaitu dari pihak penjual ke pihak pembeli atau
sebaliknya. Begitu pula halnya dalam berbagai contoh akad mu’amalah pada umumnya.

Syarat-Syarat Akad
Akad merupakan sesuatu yang sangat penting, karena dengan akad dapat diketahui maksud
setiap pihak yang melakukan transaksi. Bentuk atau ungkapan akad (shighat al-‘aqd)
diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Terkait dengan ijab dan qabul ini, para ulama fikih
memberikan beberapa syarat umum sahnya sustu akad, yaitu:

1. Pihak-pihak yang melakukan akad (al-‘Aqid) adalah orang yang cakap bertindak (baligh,
berakal sehat, tidak dalam kondisi pailit atau tertekan, dan sesuatu yang diakadkan
merupakan kewenangannya). Jika seseorang dianggap belum cakap seperti anak kecil,
maka akad dapat diwakilkan atau dilakukan oleh walinya.
2. Obyek Akad (Ma’qud ‘alaih) berupa sesuatu yang diperbolehkan dan memiliki nilai
manfaat menurut pandangan syari’at serta bukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan.
3. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan (al-aqd) itu jelas, sehingga dapat dipahami
jenis akad yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan
hukumnya.
4. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul.
5. Pernyataan ijab dan qabul mengacu kepada suatu kehendak dari masing-masing pihak
secara pasti (tidak ragu-ragu).

Macam-Macam Akad

Dasar hukum dari mu’amalah adalah kemubahan (kebolehan), selama hal tersebut selaras dan
tidak bertentangan dengan syari’at dan tujuan disyari’atkan sesuatu (maqashid al-Syari’ah).
Sebagaimana kaidah yang berbunyi;

‫علَى ِخالَفِ ِه‬


َ ‫اإلبَا َح ِة ِإالَّ َما َد َّل ال َّد ِل ْي ُل‬
ِ ‫ت‬ ِ َ‫فى ا ْل ُمعَا َمال‬ ْ َ ‫اَأل‬
ِ ‫ص ُل‬

“Pada dasarnya segala sesuatu dalam mu’amalah hukumnya boleh (mubah), kecuali terdapat
dalil yang menunjjukkan arti sebaliknya (keharamannya)”.

Atas dasar itulah, berbagai bentuk transaksi atau akad yang selaras dengan hukum agama dapat
diakomodir menjadi alternatif dalam melakukan transaksi mu’amalah. Ditinjau dari
klasifikasinya, akad dalam sistem mu’amalah Islam sangat beragam sesuai dengan sudut
pandang orang yang mengkajinya.

Jika ditinjau dari sifatnya, akad terbagi menjadi:

1. Akad Shahih yaitu; Akad yang sempurna dan sah menurut pandangan syari’at. Akad ini
terbagi menjadi: Pertama: Akad Lazim yaitu; Akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah
seorang yang berakad tanpa kerelaan pihak lain yang berakad , seperti akad jual-beli,
ijarah, dan lainnya. Dalam kaidah fikih disebutkan:

ْ َ ‫ا َ ْأل‬
‫ص ُل فِي ا ْلعُقُ ْو ِد اَل ُّل ُز ْو ُم‬

“ Pada dasarnya akad itu adalah Luzum ( mengikat para pihak ).”
Kedua: Akad Ghairu Lazim (tidak mengikat), pada kedua belah pihak, pada akad ini para pihak
mempunyai hak untuk membatalkan akad, misalnya pada hiyar fi al-Buyu’ (hak memilih antara
penjual dan pembeli antara melanjutkan akad jual beli atau membatalkannya kkarena adanya
perjanjian atau kecacatan pada barang).

2. Akad Ghairu Shahih yaitu; akad yang tidak sah (cacat) menurut pandangan syari’at.

Sedangkan jika ditinjau dari cara atau bentuknya, para ulama membagi akad menjadi beberapa
bentuk, yaitu:

1. Aqad Al-Mu’athah Saling Memberi)

Akad Mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan keredaan
tanpa ucapan ijab dan qabul. Praktek semacam ini sering ditemukan dalam praktek jual beli
dengan sistem swalayan. Seorang pembeli memilih sendiri barang yang dibeli sesuai dengan
bentuk, jenis, kualitas dan harga barang yang diinginkannya. Lalu barang-barang yang telah
dipilih tersebut diserahkan kepada kasir (terkadang) tanpa ucapan sedikitpun. Sementara sang
kasir sibuk dengan layar monitor (komputer) untuk mengecek harga barang yang akan dijual.
Pada akhirnya sang pembeli mengeluarkan sejumalah uang sesuai dengan nominal yang tertera
pada layar monitor. Praktek semacam ini sah menurut fikih Islam dan termasuk bagian dari
thasharruf bil fi’li (trnasaksi dengan perbuatan)

2. Aqad bi Al-Kitabah (Akad dengan Tulisan )

Akad bi al-kitabah merupakan jenis transaksi (akad) dengan tulisan (seperti; nota, surat pesanan
dan atau bahkan lewat SMS, email, dan sejenisnya) yang dapat dipastikan akurasi dan
kepastiannya. Akad semacam ini sah untuk dilakukan, oleh dua orang yang berakad baik
keduanya mampu berbicara maupun tidak (bisu), keduanya hadir pada waktu akad ataupun tidak
hadir ( dititipkan lewat orang kepercayaannya), dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua
orang yang berakad. Hal ini selaras dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

ِ ‫اَ ْل ِكتَبا بَةُ كَا ْل ِخ َطا‬


‫ب‬

“ Tulisan sama kekuatan hukumnya dengan ucapan”.

3. Akad b Al-Isyarat (Akal dengan Isyarat)

Bahasa isyarat yang digunakan oleh orang bisu untuk menyampaikan kehendaknya dapat
diterima sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, dengan catatan bahasa isyarat tersebut
dapat dimengerti dan difahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika seseorang
tidak mampu berbicara maupun menulis, maka bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua
belah pihak sama nilainya dengan lisan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para fukaha’ dan
sesuai dengan kaedah fiqhiyah ang berbunyi:

‫ان‬
ِ ‫س‬ ِ َ‫َاراتُ ا ْلعُ ُه ْو َدةُ ِل ْلألَ ْخ َر ِس كَا ْل َبي‬
َ ‫ان بِ ِالل‬ َ ‫ا َ ْ ِإلش‬
” Isyarat perjanjian (akad) dari orang bisu seperti penjelasan dengan lisan.”

Perbedaan antara Akad, Tasharruf dan Ilzam

Thasharruf menurut istilah ulama fikih adalah; setiap yang keluar dari seseorang yang mumayyiz
dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekwensi, baik berupa
ucapan, atau yang setingkat dengan ucapan berupa perbuatan atau isyarat. Dengan pengertian ini
maka dapat dikatakan bahwa thasharruf lebih umum cakupannya dibandingkkan akad. Akad
merupakan bagian dari thasharruf yang bersifat ucapan (Thasharruf Qauli), sedangkan
thasharruf masuk di dalamnya berbagai macam bentuk perjanjian, komitmen, mengembalikan
barang yang dijual dengan khiyar syarat, khiyar ‘Aib maupun khiyar Majlis (akan dibahas dalam
tema tersendiri dalam kaitannya dengan jual-beli). Dengan kata lain, semua akad dapat
dinamakan thasharruf, namun tidak semua thasharrf dinamakan akad.

Sedangkan iltizam adalah; sebuah thasharruf (perbuatan) yang mengandung keinginan untuk
melahirkan satu hak atau mengakhiri satu hak atau menggugukannya baik datang dari satu pihak
seperti thalak atau datang dari kedua belah pihak seperti akad jual beli dan sewa menyewa.

Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan dalam tiga hal, yaitu:

Pertama: Bahwa akad merupakan salah satu syarat sahnya berbagai transaksi mu’amalah dalam
Islam.

Kedua: Akad dapat dilakukan baik dengan ucapan, perbuatan, tulisan dan isyarat yang dapat
dipahami dan memberikan kepastian terhadap sesuatu yang diakadkan.

Ketiga: Akad yang berbentuk ucapan (Thasharruf Qauli) tidak diharuskan dengan redaksi
tertentu dan bahasa tertentu, namun dapat dilakukan dengan berbagai redaksi yang dapat
dipahami n menunjukkan sesuatu yang diakadkan. (Wallahu a’lam bi al-Shawab)

Sebagaimana dikemukakan dalam artikel “Prinsip Dasar Fikih Mu’amalah”, bahwa Islam
merupakan ajaran Ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup
segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu Islam harus dilihat dan diterjemahkan dalam
kehidupan sehari hari secara komprenhensif pula. Bekerja (berusaha) dalam Islam harus
tetap dalam bingkai akidah dan syari’ah (hukum-hukum agama). Bekerja dalam bingkai
akidah maknanya; usaha yang dilakukan oleh seorang muslim harus diniatkan dalam
rangka beribadah (ibadah ‘aam) kepada Allah dengan penuh keihklasan, kesabaran dan
isti’anah (memohon pertolongan Allah) baik dengan shalat maupun berdo’a. Sehingga
segala usaha yang dilakukannya tidak pernah terputus hubungannya dengan Allah swt.

Hal ini selaras dengan firman Allah swt.:


١٥٣- َ‫ص ٰـ ِب ِرين‬ َّ َّ‫صلَ ٰو ِةۚ ِإن‬
َّ ‫ٱَّللَ َم َع ٱل‬ ۡ ْ‫يَ ٰـٰٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُوا‬
َّ ‫ٱست َ ِعينُواْ ِبٱلص َّۡب ِر َوٱل‬

“Wahai orang-orang yang beriman, mohon pertolonganlah kamu sekalian dengan penuh
kesabaran dan (dengan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS.
Al-Baqarah: 153)

Sedangkan bekerja dalam bingkai syari’ah (hukum-hukum agama) maknanya; dalam bekerja
seseorang harus melihat sisi kehalalan dan keharamannya. Apakah usaha yang dijalankan sesuai
dengan aturan agama ataukah tidak. Sehingga dalam bekerja (berusaha) seorang muslim harus
menjauhi sikap-sikap Machivelian yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai (al-
ghayah tubalighul washilah). Begitu pula halnya, dalam bekerja (berusaha) seorang muslim
hendaknya berniat dalam hatinya bahwa apa yang dilakukannya diniatkan sebagai salah satu
bentuk kewajiban berikhtiar secara syar’i serta manifestasi (perwujudan) dari fungsi dan misi
kekhalifahannya di muka bumi ini.

Dengan kata lain, bisnis atau bekerja yang bertauhid adalah bekerja yang dilakukan dengan niat
ibadah serta mentaati aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Menjauhkan diri dari segala praktek yang diharamkan oleh agama. Sebab dalam Islam, aktifitas
hidup seorang muslim baik yang bersifat komersial maupun sosial seluruhnya akan dimintai
pertanggungan jawab dan menjadi modal di hari kiamat kelak.

Terlebih lagi dalam konsep Islam, persoalan harta (hasil usaha) seseorang akan dimintai
pertanggungan jawab baik menyangkut sumber (cara mendapatkan) maupun pendistribusiannya,
sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW:

‫ع ُم ِر ِه ِفي َما أَ ْفنَا ُه‬


ُ ‫سأ َ َل ع َْن‬ َ ‫سلَّ َم َال ت َ ُزو ُل قَ َد َما‬
ْ ُ‫ع ْب ٍد يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة َحتَّى ي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫سلَ ِمي ِ قَا َل َقا َل َر‬ْ َ ‫ع َْن أَبِي بَ ْر َزةَ ْاأل‬
‫رواه الترميذي‬- ‫سن ص َِحيْح‬ َ ‫س ِم ِه فِي َم أَب َْالهُ قَا َل َهذَا َحدِيث َح‬ ْ ‫سبَهُ َوفِي َم أ َ ْنفَقَهُ َوع َْن ِج‬َ َ ‫َوع َْن ِع ْل ِم ِه فِي َم فَعَ َل َوع َْن َما ِل ِه ِم ْن أ َ ْينَ ا ْكت‬

“Dari Abu Barzah al-Aslamy berkata; Rasulullah saw bersabda: tidak (bisa) melangkah kedua
kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia
habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia lakukan (manfaatkan), dan tentang hartanya darimana
ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan dan tentang fisiknya untuk apa ia pergunakan.” (HR.
Tirmidzi: hadis ini termasuk hadis hasan shahih)

Dalam hadis lain yang sangat terkenal juga dijelaskan:

‫َّللاَ أ َ َم َر ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ بِ َما أ َ َم َر‬


َّ َّ‫َّللاَ َطيِب َال يَ ْقبَ ُل إِ َّال َطيِبًا َوإِن‬
َّ َّ‫اس إِن‬ ُ َّ‫سلَّ َم أَيُّهَا الن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ َقا َل َقا َل َر‬
‫ع ِليم َو َقا َل يَا أَ ُّيهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِم ْن‬ َ َ‫ت َوا ْع َملُوا صَا ِل ًحا ِإنِي ِب َما تَ ْع َملُون‬ ِ ‫س ُل ُكلُوا ِم ْن ال َّط ِيبَا‬ ُّ ‫س ِلينَ فَقَا َل يَا أَيُّهَا‬
ُ ‫الر‬ َ ‫ِب ِه ا ْل ُم ْر‬
‫ب َو َمط َع ُمهُ ح ََرام َو َمش َْربُهُ ح ََرام‬ْ ِ ‫ب َيا َر‬ ِ ‫اء يَا َر‬ ِ ‫س َم‬ َ ْ َ َ
َّ ‫شعَث أغبَ َر يَ ُم ُّد َي َد ْي ِه إِلى ال‬ َ
ْ ‫سف َر أ‬ َ َّ ‫الر ُج َل يُ ِطي ُل ال‬ َ ُ َ ْ
َّ ‫ت َما َر َزقنا ُك ْم ث َّم ذك ََر‬ ِ ‫َطيِبَا‬
‫رواه مسلم‬- َ‫َاب ِلذَ ِلك‬ ُ ‫ستَج‬ ْ ُ‫ِي ِبا ْلح ََر ِام فَأ َ َّنى ي‬ َ ‫غذ‬ ُ ‫سهُ ح ََرام َو‬ ُ َ‫َو َم ْلب‬

“Dari Abi Hurairah berkata; Rasulullah saw. bersabda: Wahai sekalian manusia sesungguhnya
Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan
orang-orang yang beriman (sesuai) dengan apa yang telah diperintahkan kepada para rasul.
Lalu Rasulullah saw. bersabda (membaca ayat); Wahai para rasul makanlah kamu sekalian dari
sesuatu yang baik-baik dan kerjakanlah perbuatan yang baik, sesungguhnya Aku maha
mengetahui apa saja yang kamu sekalian lakukan.” Dan beliau bersabda (membaca ayat):
Wahai orang-orang yang beriman makanlah kamu sekalian dari sesuatu yang baik-baik yang
telah Kami anugerahkan kepadamu, lalu beliau menyebutkan (bercerita) tentang seorang laki-
laki yang bepergian jauh, kusut lagi berdebu, ia membentangkan tangannya ke langit seraya
berdoa’ wahai tuhanku, wahai tuhanku, dan (namun) makanannya haram, dan minumannya
haram, dan pakaiannya haram, dan diberi makan dengan sesuatu yang haram, maka mana
mungkin doa’nya diterima karena hal itu.” (HR. Muslim)

Selaras dengan itu pula, patut direnungkan pernyataan ulama’ yang menjelaskan tentang
pentingnya niat (motivasi) dan cara yang baik untuk menghasilkan sesuatu yang positif,
sebagaimana termuat dalam literatur kitab fikih klasik yang pernah penulis baca belasan tahun
yang lalu;

ِ ‫ص ْو َر ِة أَ ْع َما ِل‬
‫اْلخ َر ِة‬ ُ ‫ع َم ٍل يَتَص ََّو ُر ِب‬
َ ‫ َو َك ْم ِم ْن‬،‫س ِن النِيَّ ِة‬ ِ ‫ص ْو َر ِة أ َ ْع َما ِل ال ُّد ْنيَا فَيَ ِصي ُْر ِم ْن أ َ ْع َما ِل‬
ْ ‫اْلخ َر ِة ِب ُح‬ ُ ‫ع َم ٍل يَتَص ََّو ُر ِب‬
َ ‫َك ْم ِم ْن‬
‫النيَّ ِة‬
ِ ‫س ْو ِء‬ ْ َ ْ َ
ُ ِ‫فيَ ِصي ُْر ِمن أ ْع َما ِل ال ُّدن َيا ب‬.

“Betapa banyak dari perbuatan-perbuatan yang sepintas lalu terlihat seperti perbuatan dunia
(contoh: bekerja, makan, olah raga dan lainnya), lalu berubah (nilainya) menjadi perbuatan
akhirat (perbuatan yang dinilai ibadah dan berpahala) karena niat yang baik. Dan betapa
banyak perbuatan yang sepintas terlihat seperti perbuatan akhirat (contoh: shalat, zakat, puasa
dan lainnya), kemudian berubah (nilainya) menjadi perbuatan dunia (tidak berpahala) karena
niat yang jelek.”

Karena itulah terkait dengan bekerja, berbisnis, berusaha atau apapun istilahnya, dalam Islam
harus dilandasi oleh niat atau motivasi yang baik (sesuai aturan agama) serta dibangun di atas
pondasi (asas) dan etika bisnis Islam, agar segala usaha yang dijalankan bernilai ibadah dan
berpahala.

Adapun yang dimaksud dengan asas berusaha (berbisnis) dalam Islam di sini adalah nilai-nilai
dasar yang dijadikan sebagai pondasi dalam membangun dan menegakkan berbagai bentuk
bangunan usaha yang dijalankan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan yang
dimaksud dengan etika bisnis (berusaha) adalah; seperangkat norma yang bertumpu pada aqidah,
syari’ah dan akhlak yang diambil dari al-qur’an dan as-Sunnah yang digunakan sebagai tolok
ukur atau barometer kebolehan atau kehalalan suatu usaha dan berbagai hal yang berhubungan
dengannya.

Asas-Asas Berusaha (Berbisnis) dalam Islam

Bekerja, berusaha (berbisnis) dalam Islam memiliki pondasi yang sangat jelas dan kokoh
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Hal tersebut dimaksudkan
agar umat Islam menjadikannya sebagai pondasi bangunan ekonomi yang digelutinya, dalam
rangka melahirkan kemaslahan yang bersifat universal bagi setiap orang. Asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut:

1. Asas Tauhid (at-Tauhid)

4-1 :‫اإلخالص‬- ‫ َولَ ْم يَك ُْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َح ُد‬.ْ‫ لَ ْم يَ ِل ْد َولَ ْم يُ ْو َلد‬.ُ‫ص َمد‬
َّ ‫ هللاُ ال‬.ُ‫قُ ْل ه َُو هللاُ أ َ َحد‬

“Katakanlah: Dia-lah Allah yang maha esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang
setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlash: 1-4)

Dalam konteks berusaha atau bekerja, surat al-Ikhlas dapat memberikan spirit kepada seseorang,
bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus tetap bergantung kepada Allah swt.
dengan cara memaksimalkan ibadah dan do’a, sehingga tertutup peluang untuk menempuh cara-
cara yang haram seperti penipuan, kezaliman dan lain sebagainya. Bukankah berikhtiar
merupakan sebuah kewajiban, dan menjadikan Allah swt sebagai tempat menggantungkan nasib
dan harapan juga sebuah kewajiban. Karena itu, melakukan suatu kewajiban (ikhtiar) tidak boleh
dilakukan dengan meninggalkan kewajiban yang lain (ketaatan kepada Allah).

Terlebih lagi, dengan mengimani Allah sebagai tuhan yang wajib disembah, ditaati dan tempat
bergantung, maka hal itu sekaligus menunjukkan kepada manusia bahwa segala perbuatan
(usaha) yang dilakukannya pasti akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah swt.

Sikap hidup semacam ini akan melahirkan optimisme dalam menghadapi setiap problem dan
hasil dari suatu usaha yang dijalankan. Karena dalam hidup manusia, tidak semua harapan sesuai
dengan kenyataan, dan Allah seringkali memberikan apa yang kita butuhkan daripada apa yang
kita minta. Karena Allah swt maha tahu dan maha bijaksana dalam setiap keputusannya.

Dengan spirit surat al-Ikhlas, seorang muslim mengalami “kegagalan” dalam usahanya, niscaya
ia akan tetap optimis (tidak putus asa) untuk mencari faktor kegagalan seraya mencari solusinya.
Begitu pula ketika mengalami kesuksesan ia tetap rendah hati (tidak sombong), karena adanya
kesadaran spiritual bahwa semua yang dimiliki merupakan amanah Allah swt.

2. Asas Amanah (al-Amanah)

Amanah merupakan lawan dari khianat. Amanah melahirkan ketentraman, saling percaya dan
keharmonisan. Sedangkan khianat menimbulkan keresahan, saling curiga dan permusuhan. Oleh
sebab itu, kemaslahatan dalam hidup bermasyarakat akan terealisir jika mu’amalah
(interaksi/transaksi) antar sesama dilakukan dengan penuh amanah dan saling percaya.

Allah swt berfirman:

ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْليُؤ َِد ا َّلذِى ؤْ ت ُِمنَ أ َ َمنَتَهُ َو ْليَت‬


‫ق هللا َربَّهُ َوالَ تَ ْكت ُ ُم ْوا‬ ُ ‫سفَر َولَ ْم ت َ ِجد ُْوا كَاتِبًا فَ ِر َهان َم ْقبُضَة َف ِإ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬
َ ‫علَى‬
َ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
283 :‫البقرة‬- .‫ع ِليْم‬ َ َ‫شهَا َدةَ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْمهَا فَ ِإنَّهُ آثِم َق ْلبُهُ َوهللاُ ِب َما ت َ ْع َملُن‬
َّ ‫ال‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283)

Terkait dengan pentingnya sikap amanah ini pula Rasulullah SAW. bersabda:

‫ب َوإِذَا اؤْ ت ُِمنَ َخانَ َوإِذَا‬


َ َ‫َّث َكذ‬ ِ ِ‫سلَّ َم قَا َل آيَةُ ا ْل ُمنَاف‬
َ ‫ق ثَ َالث إِذَا َحد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َّ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ َر ِض َي‬
َ ُ‫َّللا‬
‫رواه البخاري ومسلم‬- ‫ف‬ َ َ‫ع َد أ َ ْخل‬
َ ‫َو‬

“Dari Abi Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda; ciri-ciri orang munafik itu ada
tiga, apabila berbicara ia berdusta, apabila dipercaya (diberikan kepercayaan) ia khianat, dan
apabila berjanji ia mengingkari janjinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

3. Asas Kejujuran (ash-Shiddiq)

Kejujuran merupakan mutiara akhlak yang sangat mahal dan hampir langka dalam kehidupan
sosial manusia. Sebaliknya kebohongan dan penipuan seringkali bisa dijumpai dalam berbagai
aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang usaha (bisnis) yang dijalankannya. Jenis penipuan
sebagai salah satu bentuk ketidakjujuran yang dilakukan manusiapun sangat beragam, mulai dari
penipuan gaya lama hingga penipuan gaya modern, penipuan kecil-kecilan hingga penipuan
besar-besaran, penipuan secara individual hingga penipuan secara berjama’ah. Padahal Allah
swt. Telah memerintahkan orang beriman untuk bersifat jujur bersamaan dengan perintah untuk
bertakwa, sebagaimana tertera dalam surat at-taubah ayat; 119:

119 :‫التوبة‬- َ‫يَآيُّهَاا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا اتَّقُوا هللاَ َوك ُْونُ ْوا َم َع الصَّا ِدقِ ْين‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertaq walah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah: 119)

Perintah bertakwa dan bersikap jujur secara bersamaan menunjukkan bahwa salah satu ciri orang
yang bertakwa adalah bersifat jujur. Maka tidak bisa dikatakan bertakwa orang yang masih suka
berbohong, menipu dan berbuat kecurangan. Bahkan Rasulullah saw. memberikan apresiasi yang
sangat besar terhadap orang-orang yang jujur, ia akan dimasukkan ke dalam syurga bersama para
nabi dan orang yang mati syahid, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini;

‫رواه الترمذى‬- ‫َاء‬ ِ ‫ق األ َ ِم ْينُ َم َع النَّ ِب ِي ْينَ َو‬


ُّ ‫لص ِد ْي ِق ْينَ َوال‬
ِ ‫ش َهد‬ ُ ‫صد ُْو‬ ِ َّ‫ الت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬
َّ ‫اج ُر ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ع َْن أ َ ِبى‬
َ ِ ‫س ِع ْي ٍد ع َِن النَّ ِبي‬

“Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para
Nabi, orang-orang yang jujur dan syuhada’”. (HR. Tirmidzi)

4. Asas Keadilan (al-‘Adalah)


Dalam terminologi fikih, adil adalah meletakkan sesuatu pada porsinya (wadh’us syai’ fi
mahallihi). Dalam makna aplikatifnya, adil atau keadilan bisa dimaknai sebagai keseimbangan
atau kesesuaian antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan dunia dan akhirat, antara kebutuhan
fisik dan rohani, antara harga dan kualitas barang dan lain sebagainya. Sedangkan lawan dari
keadilan adalah kezaliman.

Keadilan maupun kezaliman bisa dilakukan oleh seseorang terhadap diri sendiri maupun orang
lain. Contoh orang yang tidak adil (zalim) terhadap diri sendiri adalah seseorang yang hanya
mengejar sisi dunia namun meninggalkaan sisi akhiratnya, sibuk mengejar kebutuhan fisik
semata namun ia luapakan kebutuhan rohaninya. Termasuk kategori kezaliman terhadap diri
sendiri adalah melanggar aturan agama dengan melakukan sesuatu yang diharamkannya.

Perintah tentang berlaku adil dapat ditemukan dalam banyak ayat dan hadis Nabi SAW antara
lain:

ُ ‫علَى أَالَّ ت َ ْع ِدلُ ْوا اِ ْع ِدلُ ْوا ُه َو أَ ْق َر‬


َ‫ب ل ِلتَّ ْق َوى َواتَّقُ ْوا هللا‬ َ ‫شنَآنُ قَ ْو ٍم‬ ُ ِ‫يآيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا ك ُْونُ ْوا قَ َّو ِم ْينَ هلل‬
ْ ‫ش َهدَا َء ِبا ْل ِق‬
َ ‫س ِط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬
ُ َ َ
8 :‫المائدة‬- َ‫إِنَّ هللاَ خبِيْر بِ َما ت ْع َمل ْون‬

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ma’idah: 8)

‫النحل‬- . َ‫ظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْون‬


ُ ‫َاء َوا ْل ُم ْنك َِر َوا ْلبَ ْغي ِ يَ ِع‬
ِ ‫اء ذِى ا ْلقُ ْر َبى َويَ ْنهَى ع َِن ا ْل َف ْخش‬
ِ َ ‫ان َو ِإ ْيت‬
ِ ‫س‬ ِ ‫ ِإنَّ هللاَ يَا ْ ُم ُر ِبا ْل َع ْد ِل َو‬: 90
َ ْ‫اإلح‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepda
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90)

5. Asas Kebolehan (al-Ibahah)

Kaidah dalam persoalan ibadah mahdah sangat berbeda dengan kaidah dalam mu’amalah. Dalam
persoalan ibadah berlaku hukum keharaman untuk melakukan suatu ibadah jika tidak ada
landasannya dalam agama (al-Qur’an dan hadis). Sebab suatu ibadah harus dilakukan
berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan hadis.

Kaidah dalam persoalan ibadah adalah;

ْ َ ‫اَأل‬
‫اَلتَّحْ ِر ْي ُم‬/ ُ‫ص ُل فِى ا ْل ِعبَا َد ِة ا َ ْلبَ ْطالَن‬

“Pada dasarnya dalam (masalah) Ibadah itu haram dilaksanakan (kecuali jika ada perintah
tentang hal tersebut)”

Sedangkan dalam persoalan mu’amalah berlaku kaidah;


َ ‫ ِإالَّ َما َد َّل ال َّد ِل ْي ُل‬،ُ‫اإلبَاحَة‬
‫علَى ِخالَفِ ِه‬ ِ )ِ‫اء (فِى ا ْل ُمعَا َمالَت‬ ْ َ‫ص ُل فِى ْاأل‬
ِ َ‫شي‬ ْ َ ‫اَأل‬

“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya
mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

Kaidah ini lahir dari pemahaman terhadap ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW., antara lain:

22 :‫البقرة‬- ‫ق لَ ُك ْم‬ ِ ‫اء َما ًء فَأ َ ْخ َر َج بِ ِه ِمنَ الثَّ َم َرا‬


ً ‫ت ِر ْز‬ َّ ‫س َما َء بِنَا ًء َوأ َ ْن َز َل ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬ َّ ‫اَلَّذِى َجعَ َل لَ ُك ُم األ َ ْرضَ فِ َرشًا َوال‬

“Dialah yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-
buahan sebagai rizki untukmu”. (QS.al-Baqarah: 22)

Dan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah: 29;

29 :‫البقرة‬- .‫ع ِليْم‬


َ ‫ش ْي ٍئ‬
َ ‫ت َوه َُو ِبك ُِل‬
ِ ‫س َم َوا‬
َ ‫س ْب َع‬ َ َ‫اء ف‬
َ َّ‫س َّواهُن‬ َّ ‫ست َ َوى ِإلَى ال‬
ِ ‫س َم‬ ِ ‫ق لَ ُك ْم َما فِى األ َ ْر‬
ْ ‫ض ج َِم ْي ًعا ث ُ َّم ا‬ َ َ‫ه َُو الَّذِى َخل‬

“Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia maha mengetahui segala
sesuatu”. (QS.al-Baqarah: 29)

Kedua ayat dan kaidah mu’amalah di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan
oleh seorang muslim haruslah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama, dan bukan sesuatu yang
diharamkan.

6. Asas Saling Tolong-Menolong (at-Ta’awun)

Bekerja atau berusaha dalam Islam tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan
vinansial, namun juga harus memiliki aspek ta’awwun (saling tolong menolong). Karena itu,
dalam setiap usaha seseorang disamping menggarap aspek komersialnya namun juga aspek
sosialnya. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an dan hadis Nabi berikut ini;

ِ ‫ش ِد ْي ُد ا ْل ِع َقا‬
2 :‫المائدة‬- .‫ب‬ ِ ‫اإلثْ ِم َوا ْلعُد َْو‬
َ َ‫ان َواتَّقُ ْوا هللاَ ِإنَّ هللا‬ َ ‫ع َلى ا ْل ِب ِر َوالت َّ ْق َوى َوالَتَعَ َونُ ْوا‬
ِ ‫علَى‬ َ ‫اونُ ْوا‬
َ َ‫َوتَع‬

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Ma’idah: 2)

‫ع َْن أَبِى ه َُري َْرةَ قَا َل‬: ‫رواه مسلم‬-…‫هللاُ فِى ع َْو ِن ا ْل َع ْب ِد َماكَانَ ا ْلعَ ْب ُد ِفى ع َْو ِن أ َ ِخ ْي ِه‬,…:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫َقا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:…dan Allah selalu menolong hamba-
hamba-Nya selama hamba-hamba-Nya suka menolong saudaranya. (HR. Muslim)

7. Asas Kemaslahatan (al-Maslahah)

Dalam bekerja dan berusaha, seorang muslim harus memperhatikan dampak positif maupun
negatif dari setiap aktifitas yang dijalankannya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Karena
itu, seorang muslim dilarang melakukan berbagai aktifitas yang dapat mendatangkan mafsadah
(kerusakan) atau kemudharatan.

َ ‫سلَّ َم َقضَى أَ ْن الَ ض ََر َر َوالَ ِض َر‬


‫رواه أحمد وابن ماجة‬- .‫ار‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ت أَنَّ َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫ع َْن عُبا َ َدةَ اب ِْن ص‬
ِ ‫َام‬

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat
kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Bahkan dalam konsep Islam, kreteria manusia terbaik adalah sejauh mana kehadirannya dapat
memberikan manfaat bagi orang lain (khirun naas anfa’uhum linnas). Hal ini sekaligus sebagai
bukti bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam.

107 :‫األنبياء‬- َ‫س ْلنَاكَ إِالَّ َرحْ َمةً ِل ْلعَالَ ِم ْين‬


َ ‫َو َما أ َ ْر‬

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) bagi semesta alam”. (QS. Al-
Anbiya’: 107)

8. Asas Saling Kerelaan (at-Taradli)

Dalam berinteraksi (bekerja atau berbisnis) dengan orang lain harus dilakukan atas dasar suka
sama suka atau sukarela dan bukan dengan pemaksaan. Orang yang melakukan pemaksaan
terhadap orang lain berarti ia telah melakukan kezhaliman dan kebathilan.

َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َوالَ ت َ ْقتُلُ ْوا أ َ ْنف‬


- .‫س ُك ْم إِنَّ هللاَ كَانَ ِب ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ِ َ‫يآيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا الَ تَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْلب‬
َ ‫اط ِل إِالَّ أ َ ْن تَك ُْونَ تِج‬
ٍ ‫َارةً ع َْن ت َ َر‬
29 :‫النساء‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

9. Asas Kesopanan (al-Akhlak al-Karimah)

Akhlak terpuji (al–akhlak al-karimah) merupakan misi mulia diutusnya para nabi dan rasul.
Bahkan kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan akhlaknya. Oleh sebab itu akhlak
mulia hendaknya dijadikan sebagai perhiasan (sesuatu yang diterapkan) dalam setiap aktifitas
mu’amalah yang dilakukan oleh orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat
dan hadis Nabi saw., antara lain:

َ ُ‫ص َدقَ ٍة َيتْ َبعُهَا أَذًى َو هللا‬


263 :‫البقرة‬- .‫غ ِن ٌّي َح ِليْم‬ َ ‫قَ ْول َم ْع ُر ْوف َو َم ْغ ِف َرة َخيْر ِم ْن‬

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-
Baqarah: 263)
‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أَنَّ َر‬
َ ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫ع َْن جَا ِب ِر اب ِْن‬: ‫شت َ َرى َو ِإذَا‬
َ ‫ع ْب ِد هللا َر ِض َي هللا‬ ْ ‫ع َو ِإذَا ا‬
َ ‫س ْم ًحأ ِإذَا بَا‬
َ ً‫َر ِح َم هللا َر ُجال‬
‫رواه البخارى‬- .‫اقتَضَى‬ ْ

“Dari Jabir ibn Abdullah r.a.; bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Allah mengasihi
seseorang yang berbuat baik dalam menjual dan membeli serta dalam memberikan keputusan”.
(HR. Bukhari)

Sebelum membahas berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan fikih mu’amalah, dalam
tulisan ini terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian fikih mu’amalah, ruang lingkup
pembahasan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Dengan demikian para pembaca akan
mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai dan lebih terstruktur (sistematis)
seputar fikih mu’amalah.

Hal ini penting dilakukan agar seseorang dapat membedakan apakah suatu persoalan masuk
dalam dimensi akidah, ibadah ataukah mu’amalah. Sebab masing-masing persoalan tersebut
memiliki kekhasan, “aturan main” dan pendekatan yang tidak selalu sama. Namun hal ini tidak
berarti bahwa ajaran Islam itu terkotak-kotak (dikotomis) antara satu dengan lainnya dan tidak
memiliki interkoneksi (keterkaitan antara satu dengan lainnya). Tetapi justru sebaliknya bahwa
Islam merupakan ajaran ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup
segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu Islam tidak boleh dilihat hanya dari satu aspek dan
menafikan aspek lainnya. Seseorang tidak boleh hanya melihat Islam dari sudut akidah saja dan
meninggalkan aspek ibadah dan mu’amalahnya, begitu pula sebaliknya.

Pengertian Fikih Mu’amalah

Fikih menurut bahasa berarti (‫ )ا َ ْلفَ ْه ُم‬pemahaman. Istilah fikih dengan pengertian seperti ini
seringkali dapat ditemukan dalam ayat maupun hadis Nabi saw., antara lain:

ِ ‫َو َما كَانَ ا ْل ُمؤْ ِمنُونَ ِليَ ْن ِف ُروا كَافَّةً فَلَ ْو َال نَ َف َر ِم ْن ك ُِل فِ ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم َطائِ َفة ِليَتَفَقَّ ُهوا فِي الد‬
‫ِين َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم إِذَا َر َجعُوا إِلَي ِْه ْم لَعَلَّ ُه ْم‬
122 :‫التوبة‬- َ‫يَحْ ذَ ُرون‬

“Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(QS. At-Taubah: 122)

Kata fikih dalam pengertian pemahaman juga dapat dijumpai dalam surat al-A’raf ayat; 179, dan
surat an-Nisa’ ayat; 78, dan juga dalam hadis Nabi saw:

َّ ‫سلَّ َم َم ْن يُ ِر ْد‬
ِ ‫َّللاُ بِ ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِي الد‬
‫ِين …–رواه البخاري ومسلم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
“Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan suatu kebaikan,
niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman dalam (masalah) agama.” (HR. al-
Bukhari dan Muslim)

Adapun pengertian fikih menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama ialah
sebagai berikut;

‫ج ِف ْي ِه ِإلَى النَّ َظ ِر َوالتَّأ َ ُّم ِل‬ ِ ‫الرأْي ِ َو‬


ُ ‫اإلجْ ِتهَا ِد َويُحْ تَا‬ ْ ‫ا َ ْل ِع ْل ُم ِباالَحْ ك َِام الش َّْر ِع َّي ِة ا ْل َع َم ِل َّي ِة ِم ْن ا َ ِدلَّ ِتهَا التَّ ْف ِص ْي ِل َّي ِة َوه َُو ِع ْلم ُم‬
َّ ‫ست َ ْن َبط ِب‬
‫(الجرجانى الحنفي‬

“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (aplikatif) yang diambil
dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan disimpulkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan
perenungan.”

Pengertian senada juga dikemukakan oleh ulama’ lainnya, yaitu:

‫سنَّ ِة‬ ِ ‫اإلبَا َح ِة َو ِه َي ُمتَلَقَّاة ِمنَ ا ْل ِكتَا‬


ُّ ‫ب َوال‬ ِ ‫ب َوا ْلك ََرا َه ِة َو‬ ِ ‫ا َ ْل ِف ْقهُ َم ْع ِرفَةُ اَحْ ك َِام هللا ت َ َعالَى فِى اَ ْفعَا ِل ا ْل ُم َك َّل ِف ْينَ بِا ْل ُو ُج ْو‬
ِ ‫ب َوا ْل َح َظ ِر َوالنَّ ْد‬
‫ست ُْخ ِر َجتْ االَحْ كَا ُم قِ ْي َل لَهَا ِف ْقه‬ َ
ْ ‫ع ِل َم ْع ِرفَتِهَا ِمنَ األ ِدلَّ ِة فَ ِإذَا ا‬
ُ ‫صبَهُ الشَّّ ِار‬ َ َ‫َو َما ن‬

“Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf, berupa hal yang diwajibkan, dilarang, disunnahkan, dimakruhkan, dibolehkan,
yang disimpulkan dari al-qur’an dan as-sunnah dan apa saja yang disandarkan oleh syari’
untuk diketahui dari dalil-dalil tertentu, maka apabila hukum itu dapat dikeluarkan
(ditentukan/disimpulkan), itulah yang dinamakan fikih .”

Dari kedua istilah tersebut dapat difahami bahwa secara aplikatif, bahwa kata fikih memiliki
pengertian yang sama (sinonim) dengan istilah hukum. Hal itu dapat dilihat penggunaannya oleh
para ulama ketika membahas persoalan hukum tertentu, seperti; fikih shalat (hukum shalat), fikih
zakat (hukum zakat), fikih shiam (hukum puasa) dan lain sebagainya.

Sedangkan pengertian muamalah adalah; segala bentuk kegiatan dan transaksi serta perilaku
manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, fiqih muamalah dapat diartikan sebagai
pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat ( yang
bersumber dari al-qur’an dan hadis), mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang
diperoleh dari dalil-dalil syari’at secara terperinci.

Dalam pengertian yang lebih rinci, fikih mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur
hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk menjaga hak-hak
manusia, merealisasikan keadilan, rasa aman, serta terwujudnya keadilan dan persamaan antara
individu dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan
menimpa mereka.
Prinsip-Prinsip (Fikih) Mu’amalah

a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.

َ ‫ إِالَّ َما َد َّل ال َّد ِل ِّ ْي ُل‬،ُ‫اإلبَاحَة‬


‫علَى ِخالَفِ ِه‬ ِ )ِ‫اء (فِى ا ْل ُمعَا َمالَت‬ ْ َ ‫ص ُل فِى ْاأل‬
ِ َ‫شي‬ ْ َ ‫اَأل‬

“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya
mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

b. Mumalalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.

َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َوالَ ت َ ْقتُلُ ْوا أ َ ْنف‬


- .‫س ُك ْم ِإنَّ هللاَ كَانَ ِب ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ِ َ‫يآيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا الَ تَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْلب‬
َ ‫اط ِل ِإالَّ أ َ ْن تَك ُْونَ تِج‬
ٍ ‫َارةً ع َْن ت َ َر‬
29 :‫النساء‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah
maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan


menghindari mudharat dalam bermasyarakat.

َ ‫سلَّ َم قَ َّ ضَى أَ ْن الَ ض ََر َر َوالَ ِض َر‬


‫رواه أحمد وابن ماجة‬- .‫ار‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ت أَنَّ َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫ع َْن عُبا َ َدةَ اب ِْن ص‬
ِ ‫َام‬

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat
kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;

َ ُ‫اَلض ََّر ُر ي‬
‫ـزا ُل‬

“Kemudharatan harus dihilangkan”


d. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-
unsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.

279 :‫البقرة‬- . َ‫س أَ ْم َوا ِل ُك ْم الَ ت َ ْظ ِل ُم ْونَ َوالَ ت ُ ْظلَ ُم ْون‬


ُ ‫س ْو ِل ِه َوإِ ْن ت ُ ْبت ُ ْم َفلَ ُك ْم ُرؤ ُْو‬ ٍ ‫فَ ِإ ْن لَ ْم ت َ ْف َعلُ ْوا فَأْذَنُ ْوا بِح َْر‬
ُ ‫ب ِمنَ هللاِ َو َر‬

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah:
279)

Ruang Lingkup dan Cabang-Cabang Fikih Mu’amalah

Fikih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik secara vertikal maupun secara horizontal,
baik yang berkaitan dengan individu, keluarga, masyarakat, bahkan yang berhubungan dengan
negara baik saat damai maupun perang. Karena itu, secara garis besar, para fukaha’ (ulama’
fikih) membagi fikih menjadi dua macam, yaitu: fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia
secara vertikal dengan Allah dan fikih mu’amalah yang mengatur hubungan sosial antar sesama
manusia.

Ruang lingkup fikih muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan
hukum-hukum Islam baik berupa perintah maupun larangan-larangan hukum yang terkait dengan
hubungan manusia dengan manusia lainnya. sedangkan cabang-cabang fikih mu’amalah antara
lain: Pertama: Hukum yang mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya, baik
yang menyangkut aturan sipil, perdagangan, keluarga, gugatan hukum, dan lain sebagainya.
Contoh yang terkait dengan persoalan ini, antara lain; pembahasan tentang harta, baik dari aspek
cara mendapatkan dan mendistribusikannya, maupun dari aspek hakekat dan konsep kepemilikan
dalam Islam. Pembahasan tentang akad atau transaksi, hukum keluarga (al-ahwal asy-
syakhsiyah) seperti; nikah, talak, hak-hak anak, hukum waris, wasiat, wakaf, dan berbagai hal
yang berhubungan dengan hukum murafa’at (gugatan).

Kedua; hukum yang mengatur hubungan pribadi dengan negara (Islam), serta hubungan bilateral
antara negara Islam dengan negara lain. Contoh-contoh kitab fikih yang berbicara tentang
persoalan ini antara lain; Al-Ahkam as-sulthaniyah oleh Imam al-Mawardi dan Abu Ya’la al-
Farra’, As-Siyasah as-Syar’iyyah oleh Ibnu Taimiyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyyah oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Al-Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf dan Yahya bin Adam al-Quraisyi,
dan lainnya.

Cabang-cabang fikih mu’amalah tersebut di atas itulah yang akan menjadi topik pembahasan
dalam ulasan-ulasan berikut secara lebih rinci dan aplikatif dalam edisi-edisi berikutnya. Selamat
mengikuti.

Perilaku yang harus dimiliki oleh aqid (orang yang berakad), adalah berlaku benar (lurus),
menepati amanat, dan jujur
Manusia dijadikan Allah sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan
yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha untuk mencari karunia
Allah di muka bumi ini. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash (28) ayat 77 berikut:

‫ٱَّللَ َال‬
َّ َّ‫ضۖ إِن‬ َ َ‫ٱَّللُ إِلَ ۡيكَ ۖ َو َال ت َ ۡب ِغ ۡٱلف‬
ِ ‫سا َد فِى ۡٱألَ ۡر‬ َّ َ‫سن‬ َ ‫نس نَ ِصيبَكَ ِمنَ ٱلد ُّۡن َياۖ َوأ َ ۡحسِن‬
َ ‫ڪ َما ٰٓ أ َ ۡح‬ َ َ ‫َّار ۡٱأل َ ِخ َرةَۖ َو َال ت‬ َّ َ‫َو ۡٱبتَ ِغ فِي َما ٰٓ َءات َ ٰٮك‬
َ ‫ٱَّللُ ٱلد‬
َ‫ين‬
٧٧ ‫س ِد‬ ۡ ۡ
ِ ‫ب ٱل ُمف‬ ُّ ‫يُ ِح‬

Dan carilah pada apa yang telah di-anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. (Qs. al-Qashash/28: 77)

Dalam muamalah dimulai dengan adanya akad. Akad adalah salah satu sebab yang ditetapkan
syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Akad adalah perbuatan yang disengaja dibuat
oleh dua orang atau lebih, berdasarkan persetujuan masing-masing.

Akad itu mengikat pihak-pihak dengan beberapa hukum syara’, yaitu hak dan iltizam (memenuhi
suatu ketentuan) yang diwujudkan dengan adanya akad itu.

Rukun-Rukun Akad

1. Aqid, yaitu orang yang berakad bisa dua orang atau lebih. Aqid ini bisa orang yang
mempunyai hak sendiri (aqid asli) atau orang yang diberi kuasa (wakil).
2. Mahallul ‘aqdi, atau ma’qud ‘alaihi, sesuatu barang yang menjadi objek akad, seperti
barang dagangan dalam akad jual beli, mauhub (benda hibah) dalam akad hibah, marhun
(benda gadai) dalam akad rahn (gadai), hutang yang dijamin dalam akad kafalah
(penjaminan hutang).
3. Maudhul’ul ‘aqdi ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad tersebut.
Maudhu’ dalam akad jual beli ialah memindahkan barang dari si penjual kepada pembeli
dengan harga tertentu yang sudah disepakati. Dalam akad hibah, maudhu’nya
mengalihkan kepemilikan barang kepada si mauhub atau yang diberi hibah.
4. Ijab dan Qabul (shighatul ‘aqdi) ialah ucapan yang menunjukkan kepada kehendak para
pihak.

Shighatul ‘aqdi memerlukan tiga syarat:

1. Harus jelas pengertiannya.


2. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul.
3. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak yang bersangkutan.
Lafadz yang dipakai dalam ijab qabul itu harus jelas pengertiannya menurut ‘urf (kebiasaan).
Haruslah qabul itu sesuai ijab dalam segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, maka tidak sah,
karena harus adanya persesuaian antara dua pernyataan itu.

Haruslah shighat ijab qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkan secara ragu-ragu.
Apabila shighatul ‘aqdi tidak menunjukkan kesungguhan, akad itu tidak sah.

Mengucapkan dengan lidah bukanlah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam
mengadakan akad. Ada beberapa cara untuk memperlihatkan kesungguhan dalam mengadakan
akad tersebut.

Para fuqaha menerangkan berbagai cara yang bisa ditempuh dalam mengadakan akad, yaitu:

1. Tertulis (kitabah), yaitu akad yang tertulis antara pihak aqid yang berjauhan atau tidak
dapat hadir, sama dengan ucapan lidah yang dilakukan oleh mereka yang hadir. Bahkan
dalam akad tertentu, yaitu hutang piutang, Allah memerintahkan untuk ditulis.
Disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 283.
ٍ۬
‫ٱَّللَ َربَّهُۥ‬
َّ ‫ق‬ ۡ
ِ َّ‫ضا َفليُؤ َِد ٱلَّذِى ۡٱؤت ُِمنَ أ َ َم ٰـنَتَهُۥ َوليَت‬ ُ ‫سفَ ٍ۬ ٍر َولَمۡ ت َ ِجدُواْ كَاتِ ٍ۬بًا فَ ِر َهـ ٍٰ۬ن َّم ۡقبُوضَةۖ َف ِإ ۡن أ َ ِمنَ بَ ۡع‬
ۡ ً ٍ۬ ‫ضكُم بَ ۡع‬ َ ‫علَ ٰى‬
َ ۡ‫َوإِن كُنت ُم‬

‫ع ِل ٍ۬يم‬ َّ ‫ڪت ُۡمهَا فَ ِإنَّهُۥۤ َءاثِ ٍ۬م قَ ۡلبُهُۥ َو‬


َ َ‫ٱَّللُ بِ َما ت َ ۡع َملُون‬ ۡ َ‫ش َه ٰـ َدةَۚ َو َمن ي‬
َّ ‫َو َال ت َ ۡكت ُ ُمواْ ٱل‬

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh se-orang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan per-saksian. dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Qs. al-Baqarah/2: 283).

2. Isyarat, bagi orang yang bisu.


3. Ta’athi, ialah sebagai yang berlaku sekarang ini. Kita berikan harga, kita ambil barang,
tak pernah dikatakan, saya jual ini kepada anda dan saya beli ini dari anda, walaupun oleh
sebagian fuqaha tidak dibenarkan.
4. Lisanul hal, apabila seseorang meninggalkan barang-barangnya dihadapan kita,
kemudian dia pergi, kemudian kita ambil barang-barang itu, para fuqaha memandang
telah ada akad titipan.

Syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam segala macam akad:

1. Para pihak yang berakad (aqid) cakap berbuat.


2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak
melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan aqid sendiri.
4. Akad itu memberikan manfaat.
5. Ijab itu berjalan terus tidak dicabut sebelum qabul batallah biija.
6. Bertemu di majelis akad. Ketentuan nomor 6 ini sesuai pendapat Imam Syafi’i.

Perilaku Orang Berakad

Perilaku yang harus dimiliki oleh aqid (orang yang berakad), adalah sebagai berikut:

1. Berlaku benar (lurus)

Berperilaku benar merupakan ruh keimanan dan ciri utama orang yang beriman. Sebaliknya,
dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang muslim dituntut untuk berlaku benar, seperti
dalam jual beli, baik dari segi promosi barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah
satu karakter pedagang yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar.

Dusta dalam berdagang sangat dicela terlebih jika diiringi sumpah atas nama Allah. “Empat
macam manusia yang dimurkai Allah, yaitu penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang
congkak, orang tua renta yang berzina, dan pemimpin yang zalim.” (HR. Nasai, dan Ibnu
Hibban).

2. Menepati Amanat

Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang dimaksud amanat adalah
mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang tidak melaksanakan amanat dalam
Islam sangat dicela.

Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual atau pedagang menjelaskan
ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya.
Hal itu dimaksudkan agar pembeli tidak merasa tertipu dan dirugikan.

3. Jujur

Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur. Kejujuran
merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual beli karena kejujuran akan
menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal
timbangan, ukuran kualitas dan kuantitas barang yang diperjualbelikan adalah perintah Allah
swt. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85).
ٍ۬
َ ‫ڪ ۡي َل َو ۡٱل ِم‬
َ‫يزان‬ َ ‫غ ۡي ُرهُ ۖۥ قَ ۡد َجا ٰٓ َء ۡتڪُم بَيِنَة ِمن َّربِڪُمۡ ۖ فَأ َ ۡوفُواْ ۡٱل‬
َ ‫ٱَّللَ َما لَڪُم ِم ۡن إِلَ ٰـ ٍه‬ ۡ ‫شعَ ۡي ٍ۬ ًبا َقا َل يَ ٰـقَ ۡو ِم‬
َّ ْ‫ٱعبُدُوا‬ ُ ۡ‫َوإِلَ ٰى َم ۡديَنَ أَ َخاهُم‬

٨٥ َ‫صلَـ ِٰحهَاۚ ذَٲ ِلڪُمۡ َخ ۡي ٍ۬ر لَّكُمۡ إِن ڪُنت ُم ُّم ۡؤ ِمنِين‬
ۡ ِ‫ض بَ ۡع َد إ‬ ِ ‫اس أ َ ۡشيَا ٰٓ َءهُمۡ َو َال ت ُۡف‬
ِ ‫سدُواْ فِى ۡٱأل َ ۡر‬ ُ ‫َو َال ت َ ۡب َخ‬
َ َّ‫سواْ ٱلن‬

Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah
datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan
timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang dan timbangannya,
dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman. (Qs. al-A’raf
/7: 85).

Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan cacat barang dagangan.
Baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Muslim itu adalah saudara muslim, tidak boleh seorang muslim apabila ia berdagang dengan
saudaranya dan menemukan cacat, kecuali diterangkannya.”

Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti: mengurangi takaran, timbangan, kualitas,
kuantitas atau menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya.

Hadits lain meriwayatkan, dari Umar bin Khattab r.a. berkata, seorang lelaki mengadu kepada
Rasulullah saw.: “Katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia
melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu”. (HR. Muslim).

Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis. Hal ini disebabkan
karena harta merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai
kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.

Hubungan manusia dengan harta sangat erat. Demikian eratnya hubungan tersebut sehingga
naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup manusia
itu sendiri. Justru, harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Sebab, harta
termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khamsah)
yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.

Dalam al-Qur’an terdapat 82 kata harta (al-mal, amwalukum, amwa-lahum, malukum). Dalam
ayat-ayat tentang harta itu menunjukkan bahwa harta benda itu meskipun milik/dimiliki
perseorangan tetapi berfungsi sosial.

A. Syarat Kepemilikan

Yang harus diperhatikan dalam hal kepemilikan harta adalah

1. Distributif

Jangan sampai kepemilikan harta terkonsentrasi di tangan aghniya’. Harta harus disalurkan
kepada bidang produktif, sehingga ada kerjasama antara agh-niya’ dengan golongan ekonomi
lemah. Dengan modalnya, kaum aghniya’ dapat memberi lapangan kerja kepada golongan
ekonomi lemah. Firman Allah Q.s. al-Hasyr/59: 7

َ‫سبِي ِل ك َۡى َال َيكُونَ دُولَ َۢةَ بَ ۡين‬


َّ ‫ين َو ۡٱب ِن ٱل‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِى ۡٱلقُ ۡر َب ٰى َو ۡٱليَت َ ٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم‬
ِ ‫س ٰـ ِك‬ ُ ‫لر‬َّ ‫سو ِل ِۦه ِم ۡن أ َ ۡه ِل ۡٱلقُ َر ٰى فَ ِللَّ ِه َو ِل‬
ُ ‫علَ ٰى َر‬ َّ ‫َّما ٰٓ أَفَا ٰٓ َء‬
َ ُ‫ٱَّلل‬
ۡ
ِ ‫شدِي ُد ٱل ِع َقا‬
‫ب‬ َ ۡ
َّ ْ‫سو ُل ف ُخذُوهُ َو َما نَ َہ ٰٮكُمۡ عَنهُ فٱنت َ ُهواْۚ َوٱتَّقُوا‬
َّ َّ‫ٱَّللَۖ إِن‬
َ َ‫ٱَّلل‬ َ ۡ َ
َّ ‫ٱألغنِيَا ِٰٓء ِمنكُمۡ ۚ َو َما ٰٓ َءات َ ٰٮ ُك ُم‬
ُ ‫ٱلر‬ ۡ

Terjemah:

Apa saja harta rampasan (fa’i -berupa harta benda) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil), agar harta itu
jangan beredar saja di antara orang-orang kaya dari kalanganmu. Apa saja yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu amat keras hukumannya.

2. Berkembang

Harta itu dirasakan oleh orang banyak sehingga pemilik harta menjauhi sifat tamak dan kikir,
serta menggunakan hartanya untuk kepentingan sosial seperti infak, zakat dan shadaqah.

Firman Allah Q.s. Ali Imran/3: 180

َ ۖ ۡ‫ض ِل ِۦه ه َُو َخ ۡي ٍ۬ ًرا َّل ُهمۖ َب ۡل ه َُو ش ٍ۬ ٌَّر لَّ ُهم‬
‫سيُ َط َّوقُونَ َما بَ ِخلُواْ ِب ِۦه يَ ۡو َم ۡٱل ِقيَ ٰـ َم ِة‬ ۡ َ‫ٱَّللُ ِمن ف‬
َّ ‫سبَنَّ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡب َخلُونَ ِب َما ٰٓ َءاتَ ٰٮ ُه ُم‬
َ ‫َو َال يَ ۡح‬

‫ٱَّللُ ِب َما ت َ ۡع َملُونَ َخ ِب ٍ۬ير‬ ِ ‫ت َو ۡٱأل َ ۡر‬


َّ ‫ض َو‬ ِ ‫س َمـ َٰوٲ‬ ُ ‫ير‬
َّ ‫ٲث ٱل‬ َ ‫َو ِ ََّّللِ ِم‬

Terjemah:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya, kebakhilan
itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3. Efektif
Sebagai modal, harta harus berperan dalam berbagai lapangan produktif yang akhirnya akan
tersalur dalam berbagai lapangan usaha secara distributif yang dapat menampung dan
menjalankan produktivitas dan efektivitas ekonomi dan menghindari terjadinya penimbunan
harta.

Firman Allah Q.s. al-Taubah/9: 34.

ِ‫ٱَّلل‬ َ ‫صدُّونَ عَن‬


َّ ‫س ِبي ِل‬ ِ َّ‫ان لَ َي ۡأ ُك ُلونَ أَ ۡم َوٲ َل ٱلن‬
ُ ‫اس ِب ۡٱل َبـ ِٰط ِل َو َي‬ ِ ‫ٱلر ۡه َب‬ ً ٍ۬ ‫ڪ ِث‬
ُّ ‫يرا ِمنَ ۡٱأل َ ۡح َب ِار َو‬ َ َّ‫۞ َي ٰـٰٓأ َ ُّي َہا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٰٓواْ ِإن‬

ٍٍ۬ ‫ب أَ ِل‬
‫يم‬ ٍ ‫ٱَّللِ فَ َبش ِۡرهُم ِب َعذَا‬ َ ‫ب َو ۡٱل ِفضَّةَ َو َال يُن ِفقُونَ َہا ِفى‬
َّ ‫س ِبي ِل‬ َ ‫َوٱلَّ ِذينَ َي ۡك ِن ُزونَ ٱلذَّ َه‬

Terjemah:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi
dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

B. Karakteristik Harta

Secara umum, karakteristik harta dalam Islam adalah sebagai berikut.

1. Ilahiyah

Titik berangkat kita dalam kepemilikan maupun pengembangan harta kita adalah dari Allah.
Tujuannya adalah mencari ridha Allah dan cara caranya juga tidak bertentangan dengan syari’at-
Nya. Kegiatan produksi, konsumsi, penukaran dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiyah dan
tujuan Ilahi. Seorang Muslim melakukan kegiatan produksi, disamping memenuhi hajat
hidupnya, keluarga dan masyarakatnya juga karena melaksanakan perintah Allah.

Firman Allah Q.s. al-Mulk/67:15.

ٍ۬
ُ ‫ه َُو ٱلَّذِى َجعَ َل لَ ُك ُم ۡٱأل َ ۡرضَ ذَلُوالً َف ۡٱمشُواْ فِى َمنَا ِكبِ َہا َو ُكلُواْ ِمن ِر ۡز ِق ِۦهۖ َوإِلَ ۡي ِه ٱلنُّش‬
‫ُور‬
Terjemah:

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan.

Ketika seorang muslim mengkonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rizki dan yang halal, ia
merasa sedang melaksanakan perintah Allah.

Firman Allah Q.s. al-Baqarah/2: 168.

‫عد ٍ۬ ٌُّو ُّم ِبين‬


َ ۡ‫ت ٱلش َّۡي َطـ ِٰنۚ ِإنَّهُۥ لَكُم‬ ُ ‫ض َحلَ ٰـ ٍ۬الً َط ِي ٍ۬ ًبا َو َال تَت َّ ِبعُواْ ُخ‬
ِ ‫ط َوٲ‬ ِ ‫اس ُكلُواْ ِم َّما فِى ۡٱأل َ ۡر‬
ُ ‫يَ ٰـٰٓأَيُّهَا ٱل َّن‬

Terjemah:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.

Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan bersahaja, sebagai bukti ketundukannya kepada
perintah Allah.

Firman Allah Q.s. al-A’raf/7 :31.

َ‫ب ۡٱل ُم ۡس ِرفِين‬


ُّ ‫ٱش َربُواْ َو َال ت ُۡس ِرفُ ٰٓواْۚ ِإنَّهُۥ َال يُ ِح‬ ُ ‫۞ يَ ٰـبَنِ ٰٓى َءا َد َم ُخذُواْ ِزينَتَكُمۡ ِعن َد ك ُِل َم ۡس ِج ٍ۬ ٍد َو‬
ۡ ‫ڪلُواْ َو‬

Terjemah:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.

Keterangan: ayat ini memerintahkan untuk memakai pakaian yang indah tiap akan mengerjakan
sembahyang atau thawaf keliling ka’bah atau ibadah-ibadah yang lain. Namun demikian,
janganlah meampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas
makanan yang dihalalkan.
Ketika melakukan usaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan
melakukan kegiatan riba dan menimbun barang, tidak akan berlaku dhalim, tidak akan menipu,
mencuri, korupsi, kolusi dan tidak akan pula melakukan praktik suap menyuap.

Firman Allah Q.s. al-Baqarah/2: 188.

َ‫ٱإل ۡث ِم َوأَنتُمۡ تَ ۡعلَ ُمون‬ ٍ۬ ُ ‫ڪ ِام ِلتَ ۡأ‬


َّ ‫َو َال ت َ ۡأ ُكلُ ٰٓواْ أ َ ۡم َوٲلَكُم بَ ۡينَكُم ِب ۡٱلبَـ ِٰط ِل َوت ُۡدلُواْ ِب َها ٰٓ إِلَى ۡٱل ُح‬
ِ ۡ ‫اس ِب‬
ِ َّ‫ڪلُواْ فَ ِري ًقا ِم ۡن أَ ۡم َوٲ ِل ٱلن‬

Terjemah:

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.

Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya karena kikir, tidak akan
membelanjakannya secara boros. Ia merasa bahwa hartanya itu milik Allah dan amanah Allah
untuk diman-faatkan sesuai dengan ketentuan-Nya dan dikeluarkan zakatnya.

Dalam pandangan Islam harta bukanlah tujuan, melainkan semata-mata sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang bagi realisasi akidah dan syariat-Nya.

2. Akhlaq

Kesatuan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak ini semakin jelas pada setiap langkah. Akhlak
adalah bingkai bagi setiap aktivitas ekonomi.

Jack Aster, pakar ekonomi Perancis, menyatakan bahwa Islam adalah sistem hidup yang aplikatif
dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlaq yang tinggi.

Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengambil kekuatan
dari wahyu al-Qur’an, dan karena itu pasti berakhlak. Akhlak memberikan makna baru terhadap
konsep nilai dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era
industrialisasi.

3. Kemanusiaan

Ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan. Artinya, ekonomi yang me-mungkinkan manusia
memenuhi kebutuhan hidup, baik yang bersifat kebendaan maupun kejiwaan. Manusia
merupakan tujuan antara, kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan
pelakunya dengan memanfaatkan ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya dan anugerah
serta kemampuan yang diberikan-Nya.
Di antara kegiatan yang menonjol dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam adalah
keadilan, persaudaraan, saling mencinta, saling membantu, dan tolong-menolong. Karena harta
bukan hanya berkembang dikelompok orang kaya saja.

Firman Allah Q.s. al-Hasyr/59: 7.

َ‫س ِبي ِل ك َۡى َال يَكُونَ دُولَ َۢةَ بَ ۡين‬


َّ ‫ين َو ۡٱب ِن ٱل‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِى ۡٱلقُ ۡر َب ٰى َو ۡٱليَت َ ٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم‬
ِ ‫س ٰـ ِك‬ َّ ‫سو ِل ِۦه ِم ۡن أ َ ۡه ِل ۡٱلقُ َر ٰى فَ ِللَّ ِه َو ِل‬
ُ ‫لر‬ ُ ‫علَ ٰى َر‬ َّ ‫َّما ٰٓ أ َفَا ٰٓ َء‬
َ ُ‫ٱَّلل‬
ۚ ۡ‫ۡٱأل َ ۡغ ِن َيا ِٰٓء ِمنكُم‬

ِ ‫شدِي ُد ۡٱل ِع َقا‬


‫ب‬ َّ ْ‫سو ُل فَ ُخذُو ُه َو َما َن َہ ٰٮكُمۡ ع َۡنهُ فَٱنت َ ُهواْۚ َوٱتَّقُوا‬
َّ َّ‫ٱَّللَۖ ِإن‬
َ َ‫ٱَّلل‬ َّ ‫َو َما ٰٓ َءات َ ٰٮ ُك ُم‬
ُ ‫ٱلر‬

Terjemah:

Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Makkah adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah sangat keras hukumannya.

Adanya kesadaran bahwa pada setiap harta yang manusia miliki terdapat hak orang lain.

Firman Allah Q.s. Al-Ma’arij/70: 24-25.

ٍ۬
ِ ‫سا ٰٓ ِٕٮ ِل َو ۡٱل َم ۡح ُر‬
‫وم‬ ٍ۬ ُ‫ق َّم ۡعل‬
َّ ‫) ِلل‬24( ‫وم‬ ٌّ ‫( َوٱلَّ ِذينَ ِف ٰٓى أ َ ۡم َوٲ ِل ِهمۡ َح‬25)٥

Terjemah:

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

Kesadaran ini tercermin dalam pelaksanaan zakat, infak, sadaqah yang dikeluarkan untuk
diberikan kepada yang berhak menerima (dhuafa’ dan masakin) maupun untuk kegiatan fi
sabilillah.

Beberapa ketentuan Allah yang tidak diperbolehkan/diharamkan dalam mencari harta,


diantaranya adalah:
1. Adanya Riba, karena hal ini merupakan larangan Allah.
2. Maisir/perjudian untung-untungan.
3. Ketidakadilan, hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain.
4. Gharar, ketidakpastian yang mengandung unsur jahalah (pembodohan), mukhatarah
(spekulasi), qumaar (pertaruhan)
5. Ghasiy, kecurangan.
6. Menyalahi hukum Islam, misalnya hukum waris.

Jika berbicara mengenai etika, maka yang terlintas adalah apa yang boleh dan apa yang
dilarang. Untuk itu hal-hal yang dilarang dalam bisnis adalah sebagai berikut:
1.Menyembunyikan harga kini
Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya:
“dari Thowus, dari Ibnu Abbas RA berkata: Bersabda Rasullullah SAW “Janganlah kamu
menjemput para pedagang yang membawa dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran
dan janganlah orang kota menjual barang yang diketahui orang desa”.Aku bertanya kepada
Ibnu Abbas: “Apa yang dimaksud dari sabda Rosul? Jawab Ibnu Abbas,”Maksudnya,janganlah
orang kota menjadi perantara bagi orang desa”.
2.Riba
Dalam berbisnis hendaklah harus bersih dari unsur-unsur riba yang telah jelas-jelas dilarang
oleh Allah.sebaliknya menggalakkan jual beli dan investasi.
3.Menipu
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktivitas manusia,termasuk dalm kegiatan bisnis
dan jual beli.memberikan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan
buruk termasuk dalam kategori penipuan.
4.Mengurangi timbangan dan takaran
Salah satu cermin keadilan adalah menyempurnakan timbangan dan takaran.inilah yang sring
diulang dalan Al-Quran”Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar,dan timbanglah
dengan neraca yang benar itulah lebih utama bagimu dan baik akibatnya.”
5. Mengukur Pembayaran Utang
Islam yang mewajibkan sikap adil dengan melunasi utang jika sudah sanggup
membayarnya,agar terlepas tanggungjawabnya.Jika seseorang mampu membiayai utang tetapi
ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim.
6.Menjual Belikan yang Haram
Barang yang diperjual belikan haruslah barang yang halal baik zat maupun sifat-sifatnya,bukan
memperdagangkan barang-barang yang telah diharamkan oleh Allah.
7.Ihtikar
Islam memberikan jaminan kebebasan pasar dan kebebasan individu untuk melakukan
bisnis,namun islam melarang perilaku mementingkan diri sendiri,mengeksploitasi keadaan yang
umumnya didorong oleh sifat tamak sehingga menyulitkan dan menyusahkan orang banyak.
8.Memakai sistem ijon
Akad jual beli yang mengandung unsur-unsur gharar dapat menimbulkan perselisihan,karena
barang yang diperjualbelikan tidak diketahui dengan baik sehingga dapat dimungkinkan
mengandung unsur penipuan

Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar
dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari
pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi :

1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makan tambahan,
seperti sayr-sayuran dan buah-buahan.
Hal-hal Yang Menimbulkan Riba
Jika seseoarang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti
seseorang menjual salah satu dari macam mata uang yaitu emas dan perak dengan yang sejenis
atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainya, maka
disyaratkan:
a) Sama nilainya (tamasul)
b) Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takaranya maupun ukurannya.
c) Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.

PENDAHULUAN
Islam merupakan agama Universal, komprehensif, membawa nilai perdamaian, keadilan, sistem
kehidupan yang mana dengan menyeluruhnya nilai-nilai yang ada pada Islam itu sendiri ia
mampu mencakup segala aspek kehidupan manusia. Nilai universal itu antara lain kegiatan
politik, ekonomi, maupun sosial. Dewasa ini kegiatan ekonomi sudah menjadi sorotan bagi
semua kalangan, dan tak sedikit pula problem-problem ekonomi yang muncul dan perlu adanya
evaluasi serta penganalisaan terhadap problem dewasa ini.
Tidak jauh dari satu kesatuan agama Islam proses muamalah adalah kegiatan yang sangat
penting untuk dianalisa, sebagaimana telah diatur dalam syariat Islam, mengenai konsep, etika
atau adab maupun metodologinya yang mana harus sesuai dengan tujuan semua umat muslim
yaitu mampu menyeimbangkan urusan dengan sesama makhluknya maupun urusan dengan
tuhannya yang populer dengan kata HabluminaAllah dan Habluminannass.
Kebahagiaan merupakan tujuan utama semua umat manusia baik itu kebahagiaan material
maupun spiritual (duniawi-ukhrawi). Dalam proses pencapaian kebahagiaan itu manusia perlu
tahu dan paham betul apa saja yang sudah tercantum dalam pedoman dasar hidupnya (Al-
Qur’an) yakni unsur-unsur pokok yaitu Akidah, Syariah, dan Akhlaq. Dimana ketiga unsur ini jika
berjalan secara berkesinambungan dan seimbang akan mengantarkan kita pada pintu
kebahagiaaan yang sesungguhnya (Falah) bahagia dunia dan akhirat. Sebagaimana mestinya
seorang muslim berkewajiban memahami betul sebelum meluruskan hal-hal apa saja yang
menjadi problematika perekonomian kita terutama dalam aspek etika, dan untuk itu perlu
dikaji lebih dalam mengenai masalah-masalah kontemporer saat ini. Adapun rumusan masalah
dari tema pembahasan kami antara lain :
Konsep etika dalam berwirausaha atau berbisnis
Keutamaan dan Etika bisnis menurut Al-Qur’an dan Hadist.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam usaha Islam.
PEMBAHASAN
KONSEP ETIKA BERWIRAUSAHA DALAM ISLAM
Filosofis dasar untuk seorang pebisnis bahwa setiap gerak langkah aktivitas manusia merupakan
konsepsi penting hubungan manusia dengan sesama makhluknya maupun dengan Tuhannya.
Begitu pula dengan kegiatan berbisnis atau muamalah yang menjadi paradigma agama
universal, dengan kata lain kegiatan berbisnis tidak hanya semata-mata mengejar materi saja
tetapi spiritual juga (semata-mata untuk beribadah kepada Allah). Dengan landasan inilah
seorang pebisnis muslim terutama akan merasa datang kehadiran sosok ketiga dalam
kehidupannya, yaitu TUHAN (Allah) dalam aspek kehidupannya yang menjadi bagian integral
setiap muslim.
Hal ini karena bisnis Islam tidak semata-mata mencari kesenangan dunia tetapi kesenangan
ukhrawi terpenuhi pula. Etika dan bisnis dalam ekonomi Islam tidak semata-mata dipandang
sebagai dua hal yang bertolak belakang, jika kita bedah kembali dengan sudut pandang Islam
bisnis merupakan simbol urusan dunia, dimana kegiatannya lebih terfokus pada pencapaian
materi sedangkan etika merupakan Investasi akhirat maksudnya adalah jika berbisnis dengan
memakai etika dan semata-mata niat karena Allah SWT maka, diantara keduanya merupakan
dua hal yang saling berkesinambungan dan tak terpisahkan, sejalan dengan kaidah dan moral
yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Dengan etika bisnis akan berjalan lancar materi
dapat didapat tanpa etika dalam berbisnis maka terjerumuslah dilubang hitam.
Zaman sekarang, manusia beranggapan bahwa dengan hadirnya keyakinan (Tuhan) yang
menjadi bagian integral kita bahwasanya tujuan akhiratlah yang penting untuk dicapai sedang
kehidupan dunia tidak diperdulikan, ini merupakan bentuk implementasi yang salah dalam
memahami teks Al-Qur’an.
Bahkan hal ini juga menjadi bahan kajian oleh salah satu tokoh muslim kita yaitu Ibnu Arabi
yang mana ia mengemukakan statementnya: “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjelaskan (hukum) Al-Qur’an, injil, taurat maupun zabur yang diterapkan kepadanya oleh
tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah
kaki mereka (dunia). Yang kemudian diperkuat dengan perkataan Ali bin Ali Tholib yang
merupakan kholifah keempat setelah wafatnya Rasul yang berbunyi:
‫َم ْن أ َ َرا َد ال ُّد ْن َيا فَ َعلَ ْي ِه ِبال ِع ْل ِم َو َم ْن أ َ َرا َد األ َ ِخ َرة َ فَ َعلَ ْي ِه ِبال ِع ْل ِم َو َم ْن أ َ َرا َد ُه َما فَ َعلَ ْي ِه ِبال ِع ْل ِم‬
Artinya:
“Barang siapa yang menginginkan dunia maka hendaknya ia berilmu, dan barang siapa yang
menginginkan akhirat maka hendaknya ia berilmu, barang siapa menginginkan keduanya maka
hendaknya berilmu”
Isyarat dari Ali bin Tholib itu bahwa selain etika yang diperlukan dalam berbisnis ada faktor lain
sebagai penunjang keberhasilan tersebut yaitu Skill dan Pengetahuan tentang etika itu sendiri.

KEUTAMAAN dan ETIKA BISNIS MENURUT AL-QUR’AN dan HADIS


Secara global, moral merupakan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat baik itu benar
atau tidaknya, dan dalam masyarakat filosofis standar suatu moral itu dapat diasumsikan
berbeda-beda, dan alasan inilah yang dikenal dengan istilah etika, suatu perilaku yang dianggap
rasioanal oleh paham konven dan dianggap tidak rasional oleh paham Islam, begitu pula
sebaliknya.
Allah juga telah menjelaskan dalam surat Al-Jumu’ah (62) : 9 bahwa berdagang esensinya
bukan hanya untuk selalu menghabiskan waktu kesehariannya dengan perdagangan yang dia
lakukan akan tetapi ketika datang waktu sholat maka, hendaklah sang pebisnis tersebut
berhenti dari pekerjaanya dan melaksanakan sholat. Hal ini merupakan wadah dimana manusia
berkomunikasi dengan Tuhannya dan beribadah kepadaNya.
Bunyi ayatnya :
َ‫صالَةِ ِم ْن َي ْو ِم ال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا اِلَى ِذ ْك ِر هللاِ َوذَ ُروا ال َب ْي َع ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َل ُم ْون‬ َّ ‫ِي ِلل‬ َ ‫َياأ َ ُّي َهاالَّ ِذيْنَ أ َ َمنُ ْوا اِذَا نُ ْود‬
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari
jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.”
Ibnu katsir menafsirkan ayat diatas : “Allah melarang kaum muslimin berdagang pada saat
sholat jum’at ditunaikan, allah mengizinkan kita untuk mencari karunia allah yang berupa rezeqi
yang diberikan Allah lagi setelah shalat jum’at selesai dilaksanakan”.
Allah Swt berfirman dalam surat At-Taubah (9): 111 :
ِ‫سبِ ْي ِل هللاِ فَيَ ْقتُلُ ْونَ َويُ ْقتَلُ ْونَ َو ْعدًا َعلَ ْي ِه َحقًّا فِي الت َْو َراة‬ َ ‫س ُه ْم َوا َ ْم َوالَ ُه ْم بِأ َ َّن لَ ُه ُم ال َجنَّةَ يُقَاتَلُ ْونَ فِي‬
َ ُ‫ا َِّن هللاَ ا ْشت ََرى ِمنَ ال ُمؤْ ِمنِيْنَ ا َ ْنف‬
‫اإل ْن ِج ْي ِل َوالقُ ْرأ َ ِن َو َم ْن أ َ ْوفَى بِعَ ْه ِد ِه ِمنَ هللاِ فَا ْست َ ْب ِش ُروا بِبَ ْي ِع ُك ُم الَّذِي بَايَ ْعت ُ ْم بِ ِه َوذَلِكَ ه َُو الفَ ْو ُز العَ ِظ ْي ُم‬ ِ ‫َو‬
Artinya:
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berpegang kepada jalan Allah lalu mereka
membunuh atau terbunuh. Itu telahmenjadi janji yang benar dari Allah di dalam taurat, injil,
dan al quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.”
Penjelasan ayat diatas bahwa mereka ingin melakukan aktivitas kehidupannya kecuali apabila
memperoleh keuntungan semata, ditantang oleh Al-Qur’an dengan menawarkan bursa yang
tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dan ada beberapa hal yang menjadi pedoman bagi
semua kegiatan umat manusia yaitu : iman, islam dan taqwa. Ketiga pedoman ini guna menjadi
tempat berkaca dan mengevaluasi kembali etika kita sudah sesuai atau belum dengan
pedomannya.
Sedangkan menurut hadis, etika bisnis islami ada 4 yaitu:
Jujur
Dalam sebuah transaksi ekonomi, sangat diperlukan keterbukaan dalam semua hal yang
bersangkutan. Tak heran jika diantara kedua belah pihak terjadi kecurangan dikarenakan tidak
adanya keterbukaan tentang hal yang bersangkutan. Banyak usaha atau pebisnis yang bangkrut
karena tidak ada sistem keterbukaan dalam operasional kegiatannya.
Konsep transaksi dalam Islam sangat menguntungkan kedua belah pihak. Begitu juga dengan
etika, etika dalam berbisnis diantaranya adalah jujur. Etika tersebut mungkin sering diremehkan
banyak pelaku bisnis, padahal jika kita melakukan kejujuran atas apa yang kita lakukan maka
semua operasional transaksi akan berjalan dengan lancar. Hasilnya adalah tidak ada
kecurangan, antara kedua belah pihak menciptakan suasana transaksi yang baik, terjadinya
konsep ridho bi ridho, dan yang pasti tidak menimbulkan penyesalan di akhir transaksi.
Jujur dalam alquran sering disebutkan. Karena Rasulullah sendiri adalah pelaku bisnis yang dari
sifat kejujurannya itu menimbulkan etika dalam berbisnis islam. Berikut dalam alquran surat Al-
Ahzab (33) : 70-71 yang berbunyi :
‫س ْولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا‬ُ ‫صلِحْ لَ ُك ِم ا َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُ ْو َب ُك ْم َو َم ْن ي ُِطعِ هللاَ َو َر‬
ْ ُ‫) ي‬70( ‫س ِد ْيدًا‬ َ ً‫يَأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ أ َ َمنُ ْوا اتَّقُوا هللاَ َوقُ ْولُ ْوا قَ ْوال‬
‫( َع ِظ ْي ًما‬71)
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Al;lah dan ucapkanlah perkataan
yang benar.”niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa –dosamu.
Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia menang dengan kemenangan
yang agung.”
Dalam surat Al-Isra (17) : 53 juga dijelaskan tentang kejujuran. Bunyi ayatnya adalah:
‫ان َعد ًُّوا ُم ِب ْينًا‬
ِ ‫س‬َ ‫ال ْن‬
ِ ‫طانَ َكانَ ِل‬ َ ‫ش ْي‬ ُ َ‫طانَ َي ْنز‬
َ ‫غ َب ْينَ ُه ْم ِإ َّن ال‬ َ ‫ش ْي‬
َ ‫سنُ ِإ َّن ال‬ َ ْ‫ِي أَح‬ َ ‫َوقُ ْل ِل ِع َبادِي َيقُوالُوا الَّتِي ه‬
Artinya:
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
lebih baik (benar). Sungguh setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sungguh setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Di atas sudah dijelaskan bahwasanya hendaklah manusia berkata perkataan yang baik lagi
benar. Karena dengan perkataan yang baik lagi benar maka, akan terjadi sebuah perdamaian
diantara mereka.
Tidak hanya dalam al quran saja telah diterangkan banyak masalah jujur, dan berkata baik.
Tetapi, dalam hadist Nabi Muhammad SAW juga di jelaskan yang bunyinya:
‫ق فَإِنَّهُ َم َع البِ ِ ِّر َو ُه َما فِي ال َجنَّ ِة‬ ِّ ِ ِ‫ َعلَ ْي ُك ْم ب‬: ‫سلَّ َم‬
ِ ‫الص ْد‬ َ ‫صلَى هللا َعلَي ِه َو‬ َ ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ق َر‬ َّ ‫َع ْن أَبِي بَ ْك ِر ال‬
ِ ‫ص ِد ْي‬
)‫ار (ابن حبان في صحيحه‬ ِ َّ‫ور َو ُه َما فِي الن‬ ِ ‫ِب فَإِنَّهُ َم َع الفُ ُج‬ َ ‫َو ِإيَّا ُك ْم َوال َكذ‬
Artinya:
“Dari Abu Bakar As-Shidiq RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: wajib atasmu berlaku jujur,
karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya di surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta,
karena dusta itu bersama kedurhakaan, dan keduanya di neraka.” (HR Ibnu Hibban di dalam
shohihnya)
Dalam bertransaksi jual beli dalam islam juga bersifat berdakwah mengajak kebaikan. Dalam
hadist disebutkan yang artinya:
“Orang yang melakukan jual beli masing-masing memiliki hak khiyar (membatalkan atau
mlanjutkan transaksi) selama keduanya belum terpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka
keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak
terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang. (Muttafaqun ‘Alaihi)”
Amanah
Dalam melaksanakan sebuah transaksi jual beli, maka seorang pelaku bisnis membawa amanah
yang akan dipertanggung jawabkan. Karena semua hal dunia yang dilakukan pasti ada
pertanggungjawabannya. Amanah dalam jual beli diartikan bahwa seorang penjual dapat
dipercaya baik perkataannya maupun perbuatannya. Dalam hadits Nabi disebutkan:
َ‫ص ِد ْي ِقيْن‬َّ ‫ُوق األ َ ِم ْينُ َم َع النَّبِ ِِّييْنَ َوال‬
ُ ‫صد‬ َ ‫اج ُر ال‬ ِ َّ ‫ الت‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي هللاُ َعنهُ قَال‬ َ ‫ض‬ ُ ‫َع ْن َع ْب ِد هللا اب ِْن‬
ِ ‫ع َم َر َر‬
‫اء يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬ ُّ
ِ ‫وغيرهم(والش َه َد‬
َ ‫)رواه ابن ماجه والدارقطني‬
Artinya:
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan)
bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat
(nanti).”
Dari penjabaran ayat di atas dijelaskan bahwasanya seorang pedagang yang dia jujur lagi dapat
dipercaya maka kelak akan berada disisi Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati
syahid.
Murah Hati
Sifat murah hati dalam transaksi jual beli sangat dibutuhkan, selain untuk memberikan
pelayanan yang baik dan nyaman bagi pelanggan, sifat murah hati dapat memberikan
keuntungan juga pada penjual. Karena dengan sifat murah hatinya dapat menarik pelanggan
lebih banyak, sehingga tidak hanya materi yang di dapat tetapi dia juga telah melakukan
perbuatan baik. Dalam suatu hadits disebutkan yang artinya:
“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila
berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak
mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam
menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih
hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di
dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu Al-Lisan IV/221).
Tidak Melupakan Akhirat
Hidup di dunia bagi manusia adalah sebuah anugerah yang sangat dalam yang pantas disyukuri
kepada Tuhannya. Interaksi sosial antara sesama manusia menjadikan adanya sebuah
muamalah baik dalam ekonomi maupun yang lainnya. Adanya kesibukan ekonomi itulah yang
sering menjadikan manusia lupa akan akhiratnya. Dalam islam dijelaskan bahwa keseimbangan
antara dunia dan akhirat sangat diperlukan. Selain untuk bekal nanti kita juga akan dirahmati
oleh Allah. Sehingga dalam bisnis dunia manusia dilarang melupakan Akhiratnya. Dalam hadits
disebutkan:
‫الخ َرةِ َو َالتَ ُك ْونُ ْوا َك ًّل َعلَى‬ ِ ْ‫غ اِلَى ا‬ ٌ ‫ُصيْبُ ِم ْن ُه َما َج ِم ْيعًا فَا َِّن ال َّد ْنيَا بَ َال‬
ِ ‫اخ َرتَهُ ِل ُد ْنيَاهُ َحتِّى ي‬ َ ‫لَي‬
ِ َ‫ْس ِب َخي ِْر ُك ْم َم ْن ت ََركَ ُد ْنيَاهُ ِال ِخ َرتِ ِه َوال‬
‫اس‬ ِ َّ‫الن‬
Artinya:
“Dari Anas ra, bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda, Bukanlah yang terbaik diantara
kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan akhiratnya, dan
bukan pula (orang yang terbaik) oarang yang menhinggalkan akhiratnya karena mengejar
urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara)
yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain."
SYARAT-SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM USAHA ISLAM
Dalam islam diterangkan, bahwasanya dalam berwirausaha memiliki aturan, prinsip dan syarat
yang harus dipenuhi oleh sang pelaku bisnis islam. Syarat serta prinsip yang diterangkan
memiliki sebab tertentu mengapa syarat itu ada dalam bisnis islam. Jika berbicara masalah
konsep bisnis islam maka akan menyinggung masalah kesejahteraan dalam artian sama sama
untung tidak ada yang dirugikan. Bisnis islam sendiri berprinsip bahwa jika terjadi sebuah
transaksi ekonomi maka, diantara kedua belah pihak tidak ada tekanan yang berarti harus sama
sama ridho. Sehingga konsep yang terjadi adalah keterbukaan tidak ada yang ditutupi segala hal
yang mencangkup kegiatan transaksi tersebut.
Dalam pembahasan ini terdapat beberapa syarat dalam transasi dengan kata lain islam
mengajarkan prinsip moral sebagai berikut:
Jujur dalam menakar dan menimbang.
Dalam transaksi jual beli seorang pedagang diharuskan jujur dalam operasional kegiatannya.
Ketika dia melakukan penimbangan atau penakaran maka, tidaklah seorang pedagang
melebihkan atau mengurangi takarannya karena dalam islam sudah dijelaskan bahwasanya
apabila terjadi suatu penambahan dalam takaran, maka disebut dengan riba. Dan Allah sendiri
sudah melarang adanya riba.
Menjual barang yang halal.
Konsep bisnis dalam islam menerangkan bahwa sesuatu yang boleh diperjualbelikan adalah
sesuatu yang bersifat halal baik sistem maupun barang yang akan diperjualbelikan. Dalam islam
memakan makanan yang haram tidak diperbolehkan apalagi menjualnya. Dalam hukum positif
juga telah dipaparkan.
Menjual barang yang baik mutunya.
Penjelasan mengenai baik mutunya adalah barang yang sekiranya layak untuk diperjualbelikan.
Contoh dilarang menjual buah yang busuk atau makanan yang sudah basi. Karena mutu dari
makanan itu sendiri dapat mencelakai para konsumen. Jadi yang dimaksud disini adalah buakn
mutu dari merk akan tetapi lebih menekan kepada kelayakannya.
Tidak menyembunyikan cacat barang.
Keterbukaan dalam sebuah transaksi ekonomi sangat diperlukan. Manfaatnya sebagai salah
satu hal untuk menjadikan para konsumen puas akan adanya transaksi tersebut.
Barang yang akan diperjualbelikan tentunya harus dipaparkan dari awal. Mengenai masalah
kekurangan serta kelebihannya. Hal ini ditujukan supaya antara kedua belah pihak tidak ada
yang dirugikan. Sehingga semua berjalan lancar dan tidak ada penyesalan di kemudian hari.
Tidak melakukan sumpah palsu.
Dalam hal jual beli tawar menawar merupakan hal yang lumrah dilakukan, sehingga dalam hal
ini kebanyakan para penjual melakukan segala cara untuk meyakinkan pelanggan bahwa
dagangannya layak untuk dibeli dan penjual yang curang melakukan sumpah palsu untuk
menarik para pelanggan. Hal ini tentunya merugikan pelanggan, dan secara tidak langsung pula
merugikan penjual karena hal tersebut menimbulkan isu-isu negatif terhadap si penjual.
Longgar dan murah hati.
Hal ini dilmaksudkan bahwa si penjual mengayomi pelanggannya dengan baik, ramah, serta
senantiasa mengaplikasikan sistem tawar menawarnya ketika terjadi sebuah akad dalam
transaksi.
Tidak melakukan riba.
Adapun Riba sudah di larang dalam islam sebagaimana sudah di jelaskan dalam hadits dan ayat
al-quran. Konsep riba atau tambahan yang sudah ditentukan di awal sangatlah merugikan para
konsumennya. Itu mengapa dalam Islam riba tidak diperbolehkan. Karena dengan konsep riba,
yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Karna riba termasuk dalam
sistem ekonomi kapitalis.
Melakukan zakat.
Zakat sendiri merupakan salah satu rukun islam yang keempat tentunya hal ini merupakan
sesuatu yang penting. Dan sudah dinisabkan juga tentang peraturan zakat. Konsep pada zakat
sangatlah bermanfaat bagi manusia di dunia. Jika satu orang kaya mengeluarkan zakatnya
kepada para fakir miskin, maka pengangguran di negara ini akan berkurang. Tidak hanya itu
bagi yang berzakat akan diganti hartanya oleh Allah SWT dengan melipat gandakan harta yang
dikeluarkannya dengan ikhlas dan semata-mata diniatkan hanya karena Allah SWT.
Dalam uraian diatas dijelaskan bahwa jika semua itu dialkukan oleh para pelaku ekonomi maka
akan memperoleh keberkahan dunia dan akhirat. Keuntungan dunia berupa relasi yang baik
dan menyenangkan sedangkan keuntungan akhirat berupa nilai ibadah karena perdagangan
dilakukan dengan kejujuran. Dalam islam pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang
ideal karena islam menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah,
meskipun tetap dalam suasana bersaing artinya konsep pasar dalam islam adalah pasar yang
ditumpuhi nilai syariat seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan persaingan sehat yang
merupakan nilai-nilai universal bukan hanya untuk muslim melainkan nonmuslim juga.
KESIMPULAN
Konsep dalam berbisnis menurut Islam ialah antara kepentingan dunia dan akhirat harus
seimbang. Dalam artian bahwa tidak hanya kehidupan dunia yang dikejar, tetapi kehidupan
ukhrawi juga. Sehingga seorang pebisnis muslim akan mendapatkan keuntungan dunia dan
akhirat, yamg disebut falah.
Selain dalam konsep, adakalanya kita mementingkan masalah moral atau etika dalam
bermuamalah. Transaksi jual belipun ada etika tersendiri, diantaranya tidak melupakan urusan
akhirat ataupun melupakan urusan dunia, melainkan keseimbanrgan antara keduanya, jujur
dalam urusan operasional kegiatan ekonominya, dan dapat dipercaya. Semuanya itu jika
dilakukan dengan maksimal maka kegiatan bisnis islam kita akan senantiasa dalam aturan
hukum yang benar dan sesuai dengan apa yang di syariatkan.
Diantara transaksi dalam ekonomi ada dalam islam yang itu dilarang, ada larangan tentang
penambahan atau masalah riba, serta dilarang menyembunyikan cacat barang yang
diperjualbelikan. Bagi para pebisnis hendaknya juga mengeluarkan sebagian hartanya yang
biasa disebut dengan zakat sebagian hartanya. Bersikap ramah dan murah hati terhadap
konsumennya serta dapat dipercaya. Kesemuanya itu merupakan syarat dalam usaha menurut
ajaran islam.
Inilah kiranya pembahasan dari sebuah etika dalam usaha menurut islam yang berlandaskan
pada Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Perlu ditinjau lebih dalam bahwasanya
seorang muslim haruslah mentaati aturan hukum islam yang sudah dipaparkan di dalam
Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Beretika dalam bisnis juga termasuk dalam aturan
islam yang berkenaan dalam bidang ekonomi. Islam tidak memberi kesulitan bagi para umatnya
dalam bermuamalah, melainkan islam mengatur sedemikian rupa karena untuk manfaat
manusia itu sendiri.

W.F Schoell menyatakan bahwa “Some Philosophers say that behaviour is ethical
if it follows the will of GOD” (Schoell, 1993:46). Dengan kata lain dunia bisnis yang baik yang
ingin dapat ridho Allah haruslah menjunjung nilai-nilai etika dan moral sehingga usaha dan hasil
dari usaha yang ia lakukan merupakan hasil yang bersih dan mendapat berkah baik dunia maupun
akhirat.
Berbisnis merupakan aktifitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam. Bahkan,
Rasulullah SAW sendiri telah menyatakan, bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu
berdagang (hadist) artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka,
sehingga karunia Allah SWT. Terpancar dari padanya. Jual beli merupakan sesuatu yang
diperbolehkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al-Baqarah ayat 275
Mengenai etika bisnis dalam Islam, Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Etika
Islam tentang Kenakalan Remaja, mengatakan bahwa, etika Islam adalah doktrin etis yang
berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW., yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dan sifat-sifat yang terpuji
(mahmudah). Dalam agama Islam, etika ataupun perilaku serta tindak tanduk dari manusia telah
diatur sedemikian rupa sehingga jelas mana perbuatan atau tindakan yang dikatakan dengan
perbuatan atau tindakan asusila dan mana tindakan atau perbuatan yang disebut bermoral atau
sesuai dengan arturan agama. Berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang tercakup dalam Etika Islam
dalam kaitannya dengan sifat yang baik dari perbuatan atau perlakuan yang patut dan dianjurkan
untuk dilakukan sebagai sifat terpuji, lebih jauh Sudarsono menyebutkan, antara lain :

’’Berlaku jujur (Al Amanah), berbuat baik kepada kedua orang tua (Birrul Waalidaini),
memelihara kesucian diri (Al Iffah), kasih sayang (Ar Rahman dan Al Barry), berlaku hemat (Al
Iqtishad), menerima apa adanya dan sederhana (Qona’ah dan Zuhud), perikelakuan baik (Ihsan),
kebenaran (Shiddiq), pemaaf (‘Afu), keadilan (‘Adl), keberanian (Syaja’ah), malu (Haya’),
kesabaran (Shabr), berterima kasih (Syukur), penyantun (Hindun), rasa sepenanggungan
(Muwastt), kuat (Quwwah)’’.

Dalam etika Islam, ukuran kebaikan dan ketidakbaikan bersifat mutlak, yang
berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Dipandang dari segi ajaran yang
mendasar, etika Islam tergolong Etika Theologis. Menurut Hamzah Ya’qub, bahwa yang menjadi
ukuran etika theologis adalah baik buruknya perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan.
Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang
oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci. Etika Islam
mengajarkan manusia untuk menjalain kerjasama, tolong menolong, dan menjauhkan sikap iri,
dengki dan dendam. Mempelajari etika ekonomi menurut Al-Qur’an adalah bahagian normatif dari
ilmu ekonomi, bahagian ilmu positifnya akan lahir apabila telah dilakukan
penyelidikanpenyelidikan empiris mengenai yang sesungguhnya terjadi, sesuai atau tidak sesuai
dengan garis Islam. Ekonomi merupakan bagian dari kehiupan. Namun, ia bukan pondasi
bangunannya dan bukan tujuan risalah Islam. Ekonomi juga bukan lambang peradaban suatu umat.
Ekonomi Islam adalah bertitik tolak dari Tuhan dan memiliki tujuan akhir pada Tuhan. Tujuan
ekonomi ini membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi makan kepada
mereka untuk menghilangkan lapar serta mengamankan mereka dari ketakutan. Juga untuk
menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bisa
mendatangkan dosa. Juga untuk merendahkan suara orang zalim di atas suara orang-orang
beriman. Manusia muslim, individu maupun kelompok dalam lapangan ekonomi atau bisnis, di
satu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun di sisi lain, ia
terikat dengan iman dan etika (moral) sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan
modalnya atau membelanjakan hartanya. Ia harus melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan
prinsip-prinsip nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran, serta kemanfaatan bagi usahanya. Di
samping itu, ia harus mepedomani norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dan terdapat dalam
sistem hukum Islam secara umum.
C. Visi Al-Qur’an tentang Etika Bisnis
Visi adalah kemampuan atau daya untuk melihat pada inti persoalan dengan pandangan
yang luas. Visi etika dan bisnis Al-Qur’an dengan demikian merupakan kemampuan, kekuatan
dan cara pandang yang dimiliki oleh Al-Qur’an dalam memandang persoalan etika dan bisnis. Al-
Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutan-tuntutannya
dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal dalam dunia
bisnis, seperti jual beli, sewa menyewa, untung rugi, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Allah Swt. dalam firman-Nya, Al-Qur’an surat At- Taubah ayat (111)
yang artinya (lebih kurang) :
’’Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan sebagai
imbalannya mereka memperoleh syurga. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah,
maka gembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar’’.
Ayat tersebut di atas, memberikan penjelasan bahwa mereka yang tidak ingin melakukan
aktivitas kehidupannya kecuali bila memperoleh keuntungan semata, dilayani (ditantang) oleh Al-
Qur’an dengan menawarkan satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dengan
demikinan, prinsip dasar yang ditekankan Al-Qur’an adalah kerja dan kerja keras. Pandangan
Islam mengenai visi tentang etika bisnis harus berlandaskan pada tiga tema kunci utama yang juga
merupakan pedoman bagi semua kegiatan umat Islam. Ketiga tema kunci utama itu adalah Iman,
Islam, dan Taqwa. Dalam Al-Qur’an terdapat terma-terma atau istilah-istilah yang dapat mewakili
apa yang dimaksud dengan etika maupun bisnis. Di antara terma-terma bisnis dalam Al-Qur’an
terdapat terma al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara. Masing-masingnya dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Terma tijarah, berawal dari kata t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang bermakna
berdagang, berniaga. Menurut ar-Raqib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi qharib al-Qur’an, at-
tijarah, bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, dari
penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad dengan
harta dan jiwa adalah termasuk bisnis, yakni bisnis sesungguhnya yang pasti mendapat keuntungan
hakiki.
Sedangkan al-bai’ berasal dari kata bai’a, yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam berbagai
variasinya. Al-bai’u, berarti menjual, lawan kata dari isytara atau memberikan sesuatu yang
berharga dan mengambil (menetapkan) dari padanya suatu harga dan keuntungannya. Terma
bai’un dalam Al-Qur’an digunakan dalam dua pengertian, (1) jual beli dalam konteks tidak ada
jual beli pada hari qiamat, karena itu, Al-Qur’an menyeru agar membelanjakan, mendayagunakan
dan mengembangkan harta benda berada dalam proses dan tujuan yang tidak bertentangan dengan
keimanan, (2) al-bai’ dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau
mengembangkan harta benda dengan jalan riba.Demikian pula mengenai kata baya’tum,
bibai’ikum dan tabaya’tum, digunakan dalam pengertian jual beli yang dilakuan oleh kedua belah
pihak harus dilakuan dengan ketelitian dan dipersaksikan (dengan cara terbuka dan dengan
tulisan).
Kemudian Al-Qur’an menggunakan terma isytara sebagaimana terdapat dalam surat At-
Taubah (9) ayat (111), digunakan dalam pengertian membeli yaitu dalam konteks Allah membeli
diri dan harta orang-orang mukmin. Dengan demikian, istilah isytara dan derivasinya lebih banyak
mengandung makna transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi sesama manusia yang
dilakukan karena dan untuk Allah, juga transaksi dengan tujuan keuntungan manusia walaupun
dengan menjual ayat-ayat Allah. Transaksi Allah dengan manusia terjadi bila manusia berani
mengorbankan jiwa dan hartanya untuk mencari keridhoan Allah dan Allah menjanjikan
balasannya, membeli dari orang-orang mukmin tersebut dengan kenikmatan dan keuntungan yang
tiada terhitung yaitu syurga. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan juga istilah tadayantum yang
disebutkan satu kali, yaitu pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat (282), digunakan dalam
pengertian mua’malah yakni jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Ayat
Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat (282) tersebut berbunyi, yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan mua’malah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar.... (Q.s. (2): 282).

Selain istilah-istilah di atas, dalam Al-Qur’an terdapat pula istilah yang berdekatan dengan
kandungan bisnis. Di antaranya adalah, anfaqa dan la ta’kulu amwalakum. Sedangkan yang
berhubungan dengan etika secara langsung adalah al-khuluq, yang berasal dari kata dasar khaluqa-
khuluqan, yang berarti tabi’at, budi pekerti, kebiasaan, kesatriaan, keprawiraan. Etika Al-Qur’an
mempunyai sifat humanistik dan rasionalistik. Sifat humanistik dalam pengertian mengarahkan
manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah
manusia itu sendiri. Sifat rasionalistik, bahwa semua pesan-pesan yang diajarkan oleh Al-Qur’an
terhadap manusia sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia yang tertuang dalam karya-karya
para filosof. Pesan-pesan Al- Qur’an seperti ajakan kepada kebenaran, keadilan, kejujuran,
kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, semuanya tidak ada yang
berlawanan dengan kedua sifat di atas. Oleh karena itu, harus menjadi pedoman atau perhatian
oleh para pengusaha muslim dalam kegiatan bisnisnya.

D. Fungsi Etika Bisnis Islam


Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam
mempunyai fungsi yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut:
1. Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode
berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi
pelaku bisnis dari resiko.
2. Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis,
terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya
adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3. Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang
muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4. Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara
sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.
5. Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka
semua.
Secara konkrit dapat diilustrasikan, jika seorang pelaku bisnis peduli pada etika, maka bisa
diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah, adil, selalu melihat kepentingan orang lain. Sebaliknya,
bagi mereka yang tidak mempunyai kesadaran akan etika, dimanapun dan kapanpun, mereka akan
selalu memiliki sikap kontraproduktif dengan sikap mereka yng perduli terhadap etika.
Seorang pengusaha dalam pandangan etika Islam,bukan sekedar mencari keuntungan,
melainkan juga keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang
wajar dan diridhai oleh Allah swt. Ini berarti, yang harus diraih oleh seorang pebisnis muslim
adalah bukan sekedar keuntungan materiil (bendawi), tetapi yang terpenting adalah keuntungan
immaterial (ukhrawi). Kebendaan yang profane ((intransenden) baru bermakna apabila diimbangi
dengan kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).

E. Nilai Dasar dan Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam


Etika bisnis Islam merupakan etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai al Qur’an. Oleh
karena itu, beberapa nilai dasar dalam etika bisnis Islam yang disarikan dari inti ajaran Islam itu
sendiri adalah, antara lain :
1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh.
Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu,
vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
Jika konsep tauhid diaplikasikan dalam etika bisnis, maka seyogyanya, seorang pengusaha
muslim tidak akan :
a. Berbuat diskriminatif terhadap pekerja, pemasok, pembeli, atau siapapun dalam bisnis atas dasar
ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama.
b. Dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis, karena ia hanya takut dan cinta kepada Allah swt. Ia
selalu mengikuti aturan prilaku yang sama dan satu, dimanapun apakah itu di masjid, ditempat
kerja atau aspek apapun dalam kehidupannya.
c. Menimbun kekayaan dengan penuh keserakahan. Konsep amanah atau kepercayaan memiliki
makna yang sangat penting baginya karena ia sadar bahwa semua harta dunia bersifat sementara
dan harus dipergunakan secara bijaksana.

2. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat
curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar
bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci
keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan
dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.

‫واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويال‬
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Isra’:35).

Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat
Al-Maidah : 8
ِ ‫ش َهدَآ َء بِ ْال ِقس‬
‫ْط َوالَ يَجْ ِر َم َّن ُك ْم َشنَئ َانُ قَ ْو ٍم َعلَى أَالَّ ت َ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ه َُو أ َ ْق َربُ ِللت َّ ْق َوى َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن‬ ُ ِ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ هلل‬
َ‫يرُُ بِ َما تَ ْع َملُون‬
ُ ِ‫هللاَ َخب‬
artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku
adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.

3. Kehendak Bebas (Free Will)


Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan
pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak
terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui
zakat, infak dan sedekah.

4. Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan
kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini
berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas
dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.

5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran


Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran
dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses
mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau
menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif
terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama
atau perjanjian dalam bisnis.
Menurut al Ghazali, terdapat enam bentuk kebajikan :
a. Jika seseorang membutuhkan sesuatu, maka orang lain harus memberikannya dengan
mengambil keuntungan sesedikit mungkin. Jika sang pemberi melupakan keuntungannya, maka
hal tersebut akan lebih baik baginya.
b. Jika seseorang membeli sesuatu dari orang miskin, akan lebih baik baginya untuk kehilangan
sedikit uang dengan membayarnya lebih dari harga sebenarnya.
c. Dalam mengabulkan hak pembayaran dan pinjaman, seseorang harus bertindak secara bijaksana
dengan member waktu yang lebih banyak kepada sang peminjam untuk membayara hutangnya
d. Sudah sepantasnya bahwa mereka yang ingin mengembalikan barang-barang yang sudah dibeli
seharusnya diperbolehkan untuk melakukannya demi kebajikan
e. Merupakan tindakan yang baik bagi si peminjam untuk mengembalikan pinjamannya sebelum
jatuh tempo, dan tanpa harus diminta
f. Ketika menjual barang secara kredit, seseorang harus cukup bermurah hati, tidak memaksa
orang untuk membayar ketika orang belum mampu untuk membayar dalam waktu yang sudah
ditetapkan.
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis yang
dijadikan sebagai prinsip, di antaranya ialah:
1. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran
merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan
kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak dibenarkan seorang
muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-
Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah
sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang
busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2. Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya
sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi
kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain)
sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material
semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3. Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis
melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Abu
Dawud, dari Abu Hurairah bahwanya saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sumpah itu
melariskan dagangan tetapi menghapuskan keberkahan”. Praktek sumpah palsu dalam kegiatan
bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya
meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan
yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
4. Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi
Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam
berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan
harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang
pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk
membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
6. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad
Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan
apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
7. Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu,
dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh).
Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
8. Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan
tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang curang, yaitu
orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
9. Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak
dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
10. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah
upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa
pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang
dilakukan.
11. Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan
oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik
sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral.
Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang
lain. Ini dilarang dalam Islam.
12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan
dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat
terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada
produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk
bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus
dijaga dan diperhatikan secara cermat.
13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti
babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah
mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan
bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang
memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu,
adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi
Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau
membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak
ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang
beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan
pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan
Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
18. Membangun hubungan baik antar kolega. Islam menekankan hubungan konstruktif dengan
siapapun antar sesame pelaku bisnis. Islam tidak menghendaki dominasi pelaku yang satu atas
pelaku yang lainnya baik dalam bentuk monopoli, oligopoly, maupun bentuk-bentuk lain yang
tidak mencerminkan nilai keadilan atau pemerataan pendapatan.
19. Menetapkan harga dengan transparan. Harga yang tidak transparan bisa mengandung penipuan.
Untuk itu menetapkan harga secara terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar tidak
terjerumus dalam Riba. Kendati dalam bisnis kita sangat ingin memperoleh keuntungan, tetapi
hak-hak pembeli harus tetap dihormati.
20. Tertib administrasi. Dalam dunia perdagangan wajar terjadi praktik pinjam meminjam. Dalam
hubungan ini al Qur’an mengajarkan perlunya administrasi hutang piutang tersebut agar manusia
terhindar dari kesalahan yang mungkin terjadi.

Rafik Issa Beekn, mengemukakan Sembilan pedoman etika umum dalam bisnis,
yaitu : 1) Jujur dan berkata benar; 2) menepati janji; 3) mencintai Allah lebih dari mencintai
perniagaan;4) berbisnis dengan muslim sebelum dengan non muslim; 5) rendah hati dalam
menjalani hidup; 6) menjalankan musyawarah dalam semua masalah; 7) tidak terlibat dalam
kecurangan; 8) tidak boleh menyuap;dan 9) berbisnis secara adil.

F. Binis-Bisnis yang Sesuai dengan Hukum Islam


Mengenai bisnis yang sesuai dengan hukum Islam adalah semua aspek kegiatan untuk
menyalurkan barang-barang melalui saluran produktif, dari membeli barang mentah sampai
menjual barang jadi. Pada pokoknya kegiatan bisnis meliputi : (1) Perdagangan, (2) Pengangkutan,
(3) Penyimpanan, (4) Pembelanjaan, (5) Pemberian informasi.
Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup manusia dengan sempurna, kehidupan
individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi maupun spiritual yang didampingi oleh
ekonomi, sosial dan politik. Ekonomi adalah bagian dari tatanan Islam yang perspektif. Pengusaha
Islam adalah manusia Islam yang bertujuan untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya melalui usaha
perdagangan, dan selanjutnya memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui perdagangan
tersebut.
Aspek penting tentang aktivitas pengusaha dalam masyarakat Islam bertumpu pada tujuan
untuk mendapatkan keuntungan yang memuaskan, malayani masyarakat dan mengamalkan sikap
kerja sama. Manusia dalam perspektif Islam adalah sebagai “Ummatan-Waahidatan”, kelompok
yang bersatu pada dalam kesatuan atau entitas yang utuh. Sebagaimana diketahui bahwa, ekonmoi
adalah suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara berbagai tujuan
dan alat-alat untuk mencapai tujuan yang langka adanya dan karena itu mengandung alternatif
dalam penggunaanya. Apabila perilaku manusia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai moral Islam itu
ternyata manghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda atau khusus, maka akulmulasi pengetahuan
atau pengalaman dalam menerapkan prinsip-prinsip moral atau suatu ketika, apabila telah disusun
secara sistematis, akan menghasilkan suatu pengetahuan khusus dan itulah yang disebut dengan
ilmu ekonomi Islam. Hal inilah yang terlihat jelas dalam sistem ekonomi yang dianut oleh paham
Ketuhanan, yaitu perasaan yang selalu ada yang mengawasi (dhamir). Munculnya wacana
pemikiran etika bisnis, didorong oleh realitas bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moral atau
akhlak. Bagi sementara pihak, bisnis adalah aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan mencari
laba semata-mata. Karena itu, cara apapun boleh dilakukan demi meraih tujuan tersebut.
Konsekuensinya bagi pihak ini, aspek moral tidak bisa dipakai untuk menilai bisnis. Aspek moral
dalam persaingan bisnis, dianggap akan menghalangi kesuksesannya. Pada satu sisi, aktivitas
bisnis dimaksudkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, sementara prinsip-prinsip moral
“membatasi” aktivitas bisnis.
Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua berpendapat bahwa bisnis bisa
disatukan dengan etika. Kalangan ini beralasan bahwa etika merupakan alasan-alasan rasional
tentang semua tindakan manusia dalam semua aspek kehidupan, tidak terkecuali aspek bisnis.
Secara umum, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisir untuk
menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat, atau juga sebagai suatu lembaga yang menghasilkan barang atau jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Ide mengenai etika bisnis bagi banyak pihak termasuk ahli ekonomi
merupakan hal yang problematik. Problematikanya terletak pada kesangsian apakah moral atau
akhlak mempunyai tempat dalam kegiatan bisnis dan ekonomi pada umumnya. Dari kalangan yang
menyangsikan kemudian muncul istilah “mitos bisnis amoral”. Menurut Ricard T. De George
dalam Business Ethic, mitos bisnis amoral berkeyakinan bahwa perilaku tidak bisa dibarengkan
dengan aspek moral. Antara bisnis dan moral tidak ada kaitan apa-apa dan karena itu, merupakan
kekeliruan jika aktivitas bisnis dinilai dengan menggunakan tolak ukur moralitas.
Selain itu, dalam realitas bisnis kekinian terdapat kecenderungan bisnis yang mengabaikan
etika. Persaingan dalam dunia bisnis adalah persaingan kekuatan modal. Pelaku bisnis dengan
modal besar berusaha memperbesar jangkauan bisnisnya, sehingga para pengusaha kecil (pemoda
kecil) semakin terseret. Demikian juga praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) telah
memainkan peranan penting dalam proses tersebut. Krisis moneter yang berkepanjangan di
Indonesia, pada kenyataannya tidak bisa dilepaskan dari proses kegiatan perekonomian yang
demikian, yakni menipisnya nilai-nilai moral dalam aktivitasnya. Dari realitas inilah yang
melahirkan anggapan bahwa bisnis adalah “dunia hitam”.
Sementara itu, pemikiran etika bisnis dalam Islam muncul ke permukaan, dengan landasan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia merupakan kumpulan aturam-aturan ajaran
(doktrin) dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju tujuan
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Islam merupakan agama yang memberikan
cara hidup terpadu mengenai aturan-aturan aspek sosial, budaya, ekonomi, sipil dan politik. Ia juga
merupakan suatu sistem untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem spiritual maupun sistem
perilaku ekonomi dan politik. Namun, dalam perkembangannya etika bisnis Islam tidak sedikit
dipahami sebagai representasi dan pengejewantahan dari aspek hukum. Misalnya, keharaman jual
beli (gharar), menimbun, mengurangi timbangan, dan lain-lain. Pada tataran ini, etika bisnis Islam,
tidak jauh berbeda dengan pengejawantahan hukum dalam fiqih muamalah. Dengan kondisi
demikian, maka pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan
filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan.
Menurut Quraish Shihab, dalam Muhammad Fauroni R Lukman, secara normatif, Al-
Qur’an relatif lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada
kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas. Dalam
mengajak dan mengamalkan tuntutan tuntutannya, Al-Qur’an seringkali menggunakan istilah-
istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual beli, sewa menyewa, utang-piutang, dan lain
sebagainya.
Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan dengan berbagai tujuan. Di antara tujuan
tersebut adalah untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan
penderitaan hidup lainnya, serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, hukum dan agama. Selain tiu, Al-Qur’an juga merupakan sumber ajaran agama Islam yang
menyangkut semua dimensi kehidupan manusia. Dengan tujuan dan eksistensinya, Al-Qur’an
merupakan sumber ajaran yang memuat nilai-nilai dan normanorma yang mengatur aktivitas-
aktivitas manusia termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis. Dengan demikian, diharapkan etika
bisnis menurut Al-Qur’an melalui kajian yang mendalam dapat menghasilkan atau memberikan
konstribusi positif bagi pengembangan etika bisnis Islam yang bersih dan sehat. Di Indonesdia,
semangat pengembangan pemikiran ekonomi Islam sedang giat-giatnya digalakkan oleh berbagai
kalangan, baik melaui lembaga pendidikan tinggi formal maupun non formal. Pemberlakuan
sistem perbankan syari’ah oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, kemudian Bank
Syari’ah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syari’ah (BNI Syari’ah) yang didukung oleh
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 yang telah dirubah dengan Undang-Undang
Perbankan Syari’ah No. 23 Tahun 2008, merupakan momentum dan bukti adanya upaya-upaya
pengembangan konsep ekonomi Islam (syari’ah) dalam wilayah praktis.
Entrepreneur gaya surga adalah entrepreneur yang dalam berbisnis mengikuti ketentuan yang
digariskan oleh Allah dan Rasulnya. Entrepreneur tersebut tidak hanya berpikir keuntungan
dunia saja, tetapi lebih dari itu memikirkan keuntungan akhirat.

Dalam Al Qur’an surat Ash Shaff ayat 10 – 12, Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman,
sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari
azab yang pedih? (yaitu) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya-lah dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya
Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga
’Adn. Itulah keberuntungan yang besar.

Salah seorang entrepreneur gaya surga tersebut adalah Ali bin Thalib. Diriwayatkan Ali bin Abi
Thalib pulang ketemu istrinya di rumah kemudian bertanya kepada istrinya. ”Wahai wanita,
apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dimakan suamimu?” tanya Ali kepada istrinya
Fatimah. ”Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu sedikitpun, Namun ini ada uang 6 dirham
dari hasil upahku memintal bulu. Uang tersebut akan aku belikan makanan untuk Hasan dan
Husain” jawab Fatimah. ”Wahai wanita yang mulia, berikan uang 6 dirham itu kepadaku” kata
Ali. Fatima lalu memberikan uang 6 dirham itu kepada Ali bin Abi Thalib. Sesudah uang
diterima, Ali ke luar rumah dengan maksud membeli makanan untuk kedua putranya. Tiba-tiba
di tengah jalan ia bertemu seorang yang berkata ‘Siapa yang mau meminjami Allah, Dzat Yang
Menguasai dan pasti Dia akan menepati Janji-Nya’. Akhirnya Ali mendekati orang tersebut
dengan menyerahkan uang 6 dirham yang dibawanya dari rumah yang sedianya dibelikan makan
untuk anaknya. Setelah uang diberikan Ali langsung pulang.

Ketika Fatimah mengetahui kepulangan suaminya ke rumah tanpa membawa makanan apa-apa,
ia terus menangis. Melihat istrinya menangis, Ali langsung bertanya ”Wahai wanita mulia, apa
yang menyebabkan engkau menangis?”. ”Wahai putra paman Rasulullah, aku melihat engkau
pulang dengan tanpa membawa makanan sedikitpun” jawab Fatimah. ”Wahai wanita mulia, aku
telah mengutangkan uang 6 dirham tadi kepada Allah” kata Ali. ”Kalau itu yang engkau lakukan
aku setuju” kata Fatimah.

Kemudian Ali bin Abi Thalib keluar hendak menuju ke tempat Rasulullah Saw, tiba-tiba di
tengah jalan ia bertemu seorang Badui yang sedang menuntun unta. Ali lalu mendekati Badui
tersebut, maka Badui itu berkata, ”Wahai ayah Hasan, belilah unta ini”. ”Aku tidak mempunyai
uang sepeserpun untuk membeli untamu itu,” kata Ali. Badui : ”Aku menjual unta ini dengan
cara diutangkan”. Ali: ”Kalau begitu, berapa harga unta ini kamu jual?”. Badui: ”Aku
menjualnya dengan harga 100 dirham”. Ali: ”Baiklah, unta ini aku beli, namun pembayarannya
nanti saja setelah aku mendapatkan uang”.

Setelah itu Ali bin Abi Thalib menuntun unta yang baru dibelinya. Tetapi tidak begitu jauh Ali
dihadang oleh seorang Badui lain, yang bertanya kepadanya ”Wahai ayah Hasan, apakah kamu
hendak menjual unta yang kamu tuntun itu?”. Ali: ”Benar, aku hendak menjual unta ini”. Badui:
”Berapa harganya?”. Ali: ”Harga unta ini 300 dirham”. Badui: ”Baiklah, aku beli untamu dengan
harga tersebut”.
Setelah orang Badui itu menyetujui harganya, ia langsung membayar 300 dirham secara tunai
kepada Ali. Sesudah menerima pembayaran tersebut, Ali menyerahkan kendali untanya kepada
orang Badui tadi. Kemudian ia pulang ke rumahnya. Tatkala Fatimah mengetahui suaminya
datang, ia menyambutnya dengan senyum kasih sayang, sebagaimana kebiasaan yang ia lakukan
setiap kali menyambut kedatangan suaminya. Fatimah lalu bertanya ”Wahai ayah Hasan, apa
yang engkau bawa hari ini?”. ”Wahai putri Rasulullah, aku telah membeli seekor unta dengan
diutang cara pembayarannya seharga 100 dirham. Aku lalu menjual unta tersebut dengan harga
300 dirham secara tunai,” jawab Ali. ”Aku setuju saja terhadap apa yang kamu lakukan asalkan
membawa kemanfaatan dan kemaslahatan” kata Fatimah.

Sesudah berbincang-bincang dengan Fatimah dirasa cukup, ia keluar rumah lagi menuju tempat
Rasulullah. Pada saat ia memasuki pintu masjid Rasulullah Saw melihatnya dengan tersenyum
dan ketika Ali sudah mendekat, beliau berkata ”Wahai ayah Hasan, apakah kamu yang bercerita
kepadaku, ataukah aku yang memberi kabar kepadamu?”. ”Engkau saja yang memberi kabar
kepadaku,” jawab Ali. Rasulullah berkata ”Wahai ayah Hasan, apakah kamu sudah mengerti,
siapa sebenarnya Badui yang menjual unta kepadamu itu, dan siapa Badui kedua yang
membelinya?”. Ali: ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah: ”Beruntung
sekali kamu wahai Ali, kamu telah mengutangi Allah dengan 6 dirham, maka Allah memberimu
300 dirham sebagai pengganti setiap dirham mendapat 50 dirham. Adapun orang Badui yang
pertama adalah Jibril, sedangkan yang kedua adalah Israfil”.

Menurut riwayat lain menyebutkan bahwa orang pertama yang menjual unta adalah Jibril,
sedangkan yang kedua adalah Mikail.

Jual beli apapun pada asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Allah ta’ala telah berfirman :
ٍ ‫َارةً عَن ت َ َر‬
‫اض م ْن ُك ْم‬ ِ َ‫يَا أَيهَا ال ِذينَ آ َمنُواْ الَ تَأ ْ ُكلُ َواْ أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب‬
َ ‫اط ِل إِال أَن تَكُونَ تِج‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29].
‫ذَ ِلكَ ِبأَن ُه ْم َقالُ َواْ ِإن َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل الربَا َوأَحَل َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َوحَر َم الربَا‬
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275].
Dua ayat di atas berlaku umum untuk semua jenis jual beli, termasuk jual beli secara
kredit. Sampai ayat ini, para ulamamu’tabar tidak berbeda pendapat mengenai jual beli
kredit. Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamsendiri pernah
melakukan jual beli dengan menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dalam
hadits :
‫شتَ َرى َط َعاما ً ِم ْن يَ ُهو ِدي ٍ ِإ َلى أَ َج ٍل َو َر َهنَهُ د ِْرعا ً ِم ْن َحدِي ٍد‬
ْ ‫سلَّ َم ا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ ‫عن عائشة رضى هللا تعالى عنها أَنَّ النَّ ِب َّي‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda
dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau gadai” [HR. Bukhari no. 2068, 2096,
2200, 2251, 2252, 2386, 2509, 2513, 2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasa’i no. 4609,
4650; Ibnu Majah no. 2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467].
Kemudian, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dengan penundaan
waktu pembayaran plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu terbagi menjadi 2 (dua)
kelompok besar pendapat :
1. Mengharamkannya
2. Membolehkannya
Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua
merupakan pendapat jumhur ulama.
Makna Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli (‫)بيعتان في بيعة‬
‫سلَّ َم ع َْن َب ْي َعتَي ِْن فِي بَ ْيعَ ٍة‬
َ ‫علَي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ نَهَى َر‬: ‫عن أبي هريرة َقا َل‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli (baca : dua jual beli dalam satu
akad/transaksi – Abul-Jauzaa’) [HR. Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasa’i no.
4632; Ad-Daarimi no. 1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Ya’la no. 6124; Ibnu Hibban no.
4973; Al-Baihaqi 5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih).
" ‫ " صفقتان في صفقة ربا‬: ‫قال ابن مسعود‬
Ibnu Mas’ud berkata : ”Transaksi dalam dua penjualan adalah riba” [HR. Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu Hibban no. 1053 – shahih.
Lihat Irwaaul-Ghalil 5/148-149].
1. Pendapat yang mengharamkannya memaknai hal itu sebagaimana perkataan : “Aku jual
barang ini kepadamu, secara kontan 10 ribu rupiah dan jika secara angsuran (kredit) 12
ribu rupiah”. Dan inilah kredit pada umumnya sebagaimana yang lazim di jaman
sekarang.
2. Pendapat yang membolehkannya memaknai hal itu dengan dua inti perkataan, yaitu :
a. “Aku jual kepadamu baju ini secara kontan seharga 50 ribu rupiah, dan secara kredit
55 ribu rupiah”; namun ketika berpisah ia tidak bersepakat dalam satu harga, apakah
akan mengambil yang kontan atau secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli
bersepakat dalam transaksi tanpa menentukan penjualan mana yang akan diambil
(kontan atau kredit).
b. “Aku jual sepeda ini padamu seharga 100 ribu dengan syarat kamu menjual
kambingmu”. Atau sebaliknya : “Aku jual sepeda ini padamu dengan syarat kamu menjual
kambingmu seharha 200 ribu”. Ketika pembeli menyepakati, maka otomatis berlangsung
dua akad jual beli dalam satu jual beli. Transaksi ini sangat rentan terhadap kedhaliman
pada harta.
Maka, di sini jumhur ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit sebagaimana
lazimnya tidak termasuk dalam larangan di atas (kecuali jika sampai berpisah penjual dan
pembeli bersepakat namun tidak menentukan jenis pembayaran yang akan dilakukan –
sebagaimana telah dijelaskan).
Inti perkataan tersebut saya modifikasi dari contoh yang dikemukakan Al-Imam At-
Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1231) [1].
Mana Yang Lebih Kuat ?
InsyaAllah yang lebih kuat adalah Pendapat Kedua (yang
membolehkannya). Sebagaimana yang telah disinggung, jual beli kredit yang
berlangsung seperti sekarang bukanlah dua jual beli dalam satu transaksi. Sebab, ketika
berpisah, mereka umumnya telah menyepakati jenis pembayaran yang akan dilakukan
(yaitu bersepakat dengan akad kredit).Maka pada akhirnya di sini hanya ada satu jual
beli saja dalam satu transaksi. Adapun contoh perkataan dari pendapat kedua (yang
membolehkan kredit), maka sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli
dalam satu transaksi dari pihak penjual maupun pembeli yang
penuh gharar (ketidakjelasan) dan manipulasi.
Bagaimana dengan Pernyataan : Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada
Selainnya ?
Hujjah di atas adalah hujjah yang dipakai oleh para ulama yang mengharamkan kredit
dengan tambahan harga, sebab terdapat perkataan perawi hadits larangan dua jual beli
dalam satu transaksi. Simmak bin Harb - perawi hadits – telah membawakan tafsiran
tentang larangan dua jual beli dalam satu transaksi dengan perkataan : [ ‫إن كان بنقد فبكذا و‬
‫ و إن كان إلى أجل فبكذا و كذا‬, ‫“ ]كذا‬Apabila dibayar secara kontan maka sekian, dan apabila secara
kredit sekian”.
Selain dari apa yang telah dijawab di atas, maka hal itu dapat dijawab sebagai berikut :
1. Tafsiran seorang perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum tentu yang
membawakan hadits itu lebih paham daripada yang disampaikan. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam telah bersabda :
ُ‫َام ِل َف ْق ٍه إِلَى َم ْن ه َُو أفقَهُ ِم ْنه‬
ِ ‫بح‬َّ ‫ فَ ُر‬،‫س ِم َع َمقَالَتِي فَوعَا َها َو َح ِف َظهَا َو َبلَّغَهَا‬
َ ً ‫ام َرأ‬
ْ ُ‫نَض ََّر هللا‬
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku,
kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Betapa banyak
orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham daripadanya” [HR. Tirmidzi
no. 2658; shahih].
Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan pembawa hadits (rawi) tidak mutlak selalu
lebih unggul dalam pemahaman dibandingkan orang yang disampaikan.
2. Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adalah tidak bertaqlid kepada pendapat shahabat.
Kalau seorang shahabat memberi kekhususan pada sebuah nash umum atau menafsirkan
nash yang masih global pengertiannya dengan salah satu kemungkinan penafsirannya
tanpa penjelasan sebab adanya pengkhususan dan penafsiran tersebut, maka
pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah dalam mengkhususkan nash umum tersebut atau
dalam penafsiran nash yang masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila demikian
halnya yang berlaku pada shahabat dengan segala kemuliaan dan keutamaannya, tentu
bagi seorang tabi’in atau orang sesudah mereka lebih jelas lagi. Dan sebagai catatan,
Simmak bin Harb ini adalah seorang tabi’i, bukan seorang shahabat.
Perkataan seorang perawi dapat didahulukan jika memang terdapat qarinah yang jelas
bahwa perkataannya tersebut merupakan penjelasan yang bersumber pada ujung sanad
(dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau shahabat untuk kasus hadits mauquf).
Contohnya adalah tentang masalah berdzikir dengan tangan kanan :
‫حدثنا عبيد هللا بن عمر بن ميسرة ومحمد بن قدامة في آخرين قالوا ثنا عثام عن األعمش عن عطاء بن السائب عن أبيه عن‬
‫عبد هللا بن عمرو قال رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعقد التسبيح قال بن قدامة بيمينه‬
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah dan Muhammad bin
Qudamah dan yang lainnya mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam
dari Al-‘Amasy dari ‘Atha’ bin Saib dari ayahnya dari Abdillah bin ‘Amru ia berkata : “Aku
melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya”. Berkata
Muhammad bin Qudamah (perawi hadits) : “Yaitu dengan tangan kanannya” [HR. Abu
Dawud no. 1502].
Perkataan perawi (Muhammad bin Qudamah) : “Yaitu dengan tangan kanannya” tidaklah
mungkin hanyalah penafsirannya semata. Penjelasan itu didapatkan dari penjelasan rawi
di atasnya sampai di ujung sanad yang merupakan penjelasan dari orang yang
melihat fi’il Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (yaitu Abdullah bin
‘Amru radliyallaahu ‘anhuma). Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin ‘Amr dengan
apa yang dilihat, bukan sekedar interpretasi semata. Sehingga, dari apa yang dilihat
tersebut dikatakan/dijelaskan kepada perawi selanjutnya (murid-muridnya).
Bagaimana Penjelasan Hadits Abu Hurairah ?
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam :
‫من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا‬
Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya
harga yang terendah atau riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu Hibban no. 4974, Al-
Haakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Ash-Shahiihah no. 2326].[2]
Adapun pengertiannya adalah bahwa hadits Abu Hurairah (yang terdapat keharusan
memilih harga terendah) merupakan jual-beli ‘ienah yang memang termasuk riba. Ibnul-
Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan (9/240) mengatakan : “Makna kalimat dalam hadits
terdahulu : ‘…barangsiapa yang melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, hendaknya
ia mengambil yang termurah, bila tidak ia memakan riba’ ; yaitu seperti jual beli ‘ienah.
Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual beli
dalam satu jual beli. Yang termurah adalah harga kontan. Apabila yang diambil adalah
yang lebih mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka ia telah mengambil harta riba.
Kemungkinan yang terjadi hanya salah satu dari dua : mengambil harga termurah atau
memakan riba. Itu hanya terjadi pada jual beli ‘ienah”
Jual beli ‘ienah gambarannya adalah sebagai berikut :
Si (A) menjual mobil kepada si (B) dengan pembayaran tempo (5 tahun) seharga 50 juta.
Mobil diterima si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan untuk membeli kembali mobil
tersebut seharga 40 juta secara kontan dari si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi
dan riba. Si (A) sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual mobil kepada si (B),
melainkan ia hanya ingin “menggandakan” uangnya yang 40 juta itu menjadi 50 juta (ada
tambahan 10 juta) dalam tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan si (B) tujuannya tidaklah
ingin membeli mobil si (A), melainkan hanya menginginkan uang kontan 40 juta dengan
konsekuensi ia harus mengembalikan sebesar 50 juta di tahun kelima. Jadi sebenarnya
ini hanya manipulasi riba yang dibungkus atas label jual-beli.
Dalam jual beli ini terdapat dua jual beli dalam satu jual beli. Jika penjual dan pembeli
memilih harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka jual beli itu adalah mubah dan
terbebas dari riba. Namun jika yang disepakati seperti di atas, maka itulah larangan dalam
hadits Abu Hurairah. Wallaahu a’lam.
Kesimpulan :
1. Jual beli kredit pada asalnya adalah boleh.
2. Walaupun boleh, namun sudah selayaknya kita menghindarinya untuk menghindari
perselisihan yang ada. Harus diakui bahwa hujjah ulama yang mengharamkannya pun
terbilang cukup “kuat”. Apalagi hal itu didukung oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah
yang terkenal seperti Ibnu Sirin, Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, An-Nasa’i,
Ibnu Hibban, dan yang lainnya.
3. Selayaknya bagi kita untuk menghindari kredit (jangan menggampangkannya), karena
pada hakekatnya kredit itu adalah hutang. Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih
ada, maka statusnya adalah seperti hutang dimana kita tetap “tertahan” sampai kredit
kita tersebut terselesaikan.
4. Bersikap zuhud dan wara’ adalah utama. Beli kalau ada uang, dan tidak membeli kalau
memang tidak ada uang.

Semoga ada manfaatnya.


Pesan utama Al-Qur’an dalammu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:
ِ َ‫َو َال تَأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْالب‬
‫اط ِل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi
keuangan di antara kamu secara bathil…” (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Jual Beli
ِ ‫ان ِمنَ ْال َم ِس ذَلِكَ بِأَنَّ ُه ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
‫الربَا‬ َ ‫ش ْي‬
ُ ‫ط‬ َّ ‫طهُ ال‬ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
ُ َّ‫الربَا َال يَقُو ُمونَ إِ َّال َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬
َ‫عادَ فَأُولَئِك‬
َ ‫ّللاِ َو َم ْن‬ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ إِلَى‬ َ َ‫سل‬َ ‫ظةٌ ِم ْن َربِ ِه فَا ْنت َ َهى فَلَهُ َما‬ ِ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
َ ‫الربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
﴾٢۷٦﴿ ‫ار أَثِ ٍيم‬ ٍ َّ‫ّللاُ َال ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ ِ ‫صدَقَا‬
َّ ‫ت َو‬ َّ ‫الربَا َوي ُْر ِبي ال‬ ِ ُ‫ّللا‬ َّ ‫﴾ يَ ْم َح ُق‬٢۷٥﴿ َ‫ار ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ ِ َّ‫اب الن‬ ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫أ‬
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama
dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu
menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. barang siapa mengulangi, maka mereka
itu penghuni neraka, kekal di dalamnya.”(275) ”Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang berulang-ulang melakukan
kekufuran, dan selalu berbuat banyak dosa.”
Firman Allah SWT., ‫الر َبا‬ ِ َ‫“الَّذِينَ َيأ ْ ُكلُون‬Orang-orang yang makan (mengambil)
riba.” Pada ayat ini, kata mengambil diibaratkan dengan memakan, karena maksud
sebenarnya dari pengambilan riba memang untuk dimakan.[3]
Kata riba menurut etimologi bahasa maknanya adalah mutlak
penambahan, maknanya: jika bertambah. Di antara makna menurut bahasa ini adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Demi Tuhan, tidak satupun dari
suapan yang kita makan kecuali terus bertambah dari bawahnya.” Yakni makanan yang telah
didoakan oleh Nabi saw. agar penuh keberkahan.
Kemudian, makna secara syari’at telah dipalingkan dari makna yang mutlak
seperti ini (yakni penambahan), dan meminimalisir maksudnya secara keseluruhan. Al-
Qur’an terkadang menyebutkannya untuk makna penghasilan yang haram, seperti pada
firman Allah SWT. kepada orang-orang Yahudi: ُ‫ع ْنه‬ ِ ‫“ َوأ َ ْخ ِذ ِه ُم‬Dan disebabkan
َ ‫الربَا َوقَ ْد نُ ُهوا‬
mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya” (QS. an-
Nisaa’: 161). Namun yang dimaksud dengan riba pada ayat ini tidak sama dengan riba
yang dikenal dalam syari’at Islam, yang dimaksud riba pada ayat ini adalah harta yang
diharamkan secara keseluruhan, seperti pada firman Allah SWT. pada ayat lain: َ‫س َّماعُون‬ َ
ُ َ
ِ ْ‫ب أ َّكالونَ ِللسُّح‬
‫ت‬ ْ
ِ ‫“ ِلل َك ِذ‬Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram.” (QS. al-Maaidah: 42)
Yakni memakan harta yang haram, seperti misalnya dengan cara menipu, atau
menyogok, atau juga dengan cara menghalalkan harta orang-orang ummi, dimana
mereka mengatakan: ‫سبِي ٌل‬ َ َ‫علَ ْينَا فِي ْاْل ُ ِميِين‬
َ ‫ْس‬ َ ‫“لَي‬Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-
orang ummi” (QS. Aali ‘Imraan: 75). Dengan demikian, maka kata riba sebelum Islam
adalah segala harta yang haram, yang didapatkan dari cara apapun.
Riba dalam syari’at Islam adalah seperti kebanyakan yang dilakukan oleh orang
arab. Misalnya saja seperti perkataan mereka ketika menagih uang pinjaman: apakah
kamu mau menambah waktunya dengan menambahkan prosentase bunganya? Lalu
setelah itu karena orang yang berutang tidak mampu membayar maka ia terpaksa
menambah jumlah utangnya (sedangkan ia tidak menerima pinjaman kecuali di awalnya
saja). Dan ini adalah haram seperti yang disepakati oleh seluruh umat sepanjang
zaman.[4]
Firman Allah SWT., ‫الربَا‬ ِ ‫“ ِإنَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.”
Yakni: sesungguhnya penambahan ketika datangnya jangka waktu terakhir untuk
membayar sebuah utang adalah sama dengan harga asli pada awal jual beli. Hal ini
dikarenakan orang arab tidak mengenal riba kecuali yang seperti ini. yaitu: ketia datang
saat orang yang berutang untuk membayar utangnya, maka orang yang diutangi akan
mengatakan: “apakah engkau akan membayar, atau engkau ingin riba?” yakni:
menambahkan prosentase pada utangnya.
Lalu Allah SWT. mengharamkan perilaku seperti ini, dan membantah perkataan
mereka yang menyamakan riba dengan jual beli melalui firman-Nya: ‫ح َّر َم‬ َ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو‬
َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
‫الربَا‬
ِ “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Allah SWT. juga menjelaskan bahwa ketika saat membayyat telah tiba, namun
orang yang berutang belum juga mampu membayarnya, maka disarankan bagi yang
mengutanginya untuk memberikan waktu tenggang hingga orang yang berutang itu
mempunyai kelapangan untuk membayar.
Huruf alif dan laam pada kata ‫ ْال َب ْي َع‬berguna untuk keterangan jenis, karena tidak
ada penyebutan kata ini sebelumnya yang dapat dijadikan sandaran tempat kembalinya.
Lalu, setelah terbukti bahwa kata ‫ ْالبَ ْي َع‬adalah untuk menerangkan keumuman ayat, maka
yang menjadi pengkhususannya adalah kata riba dan juga transaksi lainnya yang
dilarang dan tidak diperbolehkan, seperti jual beli khamer, perdagangan bangkai,
transaksi sesuatu yang belum ada kejelasannya, dan jual beli lainnya yang telah
ditetapkan larangannya dalam hadits maupun ijma’ para ulama.
Ini adalah pendapat dari kebanyakan para ulama. Sedangkan beberapa ulama
lainnya berpendapat bahwa ayat ini termasuk mujmal Al-Qur’an, yang lalu dibagi-bagi
menjadi jual beli yang halal dan jual beli yang haram. Oleh karena itu ayat ini tidak dapat
digunakan untuk penghalalan jual beli secara keseluruhan ataupun pengharamannya
secara keseluruhan, kecuali disertai dengan penelasan dari hadits Rasulullah SAW. yang
menunjukkan pembolehan jual beli secara keseluruhan tanpa pembagi-bagian.[5]
Kata (‫ )يمحق‬yamhaq yang ditejemahkan dengan memusnahkan, dipahami oleh
pakar-pakar bahasa dalam arti mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis, sama
halnya dengan sinar bulan setelah purnama, berkurang sedikit demi sedikit, sehingga
lenyap dari pandangan. Demikian juga riba.
Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan kedengkian di
kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit
bertambah dan bertambah, sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang
membinasakan. Jangan menduga bahwa kebinasaan dan keburukan riba hanya
tercermin pada praktek-praktek amoral yang dilakukan oleh para lintah darat, tetapi
kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi, pada tingkat individu dan masyarakat.
Banyak pengalaman dalam kedua tingkat itu yang dapat dijadikan contoh. Banyak
peristiwa yang membuktikan, betapa mereka yang melakukan transaksi riba pada
akhirnya terjerumus dalam kemiskinan. Demikianlah Allah memusnahkan riba sedikit
demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya, kecuali setelah nasi menjadi bubur.
Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan sedekah. Dari
segi material, sedekah mengembangkan dan menambah harta. Buktinya, seseorang yang
bersedekah tulus akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini pada
gilirannya melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang dapat mendorongnya
untuk lebih berkonsentrasi dalam usahanya. Di sisi lain, penerima sedekah dan infak,
dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan
penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam pengembangan
harta.
Allah tidak menyukai, yakni tidak mencurahkan rahmat, kepada setiap orang yang
berulang-ulang melakukan kekufuran, dan selalu berbuat banyak dosa.
Ayat ini sekali lagi mengisyaratkan kekufuran orang-orang yang mempraktekkan
riba, bahkan kekufuran berganda, sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata
(‫ )كفار‬kaffar bukan kafir. Kekufuran berganda itu adalah sekali, ketika mereka
mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan Allah, di kali kedua,
ketika mempraktekkan riba, dan di kali ketiga, ketika tidak mensyukuri nikmat
kelebihan yang mereka miliki, bahkan menggunakannya untuk menindas dan
menganiaya. Orang yang melakukannya selalu berbuat banyak dosa, karena
penganiayaan yang dilakukannya bukan hanya menimpa satu orang, tetapi menimpa
banyak orang, bukan hanya anggota keluarga yang kepala keluarganya terpaksa
melakukan transaksi riba, bahkan menimpa seluruh masyarakat.[6]

‫ار‬
ُ ‫ص‬ ُ ُ‫ب فِي ِه ْالقُل‬
َ ‫وب َو ْاْل َ ْب‬ ُ َّ‫الز َكاةِ يَخَافُونَ يَ ْو ًما تَتَقَل‬
َّ ‫ص َالةِ َوإِيت َِاء‬ َّ ‫ع ْن ِذ ْك ِر‬
َّ ‫ّللاِ َوإِقَ ِام ال‬ َ ‫ِر َجا ٌل َال ت ُ ْل ِهي ِه ْم تِ َج‬
َ ‫ارة ٌ َو َال بَ ْي ٌع‬
﴾٣۷﴿
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan tidak (pula) oleh jual beli dari dzikrullah, dan
melaksanakan shalat serta menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (ketika itu)
hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).”An-Nur/24:37
Ayat di atas menggunakan kata (‫ )تجارة‬tijarah dan (‫ )بيع‬bai’. Keduanya biasa
diterjemahkan jual beli. Sementara ulama memahami kata (‫ )تجارة‬tijarahdalam
arti membeli dan (‫ )بيع‬bai’ dalam arti menjual. Ada juga yang membedakannya dengan
menyatakan bahwa kata bai’ biasa digunakan untuk menggambarkan telah terjadinya
transaksi dan diperolehnya keuntungan, sedangkan kata tijarah menggambarkan profesi
jual beli. Dengan demikian seseorang yang tidak dilengahkan oleh tijarah belum tentu ia
tidak dilengahkan oleh bai’. Thabathaba’i berpendapat bahwa kata tijarah jika
diperhadapkan dengan bai’ maka ia berarti kesinambungan dalam upaya mencari rezeki
dengan jalan jual beli, sedang bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungan
riil yang sifatnya langsung. Dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menyatakan
bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang upaya
mereka yang bersinambung guna mencari keuntungan, dan tidak juga pada saat mereka
sedang melakuan jual beli dan meraih keuntungan. Ibn ‘Asyur memahami
kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan
jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan
harganya.[7]
Kata ‫( ْالبَ ْي َع‬jual beli) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata baa’a,
yang artinya membeli ini dengan itu, yakni menyerahkan sesuatu dan mengambil
penggantinya.
Oleh karena itu, jual beli memerlukan adanya seorang pemilik sesuatu yang
disebut penjual, ataupun kata lainnya yang serupa dengan makna penjual. Jual beli juga
memerlukan adanya seorang pemilik uang yang disebut pembeli, ataupun kata lainnya
yang serupa dengan makna pembeli. Jual beli juga memerlukan adanya suatu barang
berharga yang disebut barang dagangan, ataupun yang sejenisnya, yang ingin ditukar
dengan sejumlah uang. Jual beli juga memerlukan adanya sejumlah uang yang disebut
dengan harga ataupun yang sejenisnya, yang ingin ditukar dengan suatu barang
tertentu.
Dengan demikian, maka rukun jual beli itu ada empat perkara: yaitu, penjual,
pembeli, harga (uang), dan benda (barang) yang dihargai.[8]
2. Kewajiban Mendatangkan Saksi dalam segala bentuk Transaksi
َّ ‫ق‬
َ‫ّللا‬ ِ َّ ‫ضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِي اؤْ ت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬ُ ‫ضةٌ فَإ ِ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬ َ ‫َان َم ْقبُو‬ٌ ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َِجد ُوا َكاتِبًا فَ ِره‬ َ ‫علَى‬ َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
﴾٢٨٣﴿ ‫ع ِلي ٌم‬ ُ
َ َ‫ّللاُ ِب َما ت َ ْع َملون‬ ْ
َّ ‫ش َهادَة َ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْم َها فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَلبُهُ َو‬
َّ ‫َربَّهُ َو َال ت َ ْكت ُ ُموا ال‬
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena
barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah/1: 283)
Ayat ini menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara
tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan
menuliskannya.
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan
tidak ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang
tanggungan (agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang. Kecuali
jika masing-masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, maka
muamalah itu boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan.[9]
Firman Allah SWT., ٌ‫ضة‬ َ ‫َان َم ْقبُو‬
ٌ ‫“فَ ِره‬Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).” Abu Umar dan Ibnu Katsir membacanya: faruhunun
(menggunakan harakat dhammah pada huruf ra’ dan ha’).
Ath-Thabari mengatakan: sebagian kalangan berpendapat bahwa kata ‫ره ٌُن‬adalah ُ
bentuk jamak dari ‫رهان‬, dan kata ‫رهان‬ini adalah bentuk jamak dari‫ر ْه ٌن‬. َ Dengan demikian
maka kata ‫ره ٌُن‬adalah
ُ bentuk jamak dari sebuah kata jamak.
Makna dari kata ‫(ر ْه ٌن‬barang
َ gadaian) menurut para ulama adalah: penyerahan
suatu benda yang dimiliki oleh orang yang berutang sebagai jaminan, agar benda
tersebut dapat dimanfaatkan ketika ada alasan tertentu dari orang yang berutang hingga
ia tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Begitulah makna yang disampaikan oleh
para ulama. Sedangkan dalam etimologi bahasa, kata ‫ر ْه ٌن‬ini َ artinya adalah: selalu dan
terus menerus.
Ibnu Athiyah mengatakan: Ada juga yang mengatakan bahwa makna
kata ‫ر ْه ٌن‬adalah
َ ْ ُ‫ أ َ ْرهَنَ ي ُْر ِهن‬. Sedangkan Abu
jaminan itu sendiri. Kata asalnya adalahً ‫ارهاَنا‬
Ali berpendapat bahwa َ‫أَ ْرهَن‬sebagai akar kata ‫ر ْه ٌن‬digunakan
َ untuk jual beli dan utang
piutang biasa adalah ‫ر ْهن‬. Berbeda lagi dengan pendapat Abu Zaid yang mengatakan
bahwa kata ‫أ ُ ْرهِن‬justru digunakan khusus pada barang yang mahal dan mewah.
Sedangkan Az-Zujaj berpendapat bahwa kedua kata ini dapat digunkan pada makna
yang sama. Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Al A’rabi dan Al Akhfasy.
Lalu Ibnu Athiyah mengatakan: para ulama bahasa sepakat bahwa
kata ‫الر ْهن‬digunaka untuk jual beli dan utang piutang. Selanjutnya mashdar ini
disebutkan untuk barang yang telah dibayarkan.
Abu Ali mengatakan: Karena menurut bahasa kata ‫الر ْهن‬itu berarti tetap dan terus
menerus, maka dari sini para ulama fikih mengambil kesimpulan bahwa jika barang
yang digadaikan telah berpindah dari tangan murtahin (orang yang menerima barang
gadaian itu) ke tangan rahin (orang yang menggadaikan) dengan bentuk apapun juga.
Al-Qurthubi berkata: inilah yang paling diunggulkan dalam madzhab kami, yaitu
bahwa ketika barang gadaian itu dipulangkan kepada rahin dengan kemauan si
murtahin sendiri, maka pegadaian pun telah terhenti sampai disitu.
Pendapat ini juga diamini oleh Abu Hanifah, namun ia menambahkan: Jika orang
tersebut memulangkan barangnya dengan niat meminjamkan atau menitipkan maka
pegadaian masih terus berjalan.[10]

3. Takaran dan Timbangan


‫سا ِإ َّال ُو ْس َع َها‬
ً ‫ف نَ ْف‬ ِ ‫شدَّهُ َوأ َ ْوفُوا ْال َك ْي َل َو ْال ِميزَ انَ ِب ْال ِقس‬
ُ ‫ْط َال نُ َك ِل‬ ُ َ ‫س ُن َحتَّى يَ ْبلُ َغ أ‬ َ ْ‫ِي أَح‬َ ‫َو َال ت َ ْق َربُوا َما َل ْال َيتِ ِيم ِإ َّال ِبالَّتِي ه‬
﴾١٥٢﴿ َ‫صا ُك ْم بِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرون‬ َّ ‫ّللاِ أ َ ْوفُوا ذَ ِل ُك ْم َو‬َّ ‫َو ِإذَا قُ ْلت ُ ْم فَا ْع ِدلُوا َولَ ْو َكانَ ذَا قُ ْر َبى َو ِب َع ْه ِد‬
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara,
bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” Al-An’am/6: 152
Ayat di atas menggunakan bentuk perintah – bukan larangan – menyangkut
takaran dan timbangan (‫ْط‬ ِ ‫ ) َوأ َ ْوفُوا ْال َك ْي َل َو ْال ِميزَ انَ ِب ْال ِقس‬wa aufu al-kaila wa al-mizana bi al-qisth/
dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.Ini menurut Thahir Ibn ‘Asyur
untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna
timbangan dan takaran, sebagaimana dipahami dari kata (‫ )أ َ ْوفُوا‬aufu yang berarti
sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekadar pada upaya tidak mengurangi,
tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat-alat ukur masih sangat
sederhana. Kurma dan anggur pun mereka ukur bukan dengan timbangan dan takaran.
Hanya emas dan perak yang mereka timbang. Perintah menyempurnakan ini juga
mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang
merupakan salah satu yang mereka akui dan banggakan sebagai sifat terpuji. Seakan-
akan ayat ini – tulis Ibn ‘Asyur – mengatakan pada mereka: “Dimanakah kedermawanan
kalian yang kalian berlomba untuk menampakkkannya. Bukankah sebaiknya sifat terpuji
itu kalian nampakkan pada saat menakar dan menimbang, sehingga kalian
melebihkannya dari sekadar berlaku adil, bukan justru mengurangi dan mencurinya.
ِ ‫ ) ْال ِقس‬al-qisth mengandung makna rasa senang kedua pihak yang
Kata (‫ْط‬
bertransaksi, karena itu ia bukan sekadar berarti adil, apalagi jika ada keadilan yang tidak
dapat menyenangkan salah satu pihak. Yang menganiaya tidak akan senang menerima,
walau sanksi yang adil. Qisthbukan hanya adil, tetapi sekaligus menjadikan kedua belah
pihak senang dan rela. Timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua pihak,
karena itu ayat di atas di samping memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan
timbangan, juga memerintahkan penyempurnaan itu bi al-qisth, bukan sekadar bi al-‘adl/
dengan adil.
Perintah menyempurnakan takaran disusul dengan kalimat: Kami tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya. Ini dikemukakan untuk
mengingatkan bahwa memang dalam kehidupam sehari-hari tidak mudah mengukur
apalagi menimbang, yang benar-benar mencapai adar adil yang pasti, tetapi kendati
demikian, penimbang dan penakar hendaknya berhati-hati dan senantiasa melakukan
penimbangan dan penakaran itu semampu mungkin. Bahwa ayat ini merupakan
perintah kepada penjual atau pemberi barang, karena pembeli atau penerima tidak selalu
awas, apalagi saat disertai keinginan yang besar untuk memperoleh barang itu. Juga
karena takaran dan timbangan itu biasanya berada ditangan pemberi barang bukan
penerima atau pembelinya.
Perintah memenuhi (‫‘ )عهد هللا‬ahd Allah/ janji Allah. Rangkaian kedua kata ini dapat
berarti apa yang ditetapkan oleh Allah atas kamu menyangkut perjanjian, yang dalam
hal ini adalah syariat agama; bisa juga dalam arti apa yang kamu telah janjikan kepada
Allah untuk melakukannya dan yang telah kamu akui, atau bisa jadi juga ia berarti
perjanjian yang Allah perintahkan untuk dipelihara dan dipenuhi. Kesemua makna ini
benar lagi diperintahkan Allah SWT. dan juga dapat ditampung oleh redaksi tersebut.
Bahwa ia dinamai perjanjian Allah, karena perjanjian itu disaksikan oleh Allah lagi
biasanya disepakati atas nama Allah SWT.[11]

IV. KESIMPULAN
Pengertian “Jual beli” menurut bahasanya, ialah suatu bentuk akad penyerahan
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual beli
yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas
dasar ijin syara’, atau sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’.
Dalam al-Qur’an terdapat kata (‫ )تجارة‬tijarah dan (‫ )بيع‬bai’. Keduanya biasa
diterjemahkan jual beli. Sementara ulama memahami kata (‫ )تجارة‬tijarah dalam
artimembeli dan (‫ )بيع‬bai’ dalam arti menjual. Ada juga yang membedakannya dengan
menyatakan bahwa kata bai’ biasa digunakan untuk menggambarkan telah terjadinya
transaksi dan diperolehnya keuntungan, sedangkan kata tijarah menggambarkan profesi
jual beli. Dengan demikian seseorang yang tidak dilengahkan oleh tijarah belum tentu ia
tidak dilengahkan oleh bai’.

Jual Beli Dalam Pandangan Islam


Oleh: Muhammad Imaduddin*

Dalam Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 275, Allah menegaskan bahwa: “...Allah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba...”. Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya
pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli (trade) adalah bentuk
dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya
transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan
barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah
sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Jual Beli
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara
terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.

Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan
membeli yaitu menerimanya.

Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa jual beli adalah suatu akad
yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli.
b. Dasar Hukum
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

c. Klasifikasi Jual Beli


Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun
pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan Objeknya

Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
 Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
 Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang.

Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang.


2. Berdasarkan Standardisasi Harga
a) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak
memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang
dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis:
1. Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
2. Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang
diketahui.
3. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal,
tanpa keuntungan atau kerugian.
2. Jual Beli dalam Pandangan Islam
Dalam ajaran Islam terdapat berbagai aturan terkait Muamalah atau Jual - Beli , bahkan ada
empat macam yang digolongkan sebagai jual - beli yang 'terlarang' dalam Islam yakni :
terlarang sebab ahliah, terlarang dari shigat, terlerang sebab ma’qud ‘alaih, dan terlarang
sebab syara’.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai empat macam jual - beli yang terlarang , antara lain :

1. Terlarang sebab ahliah (ahli akad)

Ulama’ sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang
baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu bertasharruf secara bebas dan baik. Mereka
yang dipandang tidak sah jual beli belinya adalah sebagai berikut.

a. Jual beli orang gila


Ulama’ fiqih sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti
orang mabuk.
b. Jual beli anak kecil
Ulama’ fiqih juga sepakat bahwa jual belinya anaka kecil (belum mumayyiz) dipandang
tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama’
Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah karena tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama’ Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah jual belinya anak kecil
dipandang sah jika diizinkan oleh walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara
untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keluasan unuk jual beli.

c. Jual beli orang buta


Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur ulama’ jika barang yang
dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama’ syafi’iyah, jual
beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang
baik.

d. Jual beli terpaksa


Menurut ulama’ Hanafiyah, jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa
seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahan
ditangguhkan sampain rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama’ Malikiyah, tidak lazim
baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanbaliyah jual beli tersebut
tidak sah. Sebab tidak ada keridhoan ketika akad.

e. Jual beli fudhul


Adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama’ Hanafiyah dan
Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya. Adapun menurut Hanbaliyah
dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.

f. Jual beli orang yang terhalang


Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut, dan sakit. Menurut
jumhur ulama’ selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang mendekati kematian hanya
dibolehkan sepertiga dari hartanya, dan bila ingin lebih dari sepertiga jual beli tersebut
ditangguhakan kepada izin ahli waris. Menurut ulama’ Malikiyah seperti dari hartanya
hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah, dll.

g. Jual beli malja’


Yaitu jual beli orang yang sedang dalam keadaan bahaya, yakni untuk menghindar dari
perbuatan zhalim. Jual beli tersebut fasid menurut ulama’ Hanafiyah dan batal menurut
Hanbaliyah.

Pada poin a , b , dan c diatas saya rasa jelas untuk melarangnya , bahkan dalam konstitusi
HAM tindakan trafficking atau perdagangan manusia itu dilarang . Namun konteks poin a,b,
dan c diatas pada zaman Jahiliyah yang masih mengenal sistem jual -beli budak .

Untuk poin d , e , dan f adalah jual - beli yang dilakukan orang lain terhadap barang orang
lain . Hal ini terkait jual - beli yang seringkali terjadi bila kita masih menganggap
mempunyai ikatan darah dengan pemilik barang , dan kita boleh untuk menjualnya. Saya
menganggap pemikiran tersebut salah , hal ini jelas dilarang karena walaupun kita
mempunyai hubungan darah misalnya saja barang milik Ibu kita menjualnya maka hasil
dari penjualan tersebut bila tanpa seizin yang bersangkutan hukumnya haram.

Sedangkan poin g lebih mengena pada orang yang sedang di timpa masalah hutang ,
seringkali bahkan orang ini menjual barang - barangnya untuk membayar hutang . Tapi
masih diperdebatkan bagaimana status barang yang kita beli dari orang yang menjualnya
karena terpaksa apakah halal atau haram.

2. Terlarang dari shigat

Ulama’ fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridloan diantara
pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab qabul, berada diantara satu
tempat dan tidak berpisah oleh suatu pemisah.

Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Berikut ini
beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama’.

a. Jual beli Mu’athah


Yaitu jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun
harganya, tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama’ menyatakan shahih apabila ada
ijab qabul dari salah satunya. Begitupula dibolehkannya ijab qabul dengan isyarat,
perbuatan atau cara lain yang menunjukkan keridloan. Memberikan barang dan menerima
uang dipandang sebagai shigat dengan perbuatan atau isyarat.

b. Jual beli melalui surat atau utusan


Jual beli melalui surat atau utusan adalah sah apabila. Adapun tempat berakadnya adalah
sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi
tempat akad dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.

c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan


Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khsususnya bagi yang uzur sebab
sama dengan ucapan. Selain itu isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam aqid. Apabila
isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.

d. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad


Ulama’ fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah
tidak sah sebab tidak memenuhi syarat akad.

e. Jual beli bersesuaian antara ijab dan qabul


Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama’. Akan tetapi jika lebih baik seperti
meninggikan harta, ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama’ Syafi’iyah
menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli Munjiz
Yaitu jual beli yang dikaitkan dengan syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan
datang. Jual beli ini dipandang fasid menurut ulama’ Hanafiyah, dan batal menurut jumhur
ulama’.

3. Terlarang sebab Ma’qud ‘alaih (barang jualan)

Secara umum ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang
berakad, yang biasanya disebut mabi’ (barang jualan) dan harga. Ulama’ fiqih sepakat
bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau
bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak
bersangkutan dengan miliki orang lain, dan tidak ada larangan dari syariat.

Diantara jual beli terlarang sebab ma’qud alaih antara lain sebagai berikut :

a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada Jumhur ulama’ sepakat
bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.

b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, Contohnya menjual burung yang ada
diudara, dan ikan yang ada di air. Semua ini tidak berdasarkan syariat.

c. Jual beli gharar, Yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran. Menurut Ibnu Jazi
Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 macam:

1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan
induknya.
2. Tidak diketahui harga dan barang.
3. Tidak diketahui sifat barang dan harganya
4. Tidak diketahui ukuran barang dan harga
5. Tidak diketahui masa yang akan datang, misalnya ungkapan “Saya jual barang ini
kepadamu, jika Zaid datang”.
6. Menghargakan 2 kali pada satu barang
7. Menjual barang yang dihargakan selamat
8. Jual beli Husha’, misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib
membeli.
9. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar melempar. Seperti seorang
melempar bajunya, kemudian yang lain pun melempar bajunya, maka jadilah jual beli.
10. Jual beli mulasamah, yaitu apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.
d. Jual beli barang yang na’jis atau terkena na’jis
Ulama’ sepakat tentang larangan jual beli barang yang na’jis seperti khamar. Akan tetapi,
mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena na’jis yang tidk mungkin
dihilangkan. Seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama’ Hanafiyah membolehkan
untuk barang yang tidak dimakan, dan ulama’ Malikiyah membolehkannya setelah
dibersihkan.

e. Jual beli air


Disepakati oleh jumhur ulama’ empat bahwa dibolehkan jual beli air yang dimiliki seperti
air sumur atau air yang disimpan ditempat pemiliknya. Sebaliknya ulama’ Zhahiriyah
melarang secara mutlak.

f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Ketidak jelasan nya dapat disebabkan karena
barang yang dijual itu belum sempurna milikinya.

g. Jual beli sesuatu yang belum dipegang


Ulama’ Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang,
tetapi untuk barang yang tetap diperbolehkan. Ulama’ Syafi’iyah melarang secara mutlak.
Malikiyah melarang atas makanan dan Hanbaliyah atas makanan yang diukur.

h. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan


Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum
matang, akadnya fasid dan batal menurut jumhur ulama’.

4. Terlarang sebab syara’

- Jual beli riba, Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama’ Hanafiyah, tetapi
batal menurut jumhur ulama’
- Jual beli barang dari uang yang diharamkan
- Jual beli barang dari hasil pencegatan barang, yakni mencegat pedagang dalam perjalanan
menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan memperoleh
keuntungan. Ulama’ Malikiyah berpendapat jual beli seperti itu fasid.
- Jual beli waktu adanya azan jum’at, yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan
shalat jum’at.
- Jual beli anggur untuk dijadikan khamar. Menurut ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah
zahirnya shahih, tetapi makruh. Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanbaliyah
adalah batal.
- Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil. Hal ini dilarang sampai anaknya besar dan
dapat mandiri.
- Jual beli barang yang sedang dibeli orang lain. Seseorang telah sepakat akan membeli
suatu barang, namun masih dalam khiyar. Kemudian datang orang lain yang menyuruh
untuk membatalkan sebab ia akan membelinya dengan harga yang tinggi.
- Jual beli dengan syarat. Menurut ulama Hanafiyah sah jika isyarat tersebut baik. Seperti
ungkapan “ Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu”.
Begitu pula dengan Malikiyah dan Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah
satu pihak yang melangsungkan akad. Sebaliknya menurut Hanbaliyah tidak dibolehkan
jika hanya bermanfaat bagi salah satu pihak yang melakukan akad.

Tentunya setelah membaca artikel tentang Jual - Beli yang terlarang dalam Islam kita dapat
menghindari hal - hal tersebut , walaupun kita sudah pernah melakukannya hal itu
dikarenakan ketidaktahuan kita atas perihal tersebut . Demikian dari pembahasan kami
semoga berguna bagi anda , dan tetap ber-muamalah dengan jujur.
AYAT YANG MENJELASKAN TENTANG JUAL BELI
1. Nash Ayat

Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 yang berbunyi :

‫ّللاُ ْالبَ ْي َع‬ ِّ ِ ‫س َذلِكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬
َّ ‫الربَا َوأَ َح َّل‬ ِّ ِ ‫طانُ ِمنَ ْال َم‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫طهُ ال‬ُ َّ‫الربَا الَ يَقُو ُمونَ ِإالَ َك َما يَقُو ُم ا َّلذِي يَت َ َخب‬ ِّ ِ َ‫ا َّلذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
َ‫ار ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ ِ َّ‫ص َحابُ الن‬ ْ َ ‫عا َد فَأُولَئِكَ أ‬ َ ‫ّللا َو َم ْن‬ ِ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُره ُ إِلَى‬ َ ‫ظةٌ ِم ْن َربِِّ ِه فَا ْنت َ َهى فَلَه ُ َما‬
َ َ‫سل‬ َ ‫الربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬
ِّ ِ ‫(و َح َّر َم‬27
َ
5)‫ّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل َكفَّار أَ ِثيم‬ ‫و‬
َّ َ ِ َ َّ‫ت‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ُر‬ ‫ي‬‫و‬ ‫ا‬ ‫ب‬‫الر‬
ِ ْ َ َ ِّ ِ ُ َّ َ ْ َ‫ّللا‬ ُ
‫ق‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ي‬(276) ‫ا‬‫ء‬ ‫و‬
َ َ َّ َ ‫ة‬َ ‫ال‬‫ص‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫م‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫أ‬ ‫و‬
ُ َ ِ َ ِ َّ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ح‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ُ ‫ل‬ ‫م‬‫ع‬ ‫و‬
َِ َ ‫وا‬ ُ ‫ن‬‫م‬َ َ َ‫ِإ َّن الَّ ِين‬
‫ا‬ ‫ء‬ ‫ذ‬
َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوالَ ُه ْم يَحْ زَ نُون‬ ٌ ‫الزكَاة َ لَ ُه ْم أَجْ ُر ُه ْم ِع ْن َد َربِِّ ِه ْم َوالَ خ َْو‬ َّ ‫(ت َُوا‬277)‫الربَا ِإ ْن‬ ِّ ِ َ‫ي ِمن‬ َ ‫ّللا َوذَ ُروا َما بَ ِق‬َ َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا‬
ُ ُ
َ‫( ك ْنت ْم ُمؤْ ِمنِين‬278)
Artinya :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275)

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang


dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278)

2. Sebab turunnya ayat

Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa
semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan
dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab
ibn Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar
adalah orang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah sejak zaman
jahiliyah dan Bani Mughiroh senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka
memiliki kekayaan yang banyak. Karennya, datanglah Bani Amer untuk menagih hutang dengan
tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada Gubernur
‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah
Saw lalu menulis surat balasan yang isinya “ Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas
maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada
mereka.

Ayat Ayat yang menjelaskan tentang Jual Beli


4Ó®Lym ß`|¡ômr& }‘Ïd ÓÉL©9$$Î/ žwÎ) ÉOŠÏKuŠø9$# tA$tB (#qç/t•ø)s? Ÿwur
ÅÝó¡É)ø9$$ tb#u”•ÏJø9$#ur Ÿ@ø‹x6ø9$# (#qèù÷rr&ur ( ¼çn£‰ä©r& x÷è=ö7tƒ
(#qä9ωôã$$sù óOçFù=è% #sŒÎ)ur ( $ygyèó™ãr žwÎ) $²¡øÿtR ß#Ïk=s3çR Ÿw ( Î/
Nä38¢¹u öNà6Ï9ºsŒ 4 (#qèù÷rr& «!$# ωôgyèÎ/ur ( 4’n1ö•è% #sŒ tb%Ÿ2 öqs9ur
ÇÊÎËÈ šcrã•©.x‹s? ÷/ä3ª=yès9 ¾ÏmÎ/ r
152. dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia
adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
ingat.

[519] Maksudnya mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat sendiri.


[520] Maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.
ÇÊÑÊÈ z`ƒÎŽÅ£÷‚ßJø9$# z`ÏB (#qçRqä3s? Ÿwur Ÿ@ø‹s3ø9$# (#qèù÷rr& *
181. sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan;
ÇÊÑËÈ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ (#qçRΗur
182. dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.
ÇÑÈ Èb#u”•ÏJø9$# ’Îû (#öqtóôÜs? žwr&
8. supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
!#sŒÎ*sù 4 öNà6În/§‘ `ÏiB WxôÒsù (#qäótGö;s? br& îy$oYã_ öNà6ø‹n=tã }§øŠs9
ÏQ#t• Ì•yèô±yJø9$# y‰YÏã ©!$# (#rã•à2øŒ$$sù ;M»sùt•tã ïÆÏiB OçFôÒsùr&
z`ÏJs9 ¾Ï&Î#ö7s% `ÏiB OçFZà2 bÎ)ur öNà61y‰yd $yJx. çnrã•à2øŒ$#ur ( ysø9$#
ÇÊÒÑÈ tû,Îk!!$žÒ9$#
198. tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah
bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-
orang yang sesat.
[125] Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami
Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila
melakukan perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
ç ”Ï%©!$# ãPqà)tƒ $yJx. žwÎ) tbqãBqà)tƒ Ÿw (#4qt/Ìh•9$# tbqè=à2ù'tƒ šúïÏ%©!$#
$yJ (#þqä9$s% öNßg¯Rr'Î/ y7Ï9ºsŒ 4 Äb§yJø9$# z`ÏB ß`»sÜø‹¤±9$# mäܬ6y‚tFtƒ
(# tP§•ymur yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨@ymr&ur 3 (#4qt/Ìh•9$# ã@÷WÏB ßìø‹t7ø9$# ¯RÎ)
$t ¼ã&s#sù 4‘ygtFR$$sù ¾ÏmÎn/§‘ `ÏiB ×psàÏãöqtB ¼çnuä!%y` `yJsù 4 4qt/Ìh•9$#
Í‘$ Ü=»ysô¹r& y7Í´¯»s9'ré'sù yŠ$tã ïÆtBur ( «!$# ’n<Î) ÿ¼çnã•øBr&ur y#n=y™ B
šcrà$Î#»yzÇËÐÎÈ $pkŽÏù öNèd ( ¨Z9$#
275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.

[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang
yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan
padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum
syara` yakni menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh
berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui
bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)

2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim dari Rifa`ah ibn Rafi`)
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi,
dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul
Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu
turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-
Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum
berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan
syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan
mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang
lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan
kewajiban ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu`ah 62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum’at, maka kaum muslimin
wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau
melakukan perbuatan haram.
Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma`idah 5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi
tertentu seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga
melonjak naik.

- See more at: http://kmplnmakalah.blogspot.co.id/2012/10/makalah-tafsir-jual-


beli.html#sthash.ydzfTDMI.dpufMacam-Macam Jual Beli yang Dilarang dan yang Sah

“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah sebagian dari kamu memakan (mengambil) harta
milik sebagian di antaramu dengan cara yang tidak benar (batil), kecuali jika dengan jalan
perniagaan yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak diantara kamu. Janganlah
kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Kekal rahmat-Nya.”( An-Nisa' : 29 )
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan
menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut
bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang,
dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah
pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (‫ )جواز‬atau (‫)مباح‬, sesuai dengan firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 275:
(#4qt/Ìh•9$# tP§•ymur yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨@ymr&ur
”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dan hadist Nabi yang berasal dari Ruf’ah bin Rafi’ menurut riwayat al-Bazar yang disahkan oleh
al-Hakim:
‫أن النبى صلى هللا عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور‬
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi
berkata: “Usaha seseorang dengan tangannya dan jual beli yang mabrur”.
Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :
1. Jual beli salam (pesanan)
Yaitu jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar
belakangan.
2. Jual beli Muqayyadah (barter)
Yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang.
3. Jual beli Muthlaq
Yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran.
4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti
uang perak dengan uang emas.[1]

"Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat berdiri malainkan seperti
berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh
sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkn karena mereka berkata 'jual beli
tidak lain kecuali sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Maka barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari tuhannya
(menyangkut riba), lalu berhenti (dari praktik riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (kembali) kepada allah. Adapun yang kembali
(bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya"(Q.S. Al-Baqarah : 275)
Dalam ayat ini tidak hanya melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya,
bahkan mengancam mereka. Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam
bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan
seperti berdrinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh
sentuhan(nya).
Tidak menutup kemungkinan mamahaminya sekarang dalam kehidupan dunia.Mereka
yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan
berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan
penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini. Kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih
yang mempraktikkan riba. Di sana mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan
aktivitas yang tidak rasional mereka lakukan.
Bagaimana dengan perumpamaan yang dilukiskan sebagai sentuhan setan terhadap
mereka ?Ada dua ulama yang memahami ayat ini sebagai berbicara tentang manusia yang
kesurupan sambil menguatkan pandangannya dengan berbagai ayat dan hadits yang intinnya
menyatakan bahwa ada setan yang selalu mendampingi manusia.
Tidakkah Anda pernah melihat kata mereka seseorang yang menjadi demikian kuat
berbicara dengan berbagai bahasa asing, tetapi dalam keadaan normalnya lemah dan tidak
mengerti, kecuali bahasa ibunya ? Apakah yang menjadikan dia mampu kalau bukan jin yang telah
merasuk kedalam tubuhnya ?
Ibn 'Abbas meriwayatkan bahwa seseorang wanita membawa anaknya kepada Rasulullah
saw seraya berkata, "Sesungguhnya putraku menderita gangguan ( gila ) yang menimpanya setiap
kami makan siang dan malam," maka Rasulullah saw mengusap dadanya, dan berdoa untuk
kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlah sesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah
ia" ( HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi)
Kalau air dan makanan dapat masuk kedalam tubuh manusia, sedang tingkat kehalusan jin,
apa yang menghalangi jin masuk ? Bukankah angin pun dapat masuk ke tubuh manusia ?Demikian
dalil atau dalih mereka yang memahami ayat dan hadits-hadits di atas dalam arti hakiki.[2]
Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama tidak membedakan
antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama, hukum jual-beli terbagi menjadi
dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid.
Jual beli yang diharamkan dalam islam adalah sebagai berikut :
1. Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang lain.
2. Menjual minuman keras dan yang sejenisnya (narkoba).
3. Menjual barang najis.
4. Gharar, yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidak pastian/spekulasi dan penipuan.
Diantaranya :
a. Hashat, jual beli tanah yang tidak jelas luasnya
b. Nitaj, jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil
c. Mulamasah dan Munabadzah
d. Muhaqolah dan Muzabanah
e. Mukhadarah
f. Habalil Habalah, jual beli anak unta yang masih dalam perut induknya
g. Talqi Jabal, petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota menjual dengan harga yang
ditetapkan sendiri
h. Hadir al-Ibad, monopoli dengan tujuan harga yang tinggi
i. Najsy, menjual barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan harga yang tinggi ketika
harga sudah naik.
j. Ikhtikar, penimbunanbaranghanyauntukmenaikkanhargadengansengaja.[3]
5. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan
6. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul)
7. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual
8. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar[4]
9. Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli
10. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain
11. Berjualan ketika adzan jumat dikumandangkan
12. Berdagang alat-alat musik dan hiburan[5]

B. Asas-Asas Jual Beli


Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang
ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun kerjasama
di bidang pertanian dan perdagangan.
Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3, halaman 246 dijelaskan bahwa dalam setiap
transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara'(hukum islam), yaitu :
1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi. Kecuali apabila
transaksi itu menyimpang dari hukum syara' misalnya adalah memperdagangkan barang haram.
Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh
saling mengkhianati. (Dalam Q.S. Al-Ma'idah, 5: 1)

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya “.
2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh dengan tanggung
jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan santun.
3. Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. (Dalam Q.S.
An-Nisa' 4: 29)
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi denagn niat yang baik dan ikhlas karena Allah
SWT, shingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW
menyebutkan bahwa:
“Aku (Raslullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.”(H.R Muslim)
5. 'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara' boleh digunakan untuk
menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam akad sewa-menyewa
rumah. Menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab
penyewa. Maka dari itu,pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa untuk memperbaiki
rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah sama-
sama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya.[6]

C. Etika Jual Beli

“jika mereka merusak (melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat serta mencela
(menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu. Sebenarnya
mereka itu tidak ada harganya (nilainya). Semoga mereka berhenti dari kekafiran” (Q.S At-
Taubah : 12)
Jika mereka merusak atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian Hudaibiah), yang telah
dibuatnya, mencela dan memperolok-olok agamamu, serta menghambat manusia mengikuti jalan
Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar kembali insaf. Merekalah gembong-gembong kufur
dan pemimpin-pemimpinnya.
Mereka memang telah mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi seperti apa yang
telah dilakukan oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga karenanya mereka menjadi
bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak ada harganya. Sebab perjanjian itu
bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud menepatinya. Perangilah mereka dengan
pengharapan supaya menghentikan kekafirannya, dan tidak lagi suka melanggar perjanjian, ini
memberi pengertian bahwa memerangi mereka bukanlah atas dasar mengikuti hawa nafsu atau
untuk mencari keuntungan dunia.[7]
Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu dia berkata:
َ َ‫ت أ‬
‫صا ِبعُهُ َبلَ ًال فَقَا َل َما‬ ْ َ‫ط َع ٍام فَأ َ ْد َخ َل َيدَهُ ِفي َها فَنَال‬َ ‫صب َْر ِة‬ُ ‫علَى‬ َ ‫سلَّ َم َم َّر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ ‫سو َل‬
َ ِ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َّ ‫اس َم ْن غ‬
‫َش‬ َّ َ‫ّللاِ قَا َل أَفَ َال َج َع ْلتَهُ فَ ْوق‬
ُ َّ‫الط َع ِام َك ْي َي َراهُ الن‬ َّ ‫سو َل‬ َّ ‫صابَتْهُ ال‬
ُ ‫س َما ُء َيا َر‬ َ َ ‫الط َع ِام قَا َل أ‬
َّ ‫ب‬َ ‫اح‬ِ ‫ص‬َ ‫َهذَا َيا‬
‫ْس ِم ِني‬َ ‫فَلَي‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan
tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah.Maka beliaupun
bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai
Rasulullah.”Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat
melihatnya?!Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.”(HR. Muslim no. 102)
Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu dari Nabi Shallallu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
‫ُوركَ لَ ُه َما فِي بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َكذَبَا َو َكت َ َما ُم ِحقَ بَ َر َكةُ بَ ْي ِع ِه َم‬ ِ َ‫ان بِ ْال ِخي‬
َ ‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا فَإ ِ ْن‬
ِ ‫صدَقَا َوبَيَّنَا ب‬ ِ َ‫ْالبَيِع‬
“Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah.
Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli. Tapi
jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan
dihapus.”(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532)
Abu Hurairah radhiallahu‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
‫ف ُمن َِفقَةٌ ِللس ِْل َع ِة ُم ْم ِحقَةٌ ِل ْلبَ َر َك ِة‬
ُ ‫ْال َح ِل‬
“Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa menghilangkan
berkahnya”.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
‫ف فِي ْالبَيْعِ فَإِنَّهُ يُن َِف ُق ث ُ َّم يَ ْم َح ُق‬
ِ ‫ِإيَّا ُك ْم َو َكثْ َرة َ ْال َح ِل‬
“Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat
melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).”(HR. Muslim no. 1607)
Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an dan As-
Sunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya saja, di dalam Islam setiap profesi yang
dibenarkan untuk ditempuh tujuannya bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih
kekayaan. Akan tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari
hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan tetapi dinilai dari
kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia belanjakan.
Karenanya, dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika diantaranya:
1. Tidak boleh curang dalam jual beli.
2. Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli.
3. Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia jual.
4. Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan tujuan melariskan
dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual beli atau pada hal-hal sepele
menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada Allah.
5. Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan dagangannya. [8]
D. Akad Transaksi dalam Etika Jual Beli
“Hai orang-orang yang beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah kamu lakukan.
Telah dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri
dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (akan deterangkan satu persatu) tentang
keharamannya pada waktu kamu tidak hala berburu dan kamu dalam keadaan ihram.
Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang dikehendaki”(Q.S Al-Maidah : 1)
Sempurnakanlah berbagai bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan dengan
Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia. Baik
berupa perintah maupun larangan syara’ atau akad diantara kamu, seperti jual beli dan pernikahan.
Dasar semua akad dalam islam adalah firman “aufu bil ‘uqudi” yang artinya
sempurnakanlah semua rupa akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan akad dan
menepati janji, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang penting, akad tidak
berlawanan dengan kehendak syara’.[9]
Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau
lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam
Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang yang
menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha
mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin.
Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap
orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya
berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin dengannya. Syari’at Islam pada prinsipnya
membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini.
Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang,
penggarapan tanah (musaqaah), dll.
Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan
kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari keuntungan non materi.
Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau
sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada
orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan
yang ia berikan.
Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syari’at Islam tidak membenarkan
bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.
‫ار أَثِ ٍيم‬
ٍ َّ‫ت َوّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ َّ ‫يَ ْم َح ُق ّللاُ ْال ِربَا َوي ُْربِي ال‬
ِ ‫صدَقَا‬
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al-Baqarah: 276)
Pada ayat ini Allah Ta’ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan
dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat
bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila
kita mencermati ayat-ayat selanjunya:
‫سو ِل ِه َوإِن ت ُ ْبت ُ ْم‬
ُ ‫ب ِمنَ ّللاِ َو َر‬ ٍ ‫ فَإِن لَّ ْم ت َ ْف َعلُواْ فَأْذَنُواْ ِب َح ْر‬. َ‫الربَا ِإن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِين‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ اتَّقُواْ ّللاَ َوذَ ُرواْ َما بَ ِق‬
ِ َ‫ي ِمن‬
‫صدَّقُواْ َخي ٌْر لَّ ُك ْم‬
َ َ ‫س َرةٍ َوأَن ت‬ َ ‫عس َْرةٍ فَن َِظ َرة ٌ ِإلَى َم ْي‬ ْ ُ ‫وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم الَ ت َْظ ِل ُمونَ َوالَ ت‬
ُ ‫ َو ِإن َكانَ ذُو‬. َ‫ظلَ ُمون‬ ُ ُ‫فَلَ ُك ْم ُرؤ‬
‫ِإن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬
“Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan
jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 278-280)
Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih:
‫كل قرض جر نفعا فهو ربا‬
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan, peminjaman,
shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll.
Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian,
akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi
piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila
kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah
memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas.
Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada
seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.
‫ وصححه الحافظ واْللباني‬،‫ رواه أحمد والدارقطني والبيهقي‬.‫ال يحل مال امرئ مسلم إال بطيب نفس منه‬
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (Riwayat
Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany)
Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika
akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan dengan
pembayaran dihutang. (Baca Majmu’ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244)
Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah
satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A
mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba,
dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang
digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan
harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun.
Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A
untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia
memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah
riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas.
Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan
(kafalah), persaksian (syahadah) dll.[10]
E. Hadits Tentang Larangan jual beli Mulamasah, Mudzabanah, dan Muhakolah

‫ نهى رسول هللا ص م عن المالمسة والمنابداة فى البيع و المالمسة لمس الرجل ثوب‬: ‫و عن ابى سعيد قال‬
‫االخر بيده باليل او بالنهار وال يقلبه و المنابدة ان ينبد الرجل الى الرجل بثوبه وينبد االخر بثوبه ويكون دلك‬
‫بيعهما من غير فظر وال تراض‬
“Rasulullah melarang jual beli barang secara mulamasah dan munabazah. Mulamasah, pembeli
hanya memegang kain (baik di siang maupun di malam hari) tanpa dibolak-balik terlebih dahulu.
Munabazah, penjual melemparkan kain kepada pembeli, dan kemudian kembali dilempar kepada
penjual. Penjualnya hanya didasarkan atas saling percaya”. (HR. Al-Bukhary, Muslim; Al-
Muntqa II: 319).

“Rasulullahmelarangkitadarimuhaqalah (menjualbuah yang masihdalamtandannya),


mukhasarah (menjualbuah-buahan yang belumdapatdimakan), munabazah,
mulamasahdanmuzabanah (menjualbuah-buahandengankurmasecarasukatan)”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa cara penjualan muhaqalah, mukhalash, munabazah,


mulamasah dan mubazanah dilarang. Penjualan gharar (yang mengandung unsur tipuan), seperti
menjual ikan yang masih dalam kolam, menjual burung yang masih berada di angkasa. Hal ini
disepakati masuk kedalam bagian menjual barang yang belum ada, menjual sesuatu yang belum
diketahui, menjual budak yang belum dilihat dan setiap penjualan yang mungkin dapat menipu
pembeli.[11]

F. Jual Beli Ijon

‫ نهى البائع والمبتاع‬.‫عن ابى عمر ان النبى ص م نهى عن بيع التجارحتى يبدو صالحها‬
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan sebelum nyata baik (matang)nya.
Larangan tersebut berlaku terhadap sipenjual dan sipembeli”. (HR. Al-Jamaah selain At-
Turmudzy; Al-Muntaqa II:331)

‫ وقال ادا منع هللا الثمرة فبم تستحل‬."‫ وما تزهى ؟ قال "تحمر‬: ‫ قالوا‬.‫ ان النبى ص م نهى عن بيع الثمرة حتى تزهى‬,‫و عن انس‬
‫مال اخيك ؟‬
“Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan (korma) sehinggaberwarna merah.
Para sahabat bertanya tentang arti izhak, maka Nabi menjawab “berwarna merah”. Dan
Nabi bersabda pula :apabila Allah menimpakan bencanaatas buah itu,
maka dengan apa engkau menghalalkan harta saudaraengkau”. (HR. Al-Bukharydan Muslim;
Al-Muntaqa II: 331)
Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak boleh menjual buah-buahan sebelum nyata merahnya.
Karena apabila kemudian ternyata buah-buahan tersebut gagal menjadi buah (busuk) tentulah akan
menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli.
Dhahir hadis ini menyatakan bahwa menjual sesudah buahnya baik (matang) adalah sah. Baik
disyaratkan buah itu tetap dibatangnya sampai dipetiknya ataupun tidak. Larangan menjual sesuatu
dengan memakai syarat tidak dapat diterapkan disini. Bahkan hadits sendiri menandaskan bahwa
yang demikian itu boleh, jika disyaratkan oleh pembeli maupun penjual. Mengenai memperjual-
belikan tanaman yang sudah hijau, asal disyaratkan bahwa tanaman itu dipotong oleh pembeli
dibolehkan. Ibnu Hazm membolehkannya tanpa syarat, karena larangan hanya mengenai biji-
bijian seperti padi. Jelasnya,hadis ini melarang kita menjual biji seperti padi sebelum keras bijinya
dan menjual tungkul berwarna putih.[12]

G. Jual Beli Wafa'


1. Pengertian Jual Beli Wafa’
Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual
mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut
sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi
hak penjual, yakni mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya.
Dalam jual beli ini terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh
memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatkan yang benar. Ia bisa
menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual.
Jual beli ini juga mengandung hukum pegadaian.
2. Hukum dari jual beli wafa’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini.
Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena ia dibutuhkan.
Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat.
Diantara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehingga hukum-
hukum pegadaian berlaku didalamnya.
Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya
syarat saling mengembalikan.
Ada juga diantara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang
menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian.Namun tetap dianggap sebagai
jual beli yang disyariatkan karena kebutuhan.
Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya
adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara fasilitas
penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya.[13]

H. Jual Beli Ghoror


Jualbeli ghoror adalah jual-beli barang yang mengandung kesamaran. Hal
itu dilarang dalam Islam sebab Rosulullah bersabda:
‫ال تشترو االسمك فى الماء فاءنه غرور‬
“ janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli sepertui itu termasuk
gharar( menipu )” ( HR.Ahmad)
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam, yaitu :
1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungannya.
2. Tidak diketahui harga dan barang.
3. Tidak diketahui sifat barang atau harganya.
4. Tidak diketahui ukuran barang dan harganya.
5. Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “saya jual kepadamujika Zaed datang”.
6. Menghargakan dua kali pada satu barang.
7. Menjual barang yang diharapkan selamat.
8. Jual-beli husha’, misalnya pembeli memegang tongkat,
jikatongkatnya jatuh maka wajib membeli.
9. Jual-beli munabadzanah, yaitu jual-beli dengan cara lempar-melempari,
seperti seseorang melempar bajunya, maka jadilah jual-beli.
10. Jual-beli mulamasah apabila mengusap baju atau kain, maka wajibmembelinya.[14]
Hadits ke-1 Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang
dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih
menurut Hakim.

Hadits ke-2 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan
kota itu: "Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi dan
berhala." Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang
lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan
orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: "Tidak, ia
haram." Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka
(jual-beli) lemak bangkai mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka
memakan hasilnya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3 Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang yang berjual beli
berselisih, sedang di antara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan
yang benar ialah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan
transaksi." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-4 Dari Abu Mas'u al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang
pelacuran, dan upah pertenungan. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-5 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia menumpang
untanya yang sudah lemah dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata: Aku bertemu Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau berdoa untukku dan memukul untaku.
Kemudian unta itu berjalan tidak seperti biasanya. Lalu beliau bersabda: "Juallah ia
padaku dengan satu uqiyyah." Aku berkata: Tidak. Beliau bersabda lagi: "Juallah ia
padaku." Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun dengan syarat aku
membawanya dahulu pada keluargaku. Setelah aku melakukannya aku datang pada
beliau dengan unta itu dan beliau membayar harganya kepadaku. Kemudian aku
pulang dan beliau mengirim seseorang membuntutiku. Lalu beliau bersabda: "Apakah
engkau mengira aku menawarmu untuk mengambil untamu? Ambillah untamu dan
uangmu, ia hadiah untukmu." Muttafaq Alaihi. Susunan kalimat ini menurut riwayat
Muslim.

Hadits ke-6 Dia berkata: Seseorang di antara kami berwasiat memerdekakan seorang
budak miliknya setelah ia meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain
budak tersebut. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan
menjualnya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-7 Dari Maimunah istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ada seekor
tikus yang jatuh ke dalam samin (sejenis mentega), lalu mati. Kemudian hal itu
ditanyakan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau menjawab:
"Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah (samin yang tersisa)."
Riwayat Bukhari. Ahmad dan Nasa'i menambahkan: Dalam samin yang beku.

Hadits ke-8 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Apabila tikus jatuh ke dalam samin, maka buanglah tikus dan
sekitarnya jika samin itu beku dan janganlah mendekatinya bila samin itu cair."
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Bukhari dan Abu Hatim menyatakan bahwa hadits ini
keliru.

Hadits ke-9 Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang
harga kucing dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan tambahan: Kecuali anjing
pemburu.

Hadits ke-10 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Barirah datang kepadaku seraya
berkata: Aku telah ber-mukatabah (perjanjian antara seorang budak dengan
majikannya bahwa budak tersebut akan merdeka bila dapat membayar sejumlah uang
yang mereka sepakati) dengan majikanku sebesar sembilan uqiyyah, setiap tahun satu
uqiyyah, maka tolonglah aku. Aku berkata: Jika majikanmu bersedia aku
membayarnya kepadanya dengan syarat wala'-nya (harta warisan bagi yang
memerdekakan budak) nanti untukku, maka aku akan menolongmu. Kemudian Barirah
menghadap majikannya dan mengungkapkan hal itu, namun majikannya menolak. Ia
datang lagi sewaktu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang duduk seraya
berkata: Aku telah menyampaikannya kepadanya, tetapi ia menolak kecuali jika wala'
itu tetap miliknya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendengar dan 'Aisyah
memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau
bersabda: "Ambillah dan berilah persyaratan wala' itu kepadanya, sebab wala' itu
hanya bagi orang yang memerdekakan." Lalu 'Aisyah melakukan hal itu. Kemudian
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di hadapan orang-orang dan setelah
memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau bersabda: "Amma ba'du, mengapa ada
orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak ada dalam al-Qur'an?. Setiap
syarat yang tidak tercantum dalam al-Qur'an adalah batil, walaupun seratus syarat.
Ketetapan Allah itu lebih hak dan syarat (yang ditetapkan) Allah itu lebih kuat, dan
wala' itu hanya bagi orang yang memerdekakan." Muttafaq Alaihi dan lafadznya
menurut riwayat Bukhari. Menurut riwayat Muslim: "Belilah dan merdekakanlah, dan
berilah persyaratan wala' kepadanya."

Hadits ke-11 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Umar melarang menjual budak-
budak yang memiliki anak (dari hasil dengan majikannya), ia berkata: Tidak boleh
dijual, diberikan, dan diwariskan. Ia boleh menikmati sekehendaknya, dan jika ia
(majikan) meninggalkan ia merdeka. Riwayat Malik dan Baihaqi, dan ia menyatakan
bahwa sebagian perawi menganggapnya marfu' tapi ia keliru.

Hadits ke-12 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami biasa menjual budak-budak
wanita kami, ibu dari anak-anak dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masih hidup.
Beliau tidak mempermasalahkannya. Riwayat Nasa'i, Ibnu Majah, dan Daruquthni.
Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-13 Jabir Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang menjual sisa kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia
menambahkan: Dan mengupahkan persetubuhan unta jantan.

Hadits ke-14 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari.
Hadits ke-15 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melarang menjual-belikan hewan yang akan dikandung oleh hewan yang
masih dalam kandungan. Ini adalah jual-beli yang dilakukan masyarakat jahiliyyah,
yaitu seseorang membeli unta yang akan dibayar nanti bila ia melahirkan, kemudian
anak yang masih berada dalam perut itu juga melahirkan. Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut riwayat Bukhari.

Hadits ke-16 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melarang menjual-belikan wala' dan menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-17 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang
belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). Riwayat Muslim.

Hadits ke-18 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membeli suatu makanan maka janganlah ia
menjualnya sebelum menerima sukatannya." Riwayat Muslim.

Hadits ke-19 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang dua jual-beli dalam satu transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan
Nasa'i. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-20 Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam
satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba'.

Hadits ke-21 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak dihalalkan meminjam
dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat
dijamin, dan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki." Riwayat Imam Lima. Hadits
shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim.
Hadits ke-22 Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli 'urban
(memberikan panjar/persekot terlebih dahulu dan jika jual-beli itu tidak jadi maka
uang panjar tersebut hangus)". Riwayat Malik. Ia berkata: Aku menerimanya dari Amar
Ibnu Syu'aib.

Hadits ke-23 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di
pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang
yang akan membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan
tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku
berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan menjualnya
di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang
itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan
Abu Dawud dengan lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan
Hakim.

Hadits ke-24 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah,
aku menjual unta di Baqi'. Aku menjual dengan dinar tapi aku menerima dirham, aku
menjual dengan dirham tapi aku menerima dinar, aku mengambil ini dari ini tapi aku
menerima itu dari itu. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak
apa-apa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu selama engkau berdua
belum berpisah dan antara kamu berdua tidak masalah." Riwayat Imam Lima. Hadits
shahih menurut Hakim.

Hadits ke-25 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan secara
berlebihan). Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-26 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan
borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih segar
dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah untuk
ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan setengah
atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian),
kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut
Tirmidzi.
Hadits ke-27 Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli
dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang
belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh),
munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat
Bukhari.

Hadits ke-28 Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau menghadang kafilah di
tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangannya), dan janganlah orang kota
menjual kepada orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda
beliau "Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab:
Janganlah menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut
riwayat Bukhari.

Hadits ke-29 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota.
Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik barang
telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak)." Riwayat
Muslim.

Hadits ke-30 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melarang orang kota menjual kepada orang desa, jangan melakukan jual-
beli dengan najasy, janganlah seseorang menjual sesuatu yang dijual oleh orang lain,
dan janganlah seorang perempuan meminta thalaq saudaranya agar ia menjadi
gantinya." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Janganlah seorang muslim
menawar atas tawaran saudaranya."

Hadits ke-31 Abu Ayyub al-Anshory Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memisahkan antara
seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkan dia dari kekasihnya pada hari
kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim, namun sanadnya
masih dipertentangkan dan ia mempunyai saksi.
Hadits ke-32 Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pernah menyuruhku untuk menjual dua orang budak kecil
bersaudara. Lalu aku menjualnya secara terpisah dan aku beritahukan hal itu kepada
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Beliau bersabda: "Susullah dan ambillah kembali,
dan jangan menjual mereka kecuali dengan bersama-sama." Riwayat Ahmad dengan
perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-
Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, Thabrani, dan Ibnu al-Qothan.

Hadits ke-33 Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang
berkata: Wahai Rasulullah, harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga
bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya
Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku
berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena
kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda." Riwayat Imam Lima kecuali
Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-34 Dari Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang
yang berdosa." Riwayat Muslim.

Hadits ke-35 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah menahan susu unta dan kambing. Barangsiapa
membelinya ia boleh memilih yang lebih baik antara dua hal, setelah memeras
susunya; yaitu jika ia mau, ia boleh menahannya dan jika tidak ia boleh
mengembalikannya dengan satu sho' kurma." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim:
"Ia boleh memilih selama tiga hari." Menurut riwayatnya yang dikomentari oleh
Bukhari: "Ia mengembalikannya beserta satu sho' makanan tanpa gandum." Bukhari
berkata: Dan kurma itu lebih banyak.

Hadits ke-36 Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa membeli seekor
kambing yang penuh susunya (tidak diperas), lalu ia mengembalikannya, maka
hendaknya ia mengembalikannya beserta satu sho'. Riwayat Bukhari. Al-Isma'ily
menambahkan: (Satu sho' kurma.
Hadits ke-37 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka
beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia menjawab: Terkena hujan
wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas
makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan
termasuk golonganku." Riwayat Muslim.

Hadits ke-38 Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membiarkan anggurnya pada musim panen
untuk dijual kepada orang-orang yang membuat minuman keras, maka sesungguhnya
ia telah menempuh api neraka dengan sengaja." Riwayat Thabrani dalam kitab al-
Ausath dengan sanad Hasan.

Hadits ke-39 Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Pengeluaran itu dengan tanggungan." Riwayat Imam Lima. Hadits
dlo'if menurut Bukhari dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon.

Hadits ke-40 Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau
kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah
satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing
dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga
kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. Riwayat Imam Lima
kecuali Nasa'i. Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya,
namun lafadznya tidak seperti itu Hadits ke-41 Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi
dari hadits Hakim Ibnu Hizam.

Hadits ke-42 Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam melarang melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam
kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya,
seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang
belum diterima, dan hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar.
Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah.
Hadits ke-43 Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah membeli ikan dalam air karena ia
tidak jelas." Riwayat Ahmad. Ia memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf.

Hadits ke-44 Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di
punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab al-
Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits mursal
ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang
diperkuat oleh Baihaqi.

Hadits ke-45 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang jual-beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan.
Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-46 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim,
Allah akan membebaskan kesalahannya." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits
shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-47 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing
orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-
beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di
antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli
atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan
jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-
beli itu." Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Hadits ke-48 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu
bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Penjual dan pembeli mempunyai
hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-
masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan." Riwayat
Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus. Dalam
suatu riwayat: "Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka."
Hadits ke-49 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang mengadu kepada
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau
bersabda: "Jika engkau berjual-beli, katakanlah: Jangan melakukan tipu daya."
Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-50 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa


Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang
saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim.

Hadits ke-51 Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dair Abu Juhaifah.

Hadits ke-52 Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah
seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak
kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim
dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih.

Hadits ke-53 Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas
kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain;
janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan
menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak
dengan yang tampak." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-54 Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima." Riwayat Muslim.

Hadits ke-55 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama
timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya
dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba."
Riwayat Muslim.

Hadits ke-56 Dari Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengangkat seorang amil zakat untuk daerah
Khaibar. Ia kemudian membawa kepada beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap kurma khaibar seperti ini?". Ia
menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho' seperti ini
dengan dua sho', dan dua sho' dengan tiga sho'. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian
belilah kurma yang bagus dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: " Demikian juga
dengan benda-benda yang ditimbang." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim:
"Demikian pula benda-benda yang ditimbang."

Hadits ke-57 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam melarang jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya
dengan kurma yang diketahui takarannya. Riwayat Muslim.

Hadits ke-58 Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan dengan makanan yang
sama sebanding." Makanan kami pada hari itu adalah sya'ir. Riwayat Muslim.

Hadits ke-59 Fadlalah Ibnu Ubaid Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada hari perang
Khaibar aku membeli kalung emas bermanik seharga dua belas dinar. Setelah manik-
manik itu kulepas ternyata ia lebih dari dua belas dinar. Lalu aku beritahukan hal itu
kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda: "Tidak boleh dijual
sebelum dilepas." Riwayat Muslim.

Hadits ke-60 Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
melarang jual-beli hewan dengan hewan penundaan. Riwayat Imam Lima. Hadits
shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu al-Jarud. Hadits ke-61 Ibnu Umar Radliyallaahu
'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar keuntungan
materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman,
dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang
tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu." Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Nafi', dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Ahmad meriwayatkan dari
Atho' dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya dan dinilai shahih oleh Ibnu
Qoththon.

Hadits ke-62 Dari Abu Umamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa memberi syafa'at (menjadi perantara untuk suatu
kebaikan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah
mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud,
dan dalam sanadnya ada pembicaraan.

Hadits ke-63 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima
suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-64 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk menyiapkan pasukan tentara, tetapi
unta-unta telah habis. Lalu beliau menyuruhnya agar menghutang dari unta zakat. Ia
berkata: Aku menghutang seekor unta akan dibayar dengan dua ekor unta zakat.
Riwayat Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-65 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang jual-beli muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya,
jika kurma basah dijual dengan kurma kering bertakar, anggur basah dijual dengan
anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan kering bertakar.
Beliau melarang itu semua. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-66 Sa'ad Ibnu Abu waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ditanya tentang hukumnya membeli kurma
basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: "Apakah kurma basah itu berkurang jika
mengering?". Ia menjawab: Ya. Lalu beliau melarang hal itu. Riwayat Imam Lima.
Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Hadits ke-67 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melarang jual-beli yang kemudian dengan yang kemudian, yakni hutang
dengan hutang. Riwayat Ishaq dan al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-68 Dari Zaid Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah (pohon yang diserahkan
perawatannya pada orang lain untuk diambil buahnya); untuk dijual buahnya dengan
tangkainya dengan menggunakan takaran. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah, yaitu
penghuni rumah (pemilik pohon yang menyerahkan perawatan pohon tersebut kepada
orang lain) boleh memberi kurma basah dengan kurma kering agar mereka dapat
memakan kurma basah.

Hadits ke-69 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memberi keringanan menjual buah kurma ariyah yang masih
ditangkainya (basah) dengan kurma kering selama masih kurang dari lima wasaq (1
wasaq : 21 kg). Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-70 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang menjual buah-buahan yang belum kelihatan baik. Beliau melarang
penjual dan pembeli. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat: Apabila beliau ditanya
tentang buah yang baik, beliau bersabda: "Sampai penyakitnya hilang." Hadits ke-71
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang menjual buah-buahan sehingga baik. Ada orang yang bertanya: Apa
pertanda baiknya? Beliau menjawab: "Memerah atau menguning." Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-72 Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam melarang menjual buah anggur hingga berwarna hitam dan menjual biji-
bijian hingga keras. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban dan Hakim.

Hadits ke-73 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya engkau menjual kurma kepada
saudaramu, kemudian ia membusuk, maka tidak halal engkau mengambil apapun
darinya. Dengan jalan apa engkau boleh mengambil harta saudaramu secara tidak
hak?." Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayatnya yang lain: Bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meletakkan (tidak menjual) kurma yang
busuk.

Hadits ke-74 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka
buahnya adalah pemilik penjual pohon tersebut, kecuali jika pembeli memberikan
persyaratan dahulu." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-75 Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke
Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua
tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia
meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."

Hadits ke-76 Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu
berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada
mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak
untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman?
Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. Riwayat
Bukhari.

Hadits ke-77 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil harta orang dengan maksud
mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya untuk dapat mengembalikannya;
dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud menghabiskannya, maka Allah akan
merusaknya." Riwayat Bukhari.

Hadits ke-78 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah,
sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si Fulan dari Syam.
Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, baginda akan dapat mengambil
dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau
mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak. Dikeluarkan oleh Hakim
dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
Hadits ke-79 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan
membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi
orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." Riwayat Bukhari.

Hadits ke-80 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang
menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya."
Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun
yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal.

Hadits ke-81 Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam pernah meminjam unta muda dari seseorang. Kemudian beliau menerima unta
zakat, lalu beliau menyuruh Abu Rafi' untuk mengembalikan hutang untanya kepada
orang tersebut. Abu Rafi' berkata: Aku hanya menemukan unta berumur empat tahun.
Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik orang ialah yang paling
baik melunasi hutang." Riwayat Muslim.

Hadits ke-82 Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap
hutang yang menarik manfaat adalah riba." Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dan
sanadnya terlalu lemah.

Hadits ke-83 Menurut riwayat Baihaqi ada saksi lemah dari Fadlalah Ibnu Ubaid.

Hadits ke-84 Ada hadits lain yang diriwayatkan Bukhari secara mauquf dari Abdullah
Ibnu Salam.

Hadits ke-85 Dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radliyallaahu
'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa menemukan barangnya benar-benar berada pada orang yang jatuh
bangkrut (pailit), maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut daripada orang lain."
Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-86 Abu Dawud dan Malik meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman
secara mursal dengan lafadz: "Jika ada orang yang menjual barang, kemudian pembeli
barang tersebut jatuh miskin padahal ia belum membayar apapun dari harganya,
sedang penjual masih mendapatkan barangnya utuh, maka ia lebih berhak terhadap
barang tersebut; jika pembelinya meninggal dunia maka barang tersebut menjadi
milik orang-orang yang memberi hutang." Menurut Baihaqi hadits tersebut maushul,
dan dha'if karena mengikuti Abu Dawud.

Hadits ke-87 Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Umar Ibnu
Kholadah bahwa ia berkata: Kami datang kepada Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
menanyakan tentang teman kami yang bangkrut, lalu ia berkata: Aku berikan
kepadamu suatu ketetapan hukum dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam,
yaitu: "Barangsiapa bangkrut atau meninggal dunia, lalu orang itu mendapatkan
barangnya masih utuh, maka ia lebih berhak atas barang tersebut." Hadits shahih
menurut Hakim dan dha'if menurut Abu Dawud. Abu Dawud juga menilai dha'if
keterangan tentang "meninggal dunia" pada hadits ini.

Hadits ke-88 Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan
pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksanya." Riwayat Abu Dawud dan
Nasa'i. Hadits mu'allaq menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-89 Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada zaman Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ada seseorang terkena musibah pembusukan pada buah-
buahan yang dibelinya, lalu hutangnya menumpuk dan bangkrut. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bersabda: "Bersedekahlah kepadanya." Lalu orang-
orang bersedekah kepadanya, namun belum cukup melunasi hutangnya. Maka
bersabdalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada orang-orang yang
menghutanginya: "Ambillah apa yang kalian dapatkan karena hanya itulah milik
kalian." Riwayat Muslim.

Hadits ke-90 Dari Ibnu Ka'ab Ibnu Malik, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menahan harta benda milik Muadz
dan menjualnya untuk melunasi hutangnya. Riwayat Daruquthni. Hadits shahih
menurut Hakim dan mursal menurut tarjih Abu Dawud.
Hadits ke-91 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun,
namun beliau belum membolehkanku (untuk ikut berperang). Aku dihadapkan lagi
pada waktu perang khandaq ketika aku berumur 15 tahun dan beliau membolehkanku.
Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Baihaqi: Beliau belum membolehkanku dan
belum menganggapku telah dewasa. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Hadits ke-92 Athiyyah al-Quradhy Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami dihadapkan pada
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah
tumbuh bulunya dibunuh dan yang belum tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku
termasuk orang yang belum tumbuh bulunya, maka aku dibebaskan. Riwayat Imam
Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: Hadits tersebut
menurut persyaratan Bukhari-Muslim.

Hadits ke-93 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperbolehkan bagi
seorang istri memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya." Dalam suatu
lafadz: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh
suaminya." Riwayat Ahmad dan para pengarang kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi. Hadits
shahih menurut Hakim.

Hadits ke-94 Dari Qabishoh Ibnu Mukhoriq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya minta-minta tidak dihalalkan
kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu: Orang yang menanggung
hutang orang lain, ia boleh meminta-minta hingga dapat melunasinya, kemudian ia
berhenti; orang yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya. Ia boleh
meminta-minta hingga mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa
kefakiran hingga tiga orang yang mengetahuinya dari kalangan kaumnya berkata: Si
Fulan telah ditimpa kefakiran, ia dibolehkan meminta-minta." Riwayat Muslim.

Hadits ke-95 Dari Amar Ibnu Auf al-Muzany Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
saaw. bersabda: "Perdamaian itu halal antara kaum muslimin, kecuali perdamaian
yang mengharamkan hal yang haram atau menghalalkan hal yang haram. Kaum muslim
wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan hal
yang halal atau menghalalkan yang haram." Hadits shahih riwayat Tirmidzi. Namun
banyak yang mengingkarinya karena seorang perawinya yang bernama Katsir Ibnu
Abdullah Ibnu Amar Ibnu Auf adalah lemah. Mungkin Tirmidzi menganggapnya baik
karena banyak jalannya.

Hadits ke-96 Ibnu Hibban menilainya shahih dari hadits Abu Hurairah r.a.

Hadits ke-97 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah seseorang melarang tetangganya memasang kayu
galangan pada temboknya." Kemudian Abu Hurairah berkata: Kenapa aku lihat kalian
berpaling darinya? Demi Allah, aku benar-benar akan menaruh kayu-kayu itu di atas
pundakmu. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-98 Dari Abu Humaid al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang mengambil
tongkat saudaranya dengan tanpa ridlonya." Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim dalam
kitab shahih mereka.

Hadits ke-99 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Penangguhan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu
kesesatan. Apabila seseorang di antara kamu hutangnya dipindahkan kepada orang
yang mampu, hendaknya ia menerima." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat
Ahmad: "Barangsiapa (hutangnya) dipindahkan, hendaknya ia menerima."

Hadits ke-100 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami
meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan
mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan
beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami
menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang
tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi
tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul
engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau
menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban dan Hakim.
Hadits ke-101 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bila didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung
hutang, beliau bertanya: "Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi
hutangnya?". Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi
hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda: "Sholatlah atas
temanmu ini." Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya,
beliau bersabda: "Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri.
Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya."
Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari: "Maka barangsiapa mati dan tidak
meninggalkan harta pelunasan....".

Hadits ke-102 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu
bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada tanggungan,
dalam pelaksanaan had." Riwayat Baihaqi dengan sanad lemah.

Hadits ke-103 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang
yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya.
Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka." Riwayat Abu Dawud
dan dinilai shahih oleh Hakim.

Hadits ke-104 Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah
sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul.
Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda: "Selamat datang
wahai saudaraku dan sekutuku." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.

Hadits ke-105 Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku, Ammar, dan
Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar.
Hadits riwayat Nasa'i.

Hadits ke-106 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan keluar
menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau
bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq."
Hadits shahih riwayat Abu Dawud.
Hadits ke-107 Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pernah mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan
beliau hewan qurban. Hadits Bukhari meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits
sebagaimana tersebut dalam hadits dahulu (no.40).

Hadits ke-108 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk mengambil zakat. Hadits. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-109 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
menyembelih 63 ekor dan menyuruh Ali Radliyallaahu 'anhu untuk menyembelih
sisanya. Hadits diriwayatkan oleh Muslim.

Hadits ke-110 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pelaku (zina), Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pergilah, wahai Unais, menemui perempuan
orang ini. Jika ia mengaku, rajamlah ia." Hadits. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-111 Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda kepadaku: "Katakanlah yang benar walaupun ia pahit." Hadits shahih
menurut Ibnu Hibban dari hadits yang panjang."

Hadits ke-112 Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tangan bertanggung jawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia
mengembalikannya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-113 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu
amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat
Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut Hakim,
dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh segolongan
huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.
Hadits ke-114 Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah
kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah
pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda:
"Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih
menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-115 Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang
Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau menjawab:
"Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa'i. Hadits
shahih menurut Hakim.

Hadits ke-116 Hakim juga meriwayatkannya dengan saksi lemah dari Ibnu Abbas r.a.

Hadits ke-117 Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan dlalim,
Allah akan mengalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-118 Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain
mengutus seorang pelayan membawa sebuah piring yang berisi makanan. Kemudian ia
(istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan tangannya dan pecahlah piring
tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di atasnya, lalu
bersabda: "Makanlah." Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada
pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia
menyebut pemukul tersebut adalah 'Aisyah, dan menambahkan: Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana."
Hadits shahih menurutnya.

Hadits ke-119 Dari Rafi' Ibnu Khodij Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menanam di atas tanah suatu kaum tanpa
seizin mereka, maka ia tidak memiliki apapun dari tanaman itu, namun ia mendapat
nafkah (belanja)." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasan
menurut Tirmidzi. Dikatakan bahwa Bukhari menilainya hadits dha'if.
Hadits ke-120 Dari Urwah Ibnu al-Zubair Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang sahabat
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Ada dua orang bertengkar mengadu
kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masalah tanah. Salah seorang di
antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan tanah tetap menjadi milik
siempunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohonnya, dan beliau
bersabda: "Akar yang dlalim tidak punya hak." Riwayat Abu Dawud dan sanadnya hasan
Hadits ke-121 Akhir hadits itu menurut pengarang-pengarang kitab al-Sunan dari
riwayat Urwah, dari Said Ibnu Zaid. Tentang maushul dan mursalnya hadits tersebut
serta penentuan para perawinya masih ada pertentangan.

Hadits ke-122 Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda pada khutbahnya hari raya Kurba di Mina: "Sesungguhnya darahmu
dan hartamu adalah haram atasmu sebagaimana haramnya harimu ini, pada bulanmu
ini, di negerimu ini." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-123 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam telah menetapkan berlakunya syuf'ah (hak membeli bagian dari dua
orang yang bersekutu) pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi
dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf'ah. Muttafaq Alaihi dan
lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-124 Menurut riwayat Muslim: Syu'fah itu berlaku dalam setiap persekutuan,
baik dalam tanah, kampung, atau kebun. Tidak boleh - dalam suatu lafadz- tidak halal
menjualnya hingga ditawarkan kepada sekutunya. Menurut riwayat Thahawi: Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan berlakunya Syuf'ah dalam segala sesuatu.
Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-125 Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga sebelah rumah lebih berhak
terhadap rumah itu." Riwayat Nasa'i, dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan ia
mempunyai illah.
Hadits ke-126 Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya." Riwayat
Bukhari dan Hakim. Hadits tersebut mempunyai kisah.

Hadits ke-127 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak dengan syuf'ah tetangganya, ia dinanti -
walaupun sedang pergi- jika jalan mereka satu." Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-128 Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Syuf'ah itu laksana melepaskan unta." Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar dengan
tambahan: "Tidak ada syuf'ah bagi orang yang pergi." Sanadnya lemah.

Hadits ke-129 Dari Shuhaib Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tiga hal yang didalamnya ada berkah adalah jual-beli bertempo,
ber-qiradl (memberikan modal kepada seseorang hasil dibagi dua), dan mencampur
gandum dengan sya'ir untuk makanan di rumah, bukan untuk dijual." Riwayat Ibnu
Majah dengan sanad lemah.

Hadits ke-130 Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang
memberikan modal sebagai qiradl, yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang
yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air
yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang
menanggung modalku. Riwayat Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-Muwattho', dari Ala' Ibnu Abdurrahman
Ibnu Ya'qub, dari ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia pernah menjalankan modal
Utsman dengan keuntungan dibagi dua. Hadits mauquf shahih Hadits ke-131 Dari Ibnu
Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa
buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim:
Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan
memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami
menghendaki." Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir
mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan
perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari
hasil buahnya.
Hadits ke-132 Hanzholah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya kepada
Rafi' Ibnu Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata:
Tidak apa-apa. Orang-orang pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
menyewakan tanah dengan imbalan pepohonan yang tumbuh di tempat perjalanan
air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari tetumbuhan itu ada yang
hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai sewaan lainnya
kecuali ini. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Adapun
imbalan dengan barang yang nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat
Muslim. Dalam hadits ini ada penjelasan menyeluruh tentang larangan menyewakan
tanah dalam hadits Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-133 Dari Tsabit Ibnu ad-Dlahak Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang muzara'ah (sama dengan musaqat, yaitu
memberikan tanah garapan kepada orang lain dengan bagi hasil menurut perjanjian)
dan memerintahkan sewa-menyewakan. Riwayat Muslim.

beberapa kutipan dari tulisan DR. Yusuf Qardhawi dalam bukunya ”Sistem
Ekonomi Islam”.
1. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi,
dan carilah karunia Allah.” (QS. al Jumu’ah :10)
2. “Sungguh seandainya salah seorang diantara kalian mengambil
beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung kemudian kembali memikul
seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah
mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik dari pada meminta-minta
kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun tidak.” (HR
Bukhari)
3. Suatu saat Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat, “Pekerjaan
apa yang paling baik ya Rasulullah?” Beliau menjawab; ”seorang bekerja
dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR al Bazzar)
4. “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama nabi,
orang-orang shiddiqin, dan para syuhada.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
5. “Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya perdagangan itu di
dunia ini adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki.” (HR Ahmad)
6. “Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban
beribadah.” (HR ath Thabrani dan Baihaqi)
7. Barang siapa yang mengacungkan senjatanya (memberontak)
kepada kami, bukanlah dari golongan kami dan barang siapa berlaku curang
kepada kami (dalam berjual beli) bukanlah golongan kami. (HR Muslim)
8. Allah mengasihi seseorang yang murah dalam menjual, mudah dalam
membeli, dan lapang dada dalam menagih hutang. (HR Bukhari)
9. Hai Muhammad, aku berikan untuk semua manusia 10 pintu rezeki.
Sembilan pintu untuk orang yang berdagang, satu pintu lagi buat yang lain.
(Hadis Qudsi)
10. Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja dan
terampil. Barang siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk
keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Swt.
(HR Ahmad)
11. Allah sungguh sangat mencintai orang yang berjerih payah untuk
mencari yang halal. (HR al Dailami)
12. Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang
siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia laksana
seorang yang bertempur di medan perang membela agama Allah. (HR
Ahmad)
13. Barang siapa yang pulang ke rumahnya di sore hari dan merasakan
kelelahan karena kedua tangannya bekerja di siang hari maka pada malam
itu dia akan mendapatkan ampunan Allah Swt. (HR ath Thabrani)
14. “Carilah pahala akhirat. Jangan lupa bagianmu di dunia.” (QS.an
Naml[27]:77)
15. “Pedagang yang jujur dan amanah (akan ditempakan) di surga
bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HR. Tturmudzi)
16. “Kalau dia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil
itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang
tuanya yang lanjut usia, itu adalah fisabilillah; kalau ia bekerja untuk
kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta itu juga fi sabilillah.
(HR. Thabrani)
17. “Semua nabi yang terdahulu, sebelum aku, menyibukkan diri mereka
dengan berburu dan bepergian(di gurun pasir dan hutan-hutan) karena
dengan jalan ini mereka dapat memperoleh penghidupan.... Hendakah
kamu berusaha untuk memperoleh nafkah yang halal bagi keluargamu,
sebab itu sama dengan berjuang di jalan Allah. (HR. ath Thabrani)
18. PEMBAHASAN
19.
20. A. Jual Beli
21. 1) Larangan jual beli ijon
‫ّللَا صلى‬ ِ ‫سو ُل َ ه‬ ُ ‫ ( نَ َهى َر‬:‫َوع َْن أَنَ ٍس رضي هللا عنه قَا َل‬ .22

َ ‫ َوا ْل ُم َخا‬,‫هللا عليه وسلم ع َِن ا َ ْل ُم َحاقَلَ ِة‬


َ ‫ َوا ْل ُم ََل َم‬,‫ض َر ِة‬
,‫س ِة‬
‫ َوا ْل ُم َزابَنَ ِة ) َر َواهُ اَ ْلبُ َخ ِاري‬,‫َوا ْل ُمنَابَ َذ ِة‬
23. a. Terjemah
24. Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah,
muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual
sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan
muzabanah. (Hadits Riwayat Bukhari)[1].
25. b. Penjelasan dan Analisis:
26. Di atas, Rasulullah melarang jual beli salah satunya yaitu larangan jual beli ijon atau muhadlarah (menjual
buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan). Karena salah satu syarat barang yang
boleh dijualbelikan yaitu diketahui keadaanya.[2] karen jual beli sepereti ini bisa merugikan si pembeli,
karena hanya mengira- ngira tanpa tahu hasil dan manfaat yang dihasilkan. Seperti pada penjualan Buah
yang masih belum matang yang masih ada dalam tangkainya, ataupun membeli anak hewan yang masih ada
dalam kandungan. Seperti pada penjelasan hadits Riwayat Thabrani dibawah ini[3]:

‫سو ُل‬ ُ ‫ ( نَ َهى َر‬:‫ قَا َل‬-‫ع ْن ُه َما‬ ‫ي َه‬


َ ُ‫ّللَا‬ َ ‫ َر ِض‬- ‫اس‬ ٍ ‫عبه‬ َ ‫َوع َِن اِ ْب ِن‬ .27

‫ َو ََل‬,‫ع ث َ َم َرةٌ َحتهى ت ُ ْطعَ َم‬ َ ‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم أ َ ْن تُبَا‬ ِ‫َ ه‬
‫ع) َر َوا ُه‬ َ ‫ َو ََل لَبَ ٌن فِي‬,‫علَى َظه ٍْر‬
ٍ ‫ض ْر‬ َ ‫وف‬ ٌ ‫ص‬ ُ ‫ع‬ َ ‫يُبَا‬
‫َاو َد ِفي‬ُ ‫هارقُ ْط ِني َوأ َ ْخ َر َجهُ أَبُو د‬ َ ‫س ِط َواَلد‬ َ ‫طبَ َرا ِني ِفي اَ ْْل َ ْو‬ ‫اَل ه‬
ً ‫ َوأ َ ْخ َر َجهُ أ َ ْيضا ً َم ْوقُوفا‬.‫اج ُح‬ ِ ‫لر‬‫ َو ُه َو ا َ ه‬,َ‫سي ِل ِل ِع ْك ِر َمة‬ِ ‫ا َ ْل َم َرا‬
‫ َو َر هج َحهُ ا َ ْلبَ ْي َه ِقي‬,ٍ‫سنَا ٍد قَ ِوي‬ ْ ‫اس بِ ِإ‬ ٍ ‫عبه‬َ ‫علَى اِ ْب ِن‬ َ
28. Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-
buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam
tetek. (Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-
hadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang
diperkuat oleh Baihaqi).

‫سو ُل‬ ُ ‫ ( نَ َهى َر‬:‫ قَا َل‬-‫ع ْن ُه َما‬ ‫ي َه‬


َ ُ‫ّللَا‬ ُ ‫َوع َْن ِا ْب ِن‬
َ ‫ َر ِض‬- ‫ع َم َر‬ .29

‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم ع َِن ا ْل ُم َزابَنَ ِة; أ َ ْن يَ ِبي َع ثَ َم َر‬ ِ‫َ ه‬
ُ‫َان ك َْرما ً أ َ ْن يَ ِبيعَه‬
َ ‫ َو ِإ ْن ك‬,ً‫َان نَ ْخَلً ِبت َ ْم ٍر َك ْيَل‬
َ ‫َحائِ ِط ِه ِإ ْن ك‬
‫ نَ َهى‬,‫َان َز ْرعا ً أ َ ْن يَ ِبيعَهُ ِب َك ْي ِل َطعَ ٍام‬ َ ‫ َو ِإ ْن ك‬,ً‫ب َك ْيَل‬ ٍ ‫ِب َز ِبي‬
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ق‬ ٌ َ‫ع َْن َذ ِل َك ك ُِلهُ ) ُمتهف‬
30. Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli
muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma kering
bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan
kering bertakar. Beliau melarang itu semua. (Muttafaq Alaihi).
31. Dalam hadits di atas menjelaskan dalam jual beli tersebut adalah batasan buah yang masih ada di pohonnya
bisa dijual adalah jika sudah layak dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai
dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
32.

ِ َ‫ع ْن َبي ِْع ْال ِعن‬


‫ب‬ َ ‫ّللا صلى هللا عليه وسلم نَ َهى‬ ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬ .33

ِ ِّ ‫َحتَّى يَ ْس َو َّد َو َع ْن بَي ِْع ْال َح‬


‫ب َحتَّى يَ ْشت َ َّد‬
34. Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga
sudah keras (HR Abu Dawud).
35. Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah
tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, dan pepaya. Jika sudah
ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan
nantinya akan masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak. Buah-
buahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik,
maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya.
36. Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur,
rambutan dan sejenisnya. Jika sudah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Batas
tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
37. Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, dan kacang panjang, yang
jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi. Buah
tanaman sejenis ini, jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual. Adapun jenis biji-bijian,
seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh dijual ketika
sudah keras.
38. Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun. Hal itu
adalah sangat sulit. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan
yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap
hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika
ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya,
baik yang sudah mulai masak maupun yang belum.
39. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misalnya jika sudah ada
sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada
sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu
boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi
buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah
layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual.
40. Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin
kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan
mengembalikannya kepada pembeli.
41. c. Aplikasi dalam kehidupan
42. Aplikasi berdasarkan hadits jual beli di atas dalam kehidupan ini dapat di contohkan seperti kasus seorang
pemborong jambu ia memborong jambu yang masih mengkal dipohonnya. Sedangkan buah jambu yang
terdapat pada pohon tersebut belum jelas takarannya, sehingga dapat merugikan sebelah pihak.
43. Ada hal yang menarik yang bisa kita ambil pelajaran moralnya dari perilaku semacam ini. Kita haruslah sabar
dalam menjalani hidup, jangan terlena dengan angan-angan atau perkiraan-perkiraan yang menawarkan
mendapatkan keuntungan secara instan. Biarlah berjalan sesuai dengan prosesnya. Bila dipaksakan sebelum
waktunya, maka akan terasa pahit, seperti memakan buah yang belum matang langsung dimakan. Maka pasti
akan terasa pahit di lidah. Namun, bila kita bersabar sampai datang waktunya, maka akan terasa manis,
terjauh dari kemungkinan rugi, seperti kita makan buah yang sudah matang, maka akan terasa enak di lidah.
44. 2) Kehalalan hasil jual beli anjing dan upah pelacur
‫ي َوع َْن ُح ْل َوا ِن‬ ِ ‫ ع َْن ث َ َم ِن ا ْل َك ْل‬:‫هللا ص م‬
‫ب َو ع َْن َمه ِْر ا ْل َب ِغ ه‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ْ ‫ع َْن أ َ ِب ْي َم‬
ُ ‫سعُ ْو ٍد قَا َل نَ َهى َر‬ .45
)‫ا ْلكَا ِه ِن (الحرجه الستة‬
46. a. Terjemah
47. Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa “Rasulullah Saw, melarang hasil uang penjualan
anjing, upah pelacur, dan hadiah yang diberikan kepada dukun”. (H.R Bukhari, muslim,
Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majjah)[4]
48. b. Penjelasan dan Analisis:
49. Menjelaskan bahwa Rosullah melarang pada hasil penjualan barang najis diantaranya anjing, upah dari
pelacur, dan hadiah yang diberikan kepada dukun. Jenis transaksi ini haram dilakukan, karena
kemudharatan yang dihasilkan. Anjing adalah salah satu barang najis yang dilarang oleh islam seperti dalam
Qs. Al-maidah:
...‫ّللَا‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال هد ُم َولَحْ ُم ا ْل ِخ ْن ِز‬
ِ ‫ير َو َما أ ُ ِه هل ِلغَي ِْر ه‬ َ ْ‫ُح ِر َمت‬ .50
51. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah,
52. Dalam kata “daging babi “ dikiaskan dengan anjing sperti, penjelasan dalam hadits dibawah ini[5]:

ُ‫س ْولُه‬ َ ‫س ْو ُل هللا ص م قَا َل ِإ َّن‬


ُ ‫هللا َو َر‬ ُ ‫ع ْن َجابِ ْر رض أ َ َّن َر‬ َ .53

‫صن َِام (رواه‬ ْ َ ‫َح َر َم بَ ْي َع ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيت َ ِة َو ْال ِخ ْن ِزي ِْر َواأل‬
)‫بخرى والمسلم‬
54. Dari Jabir r.a Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan jual arak,
bangkai, bangkai, babi, dan berhala” (H.R Muttafakun alaih)
55. Selain diharamkan jual beli anjing, rasulullah juga mengharamkan pendapatan yang diperoleh dari
pekerjaan melacur karena melacur/berzina merupakan perilaku yang diharamkan oleh Allah. Selain dari itu,
Rasulullah juga melaknat wanita yang ditato dan juga orang yang mentato seperti dalam hadis dibawah ini
:

‫س ْو َل هللا ص‬ ُ ‫ نَ َهى َر‬: ‫ب َِ ْي ُج َح ْيفَ َة قَا َل‬ ِ ََ َ ‫ث أ‬ِ ‫َو ِفى َح ِد ْي‬ .56

ْ ‫ش َمةَ َو ال ُم‬
ِ ‫ست َ ْو‬
‫ش َم ِة‬ ِ ‫ي َو لَعَ َن ا ْل َوا‬ ‫ب ا ْلبَ ِغ ه‬
ِ ‫س‬ ْ ‫م ع َْن َك‬
)‫(اخرجه البخري‬
57. Dalam hadits Abu Juhaifah, dikatakan bahwa “Rasulullah Saw, melarang pendapatan dari
melacur dan melaknat wanita yang di tato dan wanita yang meminta untuk di tato pada
tubuhnay.,”. (H.R Bukhari dan Abu Daud)[6]
‫ّللَا‬ ُ ‫ نَ َهى َر‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬
ِ ‫س ْو َل‬ َ ‫َوع َْن ا َ ِب ْي ُه َر ْي َرةَ َر ِض‬
َ ُ‫ي هللا‬ .58

‫اء‬ ِْ ‫ب‬
ِ ‫اْلل َم‬ ِ ‫س‬ ْ ‫ص م ع َْن َك‬
)‫(اخرجه البخري و أبو داود‬ .59
60. Abu Hurairah r.a menceritakan, “Rasulullah melarang pendapatan dari budak wanita
yang dipaksa tuanya untuk melacur”.[7]
61. Dari hadis kedua diatas, Rasulullah juga melaknat dan juga mengharamkan pendapatan
bagi orang yang memaksa orang lain untuk melacur. Karena hal ini merupakan tindakan
dzolim dan merusak kehidupan orang lain.

‫ َلَ تُك َِلفٌ ْوا‬: ‫ب يَقُ ْو ُل‬ ُ ‫ان َو ُه َو يَ ْخ َط‬ َ ‫عفه‬ َ ‫ان ْب ِن‬ َ ‫عثْ َم‬ُ ‫َو ع َْن‬ .62

‫س َب فَإَنه ُك ْم َمتَى َكله ْفت ُ ُم ْو َها َذا ِل َك‬ ْ ‫ص ْن َع ِة ا ْل َك‬‫ت ال ه‬ َ ‫اْل َ َم َة‬
ِ ‫غ ْي َر َذا‬
‫ب فَ ِإنههُ ِإ َذا لَ ْم يَ ِج ْد‬ َ ‫س‬ْ ‫ص ِغ ْي َرا ْل َك‬
َ ‫سبَتْ ِبفَ ْر ِج ِها َوَلَت ُ َك ِلفُ ْواا ْل‬ َ ‫َك‬
‫علَ ْي ُك ْم ِم َن ا ْل َم َطا ِع ِم َِ ِب َما َطا‬ َ ‫عفه ُك ْم هللا َو‬ َ َ ‫ق َو ِعف ْوا ِإ ْذ أ‬ َ ‫س َر‬َ
)‫ب ِم ْن َها (اخرجه مالك‬ َ
63. Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Utsman berkhutbah, “Janganlah kalian
membebani bydak wanita yang tidak mampu bekerja untuk bekerja karena engkau
memaksanya bekerja, ia akan bekerja dengan menjual dirinya. Janganlah kalian memaksa
anak-anak kecil kalian sebab jika engkau memaksanya bekerja dan ia tidak bisa bekerja,
ia akan mencuri. Tinggalkanlah pekerjaan yang buruk dan bersabarlah atasnya karena
Allah akan memberikan jalan untuk menghindarkan diri dari yang haram dan buruk
dengan kekayaan. Dan hendaklah kalian mencari sesuap nasi (pangan) dengan jalan yang
halal”.
64. (H.R Malik)
65. Jual beli menurut bahasa berarti Al-ba’i, Al-tijarah dan Al-mubadalah, sebagaimana Allah
SWT berfirman dalam QS.Al fatir: 29 yang artinya mereka mengharapkan tijarah
(perdagangan) yang tidak akan rugi. Menurut istilah yang dimaksud dengan jual beli ialah
menukar barang dengan barang, atau menukar barang dengan uang dengan jalan
melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lainya.
66. Jual beli menurut ulama Malikiyah ada 2 macam yaitu jual beli yang bersifat umum dan
jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu peroikatan tukar
menukar sesuatu yang bukan pemanfaatan yang kenikmatan. Perikatan adalah akad yang
mengikat dua belah pihak. Sedangkan tukar menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan
ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Jual beli dalam arti khusus
ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang
mempunyai daya tarik.[8]
67. Dalam jual beli itu terdapat rukunnya, yaitu: [9]
68. 1. Penjual dan pembeli
69. - Berakal
ُ ‫ار ُزقُو‬
)5 :‫ (النساء‬...‫ه ْم فِي َها‬ َّ ‫سفَ َها َء أ َ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِي َج َع َل‬
ْ ‫ّللاُ لَ ُك ْم قِ َيا ًما َو‬ ُّ ‫ َوال تُؤْ تُوا ال‬.70
71. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan.Berilah mereka belanja...”
72. - Kehendak sendiri atau tanpa paksaan
73. - Tidak mubazir
74. - Baligh
75. 2. Uang dan benda yang dibeli
76. - Suci
77. - ada manfaatnya
78. - barang itu dapat diserahkan (barangnya nyata)
79. - barang tersebut benar-benar milik sipenjual

)‫آلَبَ ْي َع ِإالَّفِ ْي َما يُ ْملَ َك (رواه ابوداودوالترمدى‬ .80


81.
82. “Tidak sah jual beli kecuali barang yang dimiliki sendiri”. (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi)
83.
84. 3. lapadz ijab qabul

ٍ ‫ِإنه َما ا ْلبَ ْي َع ع َْن ت َ َر‬


)‫ (رواه إبن حبان‬.‫اض‬ .85
86. “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika saling suka”. (H.R Ibnu Hibban)
87.
88. c. Aplikasi dalam kehidupan
89. Di zaman sekarang ini banyak kita temui hal yang haram, namun dianggap halal karena sudah menjadi
kebiasaan. Janganlah campur adukan hal yang halal dengan yang haram. Seperti contohnya, kita menjual
anjing untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk kelangsungan hidup atau kegiatan amal yang
lain. Maka, walaupun alasannya untuk menafkahi keluarga, seberapa mepetnya pun, dalam pandangan Islam
tetap dianggap haram, walaupun hasilnya akan digunakan untuk sesuatu yang baik secara agama.
90.
91. B. Riba

‫ّللَا صلى‬ ُ ‫ ( لَعَ َن َر‬:‫ع َْن َجا ِب ٍر رضي هللا عنه قَا َل‬
ِ ‫سو ُل َ ه‬ .92

,‫ َوشَا ِه َد ْي ِه‬,ُ‫ َوكَاتِبَه‬,ُ‫ َو ُمو ِكلَه‬,‫هللا عليه وسلم آ ِك َل ا َ ِلربَا‬


‫س ِل ٌم َو ِل ْلبُ َخ ِاري ِ نَحْ ُوهُ ِم ْن‬
ْ ‫س َوا ٌء ) َر َواهُ ُم‬ َ ‫ ُه ْم‬:‫َوقَا َل‬
‫ث أَ ِبي ُج َح ْيفَة‬
ِ ‫َح ِدي‬
93. a. Terjemah
94. Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba,
pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu
sama." (Hadits Riwayat Muslim).

‫سعُو ٍد رضي هللا عنه ع َْن اَلنه ِبي ِ صلى‬ ِ ‫ع ْب ِد َ ه‬


ْ ‫ّللَا ْب ِن َم‬ َ ‫َوع َْن‬ .95

َ ‫ون بَابًا أ َ ْي‬


‫س ُر َها‬ َ ‫ ( ا َ ِلربَا ث َ ََلثَةٌ َو‬:‫هللا عليه وسلم قَا َل‬
َ ُ‫س ْبع‬
‫ض اَ ه‬
‫لر ُج ِل‬ ُ ‫ َو ِإ هن أ َ ْربَى ا َ ِلربَا ِع ْر‬,ُ‫لر ُج ُل أ ُ همه‬
‫ِمثْ ُل أ َ ْن يَ ْن ِك َح ا َ ه‬
‫ام ِه‬ِ ‫ َوا ْل َحا ِك ُم بِتَ َم‬,ً‫صرا‬
َ َ ‫س ِل ِم ) َر َواهُ اِ ْب ُن َما َج ْه ُم ْخت‬ ْ ‫ا َ ْل ُم‬
ُ‫ص هح َحه‬َ ‫َو‬
96. Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba
itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang
paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas
dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih).
97. a. Penjelasan dan analisis :
98. Riba menurut bahasa arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini istilah
syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau
terlambat menerimanya. Beberapa macam riba:
99. - Riba Fadli (menukarkan dua barang yang sejenis dengan yang tidak sama)
100. - Riba qardi (utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang)
101. - Riba yad (berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima)
102. - Riba nasa’ (disyaratkan salah satu dari kedua berang yang dipertukarkan ditangguhkan
penyerahannya)[10]
103. Hukum dari memakan riba itu sendiri adalah haram dan Allah melaknat orang yang
memakan riba beserta orang yang menjadi saksi dalam pelaksanaannya.
104. Dalam pembahasan kita kali ini adalah riba fadli. Riba fadhli atau Riba Fadhal ialah
berlebihan salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan
sejenis, berlebih timbangan nya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya
pada barang-barang yang ditakar, dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang
diukur.[11]

ِ ‫سو َل َ ه‬
‫ّللَا‬ ُ ‫س ِعي ٍد ا َ ْل ُخ ْد ِري ِ رضي هللا عنه أ َ هن َر‬ َ ‫َوع َْن أ َ ِبي‬ .105

‫ب ِإ هَل‬ِ ‫ب ِبالذه َه‬ َ ‫ ( ََل ت َ ِبيعُوا اَلذه َه‬:‫صلى هللا عليه وسلم قَا َل‬
‫ َو ََل تَ ِبيعُوا‬,‫ض‬ ٍ ‫علَى بَ ْع‬ َ ‫ض َها‬ َ ‫شفوا بَ ْع‬ ِ ُ ‫ َو ََل ت‬,‫ِمثْ ًَل ِب ِمثْ ٍل‬
‫علَى‬ َ ‫ض َها‬ َ ‫شفوا بَ ْع‬ ِ ُ ‫ َو ََل ت‬,‫ق ِإ هَل ِمثْ ًَل ِب ِمثْ ٍل‬ ِ ‫ق ِبا ْل َو ِر‬ َ ‫ا َ ْل َو ِر‬
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫ق‬ ٌ َ‫اج ٍز ) ُمتهف‬ َ ‫ َو ََل ت َ ِبيعُوا ِم ْن َها‬,‫ض‬
ِ َ‫غا ِئبا ً ِبن‬ ٍ ‫بَ ْع‬
106. Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian
atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah
sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak." Muttafaq
Alaihi.

‫سو ُل‬ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ت رضي هللا عنه قَا َل‬ ِ ‫ام‬
ِ ‫ص‬‫عبَا َدةَ ْب ِن اَل ه‬
ُ ‫َوع َْن‬ .107

ُ ‫ضة‬ ِ ‫ب ِبالذه َه‬


‫ َوا ْل ِف ه‬,‫ب‬ ُ ‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم ( اَلذه َه‬ ِ‫َ ه‬
,‫ َوالت ه ْم ُر ِبالت ه ْم ِر‬,‫ش ِع ِير‬
‫ير ِبال ه‬ ‫ َوال ه‬,‫ َوا ْلبُر ِبا ْلبُ ِر‬,‫ض ِة‬
ُ ‫ش ِع‬ ‫ِبا ْل ِف ه‬
‫ فَ ِإ َذا‬,ٍ‫ يَدًا بِيَد‬,‫اء‬ ٍ ‫س َو‬َ ِ‫س َوا ًء ب‬َ ,‫ ِمثْ ًَل بِ ِمثْ ٍل‬,ِ‫َوا ْل ِم ْل ُح بِا ْل ِم ْلح‬
َ ‫شئْت ُ ْم ِإ َذا ك‬
‫َان يَدًا ِبيَ ٍد‬ ِ ‫ف‬ َ ‫اف فَ ِبيعُوا َك ْي‬ُ َ‫صن‬ ْ َ ‫ا ِْختَلَفَتْ َه ِذ ِه ا َ ْْل‬
‫س ِل ٌم‬
ْ ‫) َر َواهُ ُم‬
108. Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan
menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima." Riwayat Muslim.
109. Dari kedua hadis diatas, menjelaskan bahwa kita tidak boleh menukar barang yang sejenis
tapi kadarnya berbeda. Seperti menukar emas 24 karat sebanyak 2 gram dengan emas 19
karat sebanyak 3 gram. Hal ini termasuk dalam riba, karena dalam hadis kedua disebutkan
syarat-syarat menukar barang yang sejenis itu yaitu :
110. 1. Barang yang ditukar itu sama sebanding;
111. 2. Barang yang ditukar itu sejenis;
112. 3. Ada serah terima.
113. Ada sebuah hal yang logis kenapa Rasulullah melarang riba semacam ini, karena pastinya
ada pihak yang dirugikan atau terdzolimi. Inilah salah satu cara Islam melindungi umatnya.
114. b. Aplikasi dalam kehidupan
115. Aplikasi dalam riba dalam kehidupan bisa dicontohkan kepada oknum tukang
kerdit/rentenir yang menggandakan hasil dari penjualan barang sehingga harga barang
yang ditawarkan melebihi dari harga barang yang ditawarkan, Contohnya: harga baju
50.000 tapi ketika dicicil selama satu bulan perminggunya 15.000 sehingga total dari
keseluruhan 75.000 jadi lebihnya 25.000 maka itu bisa disebut riba.
116. Jadi pesan moral dari contoh kasus diatas sebagai pengaplikasian dalam kehidupan kita
sehari-hari adalah bahwa riba itu bukan hanya dalam kasus kredit saja, tetapi sistim bunga
dalam bank juga termasuk riba, jadi jika kita menggunakan jasa bank konvensional maka
kita jangan mengambil bunganya, lebih baik lagi jika kita menggunakan jasa bank syari’ah
yang jelas tidak terdapat sistem bunga sehingga tidak meresahkan.
117.
118. b. Utang-piutang
119. 1) Menunda Pembayaran Utang

‫س ْو َل أ‬ ُ ‫ قَأ َل ر‬: ‫ع ْنهُ قَأ َل‬ َ ُ‫ى أ هلل‬


َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَبِ ْى ُه َر ي َْر ة َ َر‬َ .120

‫ظ ْل ٌم َو إ َذ ا ا ُ تْبِ َع‬
ُ ‫ى‬ ْ ( ‫سلَّ ْم‬
ِّ ِ ِ‫َمط ُل ا ْلغَن‬ َ ِّ‫صل‬
َ ‫ى أ هللُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫أهلل‬
‫لى َم ِلئ فَ ْليَت َّ ِب ْع) متفق عليه‬
َ َ ‫ا َ َح َد ُك ْم‬
‫ع‬
121. a. Terjemah
122. “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Bersabda Rasulullah Saw:”barang siapa yang
menunda-nunda hutang, padahal ia mampu membayarnya, maka itu adalah suatu
penganiayaan. Dan barang siapa seseorang diantara kamu memindahkan pembayaran
hutangnya kepada orang lain, maka terimalah.” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan
Muslim)
123. b. Penjelasan dan Analisis
124. Dalam penjelasan hadits ini menjelaskan bahwa orang yang menunda- nunda hutang tapi
ia mampu untuk membayarnya maka orang tersebut sama saja dengan melakukan
pengniayaan terhadap orang lain . Oleh karena itu, kita harus langsung dalam
membayar hutang. Kecuali jika ia menindahkan pembayaran hutang kepada orang lain
yang berhutang kepadanya atau dalam istilah muamalah disebut Hiwalah. Maka hukumnya
boleh. Seperti menurut Imam Malik orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang
lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum
membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Sedangkan menurut
Abu Hanifah, Syarih dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal alaih
mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang menghutamngkan
kembali klagi kepada muhil untuk menagihnya[12].
125. Sementara itu syarat-syarat hiwalah menurut Syaid Sabiq sebagai berikut[13]:
126. 1. Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan
muhal alaih. Bagi muhal alaih rela atau tidak rela tidak akan mempengaruhi kesalahan
hiwalah.
127. 2. Samanya kedua hak baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, jangka waktu,
kualitas dan kuantitasnya.
128. 3. Stabilnya muhal alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu
membayar hutang adalah batal
129. 4. Hak tersebut diketahui secara jelas.

‫ع ْنهُ قَا َل (ت ُ ُو ِفِّى َر ٌج ُل ِمنَّا‬ َ ‫ى ا هلل‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن َجا ِبر َر‬ .130 َ ‫َو‬
‫صلَّى‬ َ ‫هلل‬ ِ ‫س ْو َل ا‬ ٌ ‫طنا َ هٌ َو َكفَّنَّا هٌ ث ٌ َّم ا ِّ ت َ ْينَا ِب ِه َر‬ ْ َّ‫س ْلنَا هٌ َو َحن‬ َّ َ‫فَغ‬
: ‫طا ث ٌ َّم قَا َل‬ ًّ ‫طا ٌخ‬ َ ‫علَ ْي ِه ؟ فَ َخ‬ َ ‫ى‬ َ ٌ ‫ ت‬: ‫سلَّ ْم فَقٌ ْلنَا‬
ِّ ِ ‫صل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ٌ‫هللا‬
‫ف فَت َ َح َّملَ ٌه َما أَب ٌْو‬
َ ‫ص َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َد ي ُْن ؟ فَقٌ ْلنَا ِد ْينَا َر ا ِن ِِ فَا ْن‬ َ َ‫أ‬
ُ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫ي فَقَا َل َر‬ َّ َ‫عل‬َ ‫ان‬ َ ‫قَتَا َدة َ فَأ َ ت َ ْينَاهُ فَقَا َل أَب ٌْوا قَتَا َدة َ ال ِ ِّد ْين‬
ِ ‫َار‬
‫ْت؟‬ ُ ‫ئ ِم ْن ُه َما ْال َمي‬ ِ ‫سلَّ ْم ( َح َّق ا ْلغ َِري ِْم ِوبَ َر‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ
َ ‫ص ِلِّى‬
)‫علَ ْي ِه‬ َ َ‫ ف‬,‫قَا َل نَعَ ْم‬
131. “ Dari Jabir ra. Ia berkata : “ Telah wafat diantara kami. Lalu kami memandikannya,
mewangikannya, mengkafaninya. Kemudian kami hadapkan kepada Rasulullah Saw.
Sambil kami berkata “shalat lah ia (Ya Rosulallah), lalu beliau melangkah beberapa
langkah, dan bersabda: “ Apakah mayat ini punya tanggungan hutang? “Ya, hanya dua
dinar, “lalu beliau berpaling. Kemudian Abu Qotadah menanggung hutang dua dinar itu,
lalu kami haturkan lagi kepada beliau. Maka Qotadah berkata: “dua dinar itu akulah yang
menanggungnya (Ya Rosulallah)” maka Rasulullah bersabda: kamu lah yang berhak
menanggung hutang si mayat itu dan ia telah terbebas dari hutangnya.” Jawab Abu
Qotadah: “Ya”. Kemudian Rosulullah Saw, mensolatinya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud
dan Nasai).
132. Hadits diatas menjelaskan bahwa tanggungan hutang seseorang boleh ditanggung terlebih
dahulu oleh orang yang ikhlas menanggungnya. Biasanya dalam penaganan terhadap
hutang piutang dilakukan oleh pihak keluarga sebelum harta warisnya dibagikan, apabila
yang mempunyai hutang tidak bisa membayar maka yang bertanggung jawab adalah pihak
keluarga, dan apabila pihak keluarga tidak bisa menanggungg utang- piutangnya bisa oleh
kerabatnya, maka apabila kerabatnya tidak bisa pula maka adalah orang yang ikhlas
menaggungnya.
133. c. Aplikasi dalam kehidupan
134. Dalam kasus ini bisa diterapkan pada seseorang yang berhutang kewarung secara kecil-
kecilan sehingga menjadi sebuah total hutang yang menumpuk dari jumlah keseluruhan.
Hingga orang yang berhutang ksusahan dalam membayarnya, hal itu tidak menjadi
masalah jika ia ingat terhadap hutang tersebut, tapi jika maka hal tersebut bisa menjadi
tanggungan orang yang berhutang, dan kewajiban orang yang di hutangi harap
mengingatkan kepada orang yang berhutang.
135. Pesan moral dari hal tersebut sebaiknya kita jangan menunda-nunda terhadap pembayaran
hutang, karena mungkin orang yang di hutangi itu membutuhkan uang, tapi malu untuk
menagihnya, yang akhirnya dia merasa resah dan timbul ketakutan bahwa orang yang
berhutang itu tidak membayarnya. Karena rasa keresahan dan ketakutan itu mungkin orang
tersebut akan membicarakannya dengan orang lain dan menimbulkan ghibah yang
akhirnya orang yang berhutang itu tidak akan dipercaya lagi
136. Kepercayaan itu sangatlah penting, dengan kepercayaan rasa cemas, ktakutan dan
keresahan akan hilang. Akan tetapi tanggung jawab dari kepercayaan itu juga sangat
penting agar tidak berimplikasi negatif.
137.
138. 2) Memberi Tempo Pembayaran Hutang

‫ع ْنهُ َكانَ فِى ِظ ِِّل ْالعَ ْر ِش يَ ْو َم‬


َ ‫ع ْن غ َِري ِْم ِه أ َ ْو َم َحا‬ َ َّ‫َم ْن نَف‬
َ ‫س‬ .139

)‫ْال ِقيَا َم ِة (رواه مسلم‬


140. a. Terjemah
141. “Barang siapa memberi kelonggaran waktu pembayaran kepada orang yang berhutang
ataun menghapuskannya hutang itu maka ia akan berada dalam naungan Arshy (kursi
kerajaan) Allah pada hari kiamat.” (HR.Muslim)
142. b. Penjelasan dan Analisis
143. Artinya: tidak ada seseorang hamba yang mempunyai niat untuk melunasi hutangnya,
melainkan dia akan dapat pertolongan dari allah.[14]
144. Kata aisyah saya mencari pertolongan allah itu. Menurut saya sudah jelas pula sebuah
hadits itu: seseungguhnya akan diampuni orangyang mati syahid itu semua dosanya dan
selain uatagnya:dalam hadits lain” sekarang sudah dingin kulitnya” rosullah bersabda
demikian itu kepada orang yang melunasi utang orang mati dalam kaadaan menaggug
bebat hutang.
145. Menurut saya(Sha saha’ain) : mungkin bahwa makna tidak akan diampuni orang utang
yang mati syahid itu bahwa dia tetap menaggung utang itu sehingga allah melunasi uangya
itu pada hari kiamat kelak, dan tidak mesti dia disiksa dialam kburnya karena amsih dada
tanggunggan utang itu. Dan makna sabdanya”sudah dingi kulitnya” bahwa ia selamat dari
siksa akibat masih ada utangnya. Dan mungkin maksudnay ialah.bagi oarng- orang yang
berhutang dan tidak ada niat untuk meluasi hutangnya itu.
146. c. Aplikasi dalam kehidupan
147. Selayaknya manusia kita harus saling tolong menolong, dalam hal ini yang dimaksudkan
saling menolong adalah saling menolong terhadap kelonggaran dalam tempo pelunasan
hutang, maka berilah kesempatan pada orang lain untuk memberikan jangka waktu atau
tempo dalam pelunasan hutang tersebut. Agar orang yang berhutang itu tidak merasa
terbebani. Namun jika orang yang berhutang itu tidak mampu juga untuk melunasi
hutangnya alangkah baiknya bagi kita untuk mengikhlaskanya untuk mendapatr ridha
Allah.
148. Jadi pesan moral dari hadits tersebut bahwa jangka waktu dalam pelunasan hutang itu
sangat penting, oleh karena itu butuh keikhlasan dan kesabaran dalam menanganinya. Tapi
jika kita yang berhutang janganlah menganggap kesabaran dan keikhlasan itu sebagai
kelonggaran sehingga kita lalai akan membayarnya. Dalam islam, Allah tidak
memberatkan hambaNya.
149.

150.
151. BAB
III
152. PENUTUP
153. A. Kesimpulan
154. Dalam makalah ini telah dijelaskan bahwa Allah dan Rasulullah telah mengatur aturan
muamalah yang terbaik bagi manusia. Seperti Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan
uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan. Sedangkan riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang
tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya. Dalam kehidupan
sekarang, perilaku riba menjadi sesuatu yang sudah merebak dimana-mana dan dianggap
hal yang biasa. Untuk itu perlu ada sebuah tindakan penyadaran akan perilaku tersebut
adalah salah.
155. Selain dari prilaku riba, dalam bermuamalah juga kita kenal dengan adanya istilah hutang.
Hutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan
dikembalikan pada waktu kemudian. Misalnya, hutang Rp. 1000.000 maka kemudian
melunasinya Rp. 1000.000 tanpa ada tambahan dalam pelunasannya dan dikembalikan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
156. Kehalalan adalah hal yang utama dalam bermuamalah, oleh karena itu kita harus
bermuamalah dengan baik, maksudnya bermuamalah sesuai kaidah islam, agar kita
mendapat ridha Allah dan selamat di dunia dan akhirat.
157. B. Kritik dan saran
158. Pembahasan dalam makalah ini kami ambil dari berbagai buku sumber referensi.
Setelah pembaca membaca makalah ini, kami berharap pembaca menemukan berbagai
kekurangan sehingga pembaca berkeinginan untuk lebih mendalami tentang materi yang
kami bahas ini.
159. 1 ‫ح ٍد ِم ْن ُهمَا‬ِ ‫ل و َْا‬ُّ ‫جالَنِ َف ُك‬ َ َ‫ “إِ َذ ْا تَبَاي‬: ‫ عن رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم أنه قال‬,‫م َر رضىاهلل عنهما‬
ُ ‫ع ال َّر‬ َ ‫هللا بن ُع‬ ِ ‫ن َع ْب ِد‬ ْ ‫َع‬
‫ َف َق ْد َوجَبَ البَ ْي ُع‬,َ‫ َف َتبَايَ َعا َعلَى َذلِك‬,َ‫خر‬ َ ‫همَا اآل‬ َ َ‫خيَّ َر أ‬
ُ ‫ح ُد‬ َ ‫ َفا ِْن‬: ‫َ قال‬,‫خر‬ َ َ‫خ ِي ُر أ‬
ُ ‫ح ُد‬
َ ‫همَا اآل‬ َ ‫ أَ ْو ُي‬,‫م ْي ًعا‬ َ ‫م يَ َت َف َّر َق ْا َو َكانَا‬
ِ ‫ج‬ ْ َ‫َار مَال‬
ِ ‫ي‬‫خ‬ِ ْ ِ‫ب‬
‫ال‬
‫ حديث حكيم بن حزام وهو‬: ‫ وما فى معناه‬.‫ رواه الجماعة إال أباداود والترمذى‬:
Dari Abdillah bin ‘Umar ra ……………: Bila dua orang mengadakan perjanjian jual beli maka masing-masing
boleh menentukan pilihannya selama mereka belum berpisah, atau salah seorang dari mereka menentukan
sikap, Nabi saw bersabda : Apabila salah seoramg dari dua belah pihak sudah menentukan pilihannya atau
ketentuannya , kemudian mereka melakukannya sesuai pilihan itu, berarti jual-belinya jadi. HR Jama’ah .
160. 2 ‫ك لَ ُهمَا‬ َ ‫ص َد َقا وَبيَّنَا ُب ْو ِر‬َ ‫ح َّتى يَ َت َف َّر َقا – َفإِ ْن‬ َ : ‫م يَ َت َف َّر َقا – أو قال‬ ْ َ‫َار مَال‬
ِ ‫خي‬ِ ‫ قال رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم “البَيِ َعانِ بِال‬: ‫قال‬
‫ِهمَا” رواه الجماعة إال ابن ماجه‬ ِ ‫ع‬‫ب‬ْ َ ‫ي‬ ُ
‫ة‬ ‫ك‬َ ‫ر‬
َ َ ‫ب‬ ْ
‫ت‬ َّ
‫ِق‬ ‫ح‬ ‫م‬ُ ‫َا‬ ‫ب‬ َ
‫ذ‬ َ
‫ك‬ َ
‫و‬ ‫َا‬
‫م‬ ‫ت‬َ َ
‫ك‬ ْ
‫ِن‬ ‫ا‬ َ
‫و‬ ,‫َا‬
‫م‬ ِ ْ َ‫فِى ب‬.
‫ِه‬
‫ع‬ ‫ي‬
…………dua pihak orang yang berjual-beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum saling
meninggalkan –( (atau) sehingga mereka saling berpisah), apabila mereka saling membenarkan atau dan
sama-sama jelas maka merekan mendapat berkah, apabila mereka saling menyembunyikan (saling
merahasiakan) dan saling bohong maka hapuslah keberkahannya, HR Jama’ah.
161. Penjelasan
Rasulullah saw menganjurkan kepada umatnya dalam melakukan transaksi agar berhati-hati , supaya dalam
berjual-beli mendapat suatu kepastian , baik penjual maupun pembeli sama-sama relanya karena barang
yang diperjual belikan sudah jelas tisak ada yang disamarkan/diragukan lagi, pembeli pun tidak merasa
terbujuk . Rasulullah pun menganjurkan agar dua belah pihak mendapat nasihat dari orang lain atau
informasi dari yang lain tentang harga, demikian juga tentang benda yang diperjual belikan tidak ada cacad,
sehingga hasilnya mendapat berkah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw
162. ‫ك ُة تَ ْل َع ُن ُه‬
َ ِ‫مالَئ‬ َ ‫َل ْال‬ ْ ‫م تَز‬ ْ َ‫هللا وَل‬
ِ ‫ت‬ ِ ‫َل فِى م َْق‬ ْ ‫م يَز‬ ْ َ‫م ُيبَيِ ْن ُه ل‬ ْ َ‫ع َع ْيبًا ل‬َ ‫َن ب َْا‬ْ ‫م‬
163. Barang siapa menjual barang ada cacadnya dan si penjual tidak mmau memberitahukan cacadnya , maka
selamanya ada dalam murka Allah , dan malaikat pun selalu melaknatnya.
164. Buyu’: jamakdari bai’ yaitu tukar menukar sesuatu, dan jual beli menurut istilah adalah tukar menukar harta
dengan harta dengan saling rela.
Khiyar : tuntutan salah satu dari dua pihak dalam satu urusan agar akad itu jadi atau akad itu tidak jadi.
Ma lam yatafarroqo : Waktu yang digunakan untuk mengadalah tawar menawar di suatu majlis , batasnya
sampai mereka terjadi berpisah , bila terjadi berpisah selesailah , urusannya , mungkin selesai itu jadi
akadnya atau selesai itu tidak jadi akadnya. Atau salah satunya menjanjikan dengan tenggang waktu yang
ditentukan dengan ditanggapi positip. Kalau ditanggapi positip berarti akad jual belinya jadi dan kalau
ditanggapi negatip berarti akad jual belinya tidak jadi.
165. Kesimpulan:
1. Ditetapkannya khiyar majlis dalam berjual-beli bagi dua orang yang sedang ber akad.Salah satunya boleh
membatalkan selama masih dalam berakad. Menurut Al Syafi’I dan Ahmad dalam mengartikan berpisah
adalah apabila mereka sudah saling menjauh (berpisah secara fisik) , tetapi menurut Malik dan Hanafi
berpisah diartikan berpisah pembicaraannya.
2. Ditetapkannya khiyar Syarat , bagi dua orang yang sedang melakukan jual beli dalam tenggang waktu
yang ditentukan mereka.
3 Wajib menashihati seorang muslim .
4 Kelebihan /keutamaan shidik (benar/jujur) dan dorongan untuk melakukan sshidik
5. Shidik dan nasihat dua-duanya menambah kenikmatan dan menjadikan berkah dalam berusaha / kasab
yang halal.
6 Diharamkannya membujuk dan membuat barang yang diaduk yang baik dengan yang buruk sampai
pembelinya tidak tahu.
7. Mencaci perbuatan bohong dan mendorong untuk menjauhinya perbuatan itu , kar ena perbuatan
bohong tidak menjadikan barokah
8 Segala amal yang shalih adalah yang wajib diusahakan kaum muslimin untuk kebahagiaan manusia
didunia maupun di akhirat kelak
166. Perawi haditas.
Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bi Huwaelid Al Asdi , yaitu Abu Khalid bin saudara Hadijah ,
beliau masuk Islam dikala Makkah dikalahkan Rasulullan saw (yaumul fath) , Baliau pernah oleh Nabi diberi
100 ekor unta hasil ganimah perang Hunaen, Beliau dilahirkan di dalam Ka’bah 13 tahun sebelum terjadi
serangan Ka’bah oleh Abrahah , hidup dimasa jahiliyah sebelum Islam, 60 tahun, dan setelah Islam 60
tahun, Beliau seorang yang suka memberi sesuatu kepada orang yang butuh (jawwad) dan seorang yang
mulia (kariim) , pernah memerdekakan 100 orang hamba sahaya dan mensodakohkan 100 unta dimasa
jahiliyah , beliau berhaji dengan membawa 100 unta ,berwuquf di ‘Arofah dengan membawa 100 unta yang
membawa uang perak, yang dituliskan ‘Ataqoullah dari Hakim bin Hizam , dan menghadiahkan 100
kambing, Wafat di Madinah tahun 54 H.
167. Evaluasi :1. Jelaskan jual beli khiyat. 2. Jelaskan pendapat para Madhab dalam menafsirkan ayat Qur’an dan
hadits tentang bai’ . 3. Ada berapa macam khiyar dlm hadits . 4.Apa bedanya khiyar majlis dan khiyar
syarat.
168. 3 ِ‫ل ثَ ْوبَ ُه بِالبَ ْيع‬ ِ ‫ج‬ُ ‫ح ال َّر‬ ُ ‫ى طَ ْر‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ َو‬,ِ‫منَابَ َذة‬ ُ ‫ن ال‬ ِ ‫ “أن النبى صلىاهلل عليه وسلم نَهَى َع‬,‫عن أبى سعيد الخدرى رضىاهلل عنه‬
‫ رواه الجماعة‬.ِ‫الث ْوبَ ال َ يَ ْنظُ ُر إِلَ ْيه‬ َّ ‫ل‬ ْ َ‫ ل‬: ‫َس ُة‬ َ ‫ن الُمالَم‬ ُ َ َ َ ‫جل َق ْب‬
ِ ‫ج‬ ُ ‫س ال َّر‬ ُ ‫م‬ َ ‫مالَم‬ ُ ‫ وَال‬. ‫ة‬ ِ ‫َس‬ ِ ‫ َونَهَى َع‬,ِ‫ أ ْو يَ ْنظ ُر ِإلَ ْيه‬,‫ل أ ْن ي َْق ِبلَ ُه‬ ِ ُ ‫إِلَى ال َّر‬
‫إال الترمذى وابن ماجه‬.
Dari Abi Sa’id ra Bahwa Nabi saw melarang jual beli munabadzah (menjual dengan cara si penjual
melemparkan kainkearah pembeli, yang kena oleh kain itu harus dibayar) , (atau si pembeli melihat
jatuhnya kain maka sipembeli wajib membayar barang itu) , dan melarang jual beli dengan cara mulamasah
(caranya ialah si calon pembeli menyentuh barang yang akan dibeli , maka wajib barang itu dibeli ) . HR
Jama’ah .
169. Penjelasan
Dimasa jahiliyah orang-orang berjual beli menggunakan cara yang haram, yang bersifat
membujuk,mengkesasarkan,dan mengambil harta dengan cara batal, serta bukan haknya, Rasulullah
melarang sistim jual beli yang seperti itu, seperti menjual benda dengan cara mana saja yang tersentuk kain
wajib dibayar, mana saja benda yang terkena lemparan baru kerikil wajib dibayar, mana saja benda itu
tersentuk tangan calon pembeli wajib dibayar.
170. Kesimpulan : jual beli yang haram adalah seperti : Mulamasah , Munabadzah, Goror.
171. 4 ‫ض‬ ٍ ‫ع ب َْع‬ ِ ‫م َعلَى بَ ْي‬ ْ ‫ض ُك‬ ُ ‫ َوال َ يَ ِب ْي ُع ب َْع‬,‫َان‬ َ ‫الر ْكب‬ ُّ ‫وا‬ ْ ‫ “الَتَلَ َّق‬: ‫ أن رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم قال‬: ‫عن أبى هريرة رضىاهلل عنه‬
,‫كهَا‬ َ ‫س‬ َ ‫ضيَهَا أَ ْم‬ ِ ‫ ِإ ْن َر‬, ‫َحلُبَهَا‬ ْ ‫ ب َْع َد أَ ْن ي‬,‫ن‬ ِ ْ
‫ي‬ ‫ر‬
َ َ ‫ظ‬ َ ‫ن‬ ‫خ ْي ِر‬ َ ِ‫َن ِا ْبتَا َعهَا َف ُه َو ب‬ ْ ‫ َوم‬,َ‫ل وَال َغ َنم‬ َ ِ‫إلب‬ ْ ‫ َوالَتَص ُِّر‬,‫ض ٌر لِبَا ٍد‬
ِ ‫وا ا‬ ِ ‫ َوال َ يَ ِبي ُع حَا‬, ‫وا‬ ْ ‫َش‬ُ ‫وَال تَناج‬
‫َار ثَالَثًا” متفق عليه‬ ِ ‫خي‬ ِ ‫ه َو بِال‬ ُ ‫ “ َو‬: ‫ظ‬ ٍ ‫ َوفِى لَ ْف‬.”‫ِن تَم ٍَر‬ ْ ‫َاعا م‬ ً ‫ها َوص‬ َ ‫سخِطَهَا َر َّد‬ َ ‫وَإِ ْن‬
172. ………….Bahwa Rasulullah saw bersabda : Kalian jangan menjemput orang-orang yang membawa barang
dasgangannya menuju pasar, jangan kalian menjual barang dagangan orang lain, janganlah kalian
membuat barang dagangan yang barang baik diaduk (dicampuri) dengan barang jelek, jangan menjual
orang penduduk kepada orang pendatang dari pelosok, jangan mencampur adukkan antara kambing
dengan unta, barang siapa akan membeli hendaknya dilihat barangnya dulu dengan sebaik baiknya setelah
hewan itu diambil air susunya, apakah rela atau tidak, bila rela silah kan bila tidak rela agar dikembalikan
dengan ditambah satu sho’ tamar, Dalam hadits lain berbunyi harus dengan cara memilih sendiri. HR
Muttafaq ‘alaih .
173. Penjelasan.
Rasulullah saw sangan menantikan, sangan mengharapkan rasa mahabbah (kasih sa yang) anatara orang-
orang yang melakukan jual-beli.Dan sangat berhati-hati menjaga agar tidak terjadi saling jengkel, saling
menyakiti, antara penjual dan pembeli. Rasu lullah melarang sahabat mencegat dagangan yang sedang
dibawa dari kampung menuju pasar karena belum tahu berapa harga dipasar,
Rasulullah saw juga melarang mengikat kambing perahan atau unta perahan untuk supaya kelihatan air
susunya banyak, padahal air susunya sebenarnya sudah diperah lebih dulu. Bila terjadi seperti itu maka
pembeli akan merasa tertipu oleh penjual.
174. Kesimpulan :
175. 1.Larangan mencegat dagangan yang akan dibawa kepasar , karena dengan dicegat menjadi tidak tahu
harga pasar. Yang demikian kadang-kadang terjadi penyesalan bagi sipenjual setelah sipenjual mengetahui
harga pasar.
176. 2.Larangan menjual barang yang sedang dalam tawar menawar, apalagi bila tawar menawarnya sudah
hampir jadi atau sudah jadi.
177. 3.Larangan menjual barang yang terjadi/terdapat unsur tipuan didalam barang itu sendiri, tipuan ini
biasanya tidak kelihatan (tersembunyi) dan diketahui oleh pembeli setelah barang itu dibawa kerumahnya.
Misal barang yang bagus dilihat dari luar ternyata setelah dilihat didalamnya terdapat barang yang jeleknya.
178. 4.Larangan menjual barang yang seperti dalam tumpukan atau pada binatang perahan sengaja ditahan
untuk tidak diperah agar kelihatan banyak air susunya padahal sebenarnya tidak demikian.
179. 5.Larangan menjual barang yang tidak murni karena dicampur adukkan dengan yang mutunya jelek.
180. 5 ‫ل‬ ُ ‫ه‬ ْ َ‫ان بَ ْي ًعا يَ َتبَايَ ُع ُه أ‬ َ ‫ َو َك‬,ِ‫حبَلَة‬ َ ‫ْل ال‬ ِ ‫حب‬ َ ِ‫ن بَ ْيع‬ ْ ‫هلل صلىاهلل عليه وسلم نَهَى َع‬ ِ ‫ل‬ َ ‫َس ْو‬ ُ ‫نر‬ َّ َ‫عن عبد هللا ابن عمر رضىاهلل عنهما “أ‬
‫ى ال َك ِب ْير َُة‬ ‫ه‬ َ
‫و‬ – ‫ف‬ُ ‫ار‬ َّ
‫الش‬ ُ
‫ع‬ ‫ي‬ْ ‫ب‬ َ ‫ي‬ َ
‫ان‬ َ
‫ك‬ ُ
‫ه‬ َّ ‫ن‬ ‫إ‬ : َ
‫ل‬ ْ
‫ي‬ ‫ق‬ ,‫َا‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ْ
‫َط‬ ‫ب‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ِى‬ ‫ت‬َّ ‫ال‬ ُ
‫ج‬ َ
‫ت‬ ْ
‫ن‬ َ ‫ت‬ َّ
‫م‬ ُ ‫ث‬ , ُ
‫ة‬ َ
‫ق‬ ‫ا‬‫ن‬َّ ‫ال‬ َ
‫ج‬ َ
‫ت‬ ْ
‫ن‬ َ ‫ت‬ ْ
‫ن‬ َ‫ج ُز ْو َر إلَى أ‬ ُ ‫ل يَ ْبت‬
َ ‫َاع ال‬ ُ ‫ج‬ ُ ‫ن ال َّر‬َ َ‫ه ِليَ ِة كا‬
ِ ‫الجَا‬
َ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ه” متفق عليه‬ َ َ‫ن ن‬
ِ ِ‫اقت‬ ْ
‫َط‬ ‫ب‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ِى‬ْ ‫ذ‬ َّ‫جنِ ْين ال‬ َ ‫ال‬ ‫َاج‬ ‫ت‬ ‫ن‬
ِ ‫ب‬ – ‫ة‬ُ َّ
‫ن‬ ‫س‬
ِ ُ
‫م‬ ْ
‫ال‬.
ِ ِ ِ ِ
……………..Bahwa Rasulullah saw melarang menjual janin yang belum dilahir kan.Jual beli demikian adalah
jual-beli orang-orang jahiliyah . Mereka melakukan membeli unta yang masih belum lahir, dan setelah
dilahirkan barulah dimiliki pembeli.Yaitu mereka menjual unta dewasa dibayar dengan unta yang masih
dalam kandungannya dengan perjanjian bila yang dilahirkan sudah dewasa.
181. Penjelasan.
182. Rasulullah melarang jual beli unta dewasa dibayar dengan unta yang masih dalam kandungan , karena
menunggu lahir dan menunggu dewasa unta yang lahir itu.
183. Kesimpulan .
1.Batal jual-beli barang yang majhul (belum diketahui barangnya).
2.Jual-beli majhul seperti juga menjual binatang dibayar dengan anaknya yang belum lahir, dengan
menunggu besarnya yang lahir tadi.
‫ وهو الذى بعده‬,‫ ومثل هذا حديث أنس‬.‫شت َِرى” رواه الجماعة إال الترمذى‬ ْ ‫م‬ ُ ‫ع واَل‬ َ ِ‫ نَهَى البَائ‬,‫حهَا‬ ُ َ‫صال‬
َ ‫ح َّتى يَب ُْد َو‬ َّ :
ْ ‫الث‬
َ ‫م َر ِة‬
Dari Abdullah bin Umar ra Bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah yang belum tampah tuanya ,
melarang si penjual dan melarang si pembeli. Hr Jama’ah kecuali Tirmidzi . Hadits yang sama adalah hadits
Anas berikut
184. 7 : ‫ل‬ ْ َ‫ أَ ْو ت‬,‫م َّر‬
َ ‫ص َف َّر َقا‬ َ ‫ح‬ ْ َ‫ح َّتى ت‬ َ : ‫ى ؟ قال‬ ِ ‫ل َومَا تَ ْز‬
َ ‫ه‬ َ ‫ قِ ْي‬,‫ى‬ َ ‫ه‬ِ ‫ح َّتى تَ ْز‬ َ ‫َار‬
ِ ‫ع الثِم‬ ِ ‫ن بَ ْي‬ ْ ‫أن رسول هلل صلى هللا عليه وسلم نَهَى َع‬
‫ح ْي ِه ؟” متفق عليه‬ ِ َ‫ل أ‬ َ ‫م مَا‬ ْ ‫ح ُد ُك‬َ َ‫ل أ‬ ُ ‫ح‬ ْ ‫ ِبَم ي‬, ‫م َر َة‬
ِ ‫َس َت‬ َّ ُ‫ع هللا‬
ْ ‫الث‬ َ ‫ت إِ َذ ْا َم َن‬َ ‫أَرَأَ ْي‬.
………..bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah sehingga buah itu tampak bagus,Rasulullah ditanya
apa yang dimaksud bagus? , beliau menjawab “sampai kelihatan merah , atau kelihatan kuning, Tahukan
kalian bila ternyata Allah menolak bagusnya itu (misal kena bencana ambrol) , maka dengan cara apa kalian
untuk menghalalkan hartanu itu yang kalian peroleh dari saudaramu? Mutfq ‘alaih .
185. Penjelasan.
186. Menjual buah (masih belum dipetik) yang belum jelas masak, atau masih muda adalah dilarang karena buah
yang masih muda itu masih memungkinkan akan ambrol, tidak dapat dimanfa’atkan. Bila terjadi seperti itu
maka antara penjual dan pembeli pasti terjadi cekcok karena pembeli akan merasa dirugikan . Buah yang
boleh dijual dipohon adala buah yang sudah menungkinkan bila waktu dibeli sudah layak dipetik karena ada
tanda-tanda cukup tua , misal kelihatan merah , atau kelihatan kuning atau sebangsanya.
187. Kesimpulan .
188. 1. Larangan menual buah dipohon bila belum tampat tua dan belum memungkinkan untuk diambil, yaitu
masih muda. Larangan ini tentunya untuk pembeli dan penjual karena pertengkaran tidak dikehendaki.
2. Menjaga agar hal-hal yang dapat menimbulkan percekcokan dihindari .
3. Melakukan hukum yang dapat atau biasa dilakukan selama tidak menimbulkan negatip, karena membeli
buah yang masih dipohon, yang buah itu masih muda memungkinkan untuk terjadi tidak dapat
dimanfa’atkan , maka yang demikian tidak boleh , kecuali buah itu sudah mampu untuk dipetik secara
umum.
4. Dibolehkannya menjual buah yang masih dipohon apabila buah itu sudah cukup tua.
8 ‫ض ُر لِبَا ٍد‬ ِ ‫ع حَا‬ َ ‫ وَأَ ْن يَ ِب ْي‬,‫َان‬ ُ ‫الركب‬ ُّ ‫ ” نَهَى رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم أن تُتَلَ َّقى‬: ‫عن عبدهللا بن عباس رضىاهلل عنهما قال‬
‫سارًا ” رواه الجماعة إال الترمذى‬ َ ‫ِم‬ْ ‫ون لَ ُه س‬ ُ ‫ الَي َُك‬: ‫ض ٌر لِبَاٍد ؟ قال‬ ِ ‫َاق ْو ُل ُه حَا‬ َ ‫ م‬: ‫َاس‬ ْ ‫ن َعب‬ ِ ‫ال ْب‬
ِ ‫ت‬ ُ ‫ َف ُق ْل‬,‫؟ قال‬.
189. 6
Dari Ibnu Abas ra berkata: Rasulullah saw melarang mencegat orang-orang pembawa dagangan untuk
dijual kepasar dicegat untuk dibeli sebelum sampai dipasar.Dan melarang penjualam pendatang kepada
orang kampung. Ibnu Abas ditanya: Apa maksudnya pendatang kepada orang kampung?Jawabnya itu
maksud nya adalah simsar (makelar) HR Jama’ah .
190. Penjelasan :
191. Syara’ yang bijaksana selalu membawakan umat untuk mashlahat, dan men cegah apa-apa yang dapat
menimbulkan madorot.Dengan mengarah seperti tersebut maka Rasulullah melarang mencegat orang yang
membawa barang dagang annya untuk dijual dipasar dengan dibeli ditperjalanan karena yang demikian
dapat menim bulkan pebnyesalan bagi penjual, setelah penjual sampai kepasar dan dipasar menge tahui
harga lebih tinggi, pembeli akan menjual barang itu dipasar dengan harga yang sangat tinggi. Demikian
juga Syara melarang para calo untuk melakukannya karena dengan calo inipun akan dapat menjadikan
sipenjual menyesal karena harga yang jadi akan dibayar dengan potongan untuk si calo itu.
192. Kesimpulan
193. 1. Larangan mencegat penjual untuk dibeli ditengah perjalanan.
2.Larangan menjual sistim calo.
3.Larangan sistim jual beli yang mengakibatkan penyesalan salah satu pihak antara penjual atau pembeli .
194. 9 , ‫ه‬ ِ ‫ط‬ِ ِ‫م َر حَائ‬ ْ َ‫ع ث‬ َ ‫ى أَ ْن يَبِ ْي‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ َو‬,ِ‫مزَابَ َنة‬ ُ ‫ نَهَى رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم عن ال‬: ‫عن عبدهللا بن عمر رضىاهلل عنهما قال‬
”‫ه‬ ُ
ِ ِ‫ك كل‬ َ
َ ِ‫ام نَهَى َعن ذل‬ ٍ ‫ل طَ َع‬ ِ ‫ك ْي‬َ ِ‫ أَ ْن يَبِِِ ِْي َع ُه ب‬: ‫ْعا‬ ً ‫ان َزر‬ َ ‫ وَإِ ْن َك‬, ً‫ب َك ْيال‬ ٍ ‫ أَ ْن يَبِ ْي َع ُه بِ َزبِ ْي‬: ‫ان َك ْر ًما‬
َ ‫ وَإِ ْن َك‬, ً‫َم ٍر َك ْيال‬
ْ ‫خالً بِت‬ْ َ‫ان ن‬َ ‫إِ ْن َك‬
‫رواه الجماعة إال الترمذى‬.
195. …………Rasulullah saw melarang jual-beli yang tidak diketahui takarannya atau ukurannya, seperti menjual
kurma basah dibayar dengan kurma kering sama-sama ditakar, atau menjual anggur basah ditukar dengan
anggur kering yang sama-sama ditakar, atau menjual beras atau padi ditukar dengan makanan yang ditakar
, semuanya itu dilarang . Hr Jama’ah kecuali Tirmidzy .
196. Penjelasan .
197. Allah sawt mengharamkan riba, karena dalam masalah riba ada unsur memakan harta orang lain dengan
tidak halal .Dalam barter yang sama disyaratkan sama jenisnya dan sama takaran atau timbangannya, serta
sama-sama tahu, dan saling serah-terima , jangan terjadi buah yang masih basah ditukar dengan buah
yang sudah kering yang sama takarannya.
Jual beli yang semacam ini akan menimbulkan salah satu pihak merasa dirugikan, akan menyesal karena
tentu sala tidak seimbang, Syara’ melarang perbu atan apa saja yang seharusnya seimbang tyernyata tidak
seimbang. Inilah yang maksud dengan muzabanah
Kesimpulan
198. 1.Larangan menjual buah kurma basah dengan buah kurma yang sudah dikeringkan , walaupun sama
takarannya atau sama timbangannya. Hal ini karena yang basah apa bila sudah dikeringkan akan terjadi
mengkerut dan timbangannya menjadi berkurang menurut Abu Hanifah boleh saja yang tua ditukan dengan
yang muda asal sama-sama baru memetik.
10 ِ‫َح ْلوَان‬ ُ ‫ و‬,‫ى‬ ِ ‫ َوم َْه ِر ْالب َْغ‬,ِ‫ك ْلب‬َ ‫َن ْال‬
ِ ‫ن ثَم‬ ْ ‫عن أبى مسعود األنصارى رضىاهلل عنه “أن رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم نَهَى َع‬
‫ِن‬
ِ ‫”الكاه‬ َ ْ
11 ‫ث‬ ٌ ‫خ ِب ْي‬
َ ِِ‫ى‬ ِ ‫ َوم َْه ُر ْالب َْغ‬, ‫ث‬ٌ ‫خ ِب ْي‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ك ْل‬
َ ‫َن ْال‬ ُ ‫ ” ثَم‬: ‫ أن رسول هلل صلى هللا عليه وسلم قال‬: ‫عن رافع بن خديج رضىاهلل عنه‬
‫ث‬ُ ‫خ ِب ْي‬
َ ‫ام‬ ِ ‫ج‬ َ ‫ب ْال‬
َّ ‫ح‬ ُ ‫س‬ ْ ‫” َو َك‬
Dari Ibnu Mas’ud ……… Bahwa Rasulullah saw melarang menggunakan uang hasil menjual anjing, uang
hasil menjadi pelacur, uang hasil menjadi tukang dukun.
199. Dari Rafi’ ……………Bahwa Rasulullah saw bersabda : Uang hasil menjual anjing adalah kotor (najis), uang
hasil pelacur juga kotor (najis) uang hasil menjadi tukang bekam juga kotor (najis) .
200. Penjelasan :
201. Segala yang mengakibatkan kerusakan dan juga menimbulkan tindakan bohong baik itu berupa makan yang
dihasilkan dari perbuatan haram, atau barangnya itu sendiri adalah barang haram , adalah dilarang Syara’.
Sebagai contoh misal memanfa’atkan uang hasil jualan anjing, baik jualan anjing itu dalam artian untuk
dikonsumsi daginga atau pun jualan anjing untuk yang lain. Misal lagi uang yang dihasilkan dari pelacuran ,
uang yang dihasilkan dari tukang penerka (tukang nujum) dan seperti bekerja tukang bekam .
202. Kesimpulan .
203. 1. Anjuran agar kita melakukan segala yang berbentuk akhlakul karimah .
2. Larangan berkasab yang dinilai rendah yang haram.
204. Perawi hadits.
Rafi’ bin Khodij bin Aus seorang shahaby yang ikut perang Uhud dan perang-perang lainnya . meriwayatkan
hadits kurang lebih 78 hadits , wafat th 74 H
205. ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:
206.
207. Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 275:

ِ ‫َوأ َ َح َّل ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الر َبا‬ .208
209. “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
210.
211. Ayat di atas merupakan dalil naqli mengenaidiperbolehkannya akad jual
beli. Atas dasar ayat inilah, makamanusia dihalalkan oleh Allah
melakukan praktik jual beli dan diharamkan melakukan praktik riba.
212.
213. Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282:
... ‫ َوأ َ ْش ِهد ُْوا ِإذَا ت َ َبا َي ْعت ُ ْم‬... .214
215. “... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”
216.
217. Berbeda dengan ayat yang pertama, ayat ini yaitu menjelaskan secara
teknis dalam jual beli, bagaimana seharusnya praktik jual beli yang benar yang
benar tersebutdijalankan. Berkaitan dengan ayat di atas, telah sama-sama kita
ketahui bahwa akad jual beli merupakan suatu bentuk transaksi yang dilakukan
antara dua orang atau lebih untuk saling memenuhi kebutuhan keseharian
mereka. Akan tetapi terkadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga
dalam proses jual beli tersebut ada baiknya manakala didatangkan saksi atau alat
bukti lain yang menunjukkan transaksi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesaksian atau bukti bahwa kedua belah pihak tersebut betul-betul
telah melakukan akad jual beli. Oleh karena itu, Al-qur’an mengajarkan agar dalam
praktik jual beli hendaknya ada saksi yang menyatakan keabsahan transaksi jual
beli antara kedua belah pihak.
218.
219. Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 29:
220.

ِ ‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَأ ْ ُكلُواْ أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب‬
َ‫اط ِل ِإالَّ أَن ت َ ُكون‬ .221

‫اض ِمن ُك ْم‬


ٍ ‫ارة ً َعن ت َ َر‬ َ ‫ِت َج‬
222.
223. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka-sama suka di antara kamu.”
224.
225. Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela dalam
mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak melakukan penipuan,
kebohongan, perampasan, pencurian atau perbuatan lain secara batil untuk
mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta dengan cara jual
beli yang baik yaitu didasari atas suka sama suka.
226.
227. Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 198:
228.

ْ َ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْبتَغُواْ ف‬


‫ضالً ِمن َّر ِب ُك ْم‬ َ ‫لَي‬ .229
.230
231. “Tidak ada bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari
Tuhamu.”
232.
233. Penjelasan yang dapat dipetik dari ayat tersebut adalah bahwa, perniagaan
adalah jalan yang paling baik dalam mendapatkan harta, di antara jalan yang lain.
Asalkan jual beli dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur oleh
syariat.
234.
235. Berkaitan dengan jual beli, rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah satu
sahabatnya mengenai pekerjaan yang baik, maka jawaban beliau ketika itu adalah
jual beli. Peristiwa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
236.

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ع ْنهُ أ َ َّن النَّ ِب‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫َع ْن ِر َفا َعةَ ب ِْن َرافِعٍ َر‬
َ ‫ض‬ .237

‫الر ُج ِل ِب َي ِد ِه َو ُك ُّل َبيْعٍ َمب ُْر ْو ٍر‬َّ ‫ َع َم ُل‬:‫ض ُل ؟ قَا َل‬ ِ ‫سئِ َل ْال َك ْس‬
َ ‫ب أ َ ْف‬ ُ ‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬
238.
239. “Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata, bahwasannya Rasulullah SAW pernah
ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasulullah ) ? Maka beliau
menjawab, “Yaitu pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual
beli itu baik.” (HR. Imam Bazzar. Imam Hakim menyatakan shahihnya hadits ini)
240.
241. Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel
kami yang lain:
242. Ustadz Mu’tashim
243. Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal ini merupakan
salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bila tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak belakang
dalam masalah hukum dan kaidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
244. ٍ ‫ق لَ َّما َجا َءهُ ْم فَ ُه ْم فِي أ َ ْم ٍر َّم ِر‬
‫يج‬ ِ ‫بَ ْل َكذَّبُوا ِب ْال َح‬
245. “Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada
mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau” [Qaaf : 5]
246. Di antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal, sederhana tetapi padat dan jelas
isi kandungannya.
247. Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan; bahwa
tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat,
baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
248. ‫ِث‬َ ‫علَ ْي ِه ُم ْال َخبَائ‬
َ ‫ت َوي ُ َح ِر ُم‬ َّ ‫ع ِن ْال ُمنك َِر َويُحِ ُّل لَ ُه ُم‬
ِ ‫الط ِيبَا‬ َ ‫يَأ ْ ُم ُرهُم ِب ْال َم ْع ُروفِ َويَ ْن َهاهُ ْم‬
249. “(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk” [al A’raf : 157]
250. Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah boleh dan halal.
Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai didapatkan dalil dari syariat yang
menetapkannya.
251. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
252. ‫الربَا‬ِ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
َّ ‫َوأ َ َح َّل‬
253. “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275].
254. Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses mu’amalah dan jual beli,
tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
255. ‫اض مِ ْن ُك ْم‬
ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ً ‫ارة‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَاطِ ِل إِ َّال أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬
256. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu”. [an Nisa : 29].
257. Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan
terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada pembahasan kali ini berhubungan
dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya.
258. KAIDAH PERTAMA : Tentang Riba
Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini bersesuaian
dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap
tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu [1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi
tiga. Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh.
259. Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan, dengan
ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut [2].
260. Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan berbagai tingkatan
kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran atau timbangannya. Padahal dalam jual
beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu
waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg
kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma
ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka
harus sama takaran (timbangannya).
261. Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam setiap
jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum), sebagaimana illah yang terdapat
dalam riba fadhl.[3]
262. Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua
macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan
pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum,
atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan kismis.
263. Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah,
akan tetapi, terkadang yang tidak diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl
(dengan berbeda selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma 2 kg dengan
kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan apabila diberikan di tempat transaksi,
langsung antara penjual dan pembeli sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
264. ً ‫ضعَافا‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت َأ ْ ُكلُوا‬
ْ َ ‫الربا أ‬
265. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [al
Baqarah:130]
266. Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo pembayaran hutang, orang yang
menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang: “bayar sekarang atau engkau membayarnya
nanti tetapi harus dengan tambahan dari jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan
ataupun dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram.
267. Riba al qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain
dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A menghutangkan kepada
Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1
kg kepada A.
268. Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk
berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya.
Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo, riba
yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan bersyarat.
269. Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal itu merupakan
kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
270. ْ ُ ‫ُوس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ال ت َْظ ِل ُمونَ َوال ت‬
َ‫ظلَ ُمون‬ ُ ‫ َو ِإ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُرؤ‬.
271. “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [al Baqarah : 279]
272. Bila ada yang mengatakan “bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman, padahal
orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar dengan sejumlah kelebihan
tertentu?”
273. Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi.
Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta dengan tanpa hak
(alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa membayar karena kesusahan,
seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan dari jumlah yang semestinya ia ambil
(nominal hutang, Red) adalah kezhaliman. Selain itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus
bersesuaian syariat. Bila syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti.
274. Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya. Karena ia khawatir
bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan ridha dengan kewajiban membayar uang
yang berlipat ganda yang tidak pernah ia manfaatkan.
275. Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri, karena hakikatnya ia
telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan azab akhirat, karena dengan sengaja telah
melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
276. Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl
diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba nasi-ah.
277. Jenis Barang Yang Masuk Dalam Kategori Riba
Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan riba. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang dikatakan riba, sebagaimana disebutkan
dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum
dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan
sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi).
Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus diserahkan saat transaksi.[4]
278. Keenam macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para ulama
berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut apa
tidak?
279. Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut,
bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas
dan perak dalam hadits adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh
Shalih al Fauzan dan as Sa’di.
280. Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang paling dekat
(kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan perak karena dzat emas dan peraknya,
baik yang berupa mata uang atau bukan.[5]
281. Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang
yang ditakar dan makanan (dikonsumsi).[6]
282. Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan keenam macam
tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba.
283. Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya, semisal beras ditukar
dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua syarat, yaitu sama ukurannya dan
diberikan di tempat akad serta dalam satu waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang
sedangkan barang lainnya diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2
kg beras. Walaupun berbeda kualitasnya.
284. Bila ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas
mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya penuh dengan segala kesigapan
untuk menutup segala celah penipuan dan perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini
pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni, ada seseorang yang
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah
yang lebih banyak dengan kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengembalikannya, seraya berkata: “Ini
adalah riba,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih
dahulu kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham tersebut)
kurma yang baik.[7]
285. Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya salah satunya
diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan yang lebih rendah atau tinggi kualitas
ataupun banyaknya, untuk lebih menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’.
286. Bila berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka boleh
berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat dan tempo ketika
transaksi.
287. Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba atau hanya salah
satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat dijual diluar waktu dan tempat transaksi
tersebut.
288. Dr. Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,”Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan
kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya emas dengan
gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih jumlah (tafadhul) dan dapat
diakhirkan penyerahannya (nasi-ah).[8]
289. Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat macam.
290. 1. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama) yang berkategori
riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda
penyerahan barang). Misalnya, kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh
nasi-ah.
291. 2. Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum illahnya
sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan
terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini
boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah.
292. 3. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang tidak serupa illahnya
(jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang masuk dalam kategori riba), maka boleh
tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena
emas barang yang sangat bernilai.
293. 4. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya atau keduanya),
maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan pakaian, atau pakain dengan buku.
294. KAIDAH KEDUA : Haramnya Mu’amalah Yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya
Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua
macam.
295. Yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan tertentu. Semuanya
diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan
untuk berjihad di jalan Allah. Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah.
296. Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah Nabi larang
terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan. Karena bahaya dan kerugian yang dapat
dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan
barang harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi.
297. Misal dari praktek ini antara lain: jual beli janin yang masih di dalam perut induknya, jual beli
dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap
telah membeli), munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan
lemparan batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan sebagainya.
298. Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif kecil atau samar, para ulama
berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya. Walaupun mereka sepakat dengan kaidah ini.
Perbedaan yang terjadi dikarenakan berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang
muncul. Apakah ia masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah, dikembalikan kepada
kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan ataukah bukan? Contohnya, perkataan “aku
menjual barang ini seharga para pedagang yang lain”, atau dalam jual beli kacang yang masih dalam
tanah, dan sebagainya.
299. Karena itu, disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk menghadirkan barang
kepada pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu daya yang mungkin dilakukan.
300. Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu dalam bentuk takaran
yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan. Karena bisa jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit
dari hak yang seharusnya diterima, atau bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya.
301. Hikmah yang terkandung dari haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
302. َ‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬
ِ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫ع َم ِل ال‬ ٌ ‫صابُ َو ْاْل َ ْزال ُم ِر‬
َ ‫جْس مِ ْن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن‬
َ ْ ُ ْ َ ْ َ
َ‫صالةِ ف َهل أنت ْم ُمنت ُهون‬ َّ ‫ع ِن ال‬ َ ‫ّللا َو‬ َّ ْ
ِ ‫عن ِذك ِر‬ ْ ُ
َ ‫صدَّك ْم‬ ْ ْ َ ‫طانُ أ َ ْن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْالعَدَ َاوة َ َو ْالبَ ْغ‬
ُ َ‫ضا َء فِي الخ َْم ِر َوال َم ْيس ِِر َوي‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫إِنَّ َما ي ُِريد ُ ال‬
303. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu
bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu)”.[al Maidah : 90-91]
304. KAIDAH KETIGA : Jual Beli Berupa Penipuan
Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma ulama. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan
kami.”
305. Tipu muslihat yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam
perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara penyamaran atau dengan
menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik
dan bagus, padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat.
306. KAIDAH KEEMPAT : Ridha Syar’i Dari Kedua Belah Pihak
Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala jenis,
baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya.
307. Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang
mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan.
308. Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak
kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena
ridha mereka tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya.
309. Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak
yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka
tetap haram walaupun manusia meridhainya.
310. KAIDAH KELIMA : Akad Harus Berasal Dari Pemilik Barang, Pemiliki Hak atau Wakilnya
Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil.
Pemilik barang atau jasa dan wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik
untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya.
311. Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan,
mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai
pemiliknya, maka mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya.
312. Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang yang belum
sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan
meletakkan barang di rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya.
313. Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain.
Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik patungan dengan
orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah
mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan barang tersebut.
314. KAIDAH KEENAM DAN KETUJUH : Akad Yang Mengandung Unsur Meninggalkan
Perkara Wajib Atau Perbuatan Haram, Maka Transaksinya Menjadi Haram Dan Tidak Sah.
Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah
tentang haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang
telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga meninggalkan
kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
315. َ‫ّللا َو َم ْن يَ ْفعَ ْل ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْالخَاس ُِرون‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت ُ ْل ِه ُك ْم أ َ ْم َوالُكُ ْم َوال أ َ ْوالد ُ ُك ْم‬
ِ َّ ‫ع ْن ِذ ْك ِر‬
316. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
rugi” [al Munafiqun : 9].
317. Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur yang digunakan
untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok atau membunuh, maka diharamkan
dan tidak sah.
Wallahu a’lam bish shawab.
318. Maraji` :

Hadits ke-1

Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah
yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang
bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits ke-2
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: "Sesungguhnya Allah melarang jual-beli
minuman keras, bangkai, babi dan berhala." Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapat baginda tentang lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki
kulit dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: "Tidak, ia
haram." Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah melaknat
orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai
mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3
Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka tidak ada
keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau
mereka membatalkan transaksi." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-4
Dari Abu Mas'u al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertenungan. Muttafaq
Alaihi.
Hadits ke-5
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia menumpang untanya yang sudah lemah dan ia
ingin membiarkannya. Ia berkata: Aku bertemu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau berdoa
untukku dan memukul untaku. Kemudian unta itu berjalan tidak seperti biasanya. Lalu beliau
bersabda: "Juallah ia padaku dengan satu uqiyyah." Aku berkata: Tidak. Beliau bersabda lagi: "Juallah
ia padaku." Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun dengan syarat aku membawanya
dahulu pada keluargaku. Setelah aku melakukannya aku datang pada beliau dengan unta itu dan
beliau membayar harganya kepadaku. Kemudian aku pulang dan beliau mengirim seseorang
membuntutiku. Lalu beliau bersabda: "Apakah engkau mengira aku menawarmu untuk mengambil
untamu? Ambillah untamu dan uangmu, ia hadiah untukmu." Muttafaq Alaihi. Susunan kalimat ini
menurut riwayat Muslim.
Hadits ke-6
Dia berkata: Seseorang di antara kami berwasiat memerdekakan seorang budak miliknya setelah ia
meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain budak tersebut. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam memanggil budak itu dan menjualnya. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-7
Dari Maimunah istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ada seekor tikus yang jatuh ke dalam
samin (sejenis mentega), lalu mati. Kemudian hal itu ditanyakan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam dan beliau menjawab: "Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah
(samin yang tersisa)." Riwayat Bukhari. Ahmad dan Nasa'i menambahkan: Dalam samin yang beku.
Hadits ke-8
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila tikus jatuh ke dalam samin, maka buanglah tikus dan sekitarnya jika samin itu beku dan
janganlah mendekatinya bila samin itu cair." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Bukhari dan Abu Hatim
menyatakan bahwa hadits ini keliru.
Hadits ke-9
Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang harga kucing dan anjing. Ia
berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan
tambahan: Kecuali anjing pemburu.
Hadits ke-10
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Barirah datang kepadaku seraya berkata: Aku telah ber-
mukatabah (perjanjian antara seorang budak dengan majikannya bahwa budak tersebut akan
merdeka bila dapat membayar sejumlah uang yang mereka sepakati) dengan majikanku sebesar
sembilan uqiyyah, setiap tahun satu uqiyyah, maka tolonglah aku. Aku berkata: Jika majikanmu
bersedia aku membayarnya kepadanya dengan syarat wala'-nya (harta warisan bagi yang
memerdekakan budak) nanti untukku, maka aku akan menolongmu. Kemudian Barirah menghadap
majikannya dan mengungkapkan hal itu, namun majikannya menolak. Ia datang lagi sewaktu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang duduk seraya berkata: Aku telah menyampaikannya
kepadanya, tetapi ia menolak kecuali jika wala' itu tetap miliknya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam mendengar dan 'Aisyah memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam,
lalu beliau bersabda: "Ambillah dan berilah persyaratan wala' itu kepadanya, sebab wala' itu hanya
bagi orang yang memerdekakan." Lalu 'Aisyah melakukan hal itu. Kemudian Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam berdiri di hadapan orang-orang dan setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya
beliau bersabda: "Amma ba'du, mengapa ada orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak
ada dalam al-Qur'an?. Setiap syarat yang tidak tercantum dalam al-Qur'an adalah batil, walaupun
seratus syarat. Ketetapan Allah itu lebih hak dan syarat (yang ditetapkan) Allah itu lebih kuat, dan
wala' itu hanya bagi orang yang memerdekakan." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat
Bukhari. Menurut riwayat Muslim: "Belilah dan merdekakanlah, dan berilah persyaratan wala'
kepadanya."
Hadits ke-11
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Umar melarang menjual budak-budak yang memiliki anak
(dari hasil dengan majikannya), ia berkata: Tidak boleh dijual, diberikan, dan diwariskan. Ia boleh
menikmati sekehendaknya, dan jika ia (majikan) meninggalkan ia merdeka. Riwayat Malik dan
Baihaqi, dan ia menyatakan bahwa sebagian perawi menganggapnya marfu' tapi ia keliru.
Hadits ke-12
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami biasa menjual budak-budak wanita kami, ibu dari anak-anak
dan NabiShallallaahu 'alaihi wa Sallam masih hidup. Beliau tidak mempermasalahkannya. Riwayat
Nasa'i, Ibnu Majah, dan Daruquthni. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits ke-13
Jabir Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual sisa
kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan: Dan mengupahkan
persetubuhan unta jantan.
Hadits ke-14
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari.
Hadits ke-15
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
menjual-belikan hewan yang akan dikandung oleh hewan yang masih dalam kandungan. Ini adalah
jual-beli yang dilakukan masyarakat jahiliyyah, yaitu seseorang membeli unta yang akan dibayar nanti
bila ia melahirkan, kemudian anak yang masih berada dalam perut itu juga melahirkan. Muttafaq
Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.
Hadits ke-16
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
menjual-belikan wala' dan menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-17
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli
dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu dan
tempatnya). Riwayat Muslim.
Hadits ke-18
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa membeli suatu makanan maka janganlah ia menjualnya sebelum menerima
sukatannya." Riwayat Muslim.
Hadits ke-19
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang dua jual-
beli dalam satu transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
Hadits ke-20
Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam satu transaksi, maka
baginya harga yang murah atau ia termasuk riba'.
Hadits ke-21
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua
syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu
yang tidak engkau miliki." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan
Hakim.
Hadits ke-22
Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallammelarang jual-beli 'urban (memberikan panjar/persekot terlebih dahulu dan jika jual-
beli itu tidak jadi maka uang panjar tersebut hangus)". Riwayat Malik. Ia berkata: Aku menerimanya
dari Amar Ibnu Syu'aib.
Hadits ke-23
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu
telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan keuntungan
yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang
memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan
menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai
para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadz
menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Hadits ke-24
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku menjual unta di Baqi'. Aku
menjual dengan dinar tapi aku menerima dirham, aku menjual dengan dirham tapi aku menerima
dinar, aku mengambil ini dari ini tapi aku menerima itu dari itu. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tidak apa-apa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu selama engkau
berdua belum berpisah dan antara kamu berdua tidak masalah." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih
menurut Hakim.
Hadits ke-25
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang berjualan
dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan). Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-26
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan
cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya),
muzabanah (menjual buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan sukatan),
mukhobarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat
keuntungan setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai
pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut
Tirmidzi.
Hadits ke-27
Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah,
muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah
(menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar
lemparan), dan muzabanah. Riwayat Bukhari.
Hadits ke-28
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah engkau menghadang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli
barang dagangannya), dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa." Aku bertanya kepada
Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau "Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?". Ibnu
Abbas menjawab: Janganlah menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut
riwayat Bukhari.
Hadits ke-29
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota. Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian
barangnya dibeli, maka jika pemilik barang telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara
membatalkan atau tidak)." Riwayat Muslim.
Hadits ke-30
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang orang
kota menjual kepada orang desa, jangan melakukan jual-beli dengan najasy, janganlah seseorang
menjual sesuatu yang dijual oleh orang lain, dan janganlah seorang perempuan meminta thalaq
saudaranya agar ia menjadi gantinya." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Janganlah seorang
muslim menawar atas tawaran saudaranya."
Hadits ke-31
Abu Ayyub al-Anshory Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallambersabda: "Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkan
dia dari kekasihnya pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim,
namun sanadnya masih dipertentangkan dan ia mempunyai saksi.
Hadits ke-32
Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
menyuruhku untuk menjual dua orang budak kecil bersaudara. Lalu aku menjualnya secara terpisah
dan aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Beliau bersabda: "Susullah dan
ambillah kembali, dan jangan menjual mereka kecuali dengan bersama-sama." Riwayat Ahmad
dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud,
Ibnu Hibban, Hakim, Thabrani, dan Ibnu al-Qothan.
Hadits ke-33
Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah terjadi
kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga
barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan
pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku
karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda." Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i.
Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits ke-34
Dari Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa." Riwayat Muslim.
Hadits ke-35
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
menahan susu unta dan kambing. Barangsiapa membelinya ia boleh memilih yang lebih baik antara
dua hal, setelah memeras susunya; yaitu jika ia mau, ia boleh menahannya dan jika tidak ia boleh
mengembalikannya dengan satu sho' kurma." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Ia boleh
memilih selama tiga hari." Menurut riwayatnya yang dikomentari oleh Bukhari: "Ia mengembalikannya
beserta satu sho' makanan tanpa gandum." Bukhari berkata: Dan kurma itu lebih banyak.
Hadits ke-36
Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa membeli seekor kambing yang penuh susunya
(tidak diperas), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia mengembalikannya beserta satu sho'.
Riwayat Bukhari. Al-Isma'ily menambahkan: (Satu sho' kurma.
Hadits ke-37
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan
tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia
menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di
bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan
termasuk golonganku." Riwayat Muslim.
Hadits ke-38
Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa membiarkan anggurnya pada musim panen untuk dijual kepada orang-orang yang
membuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menempuh api neraka dengan sengaja."
Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan sanad Hasan.
Hadits ke-39
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Pengeluaran itu dengan tanggungan." Riwayat Imam Lima. Hadits dlo'if menurut Bukhari dan Abu
Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan
Ibnu al-Qotthon.
Hadits ke-40
Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang
tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang
kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi
Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. Riwayat Imam Lima
kecuali Nasa'i. Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafadznya
tidak seperti itu
Hadits ke-41
Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim Ibnu Hizam.
Hadits ke-42
Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang
masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum
dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar.
Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah.
Hadits ke-43
Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah membeli ikan dalam air karena ia tidak jelas." Riwayat Ahmad. Ia
memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf.
Hadits ke-44
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual
buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam
tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam
hadits-hadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad
kuat yang diperkuat oleh Baihaqi.
Hadits ke-45
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli
anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah.
Hadits ke-46
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya."
Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Hadits ke-47
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih
antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama;
atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka
berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli
dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu." Muttafaq Alaihi.
Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
Hadits ke-48
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallambersabda: "Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah,
kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-
beli dibatalkan." Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-
Jarus. Dalam suatu riwayat: "Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka."
Hadits ke-49
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallambahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda: "Jika engkau berjual-beli,
katakanlah: Jangan melakukan tipu daya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-50
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba,
pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama."
Riwayat Muslim.
Hadits ke-51
Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dair Abu Juhaifah.
Hadits ke-52
Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan
riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih.
Hadits ke-53
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan
menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama
sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak
tampak dengan yang tampak." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-54
Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan
menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima."
Riwayat Muslim.
Hadits ke-55
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan
perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau
meminta tambahan maka itu riba." Riwayat Muslim.
Hadits ke-56
Dari Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallammengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada
beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap
kurma khaibar seperti ini?". Ia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu
sho' seperti ini dengan dua sho', dan dua sho' dengan tiga sho'. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma
yang bagus dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: " Demikian juga dengan benda-benda yang
ditimbang." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Demikian pula benda-benda yang ditimbang."
Hadits ke-57
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui takarannya.
Riwayat Muslim.
Hadits ke-58
Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallambersabda: "Makanan dengan makanan yang sama sebanding." Makanan kami pada hari itu
adalah sya'ir. Riwayat Muslim.
Hadits ke-59
Fadlalah Ibnu Ubaid Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada hari perang Khaibar aku membeli kalung emas
bermanik seharga dua belas dinar. Setelah manik-manik itu kulepas ternyata ia lebih dari dua belas
dinar. Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda:
"Tidak boleh dijual sebelum dilepas." Riwayat Muslim.
Hadits ke-60
Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli hewan
dengan hewan penundaan. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu al-Jarud.
Hadits ke-61
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar
keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan
meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut
sebelum kamu kembali kepada agamamu." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Nafi', dan dalam
sanadnya ada pembicaraan. Ahmad meriwayatkan dari Atho' dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya dan dinilai shahih oleh Ibnu Qoththon.
Hadits ke-62
Dari Abu Umamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa memberi syafa'at (menjadi perantara untuk suatu kebaikan) kepada saudaranya, lalu ia
diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba."
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan.
Hadits ke-63
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits
shahih menurut Tirmidzi.
Hadits ke-64
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam menyuruhnya untuk menyiapkan pasukan tentara, tetapi unta-unta telah habis. Lalu beliau
menyuruhnya agar menghutang dari unta zakat. Ia berkata: Aku menghutang seekor unta akan
dibayar dengan dua ekor unta zakat. Riwayat Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya.
Hadits ke-65
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli
muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma
kering bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual
dengan makanan kering bertakar. Beliau melarang itu semua. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-66
Sa'ad Ibnu Abu waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallamditanya tentang hukumnya membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda:
"Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?". Ia menjawab: Ya. Lalu beliau melarang hal itu.
Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Hadits ke-67
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli
yang kemudian dengan yang kemudian, yakni hutang dengan hutang. Riwayat Ishaq dan al-Bazzar
dengan sanad lemah.
Hadits ke-68
Dari Zaid Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi
keringanan dalam ariyah (pohon yang diserahkan perawatannya pada orang lain untuk diambil
buahnya); untuk dijual buahnya dengan tangkainya dengan menggunakan takaran. Muttafaq Alaihi.
Menurut riwayat Muslim Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah,
yaitu penghuni rumah (pemilik pohon yang menyerahkan perawatan pohon tersebut kepada orang
lain) boleh memberi kurma basah dengan kurma kering agar mereka dapat memakan kurma basah.
Hadits ke-69
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi
keringanan menjual buah kurma ariyah yang masih ditangkainya (basah) dengan kurma kering
selama masih kurang dari lima wasaq (1 wasaq : 21 kg). Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-70
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual
buah-buahan yang belum kelihatan baik. Beliau melarang penjual dan pembeli. Muttafaq Alaihi. Dalam
suatu riwayat: Apabila beliau ditanya tentang buah yang baik, beliau bersabda: "Sampai penyakitnya
hilang."
Hadits ke-71
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang
menjual buah-buahan sehingga baik. Ada orang yang bertanya: Apa pertanda baiknya? Beliau
menjawab: "Memerah atau menguning." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Hadits ke-72
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual
buah anggur hingga berwarna hitam dan menjual biji-bijian hingga keras. Riwayat Imam Lima kecuali
Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Hadits ke-73
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Seandainya engkau menjual kurma kepada saudaramu, kemudian ia membusuk,
maka tidak halal engkau mengambil apapun darinya. Dengan jalan apa engkau boleh mengambil
harta saudaramu secara tidak hak?." Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayatnya yang lain: Bahwa
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meletakkan (tidak menjual) kurma yang
busuk.
Hadits ke-74
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah pemilik penjual pohon tersebut,
kecuali jika pembeli memberikan persyaratan dahulu." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-75
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa
meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa
meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa
tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."
Hadits ke-76
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta
rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari
Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam
suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka
mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.
Riwayat Bukhari.
Hadits ke-77
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan
menolongnya untuk dapat mengembalikannya; dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud
menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya." Riwayat Bukhari.
Hadits ke-78
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang
pakaian telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya,
baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan.
Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak. Dikeluarkan oleh Hakim dan
Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
Hadits ke-79
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan
boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar."
Riwayat Bukhari.
Hadits ke-80
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan
kerugiannya menjadi tanggungannya." Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang
dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal.
Hadits ke-81
Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah meminjam unta
muda dari seseorang. Kemudian beliau menerima unta zakat, lalu beliau menyuruh Abu Rafi' untuk
mengembalikan hutang untanya kepada orang tersebut. Abu Rafi' berkata: Aku hanya menemukan
unta berumur empat tahun. Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik orang ialah
yang paling baik melunasi hutang." Riwayat Muslim.
Hadits ke-82
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang menarik manfaat
adalah riba." Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah.
Hadits ke-83
Menurut riwayat Baihaqi ada saksi lemah dari Fadlalah Ibnu Ubaid.
Hadits ke-84
Ada hadits lain yang diriwayatkan Bukhari secara mauquf dari Abdullah Ibnu Salam.
Hadits ke-85
Dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar
RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menemukan barangnya benar-benar
berada pada orang yang jatuh bangkrut (pailit), maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut
daripada orang lain." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-86
Abu Dawud dan Malik meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman secara mursal dengan lafadz:
"Jika ada orang yang menjual barang, kemudian pembeli barang tersebut jatuh miskin padahal ia
belum membayar apapun dari harganya, sedang penjual masih mendapatkan barangnya utuh, maka
ia lebih berhak terhadap barang tersebut; jika pembelinya meninggal dunia maka barang tersebut
menjadi milik orang-orang yang memberi hutang." Menurut Baihaqi hadits tersebut maushul, dan
dha'if karena mengikuti Abu Dawud.
Hadits ke-87
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Umar Ibnu Kholadah bahwa ia berkata: Kami
datang kepada Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu menanyakan tentang teman kami yang bangkrut,
lalu ia berkata: Aku berikan kepadamu suatu ketetapan hukum dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam, yaitu: "Barangsiapa bangkrut atau meninggal dunia, lalu orang itu mendapatkan barangnya
masih utuh, maka ia lebih berhak atas barang tersebut." Hadits shahih menurut Hakim dan dha'if
menurut Abu Dawud. Abu Dawud juga menilai dha'if keterangan tentang "meninggal dunia" pada
hadits ini.
Hadits ke-88
Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya
dan siksanya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits mu'allaq menurut Bukhari dan shahih menurut
Ibnu Hibban.
Hadits ke-89
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam ada seseorang terkena musibah pembusukan pada buah-buahan yang dibelinya, lalu
hutangnya menumpuk dan bangkrut. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bersabda:
"Bersedekahlah kepadanya." Lalu orang-orang bersedekah kepadanya, namun belum cukup melunasi
hutangnya. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallamkepada orang-orang yang
menghutanginya: "Ambillah apa yang kalian dapatkan karena hanya itulah milik kalian." Riwayat
Muslim.
Hadits ke-90
Dari Ibnu Ka'ab Ibnu Malik, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam pernah menahan harta benda milik Muadz dan menjualnya untuk melunasi hutangnya. Riwayat
Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim dan mursal menurut tarjih Abu Dawud.
Hadits ke-91
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, namun beliau belum membolehkanku
(untuk ikut berperang). Aku dihadapkan lagi pada waktu perang khandaq ketika aku berumur 15
tahun dan beliau membolehkanku. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Baihaqi: Beliau belum
membolehkanku dan belum menganggapku telah dewasa. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
Hadits ke-92
Athiyyah al-Quradhy Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah tumbuh bulunya dibunuh dan yang belum
tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku termasuk orang yang belum tumbuh bulunya, maka aku
dibebaskan. Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: Hadits
tersebut menurut persyaratan Bukhari-Muslim.
Hadits ke-93
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri
memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya." Dalam suatu lafadz: "Tidak diperbolehkan bagi
seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh suaminya." Riwayat Ahmad dan para pengarang
kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits ke-94
Dari Qabishoh Ibnu Mukhoriq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Sesungguhnya minta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara
tiga macam orang, yaitu: Orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta hingga
dapat melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya.
Ia boleh meminta-minta hingga mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kefakiran
hingga tiga orang yang mengetahuinya dari kalangan kaumnya berkata: Si Fulan telah ditimpa
kefakiran, ia dibolehkan meminta-minta." Riwayat Muslim.
Hadits ke-95
Dari Amar Ibnu Auf al-Muzany Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Perdamaian itu
halal antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan hal yang haram atau
menghalalkan hal yang haram. Kaum muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali
syarat yang mengharamkan hal yang halal atau menghalalkan yang haram." Hadits shahih riwayat
Tirmidzi. Namun banyak yang mengingkarinya karena seorang perawinya yang bernama Katsir Ibnu
Abdullah Ibnu Amar Ibnu Auf adalah lemah. Mungkin Tirmidzi menganggapnya baik karena banyak
jalannya.
Hadits ke-96
Ibnu Hibban menilainya shahih dari hadits Abu Hurairah r.a.
Hadits ke-97
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah
seseorang melarang tetangganya memasang kayu galangan pada temboknya." Kemudian Abu
Hurairah berkata: Kenapa aku lihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, aku benar-benar akan
menaruh kayu-kayu itu di atas pundakmu. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-98
Dari Abu Humaid al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya dengan tanpa ridlonya."
Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim dalam kitab shahih mereka.
Hadits ke-99
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Penangguhan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu kesesatan. Apabila seseorang di antara
kamu hutangnya dipindahkan kepada orang yang mampu, hendaknya ia menerima." Muttafaq Alaihi.
Menurut suatu riwayat Ahmad: "Barangsiapa (hutangnya) dipindahkan, hendaknya ia menerima."
Hadits ke-100
Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami
memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?.
Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami
menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika
kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu
terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan
Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.
Hadits ke-101
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila
didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung hutang, beliau bertanya: "Apakah ia
meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya?". Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu
untuk melunasi hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda: "Sholatlah atas
temanmu ini." Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya, beliau bersabda:
"Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal
dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari:
"Maka barangsiapa mati dan tidak meninggalkan harta pelunasan....".
Hadits ke-102
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada tanggungan, dalam pelaksanaan had."
Riwayat Baihaqi dengan sanad lemah.
Hadits ke-103
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari
mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan)
mereka." Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.
Hadits ke-104
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallamsebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota
Mekkah, beliau bersabda: "Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku." Riwayat Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Majah.
Hadits ke-105
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta
rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar. Hadits riwayat Nasa'i.
Hadits ke-106
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan keluar menuju Khaibar, lalu aku
menghadap NabiShallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di
Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq." Hadits shahih riwayat Abu Dawud.
Hadits ke-107
Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban. Hadits Bukhari
meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits sebagaimana tersebut dalam hadits dahulu (no.40).
Hadits ke-108
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus
Umar untuk mengambil zakat. Hadits. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-109
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyembelih 63 ekor dan
menyuruh Ali Radliyallaahu 'anhu untuk menyembelih sisanya. Hadits diriwayatkan oleh Muslim.
Hadits ke-110
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pelaku (zina), Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Pergilah, wahai Unais, menemui perempuan orang ini. Jika ia mengaku, rajamlah
ia." Hadits. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-111
Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku:
"Katakanlah yang benar walaupun ia pahit." Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dari hadits yang
panjang."
Hadits ke-112
Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tangan
bertanggung jawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya." Riwayat Ahmad dan
Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits ke-113
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat dan janganlah berkhianat kepada orang
yang menghianatimu." Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih
menurut Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh
segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.
Hadits ke-114
Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku
berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan?
Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits
shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits ke-115
Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam
darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai
Muhammad. beliau menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud, Ahmad,
dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadits ke-116
Hakim juga meriwayatkannya dengan saksi lemah dari Ibnu Abbas r.a.
Hadits ke-117
Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan dlalim, Allah akan mengalungkan kepadanya dari
tujuh lapis bumi." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-118
Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang berada di rumah
salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain mengutus seorang pelayan membawa sebuah
piring yang berisi makanan. Kemudian ia (istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan
tangannya dan pecahlah piring tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di
atasnya, lalu bersabda: "Makanlah." Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada
pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia menyebut
pemukul tersebut adalah 'Aisyah, dan menambahkan: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana." Hadits shahih menurutnya.
Hadits ke-119
Dari Rafi' Ibnu Khodij Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa menanam di atas tanah suatu kaum tanpa seizin mereka, maka ia tidak memiliki apapun
dari tanaman itu, namun ia mendapat nafkah (belanja)." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali
Nasa'i. Hadits hasan menurut Tirmidzi. Dikatakan bahwa Bukhari menilainya hadits dha'if.
Hadits ke-120
Dari Urwah Ibnu al-Zubair Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallamberkata: Ada dua orang bertengkar mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam masalah tanah. Salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah
milik yang lain. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan tanah tetap menjadi milik
siempunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohonnya, dan beliau bersabda:
"Akar yang dlalim tidak punya hak." Riwayat Abu Dawud dan sanadnya hasan
Hadits ke-121
Akhir hadits itu menurut pengarang-pengarang kitab al-Sunan dari riwayat Urwah, dari Said Ibnu
Zaid. Tentang maushul dan mursalnya hadits tersebut serta penentuan para perawinya masih ada
pertentangan.
Hadits ke-122
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada
khutbahnya hari raya Kurba di Mina: "Sesungguhnya darahmu dan hartamu adalah haram atasmu
sebagaimana haramnya harimu ini, pada bulanmu ini, di negerimu ini." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-123
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah
menetapkan berlakunya syuf'ah (hak membeli bagian dari dua orang yang bersekutu) pada setiap
sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku
syuf'ah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Hadits ke-124
Menurut riwayat Muslim: Syu'fah itu berlaku dalam setiap persekutuan, baik dalam tanah, kampung,
atau kebun. Tidak boleh - dalam suatu lafadz- tidak halal menjualnya hingga ditawarkan kepada
sekutunya. Menurut riwayat Thahawi: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan berlakunya
Syuf'ah dalam segala sesuatu. Para perawinya dapat dipercaya.
Hadits ke-125
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tetangga sebelah rumah lebih berhak terhadap rumah itu." Riwayat Nasa'i, dinilai
shahih oleh Ibnu Hibban, dan ia mempunyai illah.
Hadits ke-126
Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya." Riwayat Bukhari dan Hakim. Hadits tersebut
mempunyai kisah.
Hadits ke-127
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu
lebih berhak dengan syuf'ah tetangganya, ia dinanti -walaupun sedang pergi- jika jalan mereka satu."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Para perawinya dapat dipercaya.
Hadits ke-128
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Syuf'ah itu laksana melepaskan
unta." Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar dengan tambahan: "Tidak ada syuf'ah bagi orang yang
pergi." Sanadnya lemah.
Hadits ke-129
Dari Shuhaib Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga hal yang
didalamnya ada berkah adalah jual-beli bertempo, ber-qiradl (memberikan modal kepada seseorang
hasil dibagi dua), dan mencampur gandum dengan sya'ir untuk makanan di rumah, bukan untuk
dijual." Riwayat Ibnu Majah dengan sanad lemah.
Hadits ke-130
Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang memberikan modal sebagai qiradl,
yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan
jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya,
maka engkaulah yang menanggung modalku. Riwayat Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-Muwattho', dari Ala' Ibnu Abdurrahman Ibnu Ya'qub, dari
ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia pernah menjalankan modal Utsman dengan keuntungan dibagi
dua. Hadits mauquf shahih
Hadits ke-131
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah
mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan
dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta beliau
menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma,
maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kami tetapkan kalian dengan ketentuan
seperti itu selama kami menghendaki." Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar
mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallammemberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan
perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya.
Hadits ke-132
Hanzholah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya kepada Rafi' Ibnu Khadij tentang
menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata: Tidak apa-apa. Orang-orang pada zaman
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallammenyewakan tanah dengan imbalan pepohonan yang tumbuh
di tempat perjalanan air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari tetumbuhan itu ada
yang hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai sewaan lainnya kecuali ini.
Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Adapun imbalan dengan barang yang
nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat Muslim. Dalam hadits ini ada penjelasan
menyeluruh tentang larangan menyewakan tanah dalam hadits Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-133
Dari Tsabit Ibnu ad-Dlahak Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang muzara'ah (sama dengan musaqat, yaitu memberikan tanah garapan kepada orang
lain dengan bagi hasil menurut perjanjian) dan memerintahkan sewa-menyewakan. Riwayat Muslim.
Hadits ke-134
Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbekam dan memberikan upah
kepada orang yang membekamnya. Seandainya hal itu haram beliau tidak akan memberinya upah.
Riwayat Bukhari.
Hadits ke-135
Dari Rafi' Ibnu Khodij Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Pekerjaan tukang bekam adalah jelek." Riwayat Muslim.
Hadits ke-136
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Allah 'Azza wa Jalla berfirman: Tiga orang yang Aku menjadi musuhnya pada hari kiamat ialah:
Orang yang memberi perjanjian dengan nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual orang
merdeka lalu memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu
bekerja dengan baik, namun ia tidak memberikan upahnya." Riwayat Muslim.
Hadits ke-137
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hal
yang paling patut kamu ambil upahnya ialah Kitabullah." Dikeluarkan oleh Bukhari.
Hadits ke-138
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum mengering keringatnya." Riwayat Ibnu Majah.
Hadits ke-139
Dalam masalah ini ada hadits dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu riwayat Abu Ya'la dan Baihaqi,
dan dari Jabir riwayat Thabrani. Namun semuanya lemah.
Hadits ke-140
Idem
Hadits ke-141
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja hendaknya ia menentukan upahnya." Riwayat Abdul
Razzaq dalam hadits munqathi'. Hadits maushul menurut Baihaqi dari jalan Abu Hanifah.
Hadits ke-142
Dari Urwah, dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka ia lebih berhak dengan
tanah tersebut." Urwah berkata: Umar memberlakukan hukum itu pada masa khilafahnya. Riwayat
Bukhari.
Hadits ke-143
Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya." Riwayat Imam Tiga. Hadits hasan
menurut Tirmidzi dan ia berkata: hadits itu diriwayatkan dengan mursal dan ada perselisihan tentang
shahabatnya. Ada yang mengatakan (shahabatnya ialah) Jabir, ada yang mengatakan 'Aisyah, dan
ada yang mengatakan Umar. Yang paling kuat ialah yang pertama.
Hadits ke-144
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa al-Sho'b Ibnu Jatsamah Al-Laitsy memberitahukan
kepadanya bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada pembatasan tanah kecuali
milik Allah dan Rasul-Nya." Riwayat Bukhari.
Hadits ke-145
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Jangan membuat kesusahan dan jangan membalasnya." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah.
Hadits ke-146
Dalam riwayatnya yang lain ada hadits serupa dari Abu Said, dalam kitab al-Muwattho' hadits itu
mursal.
Hadits ke-147
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa membatasi suatu tanah, maka ia menjadi miliknya." Riwayat Abu
Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Jarud.
Hadits ke-148
Dari Abdullah Ibnu Mughoffal bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
mengali sebuah sumur, maka baginya empat puluh hasta untuk minuman ternaknya." Riwayat Ibnu
Majah dengan sanad lemah.
Hadits ke-149
Dari Alqomah Ibnu Wail, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan
kepadanya sepetak tanah di Hadlramaut. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut
Ibnu Hibban.
Hadits ke-150
Dari Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi tanah kepada
Zubair sejauh lari kudanya, maka ia melarikan kudanya hingga berhenti. Kemudian ia melempar
cemetinya. Lalu beliau bersabda: "Berikan padanya sejauh lemparan cemetinya." Riwayat Abu Dawud
dan didalamnya ada kelemahan.
Hadits ke-151
Salah seorang sahabat Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berperang bersama Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallamdan aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang bersekutu dalam tiga hal:
rerumputan, air dan api." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Para perawinya dapat dipercaya.
Hadits ke-152
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah
(yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya." Riwayat
Muslim.
Hadits ke-153
Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai
Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah
memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah
pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya
dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada
kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang
kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi
makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
Hadits ke-154
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Umar
untuk memungut zakat -hadits dan didalamnya disebutkan- adapun Kholid, dia telah mewakafkan
baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk membela jalan Allah. Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-155
Dari Nu'man Ibnu Basyir bahwa ayahnya pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam dan berkata: Aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku. Lalu
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambertanya: "Apakah setiap anakmu engkau berikan seperti
ini?" Ia menjawab: Tidak. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau begitu, tariklah
kembali." Dalam suatu lafadz: Menghadaplah ayahku kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar
menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda: "Apakah engkau melakukan hal ini
terhadap anakmu seluruhnya?". Ia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: "Takutlah kepada Allah dan
berlakulah adil terhadap anak-anakmu." Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu.
Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: "Carikan saksi lain selain diriku dalam hal ini."
Kemudian beliau bersabda: "Apakah engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama berbakti
kepadamu?". Ia Menjawab: Ya. Beliau bersabda: "kalau begitu, jangan lakukan."
Hadits ke-156
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang
menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali
muntahannya." Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Bukhari: "Kami tidak mempunyai perumpamaan yang
buruk, bagi orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian
menjilat kembali muntahannya."
Hadits ke-157
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi
seorang muslim memberikan suatu pemberian kemudian menariknya kembali, kecuali seorang ayah
yang menarik kembali apa yang diberikan kepada anaknya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits
shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim.
Hadits ke-158
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menerima hadiah
dan membalasnya. Riwayat Bukhari.
Hadits ke-159
Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang memberi seekor unta kepada
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau membalasnya dan bertanya: "Apakah engkau
telah rela?". Ia menjawab: Tidak. Lalu beliau menambah dan bertanya: "Engkau telah rela?". Ia
menjawab: Tidak. Lalu beliau menambah lagi dan bertanya: "Engkau telah rela?". Ia menjawab: Ya.
Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits ke-160
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Umra
(memberikan rumah kepada orang lain dengan ucapan: Aku memberikan rumah ini seumur hidupmu)
itu menjadi milik bagi orang yang diberi." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jagalah hartamu
dan janganlah menghamburkannya, karena barangsiapa ber-umra maka ia menjadi milik orang yang
diberi umra selama ia hidup dan mati, dan menjadi milik keturunannya." Umra yang diperbolehkan
oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ialah bila ia berkata: Ia milikmu dan keturunanmu. Jika
ia berkata: Ia milikmu selama engkau hidup, maka pemberian itu akan kembali kepada pemiliknya.
Menurut Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i: "Janganlah memberi ruqba (memberi rumah kepada orang
lain dengan ucapan: Jika aku mati sebelummu, maka rumah ini menjadi milikmu dan jika engkau mati
sebelumku, maka rumah ini kembali padaku) dan umra karena barangsiapa menerima ruqba dan
umra maka ia menjadi milik ahli warisnya."
Hadits ke-161
Umar berkata: Aku pernah memberikan seekor kuda untuk perjuangan di jalan Allah, namun orang
yang diberi kuda itu mentelantarkannya. Lalu aku mengira bahwa ia akan menjualnya dengan harga
yang murah. Maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau
bersabda: "Jangan membelinya walaupun ia memberimu harga satu dirham." Hadits Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-162
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Saling memberi hadiahlah kamu sekalian, agar kalian saling mencintai." Riwayat Bukhari dalam kitab
al-Adab al-Mufrad dan Abu Ya'la dengan sanad hasan.
Hadits ke-163
Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Saling
memberi hadiahlah karena hadiah itu akan menghilangkan kedengkian." Riwayat al-Bazzar dengan
sanad lemah.
Hadits ke-164
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai kaum muslimat,
janganlah sekali-kali seorang wanita meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya ujung kaki
kambing." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-165
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa
memberikan suatu hibah, ia lebih berhak untuk menariknya sebelum dibalas." Hadits shahih riwayat
Hakim. Menurutnya yang terpelihara dari hadits itu ialah diriwayatkan oleh Umar dari Umar.
Hadits ke-166
Anas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah kurma di jalan. Lalu
bersabda: "Seandainya aku tidak khawatir bahwa kurma itu dari zakat, niscaya aku memakannya."
Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-167
Zaid Ibnu Khalid al-Juhany berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam menanyakan tentang barang temuan. Beliau bersabda: "Perhatikan tempat dan pengikatnya,
lalu umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang, berikanlah dan jika tidak, maka terserah
engkau." Ia bertanya: Bagaimana dengan kambing yang tersesat?. Beliau menjawab: "Ia milikmu,
atau milik saudaramu, atau milik serigala." Ia bertanya lagi: Bagaimana dengan unta yang tersesat?.
Beliau bersabda: "Apa hubungannya denganmu? Ia mempunyai kantong air dan sepatu, ia bisa
datang ke tempat air dan memakan tetumbuhan, hingga pemiliknya menemukannya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-168
Dari Zaid Ibnu al-Juhany Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa menyembunyikan hewan yang tersesat, ia adalah orang sesat selama
belum mengumumkannya." Riwayat Muslim.
Hadits ke-169
Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga
tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya
datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan
kepada orang yang dikehendaki." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits shahih
menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Al-Jarud dan Ibnu Hibban.
Hadits ke-170
Dari Abdurrahman Ibnu Utsman al-Taimy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam melarang mengambil barang hilang milik orang haji. Riwayat Muslim.
Hadits ke-171
Dari a-Miqdam Ibnu Ma'di Karib Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Ingatlah, tidak halal binatang buas bertaring, keledai negeri, dan mengambil
barang temuan milik orang kafir mu'ahad (orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum
muslimin) kecuali ia tidak memerlukannya lagi." Riwayat Abu Dawud.
Hadits ke-172
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berikan bagian warisan
kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-173
Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim."
Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-174
Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan
saudara perempuan -Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan: untuk anak perempuan
setengah, cucu perempuan seperenam -sebagai penyempurna dua pertiga- dan selebihnya adalah
milik saudara perempuan. Riwayat Bukhari.
Hadits ke-175
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Tidak bisa saling mewarisi orang yang berlainan agama." Riwayat Ahmad, Imam
Empat, dan Tirmidzi. Hakim meriwayatkan dengan lafadz Usamah dan Nasa'i meriwayatkan hadits
Usamah dengan lafadz ini.
Hadits ke-176
Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallamdan berkata: Cucu laki-laki dari putraku meninggal dunia, berapa bagianku dari harta
peninggalannya? Beliau bersabda: "Untukmu seperenam." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya
dan bersabda: "Untukmu seperenam lagi." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda:
"Yang seperenam lagi itu sebagai makanan." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih
menurut Tirmidzi dari riwayat Hasan Bashri dari Imran. Ada yang mengatakan: Dia tidak mendengar
darinya.
Hadits ke-177
Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam menetapkan bagian seperenam untuk nenek bila dibawahnya tidak ada ibu (ibu sang mayit).
Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud, dan
dikuatkan oleh Ibnu Adiy.
Hadits ke-178
Dari al-Miqdam Ibnu Ma'di Karib bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Paman
dari pihak ibu menjadi pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam
Empat kecuali Tirmidzi. Hadits hasan menurut Abu Zara'ah al-Razy dan shahih menurut Hakim dan
Ibnu Hibban.
Hadits ke-179
Abu Umamah Ibnu Sahal Radliyallaahu 'anhu berkata: Umar mengirim surat kepada Abu Ubaidah
bahwa RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah dan Rasul-Nya menjadi pelindung
orang yang tidak punya pelindung, dan paman dari pihak ibu menjadi pewaris orang yang tidak
memiliki ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Abu Dawud. Hasan menurut Tirmidzi
dan shahih menurut Ibnu Hibban.
Hadits ke-180
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila anak yang
lahir menangis, ia sudah menjadi ahli waris." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban.
Hadits ke-181
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Pembunuh tidak mendapat warisan apapun (dari yang dibunuh)." Riwayat Nasa'i
dan Daruquthni, dan dikuatkan oleh Abdul Bar. Hadits ma'lul menurut Nasa'i dan sebenarnya hadits ini
mauquf pada Amar.
Hadits ke-182
Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallambersabda: "Apa yang diperoleh oleh ayah atau anak adalah untuk ashabah, siapapun dia."
Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah.
Hadits ke-183
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Wala itu satu pertalian daging seperti pertalian daging keturunan, ia tidak boleh
dijual dan diberikan." Riwayat Hakim dari jalan Syafi'i dari Muhammad Ibnu al-Hasan, dari Abu Yusuf.
Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan ma'lul menurut Baihaqi.
Hadits ke-184
Dari Abu Qilabah, dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Orang yang paling mengetahui faraidl di antara kamu adalah Zaid Ibnu Tsabit."
Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban
dan Hakim. Hadits tersebut mursal.
Hadits ke-185
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari),
kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-186
Saad Ibnu Waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai
harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku
bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya: Apakah aku
menyedekahkan setengahnya? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya lagi: Apakah aku
sedekahkan sepertiganya? Beliau menjawab: "Ya, sepertiga, da sepertiga itu banyak. Sesungguhnya
engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam
keadaan fakit meminta-minta kepada orang." Muttafaq Alaihi.
Hadits ke-187
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, ibuku telah mati secara mendadak dan ia belum
berwasiat. Aku kira, bila ia sempat berbicara ia akan bersedekah. Apakah ia mendapat pahala jika aku
bersedekah untuknya? Beliau bersabda: "Ya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.
Hadits ke-188
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallambersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada
wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut
Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.
Hadits ke-189
Daruquthni meriwayatkan dair hadits Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu dengan tambahan di akhir
hadits: "Kecuali ahli waris menyetujui." Dan sanadnya hasan.
Hadits ke-190
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu bersedekah sepertiga dari hartamu waktu kamu akan
meninggal untuk menambah kebaikanmu." Riwayat Daruquthni.
Hadits ke-191
Ahmad dan Al-Bazzar juga meriwayatkan dari hadits Abu Darda'.
Hadits ke-192
Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu dan semuanya dha'if, namun
saling menguatkan. Wallahu a'lam.
Hadits ke-193
Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallambersabda: "Barangsiapa dititipi suatu titipan, maka tidak ada tanggungan atasnya."
Riwayat Ibnu Majah dan dalam sanadnya ada kelemahan.

MINGGU, 16 OKTOBER 2016 KITAB JUAL-BELI

Kumpulan Hadits Kitab Jual Beli (Shahih Muslim)

Kitab Jual Beli

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum'Warahmatullahi 'Wabarakatuh.

riwayatshahih.blogspot.com
1. Penghapusan cara jual beli mulamasah dan munabadzah

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang sistem jual beli mulamasah (wajib membeli
jika pembeli telah menyentuh barang dagangan) dan munabadzah (sistem barter antara dua orang dengan
melemparkan barang dagangan masing- masing tanpa memeriksanya). (Shahih Muslim No.2780)

®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang kita melakukan dua macam jual beli
dan dua macam pakaian. Beliau melarang mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. (Shahih Muslim No.2782)

2. Pengharaman jual beli janin

®.Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.: Dari Rasulullah saw. bahwa beliau melarang jual beli janin yang dikandung
seekor unta. (Shahih Muslim No.2784)

3. Pengharaman seorang membeli atas pembelian orang lain dan menawar atas penawarannya serta pengharaman
najasy dan tashriah

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang muslim menawar atas
penawaran saudaranya. (Shahih Muslim No.2788)

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang sistem penjualan najasy (meninggikan harga
untuk menipu). (Shahih Muslim No.2792)

4. Pengharaman mencegat barang dagangan

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang mencegat barang dagangan sebelum tiba di pasar.
Demikian menurut redaksi Ibnu Numair. Sedang menurut dua perawi yang lain: Sesungguhnya Nabi saw. melarang
pencegatan. (Shahih Muslim No.2793)

®.Hadis riwayat Abdullah bin Mas`ud ra.: Dari Nabi saw. bahwa beliau melarang pencegatan (blokir) barang-
barang dagangan. (Shahih Muslim No.2794)

5. Pengharaman orang kota menjual kepada orang desa (badui)

®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang pencegatan kafilah barang dan penjualan
orang kota kepada orang desa (badui). (Shahih Muslim No.2798)

®.Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Kami dilarang, seorang kota menjual kepada orang desa, meskipun
saudaranya atau ayahnya. (Shahih Muslim No.2800)

6. Hukum penjualan hewan yang ditashriah

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa membeli seekor kambing
yang ditashriah (yang tidak diperah susunya agar disangka subur), hendaklah ia membawa kembali lalu
memerahnya, jika ia rela dengan susu perahannya, maka ia boleh menahan kambing itu (tidak mengembalikan) dan
jika tidak rela, ia boleh mengembalikannya disertai satu sha` kurma. (Shahih Muslim No.2802)
7. Batal menjual barang sebelum diterima

®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa membeli makanan, janganlah
menjualnya sampai ia menerimanya dengan sempurna. (Shahih Muslim No.2807)

8. Ditetapkannya hak pilih dalam majelis bagi pelaku jual pembeli

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai
hak pilih (untuk mengesahkan transaksi atau membatalkannya) atas pihak lain selama belum berpisah, kecuali jual
beli khiyar (kesepakatan memperpanjang masa hak pilih sampai setelah berpisah). (Shahih Muslim No.2821)

9. Tentang kejujuran dan keterus-terangan dalam jual beli

®.Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Penjual dan pembeli memiliki hak pilih
selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat
berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan
jual beli mereka. (Shahih Muslim No.2825)

10. Orang yang ditipu dalam jual beli

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Seorang lelaki melaporkan kepada Rasulullah saw. bahwa ia tertipu dalam jual beli.
Maka Rasulullah saw. bersabda: Katakanlah kepada orang yang kamu ajak berjual-beli: Tidak boleh menipu! Sejak
itu jika ia bertransaksi jual beli, ia berkata: Tidak boleh menipu!. (Shahih Muslim No.2826)

11. Larangan menjual buah- buahan yang belum tampak jadinya tanpa syarat untuk dipetik

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sebelum tampak jadinya.
Beliau melarang pihak penjual dan pembeli. (Shahih Muslim No.2827)

®Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang kami menjual buah-buahan sebelum matang (enak
dimakan). (Shahih Muslim No.2831)

®.Hadis riwayat Ibnu Abbas r.as.., ia berkata: Rasulullah saw. melarang menjual pohon kurma sebelum ia memakan
sebagian buahnya atau dimakan orang lain dan sebelum ditimbang. Aku bertanya: Apa yang dimaksud dengan
ditimbang? Seorang lelaki yang berada di sebelahnya menjawab: Yaitu ditaksir. (Shahih Muslim No.2833)

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Janganlah membeli buah- buahan sebelum
tampak matangnya. (Shahih Muslim No.2834)

12. Haram menjual kurma basah dengan kurma kering kecuali dalam (jual beli) araya (ariah)

®.Hadis riwayat Zaid bin Tsabit ra.: Bahwa Rasulullah saw. memberi keringanan kepada pemilik kurma basah
untuk menjualnya dengan cara ditaksir dengan kurma kering. (Shahih Muslim No.2838)

®.Hadis riwayat Sahal bin Abu Hatsmah ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang penjualan kurma basah dengan
kurma kering, beliau bersabda: Demikian itu adalah riba yang ada dalam muzabanah, hanya saja beliau memberi
keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu atas.u dua buah pohon kurma diambil oleh suatu keluarga
dengan cara ditaksir dengan kurma kering lalu mereka makan buahnya yang masih setengah matang. (Shahih
Muslim No.2842)

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. memberi keringanan dalam jual beli Araya dengan cara
ditaksir dengan syarat kurang dari lima wasak atau sebanyak lima wasak. (Shahih Muslim No.2845)
®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang Muzabanah. Muzabanah ialah menjual kurma
basah dengan kurma kering dengan takaran (yang sama) dan menjual anggur segar dengan anggur kering (kismis)
dengan takaran. (Shahih Muslim No.2846)

13. Menjual pohon kurma yang sedang berbuah

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Barang siapa menjual pohon kurma yang
sudah dikawinkan, maka buahnya untuk penjual, kecuali jika disyaratkan oleh pembeli. (Shahih Muslim No.2851)

14. Tentang penyewaan tanah

®.Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang penyewaan tanah. (Shahih Muslim
No.2861)

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Dahulu kami berpendapat bahwa mukhabarah (menggarap tanah milik
orang lain dengan syarat upahnya adalah sebagian dari hasilnya) tidak apa- apa. Sampai pada tahun awal, Rafi`
menyangka bahwa Nabi saw. telah melarangnya. (Shahih Muslim No.2879)

15. Memberikan tanah

®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seseorang memberikan tanahnya kepada
saudaranya adalah lebih baik baginya daripada ia memungut hasil panen tertentu (sebagai imbalan atas penyewaan
tanah tadi). (Shahih Muslim No.2892)

16. Pengairan dan transaksi dengan sebagian hasil buah-buahan dan pertanian

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh
hasil panen tanah yang digarap berupa buah atau tanaman. (Shahih Muslim No.2896)

17. Keutamaan bercocok tanam dan bertani

®.Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada seorang muslim pun yang
menanam suatu pohon atau bertani dengan suatu macam tanaman kemudian dimakan burung, manusia atau ternak
melainkan hal itu akan menjadi sedekah baginya. (Shahih Muslim No.2904)

18. Menghindari hama tanaman

®.Hadis riwayat Anas ra.: Bahwa Nabi saw. melarang penjualan buah kurma yang belum masak. Kami bertanya
kepada Anas: Apa tanda kemasakannya? Dia menjawab: Memerah atau menguning. Bagaimana pendapatmu jika
Allah menggagalkan (panen) buah kurma itu, dengan apa kamu menghalalkan harta saudaramu?. (Shahih Muslim
No.2906)

19. Sunah membebaskan utang

®.Hadis riwayat Kaab bin Malik ra.: Bahwa ia pernah menagih utang kepada Ibnu Abu Hadrad pada masa
Rasulullah saw. di dalam mesjid. Suara mereka berdua keras sekali sehingga didengar Rasulullah saw. yang sedang
berada di dalam rumah. Lalu beliau keluar menemui mereka hingga menyingkap tirai kamarnya, lalu memanggil
Kaab bin Malik: Hai Kaab! Kaab menjawab: Saya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau mengisyaratkan dengan
tangannya agar Kaab membebaskan setengah utangnya. Kaab berkata: Sudah aku lakukan, wahai Rasulullah. Beliau
bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad): Bangunlah dan bayarlah!. (Shahih Muslim No.2912)
20. Orang yang mendapati barang jualannya pada pihak pembeli yang telah bangkrut, maka ia boleh menarik
kembali barangnya

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mendapatkan
hartanya masih utuh pada seorang lelaki atau seorang manusia yang telah bangkrut, maka ia lebih berhak atas harta
tersebut daripada orang lain. (Shahih Muslim No.2913)

21. Keutamaan menangguhkan tagihan kepada pengutang yang dalam keadaan sulit

®.Hadis riwayat Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Para malaikat menerima ruh seorang lelaki
dari umat sebelum kamu. Mereka bertanya: Apakah kamu pernah melakukan suatu kebaikan? Ia menjawab: Tidak.
Mereka bertanya lagi: Cobalah kamu mengingat! Lelaki itu menjawab: Saya dahulu pernah mengutangkan orang-
orang, lalu aku menyuruh pembantu- pembantuku untuk menangguhkan tagihan utang kepada orang yang sedang
dalam kesulitan (miskin) serta memaafkan orang yang kaya. Rasulullah saw. bersabda: Lalu Allah swt. berfirman:
Maafkanlah orang itu!. (Shahih Muslim No.2917)

®.Hadis riwayat Abu Mas`ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: Seorang lelaki dari umat sebelum
kamu menghadapi penghitungan amal perbuatan, lalu tidak didapati satu amal kebajikan pun miliknya, kecuali
bahwa ia pernah mengutangkan manusia ketika masa kaya lalu memerintahkan pembantu- pembantunya untuk
memaafkan (membebaskan utang) orang yang kesulitan. Rasulullah saw. bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman:
Kami lebih berhak berbuat begitu dari ia, maka ampunilah dia!. (Shahih Muslim No.2921)

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Dahulu terdapat seorang lelaki yang biasa
mengutangkan manusia. Ia berkata kepada pembantunya: Apabila kamu menagih orang yang dalam kesulitan, maka
maafkanlah ia, semoga dengan demikian Allah akan mengampuni dosa kita. Kemudian ia menemui Allah, maka
Allah mengampuninya. (Shahih Muslim No.2922)

22. Haram menunda pembayaran utang bagi orang kaya, pemindahan utang sah hukumnya serta anjuran menerima
bila utangnya dialihkan ke orang kaya

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Menunda pembayaran utang oleh orang
kaya adalah suatu kezaliman, dan bila seorang dari kamu utangnya dialihkan ke orang kaya, maka hendaklah ia
menerima. (Shahih Muslim No.2924)

23. Haram menjual air lebih di tanah lapang yang dibutuhkan untuk rerumputan, haram menahan pemanfaatannya
serta haram menjual pembuahan hewan pejantan

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Aliran air lebih tidak boleh ditahan untuk
mencegah pengairan rerumputan. (Shahih Muslim No.2927)

24. Pengharaman harga anjing, upah dukun peramal, bayaran wanita pelacur serta larangan menjual kucing

®.Hadis riwayat Abu Mas`ud Al-Anshari ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang (memakan) harga anjing, bayaran
wanita pelacur serta upah dukun peramal. (Shahih Muslim No.2930)

25. Perintah membunuh anjing, penjelasan dihapusnya perintah tersebut, haram memelihara anjing kecuali untuk
berburu, menjaga tanaman atau ternak dan sejenisnya

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. memerintahkan membunuh anjing. (Shahih Muslim
No.2934)

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa memiliki anjing selain anjing
penjaga ternak dan anjing pemburu maka setiap hari pahala amalnya berkurang dua qirath. (Shahih Muslim
No.2940)

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Barang siapa memiliki anjing yang bukan
anjing pemburu, penjaga ternak atau penjaga ladang, maka setiap hari pahalanya berkurang dua qirath. (Shahih
Muslim No.2947)

®.Hadis riwayat Sufyan bin Abu Zuhair ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa
memiliki anjing bukan untuk menjaga ladang atau ternak, maka setiap hari pahala amalnya berkurang satu qirath.
(Shahih Muslim No.2951)

26. Halal mengambil upah membekam

®.Hadis riwayat Anas bin Malik ra.: Anas bin Malik ditanya tentang penghasilan seorang pembekam, maka ia
menjawab: Rasulullah saw. pernah berbekam, beliau dibekam oleh Abu Thaibah. Lalu beliau memerintahkan agar
Abu Thaibah diberi dua sha` makanan dan berbicara kepada keluarganya, lalu mereka mengurangi sebagian dari
pajaknya. Kemudian beliau bersabda: Sebaik-baik obat yang kamu gunakan adalah berbekam, atau: Berbekam
adalah obat yang paling baik bagimu. (Shahih Muslim No.2952)

27. Pengharaman menjual khamar

®.Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Ketika turun beberapa ayat terakhir surat Al- Baqarah, Rasulullah saw.
keluar lalu membacakannya kepada orang-orang, kemudian beliau mengharamkan perdagangan khamar. (Shahih
Muslim No.2958)

28. Pengharaman menjual khamar, bangkai, babi dan berhala

®.Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.: Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada tahun penaklukan,
ketika beliau masih berada di Mekah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan penjualan khamar,
bangkai, babi dan berhala. Lalu beliau ditanya: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang
digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan untuk menyalakan lampu? Beliau menjawab: Tidak boleh,
ia tetap haram. Kemudian beliau melanjutkan: Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya
Allah swt. ketika mengharamkan lemak bangkai kepada mereka, mereka lalu mencairkannya dan menjualnya serta
memakan harganya. (Shahih Muslim No.2960)

®.Hadis riwayat Umar ra.: Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Umar ra. mendengar berita bahwa Samurah menjual
khamar, maka ia berkata: Semoga Allah membinasakan Samurah. Apakah ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda: Allah melaknat orang Yahudi karena telah diharamkan lemak bangkai kepada mereka,
kemudian mereka mencairkannya lalu menjualnya. (Shahih Muslim No.2961)

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Semoga Allah membinasakan orang
Yahudi. Allah telah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, kemudian mereka menjualnya lalu memakan
harganya. (Shahih Muslim No.2962)

29. Riba

®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan
emas kecuali sama kadarnya dan janganlah melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain.
Janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama kadarnya dan janganlah melebihkan sebagiannya dengan
mengurangi sebagian yang lain. Dan janganlah menjual sesuatu yang berjangka dengan yang kontan. (Shahih
Muslim No.2964)
30. Penukaran mata-uang dan jual beli emas dengan perak secara tunai

®.Hadis riwayat Umar bin Khathab ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penukaran perak dengan emas itu riba
kecuali dengan serah- terima secara langsung. Dan penukaran gandum dengan gandum itu riba kecuali dengan
serah-terima secara langsung. Dan penukaran kurma dengan kurma itu riba kecuali dengan serah- terima secara
langsung. (Shahih Muslim No.2968)

31. Larangan menjual perak dengan emas dalam bentuk utang

®.Hadis riwayat Barra` bin Azib ra.: Dari Abul Minhal ia berkata: Seorang kawan berserikatku menjual perak
dengan cara kredit sampai musim haji lalu ia datang menemuiku dan memberitahukan hal itu. Aku berkata: Itu
adalah perkara yang tidak baik. Ia berkata: Tetapi aku telah menjualnya di pasar dan tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya. Maka aku (Abul Minhal) mendatangi Barra` bin `Azib dan menanyakan hal itu. Ia berkata: Nabi
saw. tiba di Madinah sementara kami biasa melakukan jual beli seperti itu, lalu beliau bersabda: Selama dengan
serah-terima secara langsung, maka tidak apa-apa. Adapun yang dengan cara kredit maka termasuk riba. Temuilah
Zaid bin Arqam, karena ia memiliki barang dagangan yang lebih banyak dariku. Aku lalu menemuinya dan
menanyakan hal itu. Ia menjawab seperti jawaban Barra`. (Shahih Muslim No.2975)

®.Hadis riwayat Abu Bakrah ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang penukaran perak dengan perak, emas dengan
emas, kecuali yang sama kadarnya. Dan beliau juga menyuruh kita membeli perak dengan emas dengan cara apa
pun yang kita kehendaki, membeli emas dengan perak dengan cara apa pun yang kita kehendaki. Seorang lelaki
bertanya kepadanya: Yaitu dengan serah- terima secara langsung? Abu Bakrah menjawab: Demikianlah yang aku
dengar. (Shahih Muslim No.2977)

32. Jual-beli (penukaran) makanan harus dengan yang sama kadarnya

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. mengutus saudara Bani Adi Al- Anshari sebagai wakil
beliau di Khaibar. Kemudian ia datang membawa kurma janib (kurma bermutu baik). Rasulullah saw. bertanya
kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar seperti ini? Dia menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, kami
membeli satu sha` kurma ini dengan dua sha` kurma jelek. Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu berbuat
demikian. Tetapi tukarlah dengan yang sejenis, atau juallah ini (kurma yang jelek) lalu belilah kurma yang baik
dengan uang penjualannya dan demikian juga dengan timbangan. (Shahih Muslim No.2983)

®.Hadis riwayat Abu Said ra., ia berkata: Bilal datang membawa kurma Barni (sejenis kurma berkwalitas baik) lalu
Rasulullah saw. bertanya: Dari mana kamu memperoleh kurma ini? Bilal menjawab: Kami mempunyai kurma jelek
lalu aku menjual sebanyak dua sha` dengan satu sha` (kurma yang baik) untuk santapan Nabi saw. Mendengar itu
Rasulullah saw. bersabda: Itulah riba, janganlah berbuat seperti itu! Tetapi jika kamu ingin membeli kurma yang
baik, juallah kurmamu dengan harga tertentu lalu belilah kurma yang baik dengan harga itu. (Shahih Muslim
No.2985)

®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Dari Abu Nadhrah ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas ra.
tentang tukar- menukar emas dengan emas atau emas dengan perak atau perak dengan emas, maka ia balik bertanya:
Apakah dengan serah-terima secara langsung? Aku menjawab: Ya. Kemudian ia berkata: Tidak apa-apa. Maka aku
memberitahu Abu Said, aku berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas ra. tentang tukar menukar emas
dengan emas atau emas dengan perak atau perak dengan emas, ia balik bertanya: Apakah dengan serah-terima secara
langsung? Aku menjawab: Ya. Ia berkata: Kalau begitu, tidak apa-apa. Dia (Abu Said) berkata: Benarkah ia berkata
demikian? Aku akan menulis surat kepadanya agar ia tidak lagi memberikan fatwa begitu kepadamu. Ia
melanjutkan: Demi Allah, beberapa orang pemuda pernah datang kepada Rasulullah saw. membawa sejenis kurma
yang beliau tidak kenal lalu beliau bersabda: Sepertinya kurma ini bukan berasal dari tanah kita. Pemuda tadi
berkata: Dalam kurma hasil tanah kita atau kurma kita tahun ini terdapat sedikit kerusakan, lalu aku menukarkan
kurma yang baik ini dengan menambahkan takaran (kurma jelek). Beliau bersabda: Kamu telah melebihkan, berarti
kamu telah melakukan riba. Jangan sekali-kali kamu lakukan itu, apabila kurmamu tidak baik, maka juallah,
kemudian uangnya kamu belikan kurma yang lebih baik sesuai dengan seleramu. (Shahih Muslim No.2988)

®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Dinar ditukar dengan dinar, dirham dengan dirham harus sama
nilainya. Barang siapa menambah atau meminta tambahan berarti ia telah melakukan riba. Maka aku berkata
kepadanya: Sesungguhnya Ibnu Abbas ra. tidak mengatakan demikian. Ia berkata: Aku telah menemui Ibnu Abbas
ra. lalu aku bertanya kepadanya: Apa pendapatmu mengenai apa yang kamu katakan, apakah itu sesuatu yang kamu
dengar dari Rasulullah saw. atau kamu temukan dari Kitab Allah? Maka ia berkata: Aku tidak mendengarnya dari
Rasulullah dan tidak mendapatkannya dari Kitab Allah, tetapi Usamah bin Zaid berkata kepadaku bahwa Nabi saw.
pernah bersabda: Riba itu terdapat dalam penundaan pembayaran. (Shahih Muslim No.2990)

®.Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya riba itu hanya terdapat pada
penundaan pembayaran. (Shahih Muslim No.2991)

33. Mengambil yang halal dan meninggalkan yang syubhat

®.Hadis riwayat Nu`man bin Basyir ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda (Nu`man
menggerakkan jari- jemari ke telinganya): Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram
itu pun telah jelas dan di antara keduanya terdapat perkara- perkara yang syubhat (tidak jelas hukumnya) yang tidak
diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barang siapa menghindari perkara syubhat, ia telah membebaskan
agama dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti telah terjerumus ke dalam perkara
haram, seperti penggembala yang menggembalakan di sekitar tempat terlarang, maka kemungkinan besar
gembalaannya akan masuk ke tempat terlarang itu. Ketahuilah! Sesungguhnya setiap penguasa itu memiliki daerah
terlarang. Ketahuilah! Sesungguhnya daerah terlarang milik Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.
Ketahuilah! Sesungguhnya di dalam tubuh itu terdapat segumpal daging, apabila ia baik, maka akan baik pula
seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah itu adalah hati. (Shahih Muslim
No.2996)

34. Orang yang berutang sesuatu lalu melunasi dengan yang lebih baik, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik dalam melunasi utang

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Seorang lelaki mempunyai piutang pada Rasulullah saw., lalu ia
menagih beliau dengan cara kasar sehingga para sahabat Nabi saw. ingin membalasnya. Maka bersabdalah Nabi
saw.: Sesungguhnya pemilik piutang itu berhak mengatakan apa saja. Belilah seekor unta lalu berikanlah
kepadanya! Mereka berkata: Kami tidak mendapatkan kecuali unta yang lebih baik dari untanya. Beliau bersabda:
Belilah dan berikanlah kepadanya! Karena sesungguhnya termasuk orang yang terbaik di antara kamu atau orang
yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya. (Shahih Muslim No.3003)

35. Boleh bergadai, baik ketika bermukim maupun dalam perjalanan

®.Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara
menangguhkan pembayarannya lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. (Shahih Muslim
No.3007)

36. Jual-beli salam (pemesanan)

®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah sedang penduduknya biasa melakukan
pemesanan buah- buahan dengan harga kontan selama satu sampai dua tahun. Maka beliau bersabda: Barang siapa
yang membeli kurma dengan cara memesan, hendaklah ia memesan dalam takaran yang diketahui atau timbangan
yang diketahui serta batas waktu yang diketahui pula. (Shahih Muslim No.3010)

37. Larangan bersumpah dalam jual beli


®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sumpah itu penyebab
lakunya barang dagangan, tetapi menghapus keberkahan laba. (Shahih Muslim No.3014)

38. Syuf`ah

®.Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang berserikat dengan orang lain
dalam memiliki rumah atau pohon kurma, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum memberitahukan kawan
serikatnya, apabila ia rela, maka ia boleh mengambil (harganya) dan jika tidak suka, maka ia harus meninggalkan
(tidak menjual). (Shahih Muslim No.3016)

39. Menancapkan kayu di dinding tetangga

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang di antara kamu melarang
tetangganya menancapkan kayu di dindingnya. (Shahih Muslim No.3019)

40. Pengharaman berbuat zalim, merampas tanah dan lainnya

®.Hadis riwayat Said bin Zaid bin Amru bin Nufail ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mengambil
sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya di hari kiamat setebal tujuh lapis bumi. (Shahih
Muslim No.3020)

®.Hadis riwayat Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa berbuat zalim dengan mengambil tanah
seluas sejengkal, maka akan dikalungkan di lehernya setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim No.3025)

41. Ukuran luas jalan bila diperselisihkan orang

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Apabila kalian berselisih luas jalan, maka lebarnya
ditetapkan tujuh hasta.
(Shahih Muslim No.3026)
Kitab Jual-Beli
HADITS SHAHIH MUSLIM

(Surat Al-Baqarah ayat 275 s/d 278)

1. Nash Ayat

Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 yang berbunyi :

‫س َذ ِل َك بِأَنَّ ُه ْم‬ ِّ ِ ‫ان ِمنَ ْال َم‬ُ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬


َّ ‫طهُ ال‬ ُ َّ‫الربَا الَ يَقُو ُمونَ ِإالَ َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬ ِّ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
‫ظةٌ ِم ْن َر ِبِّ ِه فَا ْنت َ َهى‬ َ ‫الر َبا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ ِّ ِ ‫ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬ ِّ ِ ‫قَالُوا ِإنَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬
َّ ‫الر َبا َوأ َ َح َّل‬
‫)يَ ْم َح ُق‬275( َ‫ار ُه ْم ِفي َها خَا ِلدُون‬ ِ َّ‫اب الن‬
ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫ّللا َو َم ْن َعا َد فَأُولَئِ َك أ‬ ِ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ ِإ َلى‬ َ َ‫سل‬
َ ‫فَلَهُ َما‬
‫) إِ َّن الَّذِينَ َءا َمنُوا َو َع ِملُوا‬276(‫ّللاُ الَ يُ ِحبُّ ُك َّل َكفَّار أَثِيم‬ َّ ‫ت َو‬ ِ ‫ص َدقَا‬ َّ ‫الربَا َويُ ْربِي ال‬ ِّ ِ ُ‫ّللا‬
َّ
ٌ ‫الز َكاة َ لَ ُه ْم أ َ ْج ُر ُه ْم ِع ْن َد َر ِبِّ ِه ْم َوالَ خ َْو‬
َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوال‬ َّ ‫ت َوأَقَا ُموا ال‬
َّ ‫صالَة َ َو َءات َ ُوا‬ ِ ‫صا ِل َحا‬َّ ‫ال‬
)278( َ‫الر َبا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬
ِّ ِ َ‫ي ِمن‬ َ ‫ّللا َو َذ ُروا َما َب ِق‬َ َّ ‫) َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا‬277( َ‫ُه ْم َي ْحزَ نُون‬

Artinya :

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya (275)

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278)

2. Sebab turunnya ayat


Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa
semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan
dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid
sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar adalah orang yang biasa
meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan Bani Mughiroh
senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekayaan yang banyak.
Karennya, datanglah Bani Amer untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah
menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada
Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis surat balasan yang isinya “ Jika
mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka
kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.[1]

3. Mufrodat
Beberapa mufrodat yang penting antara lain adalah[2] :

 ( ‫ )يأكلون‬: arti harfiyahnya adalagh memakan, disini berarti mengambil atau memanfaatkan. Karena itulah
tujuan utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk dalam mengambil manfaat adalah
memakannya.

 (( ‫يقومون‬: maksudnya bangkit dari kubur mereka

 (‫ )يتخبطهم‬: artinya kesurupan atau kemasukan syetan

 (‫ )يمحق‬artinya mengurangkannya dan menghilangkan barakahnya

 (‫ )يربي‬: artinya menambahkan dan menumbuhkannya serta melipat gandakan ganjarannya.


 (‫ )حرب‬: arti perang dari Allah dan Rasul-Nya disni adalah diperlakukan seperti seorang bughot
(pemberontak) dan sebagai musuh Allah.

4. Hukum yang terkandung di dalamnya


Ayat yang melarang riba ini bila disimak lebih jauh mengandung banyak penge‫ق‬tian hukum,
diantaranya :

 Dibolehkannya semua praktek jual beli yang tidak ada larangan syar`i di dalamnya. Jual beli sendiri
memiliki arti memiliki harta dengan harta melalui ijab qabul dengan keridhaan keduanya.

 Diharamkannya riba dan dimaklumatkan perang dari Allah dan Rasul-Nya.

5. Haramnya Riba Dalam al-Quran dan Sunnah


Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah saw memalui ayat-ayat Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash itu adalah sebagi berikut :

 Al-Quran

Al-Quran mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir
Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut [3]:

- Tahap Pertama

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 )

Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.

- Tahap Kedua

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, (QS. An-Nisa : 160-61)

Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum
Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.

- Tahap Ketiga

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Ali Imron : 130)

Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat
ganda.
- Tahap Keempat

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)

Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata
(‫ )ال‬mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya
pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi’ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (‫ )البيع‬yang berarti semua
jenis jual beli.

 As-Sunah

As-Sunnah juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya :

‫ هم سواء‬: ‫لعن رسول هللا آكل الربا وموكله وكاتبه و شاهديه وقال‬
Artinya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya.
Beliau bersabda : mereka semua sama .[4]

Dalam hadits lain disebutkan :

Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa,”Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku
kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepaa ayah mengapa beliau melakukannya.
Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing
dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan
memberi riba serta melaknat pembuat gambar. [5]

Dengan dalil-dalil qoth’i di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk
mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat sharih dan jelas. Bahkan
ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang yang menjalankan riba itu.

6. Bunga Bank Adalah Riba Yang Diharamkan


Karena keterbatasan ilmu syariah, masih banyak kalangan umat Islam yang bertanya-tanya tentang
kehalalan bunga bank. Kehidupan perekonomian tidak mungkin lagi dilepaskan dari jasa perbankan.
Bahkan untuk kepentingan rumah tangga. Padahal umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam
banyak transaksinya.

Meskipun praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun masih ada juga mereka yang berusah
mencari argumen yang membolehkan. Paling tidak memakruhkan. Umumnya orang-orang yang berdiri
di belakang argumen itu masih memandang bahwa pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak
mampu atau –mungkin- tidak memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat dalam mengatur
ekonominya sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu bila kita telaah secarara jernih
dengan nurani yang jujur, maka akan nampak nyata kelemahan-kelemahannya.

Penulis akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara singkat dilengkapi dengan jawaban atas
kelemahannya.

a. Alasan Darurat

Alasan darurat adalah alasan paling klasik dan paling sering terdengar atas dibolehkannya bank ribawi.
Biasanya dalil yang digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi ( ‫الضرورات تبيح‬
‫ )المحظورات‬artinya dharurat itu membolehkan mahzurot / yang dilarang.[6]

Pendapat seperti ini pada dasarnya mengakui haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun
barangkali karena tidak punya alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru, banyak pendapat
orang yang dengan terpaksa membolehkannya.

Jawaban :

Pendapat seperti di atas bila dikaitkan dengan kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah
fiqiyah yang berkaitan dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu (‫ )الضرورات تقدر بقدرها‬artinya
bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya. [7]

As-Suyuti menjelaskan tentang sifat darurat, yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu
tindakan yang cepat, akan membawa pada jurang kematian. [8]. Padahal bila kita tidak menabung di bank
konvensional tetapi di bank syariat, kita tidak akan celaka atau mati.

Sedang Dr. Wahbat Az-Zuhaili menjelaskan bahwa situasi darurat itu seperti seseorang yang tersesat di
hutan dan tidak ada makanan kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan itu Allah
menghalalkan dengan dua batasan.[9]

‫غي َْر بَاغٍ َوَلَ عَا ٍد‬ ْ ‫ّللَا فَ َم ِن ا‬


ُ ‫ض‬
َ ‫ط هر‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال هد َم َولَحْ َم ا ْل ِخ ْن ِز‬
ِ ‫ير َو َما أ ُ ِه هل ِب ِه ِلغَي ِْر ه‬ َ ‫ِإنه َما َح هر َم‬
ٌ ُ‫غف‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ َ ‫ّللَا‬َ ‫علَ ْي ِه ِإ هن ه‬َ ‫فََلَ ِإثْ َم‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqorah : 173).

Sedangkan umat Islam banyak yang menabung di bank konvensional bukan karena hampir mati tidak
ada makanan, justru banyak yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata darurat
sudah tidak relevan lagi.

Di Indonesia sendiri bank yang berpraktek secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan.
Data per Nopember 2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi yaitu :

1. Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember 1991


2. Bank Syariah Mandiri (BMS) yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang menerapkan syariah.
Asetnya kini sekitar 2 sampai 3 trilyun dengan 20 cabangnya.

3. Konversi bank konvensional kepada bank syariah[10] :

 Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999)

 Bank Niaga (akan membuka cabang syariah )

 Bank BNI `46 (telah memiliki 5 cabang )

 Bank BTN (dalam perencanaan)

 Bank Mega (akan menkonversikan anak perusahaannya menjadi syariah)

 Bank BRI (akan membuka cabang syariah)

 Bank Bukopin (akan membuka cabang syariah di Aceh )

 BPD Jabar (telah membuka cabang syariah di Bandung)

 BPD Aceh

b. Yang Haram Adalah Yang Berlipat Ganda

Ada pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda
dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.[11] Pendapat ini berasal dari
pemahaman yang salah tentang surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi :

ِِ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
(QS. Ali Imran : 130)

Jawaban :

Memang sepintas ayat ini hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi bila kita cermati lebih
dalam serta dikaitkan dengan ayat-ayat lain secarara lebih komprehensip, maka akan kita dapat
kesimpulan bahwa riba dengan segala macam bentuknya mutlak diharamkan. Paling tidak ada dua
jawaban atas argumen di atas :

 Kata (‫ )أضعاف‬yang berarti berlipat ganda itu harus dii’rab sebagai (‫ )حال‬haal yang berarti sifat riba dan sama
sekali bukan syarat riba yang diharamkan. Ayat ini tidak dipahami bahwa riba yang diharamkan hanyalah
yang berlipat ganda, tetapi menegaskan karakteristik riba yang secarar umum punya kecendrungan untuk
berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Hal seperti itu diungkapkan oleh Syeikh Dr. Umar bin
Abdul Aziz Al-Matruk, penulis buku Ar-Riba wal Mua’amalat al-Mashrafiyah fi Nadzri ash-Shariah al-
Islamiyah.[12]

 Perlu direnungi penggunaan mafhum mukholafah dalam ayat ini sala kaprah, tidak sesuai dengan siyaqul
kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu maupun sabda Raulullah SAW. Secarar
sederhana bila kita gunakan mahhum mukholafah yang berarti konsekuensi terbalik secarara
sembarangan, akan melahirkan penafsiran yang keliru. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami
secarara mafhum mukholafah, jangan dekati zina. Maka yang tidak boleh mendekati, berarti zina itu
sendiri tidak dilarang. Begitu juga daging babi, yang dilarang makan dagingnya, sedang kulit, tulang,
lemak tidak disebutkan secarar eksplisit. Apakah berarti semuanya halal ? tentu tidak.
 Secarara linguistik kata (‫ )ضعف‬adalah jamak dari (‫ )أضعاف‬yang berarti kelipatan-kelipatan. Bentuk jama’ itu
minimal adalah tiga. Dengan demikian (‫ )أضعاف‬berarti 3x2 = 6. Adapun (‫ )مضاعفا‬dalam ayat itu menjadi
ta’kid (‫ )تأكيد‬atau penguat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai
dengan konsekuensi bahasa, minimum harus enam kai lipat atau bunga 600 %. Secarara operasional dan
nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam. [13]

c. Yang Haram Melakukan Riba Adalah Individu Bukan Badan Hukum

Bank adalah sebuah badan hukum dan bukan individu. Karena bukan individu, maka bank tidak
mendapat beban / taklif dari Allah. Seperti yang sering disebutkan sebagai syarat mukallaf antara lain :
akil, baligh, tamyiz dan seterusnya. Bank tidak akil, baligh dan tamyiz. Artinya bukanlah mukallaf.
Sehingga praktek bank tidak termasuk berdosa, karena yang dapat berdosa adalah individu. Ketika ayat
riba turun di jazirah arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan. Dengan demikian bank LIPPO,
BCA, Danamon dan lainnya tidak terkena hukum taklif, karena pada saat Nabi Hidup belum ada.

Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam sebuah workshop on bank
and banking interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990. [14]

Jawaban :

Argumen ini memiliki kelemahan dari beberapa sisi, yaitu :

 Tidak benar bahwa pada zaman nabi tidak ada badan keuangan sama sekali. Sejarah Roma, Persia dan
Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa.
Dengan kata lain, perseroan mereka masuk dalam lembaran negara.[15]

 Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical
personality atau syakhshiyyah hukmiyah (‫)الشخصية الحكومية‬. Juridical personality ini sah secarara hukum
dan dapat mewakili individu-individu secarar keseluruhan.

 Bank memang bukan insan mukallaf, tetapi melakukan amal mukallaf yang jauh lebih besar dan
berbahaya. Alangkah naifnya bila kita mengatakan bahwa sebuah gank mafia pengedar drugs dan
narkotika tidak berdosa dan tidak terkena hukum karena merupakan sebuah lembaga dan bukan insan
mukallaf. Demikian juga lembaga keuangan, apa bedanya dengan seorang rentenir pemakan darah
masyarakat ? Bedanya, yang satu seorang individu yang beroperasi tingkat RT dan RW, sedang yang
lainnya adalah kumpulan dari individu-individu yang secarara terorganisis dan modal raksasa melakukan
operasi renten dan pemerasan tingkat tinggi dalam skala nasional bahkan internasional dan mendapat
aspek legalitas dari hukum sekuler.

d. Yang haram adalah yang konsumtif

Pendapat ini mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanya bersifat konsumtif saja. Sedangkan riba
yang bersifat produktif tidak haram. Alasan yang digunakan adalah ‘illat dari riba yaitu pemerasan. Dan
pemerasan ini hanya dapat terjadi pada bentuk pinjaman yang konsumtif saja. Sebab debitur bermaksud
menggunakan uangnya untuk menutupi kebutuhan pokoknya saja seperti makan, minum, pakaian,
rumah dan lain-lain. Debitur melakukan itu karena darurat dan tidak punya jalan lain. Maka mengambil
untung dari praktek konsumtif seperti ini haram.

Dewasa ini telah terjadi perubahan pandangan karena terjadinya perubahan pada bentuk pinjaman
setelah berdirinya bank. Debitur (peminjam) tidak lagi dipandang sebagai pihak lemah yang dapat
diperas oleh kreditur dalam hal ini bank. Selain itu kreditur tidak pula memaksakan kehendaknya kepada
debitur. Yang terjadi justru sebaliknya, debiturlah yang menjadi pihak yang kuat yang dapat menentukan
syarat dan kemauannya kepada kreditur. Jadi bank menjadi debitur karena meminjam uang kepada
nasabah. Sedangkan nasabah menjadi kreditur karena meminjaminya. Namun bank bukan lagi peminjam
yang lemah, justru menjadi pihak yang kuat.

Karena cara-cara yang sekarang berjalan sama sekali berbeda dengan sebelumnya, maka harus dibedakan
antara pinjaman produktif dan konsumtif. Pinjaman produktif hukumnya halal dan pinjaman konsumtif
hukumnya haram.

Pendapat ini didukung oleh Dr. Muhammad Ma’ruf Dawalibi dalam Mukatamar Hukum Islam di
Perancis bulan Juli 1951 yang berkata :”Pinjaman yang diharamkan hanyalah pinjaman yang berbentuk
konsumtif, sedangkan yang berbentuk produktif tidak diharamkan. Karena yang dilarang Islam hanyalah
yang konsumtif.[16]

Jawaban :

 Orang yang beranggapan bahwa pemerasan itu hanya ada pada pinjaman konsumtif dan tidak ada pada
pinjaman produktif adalah tidak beralasan. Sebab pinjaman produktif pun juga bersifat pemerasn.
Sebagai bukti bahwa bank-bank dewasa ini memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Tetapi
memberikan porsi yang sangat kecil dari keuntungannya itu kepada deposan.

 Para ulama menetapkan bahwa pinjaman yang diharamkan Al-Quran adalah pinjaman jahiliyah. Ketika
mereka melakukan peminjaman sesama mereka tentu untuk usah mereka dalam sekala bear. Tidak
mungkin bagi mereka yang termasuk tokoh saudagar besar dan pemilik modal seperti Abbas bin Abdul
Muttalib atau Khalid bin Walid melakukan pemerasan kepada orang yang lemah dan miskin. Mereka
terkenal sebagai dermawan besar dan bangga disebut sebagai dermawan. Mereka punya kebiasaan
menyantuni orang lapar dan memberi pakaian. Pinjaman yang bersifat konsumtif tidak terjadi antar
mereka. Justru pinajam produktif yang di dalam Al-Quran mereka memang dikenal sebagai pedang yang
melakukan perjalan musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Masyarakat Quraisy umumnya
adalah pedagang dan pemodal sehingga pinjaman-pinjaman waktu itu memang untuk kebutuhan
perdagangan yang bersifat produktif dan bukan konsumtif. [17]

7. Pendapat yang mengharamkan bunga bank


a. Majelis Tarjih Muhammadiyah [18]

- Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c :

…bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal

…bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama
ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.

b. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama [19]

Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan
bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga
bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank
hukumnya syubhat.

c. Organisasi Konferensi Islam (OKI) [20]

Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah
menyepakati dua hal :
 Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam

 Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam.

c. Mufti Negara Mesir [21]

Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga
bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan.

d. Konsul Kajian Islam Dunia [22]

Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas
terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek
pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama
seperti Syeikh Al-Azhar, Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr.
Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan
dunia Islam.

8. Hukum Bekerja di Bank Ribawi


Sebagai pelengkap makalah ini, penulis kutipkan masalah yang timbul akibat haramnya praktek riba
di bank konvensional. Yaitu hukum bekerja sebagai pegawai pada lembaga seperti itu. Dr. Yusuf Al-
Qoradawi dalam Fatwa Kontemporernya menuliskan tentang hukum bekerja di bank ribawi :

“Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank
atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan
semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana
yang diperingatkan Rasulullah saw.: "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada
waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya
maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank
atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah
golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan
itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan
guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.

Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan
setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba,
khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu
telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini
hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah
(sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan
ajaran Islam.

Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan
sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim
bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim
seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan
dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan
perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh
karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak
rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai
agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik,
hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan
pahala atas kebaikan niatnya: "Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (HR
Bukhari)

Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha
diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan saudara penanya untuk
menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah
SWT: "... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173)

9. Alternatif yang harus dilakukan


a. Peran Ulama

Para ulama sebagai sosok yang seharusnya tidak takut kepada Allah seperti yang dijelaskan Al-
Quran, harus berani mengatakan yang haq walaupun itu pahit. Keberanian ulama akan dikenang umat
sepanjang masa, sedangkan bila mereka hanya mengejar dunia, takut pada penguasa, tidak berati
mengatakan al-haq, tidak akan dikenal orang. Kalau pun ditulis dalam sejarah, maka hanya akan dicatat
sebagai contoh ulama suu` yang kerjanya menjilat penguasa. Kalau ulama hanya menjadi tukang stempel
maunya penguasa, maka jangan diharap umatnya akan maju. Jadi ulama harus tegas dengan akidah dan
ilmu yang telah dipelajarinya. Tidak boleh goyah hanya untuk kesenangan duniawi. Selain itu para ulama
harus membentuk jaringan umat Islam yang mempersatukan mereka dalam ukhuwah Islamiyah dan
meninggalkan kepentingan golongan, kelompok, partai dan sebagainya. Ulama harus menjadi motivator
berdirinya bangunan Islam yang kokoh dan bukan menjadi penghambat kebangkitan Islam

b. Sosialisasi

Islam sebagai sistem ekonomi telah jelas. Bahkan dipelajari dan dilaksanakan justru di negeri-
negeri non Islam. Bagi umat Islam di Indonesia, mendirikan bank dengan praktek Islam sesungguhnya
bukan hal sulit, tetapi barangkali sosialisasi atas keuntungan praktek bank secarara islami masih belum
merata.

c. Pendidikan

Umat Islam harus memasukkan pelajaran ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam di semua
level pendidikan dan membuang jauh-jauh doktrin ekonomi kapitalis yang telah terbukti gagal total
dalam membangun negeri. Jadi perlu disusun ulang kurikulum pendidikan sejak SD, SMP, SMU, SMK
dan perguruan tinggi. Jangan adalagi perguruan tinggi milik umat Islam yang masih membuka fakultas
ekonomi tetapi isinya justru ekonomi kapitalis.

d. Pemerintah

Pemerintah harus sadar bahwa tanpa dukungan umat Islam, mareka tidak akan lama memimpin.
Umat Islam sudah semakin pandai dan mengerti terntang ajaran agamanya. Dan hasrat untuk
menerapkan sistem Islam dalam segala segi semakin hari semakin kuat. Hal ini harus diakomodir dalam
bentuk undang-undang dan kebijakan yang nyata bila tidak ingin ada pergolakan sosial yang membuat
stabilitas terganggu. Namun hal ini akan kembali kepada mentalitas para pejabat. Apakah mereka adalah
seorang negarawan atau hanya sekedar kaki tangan barat yang duduk bersimpuh di depan polisi dunia
itu.

Oleh: Sarwat, Ahmad, Lc.2009, Kajian Tafsir Ayat Ahkam Ayat-Ayat Al-Quran Yang
Mengandung Hukum syariat, :Du Center

Daftar Pustaka

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Jual Beli


Al-buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’u, dan dijamak karena banyak macamnya.

Sedangkan bai’u yaitu memindahkan kepemilikan kepada orang lain dengan harga. Adapun syira adalah
menerima bai’i tersebut. Dan setiap dari keduanya digunakan untuk menamai yang lainnya.

Pensyari’atan Jual Beli


Allah Ta’ala berfirman:

ِّ ِ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬


‫الربَا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275]

Juga berfirman:

‫عن ت ََراض ِِّمن ُك ْم‬ َ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم َب ْينَ ُكم ِب ْالبَاطِ ِل ِإ َّال أَن ت َ ُكونَ ِت َج‬
َ ً‫ارة‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [An-
Nisaa': 29)]

Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ِ ‫ان ِب ْالخِ َي‬


‫ار َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا‬ ِ ‫ا َ ْل َب ِِّي َع‬.

“Al-Bayyi’an (penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli atau
membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” [1]

Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual
beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain (namun)
terkadang orang tersebut tidak memberikan kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli
terdapat wasilah (perantara) untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. [2]

Anjuran Bekerja
Dari Miqdam Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ِ ‫ي‬
‫هللا َد ُاو َد‬ َ ‫ط َخي ًْرا مِ ْن أ َ ْن يَأ ْ ُك َل مِ ْن‬
َّ ِ‫ع َم ِل يَ ِد ِه َوإِ َّن نَب‬ ُّ ‫طعَا ًما َق‬ َ ‫ َكانَ يَأ ْ ُك ُل مِ ْن‬.
َ ‫ َما أ َ َك َل أ َ َح ٌد‬q ‫ع َم ِل يَ ِد ِه‬

“Tidaklah seseorang memakan makanan sedikit pun yang lebih baik dari memakan hasil kerjanya
sendiri, karena sesungguhnya Nabiyullaah, Dawud Aliahissallam dahulu makan dari hasil kerjanya
sendiri.” [3]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ظ ْه ِر ِه َخي ٌْر لَهُ مِ ْن أ َ ْن يَ ْسأ َ َل أ َ َحدًا فَيُعْطِ يَهُ أ َ ْو يَ ْمنَعَه‬ َ ً‫ب أ َ َح ُد ُك ْم ُح ْز َمة‬
َ ‫علَى‬ َ ِ‫َِ أل َ ْن يَحْ تَط‬.

"Sungguh, seseorang di antara kalian mengumpulkan seikat kayu bakar yang ia panggul di atas
punggungnya (untuk dijual) adalah lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain,
entah diberi atau ditolak.’” [4]

Kekayaan bagi Orang Yang Bertakwa


Dari Muadz bin ‘Abdillah bin Khubaib, dari ayahnya, dari pamannya Radhiyallahu anhum, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫الص َّحةُ ِل َم ِن اتَّقَى َخي ٌْر مِ نَ ْال ِغنَى َوطِ يبُ النَّ ْف ِس مِ نَ ال َّنع‬
‫ِيم‬ َ ْ ‫الَ بَأ‬.
ِّ ِ ‫س بِ ْال ِغنَى ِل َم ِن اتَّقَى َو‬

"Tidak mengapa kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan kesehatan bagi orang yang bertakwa lebih
baik dari pada kekayaan, dan jiwa yang baik termasuk nikmat.’” [5]

Anjuran Sederhana Dalam Mencari Penghidupan


Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:

‫ب ُخذُوا َما َح َّل َو َدعُوا َما‬ َّ ‫هللا َوأ َجْ مِ لُوا فِي‬
ِ ‫الط َل‬ َ ‫طأ َ َع ْن َها فَاتَّقُوا‬
َ ‫ َو ِإ ْن أَ ْب‬،‫ِي ِر ْزقَ َها‬ ً ‫ فَإ ِ َّن نَ ْف‬،‫ب‬
َ ‫سا لَ ْن ت َ ُموتَ َحتَّى تَ ْست َْوف‬ َّ ‫هللا َوأَجْ مِ لُوا فِي‬
ِ ‫الط َل‬ ُ َّ‫أَيُّ َها الن‬
َ ‫اس اتَّقُوا‬
‫ َح ُر َم‬.

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon, karena sesungguhnya
suatu jiwa tidak akan mati sehingga dipenuhi rizkinya walaupun lambat datangnya, maka bertakwalah
kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang
haram.” [6]

Anjuran Berbuat Jujur Dan Ancaman Berdusta


Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:

‫ت بَ َر َكةُ بَ ْي ِع ِه َما‬ ِ َ‫ان ِب ْالخِ ي‬


َ ‫ فَإ ِ ْن‬،‫ َحتَّى يَتَف ََّرقَا‬:َ‫ أ َ ْو قَال‬،‫ار َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا‬
ْ ‫ َوإِ ْن َكت َ َما َو َكذَبَا ُمحِ َق‬،‫ص َدقَا َوبَيَّنَا ب ُْو ِركَ لَ ُه َما فِي بَ ْي ِع ِه َما‬ ِ َ‫ا َ ْلبَيِِّع‬.

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau bersabda,
‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan menjelaskan (keadaan
dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya, (namun) apabila menutup-nutupinya dan
berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.” [7]

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ا َ ْل ُم ْس ِل ُم أَ ُخو ْال ُم ْسل ِِم الَ يَحِ ُّل ِل ُم ْسلِم َبا‬.


َ ‫ع مِ ْن أَخِ ي ِه َب ْيعًا فِي ِه‬
ُ‫عيْبٌ إِالَّ بَ َّينَهُ لَه‬

"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual
kepada saudaranya barang dagangan yang terdapat aib padanya kecuali ia menjelaskannya” [8]
Anjuran Mempermudah Dan Murah Hati Dalam Jual Beli
Dari Jabir bin ‘Abdillah Rdhiyallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

َ َ‫ع َو ِإذَا ا ْشت ََرى َو ِإذَا ا ْقت‬


‫ضى‬ َ ً‫رحِ َم هللاُ َر ُجال‬.
َ ‫س ْم ًحا ِإ َذا َبا‬ َ

“Semoga Allah merahmati seseorang yang murah hati apabila menjual, apabila membeli serta apabila
menuntut” [9]

Keutamaan Memberi Tempo kepada Orang yang Kesulitan Membayar Hutang


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ُ‫ع ْنه‬ َ َ‫هللا أ َ ْن َيت َ َج َاوز‬


ُ َ‫ فَت َ َج َاوز‬،‫عنَّا‬
َ ‫هللا‬ َ ‫ تَ َج َاو ُز ْوا‬:ِ‫ فَإِذَا َرأَى ُم ْع ِس ًرا قَا َل ِل ِفتْ َيا ِنه‬،‫اس‬
َ ‫ع ْنهُ لَ َع َّل‬ َ َّ‫َاج ٌر يُ َدا ِينُ الن‬
ِ ‫ َكانَ ت‬.

“Dahulu ada seorang pedagang yang sering memberi hutang kepada manusia, apabila ia melihat orang
yang kesulitan membayar hutangnya (mu’-sir) maka ia berkata kepada para pembantunya, ‘Maafkanlah
ia, semoga Allah memaafkan (kesalahan-kesalahan) kita.’ Maka, Allah pun memaafkan (mengampuni)
kesalahan-kesalahannya.” [10]

Larangan Menipu
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

َ ‫ َلي‬:‫سلَّ َم‬
َّ ‫ْس مِ نَّا َم ْن غ‬
‫َش‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫ُوش فَقَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫سلَّ َم بِ َر ُجل يَبِي ُع‬
ٌ ‫ َفأ َ ْد َخ َل يَ َدهُ فِي ِه فَإِذَا ه َُو َم ْغش‬،‫طعَا ًما‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫ َم َّر َر‬.
َ ِ‫سو ُل هللا‬

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seseorang yang menjual makanan, lalu beliau
memasukkan tangannya ke dalamnya, ternyata ia menipu, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, ‘Orang yang menipu (berbuat curang) bukan dari golongan kami.’”[11]

Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rizki


Dari Shakhr al-Ghamidi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

ِ ‫ار ْك ِأل ُ َّمتِي فِي بُ ُك‬


‫ورهَا‬ ِ َ‫اَللِّ ُه َّم ب‬.

‘Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.’” [12]

Do’a Ketika Masuk Pasar


Dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, “Barangsiapa ketika masuk pasar membaca:

َ ‫ َوه َُو‬،ُ‫ي الَ يَ ُموتُ ِبيَ ِد ِه ْال َخي ُْر ُك ُّله‬


ٌ ‫علَى ُك ِِّل َش ْيء قَد‬
‫ِير‬ ٌّ ‫ َوه َُو َح‬، ُ‫ لَهُ ْال ُم ْلكُ َولَهُ ْال َح ْم ُد يُحْ يِي َويُمِ يت‬،ُ‫الَ ِإلهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ ش َِريْكَ لَه‬.

‘Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya,
milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, Dia yang menghidupkan dan mematikan, Dia
Mahahidup dan tidak mati, segala kebaikan berada dalam tangan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu.’

Niscaya Allah akan menuliskan satu juta kebaikan baginya dan menghapus satu juta kesalahannya dan
Dia akan membangun rumah untuknya di Surga.” [13]
Allah Telah Menghalalkan Jual Beli
Hukum asalnya adalah boleh menjual apa saja dan dengan cara bagaimanapun jual beli tersebut selama
dilakukan dengan saling suka sama suka antara penjual dan pembeli selama tidak dilarang oleh syari’at.

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Kitab Jual Beli (2)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Macam-Macam Jual Beli Yang Dilarang Syari’at


1. Bai’ul Gharar
Yaitu semua jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidak-jelasan) atau mengandung unsur
mengadu peruntungan atau judi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

‫ع ْن بَيْعِ ْالغ ََر ِر‬ َ ‫ع ْن بَي ِْع ْال َح‬


َ ‫صا ِة َو‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫نَ َهى َر‬.
َ ‫سو ُل الل ِه‬

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar (menjual barang
yang ada unsur penipuan)” [14]

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (X/ 156), “Larangan bai’ul gharar
merupakan asas yang besar dari asas-asas kitab jual beli, oleh karena itulah Imam Muslim
mendahulukannya karena masuk di dalamnya masalah-masalah yang begitu banyak tidak terbatas,
seperti bai’ul aabiq (menjual budak yang kabur dari tuannya), bai’ul ma’dum (menjual sesuatu yang
tidak ada), bai’ul majhul (menjual sesuatu yang tidak jelas), menjual barang yang tidak bisa diberikan
kepada pembeli, menjual sesuatu yang hak kepemilikan penjual tidak sempurna, menjual ikan dalam
air yang banyak, menjual susu yang masih dalam kantungnya, menjual janin yang masih dalam perut
induknya, menjual seonggok makanan tanpa takaran yang jelas, menjual sepotong pakaian dari
kumpulan banyak pakaian (tanpa menentukannya), menjual seekor kambing dari kumpulan banyak
kambing (tanpa menentukannya), dan yang sejenisnya, semua ini hukum menjualnya adalah bathil,
karena ia termasuk gharar tanpa ada hajat.”

Beliau berkata, “Apabila ada hajat yang menyeru kepada dilakukannya gharar dan tidak mungkin
berlindung darinya kecuali dengan masyaqqah (cara yang berat/sulit) dan bentuk ghararnya sepele,
maka boleh menjualnya. Oleh karena itulah kaum muslimin (ulama) bersepakat akan bolehnya menjual
jubah yang diisi dengan kapas walaupun tidak melihat waktu mengisinya dan kalau bahan pengisinya
dijual secara terpisah maka tidak boleh.”

Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa bai’ul mulamasah, bai’ul munabadzah, bai’ul hablil
habalah, bai’ul hashaat, ‘asbul fahl dan macam-macam jual beli yang sejenisnya yang terdapat nash-
nash khusus padanya, ini semua masuk dalam larangan bai’ul gharar, akan tetapi disebutkan secara
tersendiri dan dilarang karena ia adalah jenis jual beli Jahiliyyah yang masyhur. Wallaahu a’lam.”
(secara ringkas).

Bai’ul Mulamasah dan Munabadzah


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

‫ َو ْال ُمنَا َب َذة ُ أ َ ْن َي ْن ِب َذ ُك ُّل َواحِ د مِ ْن ُه َما ث َ ْو َبهُ ِإلَى اْآلخ َِر‬،‫صاحِ ِب ِه ِبغَي ِْر تَأ َ ُّمل‬ َ ِ‫ فَأ َ ْن َي ْلم‬،ُ‫سة‬
َ ‫س ُك ُّل َواحِ د مِ ْن ُه َما ث َ ْو‬
َ ‫ب‬ َ ‫ أ َ َّما ْال ُمالَ َم‬،‫س ِة َو ْال ُمنَا َبذَ ِة‬
َ ‫ع ْن َب ْي َعتَي ِْن ْال ُمالَ َم‬ َ ‫نُ ِه‬
َ ‫ي‬
‫صاحِ ِب ِه‬ ‫ب‬
َ ِ ْ ‫و‬ َ ‫ث‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬‫إ‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ه‬ ْ
‫ن‬ ٌ
‫د‬ ‫و‬
ِ َ ُ ِ‫َ ْ َ ْ َ احِ م‬ ‫ر‬ ُ
‫ظ‬ ‫ن‬ْ ‫ي‬ ‫م‬ َ ‫ل‬‫و‬.

“Dua bentuk jual beli yang dilarang; mulamasah dan munabadzah. Adapun mulamasah yaitu (dengan
cara) setiap dari penjual dan pembeli menyentuh pakaian kawannya tanpa memperhatikan/memeriksa
(ada cacat padanya atau tidak). Sedangkan munabadzah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan
pembeli melempar pakaiannya kepada yang lainnya dan salah seorang dari keduanya tidak melihat
kepada pakaian saudaranya” [15]

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu ia berkata:

َّ ِ‫ب اْآلخ َِر ِبيَ ِد ِه ب‬


‫الل ْي ِل أ َ ْو‬ َ ‫الر ُج ِل ث َ ْو‬
َّ ‫س‬ َ ‫ َو ْال ُمالَ َم‬،ِ‫ع ِن ْال ُمالَ َم َس ِة َو ْال ُمنَابَذَةِ فِي ْالبَيْع‬
ُ ‫سةُ لَ ْم‬ َ ‫ نَ َهى‬،‫ع ْن بَ ْيعَتَي ِْن‬ َ ‫ع ْن ِل ْب‬
َ ‫ستَي ِْن َو‬ َ ‫س َّل َم‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬
ُ ‫نَ َهى َر‬
‫ظر َوالَ ت ََراض‬ َ َ‫غي ِْر ن‬
َ ‫ع ْن‬ ْ َّ ‫الر ُج ُل ِإلَى‬
َ ‫الر ُج ِل بِث َ ْوبِ ِه َو َي ْنبِذَ اآل َخ ُر ث َ ْوبَهُ َويَ ُكونَ ذلِكَ َب ْيعَ ُه َما‬ َ ْ ِّ
َّ َ‫ َوال ُمنَابَ َذة ُ أ ْن يَ ْنبِذ‬، َ‫ار َوالَ يُقَ ِلبُهُ إِالَّ بِذَلِك‬ِ ‫بِالنَّ َه‬.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari dua bentuk jual beli dan dua macam
pakaian, beliau melarang dari mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Dan mulamasah adalah
seseorang menyentuh pakaian orang lain dengan tangannya di waktu malam atau siang dan ia tidak
membolak-baliknya kecuali dengan menyentuhnya saja. Sedangkan munabadzah adalah seseorang
melempar pakaiannya kepada orang lain, dan orang lain tersebut melempar pakaiannya kepadanya, dan
dengan itulah cara jual beli mereka berdua tanpa melihat dan tanpa saling suka sama suka” [16]

Bai’ul Habalil Habalah


Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

‫علَ ْي ِه‬ َّ ‫صلَّى‬


َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ي‬ ْ ‫ور إِلَى َحبَ ِل ْال َح َبلَ ِة َقا َل َو َح َب ُل ْال َحبَلَ ِة أ َ ْن ت ُ ْنت َ َج النَّاقَةُ َما فِي َب‬
ْ ‫طنِ َها ث ُ َّم ت َحْ مِ َل الَّتِي نُ ِت َج‬
ُّ ِ‫ت فَنَ َها ُه ُم النَّب‬ ِ ‫وم ْال َج ُز‬
َ ‫َكانَ أ َ ْه ُل ْال َجا ِه ِليَّ ِة يَت َ َبايَعُونَ لُ ُح‬
َ‫عن ذلِك‬ْ َّ
َ ‫سل َم‬ َ ‫و‬.
َ

“Adalah ahlul Jahiliyyah saling menjual daging unta hingga habalul habalah. Dan habalul habalah
adalah agar seekor unta beranak kemudian anaknya ini bunting, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang akan hal itu.” [17]

Bai’ul Hashaat
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

‫ع ْن بَيْعِ ْالغ ََر ِر‬ َ ‫ع ْن بَي ِْع ْال َح‬


َ ‫صا ِة َو‬ َ ‫س َّل َم‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬
ُ ‫نَ َهى َر‬

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar.” [18]

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahiih Muslim (X/156), “Adapun bai’ul
hashaat, maka ada tiga penafsiran padanya:

Pertama: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dari pakaian-pakaian ini apa yang terkena
kerikil yang aku lempar,” atau “Aku jual tanah ini kepadamu dari sini sampai sejauh kerikil yang aku
lempar.”

Kedua: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dengan syarat kamu memiliki khiyar sampai
aku melempar dengan kerikil ini.”

Ketiga: (Yaitu) keduanya (penjual dan pembeli) menjadikan jenis lemparan dengan kerikil itu sendiri
sebagai jual beli, yaitu ia mengatakan, “Jika aku melempar pakaian ini dengan batu maka ia dibeli
olehmu dengan harga sekian.” (Selesai).

‘Asbul Fahl [19]


Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

‫ب ْالفَحْ ِل‬ َ ‫سلَّ َم‬


َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ع ْس‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُّ ِ‫نَ َهى ال َّنب‬.
َ ‫ي‬

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl.” [20]

2. Bai’u Maa Laisa ‘Indahu (Jual Beli Barang Yang Tidak Ada Pada Penjualnya)
Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seseorang
meminta kepadaku untuk menjual, padahal aku tidak memiliki, apakah aku menjual kepadanya?’ Beliau
menjawab:

َ ‫الَ ت َ ِب ْع َما َلي‬.


َ‫ْس ِع ْندَك‬

"Jangan engkau jual suatu barang yang tidak engkau miliki.’” [21]

3. Jual Beli Suatu Barang yang Belum Diterima


Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ِ‫طعَا ًما فَالَ يَبِ ْعهُ َحتَّى يَ ْقب‬


ُ‫ضه‬ َ ‫ع‬
َ ‫ َم ِن ا ْبت َا‬.

“Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia menerimanya


dahulu.”

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku menganggap segala sesuatu kedudukannya seperti
makanan.” [22]

Dari Thawus, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ط َعا ًما فَالَ َي ِب ْعهُ َحتَّى َي ْكت َالَه‬


َ ‫ع‬
َ ‫ َم ِن ا ْبت َا‬.

"‘Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.’”

Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau melihat
mereka saling berjual beli dengan emas sedangkan makanannya tertahan (tertunda).”[23]

4. Melakukan Transaksi Jual Beli di atas Transaksi Jual Beli Saudaranya


Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫علَى بَيْعِ بَ ْعض‬


َ ‫ض ُك ْم‬
ُ ‫الَ يَ ِبي ُع بَ ْع‬.

“Janganlah sebagian kalian melakukan transaksi jual beli di atas transaksi jual beli sebagian yang lain.”
[24]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‫س ْو ِم أَخِ ي ِه‬ َ ‫س ِم ْال ُم ْس ِل ُم‬
َ ‫علَى‬ ُ َ‫الَ ي‬.

“Janganlah seorang muslim menawar (barang) yang sedang ditawar oleh saudaranya.” [25]

5. Bai’ul ‘Inah
Yaitu menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tempo dan ia menyerahkannya kepada si
pembeli, kemudian sebelum ia menerima pembayarannya ia membelinya kembali (dari si pembeli)
dengan harga tunai yang lebih sedikit (lebih murah) dari harga tempo.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ ‫علَ ْي ُك ْم ذُالًّ الَ َي ْن ِز‬


‫عهُ َحتَّى ت َْر ِجعُوا ِإلَى دِينِ ُك ْم‬ َ ُ‫ط هللا‬ َ ‫الز ْرعِ َوت ََر ْكت ُ ُم ْال ِج َها َد‬
َ َّ‫سل‬ ِ ‫َاب ْال َبقَ ِر َو َر‬
َّ ‫ضيت ُ ْم ِب‬ َ ‫ ِإذَا ت َ َبا َي ْعت ُ ْم ِب ْالعِينَ ِة َوأَ َخ ْذت ُ ْم أ َ ْذن‬.

“Apabila engkau berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian lebih senang memegang ekor-ekor sapi•,
dan ridha dengan bercocok tanam, serta kalian meninggalkan kewajiban jihad, (niscaya) Allah akan
menimpakan kehinaan atas kalian. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kalian kembali
kepada agama kalian.” [26]

6. Jual Beli dengan Cara Tempo Dengan Menambah Harga (Jual Beli Kredit)
Dewasa ini telah tersebar jual beli dengan cara tempo dengan menambah harga yang lebih dikenal
dengan nama bai’ut taqshiith (jaul beli kredit). Adapun bentuk jual beli ini -sebagaimana yang sudah
maklum- adalah menjual barang dengan dikredit dengan tambahan harga sebagai balasan tempo waktu.
Sebagai contoh suatu barang dengan cara tunai seharga seribu, lalu dijual dengan cara kredit seharga
seribu dua ratus, jual beli seperti ini termasuk jual beli yang dilarang.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ِّ ِ ‫س ُه َما أ َ ِو‬
‫الر َبا‬ ُ ‫ع َب ْي َعتَي ِْن فِي َب ْي َعة فَلَهُ أ َ ْو َك‬
َ ‫ َم ْن َبا‬.

“Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” [27]

Barang-Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan:


1. Khamr (Minuman Memabukkan)
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ahuma, ia berkata:

‫ارة ُ فِي ْالخ َْم ِر‬ ِ ‫سلَّ َم فَقَا َل ُح ِ ِّر َم‬


َ ‫ت ال ِت ِّ َج‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ور ِة ْال َبقَ َر ِة‬
ُّ ‫ع ْن آخِ ِرهَا خ ََر َج النَّ ِب‬
َ ‫ي‬ َ ‫س‬ ْ َ‫لَ َّما نَزَ ل‬.
ُ ُ‫ت آ َيات‬

“Tatkala turun ayat-ayat surat Al-Baqarah…., Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda,
‘Telah diharamkan perdagangan khamr.’” [28]

2. Bangkai, Babi Dan Patung


Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda ketika berada di Makkah pada ‘amul fath (tahun pembukaan kota Makkah):

‫صبِ ُح‬ْ َ ‫س ُفنُ َويُ ْد َهنُ بِ َها ْال ُجلُو ُد َويَ ْست‬ ْ ‫وم ْال َم ْيت َ ِة َفإ ِ َّن َها ي‬
ُّ ‫ُط َلى بِ َها ال‬ ُ َ‫هللا أ َ َرأَيْت‬
َ ‫ش ُح‬ ِ ‫سو َل‬ ُ ‫ فَقِي َل يَا َر‬،‫صن َِام‬ ِ ‫سولَهُ َح َّر َم بَ ْي َع ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيت َ ِة َو ْالخِ ْن ِز‬
ْ َ ‫ير َواْأل‬ ُ ‫إِ َّن هللاَ َو َر‬
ُ َ ُ ُ
ُ‫ش ُحو َم َها َج َملوهُ ث َّم بَاعُوهُ فَأ َكلوا ث َ َمنَه‬ َ ْ َّ
ُ ‫سل َم ِع ْن َد ذلِكَ قَاتَ َل هللاُ اليَ ُهو َد إِ َّن هللاَ ل َّما َح َّر َم‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬َ ُ‫ّللا‬ َّ
َّ ‫صلى‬ ُ ‫اس فَقَا َل الَ ه َُو َح َرا ٌم ث ُ َّم قَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ َّ‫بِ َها الن‬.

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.”
Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapatmu tentang (menjual) lemak
bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang
menggunakannya untuk penerangan?” Beliau menjawab, “Tidak boleh, ia haram.” Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi,
sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemak-lemak (hewan), mereka pun mencairkannya lalu
menjualnya dan memakan uangnya.” [29]

3. Anjing
Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu:

‫ان ْالكَاه ِِن‬


ِ ‫ي َو ُح ْل َو‬ ِِّ ‫ب َو َم ْه ِر ْالبَ ِغ‬
ِ ‫ع ْن ث َ َم ِن ْالك َْل‬
َ ‫س َّل َم نَ َهى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬.
َ ِ‫سو َل هللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari hasil penjualan anjing, mahrul baghyi
(uang hasil berzina/melacur) dan hulwanul kaahin (upah praktek perdukunan).” [30]

4. Lukisan (Gambar-Gambar) Yang Memiliki Ruh


Dari Said bin Abul Hasan, ia berkata, “Aku sedang berada di tempat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,
tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya bertanya, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, aku adalah seseorang yang
penghasilanku dari kerajinan tanganku, dan sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini.’ Maka Ibnu
‘Abbas berkata, ‘Aku tidak akan menceritakan kepadamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku telah mendengar beliau bersabda:

‫ْس ِبنَافِخ فِي َها أَ َبدًا‬ ُّ ‫هللا ُم َع ِ ِّذبُهُ َحتَّى َي ْنفُ َخ فِي َها‬
َ ‫الرو َح َو َلي‬ َ ‫ص ْو َرة ً َفإ ِ َّن‬ َ ‫ َم ْن‬.
ُ ‫ص َّو َر‬

"Barangsiapa yang menggambar suatu gambar (bernyawa), maka sesungguhnya Allah akan
mengadzabnya sehingga ia meniupkan ruh padanya (gambar-gambar tadi), dan ia tidak akan mampu
untuk meniupkan ruh selamanya".

Maka orang tersebut pun mengalami sesak nafas yang hebat dan wajahnya memucat. (Ibnu ‘Abbas)
berkata, ‘Celaka engkau, kalau engkau enggan kecuali harus membuatnya, maka gambarlah pohon ini,
(gambarlah) segala sesuatu yang tidak memiliki ruh". [31]

5. Buah Sebelum Matang


Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

‫َار‬ ْ ‫ار أ َ ْو َي‬


ُّ ‫صف‬ ُّ ‫ َيحْ َم‬:َ‫ قِي َل َو َما َي ْزهُو؟ قَال‬،‫ع ِن النَّ ْخ ِل َحتَّى يَ ْزه َُو‬ َ ‫ع ْن بَي ِْع الث َّ َم َرةِ َحتَّى يَ ْبد َُو‬
َ ‫صالَ ُح َها َو‬ َ ‫أَنَّهُ نَ َهى‬.

“Bahwa beliau melarang menjual buah sebelum matang, dan kurma sehingga ia berwarna.” Lalu ada
yang bertanya, “Apa maksudnya berwarna?” Beliau menjawab, “(Hingga) memerah atau menguning.”
[32]

Juga diriwayatkan darinya, “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah
sehingga matang. Lalu ditanyakan kepada beliau, ‘Apa maksudnya matang?’ Beliau menjawab, ‘Hingga
memerah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫أ َ َرأَيْتَ ِإذَا َم َن َع هللاُ الث َّ َم َرة َ ِب َم َيأ ْ ُخذُ أ َ َح ُد ُك ْم َما َل أَخِ ْي ِه‬.

"Apa pendapatmu apabila Allah menahan buah tersebut (tidak bisa dipanen), maka dengan cara apa
salah seorang dari kamu mengambil harta saudaranya.’”[33]

6. Pertanian Sebelum Bijinya Mengeras (Tua)


Dari Ibnu ‘Umar,
ْ َّ َ‫س ْنبُ ِل َحتَّى يَ ْبي‬
َ ‫ض َويَأ َمنَ ْالعَا َهةَ نَ َهى ْالبَائِ َع َو ْال ُم ْشت َِر‬
‫ي‬ َ ‫س َّل َم نَ َهى‬
َ ‫ع ْن بَيْعِ النَّ ْخ ِل َحتَّى يَ ْزه َُو َو‬
ُّ ‫ع ِن ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬.
َ ِ‫سو َل هللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual kurma hingga ma-tang, dan
(melarang menjual) biji-bijian hingga mengeras (matang) [34] , serta aman dari hama. Beliau melarang
penjual dan pembelinya.” [35]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

Khiyar (Memilih)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Khiyar
Khiyar yaitu mencari dua pilihan yang terbaik antara imdha (melanjutkan transaksi) atau ilgha
(membatalkan transaksi).

Macam-Macam Khiyar
1. Khiyar Majelis
Khiyar ini terjadi bagi penjual dan pembeli sejak dilakukannya akad hingga keduanya berpisah, selama
mereka tidak berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar atau mereka menggugurkan khiyar tersebut
setelah akad atau salah satu dari mereka (baik pen-jual atau pembeli) ada yang menggugurkan hak
khiyarnya, maka gugurlah haknya namun bagi pihak lain (yang tidak menggugur-kannya) maka hak
khiyarnya masih tetap ada.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

‫ب ْالبَ ْي ُع َوإِ ْن تَف ََّرقَا بَ ْع َد أ َ ْن َيتَبَايَعَا َولَ ْم‬ ِ ‫الر ُجالَ ِن فَ ُك ُّل َواحِ د مِ ْن ُه َما بِ ْالخِ َي‬
َ ‫ار َما لَ ْم يَتَف ََّرقَا َوكَانَا َجمِ يعًا أ َ ْو يُ َخيِ ُِّر أ َ َح ُد ُه َما اْآلخ ََر فَت َ َبايَعَا‬
َ ‫علَى ذلِكَ فَقَ ْد َو َج‬ َّ ‫إِذَا ت َ َبايَ َع‬
ْ َ َ ْ ْ
َ ‫يَت ُرك َواحِ ٌد مِ ن ُه َما ال َب ْي َع فق ْد َو َج‬.
‫ب ال َب ْي ُع‬ ْ ْ

“Jika dua orang saling berjual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki khiyar selama belum
berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan
khiyar kepada yang lain, maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya
kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut sungguh telah (terjadi) jual beli,
dan bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak mening-galkan jual
beli maka telah terjadi jual beli.” [1]

Haram Berpisah Dari Majelis Karena Takut Membatalkan Transaksi


Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫صاحِ َبهُ َخ ْش َيةَ أ َ ْن َي ْستَقِيلَه‬ ِ ‫ص ْفقَةَ خِ َيار َوالَ يَحِ ُّل لَهُ أ َ ْن يُف‬
َ َ‫َارق‬ ِ ‫ان ِب ْالخِ َي‬
َ َ‫ار َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا ِإالَّ أ َ ْن ت َ ُكون‬ ِ ‫ا َ ْل َب ِِّي َع‬.
“Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama keduanya belum berpisah kecuali bila telah disepakati
untuk memperpanjang khiyar hingga setelah berpisah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan
sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” [2]

2. Khiyar Syart
Yaitu penjual dan pembeli atau salah satu dari mereka memberikan syarat khiyar sampai batas waktu
yang jelas. Khiyar seperti ini sah walaupun waktunya lama.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ً َ‫ار فِي بَ ْي ِع ِه َما َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا أ َ ْو يَ ُكونُ ْالبَ ْي ُع خِ ي‬


‫ارا‬ ِ َ‫ ِإ َّن ْال ُمتَبَايِ َعي ِْن بِ ْالخِ ي‬.

“Sesungguhnya penjual dan pembeli memiliki khiyar dalam jual beli keduanya selama belum berpisah
atau (bila) jual beli tersebut ada khiyar padanya.” [3]

3. Khiyar ‘Aib
Larangan menyembunyikan aib telah lewat (pembahasannya), maka apabila seseorang membeli barang
yang cacat sementara ia tidak mengetahui cacatnya hingga keduanya berpisah, ia boleh
mengembalikan barang tersebut kepada penjualnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ط َها فَفِي َح ْلبَتِ َها‬


‫صاعٌ مِ ْن ت َ ْمر‬ َ ِ‫سخ‬ َ ‫ضيَ َها أ َ ْم‬
َ ‫س َك َها َوإِ ْن‬ ِ ‫ص َّراة ً فَاحْ ت َ َلبَ َها فَإ ِ ْن َر‬ َ ‫ َم ِن ا ْشت ََرى‬.
َ ‫غنَ ًما ُم‬

“Barangsiapa yang membeli kambing musharrah [4], kemudian ia memerahnya, maka jika ridha ia
menahannya (tidak mengembalikannya), namun jika ia membencinya maka pada susu yang sudah
diperah ia ganti dengan satu sha’ kurma.” [5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

‫صاعًا مِ ْن ت َْمر‬
َ ‫ظ َري ِْن إِ ْن شَا َء َر َّدهَا َو َر َّد َمعَ َها‬ َ ‫ص ُّروا اْ ِإل ِب َل َو ْال َغن ََم فَ َم ِن ا ْشت ََرى ُم‬
َ ‫ص َّراة ً فَ ُه َو بِأ َ َح ِد ال َّن‬ َ ُ ‫الَ ت‬.

“Janganlah kalian membiarkan susu unta dan kambing (dengan tidak memerahnya ketika akan
menjual), maka barangsiapa yang membelinya setelah itu, ia memiliki dua pilihan setelah
memerahnya, jika mau maka ia memilikinya dan jika mau ia juga boleh mengembalikannya beserta
satu sha’ kurma.” [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Riba

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Riba
ِّ ِ َ ‫) ا‬.
Ar-Riba -isim maqshur- diambil dari kata rabaa - yarbuu, se-hingga ditulis dengan alif ar-ribaa ( ‫لربَا‬

Ar-riba asal maknanya adalah az-ziyadah (pertambahan) baik pada dzat sesuatu itu sendiri,
sebagaimana firman Allah Ta’ala:

ْ ‫ا ْهت ََّز‬
ْ َ‫ت َو َرب‬
‫ت‬

“…Hiduplah bumi itu dan suburlah...” [Al-Hajj: 5]

Dan bisa juga (pertambahan itu) terjadi pada pertukaran seperti satu dirham dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba hukumnya haram menurut al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.

Allah Ta’ala berfirman:

ْ ‫وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم َال ت‬


َ‫َظ ِل ُمون‬ ُ ‫سو ِل ِه ۖ َو ِإن ت ُ ْبت ُ ْم َفلَ ُك ْم ُر ُء‬ ِ َّ َ‫الر َبا ِإن ُكنتُم ُّمؤْ مِ نِينَ فَإِن لَّ ْم ت َ ْف َعلُوا فَأْذَنُوا ِب َح ْرب ِِّمن‬
ُ ‫ّللا َو َر‬ َ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫ّللا َوذَ ُروا َما َبق‬
ِّ ِ َ‫ِي مِ ن‬
َ‫ظلَ ُمون‬ْ ُ ‫َو َال ت‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
[Al-Baqarah: 278-279]

Allah berfirman:

ِّ ِ ‫طانُ مِ نَ ْال َم‬


‫س‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫طهُ ال‬ ِّ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
ُ ‫الربَا َال يَقُو ُمونَ ِإ َّال َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخ َّب‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [Al-Baqarah: 275]

Allah juga berfirman:

ِ ‫ص َدقَا‬
‫ت‬ َّ ‫الربَا َوي ُْربِي ال‬ َّ ُ‫يَ ْم َحق‬
ِّ ِ ُ‫ّللا‬

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” [Al-Baqarah: 276] [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫الر َبا َوأ َ ْك ُل َما ِل ْال َيت ِِيم َوالت َّ َو ِِّلي‬


ِّ ِ ‫ق َوأ َ ْك ُل‬ ِ ِّ ‫ش ْركُ ِباهللِ َوال ِسِّحْ ُر َوقَتْ ُل النَّ ْف ِس الَّتِي َح َّر َم هللاُ ِإالَّ ِب ْال َح‬ ُ ‫ َيا َر‬:‫ قَالُوا‬،ِ‫س ْب َع ْال ُمو ِبقَات‬
ِّ ِ ‫ اَل‬:َ‫سو َل هللاِ َو َما ه َُّن؟ قَال‬ َّ ‫اِجْ ت َ ِنبُوا ال‬
ِِ
ِ ‫ت‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫ؤ‬ ‫م‬
ُ ْ
‫ال‬ ‫ت‬ ِ َ ‫ال‬ ‫ف‬
ِ ‫َا‬ ‫غ‬ ْ
‫ال‬ ‫ت‬
ِ ‫َا‬ ‫ن‬‫ص‬ ْ‫ح‬
َ ُ ُ َ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ف‬ ْ
‫ذ‬ َ ‫ق‬‫و‬ ِ‫ف‬ ْ‫ح‬ َّ
‫الز‬ ‫م‬ ‫و‬
َ َْ ‫ي‬ .

“Jauhilah oleh kalian tujuh (perkara) yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali
dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menu-
duh wanita yang suci bersih lagi beriman (dengan perzinaan).” [2]
Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata

ُ ‫ لَعَنَ َر‬j ‫س َوا ٌء‬


ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫ ُه ْم‬:َ‫الربَا َو ُم ْو ِكلَهُ َوكَا ِتبَهُ َوشَا ِه َد ْي ِه َوقَال‬
ِّ ِ ‫آ ِك َل‬.

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya,
pencatatnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” [3]

Dan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a'nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫الر ُج ُل أ ُ َّمه‬ َ ‫لربَا ثَالَثَةٌ َو َس ْبعُونَ بَابًا أ َ ْي‬


َّ ‫س ُرهَا أ َ ْن َي ْن ِك َح‬ ِّ ِ َ ‫ا‬.

“Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah bagaikan
seseorang yang menikahi ibunya.” [4]

Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ً‫ش ُّد مِ ْن ِستَّة َوثَالَثِيْنَ زَ ْن َية‬ َّ ُ‫د ِْر َه ٌم ِربًا َيأ ْ ُكلُه‬.
َ َ‫الر ُج ُل َوه َُو يَ ْعلَ ُم أ‬

“Satu dirham (harta) riba yang dimakan seseorang yang ia mengetahui (bahwa itu riba) adalah lebih
dahsyat daripada tiga puluh enam zina.” [5]

Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

‫عاقِبَةُ أ َ ْم ِر ِه إِلَى قِلَّة‬ ِّ ِ َ‫ َما أ َ َح ٌد أ َ ْكث َ َر مِ ن‬.


َ َ‫الربَا إِالَّ َكان‬

“Tidaklah seseorang memperbanyak (memakan) riba kecuali akibat dari perbuatannya adalah (hartanya
akan menjadi) sedikit.” [6]

Macam-Macam Riba
Riba ada dua macam: Riba nasi’ah dan Riba fadhl.

Adapun riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh si pemberi hutang (ad-da-in)
dari si penghutang (al-madiin) sebagai imbalan atas tempo (yang diberikan).

Riba jenis ini haram dengan (dalil) al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat.

Adapun riba fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada
tambahannya.

Riba jenis ini haram dengan dalil as-Sunnah dan ijma’ karena ia merupakan wasilah kepada riba
nasi’ah.

Jenis-Jenis Yang Diharamkan Riba Padanya


Riba tidak terjadi kecuali pada al-ashnafus sittah (enam jenis) yang disebutkan dalam hadits.

Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫َاف‬
ُ ‫صن‬ ْ َ ‫َت ه ِذ ِه اْأل‬
ْ ‫اختَلَف‬ ْ ‫ فَإِذَا‬،‫س َواء يَدًا بِيَد‬ َ ‫ش ِعي ِْر َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر َو ْالمِ ْل ُح بِ ْالمِ ْلحِ مِ ثْالً بِمِ ثْل‬
َ ‫س َوا ًء ِب‬ َّ ‫ض ِة َو ْالب ُُّر بِ ْالب ِ ُِّر َوال‬
َّ ‫ش ِعي ُْر ِبال‬ َّ ‫ضةُ ِب ْال ِف‬
َّ ‫ب َو ْال ِف‬
ِ ‫اَلذَّهَبُ بِالذَّ َه‬
‫ْف ِشئْت ُ ْم إِذَا َكانَ يَدًا بِيَد‬َ ‫فَبِيعُوا َكي‬.

‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan
kurma, garam dengan garam (hendaklah dijual) dengan timbangan yang sama, persis dan langsung
diserah terimakan (kontan). (Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asal ada serah
terima.’” [7]

Apabila enam jenis ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan
kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan haram pula dilakukan dengan
cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran
dan tidak perlu melihat kepada (kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima)
di majelis tersebut.

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫علَى َب ْعض َوالَ تَ ِب ْيعُوا‬ َ ‫ض َها‬ ِ ‫علَى َب ْعض َوالَ تَ ِبيعُوا ْال َو ِرقَ ِب ْال َو ِر‬
ُ ‫ق ِإالَّ مِ ثْالً ِبمِ ثْل والَ ت َ ِشفُّ ْوا َب ْع‬ ُ ‫ب ِإالَّ مِ ثْالً ِبمِ ثْل والَ ت َ ِشفُّوا َب ْع‬
َ ‫ض َها‬ ِ ‫َب ِبال َّذ َه‬
َ ‫الَ ت َ ِبيعُوا ال َّذه‬
‫َاجز‬
ِ ِ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ًا‬ ‫ب‬‫ئ‬
ِ ‫َا‬
‫غ‬ ‫ا‬‫ه‬َ ْ
‫ن‬ ِ‫م‬.

“Janganlah engkau menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah
engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan perak kecuali
dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya dan
janganlah engkau menjual barang yang ghaib (tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir
(di majelis).” [8]

Dari ‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

‫ِير ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء‬
ِ ‫شع‬َّ ‫ِير بِال‬
ُ ‫شع‬َّ ‫ب ِربًا ِإالَّ هَا َء َوهَا َء َو ْالب ُُّر ِب ْالب ِ ُِّر ِربًا ِإالَّ هَا َء َوهَا َء َوال‬
ِ ‫اَلذَّهَبُ بِالذَّ َه‬.

“Emas dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba kecuali jika
langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika langsung serah terima dan kurma
dengan kurma riba kecuali jika langsung serah terima.” [9]

Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami pernah diberi
kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya
dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka
beliau bersabda:

‫صاع َوالَ د ِْره ََم ِبد ِْر َه َمي ِْن‬ َ ‫ع ْي حِ ْن‬


َ ‫طة ِب‬ َ َ‫صاع َوال‬
َ ‫صا‬ َ ‫ع ْي ت َْمر ِب‬ َ َ‫ال‬.
َ ‫صا‬

“Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum
dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [10]

Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis yang lain seperti emas (dijual) dengan perak atau
gandum dengan sya’ir maka boleh tafadhul dengan syarat harus diserahterimakan di majelis karena
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang telah disebutkan: “(Namun) jika
berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asalkan ada serah terima.”

Dan juga karena sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam
riwayat Abu Dawud dan yang lainnya:

َ‫ َوأ َ َّما نَ ِس ْيئَةُ فَال‬،‫ش ِعي ُْر أ َ ْكث َ ُر ُه َما يَدًا بِيَد‬
َّ ‫ َوال‬،‫ش ِعي ِْر‬ َ ْ‫ َوالَ بَأ‬,َ‫ أ َ َّما َن ِس ْيئَةُ فَال‬,‫ يَدًا بِيَد‬,‫ضةُ أَ ْكث َ ُر ُه َما‬
َّ ‫س بِبَيْعِ ْالب ِ ُِّر بِال‬ َّ ‫ َو ْال ِف‬،ِ‫ضة‬
َّ ‫ب ِب ْال ِف‬ َ ْ ‫والَ بَأ‬.
ِ ‫س بِ َبيْعِ الذَّ َه‬ َ

“Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila) langsung
serah terima adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak
mengapa menjual gandum dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah
terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [11]

Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis dan ‘illat (sebab) yang menyelisihinya, seperti emas
dengan gandum dan perak dengan garam, maka boleh tafadhul dan juga nasi’ah.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

َ ‫ِي إِلَى أ َ َجل َو َر َهنَهُ د ِْر‬


ُ‫عه‬ َ ‫سلَّ َم اِ ْشت ََرى‬
ِّ ‫طعَا ًما مِ ْن يَ ُهود‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬.
َ ‫ي‬

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan (pembayaran)
tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [12]

Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/38), “Ketahuilah bahwa ulama telah sepakat
atas bolehnya menjual barang riba dengan barang riba lain yang tidak sama jenisnya dengan cara
ditangguhkan dan saling dilebihkan, seperti menjual emas dengan gandum, perak dengan sya’ir dan
yang lainnya dari barang-barang yang ditakar.” (Selesai).

Juga tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering kecuali bagi ahlul ‘araya, mereka
adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki pohon kurma, maka mereka boleh membeli ruthab dari
pemilik pohon kurma yang mereka makan dari pohonnya dengan memperkirakan (takarannya) dengan
tamr (kurma kering).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

ً‫ب َك ْيال‬ َّ ‫ َو ْال ُمزَ ا َبنَةُ َب ْي ُع الث َّ َم ِر ِبالت َّ ْم ِر َك ْيالً َو َب ْي ُع ْالك َْر ِم ِب‬،ِ‫ع ِن ْال ُمزَ ا َبنَة‬
ِ ‫الز ِبي‬ َ ‫س َّل َم نَ َهى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬.
َ ِ‫س ْو َل هللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah
dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan
takaran.” [13]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu :

ِ ‫ب ْالعَ ِريَّ ِة أ َ ْن يَبِيعَ َها بِخ َْر‬


‫ص َها مِ ْن الت َّ ْم ِر‬ ِ ِ‫صاح‬ َ ‫س َّل َم َر َّخ‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
َ ِ‫س ْو َل هللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi pemilik ariyah (pemilik pohon
kurma) untuk menjual kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).”
[14]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melarang menjual ruthab dengan tamr lanaran ruthab
apabila mengering akan berkurang takarannya, se-bagaimana disebutkan dari Sa’id bin Abi Waqqash.

Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu :

َّ ِ‫ أ َ َّن النَّب‬j َ‫ع ْن ذلِك‬


‫ي‬ َ ‫ نَعَ ْم فَنَ َهى‬:‫س؟ قَالُ ْوا‬ َ ‫الر‬
َ ِ‫طبُ إِذَا يَب‬ ُّ ‫ص‬ُ ُ‫ب بِالت َّ ْم ِر فَقَا َل أ َ َي ْنق‬ َ ‫الر‬
ِ ‫ط‬ ُّ ِ‫ع ْن َبيْع‬ ُ .
َ ‫سئِ َل‬

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau
menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau
melarangnya.” [15]
.
Juga tidak boleh menjual barang ribawi dengan yang sejenisnya, sedangakan bersama keduanya atau
bersama salah satunya jenis yang lain.

Dari Fadhalah bin ‘Ubaid Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Aku membeli kalung pada hari Khaibar
seharga dua belas dinar, pada kalung tersebut ada emas dan mutiara. Lalu aku melepas mutiaranya.
Tiba-tiba aku menemukan padanya lebih dari dua belas dinar. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

َّ َ‫الَ تُبَاعُ َحتَّى تُف‬.


‫ص َل‬

‘Jangan engkau jual sehingga engkau pisahkan (emas dengan mutiara).’” [16]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

Muzara'ah

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Muzara’ah
Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap ta-nah dengan (imbalan) sebagian apa yang
dihasilkan darinya.

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya
dengan imbalan ia mem-peroleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.

Pensyaria’atan Muzara’ah
Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma memberitahukan kepadanya:

ْ ‫عا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر ِبش‬


‫َط ِر َما َي ْخ ُر ُج مِ ْن َها مِ ْن ث َ َمر أ َ ْو زَ ْرع‬ َ .

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap tanah di
Khaibar dan mereka mendapat setengah dari hasil buminya berupa buah atau hasil pertanian.”[1]

Imam al-Bukhari berkata [2] , Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, ia berkata, tidaklah di
Madinah ada penghuni rumah Hijrah kecuali mereka bercocok tanam dengan memperoleh sepertiga
atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad bin Malik, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz, al-Qasim bin ‘Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga ‘Umar, keluarga ‘Ali dan Ibnu Sirin melakukan
muzara’ah.
Dari Siapakah Biaya (Perawatannya)?
Tidak mengapa apabila biaya perawatan dibebankan kepada pemilik tanah atau kepada penggarap atau
kepada mereka berdua.

Imam al-Bukhari berkata [3] , “'Umar bermuamalah dengan orang-orang (dengan perjanjian) bila ‘Umar
yang membawa benih maka ia memperoleh setengah (dari hasilnya) dan bila mereka yang membawa
benih, maka mereka memperoleh sekian.”

Ia (al-Bukhari) melanjutkan, “Berkata al-Hasan, ‘Tidak mengapa tanah tersebut jika milik salah satu
dari mereka berdua, lalu mereka bersama-sama mengeluarkan biaya. Maka apa yang dihasilkan dibagi
antara kedua belah pihak.’ Demikianlah yang menjadi pendapat az-Zuhri.”

Hal-Hal Yang Tidak Dibolehkan Dalam Muzara’ah


Tidak diperbolehkan muzara’ah (dengan perjanjian) bahwa petak yang ini (hasilnya) bagi si pemilik
tanah dan petak yang di sana bagi si penggarap. Demikian pula tidak boleh bagi si pemilik tanah untuk
mengatakan, “Aku memperoleh darinya (tanah ini) sekian dan sekian wasaq.”

Diriwayatkan dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Dua orang pamanku bercerita
kepadaku bahwa dahulu mereka pernah menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
(dengan memperoleh hasil) dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (yaitu sungai kecil) atau sesuatu yang
dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal
tersebut.” Aku lalu bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana jika (disewakan) dengan dinar atau dirham?”
Rafi’ menjawab, “Tidak mengapa jika dengan dinar atau dirham.”

Al-Laits berkata, “Yang dilarang adalah (apabila) orang-orang yang mengerti tentang halal dan haram
melihat kepadanya, maka mereka tidak memperbolehkannya karena ada unsur mengadu peruntungan.”
[4]

Disebutkan juga dari Hanzhalah ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang
menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah
orang-orang di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang
tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi
(petak) ini hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur.
Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun
sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak mengapa dengannya.” [5]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Musaqah, Ihyaa-ul Mawaat

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Definisi Musaqah
Al-Musaqah yaitu menyerahkan pohon tertentu (seperti kurma-pent.) kepada orang yang akan
mengurusinya (dengan imbalan) ia mendapatkan bagian tertentu (pula) dari buahnya, seperti se-tengah
atau sejenisnya.

Pensyari’atan Musaqah
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma:

‫علَى َما يَ ْخ ُر ُج مِ ْن َها مِ ْن ث َ َمر أ َ ْو زَ ْرع‬ َ ‫س َّل َم‬


َ ‫عا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬.
َ ِ‫سو َل هللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di
Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” [1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata:

‫ط ْعنَا‬ َ :‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْق ِس ْم بَ ْينَنَا َوبَيْنَ إِ ْخ َوانِنَا النَّخِ ي َل قَا َل الَ فَقَالُوا ت َ ْكفُونَا ْال َمئُونَةَ َونَ ْش َر ْك ُك ْم فِي الث َّ َم َرةِ قَالُوا‬
َ َ‫سمِ ْعنَا َوأ‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ :‫ي‬ ِِّ ِ‫ار لِلنَّب‬
ُ ‫ص‬َ ‫ت َاْأل َ ْن‬
ِ َ‫قَال‬.

“Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara
kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang
merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan
kami taat.’” [2]

IHYAA-UL MAWAAT (MENGGARAP TANAH YANG TIDAK ADA PEMILIKNYA)

Definisi Ihyaa-ul Mawaat


Al-Mawaat -dengan difat-hah mim dan wau yang ringan- yaitu tanah yang belum dimakmurkan
(dibangun). Pemakmurannya diserupakan dengan kehidupan dan menganggurkannya (diserupakan)
dengan hilangnya kehidupan. Dan yang disebut dengan ihyaa-ul mawaat adalah seseorang pergi ke
suatu tanah yang tidak diketahui ada seseorang yang telah memilikinya, kemudian ia menghidupkannya
dengan menyiraminya, bertani, menanami dan membangunnya sehingga dengan demikian tanah
tersebut menjadi miliknya. [3]

Seruan Islam Kepadanya


Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ْ ‫ َم ْن أ َ ْع َم َر أ َ ْرضًا لَ ْي َس‬.
ُ‫ت ِأل َ َحد فَ ُه َو لَه‬

“Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapa pun, maka tanah itu menjadi miliknya.”
[4]

‘Urwah berkata, “Demikianlah yang diputuskan oleh ‘Umar pada masa khilafahnya.”

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

َ ‫ َم ْن أَحْ يَا أ َ ْرضًا َم ْيتَةً فَ ِه‬.


ُ‫ي لَه‬

“Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah tersebut menjadi haknya” [5]
Darinya juga, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

َ ‫علَى أ َ ْرض فَ ِه‬


ُ‫ي لَه‬ َ ‫ َم ْن أ َ َحا‬.
ً ِ‫ط َحائ‬
َ ‫طا‬

“Barangsiapa membangun tembok di atas suatu tanah (yang tidak ada pemiliknya), maka ia menjadi
miliknya.” [6]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Ijarah (Sewa Menyewa)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Ijarah
Ijarah secara bahasa berarti al-itsaabah (pengupahan), dikatakan aajartuhu dengan mad (panjang) dan
tanpa mad artinya atsabtuhu (aku mengupahnya).

Secara istilah yaitu pemilikan manfaat seseorang dengan imbalan.

Pensyari’atan Ijarah
Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫ضعْنَ لَ ُك ْم َفآتُوه َُّن أ ُ ُج‬


‫وره َُّن‬ َ ‫فَإ ِ ْن أ َ ْر‬

“...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin...” [Ath-Talak: 6]

Allah Ta’ala juga berfirman:

ُّ ‫ت ا ْستَأ ْ ِج ْرهُ ۖ إِ َّن َخي َْر َم ِن ا ْست َأ ْ َج ْرتَ ْالقَ ِو‬


ُ‫ي ْاألَمِ ين‬ ِ َ‫ت إِحْ َدا ُه َما يَا أَب‬
ْ َ‫قَال‬

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja
(pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
adalah orang yang kuat serta dapat dipercaya.” [Al-Qashash: 26]

Dan juga Allah berfirman:

‫ع َل ْي ِه أَجْ ًرا‬
َ َ‫ض فَأَقَا َمهُ ۖ قَا َل لَ ْو ِشئْتَ َالتَّ َخ ْذت‬
َّ َ‫ارا ي ُِري ُد أَن يَنق‬
ً ‫فَ َو َج َدا فِي َها ِج َد‬

“... Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr
menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”
[Al-Kahfi: 77]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhua (ia berkata),

‫ِي هَا ِديًا خِ ِ ِّر ْيتًا ْالخِ ِ ِّريْتُ ْال َماه ُِر ِب ْال ِه َدايَ ِة‬
ِّ ‫عد‬ َ ‫سلَّ َم َوأَبُو بَ ْكر َر ُجالً مِ ْن بَنِي ال َّد ْي ِل ث ُ َّم مِ ْن َبنِي‬
َ ‫ع ْب ِد ب ِْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ُّ ‫وا ْست َأ ْ َج َر النَّ ِب‬.
َ ‫ي‬ َ

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang penunjuk jalan
yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.” [1]

Apa Saja Yang Boleh Disewakan?


Segala sesuatu yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya bersama utuhnya barang tersebut, maka
sah untuk disewakan selama tidak ada larangan syar’i yang menghalanginya.

Dan disyaratkan hendaklah barang yang disewakan jelas dan upahnya jelas, demikian pula lama (waktu)
penyewaan dan jenis pekerjaannya.

Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang sahabat Musa bahwa ia berkata:

َ َ‫ِي حِ َجج ۖ فَإ ِ ْن أَتْ َم ْمت‬ ْ َّ َ ‫قَا َل ِإنِِّي أ ُ ِري ُد أ َ ْن أُن ِك َحكَ ِإحْ َدى ا ْبنَت‬
َ‫ع ْش ًرا فَمِ ْن عِندِك‬ َ ‫علَ ٰى أَن ت َأ ُج َرنِي ث َ َمان‬
َ ‫ي هَاتَي ِْن‬

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu
adalah (suatu kebaikan) dari kamu…” [Al-Qa-shash: 27]

Dari Hanzhalah bin Qais ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang menyewakan tanah
dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian
sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak
yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan orang-orang tidak
menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan
dijamin, maka tidak mengapa dengannya.” [2]

Upah (Uang Sewa) Para Pekerja


Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ع َرقُه‬ َّ ‫طوا اْأل َ ِجي َْر أَجْ َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن َي ِج‬


َ ‫ف‬ ُ ‫أ َ ْع‬.

"Berilah upah kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya.’” [3]

Dosa Orang Yang Tidak Membayar Upah Pekerja


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Allah
Ta’ala berfirman.

ً ‫ َو َر ُج ٌل ا ْستَأ ْ َج َر أ َ ِج‬،ُ‫ع ُح ًّرا فَأ َ َك َل ث َ َمنَه‬


‫يرا فَا ْست َْوفَى‬ َ ‫ص ْمتُهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َر ُج ٌل أ َ ْع‬
َ ‫طى بِي ث ُ َّم‬
َ ‫ َو َر ُج ٌل َبا‬،‫غ َد َر‬ ْ ‫ص ُم ُه ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َو َم ْن ُك ْنتُ َخ‬
َ ‫ص َمهُ َخ‬ ْ ‫ثَالَثَةٌ أَنَا َخ‬
َ َ ْ
ُ‫مِ نهُ َول ْم يُوفِ ِه أجْ َره‬.

"Tiga orang yang Aku akan menjadi musuhnya pada hari Kiamat; (1) seseorang yang memberikan janji
kepada-Ku lalu ia mengkhianati, (2) seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hartanya,
dan (3) seseorang yang menyewa pekerja lalu ia menunaikan kewajibannya (namun) ia tidak diberi
upahnya.’” [4]
Hal-Hal Yang Tidak Boleh Untuk Diupahi
Allah Ta’ala berfirman:

ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ َّ ‫ض ْال َحيَاةِ ال ُّد ْنيَا ۚ َو َمن يُ ْك ِره ُّه َّن فَإ ِ َّن‬
َ ‫ّللا مِ ن بَ ْع ِد ِإ ْك َرا ِه ِه َّن‬ َ ‫ع َر‬ ُّ ‫علَى ْال ِبغَاءِ ِإ ْن أ َ َر ْدنَ ت َ َح‬
َ ‫صنًا ِِّلتَ ْبتَغُوا‬ َ ‫َو َال ت ُ ْك ِرهُوا فَتَيَاتِ ُك ْم‬

“... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa
yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” [An-Nuur: 33]

Dari Jabir (ia berkata) bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki seorang budak wanita yang
bernama Masikah dan seorang budak lain yang bernama Amimah. ‘Abdullah menyewakan keduanya
untuk berzina, maka kedua budak tersebut mengadu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan hal
tersebut, lalu Allah menurunkan ayat

ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ َّ ‫ض ْال َحيَاةِ ال ُّد ْنيَا ۚ َو َمن يُ ْك ِره ُّه َّن فَإ ِ َّن‬
َ ‫ّللا مِ ن بَ ْع ِد إِ ْك َرا ِه ِه َّن‬ َ ‫ع َر‬ ُّ ‫علَى ْالبِغَاءِ إِ ْن أ َ َر ْدنَ ت َ َح‬
َ ‫صنًا ِلِّتَ ْبتَغُوا‬ َ ‫َو َال ت ُ ْك ِرهُوا فَتَيَاتِ ُك ْم‬

“... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka
sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa
yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” [An-Nuur: 33] [5]

Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu:

‫ان ْالكَاه ِِن‬


ِ ‫ي َو ُح ْل َو‬ ِِّ ‫ب َو َم ْه ِر ْالبَ ِغ‬
ِ ‫ع ْن ث َ َم ِن ْالك َْل‬
َ ‫س َّل َم نَ َهى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬.
َ ِ‫سو َل هللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengambil uang (hasil) penjualan anjing,
upah pelacuran dan upah perdukunan.” [6]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

‫ب ْالفَحْ ِل‬ َ ‫سلَّ َم‬


َ ‫ع ْن‬
ِ ‫ع ْس‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُّ ِ‫نَ َهى ال َّنب‬.
َ ‫ي‬

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl (yaitu mengambil upah dari
menyewakan pejantan binatang untuk mengawini).” [7]

Upah Membaca al-Qur-an


Dari ‘Abdurrahman bin Syabl al-Anshari, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:

‫اِ ْق َر ُءوا ْالقُ ْرآنَ َوالَ ت َأ ْ ُكلُوا ِب ِه َوالَ ت َ ْست َ ْكث ُِروا بِ ِه َوالَ ت َجْ فُوا َع ْنهُ َوالَ ت َ ْغلُ ْوا فِ ْي ِه‬.

"Bacalah al-Qur-an dan janganlah kalian mencari makan dengannya, janganlah kalian memperbanyak
harta dengannya, janganlah kalian menjauh darinya dan janganlah kalian berkhianat padanya.’” [8]

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
keluar menemui kami saat kami sedang membaca al-Qur-an dan di antara kami ada orang Badui dan
orang ‘Ajam (non Arab), maka beliau bersabda:

ُ‫سنٌ َو َسيَ ِجي ُء أ َ ْق َوا ٌم يُقِي ُمو َنهُ َك َما يُقَا ُم ْال ِق ْد ُح يَت َ َع َّجلُونَهُ َوالَ َيتَأ َ َّجلُ ْو َنه‬
َ ‫اِ ْق َر ُءوا فَ ُك ٌّل َح‬.
"Bacalah, (karena) semuanya adalah baik, dan akan datang kaum-kaum yang meluruskan al-Qur-an
sebagaimana diluruskannya anak panah, mereka tergesa-gesa (ingin mendapatkan ganjaran dunia) dan
tidak mau menunda (untuk mendapatkan ganjaran akhirat).’” [9]

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

ِ ِ ُ‫ َو َر ُج ٌل َي ْست َأْ ُك ُل بِ ِه َو َر ُج ٌل يَ ْق َرأُه‬،‫ َر ُج ٌل يُبَاهِي بِ ِه‬:ٌ‫تَعَلَّ ُموا ْالقُ ْرآنَ َو َسلُ ْوا ِب ِه ْال َجنَّةَ َق ْب َل أ َ ْن يَتَعَلَّ َمهُ قَ ْو ٌم َي ْسأَلُ ْونَ ِب ِه ال ُّد ْنيَا فَإ ِ َّن ْالقُ ْرآنَ َيتَعَلَّ ُمهُ ثَالَثَة‬.
‫هلل‬

“Belajarlah al-Qur-an, serta mohonlah Surga kepada Allah dengannya sebelum ada kaum yang
mempelajarinya untuk mencari dunia dengannya, maka sesungguhnya al-Qur-an itu dipelajari oleh tiga
(jenis orang); (1) seseorang yang pamer dengannya, (2) seseorang yang mencari makan dengannya, dan
(3) seseorang yang membacanya karena Allah.” [10]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

Syirkah (Perserikatan)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Syirkah
Asy-Syirkah adalah al-ikhtilath (percampuran/persekutuan). Secara syara’ adalah apa yang terjadi
dengan ikhtiyar antara dua orang atau lebih berupa percampuran (persekutuan) untuk menghasilkan
laba/untung. Dan terkadang terjadi tanpa sengaja seperti warisan.” [1]

Pensyari’atan Syirkah
Allah Ta’ala berfirman:

‫ت َوقَلِي ٌل َّما ُه ْم‬


ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫علَ ٰى بَ ْعض ِإ َّال الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬
َّ ‫عمِ لُوا ال‬ َ ‫ض ُه ْم‬ َ َ‫ِيرا ِِّمنَ ْال ُخل‬
ُ ‫طاءِ لَ َي ْبغِي بَ ْع‬ ً ‫َو ِإ َّن َكث‬

“... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat
zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
shalih; dan amat sedikitlah mereka ini...” [Shaad: 24]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

ِ ُ‫ُس ۚ فَإِن كَانُوا أ َ ْكث َ َر مِ ن ٰذَ ِلكَ فَ ُه ْم ش َُركَا ُء فِي الثُّل‬


‫ث‬ ُ ‫ث ك ََال َلةً أ َ ِو ْام َرأَة ٌ َو َلهُ أ َ ٌخ أ َ ْو أ ُ ْختٌ َف ِل ُك ِِّل َواحِ د ِِّم ْن ُه َما ال ُّسد‬
ُ ‫ُور‬
َ ‫َو ِإن َكانَ َر ُج ٌل ي‬

“... Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga
itu...” [An-Nisaa': 12]

Dari as-Sa-ib bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ِ ‫ ُك ْنتَ ش َِريكِي فِي ْال َجا ِه ِليَّ ِة فَ ُك ْنتَ َخي َْر ش َِريك الَ ت ُ َد ِارينِي َوالَ ت ُ َم‬.
‫ارينِي‬

“Engkau dahulu adalah sekutuku di masa Jahiliyyah, dan engkau adalah sebaik-baik sekutu, engkau
tidak pernah menolak dan membantahku.” [2]

Perserikatan Syar’i
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam as-Sailul Jarraar (III/246, III/248), “Perserikatan
yang syar’i terjadi dengan adanya saling ridha antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap
orang dari mereka membayar (menyetor) jumlah yang jelas dari hartanya, kemudian mereka mencari
usaha dan keuntungan dengan uang tersebut. Setiap orang dari mereka mendapat untung seukuran
harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada kewajiban pembiayaan sebesar itu pula
yang dikeluarkan dari harta perserikatan. Jika terjadi saling ridha untuk membagi untung sama rata
walaupun jumlah harta yang dikeluarkan berbeda-beda, maka hal tersebut boleh, walaupun harta (yang
dikeluarkan) oleh salah seorang dari mereka sedikit dan yang lain lebih banyak. Dan dalam hal yang
seperti ini tidak mengapa menurut syari’at, karena ia merupakan perniagaan yang dilakukan atas dasar
saling ridha dan ke-relaan hati.”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

Mudharabah

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Mudharabah [1]


Mudharabah diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan di muka bumi) untuk
melakukan perdagangan.

Allah Ta’ala berfirman:

ِ َّ ‫ض ِل‬
‫ّللا‬ ِ ‫َوآخ َُرونَ يَض ِْربُونَ فِي ْاأل َ ْر‬
ْ َ‫ض يَ ْبتَغُونَ مِ ن ف‬

“... Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...” [Al-Muzzammil:
20]

Dan disebut pula qiradh diambil dari kata al-Qardhu yang artinya al-qath’u (memotong) karena si
pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk berdagang dan sebagian yang lain dari keuntungannya.

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah akad antara dua pihak, yaitu salah satu dari keduanya
membayar secara tunai kepada pihak yang lain agar ia berdagang dengannya, dan keuntungannya
dibagi antara keduanya sesuai dengan apa yang menjadi kesepa-katan mereka berdua.

Pensyari’atan Mudharabah
Ibnul Mundzir berkata dalam kitabnya, al-Ijmaa’ (hal. 124), “Mereka (ulama) telah berijma’ (sepakat)
akan bolehnya qiradh dengan dinar dan dirham, dan mereka juga berijma’ bahwa bagi si pekerja agar
mensyaratkan kepada pemilik harta (untuk memperoleh) sepertiga dari keuntungan atau setengahnya
atau sesuai apa yang mereka berdua sepakati atasnya setelah menjadi jelas bagiannya.”

Dan para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah beramal dengannya.

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa, ia berkata, “‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin
al-Khaththab, keluar bersama pasukan menuju Irak. Ketika kembali keduanya melewati Abu Musa al-
Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai amir atas kota Bashrah, ia (Abu Musa) pun menyambut
kedatangan mereka berdua, kemudian berkata, ‘Jika aku mampu memberikan kepada kalian suatu
urusan yang bermanfaat bagi kalian niscaya aku akan melakukannya.’ Kemudian ia (melanjutkan)
ucapannya, ‘Ya, ini ada harta dari harta Allah, aku ingin mengirimnya kepada Amirul Mukminin, aku
akan meminjamkannya kepada kalian sehingga kalian bisa membeli barang dagangan Irak dengannya
kemudian kalian jual di Madinah, lalu kalian sampaikan (kembalikan) modalnya kepada Amirul
Mukminin dan keuntungannya untuk kalian berdua.’ Keduanya menjawab, ‘Kami menyukai hal
tersebut.’ Lantas ia pun melakukannya dan menulis surat kepada ‘Umar untuk mengambil harta dari
keduanya. Ketika keduanya sampai, dan mendapatkan keuntungan. Pada saat keduanya
memberikannya kepada ‘Umar, ia (‘Umar) berkata, ‘Apakah ia memberikan pinjaman kepada setiap
pasukan seperti apa yang dipinjamkan kepada kalian?’ Keduanya menjawab, ‘Tidak.’ Maka ‘Umar bin
al-Khaththab berkata, ‘(Apakah karena) kalian berdua putera Amirul Mukminin, sehingga ia
meminjaminya kepada kalian berdua? Berikan harta dan keuntungannya!’ Adapun ‘Abdullah, maka ia
diam, sedangkan ‘Ubaidullah ia berkata, ‘Tidak sepantasnya engkau melakukan ini, wahai Amirul
Mukminin! Seandainya harta ini berkurang atau rusak niscaya kami yang menanggungnya.’ ‘Umar
berkata, ‘Berikanlah hartanya.’ ‘Abdullah terdiam dan ‘Ubaidullah tetap membantahnya. Maka salah
seorang anggota majelis ‘Umar berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, (bagaimana) kalau engkau
menjadikannya sebagai qiradh?’ Lalu ia menjawab, ‘Aku telah menjadikannya sebagai qiradh.’ Lalu
‘Umar mengambil modalnya dan setengah dari keuntungannya dan ‘Abdullah serta ‘Ubaidullah, dua
putera ‘Umar bin al-Khaththab mengambil setengah keuntungan dari harta tersebut.” [2]

Seorang Pekerja Adalah Amin (Dipercaya)


Mudharabah hukumnya boleh baik secara mutlak atau pun terikat, dan seorang amil (pekerja) tidak
menanggung (kerusakan) kecuali jika ia ceroboh dan menyelisihi (perjanjian).

Ibnul Mundzir berkata, “Mereka (ulama) sepakat bahwa apabila pemilik harta melarang pekerjanya
untuk menjual dengan cara nasi’ah (tempo), lalu ia menjualnya dengan cara nasi’ah, maka ia
menanggungnya (menggantinya).”[3]

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia memberi
syarat kepada seseorang apabila ia memberinya harta sebagai modal untuknya, “Jangan menggunakan
modalku (hartaku) untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan
membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka
engkaulah yang menanggung modalku.” [4]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______

Salam (Pesanan)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Salam
As-Salam dengan dua fat-hah sama dengan as-salaf baik secara wazan (timbangan ilmu sharaf) maupun
secara makna.

Dan hakikatnya secara syara’ adalah menjual barang yang telah disebut sifatnya di dalam tanggungan
dengan bayaran kontan (di muka). [1]

Pensyari’atan Salam
Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا ت َ َدايَنتُم بِ َديْن ِإلَ ٰى أَ َجل ُّم‬
ُ‫س ًّمى فَا ْكتُبُوه‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” [Al-Baqarah: 282]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku bersaksi bahwa salaf (salam/ pesanan) yang terjamin
hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan telah diizinkan padanya,
kemudian ia membaca... (ayat diatas).” [2]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma pula, “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke
Madinah dan pada waktu itu para penduduk Madinah melakukan akad salaf (salam) pada buah kurma
dalam batas waktu dua tahun dan tiga tahun. Lalu beliau bersabda:

ْ ‫ف فَ ْليُ ْسل‬
‫ِف فِي َكيْل َم ْعلُوم َو َو ْزن َم ْعلُوم إِلَى أَ َجل َم ْعلُوم‬ َ َ‫ َم ْن أ َ ْسل‬.

“Barangsiapa memesan suatu barang, maka dia harus memesannya dalam takaran dan timbangan yang
diketahui hingga batas waktu yang diketahui.” [3]

Melakukan Akad Salam Kepada Orang Yang Tidak Memiliki Barangnya


Dalam akad salam tidak disyaratkan agar orang yang dipesan (al-musallam ilaih) memiliki barang yang
dipesan (al-musallam fih).

Diriwayatkan dari Muhammad bin Abi al-Mujalid, ia berkata, “'Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah
mengutusku kepada ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu 'anhu, lantas keduanya berkata, ‘Tanyakan
kepadanya (yaitu ‘Abdullah bin Abi Aufa), apakah para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di
zaman beliau melakukan akad salam pada hinthah (gandum)?’ ‘Abdullah menjawab, ‘Kami dahulu
melakukan akad salam dengan petani dari penduduk Syam pada gandum, sya’ir dan minyak (zait) dalam
takaran yang jelas hingga batas waktu yang jelas pula.’ Aku bertanya, ‘Apakah kepada orang yang ia
memiliki barangnya?’ Ia menjawab, ‘Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.’ Kemudian
keduanya mengutusku kepada ‘Abdurrahman bin Abza, lalu aku bertanya kepadanya dan ia menjawab:

ٌ ‫ أَلَ ُه ْم َح ْر‬،‫سلَّ َم َولَ ْم نَ ْسأ َ ْل ُه ْم‬


َ‫ث أ َ ْم ال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َ َ‫ع َل ْي ِه َو َسلَّ َم يُ ْس ِلفُ ْون‬
َ ‫علَى‬
ِِّ ‫ع ْه ِد النَّ ِب‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ي‬ ْ َ ‫ َكانَ أ‬.
ِِّ ‫ص َحابُ ال َّن ِب‬

“Dahulu para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan salam di zaman beliau dan kami
tidak bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki tanamannya atau tidak.” [4]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Qardh (Pinjaman)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Fadhilah (Keutamaan) Qardh


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ َوهللاُ فِ ْي‬،‫علَ ْي ِه فِي ال ُّد ْن َيا َو ْاآلخِ َر ِة‬ َ ‫ َو َم ْن َيس ََّر‬،ِ‫ب َي ْو ِم ْال ِق َيا َمة‬
َ ُ‫علَى ُم ْعسِر َيس ََّر هللا‬ ِ ‫ع ْنهُ ُك ْر َبةً مِ ْن ُك َر‬ ِ ‫ع ْن ُمؤْ مِ ن ُك ْر َبةً مِ ْن ُك َر‬
َ ‫ نَ َّف‬،‫ب ال ُّد ْن َيا‬
َ ُ‫س هللا‬ َ َّ‫َم ْن نَف‬
َ ‫س‬
‫ع ْو ِن أَخِ ْي ِه‬
َ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫د‬
ُ ‫ب‬
ْ ‫ع‬
َ ْ
‫ال‬ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ‫ا‬‫م‬ ‫د‬
ِ ‫ب‬
ْ
َ َ ِ َ‫ع‬ ْ
‫ال‬ ‫ن‬ ‫و‬
ْ ‫ع‬ .

“Barangsiapa menghilangkan suatu kesusahan dari seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia,
niscaya Allah akan menghilangkan darinya kesusahan dari kesusahan-kesusahan akhirat. Dan
barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang mu’sir (kesulitan membayar hutang), niscaya
Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama
hamba tersebut menolong saudaranya.”[1]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ض ُم ْس ِل ًما قَ ْرضًا َم َّرتَي ِْن إِالَّ َكانَ َك‬


ً‫ص َدقَتِ َها َم َّرة‬ ُ ‫ َما مِ ْن ُم ْسلِم يُ ْق ِر‬.

“Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali, ia seperti
menyedekahkannya sekali.” [2]

Ancaman Keras Tentang Hutang


Dari Tsauban, budak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, bahwa beliau bersabda:

‫س َد َوه َُو بَ ِري ٌء مِ ْن ثَالَث َد َخ َل ْال َجنَّةَ ْال ِكب ِْر َو ْالغُلُ ْو ِل َوال َّدي ِْن‬
َ ‫الرو ُح ْال َج‬ َ َ‫ َم ْن ف‬.
ُّ َ‫ارق‬

“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan berlepas diri dari tiga hal, maka ia masuk surga;
(yaitu) sombong, ghulul (khianat dalam hal harta rampasan perang) dan hutang.” [3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫س ْال ُمؤْ مِ ِن ُمعَلَّقَةٌ بِ َد ْي ِن ِه َحتَّى يُ ْق‬


ُ‫ضى َع ْنه‬ ُ ‫نَ ْف‬.

"Jiwa seorang mukmin tergantung dengan hutangnya hingga ia melunasinya.’”[4]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

‫َار َوالَ د ِْر َه ٌم‬ َ ‫سنَاتِ ِه لَي‬


ٌ ‫ْس ث َ َّم دِين‬ َ ‫ي مِ ْن َح‬ ِ ُ‫َار أ َ ْو د ِْر َه ٌم ق‬
َ ‫ض‬ ٌ ‫علَ ْي ِه دِين‬
َ ‫ َم ْن َماتَ َو‬.

"Barangsiapa yang mati dan memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan dilunasi dari
kebaikannya, (karena) di sana (akhirat) tidak ada dinar tidak pula dirham.’” [5]

Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di tengah
mereka, lalu beliau menyebutkan kepada mereka bahwa jihad fii sabilillah dan beriman kepada Allah
adalah amalan yang paling utama. Kemudian seseorang berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah pendapatmu jika aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus
(diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ya, apabila engkau
terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak
mundur.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana pertanyaanmu
(tadi)?” Ia berkata, “Bagaimanakah pendapatmu apabila aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku
akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ فَإ ِ َّن ِجب ِْري َل‬، َ‫غي ُْر ُم ْدبِر إِالَّ ال َّديْن‬
َّ ‫علَ ْي ِه ال‬
َ‫سالَم قَا َل لِي ذلِك‬ َ َ‫ َوأَ ْنت‬،‫نَعَ ْم‬.
َ ‫صابِ ٌر ُمحْ تَسِبٌ ُم ْق ِب ٌل‬

“Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala,
maju dan tidak mundur, kecuali hutang karena sesungguhnya Jibril Alaihissallam berkata kepadaku
akan hal itu.” [6]

Orang Yang Mengambil Harta Orang Lain Dengan Maksud Mengembalikannya Atau Merusaknya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

ُ‫ع ْنهُ َو َم ْن أ َ َخذَ ي ُِر ْي ُد ِإتْالَفَ َها أَتْلَفَهُ هللا‬


َ ُ‫اس ي ُِري ُد أ َ َدا َءهَا أَدَّى هللا‬
ِ َّ‫ َم ْن أ َ َخذَ أ َ ْم َوا َل الن‬.

“Barangsiapa yang mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan
(menolong) untuk mengembalikannya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan maksud
merusaknya, maka Allah akan merusaknya.” [7]

Dari Syu’aib bin ‘Amr, ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Shuhaib al-Khair dari Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda:

‫ار ًقا‬
ِ ‫س‬َ ‫هللا‬
َ ‫ِي‬ َ ‫أَيُّ َما َر ُجل يَ ِدينُ َد ْينًا َوه َُو ُمجْ مِ ٌع أ َ ْن الَ ي َُوفِِّيَهُ ِإيَّاهُ لَق‬.

"Siapa saja yang berhutang dengan suatu hutang dengan niat tidak akan mengembalikan kepadanya,
maka ia akan bertemu dengan Allah sebagai seorang pencuri.’” [8]

Perintah Untuk Membayar Hutang


Allah Ta’ala berfirman:

‫يرا‬
ً ‫ص‬ َ َ‫ّللا َكان‬
ِ ‫سمِ ي ًعا َب‬ َ َّ ‫اس أَن تَحْ ُك ُموا ِب ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن‬
ُ ‫ّللا نِ ِع َّما َي ِع‬
َ َّ ‫ظ ُكم ِب ِه ۗ ِإ َّن‬ ِ ‫ّللا َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أَن ت ُ َؤدُّوا ْاأل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت ِإلَ ٰى أَ ْه ِل َها َو ِإذَا َحك َْمتُم َبيْنَ الن‬ َ َّ ‫ِإ َّن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Men-dengar lagi Maha Melihat.” [An-Nisaa’: 58]

Bersikap Baik Dalam Membayar Hutang


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seseorang pernah memberi pinjaman seekor unta
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia datang kepada Nabi menagih hutangnya, lalu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Berikan kepadanya.” Para Sahabat lalu mencari untanya dan
mereka tidak menemukannya kecuali unta yang lebih baik, maka Nabi bersabda, “Berikan kepadanya.”
Ia berkata, “Engkau telah memenuhi hakku (semoga) Allah memenuhinya untukmu.” Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

َ ‫ار ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم َق‬


‫ضا ًء‬ َ ‫ ِإ َّن خِ َي‬.

“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang.” [9]

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata,

َ َ‫ َو َكانَ لِي َعلَ ْي ِه َديْنٌ فَق‬،‫ص ِِّل َر ْك َعتَي ِْن‬


‫ضانِي َوزَ ا َدنِي‬ ُ ‫ أ ُ َراهُ قَا َل‬:‫ قَا َل مِ ْس َع ٌر‬،ِ‫س َّل َم َوه َُو فِي ْال َمس ِْجد‬
َ :َ‫ فَقَال‬،‫ض ًحى‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ ‫أَتَيْتُ ال َّن ِب‬.
َ ‫ي‬

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang beliau berada di masjid. -Mis’ar berkata,
‘Aku berpendapat ia berkata di saat waktu Dhuha.’- Lalu beliau bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan
adalah beliau berhutang kepadaku, maka beliau membayarnya kepadaku dan memberikan tambahan
kepadaku.’” [10]

Dari Isma’il bin Ibrahim bin ‘Abdillah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminjam tiga puluh atau empat puluh ribu kepadanya ketika
memerangi Hunain. Tatkala beliau datang dan melunasi hutang kepadanya, kemudian Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,

‫س َلفِ ْال َوفَا ُء َو ْال َح ْم ُد‬


َّ ‫اركَ هللاُ لَكَ فِي أ َ ْهلِكَ َو َمالِكَ إِنَّ َما َجزَ ا ُء ال‬
َ َ‫ب‬.

“Semoga Allah memberi berkah kepadamu pada keluarga dan hartamu, sesungguhnya balasan memberi
pinjaman adalah (agar) dilunasi dan dipuji.” [11]

Bersikap Baik Dalam Menagih Hutang


Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

َ ‫عفَاف َواف أَ ْو‬


‫غي ِْر َواف‬ ْ ‫ب َحقًّا فَ ْل َي‬
َ ‫طلُ ْبهُ فِي‬ َ َ‫طال‬
َ ‫ َم ْن‬.

“Barangsiapa yang menuntut suatu hak, maka hendaklah ia memintanya dengan hormat, ditunaikan
(dibayar) maupun tidak ditunaikan.” [12]

Memberikan Tangguh Kepada Orang Yang Kesulitan Membayar Hutang


Allah Ta’ala berfirman:

َ‫ص َّدقُوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ۖ ِإن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬


َ َ ‫س َرة ۚ َوأَن ت‬ ُ ‫َو ِإن َكانَ ذُو‬
َ ‫عس َْرة َفنَظِ َرة ٌ ِإلَ ٰى َم ْي‬

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [Al-
Baqarah: 280]

Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:

ُ‫ فَغُف َِر لَه‬،‫ع ِن ْال ُم ْعس ِِر‬ ُ ِّ‫ع ِن ْال ُموس ِِر َوأ ُ َخ ِف‬
َ ‫ف‬ َ َّ‫ ُك ْنتُ أُبَا ِي ُع الن‬:َ‫ َماتَ َر ُج ٌل فَقِي َل لَهُ َما ُك ْنتَ تَقُ ْولُ؟ قَال‬.
َ ‫اس فَأَت َ َج َّو ُز‬

‘Ada seseorang yang meninggal, lalu dikatakan kepadanya, ‘Apa yang dahulu engkau katakan?’ Ia
menjawab, ‘Aku dahulu berjual beli dengan orang-orang, aku bersikap lembut (dalam menagih hutang)
kepada orang yang diberi kelapangan, dan aku memberi keringanan kepada orang yang kesulitan.’ Maka
ia pun diampuni.’” [13]

Dari Abul Yasar, Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

َ ‫ َف ْليُ ْنظِ ْر ُم ْعس ًِرا أ َ ْو ِل َي‬،ِ‫ َم ْن أ َ َحبَّ أ َ ْن يُظِ لَّهُ هللاُ فِي ظِ ِلِّه‬.
ُ‫ض ْع لَه‬

"Barangsiapa yang ingin untuk dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya, maka hendaklah ia memberi
tangguh kepada orang yang kesulitan atau ia membebaskan hutangnya.’” [14]

Menunda-Nunda Membayar Hutang Bagi Yang Mampu Adalah Kezhaliman


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫ظ ْل ٌم‬
ُ ‫ي‬ ِِّ ِ‫ط ُل ْالغَن‬
ْ ‫ َم‬.

"Mathlul Ghani (orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutang) adalah kezhaliman.’” [15]

Orang Yang Mampu Membayar Hutang Boleh Dipenjara Jika Ia Enggan Membayar Hutangnya
Dari ‘Amr bin asy-Syarid dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ُ‫عقُ ْوبَتَه‬ ِ ‫ي ْال َو‬


َ ‫اج ِد يُحِ ُّل ِع ْر‬
ُ ‫ضهُ َو‬ ُّ َ‫ل‬.

“Layyu al-Wajid (orang kaya yang menunda-nunda dalam membayar hutang) halal kehormatannya dan
hukumannya.” [16]

Setiap Hutang yang Menarik Manfaat adalah Riba


Dari Abu Burdah, ia berkata, “Aku datang ke Madinah dan bertemu dengan ‘Abdullah bin Salam, lalu ia
berkata, “Ikutlah bersamaku ke rumah, aku akan memberimu minum dari gelas yang Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam meminum darinya, dan engkau shalat di masjid yang beliau shalat di
dalamnya.” Lalu aku berangkat bersamanya. Ia memberiku minum sawiq dan memberiku makan kurma,
aku juga shalat di masjidnya. Kemudian ia berkata kepadaku, “Sesung-guhnya engkau berada di suatu
negeri yang tersebar riba di dalamnya dan di antara pintu-pintu riba adalah salah seorang dari kalian
memberi piutang hingga waktu (yang ditentukan), dan jika telah jatuh temponya, ia datang dengan
membawa hutangnya dan sekeranjang hadiah, maka takutlah engkau terhadap keranjang tadi beserta
isinya.” [17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Rahn (Gadai)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Rahn
Rahn secara bahasa adalah al-ihtibas (penahanan), diambil dari ucapan mereka, “Rahana asy-syai-a
(jika ia berlangsung dan tetap).” Dan di antaranya pula firman Allah:

ٌ‫ت َرهِينَة‬ َ ‫ُك ُّل نَ ْفس بِ َما َك‬


ْ َ‫سب‬

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” [Al-Muddatstsir: 38]

Secara syara’ adalah menjadikan harta sebagai jaminan bagi hutang agar bisa dilunasi darinya jika yang
berhutang berhalangan (udzur) dari membayar hutangnya. [1]

Pensyari’atan Rahn
Allah Ta’ala berfirman:

ٌ‫ضة‬
َ ‫سفَر َولَ ْم ت َِجدُوا كَا ِتبًا فَ ِر َهانٌ َّم ْقبُو‬
َ ‫علَ ٰى‬
َ ‫َو ِإن ُكنت ُ ْم‬

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperolah
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang ber-piutang).” [Al-
Baqarah: 283]

Pembatasan (hukum) dengan waktu safar (perjalanan) dalam ayat di atas sehingga tidak berlaku secara
umum tidak bisa difahami secara terbalik karena adanya indikasi hadits yang menunjukkan masyru’nya
rahn.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

َ ‫طعَا ًما ِإلَى أ َ َجل فَ َر َهنَهُ د ِْر‬


ُ‫عه‬ ِّ ‫سلَّ َم ا ْشت ََرى مِ ْن يَ ُهود‬
َ ‫ِي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬.
َ ‫ي‬

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran
tempo dan beliau menggadaikan baju perangnya.” [2]

(Hukum) Memanfaatkan Barang Yang Digadaikan


Tidak boleh bagi orang si penerima gadai (murtahin) untuk memanfaatkan barang yang digadaikan
(rahn), sebagaimana yang telah lewat dalam masalah qardh (piutang): “Setiap hutang yang menarik
manfaat adalah riba.”

Kecuali bila barang gadai tersebut berupa tunggangan (kuda, keledai dan yang sejenisnya-penj.) atau
sesuatu yang bisa diperah susunya (sapi, unta, kambing dan yang lainnya-penj.), maka ia boleh menaiki
tunggangan tersebut dan memerah susunya jika ia memberikan nafkah (dengan memberi makan)
kepadanya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫لظ ْه ُر ي ُْر َكبُ ِبنَفَقَتِ ِه ِإذَا َكانَ َم ْرهُونًا َو َل َبنُ الد َِّريُ ْش َربُ ِبنَفَقَتِ ِه ِإذَا َكانَ َم ْرهُونًا َو َعلَى الَّذِي يَ ْر َكبُ و َي ْش َربُ النَّفَقَة‬
َّ َ ‫ا‬.

"Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan nafkahnya (membayarnya) dan susu hewan yang
digadaikan boleh diminum dengan nafkahnya. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib
menafkahinya.’” [3]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Ayat Riba Dan Penjelasanya

A. Pengertian Riba

Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung ma’na tambahan secara mutlaq
atau bahwa Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik,
riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[1]

Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum yang menegaskan bahwa
riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.

Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat,diantaranya yaitu
30:39, 4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya. Tiga diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan satu
ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah walaupun menggunakan kata riba 30:39, ulama
sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian
hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.[2]

B. Riba (Berupa Zakat)

a. Surat Ar-Ruum ayat 39

‫ّللاِ َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن زَ َكاة‬ ِ َّ‫َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن ِربًا ِليَ ْربُ َو فِي أ َ ْم َوا ِل الن‬
َّ ‫اس فَ َال يَ ْربُو ِع ْن َد‬
)39 : ‫ض ِعفُونَ (الروم‬ ْ ‫ّللا فَأُولَئِ َك ُه ُم ْال ُم‬
ِ َّ َ‫ت ُ ِريدُونَ َو ْجه‬
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Pada ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah SWT membenci riba dan perbuatan riba
tersebut tidaklah mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT
yang mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak
melakukan hal yang negatif.[3]
b. Penjelasan Ayat

Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam
mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama
Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab tafsir Jalalain, menafsiri bahwa Lafadz “‫”و َما آت َ ْيت ُ ْم مِ ْن ِربًا‬yakni َ umpamanya
sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah diberikan orang
lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, pengertian sesuatu
dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksudkan dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan
lafadz “ ‫ “ ِليَ ْرب َُو‬yakni orang-orang yang memberi itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak, dari
sesuatu hadiah yang telah diberikan.sedangkan “ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫ “ فَ َال يَ ْربُو ِع ْن َد‬yang terdapat penjelasana yakni riba itu
tidak menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang
memberikannya.‫ ألح‬... ِ‫ّللا‬ َّ َ‫ َو َما آت َ ْيت ُ ْم مِ ْن زَ كَاة ت ُ ِريدُونَ َو ْجه‬ini bahwa orang-orang yang melakukan sedekah semata-
mata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang
berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung
makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin”.[4]

Dalam uraian di atas dalam kami simpulkan bahwa :

1. Riba di dalam Muamalah yang tidak akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah.

2. Tidak mendapat pahala orang yang melakukan riba atau tambahan.

3. Anggapan salah yang ditolak, bahwa pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah,
seolah-olah menolong mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu perbuatan untuk
mendekatitakarrub kepada Allah.

4. Shodaqoh merupakan perkara yang dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang bersedekah.

5. Ayat yang bersifat peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang dilarang oleh
Allah.

6. Ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya“riba itu haram”.

C. Larangan Untuk Melakukan Riba (Perbuatan Jelek)

a. al-Baqarah ayat 287

:‫الربَا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينَ )البقرة‬ َ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َ ‫ّللا َو َذ ُروا َما بَ ِق‬
ِّ ِ َ‫ي ِمن‬
(٢٧٨
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman.

b. Sebab Turun Ayat

Ibnu Abbas berkata “Suatu ketika, bani mughirah mengadu kepada gubernur makkah, Attab bin
Usaid bahwa mereka menghutangkan hartanya kepada bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Kemudin,
bani Amr bin Auf meminta penylesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini, Atab mengirim surat laporan
kepada Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah ayat ini”(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Mandah)[5]

c. Penjelasan Ayat

Ayat ini adalah sebuah perintah, tetapi perintahnya


adalah untuk meninggalkan. Di dalam ushul fiqih larangan terhadap
sesuatu adalah berarti perintah untuk berhenti mengerjakan sesuatu
tersebut. Dalam hal ini larangan untuk mengerjakan riba berarti perintah untuk berhenti
mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[6]

Di dalam Hadits bahkan ada beberapa orang yang terkait


dengan orang yang bertransaksi riba ini akan mendapat laknat dari Allah SWT, yaitu:

‫ أكل الربا‬: ‫ لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن جابر رضى هللا عنه قال‬
)‫ هم سوء (رواه مسلم‬: ‫وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال‬
Dari Jabir r.a berkata: Rasulullah SAW melaknat
pemakan riba, orang yang mewakili riba, penulis riba, dan 2 orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau
bersabda: mereka adalah sama.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah


jika dilakukan dengan berlipat ganda sebagaimana ayat di atas yang
menyebutkan larangan untuk tidak memakan riba dengan berlipat
ganda. Menjawab hal tersebut bahwa sesungguhnya ْ َ‫أ‬
lafadz ‫ضعَافًا‬
ً‫عفَة‬
َ ‫ضا‬
َ ‫ ُم‬adalah bukan menunjukkan bahwa larangan ini berlaku hanya kepada riba yang diambil dengan
berlipat ganda, akan tetapi ayat ini hanya menggambarkan bahwa keadaan ketika ayat
tersebut diturunkan bahwa masyarakat Arab ketika itu benar-benar
melakukan perbuatan tercela dengan mengambil riba yang berlipat
ganda. Turunnya ayat ini adalah fase ketika dari turunnya larangan
riba yang secara bertahap. Artinya larangan sampai fase yang ketiga
ini hanya bersifat larangan terbatas (juz’i), akan tetapi selanjutnya setelah turun ayat untuk fase
keempat secara jelas disebutkan bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba adalah
baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil
keuntungan dengan riba itu yang berlipat ganda maupun yang tidak
berlipat ganda. Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit maupun banyaknya adalah
haram, demikian juga dengan riba. Seperti
khomar yang merupakan salah satu budaya dari masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian
dari budaya masyarakat Arab yang sangat kuat, oleh karena itu Allah SWT dalam pengharaman riba
menurunkannya secara bertahap sama seperti pengharaman khomar yang juga bertahap.

Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba, yaitu :

‫اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف الجنسان حل التفاضل دون‬
‫النساء‬
Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka
boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah.[7]

Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa riba yang sama


haram untuk berbeda, antara gandum dengan gandum haram untuk ditukar dalam jumlah yang
berbeda.

Selanjutnyaapakah transaksi ribawi akan merusak akad/ perjanjian jual-beli? Berdasarkan


kaedah ushul fiqih terdapat perbedaan di kalangan ulama, yaitu:

Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah
tersebut. Artinya akad jual beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di
dalamnya.

‫النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعامالت‬


D. Perintah Menjauhi Riba

a. Ali Imron ayat 130

‫ّللا لَعَلَّ ُك ْم‬


َ َّ ‫ضا َعفَةً َواتَّقُوا‬ ِّ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال تَأ ْ ُكلُوا‬
ْ َ ‫الربَا أ‬
َ ‫ضعَافًا ُم‬
(١٣٠ :‫ت ُ ْف ِل ُحون )آلعمران‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

b. Sebab Turunya Ayat

Menurut Mujahid, orang Arab terbiasa melakukan transaksi jual-beli dengan jangka waktu (kredit).
Jika waktu pembayaran tiba, mereka ingkar dan tidak mau membayar. Dengan demikian, bertambah
besar bunganya, dan semakin pula bertambah jangka waktu pembayaran. Atas praktik tersebut, Allah
menurunkan ayat tersebut (HR. Faryabi)[8]

c. Penjelasan Ayat

Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz ‫ يَا أَيُّ َها ا َّلذِينَ آ َمنُوا‬ini yang
dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz ‫ضعَافًا‬ ِّ ِ ‫ َال ت َأ ْ ُكلُوا‬ini
ْ َ ‫الربَاأ‬
yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat
yaitu ً‫عفَة‬ َ ‫ ُم‬ini maksudnya adala ‫ االجل‬misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata ‫َواتَّقُوا‬
َ ‫ضا‬
َ‫ّللا‬
َّ takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung
Riba. َ‫ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan
Allah.[9]

Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa :

a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam,

b. Peringatan untuk menjahui makan Riba.


c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari
Allah;

Surat Al Baqarah Ayat 275 – 276 bahwa :

‫ الزيادة والنمو‬: ‫الربا‬


Riba adalah sesuatu yang biasa dilakukan manusia Arab pada masa Jahiliyah, seseorang berjual
beli dengan orang lain dalam tempo waktu tertentu, setelah datang temponya orang tersebut akan
menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok
hartanya.[10]

ِّ ِ َ‫يَأ ْ ُكلُون‬
‫الربَا‬

Arti makan di sini adalah bermuamalah atau bertransaksi, disebutkan dengan kata makan
karena pada umumnya kebanyakan tujuan kepemilikan harta adalah untuk dimakan.[11]

َ‫َال يَقُو ُمون‬


Maksudnya dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat nanti. Hal ini juga seperti bacaan
Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan kata hari kiamat [12]. pada kalimat: ‫َال يَقُو ُمونَ إِ َّال َك َما يَقُو ُم‬

ِّ ِ ‫طانُ مِ نَ ْال َم‬


‫س‬ َ ‫ش ْي‬ ُ َّ‫يَت َ َخب‬
َّ ‫طهُ ال‬

Maksudnya berdiri tidak seimbang seperti orang gila .


ٌ ‫ظة‬
َ ‫َم ْو ِع‬

Maksudnya peringatan untuk kebaikan. Yang dimaksud disini adalah larangan untuk
meninggalkan riba.[13]

Secara ringkas bahwa Ibnu Kasir menafsiri Surat Al-Baqarah ayat yang ke 275, yakni: bahwa
orang yang memakan riba maka ketika mereka bangkit dari kuburannya pada hari kiamat melainkan
seperti berdirinya orang gila pada saat dia mengamuk dan kesurupan Setan.

III. Kesimpulan

Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba
juga berarti Tumbuh dam membesar.

Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat,diantaranya yaitu
30:39, 4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya.

Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam
mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama
Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab tafsir Jalalain, bahwa orang-orang yang melakukan sedekah semata-
mata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang
berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung
makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin
Daftar Pustaka

Abdurrahman , Ibnu Sayidi. al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran, Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Bairut,
tth.

Antoni , Muhammad Syafi’I. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009.

Asuyuti, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahali dan Jalajuddin Abdurrahman bin Abu Bakar. Tafsir
Jalalain, al-Haramain Jaya Indonesia, 2008.

Baghwi, (al). Ma’alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil, Bairut: Dar-el-Fikr 1989.

Bik, Muhammad Hudri. UshuL Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr. 1988.

Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 48

Manzhur (al),Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar-al-Fikr, 1990

Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Uma,Mizan, Bandung. Cet.
I. Tth.

Shobuni (as), Muhammad Ali. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Zadi, Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi. Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, Dar Al-Fikr, tth.

[1] Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009). hlm. 37

[2] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet. I. hlm.
545.

[3] Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. (Beirut: Dar al-Fikr). Jilid.1, hal.390

[4] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahali dan Jalajuddin Abdurrahman bin Abu Bakar Asuyuti, Tafsir Jalalain, (al-
Haramain Jaya Indonesia, cet 6, 2008).hlm. 295.

[5] Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 48

[6] Muhammad Hudri Bik. UshuL Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199.

[7] Muhammad Ali as-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, hal. 392

[8] Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 48

[9] Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, (Dar Al-Fikr, tth).hlm. 56
[10]Ibnu al-Manzhur. Lisan al-Arab. (Beirut: Dar al-Fikr. 1990) hal. 304

[11]Al-Baghwi. Ma’alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil. (Bairut: Dar el-Fikr. Juz.1. 1989). Jild. 14 hal. 397

[12] Ibnu Sayidi Abdurrahman. al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran. (Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Bairut, tth). Juz.1 hal. 216.

[13] Muhammad Ali as-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, hal. 383

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Related Posts:

 sejarah dan sirah nabawiyahsejarah dan sirah nabawiyah Hasnan Adib Avivi Sejarah
Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (‫شجرة‬: syajaratun) yang artinya po… Read More

 Sejarah Singkat Orientalismev\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:*


{behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:url(#default#VML);}
N… Read More

 Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah MustofaTafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa (al-
Iqlil Fi Ma’ani at-Tanzil) Oleh : Hasnan Adip Avivi I.
Pendahuluan Al-Qur’an sebagai kit… Read More

 Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan SainsMatahari Dalam Perspektif al-Qur’an


Dan Sains Oleh: Hasnan Adip Avivi, I. Pendahuluan Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan
n… Read More

 Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif HadisMencari Ilmu Dan Penjelasan
Dalam Perspektif Hadis Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Ma’ani al-
Hadis … Read More
← Posting Lebih BaruPosting Lama →Beranda
2 komentar:

Poskan Komentar

Search

 Terbaik
 Tags
 Blog Archives

TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QUR’AN

TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QUR’AN Oleh: Hasnan Adip Avivi
I. Pendahuluan Sikap tolong menolong ad...

Ayat Riba Dan Penjelasanya

by. Hasnan Adib Ayat Riba Dan Penjelasanya I. Pendahuluan Al-Qur’an merupakan sumber
penggalian dan pengembangan ajaran ...

Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Sains

Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Sains Oleh: Hasnan Adip Avivi, I. Pendahuluan Segala puji
bagi Allah yang telah ...

Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan


Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan Oleh: Hasnan Adib Avivi I. Pendahuluan Dalam UU
Perkawinan sama sekali tidak memb...

Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif Hadis

Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif Hadis M akalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Ilmu Ma’ani al-Ha...

ilmu Ma'ani

By, Hasnan Adib Avivi ilmu Ma'ani Ilmu ini berkembang melalui para ulama pakar bahasa dan nahwu,
baik yang mengikut mazhab u...

Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis

Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis Secara Komperhensif Oleh : Hasnan Adip Avivi I. Pendahuluan
Oksidentalisme merupakan...

TAFSIR ATH-THABARI

TAFSIR ATH-THABARI oleh : Hasnan Adip Avivi A. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Al-Qur’an
sebagai kitab suci dan pedoman ...


sejarah dan sirah nabawiyah

sejarah dan sirah nabawiyah Hasnan Adib Avivi Sejarah Kata sejarah secara harafiah berasal dari
kata Arab ( ‫ شجرة‬: sy...

Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa

Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa (al-Iqlil Fi Ma’ani at-Tanzil) Oleh : Hasnan Adip Avivi
I. Pendahuluan Al-Qu...

World

RSS
U.S.

RSS

VIDEO WIDGET
 Home
 Blog
 About
 Portfolio
 Contact
 Resource
Science

RSS
Entertainment

RSS
Business

RSS
RSS
Technology
 Beranda
Diberdayakan oleh Blogger.
MENGENAI SAYA

CAH NDESO
LIHAT PROFIL LENGKAPKU

Sports

RSS

ARSIP BLOG
 ▼ 2015 (18)
o ► Oktober (1)
o ► Agustus (1)
o ► Juni (1)
o ► Mei (3)
o ► April (1)
o ► Maret (1)
o ► Februari (1)
o ▼ Januari (9)
 Fakhruddin Ar-Razi
 TAFSIR ATH-THABARI
 Takhrij Hadits Arba’in Nawawi No 8
 ULUM AL-QUR'AN "FAWATIH AL-SUWARI"
 Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis
 TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QU...
 Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan
 Ayat Riba Dan Penjelasanya
 ilmu Ma'ani
 ► 2014 (3)
RECENT POSTS
 sejarah dan sirah nabawiyah
...

 Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif Hadis


...


...

 Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa


...

 Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Sains


...

TEXT WIDGET
DOWNLOAD
 NAMA LINK
 NAMA LINK
 NAMA LINK
 NAMA LINK
 NAMA LINK
BLOG ARCHIVE
 ▼ 2015 (18)
o ► Oktober (1)
o ► Agustus (1)
o ► Juni (1)
o ► Mei (3)
o ► April (1)
o ► Maret (1)
o ► Februari (1)
o ▼ Januari (9)
 Fakhruddin Ar-Razi
 TAFSIR ATH-THABARI
 Takhrij Hadits Arba’in Nawawi No 8
 ULUM AL-QUR'AN "FAWATIH AL-SUWARI"
 Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis
 TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QU...
 Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan
 Ayat Riba Dan Penjelasanya
 ilmu Ma'ani
 ► 2014 (3)

Telah menjadi Sunnatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, tunjang menunjang, topang
menopang,dan bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia
menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermu’amalah untuk memenuhi hajat hidup
dan mencapai kemajuan dalam hidupnya.

Kenyataan ini tak dapat dipungkiri yang lebih jauh diterangkan dalam pengetahuan sosiologi, tidak
ada alternatif lain bagi manusia normal, kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunatullah)
tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan cara memencilkan diri, niscaya kan terkena sangsi
berupa kemunduran, penderitaan, kemelaratan, dan malapetaka dalam kehidupan ini[1].

Bentuk-bentuk perdagangan/perniagaan seperti jual beli, tukar menukar [barter], Gaji-menggaji,


Sewa-menyewa, Impor ekspor, Upah mengupah, dan semua yang menimbulkan peredaran harta benda[2].

Penjelasan

1. Larangan Makan Harta Dengan Cara Batil

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS. An-
Nisa’:29

Batil artinya menurut jalan yang salah[3]. Bentuk-bentuk harta yang batil itu dalam perdagangan
adalah, seperti:

a. Korupsi
b. Tidak sesuainya mutu barang dagangan dengan harga penjualan yang tinggi, sehingga merugikan
sipembeli
c. Mengurangi mutu barang dengan harga barang yang mutunya bagus.
d. Dll
Dalam lanjutan ayat “dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu”. Diantara harta dengan diri
atau jiwa dengan diri atau jiwa, tidak dapat dipisahkan, karna orang yang mencari harta adalah untuk
melanjutkan hidupnya didunia ini. Oleh karena itu, selain kemakmuran harta benda hendaklah terdapat
kemakmuran atau ketenangan jiwa. Di samping menjauhkan diri dari memakan harta dengan cara batil,
janganlah terjadi pembunuhan, tegasnya jangan membunuh karna sesuap nasi[4].

Sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu, karena itulah Allah menyuruh mengatur dalam
mencari harta dengan cara baik[5], dan Allah melarang membunuh diri kamu baik orang lain apalagi diri
kamu sendiri. Apabila kamu tidak mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan Allah, masyarakatmu akan
kacau, rampok merampok, serta kecurangan akan terjadi. Tuhan sayang kepadamu, tuhan tidak senang
kamu kacau[6].

2. Orang-Orang Yang Dapat Pancaran Nur Ilahi QS. An-Nur (24):37

”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. QS. An-
Nur(24):37

Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan
mereka wajar menerima petunjuk menuju cahaya itu[7].disini dalam konteks tijarah dan buyu’.

Thabatthaba’I berpendapat bahwa kata tijarah, jika diperhadapkan dengan kata ba’I maka iya
berarti kesinambungan dalam upaya dalam mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah
upaya jual beli yang menghasilkan keuntungasn ril yang sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan
menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka
bersinambungan guna mencari keuntungan.

Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh
keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan
harganya.

Dalam surat an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur
Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah
lupa atau lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah).disaat-
saat mereka melakukan jual beli dan meraih keuntungan (bai’), merekapun tidak lupa shalat pada saat-saat
tertentu itu[8].

3. Hukum Riba. Al-Baqarah (2):275

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”. Al-Baqarah (2):275

Surat Al-Baqarah 275 adalah surat yang terakhir yang diterima Rasulullah SAW yang berbicara
tentang riba yang dimulai oleh ayat 275. umar ibn Khatab berkata, bahwa Rasulullah SAW wafat sebelum
sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas[9]. Riba menurut bahasa berarti al-
Ziyaadadah (bertambah). Roza linda M.Ag dalam bukunya “Fiqh Mu’amalah dan aplikasinya dalam
perbankan syari’ah” menyimpulkan bahwa riba merupakan kelebihan/Tambahan pembayaran tanpa ada
ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad[10].

Hukuman bagi yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun
mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan seperti berdirinya orang
yang dibingungkan oleh syatan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya.

Menurut banyak ulama hukuman ini terjadi dikemudian hari, yakni mereka dibangkitkan dari
kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah mana yang harus mereka tuju.

Sebenarnya _kata Quraish Shihab_ tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam
kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu
bingung dan berada dalam ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi
dan penambahannya. Orang tersebut_yang memakan riba_telah disentuh oleh setan sehingga bingun
tidak tahu arah[11].

4. Kesaksian dalam Mu’amalah QS. Al-Baqarah(2): 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah(2): 282

Ayat ini yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat
utang piutang). Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat menimbulkan
kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang memiliki harta atau yang
mengumpulkan nya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara
harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya[12].

a. Perintah menulis

Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti
salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca,
dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283[13].

Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adal, artinya tidak menyalahi
ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Dibutuhkan tiga kriteria bagi
penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3.
Jujur[14].

b. Saksi

Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan , dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata yang digunakan
ayat ini adalah syahidayn artinya benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah
berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut[15].

Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena keengganannya dapat mengakibatkan
hilangnya hak atau terjadi korban[16]. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih
adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam kenyaqtaan hidup,dan lebih dapat menguatkan
persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada
tudak, menimbulkan keraguan diantara kamu[17].

b. Gada

“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Al-Baqarah(2): 283

Dalam ayat ini dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara
tunai) dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) atau disebut juga gadai
Dari segi bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari,
secara syara’ ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut pandangan
syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atu dia bisa
mengambilsebagian( manfaat) barangnya itu[18].

Dalam ayat ini menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan
atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi
hutang[19].

4. Al-Taubah (9) 24: Larangan Mencintai Harta Melebihi Dari Pada Mencintai Allh Dan Rasulnya

“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik”. (Qs. Al-Taubah (9): 24)

Ayat ini bukan berarti melarang mencintai harta benda karna ini bertentangan dengan naluri
manusia sebagaimana yang telah dijelaskan dan dibenarkan oleh Al-Qur’an antara lain, Qs. Ali Imran (3):
14

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-
lah tempat kembali yang baik (surga).” Qs. Ali Imran (3): 14

Ayat ini hanya mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada harta melampai batas melebihi
kecintaannya terhadap Allah dan rasulnya[20].

Kata yang dipakai dalam Qs. Al-Taubah (9) 24, Ahabba (lebih kamu cintai), mengisyaratkan
memang kecintaan kepada sesuatudiukur ketika seseorang dihadapkan kepada duahal atau lebi yang harus
dipilih salah satunya, dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu
harus dipilih salahsatunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat mmenjatuhkan pilihan.

Al-Muthaffifin (83): 1-3: Ancaman Terhadap Orang-Orang Yang Curang Dalam Menakar Dan
Menimbang.

“(1)Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(2) (yaitu) orang-orang yang


apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(3) dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”Qs. Al-Muthaffifin (83): 1-3

Kata Wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi
Al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalm arti satu lembah yang sangat
curam di neraka.
Kata al-Muthaffifin terambil dari kata thaff /meloncati. Bisa juga kata tersebut teambil dari kata
ath-thafaf yakni bertengkar dalm penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan. Atau dari
kata thafif yaitu sesuatu yang remeh.

Kecelakaan, kekurangan dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam
interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan,
maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah yang orang-orang yqang melanjutkan
hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Adapun kecelakaan di
akhirat, maka ini akan sangat jelas apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di
hari kemudian nanti, menuntut agar amal –amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang
mencuanginya itu, diberikan diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangan mya itu. Ayat yang ke 2
diatas hanya menyebut menerima takaran sedangkan ayat 3 menyebut mengukur dan menimbang.

Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan
dalampenimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini
bukansaja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya.

Ternyata Alquran Telah Mengatur Masalah


Ekonomi
Jun 14, 2011 Artikel, Rezeki, Umum 0

‫ضيتُ لَ ُك ُم اْ ِإل ْسالَ َم دِينًا‬ َ ُ‫ْاليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ َل ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمت‬


ِ ‫ع َل ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (Q.S. Al-Maidah (5): 3)
Di dalam ayat ini Allah telah menjelaskan bahwa Dia telah menyempurnakan agama kita untuk kita. Maka, agama
ini tidak akan kurang selama-lamanya, dan tidak butuh tambahan selama-lamanya. Ayat yang mulia ini
merupakan nash (teks) yang nyata, bahwa agama Islam tidaklah meninggalkan sesuatupun yang dibutuhkan oleh
manusia di dunia dan di akhirat, kecuali agama ini telah menerangkannya dan telah menjelaskannya, apa saja
perkara itu. Di antara masalah besar yang dijelaskan oleh Islam dan merupakan topik pembicaraan dunia adalah
masalah ekonomi. Berikut ini kami hadirkan sebuah tulisan menarik berjudul Alquran Mengatur Masalah
Ekonomi yang diterjemahkan dari salah satu sub tema sebuah buku berjudul ‫( ا َ ِإل ْسالَ ُم ِديْنٌ َكامِ ٌل‬Islam Agama yang
Sempurna) karya seorang ulama besar Islam, Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-
Syanqithi. Semoga bermanfaat. (Redaksi PengusahaMuslim.com)
______________________

Alquran Mengatur Masalah Ekonomi


Alquran telah menjelaskan prinsip-prinsip ekonomi yang semua cabang-cabang kembali kepadanya. Hal itu karena
masalah-masalah ekonomi kembali kepada dua prinsip:
Pertama: Kecerdasan di dalam mencari harta.
Kedua: Kecerdasan di dalam membelanjakan pada tempat-tempatnya.
[Jalan Mencari Harta*]

Perhatikanlah bagaimana di dalam kitab-Nya, Allah membuka jalan-jalan untuk mencari harta, dengan cara-cara
yang sesuai dengan kehormatan dan agama. Allah telah menerangi jalan di dalam hal tersebut. Dia berfirman,
َ‫ِيرا لَّ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬
ً ‫ض ِل هللاِ َوا ْذ ُك ُروا هللاَ َكث‬ ِ ‫صالَة ُ فَا ْنتَش ُِروا فِي اْْل َ ْر‬
ْ ‫ض َوا ْبتَغُوا مِ ن َف‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَإِذَا ق‬
ِ َ‫ضي‬
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10).
Allah juga berfirman,
ْ َ‫ض يَ ْبتَغُونَ مِ ن ف‬
ِ‫ض ِل هللا‬ ِ ‫َو َءاخ َُرونَ يَض ِْربُونَ فِي اْْل َ ْر‬
“Ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah.” (Q.S. Al-Muzammil/73: 20).
Allah juga berfirman,
‫ضالً ِمن َّر ِب ُك ْم‬ ْ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْبتَغُوا ف‬ َ ‫ْس‬ َ ‫لَي‬
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 198).
Allah juga berfirman,
‫اض ِمن ُك ْم‬ ٍ ‫عن ت ََر‬ َ ‫إِالَّ أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’/4: 29).
Allah juga berfirman,
‫َوأ َ َح َّل هللاُ ْال َب ْي َع‬
“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 275).
Allah juga berfirman,
‫طيِبًا‬َ ً‫غن ِْمت ُ ْم َحالَال‬ َ ‫فَ ُكلُوا مِ َّما‬
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi
baik.” (Q.S. Al-Anfaal/8: 69).
Dan (ayat-ayat) selain itu.
[Metode Membelanjakan Harta]

Dan perhatikanlah, bagaimana Allah memerintahkan sikap hemat di dalam membelanjakan harta,
ِ‫ط َها ُك َّل ْالبَسْط‬
ْ ‫س‬
ُ ‫عنُقِكَ َوالَتَ ْب‬ ُ ‫َوالَت َجْ َع ْل يَدَكَ َم ْغلُو َلةً ِإلَى‬
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya.” (Q.S. Al-Isra’/17: 29).
‫َوالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَ ْم يُس ِْرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَ َوا ًما‬
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqan/25: 67).
‫َو َي ْسئَلُونَكَ َماذَا يُن ِفقُونَ قُ ِل ْال َع ْف َو‬
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (Q.S. Al-
Baqarah/2: 219).
Dan perhatikanlah, bagaimana Allah melarang membelanjakan harta pada perkara yang tidak halal membelanjakan
harta padanya,
َ‫علَ ْي ِه ْم َحس َْرة ً ث ُ َّم يُ ْغلَبُون‬
َ ُ‫سيُن ِفقُونَ َها ث ُ َّم ت َ ُكون‬
َ َ‫ف‬
“Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.” (Q.S.
Al-Anfaal/8: 36).
===
Sumber: Kitab ‫( ا َ ِإل ْسالَ ُم ِديْنٌ َكامِ ٌل‬Islam Agama yang Sempurna) karya Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad
Al-Mukhtar Asy-Syanqithi (1305 H – 1393 H) yang diterbitkan oleh Riyaasah Idaaratil Buhuuts Al-‘Ilmiyyah wal
Ifta’, Riyadh, Kerajaan ‘Arab Saudi; Cet. 2; th. 1423 H / 2002 M.
*Penambahan sub judul oleh redaksi PengusahaMuslim.com
Penerjemah: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Anda mungkin juga menyukai