Anda di halaman 1dari 27

Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No.

1 (2021): 177-203
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

MENCARI JEJAK KONSEP JUDICIAL RESTRAINT DALAM PRAKTIK


KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

Dian Agung Wicaksono*, Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu**


*,** Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Korespondensi: dianagung@ugm.ac.id, andi.sandi@ugm.ac.id
Naskah dikirim: 20 Mei 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 22 Agustus 2020

Abstract
The decision on judicial review of Laws by the Constitutional Court was allegedly not
fully obeyed by the parties affected by the decision. One form of disobedience to the
judicial review decision by the Constitutional Court was shown by the Supreme Court
concerning the decision related to the opening of the opportunity to submit a
Peninjauan Kembali more than once, which was responded by the Supreme Court with
internal regulations which emphasized that Peninjauan Kembali could only be done
once. From the phenomenon, this research tries to trace the concept of judicial
restraint in the practice of judicial power in Indonesia, as well as measuring the
implementation and justification of the concept of judicial restraint in the practice of
judicial power in Indonesia. This is normative legal research that uses secondary
data. The results indicate that the Supreme Court and the Constitutional Court are
expected to have the awareness to apply judicial restraint in the exercise of judicial
review authority.
Keywords: judicial restraint, Constitutional Court, Supreme Court, Indonesia.

Abstrak
Putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi disinyalir tidak
sepenuhnya dipatuhi oleh pihak yang terdampak oleh putusan tersebut. Salah satu
wujud pembangkangan terhadap putusan pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah
Konstitusi ditunjukkan oleh Mahkamah Agung terkait dengan putusan terkait
dibukanya peluang pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali, yang direspons
oleh Mahkamah Agung dengan peraturan internal yang menegaskan bahwa Peninjuan
Kembali hanya dapat dilakukan satu kali. Beranjak dari fenomena tersebut, penelitian
ini mencoba mencari jejak konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan
kehakiman di Indonesia, serta menakar implementasi dan justifikasi konsep judicial
restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif yang menggunakan menganalisis data sekunder. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
diharapkan memiliki kesadaran untuk menerapkan judicial restraint dalam
pelaksanaan kewenangan judicial review.
Kata Kunci: judicial restraint, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Indonesia.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no1.3014
178 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

I. PENDAHULUAN

Konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia memberikan konsekuensi logis


bahwa hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Konsepsi ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), “Negara Indonesia adalah
negara hukum” 1 , setelah sebelumnya hanya dituangkan dalam penjelasan. Dalam
kaitannya dengan negara hukum demokratis, Hans Kelsen mengargumentasikan empat
syarat rechtsstaat, yaitu: (a) negara yang kehidupannya sejalan dengan konstitusi dan
undang-undang, yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen, anggota-anggota
parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat; (b) negara yang mengatur
mekanisme pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan
oleh elite negara; (c) negara yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; dan
(d) negara yang melindungi hak-hak asasi manusia. 2 Lebih lanjut, International
Commission of Jurist menempatkan beberapa prinsip yang dianggap penting, yaitu: (a)
negara harus tunduk pada hukum; (b) pemerintah menghormati hak-hak individu; dan
(c) peradilan yang bebas dan tidak memihak. 3 Pencirian atas unsur-unsur negara
hukum tersebut menunjukkan bahwa adanya lembaga peradilan yang bebas dan tidak
memihak merupakan satu hal selalu harus ada.
Dalam konteks Indonesia, kekuasaan kehakiman terbagi menjadi dua cabang,
yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung
dan cabang peradilan konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. 4
Keduanya memiliki tugas dan wewenang masing-masing, dan memiliki kedudukan
yang setara karena Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah penyelenggara
dari kekuasaan kehakiman. Adapun keberadaan Mahkamah Agung sudah ada sejak
negara Indonesia berdiri, berbeda dengan eksistensi Mahkamah Konstitusi yang baru
muncul pada perubahan ketiga UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi
tersebut dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah yang terjadi
dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya namun belum tersedia mekanisme
penyelesaiannya.5
Pada pelaksanaannya, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memeriksa,
memutus, dan mengadili perkara mengalami perkembangan dalam pelaksanaan fungsi
yudisial. Hal ini dapat dilihat dari berbagai putusan yang dikeluarkan Mahkamah
Konstitusi yang memuat adanya penambahan norma baru (positive legislature),
munculnya bentuk putusan bersyarat, tidak adanya mekanisme pengawasan eksternal
hakim konstitusi, serta berbagai putusan yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi
yudisial cabang kekuasaan kehakiman. Kondisi ini kemudian direspons pro-kontra di
kalangan akademisi, bahkan lembaga negara lain ada yang tidak mengindahkan
putusan tersebut. Padahal, salah satu sifat putusan Mahkamah Konstitusi ialah erga
omnes, artinya putusan mengikat dan harus dipatuhi dan mengikat secara umum.

1
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).
2
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Press, 2008),
hal. 245-246.
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal.
122.
4
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Op.cit., hal. 252.
5
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi
sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan
MK RI, 2004), hal. 4.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 179

Salah satu lembaga negara yang dapat dinilai tidak mematuhi putusan
Mahkamah Konstitusi ialah Mahkamah Agung. Konstelasi yang terjadi antara
keduanya menarik dikaji, mengingat Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman. Kondisi yang “tidak harmonis”
tersebut dapat dilihat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-
XI/2013 yang mencabut Pasal 263 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Atas putusan tersebut,
Peninjauan Kembali diperbolehkan lebih dari satu kali. Namun, Mahkamah Agung
kemudian mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014
tentang Pembatasan Peninjauan Kembali (SEMA No. 7 Tahun 2014).
Surat Edaran yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama
dan tingkat Banding tersebut berisikan petunjuk bahwa terkait peninjauan kembali
dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali. Menurut Mahkamah Agung, Peninjauan
Kembali lebih dari satu kali hanya terbatas pada suatu objek perkara yang terdapat dua
atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain dalam perkara
perdata maupun pidana. Lebih lanjut, Mahkamah Agung juga menegaskan bahwa jika
ada Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam SEMA No. 10
Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali, Ketua Pengadilan tingkat pertama
diinstruksikan untuk tidak menerima perkara tersebut serta tidak mengirim ke
Mahkamah Agung.
Berdasarkan substansi SEMA tersebut, terlihat bahwa Mahkamah Agung
merespons Putusan a quo tidak dalam kondisi yang menunjukkan adanya kepatuhan
dan penghormatan (judicial deference) terhadap Putusan a quo. SEMA secara implisit
dapat dinilai ditempatkan oleh Mahkamah Agung memiliki kekuatan yang lebih
mengikat dibandingkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Kebijakan Mahkamah Agung
dalam memberi petunjuk kepada pengadilan di semua badan peradilan di bawahnya
berseberangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.
Padahal sebagaimana diketahui, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sama-
sama melaksanakan fungsi yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Fenomena ini menarik kemudian untuk didekati dengan konsep judicial restraint
yang diintroduksi dalam praktik kekuasaan kehakiman Amerika Serikat. Konsep
judicial restraint adalah upaya dari cabang kekuasaan kehakiman untuk tidak
mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan yang lain, pengadilan
hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan secara limitatif
berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction). 6 Hal ini menjadi
menarik, mengingat sejatinya dalam pendekatan normatif Putusan a quo merupakan
wujud pelaksanaan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi. Namun, pada sisi yang lain, diakui atau tidak, Putusan a quo secara nyata
“berdampak” pada kewenangan Mahkamah Agung dan direspons dengan tegas oleh
Mahkamah Agung dengan menerbitkan SEMA a quo. Mendasarkan pada uraian
tersebut, menarik untuk diteliti: (a) bagaimana konsep judicial restraint dalam
dinamika kekuasaan kehakiman? (b) bagaimana justifikasi penerapan konsep judicial
restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia?

II. METODE PENELITIAN

6
Philip Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22, No. 2, April 1999, hal. 707.
180 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Penelitian dilakukan melalui penelitian hukum, dengan mengkaji dan


menganalisis peraturan perundang-undangan atau bahan hukum lain yang berkaitan
dengan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Penelitian hukum ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan
(statutory approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).7
Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder atau data yang diperoleh melalui
bahan kepustakaan, sehingga metode pengumpulan data dilaksanakan dengan
melakukan kajian terhadap buku, artikel, hasil penelitian, dan peraturan perundang-
undangan, serta pendapat ahli yang berkaitan dengan konsep judicial restraint dalam
pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Pengumpulan data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini difokuskan pada: (a) bahan hukum primer, berupa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan tema penelitian; dan (b) bahan hukum
sekunder, berupa buku referensi dan jurnal terkait dengan tema penelitian dan
menguraikan lebih lanjut bahan hukum primer dalam konteks dikotomi teoritik dan
implementasi. Data yang terkait dengan konsep judicial restraint dalam pelaksanaan
kekuasaan kehakiman dianalisis secara deskriptif kualitatif.

III. PEMBAHASAN

3.1. Eksplanasi Konsep Judicial Restraint dalam Dinamika Cabang Kekuasaan


Kehakiman
Introduksi dan pengembangan konsep judicial restraint (atau seringkali disebut
judicial self-restraint dalam literatur, yang membedakan adalah penekanan atas
pembatasan yang dilakukan berasal dari internal) tidak dapat dilepaskan dari praktik
ketatanegaraan Amerika Serikat. Terlebih bila dikaitkan bahwa konsep judicial
restraint hidup dan berkembang pada praktik judicial review dalam kekuasaan
kehakiman Amerika Serikat, khususnya pada federal judicial hierarchy. 8 Menurut
Barron dan Dienes, konsep judicial restraint dibebankan kepada lembaga kekuasaan
kehakiman untuk menentukan persyaratan dan kebijakan dalam penerapannya pada
kewenangan judicial review, sehingga hal ini sering disebut sebagai justiciability.9
Judicial restraint menurut Philip Talmadge adalah upaya dari cabang kekuasaan
kehakiman untuk tidak mengadili perkara yang dapat mengganggu cabang kekuasaan
yang lain, pengadilan hanya diperkenankan untuk mengadili perkara yang ditentukan
secara limitatif berdasarkan hukum sebagai kewenangannya (limited jurisdiction).10
Konsep judicial restraint, menurut Barron dan Dienes, masuk dalam kategori policy
limitation, spesifik dalam konteks kewenangan judicial review, yang meliputi 4
(empat) aspek:11
a. Rules for constitutional review: the Ashwander rules (Ashwander v.
Tennessee Valley, 1963) are used to avoid unnecessary constitutional
decisions.

7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 93-95.
8
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial
Critique of Constitutional Theory”, Notre Dame Law Review, Vol. 90, No. 2, 2014, hal. 636.
9
Jerome A. Barron dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law (Ninth
Edition), (Minnesota: West Academic Publishing, 2013), hal. 3.
10
Philip Talmadge, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems”, Loc.cit.
11
Jerome A. Barron dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law (Ninth
Edition), Loc.cit.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 181

b. Presumption of constitutionality.
c. Judicial restraint to avoid unnecessary use of judicial review: the court
follows a policy of “strict necessity” before deciding constitutional
questions.
d. Congressional legislation can override prudential (i.e., non-
jurisdictional) limitations.
Walaupun telah berkembang sedemikian rupa, gagasan mengenai judicial
restraint tidak dapat dilepaskan dari pemikiran James Bradley Thayer yang dituangkan
dalam The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law pada
tahun 1893, yang dianggap mayoritas sarjana sebagai cikal bakal konsep judicial
restraint. Thayer mengemukakan gagasan awal judicial restraint bahwa Supreme
Court harus menegakkan Undang-Undang kecuali jika hakim menganggapnya
inkonstitusional, yang mana inkonstitusionalitasnya terlihat teramat jelas. 12 Hal ini
yang dianggap sebagai ajaran Thayer tentang judicial restraint atau yang disebut
Thayerism, atau juga disebut sebagai “rule of the clear mistake”. 13 Thayer
mendasarkan pemikirannya terkait judicial restraint pada “sense and reflection test”.
Jadi, selain menghendaki adanya kejelasan unsur inkonstitusionalitas, Thayer juga
menekankan pada refleksi atas apa yang dialami oleh masyarakat.14
Thayer menegaskan bahwa hakim dalam melaksanakan kewenangannya,
tentunya dalam konteks Amerika Serikat kala itu, setidaknya dihadapkan pada 3 (tiga)
situasi:15
(1) where judges pass upon the validity of the acts of a co-ordinate
department;
(2) where they act as advisers of the other departments;
(3) where as representing a government of paramount authority, they deal
with acts of a department which is not co-ordinate.
Situasi (1) merupakan situasi yang lazim dan tidak menjadi permasalahan. Namun,
berbeda dengan situasi (2) dan (3), yang mana menurut Thayer dalam kedua situasi
inilah seorang hakim harus menahan diri dan secara konsisten mendasarkan pada
kewenangan yang diberikan oleh konstitusi.
Thayer, sebagaimana diuraikan oleh Posner, menawarkan beberapa konsep
pendukung judicial restraint, yaitu:16
First, authorizing courts to invalidate laws enacted by the national
legislature was an American innovation with a thin basis in the
constitutional text, and was still controversial when he wrote. This argued
for prudential restraint; courts must be wary of going head-to-head with
the other branches of government. Second, often a law goes into effect
years before the courts hear a case in which its constitutionality is
challenged or is ripe for adjudication. […] Third, questions relating to the

12
James B. Thayer, “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law”,
Harvard Law Review, Vol. 7, No. 3, Oktober 1893, hal. 144.
13
Alexander M. Bickel, The Last Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of Politics,
(Indiana: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1968), hal. 35.
14
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Boston University Public Interest Law Journal, Vol. 21, No. 1, 2011, hal. 11.
15
James B. Thayer, “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional Law”,
Op.cit., hal. 153-155.
16
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal, Vol. 59,
No. 1, Januari 1983, hal. 10-18.
182 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

power of the different branches of government are inescapably political,


and so courts have perforce to use political, rather than just legal, criteria
in answering them. […] Fourth, and most important (and implied by his
first two points), if courts enforced constitutional limitations to the hilt,
legislators would stop thinking about the constitutionality of proposed
legislation and just think about how the courts would react.
Beberapa konsep pendukung di atas merupakan konsep yang perlu diperhatikan dalam
penerapan konsep judicial restraint.
Pemikiran Thayer kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Richard A. Posner
yang secara lebih lengkap memberikan variasi terhadap konsep judicial restraint.
Posner pada tahun 1983 dalam The Meaning of Judicial Self-Restraint, menyebutkan
terdapat 3 (tiga) varian dari konsep judicial restraint, yaitu (a) The Basic
Classification; (b) Separation of Powers Self-Restraint; dan (c) Restraint as a
Contingent Good. Lebih spesifik, dalam menjelaskan varian the basic classification,
Posner menyebutkan terdapat lima definisi dari konsep judicial restraint oleh Posner
sebagai bentuk klasifikasi dasar, yaitu:17
(1) A self-restrained, judge does not allow his own views of policy to
influence his decisions.
(2) He is cautious, circumspect, hesitant about intruding those views.
(3) He is mindful of the practical political constraints on the exercise of
judicial power.
(4) His decisions are influenced by a concern lest promiscuous judicial
creation of rights result in so swamping the courts in litigation that
they cannot function effectively.
(5) He wants to reduce the power of his court system relative to that of
other branches of government.
Secara lebih mendetail, Posner menjelaskan maksud dari masing-masing
pendefinisian di atas sebagai berikut: Pertama, definisi (1) dan (2) dapat
dikategorikan sebagai satu kesatuan yang terkait. Hal ini dikarenakan hampir tidak
mungkin hakim dalam memutus sama sekali tidak menggunakan perspektif
personalnya terhadap perkara yang sedang diadili, khususnya dalam pengujian norma
peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, wujud judicial restraint muncul ketika
hakim merasa ragu-ragu dan ketakutan bahwa perspektif personalnya akan
mempengaruhi putusan yang diambilnya. Walaupun demikian, menurut Penulis,
hakim masih dimungkinkan menerapkan definisi judicial restraint bila hakim
mengadili norma yang memang secara naturalia bertentangan dengan kondisi
personalitasnya. Bila hal ini terjadi dan membuat hakim “menahan diri” dalam
mengadili, maka sejatinya pendefinisian judicial restraint dalam wujud (1) dan (2)
telah dilaksanakan. Posner menyebut hakim yang menerapkan definisi (2) sebagai
“deferential judge”.18
Kedua, pendefinisian (3) dan (4) dalam kategori Posner disebut sebagai wujud
“prudential self-restraint”, yang mana definisi (3) dimaknai sebagai “prudential self-
restraint in political aspect” (menahan diri dengan kehati-hatian dalam aspek politik),
sedangkan definisi (4) dimaknai sebagai “prudential self-restraint in functional
aspect” (menahan diri dengan kehati-hatian dalam aspek fungsi). 19 Definisi (3)

17
Ibid., hal. 10.
18
Ibid.
19
Ibid.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 183

dimaknai bahwa konsep judicial restraint adalah kesadaran terhadap adanya kendala
politik praktis dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kendala politik yang
dihadapi tidak memiliki limitasi yang jelas, namun kendala politik praktis ini
seringkali sangat luas, bahkan lebih luas bila dibandingkan dengan pemaknaan
pembatasan dalam konsep judicial restraint pada varian yang lain.
Adapun definisi (4) lebih menekankan pada kesadaran oleh hakim bahwa
putusan yang dikeluarkan jangan sampai menciptakan kewenangan baru bagi
pengadilan. 20 Hal ini menjadi penting karena kesadaran ini didasarkan pada
pemahaman bahwa putusan yang menambahkan kewenangan pengadilan justru hanya
akan menambah pekerjaan hakim dan membuat peradilan menjadi tidak efektif karena
adanya tambahan beban perkara yang harus diadili oleh hakim. Itulah mengapa
definisi disebut sebagai prudential self-restraint in functional aspect karena
menekankan pada kewenangan pengadilan.
Ketiga, pendefinisian (5) oleh Posner menekankan pada kesadaran hakim bahwa
dalam mengambil putusan cenderung “mengalah” bila terdapat perkara yang berkaitan
dengan cabang kekuasaan negara yang lain, sehingga kewenangan pengadilan seolah-
olah tereduksi.21 Namun demikian, kesadaran ini sebenarnya tidak secara substansial
mengurangi kewenangan pengadilan, namun hanya idiomatis bahwa dengan hakim
menahan diri dalam memutus perkara yang terkait dengan cabang kekuasaan negara
lainnya seolah mengurangi kewenangan pengadilan.
Konstruksi pendefinisian yang dikenalkan oleh Posner sebagai klasifikasi dasar
konsep judicial restraint, sejatinya memiliki irisan bila dikaitkan dengan varian lain
dari konsep judicial restraint, yaitu varian separation of powers self-restraint atau
yang disebut juga sebagai structural restraint, yang menekankan bahwa pengadilan
harus betul-betul menahan diri bila memeriksa perkara yang terkait dengan cabang
kekuasaan negara lainnya, sehingga seolah-olah bentuk menahan diri ini dinilai
mengurangi kewenangan pengadilan. Walaupun tentu berbeda antara tidak
melaksanakan kewenangan sebagai wujud menahan diri dengan tereduksinya
kewenangan karena tidak dilaksanakannya kewenangan.
Hal ini menjadi focal point yang harus dipahami, karena konteks kekuasaan
kehakiman Amerika Serikat yang hidup dalam ajaran common law, yang mana hakim
juga difungsikan sebagai pembuat hukum (judge made law). Dengan demikian, tidak
dilaksanakannya sebuah kewenangan oleh hakim yang dituangkan dalam putusan
dapat menjadi hukum, mengingat dalam praktik common law berlaku asas stare
decesis, 22 sehingga putusan hakim sebelumnya akan diacu oleh hakim selanjutnya
dalam memutus perkara yang sejenis atau mirip.
Dalam perkembangan selanjutnya, Posner kemudian menyebutkan
pengembangan tipologi dari konsep judicial restraint yang paling serius harus
mendapat perhatian adalah:23
(1) judges apply law, they don’t make it (call this “legalism” ~ though
“formalism” is the commoner name ~ or, better, “the law made me do
it”);
(2) judges defer to a very great extent to decisions by other officials ~
appellate judges defer to trial judges and administrative agencies, and

20
Ibid., hal. 11.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, California Law Review,
Vol. 100, No. 3, Juni 2012, hal. 521.
184 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

all judges to legislative and executive decisions (call this “modesty”,


or “institutional competence”, or “process jurisprudence”);
(3) judges are highly reluctant to declare legislative or executive action
unconstitutional ~ deference is at its zenith when action is challenged
as unconstitutional (call this “constitutional restraint”).
Legalism adalah aliran yang secara tegas memisahkan bahwa kewenangan hakim
adalah menerapkan hukum, hakim tidak membuat hukum (judges apply law, they
don’t make it)24. Adapun modesty menurut Posner adalah aliran yang menandaskan
bahwa pada batas-batas tertentu, hakim harus menghormati keputusan yang diambil
oleh lembaga negara lain. 25 Sedangkan constitutional restraint diartikan Posner
sebagai aliran yang menekankan keengganan yang tinggi oleh lembaga peradilan
untuk membatalkan produk dari pemerintah maupun parlemen. 26 Terlepas dari
pengelompokan aliran dalam konsep judicial restraint, tujuan penerapan konsep ini
menurut Posner adalah satu, yaitu agar lembaga peradilan berhati-hati dalam
menggunakan kewenangannya untuk menguji suatu produk hukum.27 Kehati-hatian ini
tidak lain untuk mempertanggungjawabkan independensi yang melekat pada hakim.
Dalam konteks pengujian konstitusionalitas suatu peraturan perundang-
undangan, judicial restraint diartikan sikap menahan-diri, “[...] governs the extent to
which, or the intensity with which, the courts are willing to scrutinise a legislative
decision and the justification advanced in support of that decision”.28 Sikap menahan
diri bukanlah berarti lembaga peradilan tidak boleh atau menolak untuk menguji suatu
produk hukum, tetapi lebih kepada kapan dan untuk persoalan apa lembaga peradilan
harus menahan diri. Lembaga peradilan menurut Kavanagh harus memiliki ukuran
derajat kewenangan yang dimilikinya sebagai parameter kapan harus bertindak dan
kapan harus menahan diri. 29 Berdasarkan hal tersebut, kesadaran dan sikap batin
hakim sangat berkaitan dalam penerapan judicial restraint, sama halnya ketika
membentuk suatu putusan yang terdapat pertimbangan hakim di dalamnya.
Justifikasi penerapan judicial restraint pada prinsipnya merupakan akar dari
pembatasan institusional pengadilan, bersamaan dengan konsepsi kepatutan hubungan
konstitusional antara legislatif dan yudikatif. 30 Pada sisi yang lain pembatasan
institusional pengadilan menurut Kavanagh sangat terkait dengan penalaran yudisial
(judicial reasoning), yang mana terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu:31
The first is an evaluation of the substantive legal merits of the legal
question before the courts. […] We can refer to these considerations as
“substantive reasons”. […] Also of relevance are what might be called
“institutional reasons”. 'Institutional reasons' engage a judge's view
about the extent and limits of his or her institutional role vis-à-vis
Parliament and the constitutional propriety of judicial intervention in a
particular case. […] The first is a question about the content of rights. The

24
Ibid.
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, The University of Toronto Law
Journal, Vol. 60, No. 1, 2010, hal. 29.
29
Ibid.
30
Ibid.
31
Ibid.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 185

second is a question about the institutional role of the courts in a


constitutional democracy.
Lebih lanjut Kavanagh, menjelaskan 4 (empat) identifikasi institutional reason
untuk menerapkan judicial restraint, yaitu:32
One can identify at least four institutional reasons for judicial restraint.
These are concerns about (1) judicial expertise, (2) the incrementalist
nature of judicial law making, (3) institutional legitimacy, and (4) the
reputation of the courts. […]
The constraint of ‘limited expertise’ reflects the epistemic limitations of the
courts in evaluating certain issues. In situations where judges do not know
(or are unsure about) how a particular issue should be resolved or,
indeed, are unsure what consequences will follow from a particular
decision, such uncertainty may warrant a degree of judicial restraint.
The second reason for restraint arises from the incrementalist nature of
judicial law making. While legislators are relatively free to initiate
legislation on any topic and can engage in radical, root-and-branch
reform of a whole area of law, judges are much more constrained. [...]
Judges are aware that partial reform can be fraught with danger because
it carries the counter-productive or failing to achieve the hoped-for aim.
This concern may give rise to judicial restraint. […]
The third reason for restraint reflects concerns about relative institutional
legitimacy. Sometimes, the courts exercise restraint before interfering with
primary legislation out of a concern that a decision that changed the law
would not be accepted by the public or indeed by the other branches of
government due to the courts' perceived lack democratic legitimacy and
accountability.
The fourth reason is grounded in reputational concerns. When handing
down their decisions, judges have to do so in a way that preserves the
reputation of the courts and inspires public confidence in them as
impartial, fair decision maker.
Mendasarkan pada uraian di atas, maka dapat dilihat faktor yang mempengaruhi
penerapan judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman. Hal yang tidak dapat
dilupakan dari alasan dan faktor di atas adalah bagaimana interplay antara alasan
substantif dan alasan institusional dapat mendorong terwujudnya penerapan judicial
restraint. 33 Namun demikian, kewajiban yudisial untuk peka terhadap peran dan
keterbatasan institusional pengadilan dan untuk mempertimbangkan secara serius
konsekuensi buruk dari putusan pengadilan merupakan sepenuhnya tanggung jawab
moral dari seorang hakim.34
Lebih lanjut, Posner juga menekankan bahwa judicial restraint yang dilakukan
oleh hakim dengan menahan diri dalam pengambilan putusan dianggap sebagai sebuah
kebaikan. 35 Hal ini secara tegas dihadapkan dengan konsep judicial activism yang
diasosiasikan sebagai sebuah keburukan. Walaupun memang Posner juga mengakui

32
Ibid., hal. 27.
33
Ibid., hal. 30.
34
Ibid., hal. 34-35.
35
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Loc.cit.
186 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

bahwa tidak terdapat konsistensi dalam menilai kapan judicial restraint dilabeli
sebagai hal yang baik, sedangkan judicial activism dilabeli sebagai hal yang buruk.
Hal ini dikarenakan sangat bergantung pada locus dan tempus ketika hakim memutus.
Namun demikian, hal yang pasti adalah judicial restraint sepenuhnya merupakan
kewenangan hakim untuk melaksanakannya atau tidak melaksanakannya dalam
pengambilan putusan oleh hakim.36
Terkait dengan pengambilan putusan oleh hakim, judicial restraint adalah fitur
yang melekat (pervasive) dalam pengambilan putusan.37 Hal ini sejalan dengan Posner
yang juga menjelaskan bahwa konsep judicial restraint sangat terkait dengan tipologi
hakim ketika mengadili. Posner mengidentifikasi setidaknya terdapat 3 (tiga) tipologi
hakim dalam mengadili, yaitu: (a) formalism; (b) result-oriented; dan (c) principled.38
Hakim dengan tipe formalism akan semata melihat pada hukum yang berlaku. Posner,
dengan mengutip Holmes, menekankan bahwa hakim yang formalist, bukanlah hal
yang baik atau buruk, namun menganggap jebakan formalisme terkadang tidak dapat
dielakkan oleh hakim dalam memutus perkara. Adapun result-oriented menekankan
pada hasil yang ingin dicapai oleh hakim dalam mengambil keputusan. Terkadang
cukup sulit dalam membedakan antara result-oriented dengan principled, dikarenakan
cukup sulit membedakan alasan mengambil suatu putusan karena sang hakim sedang
berorientasi pada hasil atau semata karena hakim mengambil keputusan karena hakim
memiliki preferensi prinsip yang diyakini.
Lebih lanjut, Posner menguraikan bahwa konsep judicial restraint tidak terlepas
tafsir konsepsional yang didasarkan dari pengalaman praksis hakim di Amerika
Serikat, yang mana setidaknya terdapat 4 (empat) sarjana yang pandangannya,
menurut Posner, merupakan pengembangan dari Thayer dan dirasa memberikan warna
pada pengembangan konsep judicial restraint, selain tentunya pandangan Posner
sendiri (walaupun Posner tidak pernah mengakuinya), yaitu:39
Pertama, Oliver Wendell Holmes. Holmes mengusulkan sebuah indikator yang
serupa dengan Thayer,40 namun diartikulasikan secara berbeda oleh Shemtob dengan
adanya test of reasonable doubt, yaitu selama terdapat keraguan yang wajar. 41 Bila
menurut hakim sebuah peraturan konstitusional dan hakim meyakini hal tersebut maka
tidak ada alasan bagi hakim untuk menyatakan yang sebaliknya. Kedua, Louis
Brandeis. Brandeis menekankan adanya sebuah penelitian empiris untuk menilai suatu
perkara, sehingga alasan yang diperoleh lebih scientific daripada semata keyakinan
hakim.42 Brandeis dengan demikian berusaha membawa ilmu sosial ke dalam praktik
kekuasaan kehakiman. Meskipun hal ini mungkin membuat putusan yang baik,
namun, usaha semacam itu tampaknya cukup bertentangan dengan konsep judicial
restraint. Empirical test ala Brandeis menurut Shemtob tidak memberikan jawaban
yang jelas mengenai apa yang hakim harus lakukan jika sebuah perkara jelas
inkonstitusional, namun data penelitian sosial menunjukkan sebaliknya.43

36
Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, Op.cit., hal. 23.
37
Ibid., hal. 24.
38
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 2-10.
39
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial
Critique of Constitutional Theory”, Op.cit., hal. 634.
40
Ibid.
41
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Op.cit., hal. 12.
42
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 526.
43
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Op.cit., hal. 19.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 187

Ketiga, Felix Frankfurter. Pemikiran Frakfurter menyandarkan konsep judicial


restraint kepada preseden yang ada. Pendekatan ini yang relatif berkembang sampai
saat ini terkait ketertundukan pada preseden yang telah ada sebelumnya. 44 Muncul
pertanyaan yang menggugat pendapat Frankfurter, yaitu derajat preseden yang
dijadikan acuan dan kaitannya dengan konsep stare decisis. Lebih lanjut, Frankfurter
dalam beberapa putusannya pun tidak merujuk pada pendapatnya sendiri mengenai
gagasan judicial restraint yang diajukannya.45 Keempat, Alexander Bickel. Gagasan
Bickel lebih retoris karena mengusung konsep judicial restraint yang didasarkan pada
“principles”, yaitu asas-asas yang berasal dari sejarah pengadilan, putusan masa lalu,
dan kepercayaan diri dalam proses demokrasi, yang “principles” adalah moralitas
tradisi yang dapat ditemukan di dalam diri yang paling dalam. 46 Hal ini membuat
gagasan Bickel hanyalah political idea.47
Dalam pandangan Posner, konsep judicial restraint yang berasal dari Thayerism
saat ini sudah tidak diterapkan dalam praktik kekuasaan kehakiman Amerika Serikat
seiring dengan meninggalnya Bickel pada tahun 1974. 48 Namun demikian, dalam
catatan Posner setidaknya terdapat 2 (dua) hakim yang masih secara konsisten
menerapkan ajaran Thayer, yaitu J. Clifford Wallace dan J. Harvie Wilkinson III.
Wallace menawarkan formula sebagai wujud judicial restraint dalam pengambilan
putusan oleh hakim ketika muncul keragu-raguan, yaitu:49
a. Clarify only as much of the statute as is necessary to decide the case
before the court.
b. Clarify the statute in the fashion that the legislature probably would
have, had the ambiguity been brought to its attention.
c. Follow common-law principles of statutory construction.
d. Clarify the statute in a manner that innovates the least against the
background of prior law, especially in regard to extending causes of
action.
Namun demikian, tawaran Wallace dinilai oleh Posner bukan lagi penjabaran
pemikiran Thayer karena hanya merupakan teknik dalam menginterpretasikan
Undang-Undang. 50 Lebih lanjut, Wilkinson yang dinilai juga menerapkan konsep
judicial restraint ala Thayer dalam putusannya, pun menurut Posner hanya mengikuti
standar Thayer dalam menilai validitas Undang-Undang, namun bukan semangat yang
diusung oleh Thayer. 51 Posner sendiri memiliki penilaian terhadap gagasan Thayer,
yaitu:52
I don't think that any of the Thayerians had any idea how legal analysis
would yield an answer to a question arising under one of the many vague
or archaic provisions of the Constitution. [...] the Thayerians were loose

44
Ibid., hal. 22.
45
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 530.
46
Zachary Baron Shemtob, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial Restraint”,
Op.cit., hal. 23.
47
Richard A. Posner, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 531.
48
Ibid.
49
J. Clifford Wallace, “Jurisprudence of Judicial Restraint: A Return to the Moorings”, George
Washington Law Review, Vol. 50, 1981, hal. 1-16.
50
Ibid.
51
J. Harvie Wilkinson III, “Of Guns, Abortions, and the Unraveling Rule of Law”, Virginia Law
Review, Vol. 95, No. 2, April 2009, hal. 253-323. Lihat juga Richard A. Posner, “The Rise and Fall of
Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 535.
52
Ibid., hal. 538-539.
188 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

constructionists, including Thayer himself. And loose construction, when


applied to a provision of the Constitution, is not a theory, but rather a
license to read into the provision a judge's views of sound policy
responsive to modem problems. It is when judges have such a license that
there is pressure for a doctrine of judicial self-restraint.
Oleh karena itu, kemudian Posner menawarkan gagasan mengenai legal
pragmatism 53 atau disebut juga judicial pragmatism 54 , dengan mengedepankan 8
(delapan) prinsip, yaitu:
1. […] The judge can’t refuse to decide a case just because there is no
guidance in an authoritative text, such as a legislative or constitutional
provision or a binding judicial precedent.
2. Law is not limited to the body of orthodox legal materials, and so the
judicial function cannot be limited to deciding cases in accordance with
those materials.
3. In cases in which the orthodox materials do not yield an answer to the
legal question presented, or in which the answer they yield is
unsatisfactory, the judge's role is legislative: to create new law that
decides this case and governs similar future ones.
4. No master theories are available to guide judges in performing their
lawmaking role in a constitutional case, for there are no logical or
empirical methods of choosing one constitutional theory (originalism,
textualism, "living Constitution," etc. ad nauseam) over another. […]
5. The pragmatist must bear in mind not only the consequences of a
decision for the parties, but also its effects on such systemic values as
continuity, predictability, and stability of legal rules and decisions. […]
6. […] Judges need rules for dealing with uncertainty (burden of proof is
the obvious example of such a rule).
7. The judge is to treat the parties to the case as representative parties,
that is, she is to ignore their relative social standing, personal merits,
and political influence. […]
8. A judicial opinion should state the true grounds of the judge's decision.
[…]
Dalam kerangka akademis, berbagai pendekatan dan gagasan Posner terkait
judicial restraint di atas mendapatkan bantahan dari Larry D. Kramer, yang
menyebutkan bahwa titik tolak perkembangan gagasan konsep judicial restraint bukan
berawal dari pendekatan Thayer dan Thayer tidak pernah membuat argumen baru,
yang mana Thayer hanya kembali menegaskan gagasan Jefferson yang jauh lebih
dahulu bahwa otoritas utama untuk menafsirkan Konstitusi terletak pada orang-orang
(popular constitutionalism) dan bukan dengan pengadilan. 55 Menurut Kramer,
pergeseran konsep dari popular constitutionalism menuju doktrin modern tentang
judicial supremacy-lah yang mengubah perdebatan politik dari tentang siapa yang
harus menafsirkan Konstitusi kepada bagaimana Konstitusi harus ditafsirkan.56

53
Ibid., hal. 540-542.
54
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and Judicial
Critique of Constitutional Theory”, Op.cit., hal. 638-644.
55
Larry D. Kramer, “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint”, California Law
Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012, hal. 621.
56
Ibid., hal. 622-623.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 189

Pendekatan Kramer yang menekankan pada supremasi yudisial inilah yang


dianggap menjadi titik tolak bahwa lembaga yudisial tidak perlu lagi “dipaksa” untuk
menahan diri atau menerapkan judicial restraint, karena konsep supremasi yudisial
telah diterima secara menyeluruh dalam sistem politik Amerika Serikat bahwa
Pengadilan mampu bertindak tanpa kekhawatiran terkait alas kewenangannya.
Diskursus ilmiah ini menjadi hal yang wajar dalam dunia akademis, sebagaimana tidak
pula satu pahamnya kapan judicial review pertama kali dicetuskan di Amerika Serikat,
apakah oleh Marbury atau sebelumnya sudah terdapat praktik judicial review. 57
Terlepas dari semua eksplanasi konsep judicial restraint di atas, namun yang paling
penting judicial restraint bukan semata teori interpretasi konstitusi atau ajudikasi
konstitusional, namun merupakan wujud dari qualities of judicial excellence.58
Spesifik dalam konteks praktik perkembangan konsep judicial restraint di
negara-negara Asia, Björn Dressel mencatat, perkembangan konsep judicial restraint
tidak bisa dilepaskan dengan judicial politics atau yudisialisasi politik dalam area
mega-politics.59 Area mega-politik yang dimaksud adalah kontroversi politik inti yang
menentukan batas-batas kolektif atau memotong melalui jantung seluruh bangsa, yang
meliputi: (a) judicial scrutiny of executive-branch prerogatives (pemeriksaan yudisial
hak prerogatif cabang eksekutif di ranah perencanaan ekonomi makro atau keamanan
nasional); (b) judicialization of electoral processes (peradilan proses pemilihan); (c)
judicial corroboration of regime transformation (persetujuan hukum atas transformasi
rezim); (d) fundamental restorative-justice dilemmas (dilema dalam pemberian
keadilan restoratif); dan (e) judicialization of raison d’être of the polity (peradilan atas
identitas kolektif formatif atau proses pembangunan bangsa).60
Dalam yudisialisasi politik di Asia, konsep judicial restraint menurut Dressel,
memiliki relasi erat dengan konsep yang lain, yaitu judicial activism, judicial
muteness, dan politicization of the judiciary. 61 Berikut adalah pandangan Dressel
terkait kuadran relasi antara keempat konsep tersebut:
Gambar 1. Tipologi Judicial Politics dalam Mega-Politik

Sumber: Björn Dressel, 2012.

57
William Michael Treanor, “Judicial Review before Marbury”, Stanford Law Review, Vol. 58,
No. 2, April 2010, hal. 455-652.
58
Marc O. DeGirolami dan Kevin C. Walsh, Op.cit., hal. 672.
59
Björn Dressel, “Courts and Governance in Asia: Exploring Variations and Effects”, Hong
Kong Law Journal, Vol. 42, No. 1, 2012, hal. 101.
60
Ibid.
61
Ibid.
190 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Gambar di atas mencoba memberikan gambaran hubungan antara derajat


kemandirian yudisial secara de facto dengan derajat keterlibatan yudisial dalam area
mega-politik, yang mana setidaknya melahirkan 4 kondisi yang mendorong lembaga
yudisial menerapkan konsepsi tertentu, yaitu: Pertama, Judicial Restraint. Ketika
derajat kemandirian kekuasaan kehakiman dalam praktik semakin tinggi, namun
dipadukan dengan rendahnya keterlibatan yudisial dalam bidang mega-politik. Hal
cenderung melahirkan kekuasaan kehakiman yang “menahan diri” dalam mengadili
perkara-perkara yang masuk dalam ranah mega politik.
Kedua, Judicial Muteness. Ketika derajat kemandirian kekuasaan kehakiman
dalam praktik rendah, namun dipadukan pula dengan rendahnya keterlibatan yudisial
dalam bidang mega-politik. Hal ini melahirkan lembaga yudisial yang memiliki
kecenderungan “diam” dalam merespons perkara yang terkait dengan bidang mega-
politik. Ketiga, Politicization of the Judiciary. Ketika derajat kemandirian kekuasaan
kehakiman dalam praktik rendah, namun dipadukan dengan tingginya keterlibatan
yudisial dalam bidang mega-politik. Hal ini menjadikan lembaga yudisial yang tidak
bisa merdeka dan memiliki kecenderungan turut dalam arus politik. Keempat,
Judicial Activism. Ketika derajat kemandirian kekuasaan kehakiman dalam praktik
tinggi, namun dipadukan pula dengan tingginya keterlibatan yudisial dalam bidang
mega-politik. Hal ini menciptakan lembaga yudisial yang cenderung “aktif dan berani”
dalam mengadili putusan yang di dalamnya kental nuansa politik.
Pilihan untuk mengaitkan lembaga yudisial dengan keterlibatan di bidang mega-
politik menjadi hal yang tidak dapat dielakkan, karena dalam konteks Asia memang
beberapa negara sedang mengalami fase transisi demokrasi, sehingga cabang
kekuasaan negara seringkali bersinggungan. Kekuasaan kehakiman pada negara
dengan fase transisi demokrasi menurut Horowitz penting untuk menerapkan judicial
restraint dan mengupayakan toleransi antar cabang kekuasaan negara. Persinggungan
antar cabang kekuasaan negara dalam era transisi demokrasi inilah yang membuat
konsep judicial restraint memerlukan kontekstualisasi yang cukup signifikan dalam
konteks negara-negara di Asia.62 Terlebih bagi negara yang menerapkan dual structure
of judiciary, tentu konsep judicial restraint harus disesuaikan bukan semata interplay
antar cabang kekuasaan negara, namun lebih lanjut dalam interplay antara sesama
pelaksana kekuasaan kehakiman.

3.2. Justifikasi Penerapan Konsep Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan


Kehakiman di Indonesia
3.2.1. Menakar Implementasi Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia
Berdasarkan eksplanasi yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya,
pada bagian ini pembahasan diarahkan dalam upaya untuk melihat justifikasi
penerapan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia
melalui analisis terhadap padanan implementasi konsep judicial restraint dalam
praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Praktik yang dimaksud di sini adalah
putusan dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pelaksana kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Indonesia yang dalam UUD NRI Tahun 1945 menggariskan
diaplikasikannya dual structure of judiciary melalui kelembagaan Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi menghadapi dinamika dan problematika tersendiri.

Donald L. Horowitz, “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers”, Journal of


62

Democracy, Vol. 17, No. 4, Oktober 2006, hal. 132-133.


Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 191

Adapun konsep judicial restraint yang dijadikan sebagai acuan dalam


menganalisis putusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga yudikatif adalah
klasifikasi dasar ala Posner dengan 5 (lima) pendekatan, yaitu:63
(1) A self-restrained, judge does not allow his own views of policy to
influence his decisions.
(2) He is cautious, circumspect, hesitant about intruding those views.
(3) He is mindful of the practical political constraints on the exercise of
judicial power.
(4) His decisions are influenced by a concern lest promiscuous judicial
creation of rights result in so swamping the courts in litigation that
they cannot function effectively.
(5) He wants to reduce the power of his court system relative to that of
other branches of government.
Berdasarkan kelima pendekatan di atas, analisis terhadap praktik kekuasaan
kehakiman di Indonesia dapat dianalisis sebagai berikut: Pendekatan Pertama dan
Kedua, hakim menahan diri dengan tidak membiarkan pandangan pribadinya
mempengaruhi putusan yang dibuat dan hakim berhati-hati, ragu akan berpengaruhnya
pandangannya tersebut. Pendekatan Pertama dan Kedua digabungkan, sebagaimana
telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, dapat dikategorikan sebagai satu
kesatuan yang terkait karena hampir tidak mungkin hakim dalam memutus sama sekali
tidak menggunakan perspektif personalnya terhadap perkara yang sedang diadili.
Lebih lanjut, bila hakim merasa ragu-ragu dan takut bahwa perspektif personalnya
akan mempengaruhi putusan yang diambilnya, maka konsep judicial restraint
diperlukan di sana. Dengan berpegang dari pemahaman tersebut, maka Penulis
menggabungkan kedua pendekatan dalam sebagai satu pendekatan dalam menganalisis
praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara
permohonan judicial review yang menunjukkan preferensi cukup tajam dalam
melaksanakan kewenangan yudisial. Diantaranya ialah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 013/PUU-I/2003 yang diputuskan dengan melihat preferensi hakim. Putusan
tersebut memutus perkara permohonan atas pengujian UU Nomor 16 Tahun 2003
yang semula Perppu Nomor 2 Tahun 2002 yang memberlakukan surut UU Nomor 15
Tahun 2003 (semula Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme). Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU Nomor 16 Tahun
2003 yang menilai peristiwa konkret peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober
2002 yang terjadi sebelum undang-undang ditetapkan ialah bertentangan dengan
konsep hukum yang dianut Indonesia. 64 Terdapat lima hakim yang sepakat dengan
pertimbangan tersebut sehingga menyatakan UU Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945. Kelima hakim tersebut kokoh dalam penegakan asas
non-retroaktif dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan
empat orang hakim memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) serta menilai
bahwa penerapan asas non-retroaktif tidak bisa dijalankan secara kaku, dan seharusnya
diterapkan dalam kasus bom di Bali.
Berdasarkan hal tersebut terlihat jika mufakat tidak tercapai dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim, maka pada akhirnya preferensi hakim yang akan digunakan.

63
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 10.
64
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003, tanggal 12
Oktober 2002, hal. 45.
192 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Perbandingan suara hakim yang sepakat penegakan asas non-retroaktif dengan yang
menentang menjadi kunci penentuan putusan kelembagaan Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 44 ayat (7) UU Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan, “ Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak”. Dengan demikian, hukum positif Indonesia mendesain preferensi suara
hakim yang akan menentukan putusan kelembagaan Mahkamah Konstitusi dalam
melaksanakan kewenangan judicial review.
Pendekatan Ketiga, hakim sadar terhadap hambatan politik praktis dalam
pelaksanaan judicial review. Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-
VII/2009 menunjukkan praktik self-restraint dalam hal politik. Putusan tersebut
menyatakan pasal terkait penggunaan hak pilih ditafsirkan konstitusional bersyarat
sehingga memperbolehkan penggunaan KTP dalam pemilihan Presiden tahun 2009.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak
perlu mendengar keterangan dari Pemerintah maupun DPR berdasarkan mendesaknya
waktu mendekati Pilpres dan hak Mahkamah Konstitusi yang dapat meminta
keterangan dan/atau risalah rapat saja dari Pemerintah dan/atau DPR. Bahkan dalam
amar putusan, Mahkamah Konstitusi melekatkan seperangkat norma di dalamnya.
Kondisi ini dinilai sebagai sebuah praktik judicial activism yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi karena telah menemukan norma baru dan bersifat mengatur.65
Judicial Activism dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “a philosophy of
judicial decision making whereby judge allow their personal views about public policy
among other factors. To guide their decision, usually with the suggestion that
adherence of their philosophy tend to find constitutional violations and are willing to
ignore precedents”.66
Mahkamah Konstitusi sejatinya menyadari bahwa pengaturan terkait politik,
dalam hal ini pemilihan umum merupakan lingkup batasan lembaga legislatif.
Sehingga dengan masuknya Mahkamah Konstitusi mengatur persyaratan penggunaan
hak politis individu menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melangkah di
luar batasan politik praktis dalam pelaksanaan kewenangannya melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan. Pada tahap ini, Mahkamah Konstitusi memiliki
keterlibatan dalam mega politik dan memunculkan praktik judicial activism. Hal ini
sejalan dengan pendapat Björn Dressel dimana independensi MK dalam memutus
perkara sangat tinggi, serta dipadukan dengan keterlibatan MK dalam mega-politik
juga tinggi. Dengan demikian, MK telah menjumpai kondisi dimana seyogyanya
menerapkan judicial restraint sebagaimana pendekatan yang dikemukakan oleh
Posner, namun prinsip tersebut tidak diimplementasikan.
Pendekatan Keempat, hakim sadar bahwa putusan yang dikeluarkan jangan
sampai menciptakan kewenangan baru bagi pengadilan. Akan tetapi pada pelaksanaan
kewenangan judicial review yang dimilikinya, tercatat ada yang menerapkan prinsip
prudential self-restraint yang bertipe functional ini namun ada pula yang
mengabaikan. Tahun 2013, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas
permohonan pengujian Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali
Materi dan Status Hukum MPR Tahun 1960 sampai 2002 yang dimohonkan

65
Martitah, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2013), hal. 153.
66
Bryan A. Garner dan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Eight Edition), (Texas:
West, 2004), hal. 862.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 193

Rachmawati Soekarnoputri. 67 Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya


nomor 24/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
melakukan pengujian terhadap Tap MPR. Putusan ini didasarkan pada argumen bahwa
kedudukan Ketetapan MPR/MPRS berada di atas undang-undang dan di bawah
Undang-Undang Dasar, sehingga tidak termasuk dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013 menegaskan
Mahkamah Konstitusi tidak melangkah di luar kewenangan ‘review’ yang diberikan
Konstitusi, yakni terbatas pada undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. MK
telah menerapkan prinsip prudential self-restraint bentuk kedua, yaitu functional.
Pendekatan ini menurut Posner didasarkan pada pengakuan bahwa suatu
keputusan yang menciptakan hak-hak akan mengarah pada menumpuknya perkara
yang dimohonkan sehingga justru akan mengganggu kemampuan pengadilan
melaksanakan fungsinya.68 Jika Mahkamah Konstitusi menyatakan dirinya berwenang
menguji Tap MPR, akan menambah beban Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan
fungsinya dalam judicial review. Hal ini akan berdampak pada kinerja Mahkamah
Konstitusi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang justru berpotensi
terbengkalai jika ada penafsiran penambahan kewenangan dan fungsi Mahkamah
Konstitusi. Padahal kewenangan Mahkamah Konstitusi tak hanya mengadili dan
memutus perkara judicial review saja, namun masih ada tiga kewenangan serta satu
kewajiban sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan UU Mahkamah Konstitusi.
Berbeda dengan putusan mengenai Tap MPR, Mahkamah Konstitusi pun tidak
menerapkan prudential self-restraint dengan adanya pendapat hakim MK yang
menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu). Asal mula diperbolehkannya Mahkamah
Konstitusi menguji Perppu ialah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
138/PUU-VII/2009, meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan para pemohon tidak
memiliki legal standing sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan,
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum menjelaskan bahwa Perppu dapat
diujikan ke Mahkamah Konstitusi. 69 Mahkamah Konstitusi beralasan Perppu
melahirkan norma hukum baru sehingga dapat menimbulkan tiga kondisi: (a) status
hukum baru; (b) hubungan hukum baru; dan (c) akibat hukum baru. Oleh karena dapat
menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-
undang, maka terhadap norma yang ada dalam Perppu dapat diuji oleh Mahkamah
Konstitusi. Dengan adanya pertimbangan tersebut, terlihat bahwa Mahkamah
Konstitusi memperluas kewenangannya untuk dapat pula menguji Perppu. Uraian ini
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia,
khususnya dalam hal judicial review, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam
melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman yang dimilikinya.
Pendekatan Kelima, hakim dalam mengambil putusan cenderung
“mengalah” bila terdapat perkara yang berkaitan dengan cabang kekuasaan negara
yang lain. Mahkamah Konstitusi telah menerapkan self-restraint maupun menegasikan
prinsip ini berdasarkan pendekatan kelima. Dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi
menerapkan self-restraint dapat ditemui dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
97/PUU-XI/2013 tentang pengujian Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang

67
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013, tanggal 10
September 2013.
68
Richard A. Posner, “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Op.cit., hal. 11.
69
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 1
Februari 2010.
194 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.70
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi pada
Pasal 24C ayat (1) harus dikaitkan dengan Pasal 22E, sehingga kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang mencakup pemilihan umum tidak termasuk pemilihan
kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota). Hal ini dikarenakan pemilihan kepala
daerah bukan termasuk rezim pemilu, namun masuk pada rezim pemerintahan daerah.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi mengurangi kewenangan yang dilekatkan
padanya dimana hal ini berkaitan dengan lembaga negara lain.
Sebelumnya, berdasar Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), “keberatan terhadap penetapan
hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Adapun
pengalihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang
semula berasal dari Mahkamah Agung berubah ke Mahkamah Konstitusi bermula dari
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 yang pada
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada pembentuk
undang-undang untuk memperluas makna pemilihan umum, yang juga mencakup
pemilihan kepala daerah. Putusan ini menjadi dasar perumusan norma di UU Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dengan memasukkan
pemilihan kepala daerah sebagai rezim Pemilu. Pada akhirnya, Pasal 236C UU Nomor
12 Tahun 2008 menegaskan adanya pengalihan kewenangan dari Mahkamah Agung
ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, terlihat secara jelas bahwa Mahkamah
Konstitusi telah mengimplementasikan self-restraint dalam pendekatan kelima oleh
Posner, yakni mengurangi kewenangan sistem yudisial, dalam hal ini kewenangan
penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah.
Selain praktik yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung
juga mengurangi kewenangan yang dimilikinya dalam hal hak uji formil peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini
terlihat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Hak Uji Materiil (PerMA Nomor 1 Tahun 2011) yang menegaskan pengujian di
Mahkamah Agung “hanya” terkait uji materiil. Objek permohonan yang diajukan ke
Mahkamah Agung sesuai Pasal 1 angka 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ialah permohonan keberatan, yang hanya
melingkupi keberlakuan materi muatan. Hal ini tentu tidak selaras dengan apa yang
diatur dalam Konstitusi, mengingat kewenangan Mahkamah Agung secara tegas ialah
“pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang”. Pengujian atau review pada hakikatnya meliputi pengujian formil dan
materiil, namun PerMA Nomor 1 Tahun 2011 justru meniadakan kewenangan
Mahkamah Agung yang telah diatur dalam konstitusi.
Berbeda dengan Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi lebih
dari sekali melakukan praktik pengabaian prinsip self-restraint dengan pendekatan
yang kelima ini. Perkara pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi serta pengujian
undang-undang penetapan Perppu Mahkamah Konstitusi menjadi contoh praktik
pengabaian self-restraint. Perkara pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi mencuat
dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 yang di dalamnya Mahkamah Konstitusi
70
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, tanggal 19
Mei 2014.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 195

menegaskan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan pengertian hakim yang diawasi
Komisi Yudisial. 71 Putusan ini diambil Mahkamah Konstitusi dengan mendasarkan
beberapa alasan, pertama alasan original intent perumusan Pasal 24B terkait
pengawasan Komisi Yudisial tidak memiliki keterkaitan dengan ketentuan mengenai
Mahkamah Konstitusi. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan penolakan
atas segala upaya pengawasan Hakim Konstitusi karena akan mengganggu
pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus persengketaan
lembaga negara, terlebih jika salah satu pihak adalah lembaga yang mengawasi
Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi telah
melakukan a contrario dari definisi pendekatan kelima, “to reduce the power of his
court system relative to that of other branches of government” karena telah
mengurangi kewenangan lembaga negara lain, yakni Komisi Yudisial dalam hubungan
dengan lembaga Mahkamah Konstitusi terkait pengawasan Hakim Konstitusi.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga mengabaikan self-restraint pada
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 72 Putusan ini dapat
disebut sebagai putusan yang menunjukkan luasnya kewenangan Mahkamah
Konstitusi, karena menghilangkan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK)
sebagai wujud sistem pengawasan (eksternal) terhadap Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi tidak hanya menghilangkan kewenangan pengawasan yang
melekat pada suatu kelembagaan, namun juga meniadakan kelembagaan tersebut.
Putusan tersebut berimplikasi pada pengawasan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh
internal Mahkamah Konstitusi sendiri, yaitu oleh Dewan Etik.
Kedua putusan tersebut menegaskan bentuk tidak diterapkannya pendekatan
kelima self-restraint karena menghilangkan kewenangan lembaga lain yang memiliki
keterkaitan dengan pelaksanaan sistem yudisial. Pendekatan kelima Posner ini sangat
berkaitan dengan potensi persengketaan kewenangan yudisial dengan lembaga negara
lain, sehingga self-restraint perlu diterapkan untuk menghindari hal tersebut. Menurut
Ni’matul Huda, perkara pengawasan eksternal terhadap Hakim Konstitusi tersebut
dikategorikan sebagai sengketa lembaga negara melalui pengujian undang-undang.73
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lembaga yudisial, dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan self-restraint maupun pengabaian
prinsip tersebut sesuai dengan kelima definisi pendekatan yang diajukan oleh Posner.
3.2.2. Menakar Justifikasi Judicial Restraint dalam Praktik Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia
Berpijak pada penelusuran kesesuaian antara praktik kekuasaan kehakiman
dengan klasifikasi dasar konsep judicial restraint pada pembahasan sebelumnya, maka
selanjutnya pembahasan diarahkan pada aspek menakar justifikasi dan rasionalitas
penerapan judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Justifikasi penerapan judicial restraint, sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya, didasarkan pada penalaran yudisial (judicial reasoning) menurut

71
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 16
Agustus 2006.
72
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, tanggal 11
Februari 2014.
73
Ni’matul Huda, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di
Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2016), hal. 330.
196 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Kavanagh, yang terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu alasan substantif dan
alasan institusional.74 Alasan substantif bertumpu terkait substansi dari kewenangan,
sedangkan alasan institusional bertumpu pada peran lembaga yudikatif pada
perkembangan demokrasi konstitusional. Alasan institusional setidaknya dapat dilihat
dari indikator: (1) keahlian yudisial; (2) pembentukan peraturan yang inkremental; (3)
legitimasi kelembagaan; dan (4) reputasi yudisial.
Mendasarkan pada alasan dan indikator atas alasan tersebut, maka dapat
diuraikan justifikasi judicial restraint dalam praktik kekuasaan kehakiman di
Indonesia sebagai berikut: Alasan Substantif, Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi relatif memiliki alasan substantif yang kuat karena kewenangan dalam
judicial review langsung diatribusikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Agung
melaksanakan kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal
24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
mana ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor
14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil. Adapun
Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangan untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar sebagaimana ketentuan Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana ketentuan
lebih lanjut mengenai kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003
jo. UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian
Undang-Undang.
Alasan Institusional Pertama, keahlian yudisial. Dalam rangka menilai
keahlian yudisial antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sejatinya cukup
sulit untuk dilakukan. Terlebih Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, yang
mana hal ini perwujudan dari asas ius curia novit. Dengan demikian, dapat dikatakan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi akan selalu menerima perkara yang
datang kepadanya sesuai dengan kewenangannya dalam pengujian peraturan
perundang-undangan. Sejatinya bila memang hendak melihat kapasitas yudisial dapat
dengan melakukan penelusuran terhadap pertimbangan hakim pada setiap putusan
yang dikeluarkan. Namun, kualitas pertimbangan hakim akan sangat bergantung pada
perkara yang ditangani dan komposisi hakim yang menangani perkara, sehingga
penilaian terhadap kapasitas kelembagaan yudikatif dalam menangani perkara relatif
sulit untuk dapat dilakukan karena harus dilakukan secara holistik dalam kurun waktu
yang spesifik dengan memperhatikan karakteristik case by case yang sangat kasuistik.
Alasan Institusional Kedua, pembentukan peraturan yang inkremental.
Inkremental dimaknai secara linguistik adalah berkembang sedikit demi sedikit secara
teratur.75 Sifat inkremental dalam pembentukan peraturan memang menjadi hal tidak
dapat terelakkan, terlebih karena pergulatan politik yang sangat dipengaruhi oleh
konstelasi partai politik di DPR. Namun demikian, dalam konteks Indonesia alasan
kelembagaan ini hanya dapat diaplikasikan pada Mahkamah Konstitusi sebagai

74
Aileen Kavanagh, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, Op.cit., hal. 27.
75
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Inkremental, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inkremental>, diakses 19 Mei 2020.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 197

lembaga yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD, karena UU dibentuk


bersama oleh legislatif dan eksekutif. Sedangkan, Mahkamah Agung relatif tidak
terdampak dengan ancaman inkrementalisme dalam pembentukan peraturan karena
Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU yang
notabene dibentuk secara mandiri oleh eksekutif. Pun, Mahkamah Agung mempunyai
kewenangan menguji Peraturan Daerah, namun DPRD dan Kepala Daerah sebagai
pembentuk Peraturan Daerah adalah bagian dari kekuasaan eksekutif. 76 Sekalipun
anggota DPRD juga berasal dari partai politik, namun lingkup materi pengaturan
dalam Peraturan Daerah terbatas sesuai kewenangan yang diberikan yang tidak
diperkenankan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Alasan Institusional Ketiga, legitimasi kelembagaan. Wujud dari legitimasi
kelembagaan dalam pelaksanaan kewenangan yudisial adalah terkait keterbukaan dan
akseptabilitas putusan. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung masing-masing
memiliki catatan untuk alasan kelembagaan ini, yaitu: Catatan Pertama, keterbukaan
proses beracara. Proses beracara yang dimaksud adalah proses beracara dalam
pengujian peraturan perundang-undangan, yang mana pengujian peraturan perundang-
undangan pada Mahkamah Agung tidak mengakomodasi adanya sidang yang
menghadirkan para pihak yang berperkara.77 Hal ini berbeda dengan proses beracara
pada pengujian UU di Mahkamah Konstitusi yang memanggil para pihak berperkara
pada persidangan, yang secara prinsip terbuka untuk umum. 78 Perbedaan ini tentu
menjadi permasalahan tersendiri karena terkait asas keterbukaan dalam
penyelenggaraan peradilan. Tanpa adanya persidangan yang menghadirkan para pihak,
hakim tidak dapat menggali keterangan yang bisa jadi memiliki keterbatasan bila
dituangkan dalam pernyataan tertulis. Hal ini tentu menjadi catatan dalam politik
hukum pengujian peraturan di Indonesia, mengapa dalam menguji yang norma
regeling terdapat perbedaan proses beracara.
Catatan Kedua, keterbukaan putusan sebagai informasi publik. Hal ini menjadi
salah satu indikator karena akses terhadap putusan hakim merupakan salah satu bentuk
dari “the right to a fair trial” yang dituangkan dalam Article 6 dari Universal
Declaration of Human Right pada tahun 1948,79 yang dijabarkan lebih lanjut dalam
Article 25 dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 80
Mahkamah Agung dapat dinilai relatif belum memberikan akses secara penuh kepada
publik untuk dapat mengakses pusat data putusan yang pernah diputus. Pun ada, upaya
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mengunggah putusan pada laman resmi
Mahkamah Agung hanyalah putusan baru yang belum sistematis dan lengkap. Hal ini
merupakan catatan yang relatif serius, mengingat salah satu wujud
pertanggungjawaban hakim dilihat melalui pertimbangan dalam putusan yang
dibuatnya. Hal ini berbeda dengan tata kelola putusan pengujian UU pada Mahkamah
Konstitusi, yang mana putusan dapat langsung diakses oleh publik pasca putusan
dibacakan pada persidangan yang terbuka untuk umum melalui laman resmi
Mahkamah Konstitusi.

76
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 ayat (2)
dan (3) jo. Pasal 4 ayat (1).
77
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 5.
78
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 10-28.
79
United Nation, Universal Declaration of Human Right, Article 6.
80
United Nation, International Covenant on Civil and Political Rights, Article 25.
198 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Catatan Ketiga, akseptabilitas putusan. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah


Agung masing-masing memiliki catatan bila dikaitkan dengan akseptabilitas putusan.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Mahkamah
Konstitusi, diindikasikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkadang diragukan
efektivitasnya karena ada kecenderungan tidak dipatuhi dan diabaikan oleh addressat
putusan.81 Hal tersebut secara konsisten terjadi di Mahkamah Konstitusi hingga saat
ini.82 Sedikit berbeda dengan praktik di Mahkamah Konstitusi dengan beban perkara
pengujian yang relatif besar, putusan pengujian peraturan di Mahkamah Agung jarang
mendapatkan sorotan pemberitaan publik mengenai aspek akseptabilitasnya. Hal ini
sedikit banyak juga dipengaruhi karena tidak terdapatnya sidang yang menghadirkan
para pihak yang berperkara. Namun demikian, terdapat catatan yang perlu
diperhatikan dalam praktik pada Mahkamah Agung ketika putusannya justru tidak
diikuti oleh pihak yang memohonkan pengujian.83
Alasan Institusional Keempat, reputasi yudisial. Reputasi yudisial menekankan
pada proses pengambilan putusan yang mendorong terbangunnya kepercayaan publik
pada putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Berikut terdapat beberapa hal-hal yang
berkaitan dengan putusan, yang patut diperhatikan dalam menilai alasan kelembagaan
ini, yaitu: Pertama, hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Hukum
acara pengujian peraturan perundang-undangan yang dirancang dan ditentukan secara
internal oleh lembaga yudikatif dapat dijadikan salah satu tolak ukur dalam menilai
reputasi yudisial. Hukum acara pengujian peraturan pada Mahkamah Agung tidak
mengakomodasi adanya sidang yang menghadirkan para pihak yang berperkara. 84 Hal
ini membuat pihak yang berperkara dan masyarakat umum tidak mengetahui
perkembangan perkara sampai hakim mengeluarkan putusan. Hal ini menjadi catatan
serius bagi pelaksanaan pengujian peraturan di Mahkamah Agung. Hal ini berbeda
dengan pengujian peraturan pada Mahkamah Konstitusi yang mengadakan sidang
dengan menghadirkan para pihak. 85 Perbedaan ini tentu menjadi permasalahan
tersendiri karena terkait asas keterbukaan dalam penyelenggaraan peradilan.
Selain permasalahan ada atau tidaknya sidang, baik Mahkamah Agung maupun
Mahkamah Konstitusi sama-sama tidak memiliki indikator berapa lama suatu perkara
diputus. Betul memang dalam konteks Mahkamah Konstitusi, yang mana jangka
waktu beracara sangat bergantung pada durasi pembuktian yang diajukan oleh para
pihak, jangka waktu menjadi hal yang relatif sulit untuk diukur. Namun, hal yang lain
yang patut diperhatikan misalnya ketika perkara telah selesai proses pembuktiannya
dan memasuki tahapan Rapat Permusyawaratan Hakim, tidak terdapat ukuran berapa
lama suatu putusan harus segera dibacakan. Namun, bila mencermati hukum acara

81
Syukri Asyari, et al., Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta: Pengelolaan Teknologi
Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013), hal. 4.
82
Patricia Saraswati, Tanpa Pengawas, Lembaga Negara Tak Patuh Putusan MK,
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170820201044-12-236066/tanpa-pengawas-lembaga-
negara-tak-patuh-putusan-mk/>, diakses 19 Mei 2020. Lihat juga Yulistyo Pratomo, SETARA Institute
Sebut Banyak Putusan MK yang Tak Dipatuhi, <https://www.merdeka.com/peristiwa/setara-institute-
sebut-banyak-putusan-mk-yang-tak-dipatuhi.html>, diakses 19 Mei 2020.
83
Lihat Edward Febriyatri Kusuma, LeIP: Celaka Banget yang Ngeyel Putusan MA Itu DPD,
<https://news.detik.com/berita/d-3464593/leip-celaka-banget-yang-ngeyel-putusan-ma-itu-dpd/>,
diakses 19 Mei 2020.
84
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 5.
85
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 10-28.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 199

pengujian peraturan di Mahkamah Agung yang tidak memanggil para pihak yang
berperkara, tentu hal ini menjadi pertanyaan yang patut ditelusuri lebih lanjut, berapa
jangka waktu beracara dalam pengujian peraturan di Mahkamah Agung, apakah
dengan tidak dipanggilnya para pihak, maka asas peradilan cepat memang dapat
diwujudkan atau tidak.
Kedua, keberlakuan putusan. Keberlakuan putusan yang dimaksud adalah
kapankah putusan pengujian peraturan berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat.
Hal ini relevan untuk menjadi indikator reputasi yudisial karena terkait dengan
pengambilan putusan dan menghasilkan putusan yang menstimulasi kepercayaan
publik. Dalam praktik pengujian peraturan UU di Mahkamah Konstitusi, putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno
terbuka untuk umum.86 Dengan demikian keberlakuan putusan pada pengujian UU di
Mahkamah Konstitusi seketika sejak dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum
langsung berlaku. Hal ini menjadi bertolak belakang dengan praktik di pengujian
peraturan di Mahkamah Agung yang dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut tidak sah atau tidak berlaku
untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera
pencabutannya. 87 Hal ini patut untuk diteliti lebih lanjut, mengapa putusan atas
pengujian regeling diperlakukan layaknya putusan gugatan atas sebuah beschikking
yang menerapkan asas a contrario actus. 88 Bahkan dalam hal instansi pembentuk
peraturan enggan untuk melaksanakan kewajibannya untuk mencabut, peraturan
perundang-undangan baru mempunyai kekuatan hukum terhitung 90 (sembilan puluh)
hari setelah putusan dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan.89
Mendasarkan pada analisis di atas, setidaknya dapat disimpulkan dalam tabel
berikut terkait justifikasi penerapan konsep judicial restraint pada kekuasaan
kehakiman di Indonesia:
Tabel 1. Justifikasi Penerapan Konsep Judicial Restraint pada Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia
Lembaga Kekuasaan
Penalaran Kehakiman
Indikator Sub-Indikator
Yudisial Mahkamah Mahkamah
Agung Konstitusi
Pengaturan dalam
√ √
Konstitusi
Substantif Alas Kewenangan Pengaturan dalam
√ √
Legislasi
Peraturan Pelaksanaan √ √
Pertimbangan Hakim
Keahlian Yudisial ∞ ∞
dalam Putusan
Institusional Pembentukan
Peraturan yang - X √
Inkremental

86
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 39.
87
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 6 ayat (2).
88
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 116.
89
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji
Materiil, Pasal 8 ayat (2).
200 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Lembaga Kekuasaan
Penalaran Kehakiman
Indikator Sub-Indikator
Yudisial Mahkamah Mahkamah
Agung Konstitusi
Keterbukaan Proses
X √
Beracara
Legitimasi
Keterbukaan Putusan
Kelembagaan X √
sebagai Informasi Publik
Akseptabilitas Putusan √ X
Hukum Acara Pengujian
Peraturan Perundang- X √
Reputasi Yudisial
undangan
Keberlakuan Putusan X √
Sumber: Diolah Penulis, 2020.

Mencermati tabel di atas dapat disimpulkan justifikasi penerapan konsep judicial


restraint pada praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia. Mahkamah Agung
disinyalir relatif lebih membutuhkan untuk menerapkan judicial restraint dengan
melihat pelaksanaan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan selama
ini. Tabel di atas setidaknya menunjukkan bahwa Mahkamah Agung “masih
memerlukan” judicial restraint sebagai upaya peningkatan kinerja yudisial. Tabel di
atas tidak dapat dijadikan tolak ukur apakah judicial restraint telah dilakukan oleh
Mahkamah Agung atau belum. Bisa jadi pula hakim agung dalam kelembagaan
Mahkamah Agung telah menerapkan judicial restraint, namun implikasinya tidak
ditangkap oleh tabel di atas, karena instrumen dalam judicial reasoning memang
difokuskan untuk menilai apakah judicial restraint masih diperlukan atau tidak untuk
diterapkan.
Putusan pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus
didasari pada konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk menyinggung
cabang kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk menyinggung sesama
pelaksana kekuasaan kehakiman. Kesadaran Mahkamah Konstitusi untuk turut serta
menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan penghormatan yudisial
(judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal ini menjadi upaya yang patut dicoba mengingat sudah terdapat penelitian yang
menunjukkan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta merta diikuti dan
dilaksanakan oleh pihak yang terdampak oleh putusan Mahkamah Konstitusi.90

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian dan analisis di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, eksplanasi konsep judicial restraint dalam dinamika cabang kekuasaan
kehakiman tidak dapat dilepaskan dari introduksi dan pengembangan konsep judicial
restraint dari praktik ketatanegaraan Amerika Serikat. Terlebih bila dikaitkan bahwa
konsep judicial restraint hidup dan berkembang pada praktik judicial review dalam
kekuasaan kehakiman Amerika Serikat, khususnya pada federal judicial hierarchy.
Konsep judicial restraint dibebankan kepada lembaga kekuasaan kehakiman untuk

90
Tri Sulistyowati, et al., Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-Undang
di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan, Laporan Hasil Penelitian Kompetitif Tahun 2019 kerja
sama Mahkamah Konstitusi RI dengan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi RI, 2019), hal. 52-82.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 201

menentukan persyaratan dan kebijakan dalam penerapannya pada kewenangan judicial


review. Namun demikian, konsep judicial restraint perlu disesuaikan dengan konteks
ketatanegaraan yang spesifik bila hendak menerapkan konsep judicial restraint.
Kedua, justifikasi penerapan konsep judicial restraint dalam praktik kekuasaan
kehakiman di Indonesia ditelusuri dengan menggunakan penalaran yudisial (judicial
reasoning) menurut Kavanagh, yang terbangun dari 2 (dua) pertimbangan, yaitu alasan
substantif dan alasan institusional. Mahkamah Agung disinyalir relatif lebih
membutuhkan untuk menerapkan judicial restraint dengan melihat pelaksanaan
kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan selama ini. Mahkamah Agung
“masih memerlukan” judicial restraint sebagai upaya peningkatan kinerja yudisial.
Analisis dengan mendasarkan pada penalaran yudisial (judicial reasoning) menurut
Kavanagh tidak dapat dijadikan tolak ukur apakah judicial restraint telah dilakukan
oleh Mahkamah Agung atau belum. Bisa jadi pula hakim agung dalam kelembagaan
Mahkamah Agung telah menerapkan judicial restraint, namun implikasinya tidak
ditangkap oleh tabel di atas, karena instrumen dalam judicial reasoning memang
difokuskan untuk menilai apakah judicial restraint masih diperlukan atau tidak untuk
diterapkan. Putusan pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga
harus didasari pada konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk
menyinggung cabang kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk
menyinggung sesama pelaksana kekuasaan kehakiman. Kesadaran Mahkamah
Konstitusi untuk turut serta menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan
penghormatan yudisial (judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Konstitusi.

4.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Pertama, putusan
pengujian UU yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi juga harus didasari pada
konsep judicial restraint, sehingga menghindari untuk menyinggung cabang
kekuasaan negara yang lain, bahkan terhindar untuk menyinggung sesama pelaksana
kekuasaan kehakiman. Kedua, kesadaran Mahkamah Konstitusi untuk turut serta
menerapkan judicial restraint disinyalir akan menciptakan penghormatan yudisial
(judicial deference) terhadap putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Hal ini menjadi upaya yang patut dicoba mengingat sudah terdapat penelitian yang
menunjukkan konsistensi putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta diikuti dan
dilaksanakan oleh pihak yang terdampak oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005).
Asyari, Syukri, et al., Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta:
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2013).
Barron, Jerome A., dan C. Thomas Dienes, Black Letter Outlines: Constitutional Law
(Ninth Edition), (Minnesota: West Academic Publishing, 2013).
202 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.1 Januari-Maret 2021

Bickel, Alexander M., The Last Dangerous Branch: The Supreme Court at the Bar of
Politics, (Indiana: The Bobbs-Merrill Company Inc., 1968).
Garner, Bryan A., dan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Eight
Edition), (Texas: West, 2004).
Huda, Ni’matul, Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di
Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2016).
_____________, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali
Press, 2008).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah
Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya,
(Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MK RI, 2004).
Martitah, Mahkamah Konstitusi: dari Negative Legislature ke Positive Legislature?,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2013).
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007).
Sulistyowati, Tri, et al., Constitutional Compliance atas Putusan Pengujian Undang-
Undang di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan, Laporan Hasil
Penelitian Kompetitif Tahun 2019 kerja sama Mahkamah Konstitusi RI dengan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2019).

Artikel Jurnal
DeGirolami, Marc O., dan Kevin C. Walsh, “Judge Posner, Judge Wilkinson, and
Judicial Critique of Constitutional Theory”, Notre Dame Law Review, Vol. 90,
No. 2, 2014.
Dressel, Björn, “Courts and Governance in Asia: Exploring Variations and Effects”,
Hong Kong Law Journal, Vol. 42, No. 1, 2012.
Horowitz, Donald L., “Constitutional Courts: A Primer for Decision Makers”, Journal
of Democracy, Vol. 17, No. 4, Oktober 2006.
Kavanagh, Aileen, “Judicial Restraint in the Pursuit of Justice”, The University of
Toronto Law Journal, Vol. 60, No. 1, 2010.
Kramer, Larry D., “Judicial Supremacy and the End of Judicial Restraint”, California
Law Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012.
Posner, Richard A., “The Meaning of Judicial Self-Restraint”, Indiana Law Journal,
Vol. 59, No. 1, Januari 1983.
_______________, “The Rise and Fall of Judicial Self-Restraint”, California Law
Review, Vol. 100, No. 3, Juni 2012.
Shemtob, Zachary Baron, “Following Thayer: The Conflicting Models of Judicial
Restraint”, Boston University Public Interest Law Journal, Vol. 21, No. 1, 2011.
Talmadge, Philip, “Understanding the Limits of Power: Judicial Restraint in General
Jurisdiction Court Systems”, Seattle University Law Review, Vol. 22, No. 2,
April 1999.
Thayer, James B., “The Origin and Scope of the American Doctrine of Constitutional
Law”, Harvard Law Review, Vol. 7, No. 3, Oktober 1893.
Treanor, William Michael, “Judicial Review before Marbury”, Stanford Law Review,
Vol. 58, No. 2, April 2010.
Wallace, J. Clifford, “Jurisprudence of Judicial Restraint: A Return to the Moorings”,
George Washington Law Review, Vol. 50, 1981.
Wilkinson III, J. Harvie, “Of Guns, Abortions, and the Unraveling Rule of Law”,
Virginia Law Review, Vol. 95, No. 2, April 2009.
Mencari Jejak Konsep Judicial Restraint, Dian Agung Wicaksono, Andi Sandi A. T. Tonralipu 203

Artikel Internet
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Inkremental, <https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/inkremental>,
diakses 19 Mei 2020.
Kusuma, Edward Febriyatri, LeIP: Celaka Banget yang Ngeyel Putusan MA Itu DPD,
<https://news.detik.com/berita/d-3464593/leip-celaka-banget-yang-ngeyel-
putusan-ma-itu-dpd/>, diakses 19 Mei 2020.
Pratomo, Yulistyo, SETARA Institute Sebut Banyak Putusan MK yang Tak Dipatuhi,
<https://www.merdeka.com/peristiwa/setara-institute-sebut-banyak-putusan-mk-
yang-tak-dipatuhi.html>, diakses 19 Mei 2020.
Saraswati, Patricia, Tanpa Pengawas, Lembaga Negara Tak Patuh Putusan MK,
<https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170820201044-12-236066/tanpa-
pengawas-lembaga-negara-tak-patuh-putusan-mk/>, diakses 19 Mei 2020.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak
Uji Materiil.
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.

Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
tanggal 16 Agustus 2006.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003,
tanggal 12 Oktober 2002.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014,
tanggal 11 Februari 2014.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009,
tanggal 1 Februari 2010.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XI/2013,
tanggal 10 September 2013.
Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013,
tanggal 19 Mei 2014.

Dokumen Lain
United Nation, International Covenant on Civil and Political Rights.
United Nation, Universal Declaration of Human Right.

Anda mungkin juga menyukai