Anda di halaman 1dari 16

Seorang Laki-laki dengan Fibrilasi Atrium Paroksismal e.c.

Penyakit Jantung Tiroid


e.c. Penyakit Grave

Kelvin Thenedy

102016023

B2

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 11510

E-mail: kelvin.2016fk023@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Fibrilasi atrium merupakan penyakit kardiovaskular yang dicirikan dengan detak jantung yang ireguler.
Para penderita fibrilasi atrium biasanya asimtomatik, memiliki detak jantung yang ireguler, lemah, mudah
lelah saat olahraga, pusing, napas pendek dan nyeri di dada. Etiologi dari penyakit fibrilasi atrium ialah stres
hemodinamik, inflamasi, konsumsi alkohol, kelainan endokrin, faktor umur, dan lainnya. Epidemiologi
penyakit ini biasa lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan, walau berbeda sedikit. Komplikasi
penyakit ini ialah stroke, emboli sistemik, dan bisa meninggal mendadak. Semakin tua umur penderita, maka
semakin besar risiko dan sulit disembuhkan. Pasien dianjurkan menjaga berat badan, tekanan darah, berhenti
merokok, dan mengurangi konsumsi alkohol. Pada kasus ini, pasien didiagnosis menderita fibrilasi atrium
paroksismal akibat hipertiroidisme.

Kata Kunci: Fibrilasi atrium, kardiovaskular, hipertiroidisme

Abstract

Atrial fibrillation is a cardiovascular disease that is characterised by irregular heart rate. Patients
suffering from atrial fibrillation usually is asymptomatic, has irregular heart rate, weak, fatigue,
dizzy,experience dyspneu, and chest pain. Etiology from atrial fibrillation is hemodynamic stress,
inflammation, alcohol, endocrine disorder, aging, etc. Epidemiologically, this disease usually occured more
on men than women, although different a bit. Complication of this disease is stroke, systemic embolism, and
sudden death. The more older the patient, the higher the risk and the harder it is to be cured. Patients are
also suggested to maintain their weight, blood pressure, stop smoking, and reduce alcohol consumption. On
this case, the patient is diagnosed with paroxysmal atrial fibrillation et causa hyperthyroidism.

Keywords: Atrial fibrillation, cardiavascular, hyperthiroidism

Pendahuluan

1
Fibrilasi atrium (AF) merupakan penyakit pada sistem kardiovaskular. Penyakit ini memiliki hubungan
yang kuat dengan penyakit kardiovaskular lainnya, seperti gagal jantung, penyakit arteri koroner (CAD),
penyakit katup jantung, diabetes mellitus, dan hipertensi. Penyakit ini dicirikan dengan detak jantung yang
ireguler dan sering kali berdetak cepat. Mekanisme tepatnya mengenai faktor risiko dalam predisposisi AF
masih belum dimengerti secara penuh, tetapi dalam tahap investigasi intens. Katekolamin berlebih, stres
hemodinamik, iskemia atrium, inflamasi atrium, stres metabolik, dan aktivasi kaskade neurohumoral semua
diakui mempromosikan AF.1

Makalah ini bertujuan untuk membahas skenario dan latar belakang penyakit fibrilasi atrium ini.

Anamnesis

Anamnesis yang perlu dilakukan ialah menanyakan hal-hal sebagai berikut:

 Tipe, durasi dan frekuensi gejala-gejala yang dialami.


 Faktor yang mempengaruhi (contohnya beraktivitas, kurang tidur, konsumsi kafein, konsumsi
alkohol).
 Faktor yang meredakan (contohnya beristirahat atau manuver vagal).
 Riwayat sebelum penggunaan obat-obatan antiaritmia dan agen pengontrol laju detak jantung
 Keberadaan akan penyakit jantung.
 Riwayat prosedur pembedahan atau ablasi perkutan AF

Pada kasus ini, pasien mengalami jantung berdebar-debar hilang timbul secara tiba-tiba. Hal yang sama
pernah dialaminya 1 tahun yang lalu. Pasien juga minum obat sejak 1 tahun yang lalu untuk mengatasi
permasalahan tiroid-nya, tetapi tidak diminum dengan teratur. Pasien tidak mengalami sesak napas, nyeri
dada, atau keluhan penyerta lainnya. Pasien tidak mengalami obesitas ataupun hipertensi. Pasien tidak
memiliki riwayat merokok dan alkohol.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik selalu dimulai dengan jalur masuk udara, pernapasan dan sirkulasi (airway,
breathing, and circulation, ABC) dan tanda-tanda vital, pemeriksaan-pemeriksaan tersebut membantu
kecepatan intervensi. Pemeriksaan fisik juga menyediakan informasi pada dasar penyebab dan gejala sisa
AF.1

2
Tanda-tanda vital

Detak jantung, tekanan darah, kecepatan bernapas, dan saturasi oksigen merupakan hal yang
penting untuk mengevaluasi kestabilan hemodinamik dan kecukupan kecepatan kontrol pada AF.1

Pasien akan memiliki pulsasi yang ireguler dan biasanya akan mengalami takikardi, dengan
kecepatan jantung mencapai 110-140 tetapi jarang mencapai 160-170. Pasien yang hipotermik atau yang
memiliki toksisitas obat jantung mungkin memperlihatkan bradikardi fibrilasi atrium.1

Kepala dan leher

Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmos, tiromegali, tekanan vena jugular
yang meningkat, atau sianosis. Bruit arteri karotid dapat memberitahu bahwa terdapat penyakit arteri
perifer dan meningkatkan kemungkinan penyakit arteri koroner komorbid.1

Pulmonar

Pemeriksaan pulmonar dapat menunjukkan bukti dari gagal jantung (contohnya, efusi pleura).
Mengi atau suara napas yang berkurang menandakan terdapat penyakit pulmonar yang tersembunyi
(contohnya, COPD, asma).1

Jantung

Pemeriksaan jantung merupakan inti dari pemeriksaan pasien dengan AF. Palpasi yang menyeluruh
dan auskultasi sangat lah penting untuk mengevaluasi penyakit katup jantung atau kardiomiopati. Titik
impuls maksimal yang terlantar atau S3 menandakan pembesaran ventrikular atau peningkatan tekanan
ventrikel kiri. Sebuah titi-titik P2 yang menonjol pada keberadaan hipertensi pulmonar.1

Abdomen

Keberadaan asites, hepatomegali, atau pengerasan kapsular hepatik menandakan gagal ventrikel
kanan atau penyakit ginjal intrinsik. Nyeri pada kuadran kiri atas mungkin menunjukkan infark limpa
dari embolisasi perifer.1

Ekstremitas bawah

Pemeriksaan ekstremitas bawah dapat menunjukkan sianosis, clubbing, atau edema. Ekstremitas
3
yang dingin dan tidak terasa pulsasinya dapat menandakan embolisasi periffer, dan penilaian pulsasi
perifer dapat mengarah kepada diagnosis penyakit arteri perifer atau curah jantung yang berkurang.1

Neurologis

Tanda-tanda serangan iskemik yang sementara dapat ditemukan. Bukti stroke sebelumnya dan
peningkatan refleks menyarankan hipertiroidisme.1

Pada pemeriksaan fisik, pasien didapati sakit ringan, kesadaran compos mentis, denyut nadi 110x/menit
ireguler, pernapasan 16x/menit, tekanan darah 130/80mmHg, suhu 37 derajat Celsius, detak jantung
130x/menit ireguler, dan terdapat iktus kordis 1 jari laterral dari linea mid clavicularis kiri.

Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin

Pada pemeriksaan penunjang darah rutin, pasien didapati Hb 13 g/dL, Ht 39%, leukosit 5.000/µL,
trombosit 400.000/µL.

Thyroid Stimulating Hormone (TSH)

Pada pemeriksaan TSH didapati menurun.

T4

Diameter kelenjar tiroid didapati difus dan T4 meningkat

Rontgen Thoraks PA

Menunggu Hasil.

Ekokardiografi

Menunggu Hasil

Elektrokardiogram

Irama atrial fibrilasi terlihat, dengan rate ventrikel 140x/menit normoaksis. Tetapi, tidak ada hipertrofi,

4
iskemia/infark dan blok (AV & BBB).

Gambar 1. Gelombang Fibrilasi.2

Diagnosis Pembanding

Struma multi / uni nodusa toksik

Penyakit ini juga sama-sama membuat pasien mengalami hipertiroidisme, tetapi perbedaan yang
paling signifikan dapat dilihat apabila dilakukan usg pada tiroid, maka dapat terlihat baik satu nodul
(uninodusa) atau lebih dari satu nodul (multinodusa). Selain itu, pada penyakit struma multi/uni nodusa
toksik ini juga memiliki sel yang berbeda dari pada normalnya dan letaknya terkonsentrasi pada titik-
titik nodul yang ada.

Diagnosis Kerja

Atrial Fibrilation rapid ventricular response ec Penyakit jantung tiroid ec Grave’s disease

Gejala Klinis

Berikut ialah gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien dengan fibrilasi atrium (AF):3

 Beberapa asimtomatik
 Palpitasi (sensasi detak jantung cepat, tidak nyaman, ireguler atau seperti longkap-longkapan)
 Lemah
 Mudah lelah saat olahraga
 Kepala terasa terguncang-guncang
 Pusing
 Kebingungan
 Napas pendek

5
 Nyeri di dada

Gejala-gejala di atas dapat hilang timbul atau persisten. Pada AF dengan Rapid Ventricular Response
(RVR), kondisi dapat berupa:4

 Paroksismal

Paroksismal AF memiliki gejala-gejala atau episode-episode yang bertahan dalam hitungan menit
hingga beberapa jam. Gejala-gejalanya dapat hilang sendirinya tanpa intervensi.

 Persisten

Pada AF tipe ini, jantung tidask kembali normal secara sendirinya, dan dapat membutuhkan
intervensi medis untuk mengembalikan ritme normalnya.

 Persisten yang berlangsung lama

Tipe AF ini bertahan dalam waktu lebih dari 1 tahun

 Permanen

Pada tipe AF permanen, denyut jantung tidak dapat dikembalikan ke keadaan normal. Pasien akan
selalu memiliki AF dan dapat membutuhkan obat-obatan, tindakan bdah, atau alat pacu jantung untuk
mengontrol denyut jantung.

Dari gejala-gejala klinis tersebut, yang dialami pasien hanya satu, yakni jantung berdebar-debar yang
hilang timbul secara tiba-tiba. Maka dari itu, menurut klasifikasi

Etiologi

Stres Hemodinamik

Peningkatan tekanan intra-atrial menyebabkan perombakan elektrik dan struktural pada atrial dan
cenderung menyebabkan fibrilasi atrial (AF). Penyebab paling umum dari peningkatan tekanan atrial
ialah penyakit katup mitral atau trikuspid dan disfungsi ventrikel kiri. Hipertensi sistemik atau pulmoner
juga dapat mengakibatkan beban berlebih pada tekanan atrial, sementara akibat dari tumor atau trombi
intrakardiak jarang terjadi.1

6
Iskemia atrial

Penyakit arteri koroner jarang menyebabkan iskemia atrial ataupun AF secara langsung. Hal yang
lebih sering menyebabkan peningkatan tekanan intra-atrial atau AF ialah iskemia ventrikel yang parah.1

Inflamasi

Miokarditis dan perikarditis mungkin terjadi secara idiopatik atau terjadi berhubungan dengan
penyakit vaskuler kolagen; infeksi virus atau bakteri; atau operasi kardiak, esofageal ataupun toraks.1

Akibat penyakit respiratori nonkardiovaskuler

Embolisme pulmoner, pneumonia, kanker paru, dan hipotermia telah diasosiasikan dengan AF.1

Pengunaan obat-obatan dan alkohol

Stimulan, alkohol dan kokain dapat memicu AF. Konsumsi alkohol dalam jangka waktu panjang
atau singkat (yakni kardiomiopati yang berhubungan dengan alkohol) dan penyalahgunaan obat-obatan
(stimulan, methamphetamine, kokain) memiliki hubungan dengan AF. Di sisi lain, konsumsi alkohol
yang lebih dari biasanya dalam jangka waktu panjang dan hubungannya dengan AF telah dilaporkan
banyak studi terdahulu, studi berdasarkan komunitas yang terbaru menunjukkan sebuah hubungan akan
peningkatan risiko AF dengan konsumsi alkohol dalam jumnlah sedang.1

Kelainan endokrin

Hipertiroidisme, diabetes, dan feokromositima telah diasosiasikan dengan AF.1

Kelainan neurologik

Mekanisme yang terjadi pada intrakranial seperti perdarahan subarachnoid atau stroke dapat
mempecepat AF.1

AF familial

Sejarah AF parental terlihat menyebabkan peningkatan kemungkinan akan AF. Satu studi kelompok
mengusulkan bahwa AF familial diasosiasikan dengan peningkatan risiko AF. Peningkatan ini tidak
dikurangi dengan penyesuaian untuk varian genetik dan faktor risiko AF lainnya.1

7
Faktor umur

AF ialah penyakit yang sangat berhubungan dengan umur, menyebabkan 4% individu yang lebih
tua dari 60 tahun dan 8% orang-orang yang lebih tua dari 80 tahun.1

Penyebab AF lainnya.

Dalam studi kelompok prospektif yang berjalan selama 15 tahun pada 132.250 subjek orang jepang,
Xu dkk. menemukan bahwa dengan hanya anemia dan penyakit ginjal kronis, baik hanya dialami salah
satunya atau mungkin keduanya, diasosiasikan dengan peningkatan risiko AF onset baru. Selama
penindak lanjutan dalam waktu 13,8 tahun pada 1232 pasien dengan AF onset baru, analisis multivariat
menunjukkan bahwa mereka dengan perkiraan laju filtrasi glomerular (eGFR) yang lebih rendah dari 60
mL/menit/1,73 m2 memiliki kemungkinan sebanyak 2,56 kali lipat untuk mengalamio AF onset baru
dari pada pasien dengan ginjal yang berfungsi normal; mereka yang memiliki tingkat hemoglobin yang
lebih rendah dari 13g/dL memiliki risiko 1,5 kali lipat dari AF onset baru, relatif terhadap pasien dengan
tingkat hemoglobin normal. Pasien dengan penyakit ginjal kronis dan anemia memiliki insidensi AF 3
kali lipat.1

Patofisiologi

Grave Disease

Penyakit Graves, ialah penyakit autoimun yang dicirikan dengan hipertiroidisme akibat
autoantibodi yang beredar. Thyroid-stimulating immunoglobulins (TSIs) mengikat dan mengaktivasi
reseptor tirotropin, menyebabkan kelenjar tiroid untuk bertumbuh dan menyebabkan folikel tiroid
meningkatkan sintesis hormon tiroidnya.5

Pada penyakit Graves, autoimunitas yang dimediasi oleh limfosit B dan T diketahui memiliki tujuan
kepada 4 antigen tiroid yang terkenal: tiroglobulin, tiroid peroksidase, simporter sodium-iodida dan
reseptor tirotropin. Tetapi, reseptor tirotropin sendiri ialah autoantigen primer dari penyakit Graves dan
bertanggung jawab akan manifestasi hipertiroidisme. Pada penyakit ini, antibodi dan respon imun yang
antigen spesifik pada tiroid yang dimediasikan oleh sel didefinisikan dengan baik. Bukti langsung dari
8
kelainan autoimun yang dimediasikan oleh auto antibodi ialah perkembangan hipertiroidisme pada
subjek yang sehat dengan diransfer antibodi reseptor tirotropin dari yang ada di dalam serum pada
pasien dengan penyakit Graves dan tranfer pasif antibodi reseptor tirotropin kepada janin pada wanita
hamil.5

Kelenjar tiroid berada di bawah stimulasi yang terus berlanjut oleh autoantibodi yang beredar
melawan reseptor tirotropin, dan sekresi tirotropin pituitari ditahan karena peningkatan produksi
hormon tiroid. Aktivitas rangsangan dari antibodi reseptor tirotropin biasanya ditemukan pada subkelas
imunoglobulin G1. Antibodi-antibodi perangsang tiroid ini mengakibatkan pelepasan hormon tiroid dan
tiroglobulin yang dimediasi oleh 3,’5’-siklik adenosin monofosfat (siklik AMP), dan mereka juga
merangsang penyerapan iodin, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.5

Simporter anti-sodium-iodida, antiroglobulin, dan antibodi-antibodi antitiroid peroksidase terlihat


memiliki peran kecil dalam etiologi hipertiroidisme pada penyakit Grave. Tetapi, mereka ialah penanda
penyakit autoimun yang melawan tiroid. Infiltrasi limfositik intratiroidal ialah abnormalitas histologik
yang pertama pada orang-orang dengan penyakit autoimun tiroid dan dapat dikorelasikan dengan titer
antibodi tiroid. Selain menjadi sumber autoantigen, sel tiroid mengekspresikan molekul-molekul yang
memediasi pelekatan sel T dan pengaturan komplemen (Fas dan sitokin) yang berpartisipasi dan
berinteraksi dengan sistem imun. Pada pasien berikut, proporsi CD4 limfosit lebih rendah pada tiroid
daripada di dalam darah perifer. Peningkatan ekspresi Fas pada limfosit intratiroidal CD4 T mungkin
menjadi penyebab dari reduksi limfosit CD4 pada individu-individu ini.5

Beberapa gen yang rentan akan penyakit autoimun tiroid telah diidentifikasikan: CD40, CTLA-4,
tiroglobulin, reseptor TSH, dan PTPN22. Beberapa gen yang rentan ini spesifik untuk penyakit Graves
atau tiroiditis Hashimoto, sementara yang lainnya rentan akan kedua kondisi tersebut. Predisposisi
genetik pada autoimunitas tiroid dapat berinteraksi dengan faktor lingkungan atau kejadian untuk
mempresipitasi onset penyakit Graves.5

Dua lokus rentan ditemukan: daerah RNASET2-FGR1OP-CCR6 pada 6q27 dan sebuah derah
intergenik 4p14. Terlebih lagi, asosiasi yang kuat akan reseptor hormon perangsang tiroid dan
histokompatibilitas utama pada varian-varian kompleks kelas II dengan autoantibodi-autoantibodi
reseptor hormon perangsang tiroid (TRAb) positif penyakit Graves yang persisten ditemukan.5

Pasien dengan penyakit Graves memiliki laju konversi sel mononuklear darah perifer menjadi
fibrosit CD34+ lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kontrol yang sehat. Sel-sel ini dapat
9
berkontribusi kepada patofisiologi dari oftalmopati dengan mengakumulasi jaringan orbital dan
menghasilkan sitokin penyebab inflamasi, termasuk TNF-alfa dan IL-6. Pada studi asosiasi genom yang
luas pada lebih dari 1.500 pasien penderita penyakit Graves dan 1.500 kontrol, 6 lokus yang rentan
ditemukan berhubungan dengan penyakit Graves (kompleks histokompatibilitas utama, reseptor TSH,
CTLA4, FCRL3, daerah RNASET2-FGFR1OP-CCR6 di 6q27, dan daerah intergenik 4p14.5

Gambar 2. Mekanisme patofisiologi penyakit Graves yang ber-


hubungan dengan imunoglobulin perangsang tiroid pada hiper-
tiroidisme dan oftalmopati. T4 ialah levotiroksin. T3 ialah tri-
iodotironin.5

Penyakit Jantung Tiroid

Hormon tiroid sangat memengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa mekanisme, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi
oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum
diketahui namun diketahui bahwa hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik, dan
dromotropik yang mirip dengan efek stimulasi adrenergik.6

Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear terutama dijembatani melalui perubahan penampilan gen

10
yang responsif. Proses ini dimulai dengan difusi T4 dan T3 melintasi membran plasma karena mudah
larut dalam lemak. Di dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi T3 oleh 5-monodelodinase,
konsentrasinya bervariasi dari jaringan ke jaringan, yang merupakan hubungan tidak langsung sebagai
respons jaringan terhadap hormon tiroid. Selanjutnya, T3 sirkulasi dan T3 yang baru disintesis melalui
membran nukleus untuk berikatan dengan reseptor hormon tiroid spesifik (THRs).6

Secara anatomis, hormon tiroid dapat mengakibatkan hipertrofi jantung sebagai akibat
meningkatnya sintesis protein. Peningkatan isi semenit disebabkan oleh peningkatan frekuensi denyut
jantung dan isi sekuncup, penurunan resistensi perifer, dan adanya vasodilatasi perifer akibat pemanasan
karena peningkatan metabolisme jaringan. Pengaruh hormon tiroid pada hemodinamik jantung dapat
juga terjadi akibat meningkatnya kontraktilitas otot jantung. Pada tirotoksikosis, sirkulasi yang
meningkat mirip dengan keadaan meningkatnya kegiatan adrenergik. Hal ini bukan disebabkan oleh
meningkatnya sekresi katekolamin, karena kadar katekolamin justru turun pada tirotoksikosis. Keadaan
ini disebabkan oleh meningkatnya kepekaan jaringan terhadap katekolamin. Pada sistem hantaran,
hormon tiroid menyebabkan meningkatnya kecepatan hantaran atrium dan memendeknya masa refrakter
yang tak dapat dipengaruhi oleh katekolamin. Sinus takikardia terjadi 40% pasien dengan
hipertiroidisme dan 10 - 15% dapat terjadi fibrilasi atrial persisten.6

Pada penyakit jantung akibat hipertiroidisme tidak dijumpai kelainan histopatologik yang nyata,
kecuali adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel. Umumnya, gagal jantung pada pasien hipertiroidisme
terjadi pada dekade akhir kehidupan dengan insiden tinggi terjadinya penyakit jantung koroner.
Kemungkinan peran hormon tiroid dalam mengakibatkan gagal jantung melalui peningkatan kebutuhan
oksigen pada pasien yang sudah mengalami kekurangan penyediaan oksigen akibat penyakit jantung
koroner. Keadaan pasien yang berat biasanya dihubungkan dengan hipertiroidisme yang telah
berlangsung lama dengan kontraktilitas otot jantung yang buruk, isi semenit yang rendah, dan gejala
serta tanda gagal jantung.6

Atrial Fibrilasi Rapid Ventricular Response

Tiga bentuk perombakan atrial saat progres AF telah diutarakan: elektrik, kontraktil, dan struktural.
Perombakan elektrik ialah konsekuensi dari laju atrial yang tinggi dan termasuk pemendekkan periode
refraktori dari miosit atrial dan pelambatan kecepatan konduksi atrial. Perombokan struktural dicirikan
dengan perubahan baik di miosit atrial, interstitium, dan perubahan komposisi matriks ekstraseluler dan
deposisi jaringan fibrotik. Perubahan pada tingkat miosit atrial termasuk kehilangan struktur kontraktil

11
dan ekspresi dari protein yang seperti janin, dan akumulasi glikogen di interstitium atrial.1

Perubahan-perubahan di interstitium utamanya dimanifestasi oleh deposisi serat kolagen di sekitar


kardiomiosit. Perombakan kontraktil biasanya dikarenakan penanganan kalsium yang tidak sempurna
dan dapat mengakibatkan disfungsi mekanikal dari atrium yang dapat terjadi selama sementara atau
progresif menjadi disfungsi yang ireversibel. Kontraktil yang cacat diakibatkan oleh perubahan lokal
pada fisiologi sel dan juga pada perombakan struktural dari miosit atrial (kehilangan gap junction).1

Fitur morfologik lainnya yang sudah diobservasi yang berhubungan dengan AF ialah keberadaan
sel inflamasi pada miokardium. Peran inflamasi dan infiltrat inlamasi miokardial diajukan oleh studi
morfologik pada jaringan atrial yang dilepaskan pada saat bedah jantung dan dari studi klinis yang
mengawasi tingkat serum dari sitokin inflamasi pada pasien dengan AF. Walaupun observasi telah
dilakukan untuk asosiasi di antara tingkat plasma penanda inflamasi yang meningkat dan AF, sampai
saat ini inflamasi masih merupakan misteri apakah ia merupakan fenomena sistemik atau lokal yang
merefleksikan proses inflamasi yang aktif pada atria. Hal lain yang belum diketahui juga ialah mengenai
apakah sel inflamasi ialah penanda reaksi lokal pada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh faktor-
faktor yang mengarah ke AF atau apakah mereka aktif berpartisipasi pada pemeliharaan AF dikarenakan
sitotksik direk atau efek profibrotik atau dikarenakan efek tidak langsung dari sitokin yang dilepas yang
dapat mempromosikan aritmogenesis.1

AF turut memiliki asosiasi yang kuat dengan penyakit kardiovaskular lainnya, seperti gagal jantung,
penyakit arteri koroner (CAD), penyakit valvula jantung, diabetes mellitus, dan hipertensi. Faktor-faktor
ini telah disebut sebagai faktor resiko yang meningkat, tetapi hubungan antara komorbid penyakit
kardiaovaskular dan AF masih belum begitu dimengerti dan lebih kompleks dari terminologi yang
dijabarkan ini. Mekanisme sebenarnya untuk faktor-faktor kardiovaskular yang memiliki resiko
berpredisposisi menjadi AF tidak terlalu dimengerti secara menyeluruh tetapi sekarang berada dalam
tahap investigasi. Kelebihan katekolamin, stress hemodinamik, iskemia atrial, inflamasi atrial, stress
metabolik, dan aktivasi kaskade neurohumoral, semuanya diakui memiliki kemampuan untuk
mempromosikan AF.1

Dikarenakan diabetes mellitus dan obesitas meningkat pada prevalensi dan telah diasosiasikan
dengan meningkatnya resiko AF, Fontes dkk memeriksa apakah resistensi insulin ialah langkah
menengah untuk pembentukkan AF. Pada studi kelompok berbasis komunitas yang menyangkut 279
yang memiliki AF setelah 10 tahun ditindaklanjuti, tidak ada asosiasi signifikan yang terobservasi

12
antara resistensi insulin dan insidensi AF.1

Walaupun mekanisme yang lebih tepat nengenaik penyebab fibrilasi atrial belum dimengerti secara
menyeluruh, AF terlihat membutuhkan kedua kejadian penginisiasi dan sebuah substrat atrial yang
permisif. Kepentingan pemicu-pemicu vena pulmoner fokal telah disorot oleh banyak studi, tetapi,
mekanisme alternatif dan nonmutual juga telah dievaluasi. Mekanisme ini termasuk ombak-ombak kecil
berkelipatan, gelombang-gelombang ibu, baling-baling yang diam atau bergerak, dan sirkuit-sirkuit
macro-reentrant. Pada pasien tertentu, lebih dari satu mekanisme dapat terjadi bersamaan dalam waktu
kapanpun. Teori fokus otomatis dan hipotesis ombak-ombak kecil berkelipatan terlihat yang memiliki
data pendukung terbaik.1

Fokus otomatis

Origin fokal dari AF didukung oleh beberapa model eksperimental yang menunjukkan AF berlanjut
hanya pada daerah terisolasi dari miokardium atrial. Teori ini telah mengumpulkan perhatian yang
cukup banyak, hingga studi telah mendemonstrasikan sumber fokal dari AF dapat diidentifikasi pada
manusia dan isolasi sumber ini dapat mengeliminasi AF.1

Vena pulmoner terlihat sebagai sumber tersering dari fokus-fokus ini, tapi fokus-fokus lain telah
didemonstrasikan pada beberapa daerah di seluruh atria. Otot jantung yang ada di vena pulmoner
terlihat memiliki properti elektrikal yang mirip, tetapi tidak identik, dengan miosit-miosit atrial lainnya.
Heterogenitas pada konduksi elektrik sekitar vena pulmoner diteorikan untuk mempromosikan kembali
masuknya dan berlanjutnya AF.1

Ombak-ombak kecil berkelipatan

Hipotesis ombak-ombak kecil yang berkelipatan mengusulkan fraksinasi gelombang depan yang
menyebar ke seluruh atria, mengakibatkan ombak-ombak kecil yang terus terbentuk. Pada model ini,
jumlah ombak-ombak kecil ditentukan dari periode refraktori, kecepatan konduksi, dan massa jaringan
atrial. Peningkatan massa atrial, periode refraktori atrial yang diperpendek, dan konduksi intra-atrial
yang ditunda meningkatkan jumlah ombak-ombak kecil dan mempromosikan AF yang berlangsung
lama. Model ini didukung oleh data dari pasien-pasien dengan AF paroksismal yang
mendemonstrasikan bahwa penyebaran luas akan distribusi elektrogram atrial abnormal memprediksi
progres untuk menjadi AF persisten. Perpanjangan konduksi intra-atrial telah diperlihatkan untuk
memprediksi rekurensi AF. Bersama-sama, data-data ini menyorot kepentingan perombakan struktural
13
dan elektrikal pada pemeliharaan AF, sehingga dapat dikatakan AF memperanakkan AF.1

Pada orang-orang dengan AF, jantung berdetak secara ireguler dan sering kali terlalu cepat,
sehingga menjadi tidak sinkron dengan kedua ruangan di bawah.3

Episode AF dapat hilang timbul atau menjadi persisten dan membutuhkan tindakan medis.3

Pada AF dengan Rapid Ventricular Response (RVR), sinyal elektrik yang cacat tidak terbatasi oleh
kedua ruangan yang berada di atas jantung. Sebagai gantinya, ruangan-ruangan yang berada di bawah
juga memberikan respon terhadap sinyal-sinyal yang cacat tersebut dan berdetak terlalu cepat dan
kisruh. Ini mengakibatkan seluruh jantung berdetak terlalu cepat.3

Epidemiologi

Studi MONICA pada warga Jakarta memperlihatkan kejadian FA terjadi kepada 0,2% warga, dan
perbandingan laki-laki:perempuan ialah 3:2,4. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan presentasi
populasi usia lanjut di indonesia yaitu 7,74% (2000-2005) menjadi 28,68% pada tahun 2050 oleh estimasi
WHO, maka angka kejadian FA juga akan meningkat dengan signifikan. Skala yang lebih kecil dapat dilihat
dari data RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang mengatakan bahwa presentase FA pada
pasien rawat selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0%
(2011), 9,3% (2012) dan 9,8% (2013).7

Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi ialah stroke, emboli sistemik, takikardi kardiomiopati, gagal
jantung kongestif, dan kematian mendadak pada pasien yang juga menderita Wolff-Parkinson-White
(WPW).8,9

Prognosis

Prognosis pasien dengan atrial fibrilasi itu semakin tua, semakin tinggi risiko menderitanya dan semakin
sulit untuk sembuh.8

Tata Laksana

Obat yang dapat diberikan bagi pasien dengan atrial fibrilasi dengan hipertiroidisme ialah obat
antiaritmia seperti propafenon 450-600mg untuk mengendalikan irama jantung. Obat ini sering disebut juga
14
pil dalam saku atau pildaku karena dapat dibawa ke mana-mana dan dapat digunakan langsung bila perlu.7

Selain itu, bisa juga dilakukan kardioversi elektrik untuk mengendalikan irama secara langsung;
penyekat beta seperti metoproll 2,5-5mg iv untuk 2 menit dan bisa diberikan sampai 3 dosis yang berguna
untuk meredakan krisis tiroid; serta dapat diberikan kalsium non-dihidropiridin seperti diltiazem
0,25mg/kgBB iv dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan 0,355 mg/kgBB iv, obat ini digunakan untuk
mengendalikan laju saat akut.7

Edukasi

Pasien harus sadar akan potensi efek yang merugikan akan obat yang diminum, mereka harus waspada
akan demam, sakit tenggorokan dan ulkus-ulkus tenggorokan. Pasien juga harus diinstruksikan untuk
menghindari obat-obatan pilek yang berisikan agonis adrenergik alfa seperti efedrin atau pseudoefedrin.5

Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk menjaga berat badan tubuh, tekanan darah, kolesterol, berhenti
kebiasaan merokok, rutin berolahraga, serta mengurangi konsumsi alkohol.4

Simpulan

Dari data-data dan informasi yang didapat menurut anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka sang pasien didiagnosis menderita fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat ec
penyakit jantung tiroid ec penyakit Graves, dengan kategori fibrilasi atirum paroksismal.

Daftar Pustaka

1. Rosenthal R, Rottman JN, ed. Atrial fibrillation. 2018. [Online]. Dikutip 23 September 2018. Tersedia di:
https://emedicine.medscape.com/article/151066-overview#a4

2. Healio. Atrial fibrillation ecg review. 2017.[Online]. Dikutip 23 Septermber 2018. Tersedia di:
https://www.healio.com/cardiology/learn-the-heart/ecg-review/ecg-topic-reviews-and-criteria/atrial-
fibrillation-review

3. Mayo Clinic. Atrial fibrillation. 2017. [Online]. Dikutip 23 September 2018. Tersedia di:
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/atrial-fibrillation/symptoms-causes/syc-20350624

15
4. Fletcher J. What is a-fib with rvr. Medical News Today. 2017. [Online]. Dikutip 23 September 2018.
Tersedia di: https://www.medicalnewstoday.com/articles/316488.php

5. Yeung SCJ, Khardori R. Graves disease. 2018. [Online]. Dikutip 24 September 2018. Tersedia di:
https://emedicine.medscape.com/article/120619-overview#a4

6. Wantania FE. Penatalaksanaan penyakit jantung tiroid. 2014. Jurnal Biomedik. 6(1). Hlm. 14-22. Dikutip
25 September 2018.

7. Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia. Pedoman tata laksana fibrilasi atrium. Ed 1. 2014.
Dikutip 25 September 2018.

8. Crawford MH, Srivathson K, McGothlin DP. Current consult: cardiology. 2006. Hlm. 29. Dikutip 25
September 2018.

9. Redekopp J. What is afib with rapid ventricular response. 2018. Dikutip 25 September 2018.

16

Anda mungkin juga menyukai