Anda di halaman 1dari 19

Apa itu Metaverse?

dan Apa Saja Dampak


Positif dan Negatifnya?
Aditya Abdi

Ilustrasi Metaverse. [Freepik]

Pada tanggal 29 Oktober 2021, Mark Zuckerberg sebagai CEO sekaligus pendiri Facebook ini
mengubah nama perusahaannya dari Facebook Inc. menjadi Meta Platforms Inc. dikarenakan
saat ini visi masa depan perusahaannya adalah metaverse.

Tak lama pun berita metaverse ramai diperbincangkan di berbagai media sosial, mulai dari
Twitter, Facebook, hingga ke Instagram.

Namun, apakah kalian tahu apa itu metaverse? Dan apa saja dampak positif dan negatif dari
metaverse ini? Jika tidak, yuk mari kita baca artikel ini hingga selesai untuk menambah wawasan
kita mengenai metaverse yang sedang ramai diperbincangkan!

Pengertian Metaverse

Tahukah kalian kalau istilah metaverse pertama kali digunakan dalam sebuah novel keluaran
tahun 1992 yang berjudul Snow Crash. Pembuat novel Snow Crash sendiri adalah Neal
Stephenson, seorang penulis kelahiran tahun 1959.

Pada novel ini, metaverse digambarkan sebagai dunia virtual yang di mana kita dapat
mengunjunginya melalui perangkat VR (Virtual Reality).

Di metaverse ini kita dapat dapat berkolaborasi, berinstraksi, dan berkomunikasi tanpa harus
berada di ruangan yang sama. Mark Zuckerberg, menggambarkan dunia virtual ini atau
metaverse sebagai tempat yang bisa kita masuki, alih-alih hanya dengan melihat layar saja.

Dampak Positif dari Metaverse

Adapun dampak positif dari metaverse sebagai berikut:

1. Pengalaman

Dengan adanya Metaverse ini, kita dapat menjadi siapa saja dan dimana saja. Selain itu, kita juga
dapat mewujudkan fantasi yang kita miliki dan dengan pengalaman tersebut dapat menjadi
sebuah lompatan baru dalam perkembangan teknologi.

2. Ekspresi
Media sosial seperti Instagram atau yang lainnya saat ini cuma hanya menampilkan profil
seseorang dalam bentuk tulisan, gambar dan video saja, namun dalam metaverse, kita
ditampilkan dalam bentuk avatar 3D. Oleh karena itu, kita dapat mendesain karakter diri kita
sendiri sampai bisa memperlihatkan ekspresi yang kita alami kepada orang lain.

3. Teleportasi

Kalau yang satu ini pasti kalian sudah tau dong maksudnya apa? Nah, jadi kita dalam metaverse
ini bisa berpergian ke berbagai tempat hanya dengan diam di dalam ruangan saja, keren sekali
bukan?

4. Meningkatkan Produktivitas

Dengan adanya metaverse ini, pengembang berharap selain bermain dan berinteraksi, para
penggunanya juga bisa meningkat produktivitasnya.

Tentunya hal ini bisa saja terjadi, mengingat dunia virtual ini seperti dunia fantasi yang pastinya
akan membuat kita merasa lebih bersemangat.

Dampak Negatif dari Metaverse

Nah, karena barusan kita sudah membahas dampak positif dari metaverse, sekarang kita akan
membahas dampak negatifnya. 

Adapun dampak negatif dari metaverse sebagai berikut:

1. Keamanan Data Diri

Sudah pasti kalau berhubungan dengan internet itu pasti selalu ada saja bahaya terkait keamanan
data diri, misalnya, kita ingin mendaftar akun Instagram, maka kita akan disuruh untuk mengisi
data diri kita untuk proses pembuatan akun Instagram.

Seperti yang kita tahu, kalau di internet ini rawan sekali pencurian data, contoh seperti berita
yang belum lama ini terjadi kalau ada pencurian data pada aplikasi PeduliLindungi.

Oleh karena itu saya rasa pencurian data diri ini mungkin akan semakin mudah karena sekarang
saja di internet sering terjadi pencurian data.

2. Menimbulkan Adiksi

Banyak sekali orang-orang yang kecanduan dengan hp dan media sosialnya, bahkan bisa
mengabiskan waktu berjam-jam hanya untuk scroll timeline media sosial.

Dari hal ini kita dapat membayangkan jika metaverse ini sudah ramai digunakan oleh orang-
orang, maka pasti akan banyak orang yang kecanduang dengan dunia virtualnya.
Hayo jujur, berapa jam kalian dalam sehari untuk bermain media sosial?

3. Depresi

Media sosial seperti Twitter, Instagram, Tiktok, Facebook, dan lainnya yang hanya sebatas
tulisan, foto, dan video saja bisa membuat orang depresi bahkan untuk melakukan bunuh diri
karena banyaknya kasus cyberbullying. Hal ini tentunya bisa saja terjadi di metaverse.

Decentraland Penggerak Pertama di


Persaingan Metaverse
6 Januari 2022
OLEH: Endy Daniyanto

Di sektor metaverse yang ketat bersaing, The Sandbox (SAND) dan Decentraland (MANA)
miliki keunggulan dibanding platform lain sebab sudah menawarkan dunia virtual fungsional.

Metaverse merupakan dunia virtual dimana pengguna dapat berbelanja, bersosialisasi dan
bermain. Baru-baru ini, banyak merk ternama mulai memakai peluang tersebut untuk
memasarkan produk dan jasa mereka.

Resiko perusahaan besar seperti Facebook yang memutuskan memasuki sektor metaverse dapat
berdampak kepada keberhasilan Decentraland.
Kendati demikian, Decentraland memiliki basis pengguna aktif 300 ribu orang dengan 18 ribu
pengguna harian. Perusahaan ini meluncurkan pemasaran besar-besaran demi menangkap
pengguna.

Animo seputar metaverse bertambah sejak Facebook berubah nama menjadi Meta. Di saat yang
sama, Decentraland turut semakin populer dan token MANA meroket dengan adanya perhatian
tambahan itu.

Decentraland menawarkan lahan yang dapat disesuaikan, aset seni serta aktivitas untuk
dilakukan pengguna. Ada 90 ribu kavling lahan di platform itu yang masing-masing berbentuk
NFT.

Pengguna dapat menjadi taipan properti virtual atau tuan rumah pulau liburan. Permainan free-
to-play dalam Decentraland lebih mudah dibanding sebagian besar pesaingnya.

Pengguna dapat memainkan game tersebut memakai peramban. Akan tetapi, kepemilikan token
MANA akan membuat pengalaman permainan lebih mendalam.

Token MANA juga dapat digunakan untuk pemilihan suara soal perubahan pada Decentraland.
Platform ini adalah salah satu game blockchain yang mengutamakan desentralisasi.

Kendati Decentraland memiliki pesaing, platform ini menduduki tiga metaverse terbesar akibat
fitur yang membedakan dari platform lain.

The Sandbox menciptakan dunia mirip Minecraft untuk eksplorasi. Axie Infinity berfokus
kepada pertarungan untuk memenangkan imbalan token Smooth Love Potion (SLP) yang dapat
dijual menjadi uang fiat.
Di sisi lain, Decentraland membutuhkan modal tinggi untuk memulai. Investor yang ingin
membeli lahan Decentraland harus siap merogoh kocek setidaknya 4 ribu MANA, setara US$13
ribu USD atau Rp187 juta.

Decentraland tetap dapat dimainkan secara gratis tanpa membeli lahan. Game ini mudah bagi
siapapun yang menginginkan perkenalan dasar kepada metaverse.

Di era pasca COVID-19, teknologi metaverse semakin diminati sebab dapat memberikan sarana
tempat bekerja, sekolah dan mencari penghasilan secara virtual. Di bidang ini, Decentraland
menjadi aset kripto dan metaverse utama.

Alun-alun Jogja Dijual di Metaverse? Jangan


Kaget, Ini Justru Istimewa!

oleh Isidorus Rio Turangga Budi Satria


6 Januari 2022
Ilustrasi Alun-alun Jogja dijual di metaverse. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Di Next Earth, kabarnya Alun-alun Jogja dijual hanya seharga 1,4 USDT per
meter perseginya! Metaverse masih murah meriah.

Bukan media sosial namanya kalau tidak muncul dengan keriuhan baru. Kali ini, keriuhan
disponsori oleh aksi penjualan secara virtual Alun-alun Utara Jogja, Kepatihan, dan Gedung
Agung di situs nextearth.io.

Beberapa media besar sudah meliputnya, bahkan pihak Pemda pun sudah angkat bicara. Dilansir
dari detik, Rabu (5/1) kemarin, Sekretaris Daerah DIY, Kadarmanta Baskara Aji menyebut
pihaknya tengah melakukan kajian dan persiapan langkah hukum, bila diperlukan.

“Kalau sudah merugikan, tentu langkah hukum akan kita lakukan. Saya kira juga masyarakat
sudah bisa konfirmasi dengan diri sendiri. Apa iya Alun-alun Jogja didol (dijual),” jelas
Kadarmanta.

Saya, sih, nggak kaget sama respons Pemda DIY. Dari perspektif lain, saya justru merasa hal ini
menarik. Apalagi, konsep metaverse tengah viral sejak akhir 2021 dan awal 2022. Metaverse
diprediksi akan mencapai puncak hype-nya karena Meta (dulu Facebook) siap jadi pelopornya.
Dan jangan heran kalau nggak cuma Alun-alun Jogja, bahkan Istana Negara dan Gedung DPR RI
juga bisa diperjualbelikan di metaverse kalau ada yang niat.

Nah, sebelum kita bahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita telaah dulu apa itu metaverse.
Kenapa metaverse begitu booming? Dan apakah benar masa depan manusia adalah dunia virtual
bernama metaverse?
Apa, sih, metaverse?

Konsep dunia virtual sebenarnya bukan hal baru. Di dunia game, baik online atau offline, kita
sudah sering menemuinya. Beberapa tahun lalu, fitur AR atau Augmented Reality juga sudah
diterapkan di game Pokemon Go yang sempat populer pada masanya.

Namun, metaverse sedikit berbeda. Menurut saya pribadi, bedanya nggak banyak, tapi cukup
signifikan. Tapi jangan heran kalau kata metaverse nantinya bakal jadi kata yang overused bagi
masyarakat Indonesia seperti halnya dulu kita sering memakai, mendengar, dan membaca kata
“milenial”.

Konsep ini awalnya muncul pada 1992. Namun harus dibilang, memang Mark Zuckerberg yang
bikin metaverse mendadak jadi buah bibir dan nyaris digunakan di mana-mana tiap kita
membahas dua kata; digital dan masa depan.

Bos Meta itu bilang, metaverse adalah konsep lingkungan virtual yang bisa kita masuki sehingga
seolah-olah kita berada dan hidup di dalamnya. Dan tentu, konsep yang ada di bayangan Mark
tentu jauh lebih woke daripada semua konsep media sosial yang ada saat ini, di mana platform
media sosial umumnya hanya memberi kesempatan kepada pengguna untuk melihat di layar.

Kalau kalian pernah main game simulator macam The Sims, kira-kira seperti itulah lingkungan
virtual yang kelak akan kita tinggali di metaverse karena konsep dunia virtual di sana adalah kita
benar-benar hidup, bekerja, bersenang-senang, bahkan ada konser musik.

Cuma ya nggak plek-ketiplek  sama The Sims, lah, kan sekarang teknologi sudah muajuuu pol!
Bahkan saya nggak bakal kaget kalau di dua atau tiga tahun ke depan, kita itu bisa kok nyegat
bakul bakso atau batagor di metaverse. Opo ora wangun pol kui, ndesss???

Versi teknisnya yang agak njelimet. Jadi, metaverse adalah dunia realitas virtual tiga dimensi
(3D) yang menggabungkan teknologi Artificial Intelligence (AI), Augmented
Reality  (AR), dan Virtual Reality (VR).

Buat pencinta game, istilah di atas tentu nggak asing. Biasanya game yang kita mainkan memang
memakai teknologi AR atau VR. Namun, pernah nggak kamu bayangin kalau tiga teknologi itu
kita gabungkan, akan jadi seperti apa? YA JADI METAVERSE HAHAHA!

Konsep ini makin hits ketika penyanyi kondang asal Kanada, Justin Bieber, melakukan konser
virtual pada Desember 2021 lalu menggunakan avatar yang dia kontrol sendiri gerakannya.
Suksesnya konser Bieber membuat nyata angan Zuckerberg bahwa konsep kehidupan tiga
dimensi yang mirip aktivitas sehari-hari manusia di dunia nyata, sangat mungkin untuk dipindah
ke dunia virtual.

Dan ya, ini bukan lagi konsep mentah yang utopis seperti angan manusia untuk hidup di Mars.
Konsep ini sudah sangat dekat dengan perwujudan nyatanya dalam waktu dekat.
Gimana, menarik, ndak? Tapi ini baru permukaannya. Buat selanjutnya, kita bahas bagaimana
metaverse akan mempengaruhi sektor yang sangat duniawi dan berurusan dengan perut manusia,
yakni EKONOMI!

Metaverse di Next Earth: Antara Bumi virtual, NFT, dan cryptocurrency!

Kurang elok membahas metaverse hanya soal hidup di dunia virtual saja. Karena seperti halnya
hidup di dunia nyata, hidup di dunia virtual tentu butuh DUIT, BOS!

Di paragraf awal tulisan ini, kita sudah tahu bahwa Alun-alun Jogja dijual secara virtual di
situs nextearth.io. Di Next Earth, kabarnya Alun-alun Jogja dijual hanya seharga 1,4 USDT per
meter perseginya! Buat yang nggak tahu, USDT itu mata uang kripto. Ya kalau dirupiahkan,
harga per meter perseginya Alun-alun Jogja versi metaverse hanya sekitar Rp20.114 saja. Murah,
pol!

Nah, Next Earth sendiri adalah perancang konsep Bumi virtual yang cukup populer saat ini.
Proyek Bumi virtual yang dibangun Next Earth berbasiskan teknologi blockchain dan
terintegrasi langsung dengan NFT!

Buat kalian yang udah nggak asing dengan cryptocurrency pasti nggak asing dengan
kata blockchai. Itulah teknologi penopang yang mendasari perkembangan mata uang kripto dari
yang populer seperti Bitcoin, Cardano, Ethereum, sampai koin lokalan dalam negeri macam
TKO dan IDM.

Next Earth sendiri adalah metaverse yang beroperasi di blockchain Ethereum dengan jaringan
Polygon. Di dalam situsnya, Next Earth mempersilakan penggunanya untuk memiliki aset real
estate virtual berdasarkan lahan yang terdapat secara real di dunia nyata. Di dalamnya, kamu
bisa beli lahan dan menjadikannya NFT, serta semua transaksi dijalankan tanpa perantara.

Mari kembali ke argumen saya di awal tulisan ini bahwa konsep Alun-alun Jogja dijual secara
virtual justru menarik. Kenapa? Karena kita bisa membeli Alun-alun Jogja milik Keraton!

Coba bayangin, pernah ndak di mimpi terliar kamu sekali pun, kamu mbayangke beli Alun-alun
Jogja secara cash? Terkesan ndak mungkin bahkan gila, bukan? Nah, itu semua cuma mungkin
terjadi di metaverse, ndes! ITU TUH, ITU MENARIKNYA!

Dan sama seperti konsep jual-beli lahan di dunia nyata, di metaverse, lahan virtual yang kamu
beli itu tentu jadi portofolio investasi yang menggiurkan. Sebab ketika konsep ini kian matang
dan mulai digandrungi banyak orang seperti ketika orang kian familiar dengan cryptocurrency di
masa sekarang, di saat itulah harga lahan-lahan virtual yang kalian beli di Next Earth bisa jadi
sumber pemasukan!

Naaah, kalau udah bahas soal pemasukan alias duit, kita akan menuju ke pertanyaan akhir dari
tulisan ini; mata uang di metaverse pakai apa?

Kripto di metaverse
Karena konsepnya adalah virtual alias dunia digital di dalam ekosistem digital, nggak mungkin
ya to kita beli aset di sana terus mbayar pake sistem KPR. Dan lebih nggak mungkin lagi, kalau
bayarnya pakai mata uang rupiah.

Di sinilah kemudian cryptocurrency masuk sebagai pemain utama. Besarnya dominasi


cryptocurrency, terlebih di 2021 lalu, membuat banyak developer koin-koin ini berbondong-
bondong ingin terjun ke metaverse.

Arthur Madrid, salah satu pendiri The Sandbox, koin kripto metaverse yang hits banget bernama
$SAND itu, menyebutkan bahwa teknologi blockchain  dan cryptocurrency akan jadi pemain
penting dalam pertumbuhan metaverse di masa depan.

Seperti di Next Earth saja, kayak yang kita bahas di paragraf sebelumnya, transaksi jual-beli
lahan virtual dilakukan di teknologi blockchain yang mata uangnya memakai cryptocurrency.

Dan nggak usah khawatir, uang-uang virtual yang kalian transaksikan, bisa sewaktu-waktu
ditarik, lalu ditukarkan menjadi rupiah ketika harga koinnya sedang cuan atau tengah naik pesat.
Kalau ini, mah, konsep investasi dasar lah ya, jadi nggak usah kita bahas berlebihan.

Popularitas metaverse yang pelan-pelan mulai booming ini memang mempengaruhi performa


kripto yang sudah masuk. Misalnya, Axie Infinity ($AXS), Decentraland ($MANA), dan
$SAND. Dan sudah banyak orang, saya salah satunya, yang memutuskan untuk ternak tuyul,
eh sorry, maksud saya ternak koin metaverse dengan membeli koin-koin di atas karena harganya
yang masih relatif undervalued namun potensi profit-nya besar di masa depan.

Bagaimana? Metaverse tidak seburuk yang kalian bayangkan, bukan? Atau masih bingung?
Tenang saja, semua hal terasa membingungkan karena kita masih awam. Ketika kita sudah mulai
belajar dan memahaminya satu per satu, niscaya hal-hal rumit semacam
metaverse, blockchain, sampai cryptocurrency bukan lagi isu abstrak yang sulit dicerna.

Gegap Gempita Metaverse Decentraland


(MANA) untuk Masa Depan
6 Januari 2022

OLEH: Panca Saujana


Gegap gempita metaverse memang tak terbantahkan. Decentraland sebagai metaverse di dunia
blockchain-kripto mencatat raihan yang sangat signifikan. Data-data berikut ini bisa menjadi
acuan fundamental perihal tokenomics kripto MANA, termasuk ancaman terhadap Decentraland
dari perusahaan besar, yakni Meta Platform sendiri lewat Horizon Worlds dan Mesh besutan
Microsoft yang kelak bisa dinikmati di Microsoft Teams.

Metaverse Bukan Isapan Jempol

Metaverse tak jadi isapan jempol lagi setelah Mark Zuckerberg mengubah nama perusahaannya
dari Facebook menjadi Meta Platform pada akhir Oktober 2021 lalu.

Satu metaverse platform yang lebih dulu hadir daripada besutan Meta itu adalah Decentraland.
Proyek ini kecipratan “rejeki”, permintaan terhadap native token-nya, MANA naik ratusan
persen, seiring penggunaan platform mereka.

Sejumlah merek ternama membeli lapak virtual di sana. Sebut saja, salah satunya adalah rumah
lelang ternama, Sotheby’s, pada awal Juni 2021 lalu. Anda bisa berjalan-jalan di dalam galeri
mereka di koordinat 52,83.
“Kami melihat Decentraland ruang baru yang menarik untuk seni digital. Di Decentraland
seniman, kolektor, dan pemirsa dapat terlibat satu sama lain dari mana saja, memamerkan seni
yang langka dan unik,” kata Michael Bouhanna, Kepala Marketing Sotheby’s kala itu.

Decentraland Kian Popular Berkat Metaverse

Pihak Decentraland mengklaim sejumlah capaian luar biasa berkat topik metaverse yang kian
jadi buah bibir. Sebelum deklarasi Mark Zuckerberg lalu, platform ini praktis tak dilirik.

Untuk urusan unique visitors dan active users misalnya terjadi kenaikan sebesar 1300 persen
antara tahun 2020 hingga 2021.

Unique visitors pada tahun 2020 misalnya hanya 618.900. Sedangkan pada tahun 2021 melonjak
menjadi 8.500.000.

Sedangkan pengguna yang aktif berada di metaverse mereka, pada tahun 2021 mencapai
1.500.000. Itu luar biasa meningkat, dibandingkan tahun 2020, hanya 105.475.
Itu selaras dengan nilai transaksi kripto di dalamnya, yakni mencapai 88.550.000, menguat
sebesar 2 ribu persen. Perihal aspek nilai digital item yang diperjualbelikan mencapai US$5,7
juta.

Hingga akhir tahun 2021, secara kumulatif selama setahun ada 2480 pemilik lapak di
Decentraland dengan populasi total mencapai 53 persen, yakni 49.623 dari jumlah lapak
mencapai 92.615.

Harga kripto MANA sendiri melonjak 7140 persen selama 52 pekan terakhir, dari US$0,08149
menjadi US$5,90 per MANA.

Kapitalisasi pasar MANA per 5 Januari 2021 berkisar US$5,8 milyar, dengan catatan terkoreksi
lebih dari 45 persen dari harga tertingginya, US$5,90 (25 November 2021). MANA adalah kripto
berkategori metaverse terbesar berdasarkan nilai pasar, dibandingkan yang lain, seperti SAND,
AXS dan lain sebagainya, berdasarkan catatan Coinmarketcap dan Crypto.com.

Per 5 Januari 2021, nilai pasar kripto metaverse mencapai US$64,77 milyar, yang mencakup
lebih dari 500 jenis token.
Basis Fundamental untuk Masa Depan?

Jika capaian Decentraland ini adalah salah satu sandaran dan basis fundamental harga MANA di
masa depan, berkat “gaung” metaverse, maka kripto MANA bisa jadi lirikan apik di tahun ini,
selain kripto lain yang bermain di arena serupa, seperti The Sandbox (SAND) dan Axie Infinity
Shard (AXS).

Bicara peluang pasar, menurut Grayscale, metaverse bisa menyumbangkan pendapatan sekitar
US$1 triliun per tahun, bersaing ketat nilai perusahaan di kategori Web 2.0, yakni US$15 triliun.
Metaverse, dipadukan dengan kripto, blockchain, NFT, DeFi dan lain sebagainya di dunia
desentralistik digadang-gadang jadi bagian dari gelombang ketiga world wide web, yakni Web
3.0.

Persaingan kian ketat ini, tentu saja bergantung pada keahlian tim Decentraland sendiri untuk
menarik lebih banyak merek-merek ternama lagi masuk ke metaverse-nya.

Hal lain, kita menanti gebrakan metaverse dari Meta Platform sendiri (Horizon Worlds),
sebagai pelopor yang berkapital lebih besar.

Belum lagi menanti persiapan metaverse ala Microsoft (Mesh), yang bakal bisa dinikmati di
Microsoft Teams.

nVidia juga sudah bersiap masuk ke bisnis metaverse lewat peluncuran piranti lunak Omniverse.
Alat ini memungkinkan kreator gambar 3 dimensi saling berbagi pengalaman berkarya mereka di
dunia virtual itu.

Pemain besar lain yang lebih berpengalaman dan punya modal sangat tak terbatas adalah
ancaman tersendiri bagi Decentraland. Animoca Brands, perusahaan di balik The Sandbox juga
sedang mencicipi dunia baru ini.

Salah satu acara yang bakal menarik perhatian dalam waktu dekat di Decentraland adalah
“Metaverse Fashion Week” pada 24 dan 27 Maret 2022 mendatang. Ini akan jadi ajang perdana
di metaverse untuk peragaan busana kelas antarbangsa, sekaligus unjuk gigi, siapa saja penyedia
metaverse dan kreator yang unggul.

Ajang ini pula sebagai salah pameran terkini perihal kemampuan teknologi blockchain terkini,
kripto dan pengayaan non-fungible token (NFT) di derajat yang lebih baru. [ps]

Harga Bitcoin Terus Tertekan: Pasar Kripto


Kian Mencekam?
6 Januari 2022

OLEH: Panca Saujana

Harga Bitcoin dan ratusan kripto lainnya terus tertekan. Bagi Anda pemula di pasar kripto,
termasuk ‘penghuni lama’ yang berhaluan jangka panjang, patut memperhatikan ulasan ini. Apa
sebab dan apa yang harus dilakukan?

Harga Bitcoin Tertekan, Death Cross Berpotensi Terjadi

Pada tengah hari ini, Kamis (6/1/2022), harga Bitcoin merosot cepat hingga US$42.400. Itu
mengembalikan posisi aset kripto itu nyaris seperti 4 Desember 2021 (US$42.123).
Secara teknikal, gejala koreksi ini sudah dimulai sejak 16 November 2021, ketika menyentuh
US$62.787, jauh di bawah all time high, yakni US$69.000 lalu bergerak berada di bawah
Moving Average (MA) 50 pada time frame 12 jam.

Itu pun ditegaskan pada time frame yang lebih panjang, yakni harian, ketika luruh lagi di bawah
MA 50, di kisaran US$59.430.

Moving Average (MA) 50 cenderung landai dan berpotensi menghujam MA200 di time frame harian,
sebagai penanda koreksi hebat berikutnya. Sumber: Coinigy.

Di time frame ini pula, berpotensi terbentuknya death cross, ketika kelak MA50 melintasi ke
bawah MA200. Jikalau ini solid, maka penurunan lebih lanjut sulit dibantah.

Berpotensi Meluncur di Bawah US$40 Ribu?

Skenario terburuk juga datang dari hasil ulasan Mark Newton, Direktur Pelaksana Fundstrat
Global Advisors, pada Kamis pagi tadi. Ia menyebutkan, bahwa level US$45.655 adalah
support level penting untuk Bitcoin.

Namun, batasan ini sudah terlepas, sehingga harga Bitcoin saat ini berada di jalur US$40.000
untuk kali pertama sejak September 2021.

Newton menyematkan analisis teknikal, bahwa kripto besar ini sudah membentuk flag pattern, di
mana level saat ini tak mampu lagi mengimbangi tiga level sebelumnya pada time frame 2 jam.
Trader Cenderung Fokus ke Altcoin

Edward Moya, Analis Pasar Senior OANDA, mengatakan, dekorelasi antara altcoin dengan
Bitcoin (BTC) bisa memberikan tekanan lebih lanjut terhadap BTC.

Menurutnya penguatan terhadap BTC akan terus berlangsung dalam jangka panjang, tetapi tahun
ini adalah masa sulit bagi kripto nomor wahid itu, karena sejumlah trader bisa lebih fokus ke
altcoin.

Korelasi Positif dengan Pasar Saham

Pasar kripto sejatinya berkorelasi positif dengan pasar saham, walaupun tidak selalu, tetapi kerap
terjadi. Artinya, jikalau pasar saham bergejolak, maka pasar kripto diproyeksikan berlaku hal
serupa.

Pasarnya arus modal ke kedua pasar berlainan itu, praktis ditentukan oleh sentimen pasar
terhadap kebijakan The Fed soal makro ekonomi.

Korelasi ini terbukti pada hari ini, ketika indeks Nasdaq Composite yang berfokus pada
teknologi, yang dikenal dengan korelasi kuatnya dengan Bitcoin, mundur 3,34 persen menjadi
ditutup pada 15.100. Saham Nvidia, AMD dan Adobe turun lebih dari 5 persen. Dow Jones
Industrial Average dan S&P 500 juga ditutup di zona merah.

Menurut data dari Bloomberg, pada 3 Desember 2021, koefisien korelasi 100 hari antara Bitcoin
dan S&P 500 adalah 0,33, di mana 1 berarti mereka selalu bergerak bersama dan -1 berarti
mereka benar-benar berbeda. Nilai 0,33 memang terbilang kecil, tetapi relatif bergerak
bersamaan, walaupun tidak selalu, sehingga patut dijadikan patokan analisis.
Kebijakan Tapering dan Kenaikan Suku Bunga Acuan The Fed

Jika acuan umum adalah adanya korelasi positif antara pasar modal di AS dan pasar kripto secara
umum, maka jawaban cukup lugasnya ada di sekitar kebijakan tapering dan rencana kenaikan
suku bunga acuan The Fed.

Koreksi cepat hari ini bebeberapa waktu saja, setelah diterbitkannya risalah hasil rapat The Fed
pada Desember 2021 lalu. Menurut Bank Sentral itu, rencana percepatan penaikan suku bunga
adalah pasti, setidaknya dimulai Maret 2022.

Dua kebijakan ini demi menyelamatkan AS dari inflasi yang menganga, dampak dari kebijakan
stimulus ekonomi dan pembelian obligasi ketika pandemi dimulai pada Maret 2020.

Inilah yang bisa membuat nilai indeks dolar AS (DXY) akan semakin menguat dan memberikan
peluang biaya impor barang semakin murah. Perhatikan pada gambar di bawah ini, pada time
frame mingguan, DXY berpotensi akan terjadinya golden cross.

D
XY berpotensi terus menguat jika golden cross terbentuk dalam hitungan pekan.

Pada muaranya penguatan dolar ini dan murahnya biaya impor akan mendorong harga barang
dan jasa di dalam negeri AS akan turun, sehingga inflasi bisa ditekan lebih keras. Ini tentu saja
untuk mengimbangi pembatasan daya beli oleh konsumen saat ini, termasuk menaikkan nilai
imbal hasil obligasi pemerintah.

Lazimnya kebijakan The Fed akan lebih tegas terasa dampaknya pada hitungan rata-rata setelah
1 tahun diterapkan. Ini setidaknya memberikan kita cukup ruang untuk mengulas ulang situasi
pasar.
Tinjauan Jangka Panjang

Lahirnya sistem uang elektronik Bitcoin yang dirancang oleh Satoshi Nakamoto pada tahun 2008
adalah respons tegas terhadap situasi krisis keuangan saat itu. Itu berpangkal dari abainya The
Fed terhadap lemahnya struktur pasar kredit perumahan dan properti kala itu dan lalu
menghempaskan pasar modal ke titik nadir seperti krisis tahun 1985.

Akhirnya kita menemui pelemahan dolar itu sebenarnya nyata dan tidak pernah kembali seperti
sebelum tahun 1985 itu, apapun resep yang disajikan oleh The Fed.

Bitcoin pada fitrahnya adalah penyeimbang sistem ekonomi sentralistik yang cenderung tidak
adil untuk sisi masyarakat kelas bawah, sekaligus lindung nilai terhadap turunnya nilai fiat
money.

Bitcoin pun menemukan ruang baru pada Desember 2017, ketika Chicago Mercantile Exchange
(CME) untuk kali pertama menjual produk Bitcoin Berjangka. Lalu pada tahun 2020, perusahaan
publik ramai-ramai membeli kripto itu, kemudian disusul masuknya nilai Bitcoin di pasar
komoditi itu di pasar modal dalam bentuk ETF (exchange-traded fund).

Pola semakin mainstream-nya aset ini sama seperti emas di masa lampau. Pada tahun 1970-an
adalah kali pertama emas masuk pasar berjangka, setelah sebelumnya pemerintah melarang
membeli emas dan patokan nilai dolar tak lagi berlandaskan logam mulia itu. Kemudian pada
tahun 2003 emas masuk pasar ETF.

Dua tanda mata ini adalah indikator besar untuk penguatan Bitcoin dalam jangka panjang, karena
dua pasar itu sejatinya guna meredam volatilitas tinggi aset kripto.

Maka, bagi Anda penghuni lama ataupun penghuni baru di pasar kripto yang punya wawasan
jangka yang sangat panjang, tidak perlu cemas berlebihan dengan penurunan cepat dan dinamika
baru ini. Demikian pula trader di pasar berjangka bisa memasang posisi short lebih lama, agar
cuan lebih terawat.

Kita juga menantikan semakin merasuknya sistem Lightning Network Bitcoin di skala lebih
besar, melampaui yang telah diterapkan di El Salvador sejak tahun lalu.

Teknologi Layer 2 itu memungkinkan transaksi dolar AS diselesaikan menggunakan blockchain


Bitcoin, yang bisa menekan biaya transaksi antar negara. Ini kisah use case BTC di masa depan,
serupa dengan use case blockchain lain yang jauh lebih cepat.

Meminjam hasil teropong masa depan Goldman Sachs. Perusahaan itu memproyeksikan harga
BTC bisa mencapai US$100 ribu per BTC pada tahun ini dan mengambil pangsa pasar emas.
[ps]

Anda mungkin juga menyukai