Anda di halaman 1dari 3

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI ERA REFORMASI.

Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi telah dilakukan dengan


berbagai cara, baik melalui pendekatan hukum, politik, social dan moral force.
Dari bidang hukum direncanakan pembuatan Law Enforcement Officer Act,
selain

7
Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan, bagian A. Ekonomi, Butir 2.d.
8
Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan, bagian B. Politik, Butir 1.c.
9
Bab IV Kebijakan Reformasi Pembangunan, bagian D. Agama dan Sosial Budaya, Butir
2.b.
10
Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998

Ini merupakan penyimpangan Asas Hukum Pidana yang menyatakan bahwa


siapa yang menuntut dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya.
Dalam hal “Pembalikan Beban Pembuktian”, Terdakwalah yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika ia tidak dapat
membuktikannya maka ia dianggap bersalah. Sebagai suatu penyimpangan,
maka asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain
cases) yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik
baru tentang pemberian (gratification) dan yang berkaitan dengan bribery
(penyuapan). Dalam Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana
Korupsi Pasal 12A, sistem Pembalikan Beban Pembuktian, telah dicantumkan
secara tegas dan jelas oleh Prof.Dr.Andi Hamzah, S.H. mengenai rumusan
deliknya yang berkaitan dengan pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP.

“Pembalikan Beban Pembuktian” : Arah Minimalisi Korupsi

Setelah memakan waktu yang relatif panjang dan pembahasan yang


cukup keras antara Pemerintah dengan DPR tentang RUU Perubahan UU. No
31 Tahun 1999, akhirnya pada Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua
DPR Soetardjo Soerjogoeritno, SH, hari Selasa 23 Oktober 2001, seluruh fraksi
DPR sependapat RUU Perubahan UU No.31 Tahun 1999 itu disetujui untuk
diundangkan menjadi Undang-Undang No.20 Tahun 2001

Pembahasan RUU ini dapat dikatakan memperoleh prioritas sebagai


bukti ungkapan keseriusan Pemerintah dan DPR dalam mendukung
pemberantasan rindak pidana korupsi secara komprehensif, tentunya untuk
memperoleh suatu hasil yang setidak-tidaknya dapat memuaskan masyarakat
secara signifikan, baik terhadap perangkat perundang-undangan itu sendiri
maupun aparat penegak hukum yang berintegritas sebagai pelaksanaan
terhadap perangkat hukum itu. Berkenaan fengan polemik mengenai Asas
Pembalikan Beban Pembuktian yang dikenal secara luas sebagai asas
“Pembuktian Terbalik” ternyata tetap dipertahankan , meskipun pada saat
proses pembahasan ada kehendak dari sebagian fraksi menghapuskan atau
mencabut ketentuan Pasal 12A RUU tersebut. Kehendak untuk menghapus
atau mencabut rancangan mengenai Asas Pembalikan Bebab Pembuktian dari
fraksi-fraksi ini lebih ditekankan pada alasan-alasan sosiologis dan praktis yang
mungkin kelak akan ditemukan dalam kehidupan praktik pemberantasan
tindak pidana korupsi.

Alasan-alasan yang dikemukan antara lain, misalnya bahwa Komisi


Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi sebagai suatu institusi yang akan
menerima pelaksanaan mekanisme pelaporan ini belum terbentuk, sehingga
akan menyulitkan mekansime proses pelaksanaan sistem pelaporan pemberian
hadiah atau janji tersebut. Dari Pemerintah mengusulkan, yaitu selama belum
terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut,
mekanisme laporan dapat diserahkan langsung kepada Pengadilan Negeri
setempat atau dalam wilayah hukum dimana pemberian itu terjadi. Namun
konsep usulan itu tidak diterima Dewan, dan Dewan justru berpendapat agar
Sistem Mekanisme Pelaporan ini diserahkan langsung melalui Komisi tersebut
fengan catatan bahwa Dewan akan memberikan prioritas pembahasan RUU
tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya Prof Indrijanto Senoaji berpendapat, bahwa berdasarkan alasan
pendekatan historic, keberadaan Pasal-pasal suap yang diintroduksikan dari
KUHPidana kedala UU Tindak Pidana Korupsi, baik UU No.3 Tahun 1971 (Pasal
1 ayat 1 sub c) maupun UU No.31 Tahun 1999 (Pasal 5 sampai dengan Pasal
13), selama ini hanya sebagai pasal-pasal tidur yang tidak memiliki makna,
artinya dalam sejarah pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan pasal-
pasal tersebut tidak mencapai 0.1% dari totalitas perkara korupsi. Atas
penjelasan berdasarkan pendekatan historis itu, Prof Dr. Sahetapy. S.H.
sependapat dengan penulis bahkan beliau berkomentar bahwa harus
menghindari agar pasal-pasal itu tidak saja menjadi pasal “impoten” (istilah
penulis adalah pasal “tidur” atau “mati”). Untuk itu, diperlukan suatu cara atau
metoda untuk membangunkan ketentuan atau pasal suap tersebut dalam
pembaharuan terhadap perundang-undangan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pendekatan komparatif yuridis, metoda yang dipergunakan


untuk mengaktifkan ketentuan atau pasal suap ini adalah dengan
memperkenalkan Sistem Mekanisme Pelaporan. Dengan adanya sistem
pelaporan atas pemberian suatu barang (atau janji) kepada Pegawai Negeri
atau Penyelenggara Negara, maka mereka (pegawai negeri atau penyelenggara
negara) akan bertindak pro-aktif, begitu pula dengan aparatur penegak hukum
yang bertanggung jawab atas program pemberantasan tindak pidana korupsi.
Atas dasar studi penelitian tentang pemberantasan tindak pidana korups dari
keseluruhan delik-delik korupsi yang bersifat multi-normatif itu (delik
penyalahgunaan kewenangan, delik materiele wederrcchtclijk, delik
penggelapan, dan lain-lain), hanya delik suap yang sangat sulit pembuktiannya.
Selama ini, ketentuan suap dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
hanyalah “macan ompong” yang tidak memiliki daya tangkal sama sekali,
bahkan delik-delik suap tidak dapat mengikuti gerak dinamika perilaku
aparatur penegak hukum agar terhindar dari jebakan ketentuan suap tersebut.

Dengan adanya Sitem Mekanisme Pelaporan tesebut akan dapat


diketahui apakah suatu pemberian (grtifikasi) itu sebagai” suatu perbuatan
suap atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai