Anda di halaman 1dari 24

Bab 1

Pendahuluan

A. Pengertian Sistem

Sistem adalah suatu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur


(elemen). Unsur, Komponen, Atau bagian yang banyak ini satu sama lain
berada dalam keterkaitan yang saling kait mengait dan fungsional. Sistem
dapat diartikan pula sebagai suatu yang lebih tinggi dari pada sekedar
merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode.

Menurut Sumantri, sistem adalah sekelompok bagian – bagian yang


bekerja sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian
rusak atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak
dicapai tidak akan terpenuhi atau setidaknya sistem yang sudah terwujud
akan mendapat gangguan. Sedangkan menurut Musanef, sistem adalah
suatu sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam
menjalankan tugas dapat teratur.

Berbeda dengan Pamudji, dia mendefinisikan sistem sebagai suatu


kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau terorganisir, suatu
himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk
suatu kebulatan atau keseluruhan yang komplek atau utuh.

B. Pengertian Politik

Dalam bahasa Arab politik disebut “Siyasyah” yang kemudian


diterjemahkan menjadi siasat, dalam bahasa Inggrisnya disebut “Politics”.
Politik berasal dari kata “ polis” (negara kota), yang kemudian
berkembang menjadi kata dan pengertian dalam barbagai bahasa.
Aristoteles dalam Politics mengatakan bahwa pengamatan pertama –
tama menunjukan kepada kita bahwa setiap polis atau negara tidak lain
adalah semacam asosiasi.

Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara


pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan
Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat,
bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai
politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.Dapat disimpulkan bahwa
politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka
proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang
kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.
Menurut Deliar Noer dalam buku Pengantar ke Pemikiran Politik:
“Ilmu Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam
kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas
pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang
tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang
hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula
ada. Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu
berhubungan erat dengan negara.”

C. Sistem Pemerintahan pada Umumnya

Pada umumnya sistem pemerintahan terbagi menjadi tiga, antara lain


sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial, dan
sistem pemerintahan campuran..

1.        Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen


memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen
memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen
pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan
semacam mosi tidak percaya. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang
eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau
tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan
melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan
kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif,
menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan
keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan. Ciri-
ciri pemerintahan parlemen yaitu:

a)        Dikepalai oleh seorang perdana menteri sebagai kepala


pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.

b)       Kekuasaan eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan


raja diseleksi berdasarkan undang-undang.

c)        Perdana menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk


mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin
departemen dan non-departemen.

d)       Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan


legislatif.
e)        Kekuasaan eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan
legislatif.

f)         Kekuasaan eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.

Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer : Pembuat kebijakan dapat


ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara
eksekutif dan legislatif, Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan publik jelas, Adanya pengawasan yang kuat dari
parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam
menjalankan pemerintahan.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer : Kedudukan badan


eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen
sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen,
Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bisa
ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-
waktu kabinet dapat bubar, Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal
itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan
berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar
diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen,
parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif.
Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan
manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif
lainnya.

2.        Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem presidensial (presidensial), atau disebut juga dengan sistem


kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana
kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan
legislatif. Ciri-ciri pemerintahan presidensial yaitu :

a)        Dikepalai oleh seorang presiden sebagai kepala pemerintahan


sekaligus kepala negara.

b)       Kekuasaan eksekutif presiden diangkat berdasarkan demokrasi


rakyat dan dipilih langsung oleh mereka atau melalui badan perwakilan
rakyat.

c)        Presiden memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk


mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin
departemen dan non-departemen.
d)       Menteri-menteri hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan
eksekutif (bukan kepada kekuasaan legislatif).

e)        Kekuasaan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada kekuasaan


legislatif.

f)         Kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif.

Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial : Badan eksekutif lebih


stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen, Masa
jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu,
Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu
masa jabatannya, Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-
jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota
parlemen sendiri. Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :
Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga
dapat menciptakan kekuasaan mutlak,, Pembuatan keputusan memakan
waktu yang lama.

3.        Sistem Pemerintahan Campuran

Sistem pemerintahan campuran memiliki corak tersendiri yang juga dapat


disebut sistem semi-presidensial. Sistem pemerintahan campuran dapat
diartikan : Semi-Presidenial government combines an elected Presiden
performing political tasks with a prime minister who heads a cabinet
accountable to parliament. The prime minister, usually appointed by the
Presiden, is responsible for day-to-day domestic government (including
relations with the assembly) but the Presiden retains an oversight role,
responsibility for foreign affairs, and can usually take emergency powers.

Didalamnya ditentukan bahwa Presiden mengangkat para menteri


termasuk Perdana Menteri seperti sistem Presidensil, tetapi pada saat
yang sama Perdana Menteri juga diharuskan mendapat kepercayaan dari
parlemen seperti dalam sistem parlementer. Perdana Menteri pada
umumnya ditugaskan oleh Presiden, adalah bertanggung jawab untuk
pemerintah domestik sehari-hari tetapi memiliki tanggung jawab untuk
urusan luar negeri, dan dapat pada umumnya mengambil kuasa-kuasa
keadaan darurat. Menurut Duverger sistem ini memiliki ciri, yakni :

a)        The Presiden of the republic is elected by universal suffrage.

b)       He possesses quite considerable powers.


c)        He has opposite him, however, a prime minister and minister who
possess executive and governmental powers and can stay in office only if
the parliament does not show its oppositions to them.

Jadi pada sistem campuran ini kedudukan Presiden tidak hanya sebagai
serimonial saja, tetapi turut serta didalam pengurusan pemerintahan,
adanya pembagian otoritas didalam eksekutif.

D. Peristilahan : Sistem Politik ( di ) Indonesia

Sistem politik sama seperti sistem kehidupan lainnya yang mempunyai


ciri khas : integrasi, keteraturan, keutuhan, organisasi, koherensi,
keterhubungan dan ketergantungan. Sistem juga dapat memelihara
identitasnya dalam suatu periode tertentu begitujuga subsistem yang
dapat diberlakukan sebagai kesatuan yang terpisah.

Sistem Politik Indonesia dan Sistem Politik di Indonesia, kedua istilah ini
sering dipersamakn tetapi dilain pihak sering pula dibedakan secara tegas.
Sistem politik harus mempunyai kapabilitas dan dapat memelihara
identitasnya dalam suatu periode tertentu, dan tentunya kapabilitas
tersebut selalu berada dalam suatu wilayah tertentu (dalam arti tidak
selalu bersifat geografis). Oleh karena itu, Sistem Politik Indonesia tiada
lain adalah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini,
Indonesia adalah pemberi sifat kekhasan kepada suatu sistem politik
tertentu.

Dalam tulisan asing sering pula diungkapkan kupasan tentang sistem


politik suatu negara dengan judul ”the politics of….” atau ”politics in …”
yang dimaksud lebih kurang sebagai ’sistem politik di…”. ini berarti kata
penghubung ”di” tersebut sebagai sipan, maka juga ada unsur pembatas
waktu atau unsur dimensi waktu tertentu dan makna tertentu yang
mempersempit pengertian. Penggunaan kata penghubung ”di” dalam
Sistem Politik di Indonesia tersebut dapat menunjuk suatu sistem :

1. Yang pernah berlaku di Indonesia


2. Yang sedang berlaku di Indonesia atau nyata-nyatanya berlaku di
Indonesia
3. Yang berlaku selama eksistensi negara Indonesia sampai sekarang

Dapat disebutkan arti sebutan itu adalah sistem yang pernah berlaku saja,
jelas tidak akan tergambar atau bahkan tidak pernah disinggung soal
sistem sebagaimana adanya sekarang dan sistem yang berlaku selama
eksistensi negara Indonesia. Tetapi bila diberi makna sebagai sistem
sebagaimana adanya sekarang atau yang sedang berlaku di Indonesia, ia
akan kehilangan konteksnya yang erat dengan sejarah politik Indonesia
serta perspektif dan proyeksi politik Indonesia ke masa depan. Sebagai
jalan tengah agar tidak berkurang arti dan bobot istilah yang
dipermasalahkan, maka dipakai istilah : Sistem Politik Indonesia. Dari
sudut argumen inilah dapat dinyatakan bahwa Sistem Politik di Indonesia
lebih sempit cakupannya daripada Sistem Politik Indonesia kecuali
apabila penafsirannya menakup tiga hal yang disebutkan diatas.

Bab 2

Sejarah Politik Indonesia

A. Sebelum Kemerdekaan

Pahlawan bagi suatu bangsa merupakan pengkhianat bagi negara lain


yang menjadi musuh bangsa tersebut, begitu pula sebaliknya. Sejarah
mencatat  pertama menentang penjajah dengan menggerakkan
masyarakat adalah Sultan Agung Anyorokusumo (1591-1645). Kemudian
perlawanan Untung Surapati yang rela melepaskan istrinya seorang
Belanda karena akan menentang Belanda. Setelah berturut-turut pula para
sultan yang merasa diinjak wilayah pemerintahannya antara lain Sultan
Hassanudin (1631-1670), Sultan Agung Tirtayasa (1631-1683), Sultan
Mahmud Baharudin II (1776-1852), Sultan Thoha Syaifudin (1816-
1904).

Bila dikatakan bahwa Bangsa Indonesia terjajah selama lebih kurang 350
tahun oleh Bangsa Belanda, hal tersebut tidak benar karena kenyataannya
masyarakat Aceh tidak pernah berhasil dikuasai secara keseluruhan oleh
pihak Belanda. Setelah kesadaran bahwa perlawanan harus dilakukan
bersama-sama muncul Budi Utomo pada tahun 1908, Syariat Islam
(1911), Partai Nasional (1927), dan pada tanggal 28 Oktober resmi
pemuda-pemudi dari seluruh Indonesia berkumpul untuk mengucap
Sumpah Pemuda. Pada tahun 1921 SDI menjadi SI dan mendapat
pemimpin organisasi baru yaitu H.O.S Tjokroaminoto (1883-!934).
Perubahan SdI menjadi SI bukan hanya perubahan nama saja, tetapi
terutama dalam perubahan orientasi yaitu dari komersial ke politik. Pada
tahun 1914 Belanda yang membawa marxisme mendirikan ISDV. Saat
ada revolusi di Rusia, hal tersebut memberikan dorongan kepada ISDV
untuk menyebarkan Marxisme di Indonesia. Pada tanggal 23 Mei 1920
ISDV di ubah menjadi PKI dengan SI cabang Semarang sebagai pusatnya
dan Semaun sebagai ketua yang pertama.

B. Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengumandangkan Proklamasi
Kemerdekaan. Sejak dari itu, sejarah bangsa Indonesia merupakan sejarah
suatu bangsa yang masih muda dalam menyusun politik pemerintahan.
Landasan berpijaknya adalah konstitusi dan ideologi yang mereka
ciptakan sendiri sesuai perkembangan budaya masyarakatnya. Faktor
ruang dan waktu adalah yang paling banyak menentukan
penumbuhkembangnya.

1.        Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949

Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah UUD 1945.
Tanggal 5 Oktober 1945, dikeluarkan maklumat pemerintah yang
menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat yang dipimpin
Supriyadi. Tanggal 16 Oktober 1945 diadakan kongres Komite Nasional
Indonesia (KNIP) di Malang. Disini Drs. Mohamad Hatta mengeluarkan
Maklumat X yang berisi penegasan terhadap kata bantuan dalam pasal IV
Aturan Peralihan UUD 1945.

Kemudian pada tanggal 14 Desember 1945 dikeluarkan muklamat. Sejak


saat itu sistem presiensiil beralih pada sistem pemerintahan parlementer.
3 November 1945 keluar maklumat pemerintah tentang keinginan
pembentukan partai-partai politik.

2.        Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950

Dalam periode ini Republik Indonesia menjadi negara serikat. Hal ini
terjadi sejak Gubernur Jenderal DR. Van Mook dikirim ke Indonesia
dengan tujuan untuk memporak porandakan keutuhan dan kesatuan
Republik Indonesia yang baru merdeka dengan politik devide et impera
yang di milikinya. Pada periode ini terjadi beberapa pertempuran yang
pada akhirnya tercipta perdamaian melalui beberapa perjanjian seperti
perjanjian linggar jati, perjanjian renville, dan konverensi meja bundar
yang akhirnya pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui Kedaulatan
Republik Indonesia dengan syarat berbentuk serikat.

Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah Konstitusi RIS.
Undang-undang dasar ini terdiri dari Mukadimah, 197 Pasal dan 1
lampiran. Dalam pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa Republik Indonesia
yang serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
demokrasi dan berbentuk federasi. Sdangkan dalam Ayat dilakukan oleh
pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

3.        Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959


Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia walaupun konstitusinya adalah Undang-
Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. oleh karenanya sistem
pemerintahan tetap dalam bentuk kabinet parlementer, yaitu para menteri
bertanggung jawab kepada parlemen (kabinet) dan parlemen (DPR) dapat
menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya.

4.        Periode 5 Juli 1959 – Sekarang

Menurut pengamatan Presiden Soekarno, demokrasi liberar tidak semakin


mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat
adil dan makmur sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit
untuk dimajukan. Hal ini dikarenakan setiap pihak baik sipil dan militer
saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain.

Sebaliknya Preseden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat


dan bersatu padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu, dari
Sabang sampai Merauke. UUDS 1950 dianggap selama ini memang
sudah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari cita-cita luhur
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

C. Orde Lama

Presiden yang menurut UUDS 1950 adalah Presiden Konstitusional yang


tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat
dirinya sendiri menjadi formatir kabinet. Dengan itu ia melakukan suatu
tindakan yang bertanggung jawab dan tiada memikul tanggung jawab.
Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil tersebut diterima
begitu saja oleh parlemen dengan tiada mengatakan keberatan yang
prinsipil.

Kemudian presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih


oleh rakyat sebelum pembuatan Undang-Undang Dasar yang baru selesai.
Kemudian suatu Dekrit dinyatakannya berlaku kembali UUD 1945.
Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi barat
banyak ditinggalkan. Presiden Soekarno sebagai pimpinan nasional
tertinggi ketika ia menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa dan negara Indonesia. Prosedur pemungutan
suara, dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakan sebagai tidak efektif
dan Bung Karno kemudian memperkenalkan apa yang kemudian disebut
dengan musyawarah untuk mufakat.

D. Orde Baru
Ketika Presiden Soekarno mengalami berbagai penyakit tuanya yang
dikonsultasikan kepada dokter Cina dari Beijing, berbagai kelompok
mulai gelisah memperhitungkan bagaimana mereka dapat lebih naik ke
puncak kekuasaan. Ada dua kelompok penekan Angkatan Darat yang
diisukan waktu itu yaitu Dewan Jenderal (mereka yang ingin
menggulingkan Soekarno) dan Dewan Revolusi (yang sangat setia
membela Soekarno).

Kemudian disaat Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang


menetapkan pencabutan kembali kekuasaan pemerintah negara dari
tangan Presiden Soekarno. Dan dengan ketetapan inilah jabatan presiden
jatuh kepada Jenderal Soeharto sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966. Selanjutnya dalam beberapakali pemilihan umum Pak
Harto dipertahankan menjadi Presiden yaitu dengan ketetapan :

1. Tap MPR No IX/MPR/1973 Hasil Pemilu 1971


2. Tap MPR No X/MPR/1978 Hasil Pemilu 1977
3. Tap MPR No IX/MPR/1983 Hasil Pemilu 1982
4. Tap MPR No IX/MPR/1988 Hasil Pemilu 1987
5. Tap MPR No IX/MPR/1993 Hasil Pemilu 1992

E. Orde Reformasi

Pada tanggal 1 Mei 1998 Pak Harto akhirnya mengundurkan diri yang
disambut oleh masyarakat. Pengganti beliau adalah wakil presiden Prof
Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie menggantikan beliau dengan
mengucap sumpah di Istana Merdeka karena tidak mungkin
melangsungkannya di gedung rakyat MPR karena diduduki oleh
mahasiswa..

Pemilihan Umum 1999 diikuti 48 partai yang bersaing ketat walaupun


hanya 21 partai yang mendapat bagian kursi di DPR RI. Kemudiaan
posisi presiden digantikan oleh K.H. Abdurahman Wahid setelah itu
diteruskan oleh Megawati.

Bab III

Kekuatan Politik Indonesia

A. MPR dan DPR

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga legislatif


bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum Reformasi, MPR merupakan
lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima
tahun di ibukota negara. Tugas dan wewenang MPR adalah :

1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar


2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum
3. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya
4. Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan
rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum
yang dipilih melalui pemilihan umum. Tugas dan wewenang DPR antara
lain[1] :

1. Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk


mendapat persetujuan bersama.
2. Membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-
undang.
3. Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah serta membahas membahas rancangan undang-undang
tersebut bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden.
4. Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden
atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan
mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden.
5. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang
tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama.
6. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
7. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian
amnesti dan abolisi.
8. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat
duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain.
9. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
10. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan
Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.
11. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara
yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas
dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara

B. Presiden dan Wakil Presiden

Wewenang dan kekuasaan Presiden dibagi menjadi dua jenis yaitu selaku
kepala negara dan selaku kepala pemerintahan. Cara membedakannya
adalah sebagi berikut[2] :

a.         Kekuasaan dan kewenangan presiden sebagai kepala negara

b.         Melangsungkan perjanjian dengan negara lain

c.         Mengadakan perdamaian dengan negara lain

d.         Menyatakan negara dalam keadaan bahaya

e.         Mengumumkan perang terhadap negara lain

f.           Mengangkat, melantik dan memberhentikan duta serta konsul


untuk negara lain

g.         Menerima surat keperayaan dari negara lain melalui duta dan
konsul negara lain

h.         Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan tingkat
nasional

i.           Menguasai angkatan laut, darat, dan udara serta kepolisian

Kekuasaan dan wewenang presiden sebagai kepala pemerintahan adalah


karena fungsinya sebagai penyelenggara tugas eksekutif, meliputi :

a.        Memimpin kabinet


b.        Mengangkat dan melantik serta memberhentikan menteri-menteri

c.        Mengawasi operasional pembangunan

d.        Menerima mandat dari MPR-RI

Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang Wakil


Presiden. Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
kewajiban dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden
sampai habis masa jabatannya. Jadi Wakil Presiden harus dapat bekerja
sama dengan Presiden karena Wakil Presiden bukan merupakan oposisi
terhadap Presiden. Secara umum tugas Wakil Presiden adalah :

1. Membantu Presiden dalam melakukan kewajibannya


2. Menggantikan Presiden sampai habis waktunya jika Presiden
berhalangan tetap
3. Memperhatikan secara khusus, menampung masalah-masalah dan
mengusahakan pemecahan yang menyangkut bidang tugas
kesejahteraan rakyat
4. Melakukan pengawasan operasional pembangunan

C. Mahkamah Agung dan Konstitusi

Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga tinggi negara di


Republik Indonesia yang merupakan peradilan tertinggi dari semua
lingkungan peradilan yang dalam tugasnya terlepas dari pengaruh
pemerintah (eksekutif) dan pengaruh-pengaruh lain. Sebagai lembaga
yudikatif, Mahkamah Agung memiliki kekuasaan dalam memutuskan
permohonan kasasi, memeriksa dan memutuskan sengketa tentang
kewenangan mengadili serta meninjau kembali keputusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Fungsi pokok yang
dijalankan Mahkamah Agung adalah :

1.      Fungsi peradilan

2.      Fungsi pengawasan

3.      Fungsi pengaturan

4.      Fungsi pemberian nasehat

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga pemegang


kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung. Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
konstitusi, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD, memutuskan pembubaran partai politik
dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD.

D. Partai Politik dan Kekuatan Politik

Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik


dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang
bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan
politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam
urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai
suprastruktur politik.

Menurut Miriam Budiardjo, partai politik[3] adalah suatu kelompok yang


terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai
dan cita-cita yang sama, tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan berebut kedudukan politik dengan cara
konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.

Partai politik adalah salah satu dari infrastruktur politik, sedangkan infra
struktur politik di Indonesia meliputi keseluruhan kebutuhan yang
diperlukan di bidang politik dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang
berkenaan dengan asal mula, bentuk dan proses pemerintahan pada
tingkat negara. Hal tersebut dapat dikaji dengan melihat berbagai
organisasi, sistem dan prosedur kerja. Oleh karena itu ada organisasi
politik yang resmi tampak seperti partai politik, perkumpulan buruh,
nelayan, pedagang, organisasi wanita, pemuda, pelajar, dan lain-lain.
Tetapi ada pula organisasi abstrak yang tidak resmi namun sangan
menguasai keadaan sebagai elite power yang disebut juga dengan grup
penekan (pressure group) seperti kelompok kesukuan, fanatisme
keagamaan dan kelompok tertentu yang berdasarkan almamater.

Bab IV

Hukum dan Politik Indonesia

A. Pemilihan Umum

Salah satu wujud demokrasi dalam pengertian “prosedur untuk


membentuk pemerintahan secara luas”, ialah Pemilihan Umum
( Pemilu ). Pemilu adalah pengejawantahan penting dari demokrasi
prosedural. Pemilu adalah lembaga sekaligus prosedur praktik politik
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang memungkinkan terbentuknya
sebuah pemerintahan perwakilan. Pemilu sebagai prosedur demokrasi
adalah untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan
rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh konstitusi
atau UUDN 1945. Kekuasaan negara yang lahir dengan cara pemilihan
pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah kehendak
rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.

B. Sistem Pemilihan Umum

Salah satu fungsi pemilu, adalah mengatur prosedur seseorang untuk


dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala
pemerintahan. Fungsi demikian menunjukan bahwa setiap kita berbicara
tentang pemilu, berarti kita berbicara mengenai sistemnya, yakni sistem
pemilihan umum, biasanya diatur dalam peraturan perundang-undangan,
berarti kita berbicara mengenai tiga variabel pokok, yaitu  :

1.      Penyuaraan

2.      Distrik pemilihan

3.      Formula pemilihan

Dalam literatur  ilmu politik dikenal juga dengan dua sistem pemilihan,
yakni sistem distrik (satu daerah pemilih memilih satu wakil ) dan sistem
perwakilan berimbang ( satu daerah pemilih memilih beberapa wakil ).

1. Sistem Distrik

Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua dan di
dasarkan pada kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai
satu wakil dalam DPR. Kelemahan sistem distrik diantaranya:

1.
1. sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai
kecil dan golongan minoritas.
2. Sistem ini kurang representative karena calon yang kalah
dalam suatu distrik, otomatis kehilangan suara yang telah
mendukungnya.
2. Sistem Perwakilan Berimbang
Sistem ini awalnya dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa
kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokoknya adalah bahwa jumlah
kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai politik sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya. Dalam pelaksanaanya, sistem
perwakilan berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa
prosedur, antara lain sistem daftar, baik sistem daftar tertutup amupun
sistem daftar terbuka. Kelemahan dari sistem ini adalah :

a.       sistem ini mempermudah fundamentasi partai dan timbulnya partai-


partai baru

b.      wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terkait kepada partai dan
kurang merasa loyalitas kepad orang atau masyarakat yang telah
memilihnya

c.       banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintahan yang


stabil, karena umumnya hasur mendasarkan diri atas koalisi dari dua
partai atau lebih.

C. Pemilihan Umum di Indonesia

Meskipun UU Politik tentang Pemilu, dari pemilu ke pemilu beberapa


kali mengalami perubahan, perubahan itu ternyata tidak bersifat
mendasar, kecuali pemilu 2004, khususnya masalah asas-asa pemilu.
Secara umum asas-asas pemilu di Indonesia sebagai berikut :

1.       Langsung

2.       Umum

3.       Bebas

4.       Rahasia

5.       Jujur

6.       Adil

Penyelenggara Pemilihan Umum :

1.       PPI Pemilu 1955

Pelaksana penyelengara pemilu 1955 adalah panitia pemilihan Indonesia.


Panitia ini di angkat oleh Presiden Soekarno melalui Kepres 7 November
1953, dan dilantik tanggal 28 November 1953. Setelah pelantikan
dilanjuntksn dengan serah terima kantor Pemilihan Pusat ( KPP ) pada
tanggal 3 Desember 1953. Dalam tugasnya PPI dibantu oleh panitia
pemilihan,panitia pemilihan kabupaten, panitia pemungutan suara, panitia
luar negeri. Jumlah anggota panitia penyelenggara pemilu masing-masing
adalah 14 orang untuk panitia pemilihan pusat, 15 oran g untuk panitia
daerah pemilihan, masing-masing 7 orang; 208 panitia kabutpaten,
masing-masing 5 orang; 42.092 panitia pendaftar pemilih di desa-desa.

2.       Lembaga Pemilihan Umum ( LPU )

Lembaga pemilihan umum dibentuk oleh Presiden, dan diketua oleh


Menteri Dalam Negeri ( Mendagri ). Selain Mendagri, susunan LPU juga
melibatkan 9 orang Dewan Pimpinan terdiri dari 8 menteri dan seorang
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam operasi
lapangan, LPU membentuk PPI untuk di tingkat pusat, PPD I untuk
daerah tingka I, PPD II untuk daerah tingkat II, panitia pemungutan suara
( PPS ) untuk tingkat kecamatan, panitia pendaftar pemilih untuk tingkat
desa, dan PPLN untuk warga Indonesia yang berada di luar negeri.

3.       KPU 1999

Keanggotaan KPU 1999 terdiri dari unsure partai politik dan pemerintah,
yakni 1 orang masin-masing partai politik peserta pemilu dan 5 wakil
pemerintah.  Masa keanggotaan KPU adalah 5 tahun. Tata kerja disusun
dan diterapkan oleh KPU. Dalam pelaksanaan tugasnya KPU dibantu
oleh sekretariat umum, wakil sekretariat umum, organisasi dan tata kerja
secretariat KPU ditetapkan dan diberhentikan oleh Presiden.

4.       KPU 2004

Struktur organisasi Pemilu 2004 terdiri atas KPU, KPU Propinsi, KPU
Kabupaten/ Kota, PPK, PPS melaksanakan pemungutan suara di TPS dan
membentuk KPPS, PPLN untuk warga yang tinggal di luar negeri,
KPPSLN, Panwaslu. Untuk keperluan tugas operasional, KPU
dilengkapi  Sekretaris Jenderal yang dipimpin oleh Sekertaris Jenderal
dan dibantu oleh Wakil Sekertaris Jenderal. Sekertaris Jenderal dan Wakil
Sekertaris Jenderal adalah PNS yang diangkat dan diberhentikan oleh
Keputusan Presiden.

D. Pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu

1. Pemilu 1955
UU Pemilu dibuat pertama kali di Indonesia pada pascakemerdekaan,
yakni UU no 7 Tahun 1953 tentang pemilihan umum. Tujuan pemilihan
umum yang diselenggarakan 1955 adalah: menjelmakan kemauan rakyat
yang akan menjadai dasar kekuasaan penguasa, membentuk konstituante.
Pemilu pertama dilaksanakan di seluruh tanah air kecuali Irian Barat,
memperebutkan 27 kursi DPR, Pemilu diikuti oleh 15 daerah pemilihan,
dengan jumlah pemilih 43. 104. 464 orang. Pemilu 1955 menjlankan
sistem pemilu secara langsung.

1. Pemilu 1971

Pemilu 1971 diikuti oleh 10 organisasi Peserta Pemilu ( OPP ) yakni 9


partai dan satu golongan karya. UU yang menjadi landasan hukumnya
adalah UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No 16
tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

1. Pemilu 1977

Pemilu 1977 diselenggarakan dengan berlandaskan pada UU No 4 tahun


1975 tentang Pemilihan Umum pengganti UU No 15 tahun 1969, dan UU
No 5 tahun 1975, pengganti UU No 16 tahun 1969 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Diikuti oleh 3 organisasi peserta
pemilu ( OPP ), yakni dua parpol dan satu golongan karya.

1. Pemilu 1982

Dengan UU No 2 tahun 1980 pengganti UU No 4 tahun 1975 tentang


pemilihan umum. Dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 1982. Pada pemilihan
ini, perolehan suara dan kursi Golkar secara nasional meningkat, tetapi
gagal merebut kemenangan di Aceh. Golkar meraih 48.334.724.

1. Pemilu 1987

Dengan UU No 1 tahun 1985 pengganti UU No 2 tahun 1980, Indonesia


menyelenggarakan Pemilu yang kelima tahun 1987. Pemungutan suara
dilakukan pada tanggal 23 April 1987. Dari 93.737.633 pemilih, suara
yang sah 85.869.816 atau 91,32 %.

1. Pemilu 1992

Tahun 1992 dilaksanakan pemilu yang keenam, pemungutan suara


dilakukan pada tanggal 9 Juni 1992. Hasil pemilu suara golkar kali ini
merosot dibandingkan pemilu 1987. Kalau pada pemilu 1987, perolehan
suaranya 73,16 %, pada pemilu 1992 menjadi 68,10 %. PPP juga
mengalami hal yang sama.

1. Pemilu 1997

Dengan hukum dan Undang-Undang yang sama dengan pemilu


sebelumnya, Indoneia kembali menyelenggarakan pemilu ketujuh yakni
pada tahun 1997. Pemungutan suara dilaksankan pada tanggal 29 Mei
1997. Kali ini golkar mampu merebut suara penudukungnya. Perolehan
suara mencapai 74,51 % atau naik 6,41 %. Sedangkan perolehan kursinya
meningkat menjadi 325 kursi. PPP juga mengalami hal yang sama, yaitu
meningkat 5,43 % suara. Begitu pula untuk perolehan kursi, meningkat
27 kursi dibandingkan pemilu sebelumnya.

1. Pemilu 1999

Pemilu 1999 ditujukan untuk memilih anggota-anggota DPR dan DPRD.


Pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini
diikuti 48 partai dengan berlandaskan Undang-Undang No 2 tahun 1999
tentang Partai Politik dan Undang-Undang No 3 tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum. Pemilu 1999 disebut oleh sebagian kalangan sebagai
pemilu demokratis setelah pemilu 1955. Sebagai pemenangnya dalah
PDI-P yang meraih 35.689.037 atau 33,74 % dengan perolehan 153 kursi.
Golkar mmperoleh 23.741.758 suara, atau 22,44 % sehingga memperoleh
120 kursi. PKB dengan 13.336.982 suara mendapatkan 51 kursi. PPP
dengan 11. 392.905 suara mendpatkan 58 kursi. PAN meraih 7.528.956
suara mendapatkan 34 kursi.

1. Pemilu 2004

Pemilu ini bebeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk pemilu 1999.


Karena selain demokratis dan bertujuan untuk memilih anggota DPR dan
DPRD, Pemilu 2004 juga memilih anggota DPD dan memilih presiden
dan wakil presiden secara langsung. Pemilu 2004 dibagi menjadi 3 tahap:

1.
1. Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih partai politik
dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR,
DPRD dan DPD.
2. Tahap kedua adalah untuk memilih pasangan calon presiden
dan wakil presiden secara langsung.
3. Tahap ketiga adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya
apabila pada tahap kedua, belum ada pasangan calon yang
mendapatkan suara lebih dari 50 % dari suara keseluruhan.
Bab V

Politik dan Wayang

A. Sejarah Wayang Kulit

WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling
menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang
meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni
lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus
berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan,
dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang


merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan
wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa.
Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini
merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan
Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak
mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan
falsafah asli Indonesia

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan


filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam
pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan
sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan
lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya
tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para
budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat
konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar
baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang
unsur kebaikan dan kejahatan.

Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama,


pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa,
tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh
para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil
penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang
termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan
Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat
erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia,
khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan,
yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan
Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis
pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan
bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari
India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka
antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan
Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris,
negeri Eropa yang pernah menjajah India.

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah


sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali
tidak diimpor dari negara lain.Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di
Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja
Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang
makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang
sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain,
naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis
pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan
gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.
Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan
Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya
dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa
kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin,
yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata.
Gubahan lain yang lebih nyata bedanya dengan cerita asli versi India,
adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja
Kediri (1130 – 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada
sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat
pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawayang” dan
`aringgit’ yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.

Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewayangan’, yang artinya


bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang
Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara
dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu.
Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan
yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi
oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung
(sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada
masa itu diduga belum ada.Untuk lebih menjawakan budaya wayang,
sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain
yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat
itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit,
mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita
Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang
Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa
ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai
mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita
Damarwulan.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada


Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah
masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,
termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus
berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya,
mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar
cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu
masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh
keluar dari cerita pakem.

B. Lakon Utama

Secara umam lalon yang dimainkan dalam wayang kulit adalah


Mahabarata dan Ramayana. Tetapi tidak dibatasi dengan pakem standar
tersebut, dalang juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa
diantaranya Cerita Panji. Lakon Mahabarata mengisahkan permusuhan
antara Pandawa dan Kurawa dalam perebutan Kerajaan astina. Pandawa
dan Kurawa sama-sama mengklaim bahwa merekalah yang berhak atas
tahta kerejaan astina. Walaupun sebenarnya yang paling berhak atas
kerajaan adalah Pandawa. Mereka saling permusuhan dan selalu
dimenangkan Pandawa. Untuk mengakhiri permusuhan tersebut kerajaan
dipecah menjadi dua.

Lakon Ramayana mengisahkan Sri Rama dan Dewi Sinta perjuangan


keduanya dalam menjalani asmara yang sejati. Karena kisah asmara
mereka mendapatkan berbagai ujian. Diculiknya Dewi Sinta oleh
Rahwana untuk dibawa ke kerajaan Ngalengka untuk dijadikan istri.
Tetapi, meskipun rayuan dari Rahwana tidak dapat menggoyahkan
pendirian dari Dewi Sinta yang tetap tresna (Cinta) kepada Sri Rama. Sri
Rama yang marah karena istrinya diculik, dengan bantuan Anoman (kera
putih) dan pasukan kera berhasil mengalahkan Rahwana dan
menyelamatkan Dewi Sinta. Inti dari dua lakon utama wayang kulit
Mahabarata dan Ramayana adalah tentang kebaikan yang mengalahkan
angkara mungkar. Lakon utama hanyalah standarisasi tokoh-tokoh dalam
pementasan wayang kulit. Di bawah Lakon utama ada lakon gubahan,
seperti penjelasan atas tadi.

C. Filosofi Wayang Kulit

Wayang Kulit memiliki banyak filosofi yang dapat dipelajari oleh kita.
Filosofi wayang kulit ada bukan hanya saat pertunjukan saja, tetapi
sebelum pertunjukan dimulaipun ada filosofi yang dapat diambil.
Lihatlah wayang yang berjajar di depan sebelum pementasan dimulai.
Wayang selalu dijajarkan sesuai peran wayang tersebut. Peran wayang
yang berwatak jahat (Butho), selalu diletakkan di pinggir jauh dari
dalang. Sementara wayang yang berwatak baik dan bijaksana akan
diletakkan berada di dekat dalang. Bila kita iteroretasikan pada kehidupan
kita bahwa orang-orang yang baik dan bijaksana selalu akan dekat kepada
Tuhan, sementara orang yang berwatak jahat akan menjauh dari Tuhan.
Sehingga mengajarkan kita untuk selalu baik dan bjaksana.

Cerita pewayangan menggambarkan pandangan tentang konsep mahkluk


Tuhan. Para tokoh wayang diibaratkan manusia dalam dunia nyata.
Manusia bukan sesuatu yang bebas dari salah.Tokoh wayang
menggambarkan perilaku manusia yang kadang-kadang keliru dan bisa
saja khilaf. Tokoh punakawan diciptakan oleh budayawan jawa untuk
memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang
benar-benar baik dan benar-benar salah. Setiap makhluk selalu
menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Tokoh punakawan yang
muncul dalam pertunjukan wayang kulit, melambangkan rakyat atau
kawula alit. Hal tersebut berdasarkan anggapan atau suatu faham yang
kuat dan mendalam diantara masyarakat jawa, meskipun jarang
terungkap; bahwa hanya rakyatlah yang merupakan sumber kekuatan
yang sebenarnya, kesuburan, dan kebijaksanaan masyarakat Jawa, bukan
lingkungan kraton. Sebagaimana para punakawan rela menjadi abdi yang
rendah para bendara (Tuan) mereka yang luhur; begitu pula rakyat Jawa
pun menerima kedudukan sederhana itu. Tetapi jika para Pandawa
melupakan para panakawan, pasti akan terkena marabahaya atau
malapetaka. Rakyat juga berharap para pemimpin tidak melupakan
rakyat, karena berkat rakyatlah para pemimpin dapa menikmati
kedudukannya. Kekuatan raja atau pemimpin tidak berarti apa-apa jika
terpisah dari rakyat, karena hanya rakyatlah sumber kekuatan di dalam
masyarakat.

Pandam Guritno (1976)[4] menyatakan bahwa panakawan dalam


pewayangan merupakan pengejawatan sifat, watak, manusia dengan
lambangnya masing-masing, yaitu: Semar lambang karsa (kehendak atau
niat), Gareng lambang Cipta (pikiran, rasio, nalar), Petruk lambang rasa
(perasaan), Bagong lambang karya (usaha, perilaku, perbuatan). Dengan
kata lain bahwa panakawan yang berjumlah empat itu melambangkan
cipta-rasa-karsa dan karya manusia. Jadi panakawan ( pana ‘tahu’
terhadap empat tersebut, dan kawan ‘teman’ manusia hidup di dunia).

D. Falsafah Wayang Kulit

Kita ketahui bahwa yang disampaikan dalam wayang kulit ingin


mengajak manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi sebagai
makhluk sosial. Wayang kulit menyampaikan bahwa kebaikan selalu
dapat mengalahkan keburukan. penyampaian etika, norma, kebenaran,
moral, maupun kejujuran dalam wayang kulit kepada manusia, agar
manusia mendapat ketenangan dan kenyamanan hidup.

Misalnya dalam epos Mahabarata, terdapat kelompok Pandhawa yang


mewakili nilai-nilai kebaikan serta Kurawa yang disimbolkan sebagai
pemuja hawa nafsu dan angkara murka. Pemberian simbol-simbol
(penanda) tersebut bertujuan sebagai kontrol masyarakat. Masyarakat
akan melakukan hal-hal yang baik agar tidak dikategorikan sebagai
kurawa yang berwatak tamak. Pemasukan yang dilakukan wayang dalam
pemberian nasehat dalam mejalani kehidupan seperti : Nrimo ing pandum
(menerima apa adanya), memeyu hayuning bawana (menjadikan dunia
sejahtera), jer basuki mawa bea ( kebahagiaan butuh pengorbanan), dan
kautamaning urip (menjadi manusia yang utama).

E. Politik Wayang Indonesia

Wayang kulit telah memberikan gambaran dan pelajaran dalam menjalani


hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal bernegara
(politik) wayang kulit memberikan pelajaran dalam cerita Mahabarata
bahwa ketamakan dalam mengejar kekuasaan yang dilakukan oleh
Kurawa akan hancur atau dikalahkan kebenaran yang diwakili oleh
Pandawa. Para politikus di Indonesia nampaknya telah banyak belajar
dari salah satu tokoh dalam pewayang Mahabarata yaitu Sengkuni.
Sengkuni merupakan Patih dari kerajaan Astina, sebuah negara yang
dipimpin oleh Kurawa. Badannya kurus, mukanya pucat kebiru-biruan
seperti pecandu. cara bicaranya “klemak-klemek” terkesan
menjengkelkan.

Para politikus di negara kita cenderung berbuat licik, munafik, senang


menfitnah, senang menghasut, senang mencela orang lain dan iri hati
seperti watak sengkuni. Sengkuni juga dikenal dikenal juga sebagai
pengemong atau penasihat, terutama hal-hal pemerintahan bagi para
Kurawa dalam memerintah Astinapura. Bila kita umpamakan Sengkuni
sebagai politikus dan para Kurawa sebagai pemerintah. Pola pikir
politikus yang seperti Sengkuni yang mempengaruhi (ngemong)
pemerintah (para kurawa) dalam mememerintah negara Indonesia. Sifat
yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok untuk memerintah
negara, dapat disimpulkan akan dapat menghancurkan negara.

Di sisi gelap jiwa Sengkuni menyimpan suatu dorongan sadis “biarlah


orang lain menderita”. Di mana pun juga, kita akan menemukan orang-
orang yang mempunyai kecenderungan kasar yang ingin
mempertahankan dirinya, tetapi orang lain harus dikorbankan. Tidak
seorangpun ingin disamakan dengan sengkuni yang berwatak seperti itu.
Rendahnya politikus dalam memahami etika, norma, kebenaran, moral
dan kejujuran seperti yang ada dalam wayang nampaknya telah
melahirkan sengkuni-sengkuni baru di era modern. Maka jangan kaget
jika muncul pemimpin-pemimpin seperti sengkuni, bahkan ada sengkuni-
sengkuni disekeliling kita yang menduduki jawabatan kepemimpinan dan
hanya mementingkan kelompok, tidak mempunyai jiwa pemimpin. Lalu
kita menerima sebagai hal yang lumrah atau normal, dan tidak ada
keterkejutan.

Pergeseran dalam masyarakat dalam hal kesakralan, sekarang harta benda


lebih penting dari segala di dunia. Semua urusan dihitung uang, membuat
orang berlomba-lomba mendapatkan sebanyak-banyaknya tanpa
memperdulikan orang-orang disekitarnya. Saat semua hanya
mementingkan diri mereka dan kelompok inilah yang memunculkan
sengkuni-sengkuni. Sengkuni dianggap menjadi panutan dan Pandawa
menjadi musuh, karena Pandawa yang memiliki sifat adil, bijak dan
kejujuran. Sikap yang seperti itu akan dianggap oleh sengkuni-sengkuni
baru sebagai hambatan untuk mencapai keinginan mereka, sehingga harus
disingkirkan. Semuanya menjadi serba terbalik. Mungkinkah suatu saat
muncul Pandawa-padawa yang akan mengalahkan Sengkuni dan Kurawa
yang sedang berkuasa sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai