Anda di halaman 1dari 3

Korea Selatan

1. Korea Selatan merupakan sebuah negara bekas jajahan Jepang yang merdeka pada
tahun 1945 dimana pasca merdeka Korea Selatan berada dibawah pengaruh kuat
Amerika Serikat sampai tahun 1948 dan masih bernama Republik Korea. Setelah
Amerika Serikat memberikan kemerdekaan secara pebuh terhadap Republik Korea
justru hal tersebut menimbulkan perdebatan panas dengan Uni Soviet terkait
pemerintahan yang sah, Korea Utara atau Korea Selatan. Namun Amerika Serikat
kemudian mengambil langkah tegas dengan membawa permasalahan ini ke sidang
umum PBB yang menyatakan Korea Selatan sebagai pemerintahan yang sah sekaligus
menetapkan Syngman Rhee sebagai presiden pertamanya. Dapat dikatakan
pemerintahan Rhee ini sangatlah otoriter dan kerap melanggar UUD dasar Korea Selatan
itu sendiri.
Sehingga kemudian kepemimpinan Rhee ini digantikan oleh Chang Myon. Di era
kepemimpinan Chang Myon ini pemerintahan bisa dikatakan lebih demokratis akan
tetapi terdapat permasalahan sosial di Semenanjung Korea yang kemudian terjadilah
kudeta militer yang dipimpin Park Chung Hee pada 1961. Di era Park ini kemudian
demokratisasi semakin meluas dengan dibubarkannya organisasi-organisasi yang
dianggap melanggar HAM di Korea Selatan. Akan tetapi kedok Park sebagai pemimpin
yang demokratis ini tidak berjalan lama karena Park sendiri banyak dipengaruhi oleh
orang-orang dari Democratic Republican Party yang banyak diisi oleh militer yang
berpengaruh pada saat kudeta 1961. Sehingga Park kemudian justru menjadi otoriter
dengan membatasi hak-hak pers dan yang pada puncak ke-otoriterannya Park sampai
mengatur bagaimana masyarakat Korea Selatan harus berpakaian.
Pada era Park ini kebebasan politik juga diatur dalam sebuah hukum partai politik
dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaanya serta yang paling parah adalah ketika
militer menginvasi universitas agar mahasiswanya tidak turun aksi melawan
pemerintahan Park saat itu. Sampai pada akhirnya Park terbunuh pada tahun 1979 dan
kemudian dilanjutkan oleh Chun Doo Hwan yang gaya kepemimpinannya tidak jauh dari
Park dan berakhir pada 1987 setelah aksi besar-besaran masyarakat Gwangju menuntut
kebebasan. Pemerintahan otoriter berakhir pada 1987 setelah adanya partai oposisi
pemerintah pada 1985 yang kemudian menghasilkan pemilu Majelis Nasional dan
pemilihan presiden tahun 1992. Terpilihnya Presiden tersebut menandai awal
demokratisasi Korea Selatan yang secara resmi dipimpin oleh pemerintahan sipil yaitu
Kim Young Sam yang menggantikan Roh Tae Woo.
Transisi demokratisasi ini bisa dikatakan sebagai transisi replacement karena terdapat
kekuatan rakyat yang menginginkan adanya pergeserab dari pemerintahan otoriter
menuju pemerintahan yang demokratis. Hal tersebut bisa kita lihat dari adanya
Persitiwa Gwangju tahun 1980-an yang sejak peristiwa tersebut menghasilkan oposisi
pemerintah dan berhasil melaksanakan pemilihan presiden pada tahun 1992.
Terpilihnya Kim Young Sam ini merupakan sebuah tonggak awal demokratisasi di Korea
Selatan. Karena rezim-rezim sebelumnya yang otoriter dan banyak didominasi oleh
militer bertransisi ke rezim demokratis yang dipimpin oleh sipil untuk pertama kalinya.
Selanjutnya yaitu pada tahap instalasi dimana Presiden Kim Young Sam pada masa
pemerintahannya kemudian ingin menjadikan demokrasi yang terkonsolidasi di Korea
Selatan. Langkah-langkah yang diambil melalui sebuah kebijakan Korea Baru. Dimana
kebijakan ini kemudian Kim Young Sam membentuk kabinet yang beranggotakan orang-
orang sipil yang bersih. Selain itu, dalam aspek militer Kim Young Sam juga ingin
menegakkan supremasi sipil atas militer salah satunya dengan cara mengganti pejabat-
pejabat miiter yang masih terkait dengan pemerintahan otoriter sebelumnya dan
menghukum mereka yang terlibat pada peristwa Gwangju.
Pada tahap instalasi ini Kim Young Sam ingin membersihkan pemerintahannya dari
praktik-praktik korupsi dan kecurangan. Beberapa kebijakan lainnya adalah yaitu
mewajibkan para pejabat pemerintah maupun miiter wajib untuk melaporkan harta
kekayaanya. Kedua yaitu upaya transparansi dalam transaksi keuangan dimana Kim
Young Sam melalui surat perintahnya pada Agustus 1993 mengharuskan penggunaan
nama asli sebagai transaksi untuk menghindari adanya praktik korupsi oleh pejabat
maupun rakyat yang hendak berbuat kecurangan. Ketiga yaitu Kim Young Sam
merancang sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang pemilu, otonomi daerah,
dan pemberian dana politik terhadap partai politik. Kebijakan tersebut disahkan pada 4
Maret 1994 sebagai upaya untuk mewujudkan demokratisasi yang terkonsolidasi. Selain
itu, Kim Young Sam dengan semangat demokratisasinya kemudian mengabulkan
tuntutan rakyat terhadap para pelaku rezim otoriter antara lain 2 mantan presiden
Korea Selatan sebelumnya yaitu Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo serta para pejabat
militer dan kongomerat yang terlibat dalam peristiwa-peistiwa Gwangju yang memiiki
indikasi melanggar HAM untuk diadili.
Yang terakhir yaitu pada tahap konsolidasi, Korea Selatan pasca kepemimpinan Kim
Young Sam dan sampai saat ini terus melakukan upaya demokratisasi secara penuh.
Pada tahun 2000-an Korea Selatan meberikan kesempatan bagi para buruh untuk
kemudian membuat sebuah aliansi atau gerakan politik melalui partai untuk kemudian
turut berpartisipasi dalam kursi pemerintahan. Upaya ini sangatlah jelas bahwa Korea
Selatan ingin menciptakan sebuah demokrasi yang benar-benar terkonsolidasi. Selain itu
berbagai kebijakan diplomasi kebudayaan seperti Korean Wave untuk memperkenalkan
budaya Korea Selatan, Sunshine Policy yang mana ingin menciptakan stabilitas dalam
negeri maupun kawasan agar demokratisasi tidak runtuh ditengah jalan. Upaya untuk
menciptakan stabilitas kawasan tersebut masih dilakukan sampai era kepemimpinan
saat ini yaitu Moo Jae-In yang terus melakukan reunifikasi dengan Korea Utara untuk
bergabung ke dunia internasional dan mengakhiri ketegangan antara keduanya. Hal
tersebut dilakukan dengan maksud untuk menciptakan demokrasi yang terkonsolidasi
baik dalam maupun luar negeri Korea Selatan.
2. Hubungan sipil-militer di Korea Selatan jika dilihat pada kurun waktu 1948-1987 militer
dapat dikatakan sebagai subjective civilian control, dimana pemerintah pada masa
kepemimpinan rezim otoriter pada kurun waktu tersebut presiden selalu memanfaatkan
militer sebagai pelindung kepentingan politiknya. Misalnya saja pada era Park Chung
Hee yang tidak segan-segan menggunakan kekuatan miiternya untuk menintervensi
lembaga akademik yaitu universitas agar mahasiswanya tidak turun ke jalan untuk
melakukan aksi demonstrasi. Kemudian terjadi pula peristiwa kudeta militer atas
perintah dari Presiden Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo untuk menggulingkan
pemerintahan Park Chung Hee pada tahun 1979. Akan tetapi, jika kita melihat hubungan
sipil-militer Korea Selatan pasca terpilihnya Presiden Kim Young Sam tahun 1992
hubunan sipil-militer tidak lagi subjective civilian control melainkan bjectice civilian
control. Kekuatan militer tidak lagi dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan politik
suatu rezim. Justru pada masa pemerintahan Kim Young Sam dan sampai saat ini militer
di Korea Selatan sudah berfungsi dengan semestinya. Dimana tidak ada lagi intervensi
militer dalam politik begitu juga sebaliknya. Profesionalisme militer di Korea Selatan
sudah mulai diberlakukan pada era Presiden Kim Young Sam salah satunya melalui
kebijakan untuk melaporkan harta kekayaan dan membersihkan militer dari pejabat-
pejabat bekas rezim-rezim otoriter sebelumnya.
3. Korea Selatan dalam perkembangan demokrasinya saat ini tentu jauh lebih demokratis
jika kita bandingkan pada awa-awal kemerdekannya hingga pada tahun 1987.
Demokratisasi di Korea Selatan tentu tidak hanya dalam aspek politik, namun juga pada
aspek ekonomi dan kebudayaannya. Jika kita kaitkan dengan era cyberdemocracy saat
ini tentu kita tidak asing lagi dengan istilah-istilah K-pop atau K-drama sebagai hasil dari
demokratisasi dalam aspek kebudayaan. Korea Selatan ingin memberikan kesan kepada
dunia internasional bahwasanya Korea Selatan adalah negara yang sangat menjnjung
tinggi nilai-nilai kebebasan individu dalam berkereasi. Dimana hal tersebut dibuktikan
dengan dukungannya terhadap industri hiburan yang disebut sebagai Korean Wave yang
sedang digemari di berbagai belahan dunia saat ini.
Selain itu, Korea Selatan yang berhasil melakukan demokratisasi di negaranya kemudian
mencoba melobi Korea Utara dalam upaya reunifikasi agar tidak terjadi lagi ketegangan
diantara keduanya. Maka dengan adanya digitalisasi ini, Korea Selatan terus berupaya
memanfaatkan era cyberdemocracy sebagai sarana untuk membranding negaranya
sekaligus memanfaatkannya untuk memajukan perekonomian dalam negerinya dengan
cara memberikan kebebasan rakyatnya untuk terus berkespresi dan berkarya. Oleh
karenanya, cyberdemocracy di Korea Selatan menurut saya tidak serta merta digunakan
sebagai kepentingan elit politik untuk melanggengkan kekuasannya, lebih jauh lagi
cyberdemocracy di Korea Selatan dijadikan sebagai sarana untuk memaksimalisasi
demokrasi yang ada dengan memberikan kebebasan pers dari intervensi kepentingan
politik tertentu.

Anda mungkin juga menyukai