Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

INSAN KAMIL ABU MANSHUR AL HALLAJ


Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Konsep Personalitas Sufi

Dosen Pengampu : Bahroon Ansori M.Ag.

Disusun oleh :

1. Embun Bunga Harum Cendana (2004046045)


2. Eri Mulyani (2004046046)

PROGRAM STUDI TASAWUF & PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
2
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmhat dan karunia-Nya. Tak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di yaumul
qiyamah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Insan Kamil
Abu Manshur Al Hallaj” dengan tepat waktu.

Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Khususnya kepada Bapak Bahroon Ansori M.Ag. selaku dosen
pengampu mata kuliah Konsep Personalitas Sufi. Kami berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan penulis. Kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan di dalam makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran senatiasa kami terima demi
penyempurnaan makalah ini.

Jepara, 30 Maret 2021

Penyusun,

3
Daftar Isi

Halaman judul......................................................................................................................1
Kata Pengantar.....................................................................................................................2
Daftar Isi..............................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan.............................................................................................................4
 Latar Belakang.........................................................................................................4
 Rumusan Masalah....................................................................................................4
 Tujuan Penulisan......................................................................................................4
BAB II Pembahasan.............................................................................................................5
 Biografi Abu Manshur Al-Hallaj.............................................................................5
 Konsep Insan Kamil Abu Manshur Al-Hallaj.........................................................6
 Ajaran dan Pemikiran Abu Manshur Al-Hallaj.......................................................8
BAB III Penutup................................................................................................................12
 Kesimpulan............................................................................................................12
 Saran......................................................................................................................12
Daftar Pustaka....................................................................................................................13

4
BAB I

PEMBUKAAN

1.1 Latar Belakang


Dalam ilmu tasawuf terdapat sebuah konsep yang disebut insan kamil. Insan kamil memiliki arti
sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli tasawuf Ibnu ‘arabi dan ‘Abd al-
Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.
Orang-orang biasanya mengartikan “insan kamil” sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi
dan contoh yang pernah ada dan hidup di permukaan bumi ini. Ia adalah Rasulullah Muhammad
SAW. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan
ketubuhanmya saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan
kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah pakar Islam dari masa ke masa menulis,
menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf wajib, kepada umat Islam
untuk mengikuti contoh perilaku Nabi Muhammad.
1.2 Rumusan Masalah
1. Biografi Abu Manshur Al Hallaj
2. Konsep Insan Kamil Abu Manshur Al Hallaj
3. Ajaran dan Pemikiran Al-Hallaj
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membagikan wawasan dan menambah
pengetahuan bagi pembaca, penulis, dam masyarakat

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Abu Manshur Al Hallaj
Nama lengkapnya, Abul Mughits al-Husain bin Mansur al-Hallaj adalah tokoh yang
paling kontroversil di dalam sejarah mistisisme Islam. Lahir kira-kira tahun 244 H / 858 M di
dekat kota al-Baiza di provinsi Fars.
Pendidikan tasawuf al-Hallaj dimulai sejak umur 16 tahun, dan ia banyak keluar dari
negerinya untuk menambah ilmu-ilmunya. al-Hallaj mulai berdakwah keliling dengn bebas
yang bertujuan untuk menyampaikan bahwa setiap orang dapat menemukan Tuhan dalam
hatinya masing-masing, maka karena ajarannya itulah ia diberi gelar “Hallaju al-Asrar atau
the carder of consciences” (tukang pembersih hati nurani).
Mula-mula al-Hallaj ke Tustar dan Baghdad, kemudian ke Mekkah dan sesudah itu ke
Khuzistan, Khurasan, Transoxiana, Sistan, India dan Turkistan. Terakhir sekali ia kembali ke
kota Baghdad, tetapi karena khotbah dari pemikiran yang berani mengenai bersatunya
manusia dengan Allah dia dipenjarakan, dengan tuduhan telah menyebarkan faham
inkarnasionisme.
Dari Baghdad al-Hallaj melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz.
Setelah bersembunyi empat tahun lama di kota itu, dan tetap tidak merubah pendiriannya,
akhirnya al-Hallaj ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama delapan tahun
lamanya. Lamanya di penjara, tidak menyebabkan pendirianya luntur. Akhirnya pada tahun
309 H (921 M) diadakan persidangan ulama di bawah pengawasan Kerajaan Bani Abbas,
Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaidah tahun 309 H al-Hallaj
dijatuhi hukuman mati. Dan hukuman ini secara kejam telah dilaksanakan pada tanggal 29
dzulqaidah 309 H atau 28 maret 913 M.
Al-Hallaj dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib,
sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, ditinggalkan tergantung
bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi
peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian. Sehari kemudian sang wazir sendiri
hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan
dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta
hanyut di sungai itu.

6
Meskipun begitu, Al-Hallaj seorang ahli ibadah yang cintanya menyala-nyala dan sangat
mabuk akan tasawuf. Dia mempunyai ekstasi yang kuat dan semangat yang tinggi. Syaikh-
syaikh sufi berbeda pandangan mengenai dia. Sebagian menolaknya sedangkan yang lainnya
menerimanya.
Dikisahkan al-Hallaj pertama kali menjadi murid taarekat Syaikh Sahl al-Tustari,
kemudian ia meninggalkannya berganti berguru kepada al-Makki, tidak lama kemudian ia
meninggalkan al-Makki dan mencoba bergabung menjadi murid al-Junaid al-Baghdadi.
Namun al-Junaidi menolaknya seraya berkata: “Saya tidak menerima seorang murid yang
gila”. Seseorang yang menemani al-Hallaj berusaha menasehati seusai perjumpaan dengan
al-Hallaj, namun al-Hallaj menjawab: “Aku menghargai al-Junaid semata karena usianya,
bahwa derajat kesufian merupakan suatu anugerah Tuhan dan tidak dapat dipelajari dari sang
guru.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya,
hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang
diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita
banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa
kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan
nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah
kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal
itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-
kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan
yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman.
2.2 Konsep Insan Kamil Abu Manshur Al Hallaj
Menurut Al Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing
mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara dua hakikat itu terdapat kesamaan.
Dengan demikian, bila kesamaan itu telah semakin mendekat, kaburlah garis pemisah antara
keduanya. Ketika itu terjadilah “persatuan” (hulul) antara Al Haqq dengan manusia.
Pemikiran Al Hallaj tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan yang kemudian
mengkristal dalam terma Al Hulul merupakan salah satu bentuk Ittihad. Ittihad yang
dimaksud di sini adalah suatu tingkatan dalam tasawuf, ketika seorang sufi merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan saat yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.

7
Pemikiran Al Hulul dari Al Hallaj bermula dari pendapatnya yang mengatakan bahwa
dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Untuk dasar pemikiran itu, ia
menta’wilkan ayat Al Qur’an yang menyerukan agar malaikat bersujud untuk Adam. Karena
yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka Al Hallaj memahami bahwa dalam diri
Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan.
Ia berpendapat demikian karena sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat
diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya
sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah
hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta
pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab
wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari
diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah
menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada
Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri
Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini
dipahami dari Firman Allah yang berbunyi :
‫ﻰﺒﺍ ﺲﻴﻟﺒﺍ ﻻﺍ ﺍﻭ ﺩﺠﺴﻓ ﻡ ﺩﻷ ﺍﻮ ﺪﺠﺴﺍ ﺔﻜﺋﻟﻣﻟﻟ ﺎﻧﻟﻘ ﺫﺍﻭ‬
﴾‫ﺓﺮﻗﺒﻠﺍ﴿ ﻦﻴﺮﻓﻜﻠﺍ ﻦﻤ ﻦﺎﻜﻭ ﺮﺒﻜﺘﺴﺍﻭ‬
Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat : “Sujudlah kepada Adam”, semuanya
sujud kecuali Iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya. (QS. Al
Baqarah : 34)
Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat dipahami dari hadits yang
berbunyi :
‫ﻪﺗﺮﻮﺼ ﻰﻠﻋ ﻡ ﺩﺍ ﻖﻠﺨ ﷲﺍ ﻦﺍ‬
Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat
kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat
kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah Hulul. Untuk sampai ke tahap
seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya (al nasut).

8
Untuk melenyapkan sifat al nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan
membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya dalam melenyapkan sifat tersebut,
maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al lahut. Pada saat itulah sifat al nasut Tuhan
turun dan masuk ke dalam tubuh seorang sufi, sehingga terjadilah hulul dan peristiwa ini
terjadi hanya sesaat. Pernyataan al Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah
bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya, maha suci zat yang
sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian
kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minim.
Berdasarkan uraian di atas, maka al Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana
manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, Hulul pada hakikatnya istilah lain
dari al Ittihad. Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara batin.
Hamka mengatakan, bahwa al Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan
(nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam
menempuh perjalanan hidup kebatinan.
2.3 Ajaran dan Pemikiran Al-Hallaj
Ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah hulul dan wahdat asy-syuhud yang
kemudian melahirkan paham wahdat al-wujud (pantheisme) yang dikembangkan Ibnu Arabi.
Secara etimologis, kata "hulul" diambil dari kata halla yahullu hulul (bentuk: mashdar),
artinya, "bertempat di". Dari pengertian kata ini kemudian hulul diartikan dengan, ‘’Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-
sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan’’. Al-Hallaj memang pernah
mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata hulul berdasarkan pengertian bahasa, berarti
menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat
didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia
menakwilkan ayat: ‘’Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'sujudlah
kamu kepada Adam'. Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan
diri, dan ia termasuk golongan yang kafir’’. (QS. al-Baqarah: 34). Allah memberi perintah
kepada malaikat untuk sujud kepada Adam, karena yang berhak untuk diberi sujud hanya
Allah. Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenernya ada unsur ketuhanan. Ia

9
berpendapat demikian, karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya
sendiri dan Dia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan
cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengelaurkan
sesuatu dari tiada dalam bentuk diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk
diri-Nya ini adalah Adam. Menurut Al-Hallaj pada diri Adam lah Allah muncul. Teori di atas
tampak dalam syairnya: ‘’Mahasuci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka rahasia
Ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam
bentuk manusia yang makan dan minum’’.
Melalui syair di atas, tampaknya Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai
dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika
nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak
dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat
kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa. Menurut Al-Hallaj bahwa Tuhan
memiliki sifat nasut dan lahut, demikian juga manusia. Manusia dapat menghilangkan sifat
nasut-nya (sifat kemanusiaan) apabila manusia sudah mencapai ke tingkat fana. Dan
denganmenghilangkan sifat-sifat nasut mencapai sifat lahut (sifat ketuhanan) yang dapat
mengontrol tingkah laku dan menjadi inti dari kehidupan. Oleh karena itu, Al-Hallaj
mengatakan dalam syairnya:
Jiwamu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia pun menyentuhku
Dan ketika itu dalam tiap Hal Engkau adalah aku
Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku
Kami dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia
Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami

Dari syair di atas dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan manusia dapat
terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Dengan demikian, agar dapat bersatu, manusia harus
terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat
kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah
Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu

10
dalam tubuh manusia. Al-Hallaj berpendapat pada hulul terkandung kefanaan total kehendak
manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan,
demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu Al-Hallaj mengatakan: ‘’Barang siapa
mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan
berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam Dzat maupun
sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk Dan tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan
mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya’’.

Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak
sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya: "Aku adalah rahasia yang Mahabenar
dan bukanlah Yang Mahabenar itu aku, hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah
antara kami". Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj
tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan
Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi sekadar kesadaran psikis yang berlangsung pada
kondisi fana, atau menurut ungkapannya sekadar terlembarnya nasut dalam lahut, atau dapat
dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan seperti dalam syair:

‘’Air tidak dapat menjadi anggur. Meskipun keduanya telah bercampur-aduk’’.

Paham hulul dari Al-Hallaj sangat berpengaruh bagi para sufi sesudahnya, walaupun
paham kemenyatuan antara Tuhan dengan hamba dilarang oleh penguasa pada masa itu.
Akan tetapi, paham tasawuf dari Al-Hallaj tetap memiliki pengaruh yang sangat besar bagi
paham tasawuf Irfani pada masa sesudahnya.

Secara istilah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanuaiaannya melalui fana. Menurut
keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Didalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: ‘’Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad
(tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan’’.

11
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar
pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar yaitu
lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian
manusia dalam bukunya bernama al-thawasin. Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia
hanya melihat diri-Nya sendiri.

Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu
dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah
kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada Dzat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-
Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan
sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya
yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan
Adam dengan cara itu, ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan
pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Demikian, pada diri Adam terdapat sifat-
sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.

Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari
isyarat yang terdapat dalam hadits yang berbunyi: ‘’Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan
bentuk-Nya’’. Dengan melihat hadis tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat
kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat
kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap
seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui
proses al-Fana sebagaimana telah disebutkan di atas.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di
mana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai
persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al-Hulul adalah ketuhanan
(lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang
insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Abul Mughits al-Husain bin Mansur al-Hallaj adalah tokoh yang paling kontroversil di
dalam sejarah mistisisme Islam. Lahir kira-kira tahun 244 H / 858 M di dekat kota al-Baiza
di provinsi Fars. Pendidikan tasawuf al-Hallaj dimulai sejak umur 16 tahun, dan ia banyak
keluar dari negerinya untuk menambah ilmu-ilmunya. al-Hallaj mulai berdakwah keliling
dengn bebas yang bertujuan untuk menyampaikan bahwa setiap orang dapat menemukan
Tuhan dalam hatinya masing-masing, maka karena ajarannya itulah ia diberi gelar “Hallaju
al-Asrar atau the carder of consciences” (tukang pembersih hati nurani).
Menurut Al Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing
mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara dua hakikat itu terdapat kesamaan.
Dengan demikian, bila kesamaan itu telah semakin mendekat, kaburlah garis pemisah antara
keduanya. Ketika itu terjadilah “persatuan” (hulul) antara Al Haqq dengan manusia. Ajaran
tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian
melahirkan paham wahdat al-wujud (pantheisme) yang dikembangkan Ibnu Arabi. Secara
etimologis, kata "hulul" diambil dari kata halla yahullu hulul (bentuk: mashdar), artinya,
"bertempat di". Dari pengertian kata ini kemudian hulul diartikan dengan, ‘’Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan’’.

3.2 Saran

Penulis menyadari bahwasannya dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik saran dan masukan dari para pembaca yang bersifat
membangun senantiasa kami harapkan untuk lebih baiknya makalah kami kedepannya.

13
Daftar Pustaka

https://pamungkasashadi.wordpress.com/2014/12/03/tasawuf-insan-kamil/

https://chery031.blogspot.com/2012/10/Biografi-Mansur-Al-Hallaj.html

https://pak-boedi.blogspot.com/2012/10/makalah-tasawuf-tentang-al-hulul.html

Achlami HS, Tasawuf Abdullah Bin Alwi Haddad, (Fakultas Dakwah IAIN Bandar Lampung:
Fakultas Dakwah, 2010), hlm. 147.

A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2000), hlm. 156.

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. 111,
hlm. 90.

14

Anda mungkin juga menyukai