Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ulys Respati Lestari

NPM : 1906291771

TUGAS LTM 6

“Kelahiran Pancasila dalam Sudut Pandang Historis”

Artikel berjudul “Lima Bulan yang Mengguncang Dunia: Kelahiran Pancasila,


Proklamasi, dan Pendirian Negara-Bangsa” yang ditulis oleh Daniel Dhakidae-Doktor lulusan
Cornell University- dalam Redaksi Prisma Vol. 37. No.2, tahun 2018 menitikberatkan fokus
utamanya pada proses kelahiran Pancasila mengingat sebagian besar karya yang telah ada
hanya fokus pada “hasil” dari proses tersebut dan cenderung mengabaikan latar belakang dan
proses pergulatan diskursus di dalam sidang perumusan Pancasila. Oleh sebab itu, penulis
mengambil posisi untuk mengenalkan latar belakang para bapak-ibu bangsa yang
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Jangka waktu antara April 1945-Agustus 1945 merupakan lima bulan yang sangat
menentukan bagi nasib bangsa Indonesia karena terdapat proses penggalian Pancasila
menjadi dasar dari Negara Indonesia yang baru merdeka. Walaupun demikian, jangka waktu
lima bulan itu berkaitan erat dengan apa yang terjadi dalam Perang Dunia Kedua.

Sejak akhir 1944 sampai bulan awal 1945, kondisi internasional akibat Perang Dunia
Kedua menunjukkan penurunan posisi Jepang. Dalam bayang-bayang kekalahan itu, Jepang
ingin melaksanakan janji memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Dalam rangka
menyongsong kemerdekaan itulah pada 1 Maret 1945 dibentuk badan besar Dokuritsu Junbi
Chōsa-kai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat.

Dokuritsu Junbi Chōsa-kai (BPUPKI) beranggotakan 67 orang yang berasal dari


berbagai latar belakang. Di dalam artikel ini dijelaskan dimensi perbedaan latar belakang
anggota Badan Persiapan Kemerdekaan baik dari segi usia, gender, pekerjaan, dan
pendidikan.

Terdapat beberapa kelompok generasi dalam Badan Persiapan Kemerdekaan yakni:


15 orang anggota berusia 30-39 tahun, 31 orang anggota berusia 40-49 tahun, 18 orang
anggota berusia 50-59 tahun, dan 5 orang anggota berusia 60-69 tahun.
Dari segi gender didominasi oleh laki-laki sebanyak 65 orang sedangkan perempuan
hanya 2 orang yaitu Siti Soekaptinah, seorang guru Taman Siswa dan Raden Ayu Maria
Ulfah Santoso, Master in de Rechten di Universitas Leiden.

Dari segi pekerjaan, hampir terbagi sama besar antara pegawai negeri (50%) dan
swasta (50%). Dari kelompok pegawai negeri terdapat tokoh-tokoh penting diantaranya
Raden Panji Soeroso yang menjabat sebagai Wakil Wali Kota Mojokerto sekaligus Wakil
Ketua BPUPKI dan Mr. Soepomo yang bekerja sebagai pegawai pemerintah pendudukan
balatentara Jepang di Jakarta. Sementara dari pihak swasta terdapat Agoes Muschin Dasaad,
seorang pengusaha besar.

Dari segi pendidikan, 58% adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Sementara yang
berada dalam kategori pendidikan menengah banyak yang berasal dari Meeruitgebreide
Lagere School (MULO) setingkat SMP dan Hoogburgerlijke School (HBS) setingkat SMA.
Hanya satu orang yang dikatakan tidak bersekolah yakni Kiyai Hadji Abdul Mohammad
Sjatari Halim.

Rapat pertama BPUPKI diselenggarakan pada 29 April hingga awal Mei 1945 yang
tidak memperoleh dokumen, karena itu jarang disebut sebagai rapat pertama. Sering kali yang
dimaksud rapat ertama adalah rapat pada 28 Mei-1 Juni 1945 yang didokumentasikan dengan
sempurna dan sampai ke tangan kita. Pada 28 Mei 1945 diadakan upacara pelantikan dan
sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan BPUPKI yang pertama di gedung Chuo
Sangi In.

Pada 29 Mei 1945, seperti yang kita ketahui Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H.
sebagai orang pertama yang mengemukakan beberapa prinsip dasar negara yakni “peri
kebangsaan”, “peri kemanusiaan”, “peri kerakyatan”, “peri keadilan”, dan “ketuhanan”. Akan
tetapi penulis mengemukakan terdapat kejanggalan dari rumusan ini yang tidak sesuai dengan
proses yang sebenarnya terjadi di dalam sidang hari itu. Pada proses sidang muncul interupsi
keras bahkan tudingan dari wakil ketua Badan Persiapan Kemerdekaan, RP Soeroso yang
memimpin sidang bahwa Yamin telah “menyimpang dari apa yang dimaksudkan” karena
Yamin berbicara mengenai pembelaan negara, budi pekerti negara, dan kesejahteraan negara
yang tidak sesuai dengan agenda sidang hari itu untuk membahas dasar negara.

Dalam Risalah Sidang yang merupakan penerbitan ulang dari Naskah Persiapan
UUD 1945 yang disusun Yamin tidak muncul persoalan. Dengan kata lain, semua “peri” itu
adalah tambahan di luar sidang ke dalam dokumen yang disusun Yamin, yang kemudian

2
menjadi dasar penyusunan buku Risalah Sidang yang diterbitkan Sekretariat Negara (1998).
Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa dokumen asli Badan Persiapan Kemerdekaan dibawa
pulang oleh Yamin ke rumahnya dan tidak pernah dikembalikan.

Selanjutnya pada 30 Mei 1945, Prof. Mr. Dr. Soepomo mengemukakan pikirannya
yang paling akademik di antara semua anggota Badan Persiapan Kemerdekaan. Soepomo
mengusulkan “Staatside integralistik” yang disebut juga Cita negara kekeluargaan” atau
kemudian lebih dikenal dengan “Cita negara Kesatuan” yakni negara nasional yang bersatu
dalam arti totaliter yaitu negara yang tidak mempersatukan diri dengan golongan besar, akan
tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan yang besar maupun
golongan yang kecil.

Pidato utama terakhir adalah Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945. Soekarno menarik garis
perbedaan antara dirinya dengan para pembicara sebelumnya. Perbedaan tersebut boleh
dikatakan pendekatan yang diambil Yamin adalah pendekatan legal-historis sementara
Soepomo mengambil pendekatan romantisme Germanik yang dipadukan dengan konsep
negara sebagai makro-anthropos dengan kesatuan kawulo-gusti Jawa. Sedangkan Soekarno
mengambil pendekatan struktural-Marxis dan membongkar struktur kekuasaan lama,
tradisional, digantikan dengan sesuatu yang baru.

Penulis hanya membahas tiga sila utama yang dikemukakan oleh Soekarno. Obsesi
Bung Karno pada nasionalisme melahirkan sila pertamanya: Kebangsaan. Soekarno
menegaskan bahwa rasa kebangsaan bukan sesuatu yang given, tetapi sesuatu yang harus
mengalami suatu proses metanoia (perubahan mendasar) di dalam diri, di dalam kelompok
etnik, kelompok ras, kelompok agama untuk menjadi bangsa. Selanjutnya, Soekarno
membuka sila keempatnya: Kesejahteraan dengan mempersoalkan sistem kapitalisme yang
tidak mampu menyelesaikan masalah kesejahteraan. Kemudian yang paling menggemparkan
adalah sila terakhirnya: Ketuhanan karena mengemukakan istilah aneh yakni ketuhanan yang
berkeadaban dan berkebudayaan. Dalam hal ini, Soekarno memandang ketuhanan dalam sila
terakhirnya sebagai dokumen kenegaraan bukan dokumen keagamaan.

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Daniel Dhakidae ini, permasalahan aktual yang
terjadi di Indonesia ialah bangsa Indonesia kerap kali melupakan sejarah Pancasila. Hal ini
tidak sesuai dengan semboyan Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah) yang
dikemukakan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya pada HUT RI tahun 1966.

3
Pancasila hanya dimaknai sebagai hasilnya saja, sebagai ideologi, falsafah, dan dasar
negara. Tanpa dimaknai dan dihayati lebih lanjut bagaimana proses panjang dalam sejarah
perumusannya. Akibatnya, berbagai penyimpangan terhadap Pancasila sebagai dasar negara
terjadi lintas generasi, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Tak hanya melupakan sejarah Pancasila, masalah nyata yang dapat dilihat dalam
proses perumusan Pancasila ialah hilangnya dokumen negara. Hilangnya dokumen notulensi
rapat yang seharusnya diketahui oleh publik mengakibatkan sejarah tak bisa diungkap dengan
baik. Hingga menimbulkan kerancuan dalam masyarakat yang kemudian memungkinkan
terjadinya manipulasi sejarah. Jika manipulasi itu disebarkan melalui berbagai saluran resmi,
dan menyusup ke dalam kurikulum pendidikan dan buku pelajaran, sebuah bangsa akhirnya
hidup dalam sebuah kebohongan. Oleh sebab itu, hal ini seharusnya dijadikan pelajaran oleh
bangsa Indonesia agar tidak terulang kembali kelalaian dalam menjaga dokumen negara.

Dewasa ini, disintegrasi merupakan ancaman serius yang dapat meruntuhkan sila
ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Pada bulan Agustus lalu Papua bergejolak dan panas,
kerusuhan besar melanda sebagian wilayah Papua, seperti Manokwari, Deiyai, dan Jayapura.
Hal ini mengingatkan bangsa Indonesia bahwasanya ancaman disintegrasi merupakan
masalah nyata yang mungkin terjadi apabila kemajemukan di Indonesia tidak dirawat dengan
baik dalam bingkai Persatuan Indonesia.

Oleh karena itu, menguatkan kembali Pancasila merupakan agenda penting mengingat
banyaknya kegiatan warga negara yang meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Dari ruang
pendidikan, anak-anak generasi penerus bangsa seyogyanya diajak untuk mencintai
Pancasila. Bukan hanya menghapalkan kelima sila dan membacakannya dengan lantang
bagai ritual setiap upacara Senin pagi saja. Tetapi lebih dari itu, mencintai Pancasila berarti
mengajak generasi penerus bangsa untuk menghayati dan mengimplementasikan nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tingkat Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah Pertama harus lebih
memprioritaskan pada praktik-praktik nilai Pancasila dalam keseharian baik lingkungan
keluarga, sekolah, masyarakat, serta bangsa dan negara. Sedangkan pada tingkat Sekolah
Menengah Atas, anak-anak harus sudah diajak untuk menyelami secara kritis mengenai
sejarah lahirnya Pancasila termasuk proses perumusannya.

4
DAFTAR PUSTAKA

Dhakidae, Daniel. 2018. Lima Bulan yang Mengguncang Dunia: Kelahiran Pancasila,
Proklamasi, dan Pendirian Negara-Bangsa. Jurnal Prisma, 37(2), 4-26.

Anda mungkin juga menyukai