Anda di halaman 1dari 4

NAMA : FUTIKHATUS SA’DIYAH

PRODI/JURUSAN : IAT/ FAKULTAS SYARI’AH, DAKWAH DAN USHULUDDIN


SEMESTER : 7 (TUJUH)
MATA KULIAH : STUDI LITERATUR BUDAYA GAYO

UAS
SUMANG OPAT DAN PENERAPAN SAAT INI
A. Pengertian Sumang
Sumang adalah kata dari suku bangsa Gayo yang telah lama menjadi
ocehan masyarakat. Darmansyah mengutip dari buku Syari’at dan Adat Istiadat
Gayo dikarang oleh Mahmud Ibrahim dan AR Hakim menyebutkan bahwa sumang
adalah perbuatan atau tingkah laku yang melanggar nilai dan norma agama serta
adat istiadat Gayo, selanjutnya Darmawansyah mengutip dari buku Sarakopat:
Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansinya Terhadap Pelaksanaan
Otonomi Daerah karangan Syukri menyebutkan bahwa sumang itu adalah
perbuatan atau tindakan yang menyimpang dari konvensi-konvensi tata krama
yang berlaku, selain bertentangan dengan agama, adat, juga dari segi moralitas
atau perbuatan itu dianggap tidak terpuji. Dengan demikian sumang adalah sistem
nilai adat Gayo yang masuk dalam sistem pendidikan sosial kemasyarakatan dalam
kehidupan sehari-hari.
B. Jenis sumang
1. Sumang Penengonen (sumbang penglihatan)
Sumang Penengonen (sumbang penglihatan)yaitu cara atau sasaran
melihat yang tidak baik atau tidak pada tempatnya, seperti orang dewasa
melihat dengan cara marah (mujoreng) kepada orang tua atau yang lebih tinggi
umurnya,
disebut juga dengan Sumang Penerahen yaitu memandang wanita dengan
iktikad yang tidak baik. Artinya sangat merasa malu kalau seorang pria melihat
seorang wanita dengan pandangan hawa nafsu. Sebaliknya malu apabila
seorang wanita memandang laki-laki yang bukan mahramnya dengan
pandangan tajam menimbulkan birahinya. Ibn Qayyim Al-Jauziyah
mengatakan “siapa yang mengumbar pandangannya akan menuai akibatnya.
Siapa berlama-lama memandang, penyelesaiannya akan terus berkelanjutan,
hilang waktunya, dan berkepanjangan deritanya”1 Jadi, Sumang Penengonen
mengontrol mata dan hati dari pandangan yang tercela, karena hal itu tabu atau
pantang dilakukan. Untuk menahan diri dari pandangan yang menjurus kepada
nafsu seksual perlu ditanamkan tauhid dan tazkiyah al-anfus.
2. Sumang pelangkahen
Sumang Pelangkahen (sumbang perjalanan) adalah pergi untuk melakukan
atau mendekati perbuatan maksiat, seperti pria dan wanita pergi berjalan-jalan
tanpa mahram.2 Bahkan apabila ada pria memisahkan diri dari orang
seperjalanan atau berjalan sendiri secara tersembunyi-sembunyi dan menuju ke
suatu tempat yang sepi dengan niat dan maksud berhubungan dengan wanita
yang bukan mahramnya, juga dipandang sebagai sumang pelangkahen.
3. Sumang perceraken
Sumang Perceraken (sumbang cara dan isi pembicaraan) adalah perkataan
yang diungkapkan oleh seseorang kepada orang lain tidak sesuai dengan ajaran
Islam dan adat sopan santun. Perkataan seperti itu disebut cerak enta sesanah
(Perkataan yang bukan-bukan). Dalam istilah ajaran Islam disebut qaul al-zur
(perkataan keji). Sumang perceraken merupakan pembicaraan antara pria dan
wanita mengenai hal-hal yang tidak pantas dan tidak wajar dibicarakan. Sumang
Perceraken ini bukan hanya ditilik dari segi kata-kata, tetapi juga dari segi
penyesuaian waktu, tempat, keadaan, dan cara mengungkapkan perkataan
tersebut. Perkataan yang termasuk Sumang ialah berkata kasar, sombong, angkuh,
dalam Bahasa Gayo disebut bercerk sergakatau jis dan jengkat( tidak sopan  ),
nada suara yang tinggi saat seorang anak berbicara dengan orang tuanya dan
menentang tatapan wajahnya, demikian juga dengan seorang pemimpin, guru dan
orang yang dipandang terhormat, menurut budaya Gayo telah termasuk perilaku
Sumang, tidak hormat dan tidak menghargai serta tidak memuliakan orang yang
seharusnya dihormati, dalam istilah budaya Gayo dinamakan jis. Dalam pepatah
Gayo menghormati dan mengargai itu diungkapkan dalam kata petuah ta'zim kin

1
Ibn Qayyim al-Jauziyah, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta & Memendam Rindu, terj. Kathur Suhardi
(Jakarta: Dâr al-Falah, 2012), h. 85.
2
Abdurrahim Ali, “Peranan Islam Melalui Adat Gayo dalam Pembangunan Mayarakat Gayo,”Makalah
Seminar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan pada tanggal 20-24 Januari 2006 di Takengon, h. 29.
reje demu denie, ta'zim kiin guru demu ilmu (artinya, patuh kepada raja dapat
dunia, patuh kepada guru dapat ilmu ).3
4. Sumang kekunulan
Sumang Kenunulen (sumbang ketika duduk) yaitu duduk di satu tempat
yang dapat diduga tidak baik dan menimbulkan kecurigaan. Menurut Mahmud
Ibrahim, bahwa Sumang Kenunulen adalah menggunakan tempat tidak pada
fungsinya dan tidak menghormati orang lain yang sedang duduk di tempat itu
dapat dipandang sebagai Sumang Kenunulen.4 Sedangkan A.R. Hakim Aman
Pinan mengatakan bahwa “dianggap sumbang cara duduk (Sumang
Kenunulen) bila umpamanya dalam satu ruangan, antara ayah atau mertua dan
anak atau menantu duduk saling bertemu lutut, hingga tanpa ada rasa sungkan
lagi terhadap orang tua. Dalam tradisi Gayo ini dianggap sebagai Sumang
Kenunulen.
C. Penerapan sumang di Gayo
Implementasi budaya sumang terhadap restorasi karakter masyarakat gayo
di Aceh diselenggarakan sebagai usaha sadar dan terencana untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, sehingga dapat menjangkau ranah-ranah hasil
pembelajaran, baik peningkatan dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik
dalam bentuk perubahan sikap, perilaku, karakter dan memajukan budi pekerti
serta pikiran. Budaya sumang di samping sebagai tradisi juga merupakan suatu
sistem, bentuk, dan model pendidikan tertua di negeri antara tanah gayo,
meskipun pada awalnya model pendidikan sumang gayo ini tidak tertulis dan
tidak diajarkan secara formal di lembaga pendidikan serta tidak memiliki
kurikulum resmi, namun pendidikan Sumang ini tetap berlaku untuk mendidik
dan membina remaja, pemuda, dan masyarakat dari perbuatan amoral dan tingkah
laku tercela.
Sistem budaya sumang tetap hangat dibicarakan (up to date) sepanjang
sejarah masyarakat gayo terus membangun untuk mencapai tarap kehidupan yang
lebih baik dan sempurna. Masyarakat terus berlomba untuk mengembangkan

3
https://www.kompasiana.com
4
Mahmud Ibrahim, “Peranan Islam Melalui Adat Gayo dalam Pembangunan Masyarakat Gayo,”Makalah
Seminar Nasional Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (Takengon: MUI Aceh dan MUIKabupaten Aceh Tengah, 20-
24 Januari 1986), h. 20.
kreasi mereka di bidang pendidikan dan kebudayaan, yang selaras dengan
fitrahnya yang hendak maju dan berkembang. Allah dan rasul-Nya telah
menyuruh umat manusia bekerja keras dan beramal untuk membuat kebudayaan
baru, membangun di segala bidang kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial,
budaya, politik, dan teknik, termasuk berbarengan dengan pembangunan di
bidang pendidikan, mental, moral dan spiritual. Nilai-nilai budaya sumang
memiliki nilai ganda antara dunia dan akhirat. Hal ini selaras dengan firman Allah
dalam al-Qur’an “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (Q.S. al-Qashash/28: 77).

Anda mungkin juga menyukai