Anda di halaman 1dari 14

Penyakit Jantung Tiroid

Alfredo Lailossa (102016238), Inggrid Riama Tiopina (102013288), Amelia Graciella


Tjiptabudy (102016159), Leny Harviani (102016012), Erica Sander (102014196), Febrian
Tiranita (2016236), M Ibnu Sinna Faiz (102013471), Yudha Pratama (102016043), Jessica
Nathalia (102016087)
Kelompok B3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510

Abstract

Thyroid heart disease is a heart disease caused by the effect of thyroid hormone. The
incidence is still high among general population and may affect people of all ages. The most common
etiology is Graves’s disease that occurs frequently in adults from 20-40 years of age. Thyroid
hormone increases the total body metabolism and oxygen consumption that indirectly lead to an
increased cardiac workload. The certain mechanism has not been fully understood, however, thyroid
hormone may lead to an inotropic and chronotropic cardiac effects similarly to adrenergic
stimulation effect. Patients commonly have palpitation and dyspnea. In elderly with coronary arterial
disease, angina pectoris may occur simultaneously with the onset of hyperthyroidism. In addition,
patients with hyperthyroidism may show symptoms of heart failure without any signs of heart disease
before. by reducing the heart rate and administration of antihypertensive drugs.

Keywords: thyroid heart disease, hiperthyroidism

Abstrak

Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh pengaruh hormon
tiroid. Insiden penyakit ini cukup tinggi di masyarakat dan dapat mengenai segala usia. Penyebab
terbanyak ialah struma difus toksik (penyakit Graves), biasanya mengenai usia 20 – 40 tahun.
Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak
langsung meningkatkan beban kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui namun
diketahui bahwa hormon tiroid menyebabkan efek inotropik dan kronotropik yang mirip dengan efek
stimulasi adrenergik. Pasien sering mengalami palpitasi, irama jantung yang tidak teratur, dan sesak
saat beraktivitas. Pada pasien lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri koroner, angina pektoris
dapat terjadi bersamaan dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien dengan hipertiroidisme dapat
menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa kelainan jantung sebelumnya.

Kata kunci: penyakit jantung tiroid, hipertiroid

Pendahuluan

Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh pengaruh hormon
tiroid. Pengaruh biokimiawi hormon tiroid pada jantung terjadi terutama pada hipertirodisme.

1
Hipertiroidisme ada-lah hiperfungsi tiroid, yaitu peningkatan biosintesis dan sekresi hormon
oleh kelenjar tiroid. Dalam kondisi normal, hormon tiroid memberikan efek terhadap
kekuatan kontraktilitas jantung; sel otot jantung atau kardiomiosit mengalami perubahan
struktural dan fungsional akibat efek hormon tiroid. Pada penyakit tiroid, baik hipertiroidisme
maupun hipotiroidisme, terjadi kelainan patologis pada jantung yang disebut penyakit jantung
tiroid. Hipertiroid merupakan gangguan kelenjar tiroid yang memiliki manifestasi
kardiovaskular, salah satu di antaranya adalah fibrilasi atrium (atrial fibrillation - AF). Hal
ini disebabkan karena secara fisiologis, hormon tiroid memiliki efek langsung terhadap
jantung, terhadap sistem saraf simpatis, dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik.
Fibrilasi atrium merupakan suatu kondisi gangguan irama jantung yang paling sering ditemui
di dalam praktik sehari-hari dan menyebabkan mortalitas yang dihubungkan dengan
tingginya frekuensi emboli.1,2

Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Anamnesis dapat langsung dilakukan pada pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
diwawancarai, misalnya dalam keadaan gawat-darurat, afasia akibat stroke dan lain
sebagainya.3
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi yang ditanyakan khusus pada
wanita, riwayat penyakit keluarga, anamnesis pribadi meliputi keadaan sosial ekonomi,
budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur
atau tanggal lahir, nama orang tua, suami, istri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa, dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien
yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan
utama harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut, dan
dimana tepatnya keluhan tersebut dirasakan.4
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat. Dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan mendapatkan data-data, yaitu waktu
dan lamanya keluhan berlangsung; sifat dan beratnya serangan, misalnya mendadak,

2
perlahan-lahan, terus menerus, hilang timbul, cenderung bertambah atau berkurang, dan
sebagainya; lokalisasi dan penyebarannya, menetap, menjalar, berpindah-pindah;
hubungannya dengan waktu, misalnya pagi lebih sakit daripada siang dan sore, atau
sebaliknya, atau terus menerus tidak mengenal waktu; hubungannya dengan aktivitas,
misalnya bertambah berat jika melakukan aktivitas atau bertambah ringan bila beristirahat;
keluhan-keluhan yang menyertai serangan, misalnya keluhan yang mendahului serangan, atau
keluhan yang bersamaan dengan serangan; apakah keluhan baru pertama kali atau sudah
berulang kali; faktor risiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang memperberat
atau meringankan serangan; apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita
keluhan yang sama; riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu;
perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa; upaya yang
telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah diminum oleh pasien;
juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang sedang diderita.3,4
Riwayat penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan
adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.
Tanyakan pula apakah pasien pernah menderita kecelakaan, menderita penyakit berat dan
menjalani operasi tertentu, riwayat alergi pada obat-obatan dan makanan tertentu, dan lain-
lain. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi,
pendidikan, dan kebiasaan. Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam
sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan, dan sebagainya. Kebiasaan pasien juga
harus ditanyakan, seperti merokok, memakai sandal saat bepergian, minum alcohol, dan
sebagainya. Selain itu juga pada pasien yang sering bepergian, perlu ditanyakan apakah baru
saja pergi dari tempat endemik penyakit infeksi menular. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah lingkungan tempat tinggal pasien, termasuk keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air
minum, tempat pembuangan sampah, ventilasi, dan sebagainya.3,4
Maka dari itu berdasarkan hasil anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan
keluhan jantung berdebar-debar dan hilang timbul sejak 1 tahun terakhir. Kemudian pasien
juga merasa mudah lelah saat berjalan jauh dan mereda pada saat istirahat. Keluhan lain
terdapat bengkak pada kaki pasien yang hilang timbul dan tidak ada demam dan penurunan
berat badan.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik thoraks, dilakukan dengan 4 cara, yaitu dimulai dari inspeksi,

3
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan thoraks paling baik dilakukan pada pasien
dalam keadaan berbaring dan relaks, kedua lengan berada di samping, dan pasien bernapas
melalui mulut. Tangan pemeriksa harus hangat untuk menghindari terjadinya reflex tahanan
otot oleh pasien.3

Berdasarkan scenario, ditemukan hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut : tampak sakit
ringan, nadi 110x/menit, tekanan darah 130/80, frekuensi nafas16x/menit dan suhu 37 C.
mata eksopostalamus, pada leher terdapat pembesaran diameter leher difus, PF jantung : iktus
kordis 1 jari sebelah kiri mid clav kiri. HR 130x/menit.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium, yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap,
TSH dan Ft4 kemudian rontgen thoraks PA, echocardiografi dan EKG.

Pemeriksaan Darah Rutin meliputi pemeriksaan hemaglobin, hematokrit, leukosit,


hitung trombosit, Laju Endap Darah (LED), dan hitung eritrosit. Semuanya digunakan untuk
mendeteksi apakah terdapat infeksi atau kelainan darah.4

Pemeriksaan hormon tiroid dapat menggunakan berbagai cara yaitu :Pengukuran kadar
hormon kelenjar gondok Hasil pengukuran kadar hormon yang didapat ialah Peningkatan
kadar T3 dan T4 Penurunan kadar TSH.4
EKG menggunakan gelombang ultrasound untuk mendapatkan gambaran dari kamar-
kamar jantung, klep jantung, dan struktur sekitarnya. EKG sangat berguna dalam mendeteksi
penyakit klep jantung, seperti mitral valve prolapse, mitral stenosis dan aortic stenosis
(contoh dari penyakit klep yang dapat menyebabkan aritmia dan palpitasi). EKG juga
berguna dalam mengevaluasi besar ukuran dari kamar-kamar jantung, begitu juga dengan
kesehatan, dan kontraksi dari otot-otot ventrikel.4,5
Dalam kasus ini EKG hanya bisa mendeteksi aritmia pada palpitasi jika pada saat melakukan
rekaman jantung sedang mengalami aritmia.
Ekokardiografi atau ultrasonografi jantung adalah suatu teknik pemeriksaan jantung
dan pembuluh darah besar dengan menggunakan gelombang suara-ultra (ultrasound).
Pemeriksaan ini merupakan suatu pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis,
menentukan tata laksana, dan memprediksi prognosis kasus-kasus penyakit jantung dan
pembuluh darah.4

4
Berdasarkan scenario didaptkan hasil : Hb 13 g/dl, Ht 39%, leukosit 5000/ul, trombosit
400.000/ul. TSH <0,01 mU/L (menurun), fT4 meningkat, rontgen thoraks PA dan
echocardiografi menunggu hasil, dan terakhir di dapatkan hasil gambar EKG sebagi berikut :

Terdapat irama atrial fibrilasi, rate ventrikel 140/menit, normoaksis, dan tidak ada
hipertrofi,iskemia/infark dan blok (AV dan BBB).

Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding


Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, working
diagnosis yang didapat adalah AF rapid ventricular response ec penyakit jantung tiroid ec
grave’s disease. Sementara diagnosis banding adalah ec strauma/uni nodusa toksik.

FIBRILASI ATRIUM

Fibrilasi atrium (AF) merupakan irama jantung yang tidak teratur (aritmia) dengan
frekuensi rata-rata 350-600 kali/menit, dan tidak ditemukan gelombang P pada
elektrokardiografi (EKG). Gelombang P tidak terlihat disebabkan karena munculnya
gelombang getar (fibrilasi) dengan amplitudo, bentuk, dan durasi yang bervariasi. 3 AF
meningkatkan mortalitas dan morbiditas,4 hal ini merupakan kondisi aritmia yang berbahaya
karena: (1) Ventricle rate yang cepat dapat mengganggu cardiac output dan dapat secara
signifikan menurunkan pengisian ventrikel kiri dan stroke volume, (2) Hilangnya kontraksi
atrium menyebabkan stasis darah di atrium dan dapat meningkatkan risiko trombus,
khususnya di atrium kiri yang dapat menyebabkan stroke.

HIPERTIROID

Hipertiroid merupakan bentuk tirotoksikosis yang paling sering dijumpai, terjadi

5
akibat kelebihan sekresi tiroksin (T4) atau triiodotironin (T3). Penyakit Graves merupakan
penyebab paling umum; sekitar 60% dari hipertiroid disebabkan oleh penyakit Graves.
Hipertiroid pada penyakit Graves biasanya disebabkan karena adanya antibodi reseptor TSH
yang merangsang aktivitas tiroid secara berlebihan. Gejala klinis penyakit Graves meliputi
dua kelompok utama, yaitu tiroidal dan ekstratiroidal. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroid akibat sekresi hormon tiroid berlebihan. Gejala-
gejala hipertiroid berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis berlebihan,
seperti cepat lelah, gemetar, tidak tahan panas, berat badan turun walaupun nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas di tungkai
bawah. Untuk diagnosis tepat dan terpercaya, Crooks (1959) membuat indeks diagnostik,
yaitu Indeks Wayne5 (Tabel 1). AF pada Hipertiroid AF terjadi pada lebih dari 15% pasien
hipertiroid, dibandingkan hanya 4% pada populasi umum, terutama pada laki-laki dan orang
tua.6,7 Efek hormon tiroid pada jantung dan pembuluh darah perifer meliputi penurunan
resistensi vaskular sistemik, peningkatan laju jantung, dan peningkatan kontraktilitas
ventrikel kiri. jika hal ini dideteksi oleh ginjal, maka system renin angiotensin aldosteron
akan teraktivasi dan absorpsi natrium akan meningkat. T3 juga berperan memproduksi
eritropoetin yang akan meningkatkan eritrosit dan menaikkan volume darah dan preload.
Kondisi hipertiroid menyebabkan kenaikan cardiac output 50% - 300% dibanding keadaan
normal. Patogenesis AF pada hipertiroid belum diketahui pasti dan bersifat multifaktorial. 8
Pengaruh hormon tiroid terhadap waktu aksi potensial otot jantung diduga berpeluang
mencetuskan aritmia jantung.9 Peningkatan kadar T3 menyebabkan durasi potensial aksi
miosit lebih pendek pada pasien hipertiroid mempermudah reentry (masuknya kembali
gelombang eksitasi yang mengelilingi atrium) dan meningkatkan risiko AF. 8 Beberapa
manifestasi klinik pasien AF dengan hipertiroid, yaitu: palpitasi, angina saat latihan,
dispneu, cepat lelah, sinkop, atau gejala tromboemboli. Manifestasi lanjut adalah kondisi
gagal jantung kongestif karena turunnya curah jantung.

STRAUMA NODULAR TOKSIK

Struma noduler ini adalah suatu adenoma tunggal, biasanya adenoma folikel yang
secara otonom memproduksi hormon yang berlebihan. Mengapa dan bagaimana timbulnya
nodul tiroid yang otonom ini belum diketahui. Beberapa teori dikemukakan timbulnya
struma ini mungkin oleh karena reaksi berlebihan dari TSH, kehilangan sebagain pengawas
balik (trophic control) pada nodul; yang otonom ini, penekanan sel tirotropin pituitaria.

6
Pembesaran nodul perlahan dimana mula-mula terjadi penekanan pada TSH agar
mikronodul yang lain tidak membesar. Selanjutnya dengan makin membesarnya
nodul akan terjadi penekanan bukan saja TSH tapi juga fungsi dari jaringan sekitar nodul.
Pada stadium ini penderita masih eutiroid dan kadar T3 dan T4 masih normal, namun pada
sidik tiroid nampak banyak isotop terkumpul dalam nodul. Akhirnya nodul melakukan
semua fungsinya dengan menekan fungsi jaringan sekitar nodul. Pada sidik tiroid Nampak
ambilan isotop hanya oleh nodul, sehingga keadaan ini sudah terjadi hipertiroid.
Kapan terjadinya hipertiroid ini tergantung terutama pada besarnya nodul. Jumlah
hormon tiroid yang dikeluarkan oleh nodul tergantung dari besarnya nodul.
Hipertiroid terjadi bila nodul > 3 cm, sedang nodul yang < 2,5 cm biasanya tidak
menyebabkan hipertiroid. Ditemukan biasanya pada umur lebih dari 40 tahun dimana
penderita merasa nodul yang memang sudah ada cepat membesar. Di Inggris adenoma
toksika hanya kira-kira 5 % dari hipertiroid dan lebih banyak pada wanita. Gejala- gejala
berupa berat badan turun, kelemahan, sesak nafas, palpitasi, takikardi dan tidak tahan panas.
Gejala mata hampir tidak pernah ditemukan.8,9

Etiologi

Etiologinya belum diketahui, kelebihan produksi T3 dan T4 diduga karena igG


autoantibodi berikatan dengan reseptor tirotropin pada kelenjar tiroid. Penyebab kedua
adalah strauma nodusa toxic, suatu keadaan dimana daerah terlokalisir pada kelenjar dan
otonomi. Penyebab terbanyak ialah struma difus toksik (penyakit Graves), biasanya
mengenai usia 20-40 tahun. Penyebab lainnya ialah adenoma toksik dan struma multinodosa
toksik.9 Prevalensi struma multinodosa toksik meningkat dengan usia dan menjadi penyebab
utama hipertiroidisme pada orang tua.

Epidemiologi
Insiden penyakit jantung tiroid cukup tinggi di masyarakat dan dapat mengenai
segala usia. Insiden diperkirakan 0,4 per 1000 wanita per tahun, lebih sering pada wanita
dibandingkan pria dengan perban-dingan 4:1, terutama pada usia 30-50 tahun; 15% terjadi
pada usia diatas 60 tahun dan 70% disebabkan oleh penyakit Graves yang berakibat
meningkatnya angka kematian dan angka kesakitan kardiovaskuler. Pada wanita ditemukan
20-27 kasus per 1.000 wanita, sedang pria 1-5 per 1.000 pria. Umumnya usia penderita
antara 20-50 tahun.6,8

7
Patofisiologis
Hormon tiroid sangat memengaruhi sistem kardiovaskular dengan beberapa
mekanisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormon tiroid meningkat-kan
metabolisme tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung me-ningkatkan
beban kerja jantung. Mekanis-me secara pasti belum diketahui namun diketahui bahwa
hormon tiroid menyebab-kan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip
dengan efek stimulasi adrenergik.10
Efek hormon tiroid terhadap sel nuklear terutama dijembatani melalui perubahan
penampilan gen yang responsif. Proses ini dimulai dengan difusi T4 dan T3 melintasi
membran plasma karena mudah larut dalam lemak. Di dalam sitoplasma, T4 dirubah menjadi
T3 oleh 5-mono-delodinase, konsentrasinya bervariasi dari jaringan ke jaringan, yang
merupakan hubungan tidak langsung sebagai respons jaringan terhadap hormon tiroid.
Selanjut-nya, T3 sirkulasi dan T3 yang baru disintesis melalui membran nukleus untuk
berikatan dengan reseptor hormon tiroid spesifik (THRs).11
Secara anatomis, hormon tiroid dapat mengakibatkan hipertrofi jantung sebagai akibat
meningkatnya sintesis protein. Peningkatan isi semenit disebabkan oleh peningkatan
frekuensi denyut jantung dan isi sekuncup, penurunan resistensi perifer, dan adanya
vasodilatasi perifer akibat pemanasan karena peningkatan metabolis-me jaringan. Pengaruh
hormon tiroid pada hemodinamik jantung dapat juga terjadi akibat meningkatnya
kontraktilitas otot jantung. Pada tirotoksikosis, sirkulasi yang meningkat mirip dengan
keadaan mening-katnya kegiatan adrenergik. Hal ini bukan disebabkan oleh meningkatnya
sekresi katekolamin, karena kadar katekolamin justru turun pada tirotoksikosis. Keadaan ini
disebabkan oleh meningkatnya kepeka-an jaringan terhadap katekolamin. Pada sistem
hantaran, hormon tiroid menyebab-kan meningkatnya kecepatan hantaran atrium dan
memendeknya masa refrakter yang tak dapat dipengaruhi oleh katekol-amin. Sinus takikardia
terjadi 40% pasien dengan hipertiroidisme dan 10 - 15% dapat terjadi fibrilasi atrial persisten.
Pada penyakit jantung akibat hiper-tiroidisme tidak dijumpai kelainan histo-patologik
yang nyata, kecuali adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel. Umumnya, gagal jantung pada
pasien hipertiroidisme terjadi pada dekade akhir kehidupan dengan insiden tinggi terjadinya
penyakit jantung koroner. Kemungkinan peran hormon tiroid dalam mengakibatkan gagal
jantung melalui peningkatan kebutuhan oksigen pada pasien yang sudah mengalami
kekurangan penyediaan oksigen akibat penyakit jantung koroner. Keadaan pasien yang berat
biasanya dihubungkan dengan hipertiroidisme yang telah berlangsung lama dengan
kontraktilitas otot jantung yang buruk, isi semenit yang rendah, dan gejala serta tanda gagal

8
jantung.10,11
Gejala

Pasien dengan penyakit jantung tiroid sering mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan
dengan perubahan kronotropik. Pasien sering mengalami palpitasi, irama jantung yang tidak
teratur, dan dispnea saat beraktivitas. Gejala dan tandanya meli-puti sesak nafas terutama
pada malam hari, batuk malam hari, sesak saat beraktivitas, distensi vena leher, ronki
kardiomegali, edema paru akut, suara jantung ketiga, refluks hepatojugular, edema
ekstremitas, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapa-sitas vital sepertiga normal, dan
takikardi. Pada pasien lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri koroner, angina
pektoris dapat terjadi bersamaan dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien dengan
hipertiroidisme dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa kelainan

jantung sebelumnya.11,12
Masalah irama jantung yang paling sering ditemukan pada hipertiroidisme ialah sinus
takikardia. Peningkatan denyut jantung >90 x/menit terjadi pada saat istirahat atau selama
tidur dan respon berlebihan jantung ditemukan selama berolahraga. Masalah berat ditemukan
pada pasien dengan hipertiroidisme dan atrial fibrillation (AF) rapid ventricular response
karena dapat menyebabkan kardiomiopati. Pemeriksaan fungsi tiroid harus secepatnya
dilakukan pada pasien dengan onset baru AF meskipun hanya <1% dari pasien tersebut yang

memiliki bentuk subklinis atau klinis hipertiroidisme. Umumnya pasien dengan


hipertiroidisme dan AF bisa dikonversi ke irama sinus dalam waktu 8 sampai 10 minggu
setelah dimulai peng-obatan. Bentuk lain dari aritmia jarang terjadi. Pasien yang mengalami
keterlam-batan dalam konduksi intraventrikular insidennya <15%. Blok atrioventrikular

mungkin terjadi, tetapi sangat jarang ditemukan.12

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroidisme de-ngan komplikasi kardiovaskular memer-lukan
pendekatan yang berbeda, yaitu dengan mempertimbangkan faktor kardio-vaskular tersebut.
Tujuan pengobatan ialah secepatnya menurunkan keadaan hiper-metabolik dan kadar hormon
tiroid yang berada dalam sirkulasi. Keadaan sirkulasi hiperdinamik dan aritma atrial akan
memberikan respon baik dengan pemberian obat penyekat beta. Dalam hal ini, propanolol
merupakan obat pilihan karena bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat besar

9
dalam menurunkan frekuensi denyut jantung. Selain itu, penghambat beta dapat menghambat
konversi T4 menjadi T3 di perifer. Pada pasien dengan gagal jantung berat, peng-gunaan obat
penyekat beta harus dengan sangat hati-hati karena dapat memperburuk fungsi miokard,
meskipun beberapa penulis mendapat hasil baik pada pengobatan pasien gagal jantung akibat
tirotoksikosis. Bahaya lain dari obat penyekat beta ialah dapat menimbulkan spasme bronkial,
terutama pada pasien dengan asma bronkial. Dosis yang diberikan berkisar antara 40-160 mg
per hari dibagi 3-4 kali pemberian.10,12 Obat antitiroid yang banyak digunakan ialah PTU dan
imidazol (metimazol, tiamazol, dan karbimazol). Kedua obat ini termasuk dalam golongan
tionamid yang kerjanya menghambat sintesis hormon tiroid, tetapi tidak memengaruhi sekresi
hormon tiroid yang sudah terbentuk. Propiltiourasil mempunyai keunggulan mencegah
konversi T4 menjadi T3 di perifer. Dosis awal PTU yang digunakan ialah 300-600 mg/hari
dengan dosis mak-simal 1200-2000 mg/hari atau metimazol 30-60 mg sehari. Perbaikan
gejala hiper-tiroidisme biasanya terjadi dalam 3 minggu dan eutiroidisme dapat tercapai
dalam 6-8 minggu. Pada pasien dengan hipertiroidisme dan AF, terapi awal harus difokuskan
pada kontrol irama jantung dengan menggu-nakan penyekat beta (propanolol, atenolol,
bisoprolol), tetapi konversi ke irama sinus sering terjadi secara spontan bersamaan dengan
pengobatan hipertiroidisme.Pemberian penyekat beta pada kasus hipertiroidisme terkait
dengan gagal jantung, harus diberikan sedini mungkin. Golongan obat penyekat beta dapat
mengontrol takikardia, palpitasi, tremor, kecemasan, dan mengurangi aliran darah ke kelenjar
tiroid. Tujuan terapi dengan penyekat beta ialah menurunkan denyut jantung ke tingkat
mendekati normal dan kemudian meningkatkan perbaikan kom-ponen disfungsi ventrikel kiri
(LV). Penggunaan bisoprolol memiliki efek menguntungkan pada kasus gagal jantung
dengan AF karena berhubungan dengan remodeling dari ventrikel kiri dan terdapat
peningkatan signifikan left ventricle ejection fraction (LVEF). Jika AF berlanjut,
pertimbangan harus diberikan untuk antikoagulasi, terutama pada pasien yang berisiko tinggi
terhadap emboli. Terapi antikoagulan pada pasien hipertiroidisme dengan AF masih kontro-
versial. Frekuensi rata-rata insiden trombo-emboli pada pasien hipertiroidisme sekitar 19%.
Beberapa peneliti tidak merekomen-dasikan pemberian obat antikoagulan pada pasien usia
muda dengan durasi AF yang pendek (kurang dari 3 bulan) dan tanpa kelainan jantung oleh
karena konversi ke irama sinus akan terjadi setelah diterapi dengan obat antitiroid. Pasien
dengan AF kronik dan mempunyai kelainan jantung organik, berisiko tinggi terjadinya
emboli sehingga merupakan indikasi pemberian antikoagulan. Jika AF belum teratasi, perlu
dilakukan kardioversi setelah 16 minggu telah menjadi eutiroidisme. Perlindungan
antikoagulan terus diberikan sampai 4 minggu setelah konversi.

10
Pada pasien hipertiroidisme dengan gagal jantung, terapi diuretik digunakan untuk mengatasi
kelebihan cairan, tetapi pengobatan awal harus mencakup pem-berian penyekat beta.10 Terapi
rutin untuk gagal jantung, termasuk inhibitor ACE, harus digunakan pada pasien yang sudah
dideteksi adanya disfungsi LV atau pada pasien gagal jantung yang tidak membaik ketika
detak jantung menjadi normal.

Terapi tambahan yang dapat diberikan untuk memperbaiki metabolisme miosit jantung ialah
penggunaan Ko-enzim-10 dan Trimetazidin. Ko-enzim Q-10 (CoQ10) merupakan suatu
nutrien yang berperan vital dalam bioenergetik otot jantung yaitu sebagai kofaktor produksi
adenosin trifosfat (ATP) mitokondrial. Efek bio-energetik CoQ10 ini sangat penting dalam
aplikasi klinik, terutama hubungannya dengan sel-sel yang mempunyai kebutuhan metabolik
sangat tinggi seperti miosit jantung. Nutrien ini merupakan anti-oksidan poten yang memiliki
implikasi penting dalam fungsi jantung terutama pada kondisi cedera iskemia reperfusi pada
miokard. Ko-enzim Q10 dapat memenga-ruhi perjalanan penyakit kardiovaskular dengan
mempertahankan fungsi optimal dari miosit dan mitokondria.

Trimetazidin telah diketahui sejak lama efektif pada penatalaksanaan angina melalui efek
peng-hambatan rantai panjang 3-ketoasil ko-enzim A tiolase mitokondria yang meng-hambat
metabolisme asam lemak sehingga dapat mengubah metabolisme energi. Kea-daan ini akan
menstimulasi penggunaan glukosa dan akan memroduksi ATP dengan konsumsi oksigen
yang lebih rendah.

Untuk penanganan hipertiroidismenya, pada awal pengobatan, pasien dikontrol setelah 4-6
minggu. Setelah tercapai eutiroidisme, pemantauan dilakukan setiap 3-6 bulan sekali terhadap
gejala dan tanda klinis, serta laboratorium (FT4 dan TSHs). Dosis obat antitiroid dikurangi
dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroidisme selama 12-24
bulan. Pengobatan kemudian dihenti-kan dan dinilai apakah telah terjadi remisi, yaitu bila
setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroidisme,
walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroidisme atau terjadi relaps.12

Komplikasi
Penyakit tiroid ini ini bisa menimbulkan krisis tirotoksikosis atau tiroid strom, yaitu
eksaserbasi akut semua gejala tirotoksikosis, sering terjadi sebagai suatu sindroma yang
demikian berat sehingga dapat menyebabkan kematian. Kadang-kadang krisis tiroid dapat
ringan dan nampak hanya sebagai reaksi febris yang tidak bisa dijelaskan setelah operasi
tiroid pada pasien yang persiapannya tidak adekuat. Lebih sering, terjadi dalam bentuk yang

11
lebih berat, setelah operasi, terapi iodin radioaktif atau partus pada pasien dengan
tirotoksikosis yang tidak terkontrol adekuat atau selama penyakit atau kelainan stres yang
berat, seperti diabetes yang tidak terkontrol, trauma, infeksi akut, reaksi obat yang berat, atau
infark miokard. Manifestasi klinis krisis tiroid adalah
1. Hipermetabolisme yang menonjol dan respons adrenergik berlebihan. Febris dari
38-41°C dan dihubungkan dengan muka kemerahan dan keringat banyak.
2. Terdapat takikardia berat sering dengan fibrilasi atrium, tekanan nadi tinggi, dan
kadang-kadang gagal jantung.
3. Gejala susunan saraf pusat termasuk gelisah, delirium, dan koma.
4. Gejala gastrointestinal termasuk nausea, muntah, diare.
5. Akibat fatal ada hubungannya dengan gagal jantung dan syok.
Pernah diduga bahwa krisis tiroid adalah akibat bahwa pelepasan mendadak cadangan
tiroksin dan triiodotironin dari kelenjar tirotoksis. Pemeriksaan lebih teliti telah
mengungkapkan bahwa kadar T4 dan T3 serum pada pasien dengan krisis tiroid
tidaklah lebih tinggi daripada pasien tirotoksikosis tanpa krisis tiroid. Tidak ada bukti
bahwa krisis tiroid disebabkan oleh produksi triiodotironin berlebihan. Ada bukti
bahwa pada tirotoksikosis terdapat peningkatan jumlah tempat pengikatan untuk
katekolamin, sehingga jantung dan jaringan saraf mempunyai kepekaan yang
meningkat terhadap katekolamin dalam sirkulasi. Teori saat ini bahwa dalam keadaan
seperti ini, dengan tempat pengikatan yang bertambah yang tersedia untuk
katekolamin, infeksi atau stres bedah memacu pengeluaran katekolamin, yang
bersama-sama kadar T4 dan T3 bebas yang tinggi, menimbulkan problem akut ini.
Gambaran diagnostik klinis yang paling menonjol dari krisis tirotoksikosis adalah
hiperpireksia yang jauh lebih berat dari tanda-tanda lain.9
Prognosis
Secara umum, perjalanan penyakit hipertiroid ini ditandai oleh remisi dan eksaserbasi
untuk jangka waktu yang lama kecuali kalau kelenjar dirusak dengan pembedahan
atau iodin radioaktif. Walaupun beberapa pasien bisa tetap eutiroid untuk jangka
waktu lama setelah terapi, banyak yang akhirnya mendapatkan hipotiroidisme. Jadi,
follow-up seumur hidup merupakan indikasi untuk semua pasien dengan penyakit
hipertiroid.
Kesimpulan
Diagnosis penyakit jantung tiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan
pemeriksaan kadar hormon tiroid bebas, yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSH yang

12
sangat rendah. pada hipertiroidisme ialah secepatnya menurunkan kondisi hiper-
metabolik dengan pemberian obat antitiroid untuk menurunkan kadar hormon tiroid
dan menangani manifestasi kardiovaskular lainnya seperti menurunkan kecepatan
irama jantung dan pemberian obat-obatan antihipertensi, serta pemberian anti-
koagulan bagi pasien dengan risiko tinggi strok.
Daftar Pustaka

1. Beers, Mark H, Berkow R. In the merck manual of diagnosis and therapy. Ileus. Section
3, Chapter 25. Whitehouse Station, NJ: Merck Research Laboratories;2006.h.2.
2. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007.h.382-3.
3. Cheng S-Y, Leonard JL, Davis PJ. Molecular aspects of thyroid hormone actions.
Endocrine Rev. 2010;31:139-70.
4. Weitzel JM, Iwen KA. Coordination of mitochondrial biogenesis by thyroid hormone.
Mol Cell Endocrin. 2011;342:1-7.
5. Dillmann W. Cardiac hypertrophy and thyroid hormone signaling. Heart Fail Rev. 2010;
15:125-32.
6. Dahl P, Danzi S, Klein I. Thyrotoxic cardiac disease. Curr Heart Fail Rep. 2008;5:170-6.
7. Tribulova N, Knezl V, Shainberg A, Seki S, Soukup T. Thyroid hormones and cardiac
arrhythmias. Vasc Pharm. 2010;52:102-12.
8. Ojama K. Signaling mechanisms in thyroid hormone-induced cardiac hypertrophy. Vasc
Pharm. 2010;52:113-9.
9. Galli E, Pingitore A, Iervasi G. The role of thyroid hormone in the pathophysiology of
heart failure: Clinical evidence. Heart Fail Rev. 2010;15:155-69.
10. Biondi B, Cooper DS. The clinical signifi cance of subclinical thyroid dysfunction.
Endocrin Rev. 2008;29:76-131.
11. Rhee SS, Pearce EN. The endocrine system and the heart: A review. Rev Esp Cardiol.
2011;64:220-31.
12. Wang Y-Y, Morimoto S,Du C-K, Lu Q-W, Zhan D-Y, Tsutsumi T, et al. Up-regulation
of type 2 iodothyronine deiodinase in dilated cardiomyopathy. Cardiovasc Res.
2010;87:636–46.

13
14

Anda mungkin juga menyukai