3014 7039 2 PB
3014 7039 2 PB
1 (2021): 177-203
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
The decision on judicial review of Laws by the Constitutional Court was allegedly not
fully obeyed by the parties affected by the decision. One form of disobedience to the
judicial review decision by the Constitutional Court was shown by the Supreme Court
concerning the decision related to the opening of the opportunity to submit a
Peninjauan Kembali more than once, which was responded by the Supreme Court with
internal regulations which emphasized that Peninjauan Kembali could only be done
once. From the phenomenon, this research tries to trace the concept of judicial
restraint in the practice of judicial power in Indonesia, as well as measuring the
implementation and justification of the concept of judicial restraint in the practice of
judicial power in Indonesia. This is normative legal research that uses secondary
data. The results indicate that the Supreme Court and the Constitutional Court are
expected to have the awareness to apply judicial restraint in the exercise of judicial
review authority.
Keywords: judicial restraint, Constitutional Court, Supreme Court, Indonesia.
Abstrak
Putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi disinyalir tidak
sepenuhnya dipatuhi oleh pihak yang terdampak oleh putusan tersebut. Salah satu
wujud pembangkangan terhadap putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah
Konstitusi ditunjukkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan putusan terkait
dibukanya peluang pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali, yang direspons
oleh Mahkamah Agung dengan peraturan internal yang menegaskan bahwa Peninjuan
Kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Beranjak dari fenomena tersebut, penelitian
ini mencoba mencari jejak konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan
kehakiman di Indonesia, serta menakar implementasi dan justifikasi konsep judicial
restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif yang menggunakan menganalisis data sekunder. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
diharapkan memiliki kesadaran untuk menerapkan judicial restraint dalam
pelaksanaan kewenangan judicial review.
Kata Kunci: judicial restraint, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Indonesia.
I. PENDAHULUAN
1
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).
2
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press, 2008),
hal. 245-246.
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal.
122.
4
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Op.cit., hal. 252.
5
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi
sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan
MK RI, 2004), hal. 4.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 179
Salah satu lembaga negara yang dapat dinilai tidak mematuhi putusan
Mahkamah Konstitusi ialah Mahkamah Agung. Konstelasi yang terjadi antara
keduanya menarik dikaji, mengingat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman. Kondisi yang “tidak harmonis”
tersebut dapat dilihat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-
XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Atas putusan tersebut,
Peninjauan Kembali diperbolehkan lebih dari satu kali. Namun, Mahkamah Agung
kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014
tentang Pembatasan Peninjauan Kembali (SEMA No. 7 Tahun 2014).
Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
dan tingkat Banding tersebut berisikan petunjuk bahwa terkait peninjauan kembali
dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Menurut Mahkamah Agung, Peninjauan
Kembali lebih dari satu kali hanya terbatas pada suatu objek perkara yang terdapat dua
atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain dalam perkara
perdata maupun pidana. Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa jika
ada Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam SEMA No. 10
Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali, Ketua Pengadilan tingkat pertama
diinstruksikan untuk tidak menerima perkara tersebut serta tidak mengirim ke
Mahkamah Agung.
Berdasarkan substansi SEMA tersebut, terlihat bahwa Mahkamah Agung
merespons Putusan a quo tidak dalam kondisi yang menunjukkan adanya kepatuhan
dan penghormatan (judicial deference) terhadap Putusan a quo. SEMA secara implisit
dapat dinilai ditempatkan oleh Mahkamah Agung memiliki kekuatan yang lebih
mengikat dibandingkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Kebijakan Mahkamah Agung
dalam memberi petunjuk kepada pengadilan di semua badan peradilan di bawahnya
berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Padahal sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-
sama melaksanakan fungsi yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Fenomena ini menarik kemudian untuk didekati dengan konsep judicial restraint
yang diintroduksi dalam praktik kekuasaan kehakiman Amerika Serikat. Konsep
judicial restraint adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak
mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain, pengadilan
hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan secara limitatif
berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction). 6 Hal ini menjadi
menarik, mengingat sejatinya dalam pendekatan normatif Putusan a quo merupakan
wujud pelaksanaan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi. Namun, pada sisi yang lain, diakui atau tidak, Putusan a quo secara nyata
“berdampak” pada kewenangan Mahkamah Agung dan direspons dengan tegas oleh
Mahkamah Agung dengan menerbitkan SEMA a quo. Mendasarkan pada uraian
tersebut, menarik untuk diteliti: (a) bagaimana konsep judicial restraint dalam
dinamika kekuasaan kehakiman? (b) bagaimana justifikasi penerapan konsep judicial
restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia?
6
Philip Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22, No. 2, April 1999, hal. 707.
180 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
III. PEMBAHASAN
7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 93-95.
8
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial
Critique of Constitutional Theory”, Notre Dame Law Review, Vol. 90, No. 2, 2014, hal. 636.
9
Jerome A. Barron dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law (Ninth
Edition), (Minnesota: West Academic Publishing, 2013), hal. 3.
10
Philip Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems”, Loc.cit.
11
Jerome A. Barron dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law (Ninth
Edition), Loc.cit.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 181
b. Presumption of constitutionality.
c. Judicial restraint to avoid unnecessary use of judicial review: the court
follows a policy of “strict necessity” before deciding constitutional
questions.
d. Congressional legislation can override prudential (i.e., non-
jurisdictional) limitations.
Walaupun telah berkembang sedemikian rupa, gagasan mengenai judicial
restraint tidak dapat dilepaskan dari pemikiran James Bradley Thayer yang dituangkan
dalam The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law pada
tahun 1893, yang dianggap mayoritas sarjana sebagai cikal bakal konsep judicial
restraint. Thayer mengemukakan gagasan awal judicial restraint bahwa Supreme
Court harus menegakkan Undang-Undang kecuali jika hakim menganggapnya
inkonstitusional, yang mana inkonstitusionalitasnya terlihat teramat jelas. 12 Hal ini
yang dianggap sebagai ajaran Thayer tentang judicial restraint atau yang disebut
Thayerism, atau juga disebut sebagai “rule of the clear mistake”. 13 Thayer
mendasarkan pemikirannya terkait judicial restraint pada “sense and reflection test”.
Jadi, selain menghendaki adanya kejelasan unsur inkonstitusionalitas, Thayer juga
menekankan pada refleksi atas apa yang dialami oleh masyarakat.14
Thayer menegaskan bahwa hakim dalam melaksanakan kewenangannya,
tentunya dalam konteks Amerika Serikat kala itu, setidaknya dihadapkan pada 3 (tiga)
situasi:15
(1) where judges pass upon the validity of the acts of a co-ordinate
department;
(2) where they act as advisers of the other departments;
(3) where as representing a government of paramount authority, they deal
with acts of a department which is not co-ordinate.
Situasi (1) merupakan situasi yang lazim dan tidak menjadi permasalahan. Namun,
berbeda dengan situasi (2) dan (3), yang mana menurut Thayer dalam kedua situasi
inilah seorang hakim harus menahan diri dan secara konsisten mendasarkan pada
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.
Thayer, sebagaimana diuraikan oleh Posner, menawarkan beberapa konsep
pendukung judicial restraint, yaitu:16
First, authorizing courts to invalidate laws enacted by the national
legislature was an American innovation with a thin basis in the
constitutional text, and was still controversial when he wrote. This argued
for prudential restraint; courts must be wary of going head-to-head with
the other branches of government. Second, often a law goes into effect
years before the courts hear a case in which its constitutionality is
challenged or is ripe for adjudication. […] Third, questions relating to the
12
James B. Thayer, “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law”,
Harvard Law Review, Vol. 7, No. 3, Oktober 1893, hal. 144.
13
Alexander M. Bickel, The Last Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of Politics,
(Indiana: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1968), hal. 35.
14
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Boston University Public Interest Law Journal, Vol. 21, No. 1, 2011, hal. 11.
15
James B. Thayer, “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law”,
Op.cit., hal. 153-155.
16
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal, Vol. 59,
No. 1, Januari 1983, hal. 10-18.
182 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
17
Ibid., hal. 10.
18
Ibid.
19
Ibid.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 183
dimaknai bahwa konsep judicial restraint adalah kesadaran terhadap adanya kendala
politik praktis dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kendala politik yang
dihadapi tidak memiliki limitasi yang jelas, namun kendala politik praktis ini
seringkali sangat luas, bahkan lebih luas bila dibandingkan dengan pemaknaan
pembatasan dalam konsep judicial restraint pada varian yang lain.
Adapun definisi (4) lebih menekankan pada kesadaran oleh hakim bahwa
putusan yang dikeluarkan jangan sampai menciptakan kewenangan baru bagi
pengadilan. 20 Hal ini menjadi penting karena kesadaran ini didasarkan pada
pemahaman bahwa putusan yang menambahkan kewenangan pengadilan justru hanya
akan menambah pekerjaan hakim dan membuat peradilan menjadi tidak efektif karena
adanya tambahan beban perkara yang harus diadili oleh hakim. Itulah mengapa
definisi disebut sebagai prudential self-restraint in functional aspect karena
menekankan pada kewenangan pengadilan.
Ketiga, pendefinisian (5) oleh Posner menekankan pada kesadaran hakim bahwa
dalam mengambil putusan cenderung “mengalah” bila terdapat perkara yang berkaitan
dengan cabang kekuasaan negara yang lain, sehingga kewenangan pengadilan seolah-
olah tereduksi.21 Namun demikian, kesadaran ini sebenarnya tidak secara substansial
mengurangi kewenangan pengadilan, namun hanya idiomatis bahwa dengan hakim
menahan diri dalam memutus perkara yang terkait dengan cabang kekuasaan negara
lainnya seolah mengurangi kewenangan pengadilan.
Konstruksi pendefinisian yang dikenalkan oleh Posner sebagai klasifikasi dasar
konsep judicial restraint, sejatinya memiliki irisan bila dikaitkan dengan varian lain
dari konsep judicial restraint, yaitu varian separation of powers self-restraint atau
yang disebut juga sebagai structural restraint, yang menekankan bahwa pengadilan
harus betul-betul menahan diri bila memeriksa perkara yang terkait dengan cabang
kekuasaan negara lainnya, sehingga seolah-olah bentuk menahan diri ini dinilai
mengurangi kewenangan pengadilan. Walaupun tentu berbeda antara tidak
melaksanakan kewenangan sebagai wujud menahan diri dengan tereduksinya
kewenangan karena tidak dilaksanakannya kewenangan.
Hal ini menjadi focal point yang harus dipahami, karena konteks kekuasaan
kehakiman Amerika Serikat yang hidup dalam ajaran common law, yang mana hakim
juga difungsikan sebagai pembuat hukum (judge made law). Dengan demikian, tidak
dilaksanakannya sebuah kewenangan oleh hakim yang dituangkan dalam putusan
dapat menjadi hukum, mengingat dalam praktik common law berlaku asas stare
decesis, 22 sehingga putusan hakim sebelumnya akan diacu oleh hakim selanjutnya
dalam memutus perkara yang sejenis atau mirip.
Dalam perkembangan selanjutnya, Posner kemudian menyebutkan
pengembangan tipologi dari konsep judicial restraint yang paling serius harus
mendapat perhatian adalah:23
(1) judges apply law, they don’t make it (call this “legalism” ~ though
“formalism” is the commoner name ~ or, better, “the law made me do
it”);
(2) judges defer to a very great extent to decisions by other officials ~
appellate judges defer to trial judges and administrative agencies, and
20
Ibid., hal. 11.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, California Law Review,
Vol. 100, No. 3, Juni 2012, hal. 521.
184 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, The University of Toronto Law
Journal, Vol. 60, No. 1, 2010, hal. 29.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 185
32
Ibid., hal. 27.
33
Ibid., hal. 30.
34
Ibid., hal. 34-35.
35
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Loc.cit.
186 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
bahwa tidak terdapat konsistensi dalam menilai kapan judicial restraint dilabeli
sebagai hal yang baik, sedangkan judicial activism dilabeli sebagai hal yang buruk.
Hal ini dikarenakan sangat bergantung pada locus dan tempus ketika hakim memutus.
Namun demikian, hal yang pasti adalah judicial restraint sepenuhnya merupakan
kewenangan hakim untuk melaksanakannya atau tidak melaksanakannya dalam
pengambilan putusan oleh hakim.36
Terkait dengan pengambilan putusan oleh hakim, judicial restraint adalah fitur
yang melekat (pervasive) dalam pengambilan putusan.37 Hal ini sejalan dengan Posner
yang juga menjelaskan bahwa konsep judicial restraint sangat terkait dengan tipologi
hakim ketika mengadili. Posner mengidentifikasi setidaknya terdapat 3 (tiga) tipologi
hakim dalam mengadili, yaitu: (a) formalism; (b) result-oriented; dan (c) principled.38
Hakim dengan tipe formalism akan semata melihat pada hukum yang berlaku. Posner,
dengan mengutip Holmes, menekankan bahwa hakim yang formalist, bukanlah hal
yang baik atau buruk, namun menganggap jebakan formalisme terkadang tidak dapat
dielakkan oleh hakim dalam memutus perkara. Adapun result-oriented menekankan
pada hasil yang ingin dicapai oleh hakim dalam mengambil keputusan. Terkadang
cukup sulit dalam membedakan antara result-oriented dengan principled, dikarenakan
cukup sulit membedakan alasan mengambil suatu putusan karena sang hakim sedang
berorientasi pada hasil atau semata karena hakim mengambil keputusan karena hakim
memiliki preferensi prinsip yang diyakini.
Lebih lanjut, Posner menguraikan bahwa konsep judicial restraint tidak terlepas
tafsir konsepsional yang didasarkan dari pengalaman praksis hakim di Amerika
Serikat, yang mana setidaknya terdapat 4 (empat) sarjana yang pandangannya,
menurut Posner, merupakan pengembangan dari Thayer dan dirasa memberikan warna
pada pengembangan konsep judicial restraint, selain tentunya pandangan Posner
sendiri (walaupun Posner tidak pernah mengakuinya), yaitu:39
Pertama, Oliver Wendell Holmes. Holmes mengusulkan sebuah indikator yang
serupa dengan Thayer,40 namun diartikulasikan secara berbeda oleh Shemtob dengan
adanya test of reasonable doubt, yaitu selama terdapat keraguan yang wajar. 41 Bila
menurut hakim sebuah peraturan konstitusional dan hakim meyakini hal tersebut maka
tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan yang sebaliknya. Kedua, Louis
Brandeis. Brandeis menekankan adanya sebuah penelitian empiris untuk menilai suatu
perkara, sehingga alasan yang diperoleh lebih scientific daripada semata keyakinan
hakim.42 Brandeis dengan demikian berusaha membawa ilmu sosial ke dalam praktik
kekuasaan kehakiman. Meskipun hal ini mungkin membuat putusan yang baik,
namun, usaha semacam itu tampaknya cukup bertentangan dengan konsep judicial
restraint. Empirical test ala Brandeis menurut Shemtob tidak memberikan jawaban
yang jelas mengenai apa yang hakim harus lakukan jika sebuah perkara jelas
inkonstitusional, namun data penelitian sosial menunjukkan sebaliknya.43
36
Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, Op.cit., hal. 23.
37
Ibid., hal. 24.
38
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 2-10.
39
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial
Critique of Constitutional Theory”, Op.cit., hal. 634.
40
Ibid.
41
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Op.cit., hal. 12.
42
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 526.
43
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Op.cit., hal. 19.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 187
44
Ibid., hal. 22.
45
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 530.
46
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Op.cit., hal. 23.
47
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 531.
48
Ibid.
49
J. Clifford Wallace, “Jurisprudence of Judicial Restraint: A Return to the Moorings”, George
Washington Law Review, Vol. 50, 1981, hal. 1-16.
50
Ibid.
51
J. Harvie Wilkinson III, “Of Guns, Abortions, and the Unraveling Rule of Law”, Virginia Law
Review, Vol. 95, No. 2, April 2009, hal. 253-323. Lihat juga Richard A. Posner, “The Rise and Fall of
Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 535.
52
Ibid., hal. 538-539.
188 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
53
Ibid., hal. 540-542.
54
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial
Critique of Constitutional Theory”, Op.cit., hal. 638-644.
55
Larry D. Kramer, “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint”, California Law
Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012, hal. 621.
56
Ibid., hal. 622-623.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 189
57
William Michael Treanor, “Judicial Review before Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58,
No. 2, April 2010, hal. 455-652.
58
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, Op.cit., hal. 672.
59
Björn Dressel, “Courts and Governance in Asia: Exploring Variations and Effects”, Hong
Kong Law Journal, Vol. 42, No. 1, 2012, hal. 101.
60
Ibid.
61
Ibid.
190 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
63
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 10.
64
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, tanggal 12
Oktober 2002, hal. 45.
192 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
Perbandingan suara hakim yang sepakat penegakan asas non-retroaktif dengan yang
menentang menjadi kunci penentuan putusan kelembagaan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 44 ayat (7) UU Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan, “ Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak”. Dengan demikian, hukum positif Indonesia mendesain preferensi suara
hakim yang akan menentukan putusan kelembagaan Mahkamah Konstitusi dalam
melaksanakan kewenangan judicial review.
Pendekatan Ketiga, hakim sadar terhadap hambatan politik praktis dalam
pelaksanaan judicial review. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-
VII/2009 menunjukkan praktik self-restraint dalam hal politik. Putusan tersebut
menyatakan pasal terkait penggunaan hak pilih ditafsirkan konstitusional bersyarat
sehingga memperbolehkan penggunaan KTP dalam pemilihan Presiden tahun 2009.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak
perlu mendengar keterangan dari Pemerintah maupun DPR berdasarkan mendesaknya
waktu mendekati Pilpres dan hak Mahkamah Konstitusi yang dapat meminta
keterangan dan/atau risalah rapat saja dari Pemerintah dan/atau DPR. Bahkan dalam
amar putusan, Mahkamah Konstitusi melekatkan seperangkat norma di dalamnya.
Kondisi ini dinilai sebagai sebuah praktik judicial activism yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi karena telah menemukan norma baru dan bersifat mengatur.65
Judicial Activism dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “a philosophy of
judicial decision making whereby judge allow their personal views about public policy
among other factors. To guide their decision, usually with the suggestion that
adherence of their philosophy tend to find constitutional violations and are willing to
ignore precedents”.66
Mahkamah Konstitusi sejatinya menyadari bahwa pengaturan terkait politik,
dalam hal ini pemilihan umum merupakan lingkup batasan lembaga legislatif.
Sehingga dengan masuknya Mahkamah Konstitusi mengatur persyaratan penggunaan
hak politis individu menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melangkah di
luar batasan politik praktis dalam pelaksanaan kewenangannya melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan. Pada tahap ini, Mahkamah Konstitusi memiliki
keterlibatan dalam mega politik dan memunculkan praktik judicial activism. Hal ini
sejalan dengan pendapat Björn Dressel dimana independensi MK dalam memutus
perkara sangat tinggi, serta dipadukan dengan keterlibatan MK dalam mega-politik
juga tinggi. Dengan demikian, MK telah menjumpai kondisi dimana seyogyanya
menerapkan judicial restraint sebagaimana pendekatan yang dikemukakan oleh
Posner, namun prinsip tersebut tidak diimplementasikan.
Pendekatan Keempat, hakim sadar bahwa putusan yang dikeluarkan jangan
sampai menciptakan kewenangan baru bagi pengadilan. Akan tetapi pada pelaksanaan
kewenangan judicial review yang dimilikinya, tercatat ada yang menerapkan prinsip
prudential self-restraint yang bertipe functional ini namun ada pula yang
mengabaikan. Tahun 2013, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas
permohonan pengujian Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali
Materi dan Status Hukum MPR Tahun 1960 sampai 2002 yang dimohonkan
65
Martitah, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2013), hal. 153.
66
Bryan A. Garner dan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Eight Edition), (Texas:
West, 2004), hal. 862.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 193
67
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013, tanggal 10
September 2013.
68
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 11.
69
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 1
Februari 2010.
194 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.70
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi pada
Pasal 24C ayat (1) harus dikaitkan dengan Pasal 22E, sehingga kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang mencakup pemilihan umum tidak termasuk pemilihan
kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota). Hal ini dikarenakan pemilihan kepala
daerah bukan termasuk rezim pemilu, namun masuk pada rezim pemerintahan daerah.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi mengurangi kewenangan yang dilekatkan
padanya dimana hal ini berkaitan dengan lembaga negara lain.
Sebelumnya, berdasar Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), “keberatan terhadap penetapan
hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Adapun
pengalihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang
semula berasal dari Mahkamah Agung berubah ke Mahkamah Konstitusi bermula dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang pada
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada pembentuk
undang-undang untuk memperluas makna pemilihan umum, yang juga mencakup
pemilihan kepala daerah. Putusan ini menjadi dasar perumusan norma di UU Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dengan memasukkan
pemilihan kepala daerah sebagai rezim Pemilu. Pada akhirnya, Pasal 236C UU Nomor
12 Tahun 2008 menegaskan adanya pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung
ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, terlihat secara jelas bahwa Mahkamah
Konstitusi telah mengimplementasikan self-restraint dalam pendekatan kelima oleh
Posner, yakni mengurangi kewenangan sistem yudisial, dalam hal ini kewenangan
penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah.
Selain praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung
juga mengurangi kewenangan yang dimilikinya dalam hal hak uji formil peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini
terlihat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Hak Uji Materiil (PerMA Nomor 1 Tahun 2011) yang menegaskan pengujian di
Mahkamah Agung “hanya” terkait uji materiil. Objek permohonan yang diajukan ke
Mahkamah Agung sesuai Pasal 1 angka 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ialah permohonan keberatan, yang hanya
melingkupi keberlakuan materi muatan. Hal ini tentu tidak selaras dengan apa yang
diatur dalam Konstitusi, mengingat kewenangan Mahkamah Agung secara tegas ialah
“pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang”. Pengujian atau review pada hakikatnya meliputi pengujian formil dan
materiil, namun PerMA Nomor 1 Tahun 2011 justru meniadakan kewenangan
Mahkamah Agung yang telah diatur dalam konstitusi.
Berbeda dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi lebih
dari sekali melakukan praktik pengabaian prinsip self-restraint dengan pendekatan
yang kelima ini. Perkara pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi serta pengujian
undang-undang penetapan Perppu Mahkamah Konstitusi menjadi contoh praktik
pengabaian self-restraint. Perkara pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi mencuat
dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 yang di dalamnya Mahkamah Konstitusi
70
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, tanggal 19
Mei 2014.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 195
menegaskan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan pengertian hakim yang diawasi
Komisi Yudisial. 71 Putusan ini diambil Mahkamah Konstitusi dengan mendasarkan
beberapa alasan, pertama alasan original intent perumusan Pasal 24B terkait
pengawasan Komisi Yudisial tidak memiliki keterkaitan dengan ketentuan mengenai
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan penolakan
atas segala upaya pengawasan Hakim Konstitusi karena akan mengganggu
pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus persengketaan
lembaga negara, terlebih jika salah satu pihak adalah lembaga yang mengawasi
Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi telah
melakukan a contrario dari definisi pendekatan kelima, “to reduce the power of his
court system relative to that of other branches of government” karena telah
mengurangi kewenangan lembaga negara lain, yakni Komisi Yudisial dalam hubungan
dengan lembaga Mahkamah Konstitusi terkait pengawasan Hakim Konstitusi.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga mengabaikan self-restraint pada
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 72 Putusan ini dapat
disebut sebagai putusan yang menunjukkan luasnya kewenangan Mahkamah
Konstitusi, karena menghilangkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK)
sebagai wujud sistem pengawasan (eksternal) terhadap Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi tidak hanya menghilangkan kewenangan pengawasan yang
melekat pada suatu kelembagaan, namun juga meniadakan kelembagaan tersebut.
Putusan tersebut berimplikasi pada pengawasan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh
internal Mahkamah Konstitusi sendiri, yaitu oleh Dewan Etik.
Kedua putusan tersebut menegaskan bentuk tidak diterapkannya pendekatan
kelima self-restraint karena menghilangkan kewenangan lembaga lain yang memiliki
keterkaitan dengan pelaksanaan sistem yudisial. Pendekatan kelima Posner ini sangat
berkaitan dengan potensi persengketaan kewenangan yudisial dengan lembaga negara
lain, sehingga self-restraint perlu diterapkan untuk menghindari hal tersebut. Menurut
Ni’matul Huda, perkara pengawasan eksternal terhadap Hakim Konstitusi tersebut
dikategorikan sebagai sengketa lembaga negara melalui pengujian undang-undang.73
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga yudisial, dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan self-restraint maupun pengabaian
prinsip tersebut sesuai dengan kelima definisi pendekatan yang diajukan oleh Posner.
3.2.2. Menakar Justifikasi Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia
Berpijak pada penelusuran kesesuaian antara praktik kekuasaan kehakiman
dengan klasifikasi dasar konsep judicial restraint pada pembahasan sebelumnya, maka
selanjutnya pembahasan diarahkan pada aspek menakar justifikasi dan rasionalitas
penerapan judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Justifikasi penerapan judicial restraint, sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya, didasarkan pada penalaran yudisial (judicial reasoning) menurut
71
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 16
Agustus 2006.
72
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 11
Februari 2014.
73
Ni’matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di
Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2016), hal. 330.
196 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
Kavanagh, yang terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu alasan substantif dan
alasan institusional.74 Alasan substantif bertumpu terkait substansi dari kewenangan,
sedangkan alasan institusional bertumpu pada peran lembaga yudikatif pada
perkembangan demokrasi konstitusional. Alasan institusional setidaknya dapat dilihat
dari indikator: (1) keahlian yudisial; (2) pembentukan peraturan yang inkremental; (3)
legitimasi kelembagaan; dan (4) reputasi yudisial.
Mendasarkan pada alasan dan indikator atas alasan tersebut, maka dapat
diuraikan justifikasi judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di
Indonesia sebagai berikut: Alasan Substantif, Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi relatif memiliki alasan substantif yang kuat karena kewenangan dalam
judicial review langsung diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Agung
melaksanakan kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal
24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
mana ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor
14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Adapun
Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana ketentuan
lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003
jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
Alasan Institusional Pertama, keahlian yudisial. Dalam rangka menilai
keahlian yudisial antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sejatinya cukup
sulit untuk dilakukan. Terlebih Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, yang
mana hal ini perwujudan dari asas ius curia novit. Dengan demikian, dapat dikatakan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan selalu menerima perkara yang
datang kepadanya sesuai dengan kewenangannya dalam pengujian peraturan
perundang-undangan. Sejatinya bila memang hendak melihat kapasitas yudisial dapat
dengan melakukan penelusuran terhadap pertimbangan hakim pada setiap putusan
yang dikeluarkan. Namun, kualitas pertimbangan hakim akan sangat bergantung pada
perkara yang ditangani dan komposisi hakim yang menangani perkara, sehingga
penilaian terhadap kapasitas kelembagaan yudikatif dalam menangani perkara relatif
sulit untuk dapat dilakukan karena harus dilakukan secara holistik dalam kurun waktu
yang spesifik dengan memperhatikan karakteristik case by case yang sangat kasuistik.
Alasan Institusional Kedua, pembentukan peraturan yang inkremental.
Inkremental dimaknai secara linguistik adalah berkembang sedikit demi sedikit secara
teratur.75 Sifat inkremental dalam pembentukan peraturan memang menjadi hal tidak
dapat terelakkan, terlebih karena pergulatan politik yang sangat dipengaruhi oleh
konstelasi partai politik di DPR. Namun demikian, dalam konteks Indonesia alasan
kelembagaan ini hanya dapat diaplikasikan pada Mahkamah Konstitusi sebagai
74
Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, Op.cit., hal. 27.
75
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Inkremental, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inkremental>, diakses 19 Mei 2020.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 197
76
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (2)
dan (3) jo. Pasal 4 ayat (1).
77
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 5.
78
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 10-28.
79
United Nation, Universal Declaration of Human Right, Article 6.
80
United Nation, International Covenant on Civil and Political Rights, Article 25.
198 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
81
Syukri Asyari, et al., Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta: Pengelolaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013), hal. 4.
82
Patricia Saraswati, Tanpa Pengawas, Lembaga Negara Tak Patuh Putusan MK,
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170820201044-12-236066/tanpa-pengawas-lembaga-
negara-tak-patuh-putusan-mk/>, diakses 19 Mei 2020. Lihat juga Yulistyo Pratomo, SETARA Institute
Sebut Banyak Putusan MK yang Tak Dipatuhi, <https://www.merdeka.com/peristiwa/setara-institute-
sebut-banyak-putusan-mk-yang-tak-dipatuhi.html>, diakses 19 Mei 2020.
83
Lihat Edward Febriyatri Kusuma, LeIP: Celaka Banget yang Ngeyel Putusan MA Itu DPD,
<https://news.detik.com/berita/d-3464593/leip-celaka-banget-yang-ngeyel-putusan-ma-itu-dpd/>,
diakses 19 Mei 2020.
84
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 5.
85
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 10-28.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 199
pengujian peraturan di Mahkamah Agung yang tidak memanggil para pihak yang
berperkara, tentu hal ini menjadi pertanyaan yang patut ditelusuri lebih lanjut, berapa
jangka waktu beracara dalam pengujian peraturan di Mahkamah Agung, apakah
dengan tidak dipanggilnya para pihak, maka asas peradilan cepat memang dapat
diwujudkan atau tidak.
Kedua, keberlakuan putusan. Keberlakuan putusan yang dimaksud adalah
kapankah putusan pengujian peraturan berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat.
Hal ini relevan untuk menjadi indikator reputasi yudisial karena terkait dengan
pengambilan putusan dan menghasilkan putusan yang menstimulasi kepercayaan
publik. Dalam praktik pengujian peraturan UU di Mahkamah Konstitusi, putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno
terbuka untuk umum.86 Dengan demikian keberlakuan putusan pada pengujian UU di
Mahkamah Konstitusi seketika sejak dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum
langsung berlaku. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan praktik di pengujian
peraturan di Mahkamah Agung yang dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah atau tidak berlaku
untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera
pencabutannya. 87 Hal ini patut untuk diteliti lebih lanjut, mengapa putusan atas
pengujian regeling diperlakukan layaknya putusan gugatan atas sebuah beschikking
yang menerapkan asas a contrario actus. 88 Bahkan dalam hal instansi pembentuk
peraturan enggan untuk melaksanakan kewajibannya untuk mencabut, peraturan
perundang-undangan baru mempunyai kekuatan hukum terhitung 90 (sembilan puluh)
hari setelah putusan dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan.89
Mendasarkan pada analisis di atas, setidaknya dapat disimpulkan dalam tabel
berikut terkait justifikasi penerapan konsep judicial restraint pada kekuasaan
kehakiman di Indonesia:
Tabel 1. Justifikasi Penerapan Konsep Judicial Restraint pada Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia
Lembaga Kekuasaan
Penalaran Kehakiman
Indikator Sub-Indikator
Yudisial Mahkamah Mahkamah
Agung Konstitusi
Pengaturan dalam
√ √
Konstitusi
Substantif Alas Kewenangan Pengaturan dalam
√ √
Legislasi
Peraturan Pelaksanaan √ √
Pertimbangan Hakim
Keahlian Yudisial ∞ ∞
dalam Putusan
Institusional Pembentukan
Peraturan yang - X √
Inkremental
86
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 39.
87
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 6 ayat (2).
88
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116.
89
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 8 ayat (2).
200 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
Lembaga Kekuasaan
Penalaran Kehakiman
Indikator Sub-Indikator
Yudisial Mahkamah Mahkamah
Agung Konstitusi
Keterbukaan Proses
X √
Beracara
Legitimasi
Keterbukaan Putusan
Kelembagaan X √
sebagai Informasi Publik
Akseptabilitas Putusan √ X
Hukum Acara Pengujian
Peraturan Perundang- X √
Reputasi Yudisial
undangan
Keberlakuan Putusan X √
Sumber: Diolah Penulis, 2020.
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, eksplanasi konsep judicial restraint dalam dinamika cabang kekuasaan
kehakiman tidak dapat dilepaskan dari introduksi dan pengembangan konsep judicial
restraint dari praktik ketatanegaraan Amerika Serikat. Terlebih bila dikaitkan bahwa
konsep judicial restraint hidup dan berkembang pada praktik judicial review dalam
kekuasaan kehakiman Amerika Serikat, khususnya pada federal judicial hierarchy.
Konsep judicial restraint dibebankan kepada lembaga kekuasaan kehakiman untuk
90
Tri Sulistyowati, et al., Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-Undang
di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan, Laporan Hasil Penelitian Kompetitif Tahun 2019 kerja
sama Mahkamah Konstitusi RI dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi RI, 2019), hal. 52-82.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 201
4.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Pertama, putusan
pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus didasari pada
konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk menyinggung cabang
kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk menyinggung sesama pelaksana
kekuasaan kehakiman. Kedua, kesadaran Mahkamah Konstitusi untuk turut serta
menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan penghormatan yudisial
(judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal ini menjadi upaya yang patut dicoba mengingat sudah terdapat penelitian yang
menunjukkan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta diikuti dan
dilaksanakan oleh pihak yang terdampak oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005).
Asyari, Syukri, et al., Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta:
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2013).
Barron, Jerome A., dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law
(Ninth Edition), (Minnesota: West Academic Publishing, 2013).
202 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021
Bickel, Alexander M., The Last Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of
Politics, (Indiana: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1968).
Garner, Bryan A., dan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Eight
Edition), (Texas: West, 2004).
Huda, Ni’matul, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di
Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2016).
_____________, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali
Press, 2008).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah
Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya,
(Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, 2004).
Martitah, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2013).
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007).
Sulistyowati, Tri, et al., Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-
Undang di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan, Laporan Hasil
Penelitian Kompetitif Tahun 2019 kerja sama Mahkamah Konstitusi RI dengan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2019).
Artikel Jurnal
DeGirolami, Marc O., dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and
Judicial Critique of Constitutional Theory”, Notre Dame Law Review, Vol. 90,
No. 2, 2014.
Dressel, Björn, “Courts and Governance in Asia: Exploring Variations and Effects”,
Hong Kong Law Journal, Vol. 42, No. 1, 2012.
Horowitz, Donald L., “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers”, Journal
of Democracy, Vol. 17, No. 4, Oktober 2006.
Kavanagh, Aileen, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, The University of
Toronto Law Journal, Vol. 60, No. 1, 2010.
Kramer, Larry D., “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint”, California
Law Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012.
Posner, Richard A., “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal,
Vol. 59, No. 1, Januari 1983.
_______________, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, California Law
Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012.
Shemtob, Zachary Baron, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial
Restraint”, Boston University Public Interest Law Journal, Vol. 21, No. 1, 2011.
Talmadge, Philip, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22, No. 2,
April 1999.
Thayer, James B., “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional
Law”, Harvard Law Review, Vol. 7, No. 3, Oktober 1893.
Treanor, William Michael, “Judicial Review before Marbury”, Stanford Law Review,
Vol. 58, No. 2, April 2010.
Wallace, J. Clifford, “Jurisprudence of Judicial Restraint: A Return to the Moorings”,
George Washington Law Review, Vol. 50, 1981.
Wilkinson III, J. Harvie, “Of Guns, Abortions, and the Unraveling Rule of Law”,
Virginia Law Review, Vol. 95, No. 2, April 2009.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 203
Artikel Internet
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Inkremental, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inkremental>,
diakses 19 Mei 2020.
Kusuma, Edward Febriyatri, LeIP: Celaka Banget yang Ngeyel Putusan MA Itu DPD,
<https://news.detik.com/berita/d-3464593/leip-celaka-banget-yang-ngeyel-
putusan-ma-itu-dpd/>, diakses 19 Mei 2020.
Pratomo, Yulistyo, SETARA Institute Sebut Banyak Putusan MK yang Tak Dipatuhi,
<https://www.merdeka.com/peristiwa/setara-institute-sebut-banyak-putusan-mk-
yang-tak-dipatuhi.html>, diakses 19 Mei 2020.
Saraswati, Patricia, Tanpa Pengawas, Lembaga Negara Tak Patuh Putusan MK,
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170820201044-12-236066/tanpa-
pengawas-lembaga-negara-tak-patuh-putusan-mk/>, diakses 19 Mei 2020.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak
Uji Materiil.
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
tanggal 16 Agustus 2006.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003,
tanggal 12 Oktober 2002.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014,
tanggal 11 Februari 2014.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009,
tanggal 1 Februari 2010.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013,
tanggal 10 September 2013.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013,
tanggal 19 Mei 2014.
Dokumen Lain
United Nation, International Covenant on Civil and Political Rights.
United Nation, Universal Declaration of Human Right.