Anda di halaman 1dari 21

EKONOMI IDEALISME

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ekonomi
Islam

Dosen:

Dr. Ija Suntana

Disusun Oleh: Bella Laila Rahmah

2210020007

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan untuk
membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara yang lebih memuaskan.
Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan
yang telah layak, filsafat perlu pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk mencapai
tujuan.

Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat
abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk faham betul
semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaanpemetaan dan mungkin kita
hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin
terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa
dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi
penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal.
Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh
karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara
filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak
memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.

Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman
mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun
manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok
filsafat yang Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan
pendalaman mengenai ilmu, baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun manfaat ilmu
bagi kehidupan manusia.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern,
dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran pemikiran,
yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme,
Materalisme, Neo- kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme
dan Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali ini yang akan dibahas aliran Idealisme.

Idealisme merupakan sebuah pemikiran filosofis yang telah memberikan pengaruh


besar terhadap dunia pendidikan selarna beberapa abad. Sebagai sebuah filsafat, ideaIisme
kurang memberikan pengaruh secara langsung terhadap pendidikan pada abad ke-20
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Tapi bagaimanapun juga, secara tidak langsung,
gagasan-gagasan idealisme masih saja merembes ke dalam pemikiran pendidikan barat.

Sebelum menjadi sebuah aliran filsafat yang berkembang di abad ke- 19 M. sebenarnya
gagasan-gagasan idealisme telah diperkenalkan oleh Plato jauh sebelum itu. Secara histoiis,
idealisme telah diformulasi dengan jelas dan diintrodusir oleh Plato pada abad ke-4 sebelum
Masehi (S.M). Dengan gagasan-gagasan dan pemikiran filosofis tersebut, akhirnya Plato
dijuluki dengan bapak idealisme.

Filsafat idealisme berkembang dengan pesat. Idealisme, dengan penekanannya pada


kebenaran yang tak berubah, mempunyai pengaruh kuat terhadap pernikiran kefilsafatan.
Gereja Kristen tumbuh dan berkembang di dunia, dirembesi oleh neo-platonisme. Dalam dunia
pemikiran moden, idealisme ditumbuh kernbangkan oleh tokoh-tokoh seperti Rene Descartes
(1596-1650), George Berkeley (1685-1753)), Immanuel Kant ( 1724- 1804) dan George Hegel
(177-1831).

Ekonomi Islam pada hakikatnya dapat dikategorikan monisme. Monisme merupakan


aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. Kenyataan tersebut dapat
berupa berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang dapat diketahui. Dalam agama
Tuhan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari agama. Adapun indra, rasio, intuisi
merupakan instrumen untuk membenarkan adanya Tuhan atau tidak membenarkan
keberadaan-Nya. Hal inilah yang menjadi dasar ekonomi Islam, monisme jika hal tersebut tidak
ada, keberadaan ekonomi Islam hanyalah sebuah konsep dan bukan sebuah ilmu.

Manusia dilahirkan dalam lingkungan yang sudah ada sebelumnya tanpa campur tangan
sedikitpun darinya dalam pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian
juga tidak ada yang secara kebetulan. Karena yang disebut kebetulan pada dasarnya ada oleh
adanya proses di luar dirinya yang tidak ia ketahui sehingga ia mengatakan itu, ada secara
kebetulan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ada dua “ada” yaitu, ada yang menciptakan
dan ada yang diciptakan.

Dalam membahas ontologi ada empat aliran filsafat yang membahas tentang apa
sebenarnya hakikat ada yaitu :

a. Materialisme

Materialisme beranggapan bahwa ahkikat benda adalah benda itu sendiri, misal hakikat
air adalah air itu sendiri, dan begitu pula yang lainnya.

b. Idealisme

Idealisme beranggapan bahwa realitas terdiri dari ide-ide pikiran-pikiran, akal (mind),
jiwa (self) dan bukan benda material. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat benda-benda yang
ada adalah ide, atau jiwa, serta akal, bukan materi.

c. Dualisme

Dualisme adalah aliran filsafat yang mencoba memadukan antara materialisme dan
idealisme. Mereka mengatakan baik ruh maupun materi hakikatnya adalah sama.

d. Agnotisme

Mereka mengatakan bahwa manusia tidak mungkin tahu hakikat sesuatu yang ada
karena keterbatasan manusia itu sendiri.

Hakekat ekonomi Islam pengetahuan tentang ekonomi sosial masyarakat yang didasari
nilai-nilai Al-qur’an. Filsafat islam tidak mungkin tanpa akal dan Al-qur’an, akal yang
memungkinkan aktifitas itu menjadi menjadi aktifitas kefilsafatan dan Al-qur’an yang menjadi
ciri keislaman.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraisan diatas, rumusan masalah yang dapat diambil dari topik tersebut yaitu:

1. Apa filsafat idealisme itu?


2. Apa pokok-pokok pikiran filsafat idealisme?
1.3 Tujuan

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan yaitu untuk:
1. Mengetahui maksud dari filsafat idealism
2. Mengetahui pokok-pokok pikiran filsafat idealism

1.4 Kegunaan dan Manfaat

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara teoretis
maupun praktis. Secara teoretis makalah ini berguna sebagai pembangunan pengetahuan
mengenai filsafat ekonomi idealisme. Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:

1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan keilmuan.


2. Pembaca, sebagai media informasi tentang ekonomi idealisme
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Idealisme

Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Ide adalah
rancangan yang tersusun dalam pikiran; gagasan; cita. Idealisme adalah aliran filsafat yang
memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang fundamental yang ada di
dunia ini. Idealisme memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi adalah
sekunder. Ide itu timbul atau ada lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada
ini timbul sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul
lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada. Ada juga yang mengatakan bahwa idealisme
adalah pemahaman yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian
dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya.

Idealisme merupakan kebalikan dari materialisme yang berpendapat bahwa materilah


yang lebih utama dan lebih dulu ada dibandingkan dengan ide. Aliran ini beranggapan bahwa
hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak barbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan ruhani.

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa
pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Semua bentuk realita adalah manifestasi
dalam ide. Karena pandangannya yang idealis itulah idealisme sering disebut sebagai lawan
dari aliran realisme. Tetapi, aliran ini justru muncul atas feed back realisme yang menganggap
realitas sebagai kebenaran tertinggi. Idealisme menganggap, bahwa yang konkret hanyalah
bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Kaum idealisme sering
menyebutnya dengan ide atau gagasan. Seorang realisme tidak menyetujui pandangan tersebut.
Kaum realisme berpendapat bahwa yang ada itu adalah yang nyata, riil, empiris, bisa dipegang,
bisa diamati dan lain-lain. Dengan kata lain sesuatu yang nyata adalah sesuatu yang bisa
diindrakan (bisa diterima oleh panca indra).

Herman Horne mengatakan idealisme merupakan pandangan yang menyimpulkan


bahwa alam merupakan ekspresi dari pikiran, juga mengatakan bahwa subtansi dari dunia ini
adalah dari alam pikiran serta berpandangan bahwa hal-hal yang bersifat materi dapat
dijelaskan melalui jiwa. Senada dengan itu, Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa dalam kajian
filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat
dipahami dalam ketergantungannya pada jiwa (mind) dan spirit (ruh). lstilah ini diambil dari
"idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.

Lebih lanjut George R. Knight menguiaikan bahwa idealisme pada mulanya, adalah
suatu penekanan pada realitas ide gagasan, pemikiran, akal pikir daripada suatu penekanan
pada objek-objek dan daya-daya materi. Idealisme menekankan akal pikir (mind) sebagai hal
dasar atau lebih dulu ada bagi materi dan bahkan menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu
yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal pikir. Menurutnya, ini
sangat berlawanan dengan materialisme yang berpendapat bahwa materi adalah nyata ada,
sedangkan akal pikir (mind) adalah sebuah fenomena pengiring.

Dari ketiga pengertian di atas dapat dipahami bahwa idealisme merupakan suatu aliran
filsafat yang mempunyai pandangan bahwa hakekat segala sesuatu ada pada tataran ide.
Realitas yang berwujud sebenarnya lebih dulu ada dalam realitas ide dan pikiran dan bukan
pada hal-hal yang bersifat materi. Meskipun demikian, idealisme tidak mengingkari adanya
materi. Materi merupakan bagian luar dari apa yang disebut hakekat terdalam, yaitu akal atau
ruh, sehingga materi merupakan bungkus luar dari hakekat, pikiran, akal, budi, ruh atau nilai.
Dengan demikian, idealisme sering menggunakan term-term yang meliputi hal-hal yang
abstrak seperti ruh, akal, nilai dan kepribadian. Idealisme percaya bahwa watak sesuatu objek
adalah spritual, non material dan idealistik.

Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut:

1) Metafisika-idealisme: Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan


rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan
rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat berperan;
2) Humanologi-idealisme: Jiwa dikarunai kemampuan berpikir yang dapat menyebabkan
adanya kemampuan memilih;
3) Epistemologi-idealisme: Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan
pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh
beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia
hanya sampai pada tingkat berpendapat
4) Aksiologi-idealisme: Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang
diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.
2.2 Jenis Aliran Idealisme

Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif dan idealism objektif.

a. Idealisme Subjektif

Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide
manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu
yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia
atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/ fikiran
dari dirinya sendiri atau ide manusia. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal,
jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Objek pengalaman
bukanlah benda material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda
seperti bangunan dan pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang
mempersepsikannya.

Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama
George Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala sesuatu yang tertangkap oleh
sensasi/perasaan kita itu bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang
materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/
konsepsi tertentu yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dan sebagainya.
Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif,
dan hanya mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri
saja.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat
egoistis “Aku-isme” yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya
“Aku”, segala sesuatu yang ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi
dari “Aku”. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan “Aku-isme/solipisme”
Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi.

Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal
dengan nama “Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857
M), menurutnya hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya ,
selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan
ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-
pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John
Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”,
menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis
dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan
kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang
mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value”(nilai kontan)-lah
yang dapat diterima oleh akal si “Aku” tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah
filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab
dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat
dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.

Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-


hari, misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini:

1) “Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang


menerimanya, ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi
mereka yang menganggapnya buruk.”
2) “kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk dipemerintahan tidak jujur,
kalau mereka diganti dengan orang-orang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik.”
3) “aku bisa, kau harus bisa juga,” dsb.
b. Idealisme Objektif
Idealisme objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia.
Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam
susunan alam. Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat
adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui
sesuatu yang bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi
itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan
perasaannya.

Filsuf idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua
bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan
dunia yang sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam
di atas alam benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi. Pandangan dunia
Plato ini mewakili kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu kelas pemilik
budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat “ideal”. Pada jaman feodal,
filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan nama Skolastisisme,
system filsafat ini memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia
kita merupakan suatu tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun
yang hirarki yang berada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia ke-
Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini maupun dalam alam semesta
merupakan “penjelmaan” dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini
membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar
di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai “wakil” Tuhan didunia ini. Tokoh-tokoh yang terkenal
dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M),
Duns Scotus (1270-1308 M), dan sebagainya.

Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat
idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-
1831 M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara
absolut dan “obyektif” didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “Ide
absolut” ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala
masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili kelas borjuis Jerman yang pada
waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya menghendaki suatu perubahan
social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin
dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang
dan berubah, tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan
tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani
terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa ketika itu.

