Anda di halaman 1dari 10

PEMERINTAH ORDE BARU

A. Pemerintahan Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru muncul setelah terjadinya krisis politik akibat aksi pembunuhan
beberapa pimpinan tinggi TNI-AD oleh pasukan G30S. Setelah pasukan G30S berhasil ditumpas
oleh Panglima Konstrad Mayjen Soeharto, muncul tuntutan untuk membubarkan PKI(Partai
Komunis Indonesia) karena dinilai sebagai dalang G30S. Namun Presiden Soekarno menolak
memenuhi tuntutan ini, sehingga mendorong para wakil rakyat di MPRS(Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara) memberhentikannya melalui Sidang Istimewa yang
berlangsung pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.

Sesuai UUD 1945, MPRS memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
seorang Presiden karena kedudukan Presiden adalah mendataris MPRS , maksudnya orang yang
diberikan mandat untuk memimpin negara. Ada alasan utama pemberhentian Presiden Soekarno.
Pertama, Soekarno dinilai gagal memenuhi pertanggungjawaban konstitusionil. Kedua, Soekarno
dinilai gagal menjalankan haluan dan putusan MPRS.

Keberadaan MPRS merupakan bukti nyata tentang keinginan kuat pendiri Republik
Indonesia untuk membangun negara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Ciri negara
demokrasi yang terpenting adalah pengawasan terhadap pemegang kekuasaan (Presiden) oleh
para wakil rakyat (MPRS). Ciri lain ialah adanya pemilu(Pemilihan Umum) untuk menentukan
para wakil rakyat dan kepemimpinan nasional.karena perang dengan Belanda beserta
penyelesaiannya, pemilu baru dilaksanakan pada tahun 1955. Hasil Pemilu 1955 adalah
terciptanya MPRS, DPR(Dewan Perwakilan Rakyat) dan Badan Konstituante. Namun Badan
Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sementara
keanggotaan MPRS dan DPR berdasarkan pengankatan, bukan melalui Pemilu yang
mencerminkan kehendak rakyat. Kebijakan Soekarno ini melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Pelanggaran selanjutnya terhadap prinsip demokrasi adalah pengangkatan Soekarno sebagai
presiden seumur hidup. Dalam negara demokrasi, pemimpin dan para wakil rakyat mempunyai
masa kekuasaan yang terbatas sesuai kesepakatan, yaitu 5 tahun sekali.

Kekuasaan presiden Soekarno berakhir pada tahu 1967 setelah mandatnya dicabut oleh
MPRS. Dalam waktu satu tahun (1967-1968) kekuasaan Presiden diberikan kepada Jendral
Soeharto sebagai pejabat presiden. Pada tahun 1968, MPRS mengangkat Soeharto menjadi
presiden tetap dengan tugas utama menyelenggarakan Pemilu yang terlaksana pada tahun 1971.
Hasilnya adalah kemenangan Golkar (Golongan Karya) sehingga menguasai DPR dan MPR.
Berdasarkan peraturan yang disepakati, pemilu 1971 hanya memilih para wakil rakyat di DPR
dan MPR. Setelah itu para wakil rakyat di MPR memilih presiden melalui Sidang Umum (SU)
yang dilakukan satu tahun setelah pemilu. Tahun 1972 MPR mengadakan SU yang mengangkat
kembali Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Soeharto diberi kewenanagan untuk
menunjuk seorang wakil presiden.

Soeharto menamakan pemerintahan yang dipimpinnya sebagai Orde Baru. Di bawah


kepemimpinannya , Indonesia memasuki Era baru yakni menegakan kembali prinsip-prinsip
demokrasi seperti membatasi masa jabatan presiden, mengadakan pemilu yang teratur secara
periodik dan menegakan kembali trias politikayang membagi kekuasaan kepada lembaga
eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Masa jabatan presiden adalah 5 tahun. Pemerintah Orde Baru menganut sistem
perwakilan sehingga presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu, tetapi presiden
dipilih oleh para wakil rakyat di MPR. Pemilu hanyalah memilih para calon wakil rakyat yang
berasala dari partai-partai politik. Sistem perwakilan menyebabkan dominasi partai politik peraih
suara terbanyak dalam pemilu sebagai penentu utama terpilihnya seorang calon presiden. Selama
Orde Baru, Golkar meraih suara terbanyak dalam setiap pemilu dan para wakil rakyatnya di
MPR selalu mencalonkan Soeharto calon tunggal. Dari tahun 1968 sampai 1998 sudah
dilaksanakn 6 kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Selama itu pula Golkar
mengusulkan Soeharto sebagai calon presiden.

Sistem perwakilan memungkinkan terjadinya perbedaan antara calon presiden yang


dikehendaki rakyat dengan presiden yang dikehendaki para wakil rakyat. Karena rakyat belum
tentu mendukung calon presiden yang didukung partai yang mempunyai jumlah wakil rakyat
yang terbanyak, sebagaimana terjadi pada presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang partai
pendukung utamanya, yakni Partai Demokrat, tidak menguasai lembaga legislatif. Melainkan
terpilih berdasarkan Pemilu 2004. Rakyat ternyata tidak memilih calon presiden yang diusulkan
partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP.

Bangsa Indonesia pada awalnya tidak menolak sistem perwakilan danlam pemilihan
presiden karena sudah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan. Misalnya Soekarno diangkat
menjadi presiden pada tanggal 18 Agustus 1945 berdasarkan hasil kesepakatan para anggota
PPKI. Soekarno lalu memberikan kewenangan menunjuk formatur kabinet dan pada tahu 1959
menunjuk dirinya sebagai formatur kabinet.

Soeharto melanjutkan sistem perwakilan tersebut dengan sedikit perbaikan, yakni


pemberian kewenangan para wakil rakyat untuk memilih dan memberhentikan presiden
sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Kewenangan seperti ini tidak diperoleh para wakil rakyat
hasil Pemilu 1955. Berdasarkan aturan sitem perwakilan maka presiden berkedudukan sebagai
mandataris MPR, atau orang yang diberikan mandat menjalankan pemerintahan negara.

Mekanisme sistem perwakilan tidak sepenuhnya berjalan lancar pada masa Orde Baru.
Seharusnya para wakil rakyat melakukan pengawasan terhadap kinerja presiden beserta para
menterinya dalam menjalankan mandatnya. Namun para wakil rakyat tidak mampu
melaksanakan fungsi pengawasannya sehingga mereka cenderung hanya menyetujui usulan
pemerintah meskipun tidak sesuai dengan keinginan rakyat yang diwakilkan.

Ketidakkemampuan para wakil rakyat menjalankan fungsi pengawasannya terhadap


presiden beserta para menterinya mirip dengan yang terjadi pada masa kepemimpinan Presiden
Soekarno sehingga banyak kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan haluan dan keputusan
MPRS. Yang terpenting adalah kebijakan luar negeri Presiden Soekarno yang cenderung
berpihak kepada salah satu blok kekuatan di dunia. Sejak tahun 1945 ada dua blok kekuatan
dunia yang saling bersaing yaitu, blok barat pimpinan Amerika Serikat dan blok timur pimpinan
Uni Soviet. Blok barat terdiri dari negara-negara Eropa Barat dan negara-negara di kawasan
lainnya yang menganut liberalisme, sedangkan blok timur terdiri dari negara-negara Eropa timur
dan negara-negara dikawasan lainnya yang menganut komunisme.

Antara tahun 1945 hingga 1959 pemerintah Indonesia menjalankan prinsip bebas aktif
dalam kebijakan luar negerinya. Bebas artinya Indonesia tidak bergabung antara blok Barat dan
blok Timur. Aktif artinya Indonesia aktif ikut serta dengan negara-negara lain dalam kerja sama
yang tidak mengikat untuk menciptakan perdamaian dunia. Oleh karena itu Indonesia masuk
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kebijakan luar negeri yang bebas aktif dilanggar oleh Presiden Soekarno. Setelah tahun
1959, Indonesia bergabung dengan negara Blok Timur. Perunahan ini dilatarbelakangi
kekecawaan Soekarno terhadap sikap degara-negara blok Barat dalam persidangan PBB yang
cenderung berpihak kepada Belanda dalam menyelesaikan persengkataan Irian Barat dan
berpihak kepada Inggris dalam soal pembentukan negara federasi Malaysia. Untuk itu Soekarno
banyak membeli peralatan militer dari Negara-negara Blok Timur sehingga pasukan Indonesia
nenjadi pasukan terkuat di Benua Asia. Pada tanggal 7 Januari 1965 Soekarno menyatakan
Indonesia keluar dari kenggotaan PBB karena diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap
Dewan Kemanan PBB.

Kebijakan luar negeri yang konfrontatif dan berpihak kepada Negara-negara Blok Timur
ditinggalkan oleh Presiden Soeharto. Langah pertama yang dilakukan Soeharto adalah
mmasukan kembali Indonesia sebagai anggota PBB. Hal ini mencehagh Indonesia menjadi
Negara yang terkucil dari masyarakat Internasional. Setalah itu Indonesia mengganti Politik Luar
Negeri konfrontatifnya dan berdamai dengan pihak Malaysia.

Perubahan politik luar negeri Indonesia ini menghilangkan ketgangan di kawasan Asia
khususnya Asia Tenggara. Pada tanggal 8 agustus 1967 lahirlah organisasi regional di Negara-
negara Asia Tenggara, ASEAN (Association of South East Asia Nations) di Bangkok, Thailand.
Ada lima Negara yang tergabung pada awal pembentukan ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia,
Thailand, Singapura dan Filipina. Pihak Indonesia diwakili oleh Menteri Presidium
Politik/Menteri Luar Negeri Adam Malik. Kini jumlah Negara ASEAN bertambah menjadi
sepuluh dengan turut bergabungnya lima Negara Asia Tenggara lainnya yaitu Brunei
Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar (Burma), dan Vietnam.

Pada tanggal 8 gustus 1976 dalam konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta yang
dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal. Para menteri luar negeri ASEAN dalam KTT 1976 di
Bali bersepakat menunjuk H.R. Dharsono dari Indonesia sebagai sekjen ASEAN yang pertama.
Masa jabatan Sekjen adalah dua tahun. Keberadaan ASEAN semakin menungkatkan kerjasama
di antara Negara-negara Asia Tenggara untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran. Mulai
tahun2003 kawasan Asia Tenggara dinyatan sebagai pasar bebas dengan diberlakukannya AFTA
(ASEAN Free Trade Area).

B. Pembangunan Politik

Sejak awal kemerdekaan, Negara Republik Indonesia menganut system multipartai.


Peraturan ini berdasarkan Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 Nopember 1945. Beberapa partai
politik lahir dengan ideologi yang berbeda-beda. Secara garis besar ada tiga aliran yang diakui
oleh Presiden Soekarno, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Ketiganya disingkat
menjadi NASAKOM. Partai politik yang berdasarkan agama seperti NU, Partai Syarekat
Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik
dimasukkan dalam kelompok partai berideologi agama. Partai berideologi Nasionalisme adalah
Partai Nasionalisme Indonesia (Partindo), dan Ikatan Pecinta Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Sedangkan partai berideologi komunis hanya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Jumlah Sembilan partai merupakan hasil pengurangan partai politik yang dilakukan oleh
Presiden Soekarno. Dalam Pemilu 1955 terdapat 36 partai pilitik. Dari 36 partai politik hanya 27
partai politik yang mendapatkan kursi parlemen. Dari 27 partai politik berkurang kembali
menjadi 12 partai politik. Memasuki tahun 1960-an, Presiden Soekarno membubarkan tiga partai
politik yaitu Partai Islam Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Murba.

Jumlah partai berkurang lagi pada tahun 1966 dengan dibubarkannya PKI oleh
Menteri/Panglima Angkatan Darat Presiden Soeharto agar mengembalikan keamanan dan
ketertiban Indonesia pasca pembunuhan pimpinan TNI-AD oleh G30S. Dengan demikian ada
tujuh partai di awal kemunculan Prde Baru, yaitu PNI, NU, PSII, Perti, Parkindo, Partai Katolik,
dan IPKI. Tiga partai lainnya berdiri mejelang Pemilu 1971 seperti Partai Murba, Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Golkar. Sepuluh partai politik inilah yang bersaing
memperebutkan suara. Dua partai tidak memperoleh suara yang cukup untuk memperoleh kursi
di parlemen, yaitu Partai Murba dan IPKI.

Di luar dugaan, Golkar berhasil memperoleh suara terbanyak dengan kemenangan mutlak
yakni 62,8% dari jumlah suara yang diperebutkan sehingga mempunyai 221 kursi. Urutan
selanjutnya adalah NU dengan 18,67% suara (58 kursi), Parmusi dengan 7,365% suara (24
kursi), PSII dengan 2,39% suara (10 kursi), Parkindo dengan 1,34% suara (7 kursi), Partai
Katolik dengan 1,11% suara (3 kursi), dan Perti dengan 0,07% suara (2 kursi).

Berdasarkan perolehan suara Pemilu 1971 maka Golkar mendominasi parlemen. Oleh
karena itu Calon Presiden yang diusulkan Golkar, yaitu Jenderal Soeharto terpilih sebagai
Presiden. Setelah dilantik, Soeharto segera menerapkan konsep penyederhanaan partai menjadi
tiga, yaitu partai berdasarkan agama, non-agama, dan golongan karya.

Ketiganya (PPP,PDI,Golkar ) oleh Pemerintah Orde Baru sebagai organisasi peserta


Pemilu 1977,1982,1987,1992,dan1997.Selama Orde Baru dilarang mendirikan partai
baru.Disamping itu,Orde Baru juga melarang partai-partai politik untuk membentuk
kepengurusannya dipedesaan,melarang pegawai sipil maupun militer untuk menjadi anggota atau
pengurus partai politik.Sejumlah larangan ini bertujuan membebaskan masyarakat Indonesia dari
pengelompokan berdasarkan keberpihakan kepada salah satu partai politik sebagai mana yang
terjadi pada masa Orde Lama dengan komsep NASAKOM .Namun peaturan ini sangat
menguntungkan Golkar yang didalam undang-undang tidak disebutkan sebagai partai politik
tetapi mewakili Golomnan Karya .Berdasarkan peraturan ini maka Golkar menguasai birokrasi
pemerintahan,ABRI (Angkatan Ber senjata Republik Indonesia),dan wilayah pedesaan melalui
para kepala desa atau lurah yang berada dibawah koordinasi kementrian dalam negeri.

Ketidakberdayaan PPP dan PDI semakin bertambah dan turut campurnya pemerintah
dalam menyeleksi calon rakyat yang diusulkan masing-masing pengurus paratai.Lewat seleksi
ini orde baru hanya meloloskan mereka yang tidak menentang kebijakan pemerintah.Dengan
demikian para wakil rakyat dari PPP ,PDI,dan Golkar tidak dapat menjalankan fumgsi
pengawasannya terhadap pemerintahan orde baru.Oleh karena itu selama orde baru selalu dicapai
kata sepakat dan mufakat untuk menyelesaikan setiap persoalan.Cara pemungutan suara yang
dibenarkan dalam prinsip demokrasi tidak pernah dilakukan selama orde baru.

Ketidak mampuan pra wakil rakyat melakukan fungsi pemgawasan terhadap pemerintah
mendolong kemunculan Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) bidang politik.Awal kesemarakan
munculnya LSM terjadi selama dasawarsa 1980-an dan 1990-an.Mereka inilah yang mengawasi
pemerintahan orde baru melalui kegiatan advokasi (pembelaan) terhadap masyarakat mengalami
tindak kesewenang-wenangan aparat pemerintahan orde baru.Selain LSM ,yang melakukan
fungsi pengawasan adalah pers nasional.Akibatnya,banyak pers nasional yang bredel oleh
pemerintahan orde baru,sepaerti Sinar Harapan,Tempo,Detik.Namun pembredelan tidak
mematahkan semangat insane pers nasional lainya untuk maengawasi jalanya pemerintahan.

C. Pembangunan Ekonomi

Dalam pandangan orde baru ,krisis di Indonesia disebabkan olheh perhatian yang terlalu
besar dari pemerintahan maupun rakyat untuk melakukan pembangunan dibidang politik
.Akibatnya terjadi perpecahan dari segala lapisan masyarakat mulai dari pusat kekuasan hingga
memasuki wilayah pedesaan. Berdasarkan padangan ini maka orde baru menghentikan
pembangunan politik dan menggatikannya dengan pebangunan ekonomi.Pada tahun 1966 para
wakil rakyat di MPRS mengeluarkan ketetapan XXII/MPRS/1966 tentang Kebijaan Landasan
Ekonomi,Keuangan dan Pembangunan.Dengan TAP ini MPRS mendesak pemerintah mengganti
landasn ekonomi terpimpin yang dinilainya sudah gagal.Sebagai gantunya dioerkenalkan konsep
demokrasi ekonomi yang mengharuskan adanya pengawsan rakyat terhadap kekayaan
Negara.Peranan pemerintah hanyalah memberikan pangarahan untuk mendorong pembangunan
karena kegiatan produksi harus ikerjakan oleh semuanya dibawah pimpinan maupun pemilikan
anggota masyarakat.

Berdasarkan Tap XXII/MPRS/1966 tersebut pemeriahan orde baru melakukan program


stabiitasi dan rehabilitasi ekonomi untuk menyelamatkan perekonomian nasional yamg
mengalami kehancuran selama ekonomi terpimpin .Tujuan stabilitasi ekonomi adalah
mengembalikan perekonomian nasional pada tahap yang normal.
Biaya kehidupan rakyat sebenarnya diperoleh melalui pengoahan kekeyaan Negara oleh
pemerintah.Namu,hasil kekayaan Negara selama ekonomi terpimpin digunakan untuk
membiayai kebijakan politik luar negeri yang konfrontatif,seperti membeli peralatan
militer.Sebagian besar untuk membiayai kebijakan tersebut diperoleh dari pinjaman luar
negeri.Pada tahun 1966 untang Indonesia sejumlah 2,3 milyar dolar AS,dan jatuh tempo thn
1967 namun Indonesia belum bias membayar akhirnya jumlahnya bertambah 500 juta dolar AS.

Untuk mengatasi persoalan tersebut pada bulan September 1966 diadakan perjanjian di
Tokyo,Jepang antara Indonesia dengan Negara kreditor seperti Jepang,prancis dll.

Bersedia menghadiri pertemuan tokyo, meskipun di undang. Agenda pertemuan adalah


Rescheduling utang-utang Indoneia. Perundingan lalu dilanjutksn di Paris, Perancis dikenal
sebagai Paris Club. Negara-negara kreditor mencaai keepakatan untuk menunda embayaran
utang hingga taun 1972-1978 dan memperlunak syrat pembayaran.

Perundingan diantara nnegara-negara yang bergabug dalam Paris Club dilanjutkan


pada tanggal 23-24 Februari di Amsterda, Belanda. Hasil pertemuan adalah pembentukan IGGI
(Inter-Govermenmental Group for Indonesia). Anggota terdiri dari Indonesia, Amerika
serikat,Australia, Belgia,Canada, Jepang, Jerman Barat,Ingris, Italia, Belanda, Denmark. Tujuan
IGGI adakah membantu pemerintah Indonesia mengatasi pembayaran utang-utangnya dan
memberikan pinjaman baru untuk mempercpat pembangunan ekono Indonesia. Kinerja IGGI
ditinjau oleh beberapa negara, yaitu Austria,Denmark, Norwegia,New Zaeland dan Swiss.

Badan-badan ekonomi internasional eperti IBRD (international Bank For Recontruction


and Development) atau World Bank, IMF (International Monetery Fund), IDA (International
Development Agency), dan ADB (Asian development Ban) menjadi peninjau karena Indonesia
mendapat pinjaman , tenaga ahli dan rekomendasi untuk menghadapi negara kreditor.

Negara-negara kreditor memberikan pinjaman yang lebih lunakkepada pemerintah Orde


Baru pada tahun 1967, 1968, dan 1969 jika dibandingkan dengan negara-negara sebelumnya.
Utang yang lunak dapat dilihat dari waktu pelunasan utang yang lebih lama dan bunga yang
rendah. Sebagai contoh, utang Indonesia kepada Amerika Serikat dilunasi dalam waktu 40 tahun
dengan grace period 10 tahun dan bunga 21/2 %Artinya selama 10 tahun pertama pemerintah
Indonesia tidak perlu membayar utang karena pebayaran akan dimulai pada tahun ke-11. Negar-
negara kreditor lainnya juga memberikan keringanan yang sama dengan bunga 21/2 % seperti
Jerman Barat dengan grace Period 8 tahun dan pelunasan dalam waktu 30 tahun, dan Jepang
dengan grace period 7 tahun dan pelunasan 20 tahun. Bahkan IBRD dan IDA memberikan
pinjaman tanpa bunga kepada pemerintah Indonesia dengan grace period 10 tahun dan pelunasan
50 tahun.

Uang pinjaman digunakan untuk melakukan rehabilitasi ekonomi yang meliputi biaya
impor, untuk proyek-proyek pembangunan, dan pengamanan pangan. Dalam rehabilitasi
ekonomi, Pemerintah Orde Baru lebih mengutamakan perbaikan prasarana yang sudah ada
karena biayanya lebih ringan dibandingkan perbaikan prasarana pembangunan yang baru,
sementara prasarana yang lama masih bisa digunakan.

Pembangunan ekonomi membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk itu Pemerintah
Orde Baru mengaluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tntang Penanaman Modal Asing
yang sebelumnya dilarang pada masa ekonomi terpimpin. Pada saat bersamaan, pemerintah
membentuk Badan Prtimbangan Modal Asing, yang langsung dipipin ketua Presidium Kabinet
Jendaral Soeharto. Pada tahun 1968 badan ini dibubarkan dan ebagai gantinya dibentuk panitia
teknis penanaman modal. Tugasnya adalah mengvaluasi dan meneliti persyaratan ijin usha agar
tidak merugikan investor asing maupun domestik. Disamping modal asing, pemerintah juga
perlu menghimpun modal domestik. Untuk itu pemerintah pada tanggal 13 Juli 1968
mengeluarkan UU No.6/1968 tentang penanaman modal dalam negeri.

Guna memperlancar usaha stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi tersebut, Pemerintah


mengesahkan RUU ABN 1968 (Rancangan Undan-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) menjadi UU No.13/1967. Undang-undang APBN ini disahkan sebelum anggaran
dimulai. Hal ini sangat berbeda dengan yang pernah dilakukan Pemerintah Orde Lama selama
masa ekonomi terpimpin.

Tindakan penyelamatan ekonomi nasional antara tahun 1966-1968 berhasil menormalkan


perekonomian nasional (stabilisasi) dan memperbaiki prasarana ekonomi (rehabilitasi). Sebagai
langkah selanjutnya pemerintah menerapkan Rencana Pembangunan Lima Tauhn (REPELITA)
yang dimulai pertama kali pada tanggal 1 April 1979, periode ke empat 1 April 1984, periode ke
lima 1 April 1989, periode ke enam 1April 1992, periode ke tujuh 1April 1997.
Secara garis besar, tujuh periode REPELITA telah menghasilkan pembangunan ekonomi
yang spektakuler. Pendapatan perkapita Indonesia meningkat tajam. Sebaga pertandingan pada
pertengahan 1960-an pendapatan perkaitanya termasuk yang paling rendah di dunia, yakni 50
dolar AS. Jumlah perkapita ini hanya separuh dari perkapita negara-negara mikin saat itu seperti
India, nigeria dan Bangladesh. Mulai tahun 1980-an pendapatan perkapita bangsa Indonesia
meningkat tajam hingga hampir mencapai 500 dolar AS. Itu berarti 30% lebih tinggi dari
pendapatan perkapita India, 49% lebih tinggi dari Nigeria, dan 150% lebih tinggi dari
Bangladesh.

Namun pendapatan perkapita tersbut tidak diiringi dengan pemerataan hasil-hasil


pembanguan, sehingga kemakmuran menjadi tidak merata karena hanya dinikmati sebagian kecil
saja. Sejak awal pemerintah Orde Baru mempunyai tahapan pembangunan atau trilogi
pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Kesuksesan pembangunan
ekonomi Orde Baru sangat tersa pada tahap stabilitas dan pertumbuhan, sedangkan pemerataan
mengalami kegagalan. Akhirnya terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara orang-orang
yang kaya dengan yang miskin. Hal ini mendorog munculnya kecemburuan sosial karena adanya
monopoko sumber-sumber kekayaan oleh sekelompok orang, yakni penguasa dan pejabat
pemerinyah melalui praktek kolusi atau kerja sama.

Anda mungkin juga menyukai