Pikiran filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari
dengan berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan
doktriner-isme. Kaum doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau
teori sebagai kekuatan yang maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam penyakit,
sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan praktis
mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat yang
kongkrit.

c. Idealisme Personal

Personalisme muncul sebagai protes terhadap meterialisme mekanik dan idealisme


monistik. Bagi seorang personalis, realitas dasar itu bukannya pemikiran yang abstrak atau
proses pemikiran yang khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir. Realitas
itu termasuk dalam personalitas yang sadar. Jiwa (self) adalah satuan kehidupan yang tak dapat
diperkecil lagi, dan hanya dapat dibagi dengan cara abstraksi yang palsu.

Kelompok personalis berpendapat bahwa perkembangan terakhir dalam sains modern,


termasuk di dalamnya formulasi teori realitas dan pengakuan yang selau bertambah terhadap
'tempat berpijaknya si pengamat' telah memperkuat sikap mereka. Realitas adalah suatu sistem
jiwa personal, oleh karena itu realitas bersifat pluralistik. Kelompok personalis menekankan
realitas dan harga diri dari orang-orang, nilai moral, dan kemerdekaan manusia. Bagi kelompok
personalis, alam adalah tata tertib yang obyektif, walaupun begitu alam tidak berada sendiri.
Manusia mengatasi alam jika ia mengadakan interpretasi terhadap alam ini. Sains mengatasi
materialnya melalui teori-teorinya; alam arti dan alam nilai menjangkau lebih jauh daripada
alam semesta sebagai penjelasan terakhir.

2.3 Hakikat Pengetahuan Teori Idealisme

Hakikat pengetahuan Idealisme yaitu suatu ajaran idealisme menandaskan bahwa untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil.
Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subyektif. Oleh
karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subyektif dan bukan
gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu
dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini, tidak
menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut
pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subjek).

Bagi idealisme, dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang
mempunyai hubungan, seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu
kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organik yang sesungguhnya yang
sedemikan rupa, sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis, dengan
makna sebagai inti yang terdalam.

Premis pokok yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama
dalam alam semesta. Idealisme tidak mengingkari adnya materi. Namun, materi adalah suatu
suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan
materi itu, dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang
ingin mengetahui apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu; bukannya
apakah materi itu.
Idealisme subjektif juga akan menimbulkan kebenaran yang relatif karena setiap
individu berhak untuk menolak kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran
yang bersifat universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, maka aturan-aturan agama dan
kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kelompok
yang lain. Lagi pula, idealisme terlalu mengutamakan subjek sebagai si penilai, dengan
meredahkan objek yang dinilai. Sebab, subjek yang menilai kadangkala berada pada keadaan
yang berubah-ubah, seperti sedang marah dan gembira.

2.4 Tokoh-Tokoh Filsafat Yang Menjelaskan Idealisme


a. J.G. Fichte (1762-1814 M)

Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-
1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk
memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang
dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang
disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.

Menurut Fichte, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan irasional seperti
pada Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan
diperoleh hanya dengan melalui kepatuhan pada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan
usaha. Manusia dihadapkan kepada rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa
wajib bahwa ia berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih
yang baik. Idealisme etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia aktual hanya
dapat dipahami sebagai bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena itu, filsafat bagi Fichte adalah
filsafat hidup yang terletak pada pemilihan antara moral idealisme dan moral materialisme.
Substansi materialisme menurut Fichte ialah naluri, kenikmatan tak bertanggung jawab,
bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada diri
sendiri.

Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya


yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan
objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan
objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak
perbuatan sang Aku.

b. F.W.J. Shelling (1775-1854 M)


Friedrich Wilhelm Joseph Schelling sudah mencapai kematangan sebagai filosof pada
waktu ia masih amat muda. Pada tahun 1789, ketika usianya baru 23 tahun, ia telah menjadi
guru besar di Universitas Jena. Sampai akhir hidupnya pemikirannya selalu berkembang.

Seperti Fichte, Scelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan dilalui intelek


dalam proses mengetahui, semacam epistemology. Fichte memandang alam semesta sebagai
lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral. Schelling membahas realitas lebih
objektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolute Hegel. Dalam pandangan Schelling,
realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu ekspresi
kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna dengan cara melacak proses
logis perubahan sifat dan sejarah masa lalu.

Idealisme Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-aku (objek) ini
sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya pertentangan belaka, melainkan mempunyai
nilai yang positif. Bagi Schelling, yang menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu ialah aku.
Dunia ini muncul daripada aku: dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada
produksi dan reproduksi dari ciptaan aku.

Kemudian diakuinya kesungguhan alam, malahan dinyatakan bahwa subjek yang


berpikir (aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan dianggap sama sekali bertentangan
dengan pendapatnya semula, sebab aku yang muncul dari alam itu ialah aku yang telah sadar.
Alam itu merupakan proses evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar serta lambat laun
sadar akan dirinya (aku) dalam alam yang tak sadar.

Begitulah ia meningkat lagi dalam pandangannya terhadap alam: budi dan dunia sama
derajatnya hanya berhadapan sebagai subjek dan objek. Sebetulnya samalah keduanya,
bertemu pada asal semula ialah Tuhan, identitas yang mutlak, juga disebutnya indiferensi yang
mutlak. Ia tidak cenderung ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah alam dalam bentuknya
yang makin tinggi derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunan-dunia, manusia. Dalam pada itu
budipun sadar akan dirinya menjelmakan ilmu,moral, seni, sejarah, dan Negara.

c. G.W.F Hegel (1798-1857 M)

Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah
seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu
bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian
gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia
memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor,
selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya
selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia
diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi
Rektor Universitas Berlin (1830).

Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak
terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal
dan titik akhir kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu
filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).

Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud
olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena
Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan
suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real bersifat rasional
dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas.
Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan
dirinya sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun
menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap
kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan.

Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang
real, kongkret, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of
spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri,
roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia.

Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula roh
itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya roh mutlak. Sebagai roh
subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan: antropologi, fenomologi, dan
psikologi. Dalam antropologi, kenallah roh itu akan dirinya dalam penjelmaan pada alam.
Dalam fenomenologi, kenallah ia akan dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada
psikologi, roh mengenal dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis,
kemudian praktis dan akhirnya merdekalah roh itu. Maka meningkatlah kepada roh objektif.
Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak
dan hukum kesusilaan dan kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka
itu pada hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan.
Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan.

Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu ialah idea yang mengenal
dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi,
pertentangan antara subjek dan objek antara berpikir dan ada. Oleh karena roh mutlak ini
sebenarnya gerak juga, maka ia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama
(antitesis) dan kemudian filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan
indera terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi mempunyai
subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian dan gambaran agama
itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari seni dan agama,merupakan paduan
yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat
ternyata benar gerak idea itu, yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides
(tesis), Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).

Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Yang


dimaksud oleh Hegel dengan dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan hal-hal yang
berlawanan. Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis
(fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis
menghilang. Dapat juga tidak menghilang, ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat
yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi
oleh antitesis baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya.

Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan,
lalu antitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah
paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang
selaras. Berikut ini contoh tesis, antitesis, dan sintesis.

1. Yang “ada” (being) merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not
being) sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis.
2. Dalam keluarga,suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan
antitesis. Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3. Mengenai bentuk Negara. Tesis: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan
diatur dengan baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga.
Antitesis: Negara anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai
kebebasan tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau. Sintesis: Negara
konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan diktator dengan anarki
menjadi demokrasi.
2.5 Pandangan Fiosofis Idealisme
Pandangan filosofis idealisme dapat dilihat pada cabang-cabang filsafat yaitu ontologi,
epistemologi dari aksiologi.

1. Realitas Akal Pikiran (Kajian Ontologi)

George Knight mengemukakan bahwa realitas bagi idealisme adalah dunia


penampakan yang ditangkap dengan panca indera dan dunia realitas yang ditangkap melalui
kecerdasan akal pikiran (mind). Dunia akal pikir terfokus pada ide gagasan yang lebih dulu ada
dan lebih penting daripada dunia empiris indrawi. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ide
gagasan yang lebih dulu ada dibandingkan objek-objek material, dapat diilustrasikan dengan
kontruksi sebuah kursi.

Para penganut idealisme berpandangan bahwa seseorang haruslah telah mempunyai ide
tentang kursi dalam akal pikirannya sebelum ia dapat membuat kursi untuk diduduki.
Metafisika idealisme nampaknya dapat dirumuskan sebagai sebuah dunia akal pikir kejiwaan.

Uraian di atas dapat dipahami bahwa meskipun idealisme berpandangan yang terfokus
pada dunia ide yang bersifat abstrak, namun demikian ia tidak menafikan unsur materi yang
bersifat empiris indrawi. Pandangan idealisme tidak memisahkan antara sesuatu yang bersifat
abstrak yang ada dalam tataran ide dengan dunia materi. Namun menurutnya, yang ditekankan
adalah bahwa yang utama adalah dunia ide, karena dunia materi tidak akan pernah ada tanpa
terlebih dulu ada dalam tataran ide.

2. Kebenaran sebagai Ide dan Gagasan (Kajian Epistemologi)

Kunci untuk mengetahui epistemologi idealisme terletak pada metafisika mereka.


Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat
diketahui bahwa teori mengetahui (epistemologi)nya pada dasarnya adalah suatu penjelajahan
secara mental mencerap ide-ide, gagasan dan konsep-konsep. Dalam pandangannya,
mengetahui realitas tidaklah melalui sebuah pengalaman melihat, mendengar atau meraba,
tetapi lebih sebagai tindakan menguasai ide sesuatu dan memeliharanya dalam akal pikiran.

Berdasarkan itu, maka dapat dipahami bahwa pengetahuan itu tidak didasarkan pada
sesuatu yang datang dari luar, tetapi pada sesuatu yang telah diolah dalam ide dan pikiran.
Berkaitan dengan ini Gerald Gutek mengatakan:
“In idealism, the process of knowmg is that of recognition or remmisence of latent ideas that
are preformed and already present in the mind. By reminiscence, the human mind may discover
the ideas of the Macrocosmic Mind in one's own thoughts ..... Thus, knowing is essentially a
process of recognition, a recall and rethinking of ideas that are latently present in the mind.
What is to be known is already present in the mind.”

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa menurut idealisme, proses untuk mengetahui
dapat dilakukan dengan mengenal atau mengenang kembali ide-ide tersembunyi yang telah
terbentuk dan telah ada dalam pikiran. Dengan mengenang kembali, pikiran manusia dapat
menemukan ide-ide tentang pikiran makrokosmik dalam pikiran yang dimiliki séseorang. Jadi,
pada dasarnya mengetahui itu melalui proses mengenal atau mengingat, memanggil dan
memikirkan kembali ide-ide yang tersembunyi atau tersimpan yang sebetulnya telah ada dalam
pikiran. Apa yang akan diketahui sudah ada dalam pikiran.

Kebenaran itu berada pada dunia ide dan gagasan. Beberapa penganut idealisme
mempostulasikan adanya Akal Absolut atau Diri Absolut yang secara terus menerus
memikirkan ide-ide itu. Berkeley menyamakan konsep Diri Absolut dengan Tuhan. Dengan
demikian, banyak pemikir keagamaan mempunyai corak pemikiran demikian.

Kata kunci dalam epistemologi idealisme adalah konsistensi dan koherensi. Para
penganut idealisme memberikan perhatian besar pada upaya pengembangan suatu sistem
kebenaran yang mempunyai konsistensi logis. Sesuatu benar ketika ia selaras dengan
keharmonisan hakikat alam semesta. Segala sesuatu yang inkonsisten dengan struktur ideal
alam semesta harus ditolak karena sebagai sesuatu yang salah.

Dalam idealisme, kebenaran adalah sesuatu yang inheren dalam hakikat alam semesta,
dan karena itu, Ia telah dulu ada dan terlepas dari pengalaman. Dengan demikian, cara yang
digunakan untuk meraih kebenaran tidaklah bersifat empirik. Penganut idealisme mempercayai
intuisi, wahyu dan rasio dalam fungsinya meraih dan mengembangkan pengetahuan. Metode-
metode inilah yang paling tepat dalam menggumuli kebenaran sebagai ide gagasan, dimana ia
merupakan pendidikan epistemologi dasar dari idealisme.

3. Nilai-nilai dari Dunia Ide (Kajian Aksiologi)

Aksiologi idealisme berakar kuat pada cara metafisisnya. Menurut George Knight, jagat
raya ini dapat dipikirkan dan direnungkan dalam kerangka makrokosmos (jagat besar) dan
mikrokosmos (jagat kecil). Dari sudut pandang ini, makrokosmos dipandang sebagai dunia
Akar Pikir Absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat dipandang
sebagai bayangan dari apa yang sejatinya ada. Dalam konsepsi demikian, tentu akan terbukti
bahwa baik kriteria etik maupun estetik dari kebaikan dan kemudahan itu berada di luar diri
manusia, berada pada hakikat realitas kebenaran itu sendiri dan berdasarkan pada
prinsipprinsip yang abadi dan baku.

Dalam pandangan idealisme, kehidupan etik dapat direnungkan sebagi suatu kehidupan
yang dijalani dalam keharmonisan dengan alarm (universe). Jika Diri Absolut dilihat dalam
kacamata makrokosmos, maka diri individu manusia dapat diidentifikasi sebagai suatu diri
mikrokosmos. Dalam kerangka itu, peran dari individual akan bisa menjadi maksimal mungkin
mirip dengan Diri Absolut. Jika Yang Absolut dipandang sebagai hal yang paling akhir dan
paling etis dari segala sesuatu, atau sebagai Tuhan yang dirumuskan sebagai yang sempurna
sehingga sempurna pula dalam moral, maka lambang perilaku etis penganut idealisme terletak
pada "peniruan" Diri Absolut. Manusia adalah bermoral jika ia selaras dengan Hukum Moral
Universal yang merupakan suatu ekspresi sifat dari Zat Absolut.

Uraian di atas memberikan pengertian bahwa nilai kebaikan dipandang dan sudut Diri
Absolut. Ketika manusia dapat menyeleraskan diri dan mampu mengejewantahkan diri dengan
Yang Absolut sebagai sumber moral etik, maka kehidupan etik telah diperolehnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Gerald L. Gutek mengemukakan bahwa pengalaman


yang punya nilai didasarkan pada kemampuan untuk meniru Tuhan sebagai sesuatu yang
Absolut, sehingga nilai etik itu sendiri merupakan sesuatu yang muttlak, abadi, tidak berubah
dan bersifat universal.

Estetika idealisme juga diihat dalam kerangka makrokosmos dan mikrokosmos.


Penganut idealisme berpandangan bahwa keindahan itu ada ketika direfleksikan sesuatu yang
ideal. Seni yang berupaya Mengekspresikan Yang Absolut, maka dikategorikan sesuatu yang
memuaskan secara estetik.

2.6 Perdagangan Bebas: Efisiensi Versus Equity

Pengertian perdagangan bebas sebenarnya sederhana saja, yakni dikuranginya atau


ditiadakannya hambatan perdagangan baik yang bersifat tarif (ekspor dan impor) maupun non
tarif. Tarif impor sebagai pajak yang dikenakan terhadap barang yang diimpor akan menaikan
harga di pasar domestik, sehingga produsen domestik dapat menikmati surplus yang lebih besar
sementara konsumen menghadapi tingginya harga. Keadaan sebaliknya terjadi ketika tarif
diturunkan atau bahkan ditiadakan. Selain itu, liberalisasi perdagangan memberikan
kesempatan bagi negara-negara untuk melakukan pembagian kerja dan spesialisasi dalam
produksi barang dan jasa, dimana mereka dapat memproduksi barang tersebut relatif murah.

Rangkaian keberhasilan dari spesialisasi adalah peningkatan kreativitas dan


produktivitas faktor-faktor produksi, sehingga alokasi sumber daya dalam proses produksi
akan berada dalam tataran “increasing return to scale” yakni kenaikan nilai output yang lebih
besar dari kenaikan input. Wacana ekonomi mikro seperti ini akan membentuk struktur
ekonomi makro yang efisien dan berdaya saing.

Berdasarkan pijakan ini Bank Dunia berani memprediksikan bahwa dampak liberalisasi
perdagangan yang secara simultan diikuti oleh liberalisasi keuangan internasional dan
investasi, akan meningkatkan output dunia yang pada gilirannya akan berdampak pada
peningkatan kemakmuran masyarakat dunia. Pandangan ini perlu diluruskan, benar fokus
perdagangan bebas adalah pada efisiensi sehingga akan mendorong tingginya output dunia.
Namun tidak menjamin equity yakni kemakmuran masyarakat dunia karena dampak dari
perdagangan bebas selain menguntungkan pelaku di sektor yang memiliki keunggulan
komparatif, juga pada saat yang bersamaan merugikan kelompok di sektor yang tidak memiliki
keunggulan komparatif. Selain itu starting point ketika liberalisasi perdagangan
diimplementasikan antara teori dan fakta tidak sesuai.

Idealisme pemikiran baik Smith, Ricardo, maupun Heckscher Ohlin tentang


keunggulan dari liberalisasi perdagangan beranjak dari asumsi bahwa kondisi kedua negara
yang akan berdagang identik, artinya memiliki kapasitas ekonomi yang hampir sama. Dengan
adanya perdagangan bebas, spesialisasi produksi benar-benar terjadi sehingga berdampak pada
efisiensi produksi komoditas tersebut yakni komoditas yang memiliki keunggulan komparatif.
Yang membedakannya, negara yang satu (misalnya domestik) memiliki produktivitas tenaga
kerja yang lebih tinggi untuk produk A, sedangkan negara asing produk B, atau ketika domestik
labor abundant, sedangkan pihak asing capital abundant. Jika kondisi ini terpenuhi,
perdagangan bebas akan meningkatkan kemakmuran bersama.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada bagian ini dikemukakan bahwa idelisme adalah suatu aliran filsafat gang
berpandangan bahwa dunia ide dan gagasan merupakan hakikat dari realitas. Realitas
sesungguhnya tidak terdapat pada objek materi, tetapi terdapat dalam alam pikiran ide.
Meskipun idealisme menganggap bahwa yang hakikat adalah ide. ia tetap mengakui adanya
materi. Namun menurutnya, yang utama adalah dunia ide. karena ide terlebih dulu ada sebelum
materi. Aliran filsafat ini, kemudian berimplikasi dalarn bidang pendidikan. Bangunan filsafat
tersebut membentuk sebuah pemahaman bahwa pendidikan dikonstruk berdasarkan ide-ide
yang bersifat abstrak yang lebih mengedepankan akal pikiran dan moral.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Isep dan Zainal Arifin. 2002. Filsafat Umum. Bandung: Gema Media
Pusakatama.
Abidin, Zainal. 2001. Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Achmadi, asmoro. 1995. Filsafat umum Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ali, Muhammad. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Bachtiar, Amsal. 2008. Filsafat Ilmu. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Bertens, K. 1971. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Gazalba, Sidi. 1991. Sistimatik Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang.
Horne, Herman. 1942. An Idealistic Philosophy of Education dalam, Nelson B. Henry,
Philosophies of Education, Illmois: University of Chicago:
Knight, George R. 2004. Issues and Alternatives m Education Philosophy, Terj. Mahmud Arif,
Filsafat Pendidikan, Isu-isu Kontemporer dan Solusi Alternatif, Yogyakarta: Idea
Press.
Maksum, Ali., Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post Modern, Yogyakarta: IRCiSoD: 2004
Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Yazdi, Muh.T.Musbah. 1991. Filsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai