Jailani
Hari ini merupakan tanggal 1 Juni 2021, yang dimana merupakan hari ke 76 tahun
lahirnya Pancasila sebagai falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai falsafah
Negara, Pancasila memiliki sejarah dan nilai-nilai yang komprehensif, dan tentu sebagai rakyat
Indonesia merupakan keharusan kiranya untuk mengetahui minimal secara umum bagaimana
sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Melalui kesempatan ini penulis mencoba menguraikan secara singkat dan penuh
kekurangan mengenai Pancasila. Namun dalam uraian singkat ini dengan mengambil judul
“Pancasila dalam Kerangka Nilai-nilai Islam” penulis mencoba menguraikan bagaimana
Pancasila jika dilihat pada aspek nilai-nilai Islam. Sehinngga penulis berharap uraian singkat ini
bisa memberikan gambaran singkat mengenai Pancasila dalam kacamata Islam.
Perumusan serta sistematika Pancasila yang tertuang dalam Piagam Jakarta dapat
diterima oleh BPUPKI dalam sidang 14 – 16 Juli 1945. Pancasila sebagai dasar Negara belum
final, karena BPUPKI belum merupakan perwakilan yang representatif. Oleh karena BPUPKI
adalah sebuah badan hasil bentukan Jepang, sehingga dipandang belum mencerminkan
perwakilan orang Indonesia. Untuk memenuhi kepentingan itu, maka harus segera dibentuk
suatu panitia untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus diumumkan akan segera dibentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, 9 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mulai bekerja, Ir. Soekarno sebagai ketua dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua. Keanggotaan
dari PPKI ini seluruhnya adalah terdiri dari orang-orang Indonesia untuk memeriksa hasil-hasil
kerja BPUPKI sebagai bahan persiapan kemerdekaan Indonesia nanti. Setelah kemerdekaan
keanggotaan PPKI disempurnakan, sehingga menjadi Badan Nasional. Semula PPKI bertugas
untuk memeriksa hasil-hasil BPUPKI, kemudian mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat
penting yaitu:
1. Mewakili seluruh bangsa Indonesia.
2. Sebagai pembentuk Negara (yang menyusun Negara Republik Indonesia setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17- 18-1945).
3. Menurut teori hukum, badan seperti ini mempunyai wewenang untuk meletakkan dasar
negara (pokok kaidah negara yang fundamental).
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang bertekuk lutut kepada sekutu. Walaupun
kekalahan Jepang ini sangat dirahasiakan, namun berkat kecerdasan dan ketangkasan para
pemuda, terutama para pemuda yang bekerja di Kantor Berita, maka berita tentang kekalahan
Jepang itu sampai juga ke telinga para pemimpin pergerakan Indonesia. Sementara itu pihak
sekutu memberikan mandat kepada Inggris untuk melakukan pelucutan senjata kepada Jepang.
Mandat sekutu kepada Inggris tidak segera dilakukan, akibatnya terjadilah kekosongan
kekuasaan (facum of power) di Indonesia. Kekalahan Jepang atas sekutu dan kekosongan
kekuasaan inilah yang dijadikan sebagai dasar alasan tokoh-tokoh pemuda pergerakan nasional
Indonesia mendesak Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta untuk sesegera mungkin
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada akhirnya tepat pukul 10.00 pagi waktu Jakarta
bertempat di Jl. Pegangsaan Timur No.56 Jakarta “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”
diumumkan oleh dwitunggal (Soekarno-Hatta) tanggal 17 – 8 – 1945 dengan mengatasnamakan
bangsa Indonesia.
Pengakuan Indonesia sebagai negara merdeka secara internal (de facto) belum cukup.
Karena wajib mendapat pengakuan dunia internasional (de yure). Agar mendapat pengakuan
dunia internasional, maka perlu segera diambil tindakan-tindakan untuk menata Indonesia
merdeka seperti: menetapkan Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Presiden dan Wakil
Presiden dan lain-lain alat kelengkapan negara. Pada tanggal 18 Agustus 1945, pagi hari sebelum
sidang menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara, ada usulan dari Maluku,
Sulawesi Utara, dan Bali (Sunda Kecil) untuk merubah rumusan sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya (tujuh kata)” diganti menjadi “ Yang Maha Esa”.
Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya menetapkan Undang-Undang Dasar,
yang selanjutnya dikenal dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Dasar Negara, yang
rumusannya sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Pada waktu itu
juga sudah memilih/menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai
Wakil Presiden Republik Indonesia, sehingga secara de facto dan secara de yure Indonesia sudah
menjadi negara merdeka, dengan menempatkan Pancasila menjadi Dasar Negara sekaligus
sebagai pemersatu bangsa Indonesia.
Pancasila disepakati menjadi dasar Negara paripurna, jati diri bangsa, rumah bersama
warga bangsa sebab keberagaman itu merupakan karunia, dan Pancasila sebagai dasar, ideologi,
dan falsafah bangsa selalu
bersifat terbuka.
B. Pancasila Dalam Kerangka Nilai-Nilai Islam
Secara ummum, Pancasila diberlakukan sebagai falsafah bangsa yaitu demi persatuan
seluruh penduduk Indonesia yang majemuk. Hal yang juga penting untuk diketahui oleh umat
Islam, menurut Munawir Syadzali, bahwa ditetapkannya Pancasila dan bukan Islam sebagai
Ideologi negara tidak semata-mata dimaksudkan demi memelihara kedamaian dan kerukunan,
melainkan juga karena Al-Qur’an dan Hadits tidak secara eksplisit mewajibkan orang Islam
mendirikan negara Islam. Sehingga Pancasila bukan merupakan ide sekuler, melainkan
menyatukan antara kehidupan agama dengan kehidupan sosial bermasyarakat.
Setiap sila dalam Pancasila memiliki arti tersendiri yang sejalan dengan nilai-nilai Islam,
Berikut penjelasan mengenai kesamaan antara Pancasila dengan nilai-nilai Islam yang
terkandung dalam Al-Qur’an:
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sendi tauhid di
dalam Islam. Sudah menjadi fitrah manusia secara naluriah memiliki potensi bertuhan,
sebagaimana perjanjian primodial manusia dengan Tuhannya dalam alam kandungan yang
dijelaskan dalam ayat QS. al-A`raf/7:172 yang artinya;
“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam, Keturunan
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap Roh Mereka. Bukaknkah aku ini
Tuhanmu?, mereka menjawab, betul engkau Tuhan kami, kami bersaksi, kami lakukan
yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya pada hari itu
kami lengah terhadap ini”
Imam Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya tentang asal mula kepercayaan bahwa “
kepercayaan kepada Allah lahir di dalam diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat yang
ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak seorangpun dapat
menghindari dorongan fitrahnya untuk mencari pengetahuan mengenai Allah, lagi pula di dalam
al-Qur’an kita jumpai banyak sekali penanda-penanda yang dapat berperan sebagai dasar
kepercayaan kepada Allah yang mudah di pahami untuk membuatnya percaya kepada Pencipta
Yang Tunggal, yang memerintah dan mengendalikan alam semesta.
Selain itu hakikat tauhid di dalam Al-Qur’an sangat jelas termaktub dalam surat Al-
Ikhlash ayat 1-4, yang artinya;
“Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang kepada-Nya
segala sesuatu bergantung. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia.”
Ayat ini meliputi dasar yang paling penting dari risalah Nabi saw. yaitu mentauhidkan
Allah dan menyucikan-Nya. Keesaan Allah meliputi tiga hal: Dia Maha Esa pada zat-Nya, Maha
Esa pada sifat-Nya dan Maha Esa pada afal-Nya. Maha Esa pada zat-Nya berarti zat- Nya tidak
tersusun dari beberapa zat atau bagian. Maha Esa pada sifat-Nya berarti tidak ada satu sifat
makhlukpun yang menyamai-Nya dan Maha Esa pada af'al-Nya berarti hanya Dialah yang
membuat semua perbuatan sesuai dengan firman-Nya. Sangat jelas sekali bahwa dalam Islam,
umat manusia harus mengakui adanya satu Tuhan yang diyakini dan disembah. Begitu pula
dengan Pancasila, yang menyatakan adanya ketuhanan yang juga satu, meskipun berbeda agama.
Allah tidak pernah memaksa hamba- Nya untuk menyembah kepada-Nya, karena kesadaran akan
bertuhan merupakan fitrah, seperti yang telah dijelaskan di atas.
Dr. Abu al-Ala Afifi menerangkan bahwa pembahasan tentang Tuhan pada akhirnya
mengantarkan ulama saat itu kepada pemahaman bahwa Tuhan adalah wujud hakiki dan yang
lain adalah wujud artifisial karena yang lain itu tidak harus ada (mumkin al-wujud).
Konsekuensinya: alam adalah ketiadaan karena yang hakiki hanyalah Allah SWT. Pemahaman
ini secara teoretis pada akhirnya dielaborasi secara ilmiah oleh seorang ahli kalam, ahli tasawuf
secara ‘ilmi dan ‘amali, serta ahli fikih (sebuah kombinasi keahlian yang hampir tidak ada saat
itu) yakni al-Ghazali dalam karyanya, Ihya’ Ulum al-Din. Beliau mengatakan bahwa tauhid
memiliki empat tingkatan. Pertama, mengakui keesaan Tuhan dengan lisan tapi tidak dengan
hati. Kedua, meyakini keesaan Tuhan dengan hati seperti halnya mayoritas orang awam. Ketiga,
menyaksikan keesaan Tuhan dengan cara menyingkapnya melalui cahaya kebenaran. Keempat,
tidak melihat eksistensi kecuali keesaan. Beliau berkata;
“Maksudnya adalah yang hadir dalam penglihatannya hanya ketunggalan. Oleh karena
itu ia tidak memandang segala sesuatu sebagai hal yang bermacam-macam, akan tetapi sebagai
suatu hal yang tunggal. Keyakinan ini adalah puncak tertinggi dalam tauhid”.
Menurut beliau derajat ini yang dinamakan dengan fana’, orang yang sampai pada derajat
ini akan melihat al-Haqq dalam segala sesuatu.
Jika Sila pertama Kedudukannya ada dalam hati manusia, serta esensi ke Tuhanannya
tinggi, maka artinya bahwa seluruh tubuh manusia akan bergerak dengan prilaku dan nilai-nilai
yang luhur sesuai dan mengikuti arah atau perintah keluruhan nurani nya (hati) saling
berhubungan antara anggota tubuh satu dengan yang lainnya. Seperti halnya ungkapan
Rasulullah saw : “ Ketahuilah sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal daging, jika daging
tersebut baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah,
segumpal daging itu adalah hati (jantung)” (HR. al-Buhkari Muslim).
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Sila kedua mencerminkan hubungan antara manusia dengan sesamanya (Hablum Min An-
Nâs). Apabila dalam hablum min Allah kedudukan manusia sebagai hamba, maka dalam hablum
min an-nâs hubungan manusia dengan sesama manusia, dan berada dalam posisi khalifah fil-
ardhi. Sila kedua berkaitan dengan syari’ah, yaitu termasuk ke dalam ibadah sosial, yang
mencakup bidang kemasyarakatan (as-siyasah), yang dalam Islam didasarkan pada sikap saling
menghormati. Dalam QS. al-Baqarah/2:177 Allah menjelaskan dengan rinci hakikat berbuat
kebaikan, yang dimulai dari ibadah ritual hingga ibadah sosial.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-
malaikat, kitab- kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa”.
Selain itu, dalam Al-Qur’an pun Allah tidak melarang umatnya berbuat baik terhadap
orang yang berbeda agama, ini menandakan sikap saling menghormati harus kepada semua
kalangan, sesuai degan prinsip rahmatan lil ‘alamin. Sila kedua pada prinsipnya menegaskan
bahwa kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal, yang dituntut
mengembangkan persaudaraan dunia berdasarkan nilai- nilai kemanusiaan yang berkeadilan dan
berkeadaban. Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan kesadaran sikap dan perbuatan
manusia yang didasarkan pada potensi akal budi dan hati nurani. Yaitu akhlak mulia yang
dicerminkan dalam sikap dan perbuatan sesuai dengan kodrat, hakikat dan martabat manusia.
Keadaban dan keadilan, menurut Islam adalah bagian inti dari risalah (ajaran). Islam adalah
tradisi perdamaian dan harmoni. Harmoni adalah ta’aluf, yakni keakraban (familiarity),
kekariban, kerukunan dan kemesraan (intimacy), dan saling pengertian (understanding).
Harmoni juga tawafuq, yaitu persetujuan, permufakatan, perjanjian (agreement), dan kecocokan,
kesesuaian, keselarasan (conformity).
Sila kedua Pancasila juga mengajarkan bagaimana untuk saling menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan dengan memperlakukan manusia secara adil dan jujur, sehingga akan
melahirkan manusia yang beradab, sopan santun, humanis, baik dalam tindakan maupun ucapan.
Sehingga, berdasarkan sila kemanusiaa yang adil dan beradab, kebangsaan yang dikembangkan
bukanlah kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme (mengagungkan kesukuan atau
kedaerahan) melainkan kebangsaan yang berkeluargaan antar bangsa-bangsa.
Menurut Yudi Latif, Sila Kedua Pancasila adalah cerminan nilai-nilai kemanusiaan
universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia
(horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam
pergaulan dunia. Prinsip tersebut dikembangkan melalui dua jalur, yaitu eksternalisasi dan
internalisasi. Secara eksternalisasi bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan khazanah
yang dimilikinya untuk secara bebas-aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Sedang secara internalisasi
bangsa Indonesia mengakui dan memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri.
Landasan etik sebagai prasyarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”.
Dalam al-Quran, terdapat banyak ayat-ayat yang membahas tentang posisi manusia dan
kemanusiaan. Misalnya pada QS. at-Taghabun:3, Hud:61, Ibrahim:32-34, Luqman:20, ar-
Rahman:3-4, al-Hujurat:13, al-Maidah:32 dan lain-lain.
3. Persatuan Indonesia
Sila ketiga mencerminkan ide ukhuwah insaniyah (persaudaraan manusia) dan ukhuwah
Islamiyah bagi sesama umat Islam. Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 103 dan 105;
“Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai
berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah)
bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka,
lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-Imran: 103)
“Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah
datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat
siksa yang berat”. (QS. Al-Imran:105)
Indonesia adalah sebuah negara besar yang mewadahi warisan kejayaan peradaban
Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari tersebar di muka bumi. Oleh sebab itu sangatlah penting
untuk menyadari bahwa alasan utama lahirnya bangsa ini adalah adanya kesadaran bersama dan
kepentingan bersama untuk hidup rukun. Seperti yang dinyatakan oleh Yudi Latif, bahwa dalam
mentransformasikan ke-KAMI-an menuju ke-KITA-an, diperlukan sikap positif dan prasangka
baik. Kerja sama dan sikap saling memercayai serta itikad baik masing-masing komunitas,yang
diperkuat oleh jalinan gotong royong secara fungsional antara pelbagai unsur kelembagaan
kemasyarakatan yang ada merupakan segi penunjang efesiensi demokrasi dalam suatu
masyarakat multikultur.
Menurut Yudi Latif, sila Ketiga Pancasila memberikan arti kuat pada aktualisasi nilai-
nilai etis kemanusiaan yang harus mengakar kuat dalam lingkungan kebangsaan. Dengan
demikian, Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, bukan saja dapat
mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, tetapi
juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak putus dari akar
tradisi dan kesejarahannya masing-masing.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Sila keempat sejalan dengan prinsip Islam yaitu Mudzakarah (Perbedaan pendapat) dan
Syura (Musyawarah). Prinsip syura merupakan dasar dari sistem kenegaraan negara Islam. Sila
keempat juga menggambarkan bahwa perumusan Pancasila dilakukan dalam bentuk musyawarah
bersama dan mencapai kesepakatan.
Dalam QS Ali Imran/3:159 Allah berfirman yang artinya
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Sejalan pula dengan firman Allah dalam QS. Asy-Syuura’/42:38 yang artinya
“(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menginfaqkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”
Makna alternatif yang diterangkan oleh para mufassir adalah bahwa Rasulullah saw.
memerintahkan untuk melakukan musyawarah bukan karena beliau membutuhkan pendapat
mereka, melainkan karena ketika beliau menanyakan pendapat mereka, setiap orang akan
berusaha berpikir keras untuk merumuskan pendapat yang terbaik dalam pandangan mereka,
sehingga sesuai dengan suara hati masing-masing.
Sedangkan pada prinsip Mudzakarah, dimaksudkan sebagai suatu sikap penghargaan
terhadap pendapat orang lain yang satu sama lain cenderung berbeda. Namun dengan prinsip ini,
dikembalikan lagi kepada rasa persamaan dan kesetaraan, bahwa tidak ada pihak yang merasa
lebih tinggi dari yang lain, karena setiap jiwa memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan
Allah dan di depan hukum Negara.
Dalam al-Quran ilustrasi tentang pemusatan kekuasaan dan kebenaran hanya pada satu
sosok tertentu terletak pada model kepemimpinan Fir’aun. Untuk menghindari itu, al-Quran
membuka kanal berupa musyawarah dan pembagian tugas dan wewenang (kullukum ra’in)
sebagai solusi agar kekuasaan tidak terpusat kepada satu sosok pemimpin. Nabi dalam QS.
Qaf:45 sering disebut sebagai wa ma anta alayhim bi-jabbar “Kamu bukanlah tipe orang yang
bertindak semena-mena terhadap mereka” dan dalam QS. al-Ghasyiyah:22 diesbut sebagai lasta
alayhim bi-musaytir “Kamu bukanlah tipe orang yang otoriter”. Dua ayat ini cukup untuk
dijadikan rujukan bahwa dalam Islam, tipe kepemimpinan yang otoriter sangatlah dilarang.
Ditambah lagi dengan penegasan untuk selalu bermusyawarah seperti yang dapat dilihat pada
QS. Ali Imran:159 yang artinya;
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang
yang bertawakal”
Berdasarkan asbabul nuzulnya, ayat ini menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Norma yang terkandung dalam ayat ini sangat relevan dengan kehidupan masyarakat
Indonesia. Menurut Imam Abu Bakar diambil dari kisah Nabi Muhammad saw. disaat perang
badar. Pada saat itu Rasul mengajak Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khattab untuk
bermusyawarah terkait tawanan perang badar. Abu Bakar memberikan usulan kepada Rasul, agar
tawanan dikembalikan lagi kepada keluarganya dengan syarat membayar tebusan. Sedangkan
usulan Sayyidina Umar agar tawanan dihukum dan yang mengeksekusi adalah keluarganya
sediri. Menanggapi usulan dua sahabat, Nabi Muhammad saw. mengalami kesulitan terkait
pendapat mana yang harus digunakan. Maka sebab itu turunlah QS Ali Imran ayat 159, lalu
kemudian Rasul mengambil pendapat Sayyidina Abu Bakar.
Kemudian tekait sila kelima dapat ditemukan juga pada QS as-Syura: 38, dan semangat
pembagian kerja atau perwakilan seperti yang dapat kita temukan pada QS. an-Nisa:35 dan QS.
Yusuf: 55.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima selaras dengan prinsip keadilan dalam Islam. Keadilan yang dimaksud yaitu
dalam pemerataan rizki, berupa zakat, infak dan shadaqah. Keadilan sosial berkaitan erat dengan
maqashid al-syari’ah (sasaran-sasaran syari’at). Sedangkan maqashid al-syari’ah terdiri dari tiga
aspek, yaitu:
a. Dharuriyat, mengenai perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia, seperti agama/ad-dien, jiwa/nafs, keturunan/nasb, akal/‘aql, dan harta benda/mal.
b. Hajiyat, yaitu pemenuhan hal-hal yang diperlukan dalam hidup manusia, tetapi bobotnya di
bawah kadar dharuriyat.
c. Tahsiniyat, yaitu perwujudan hal yang yang menjamin peningkatan kondisi individu dan
masyarakat sesuai dengan tuntutan tempat dan waktu, tuntutan selera, dan rasa kepatutan
untuk mengelola persoalan-persoalan masyarakat dengan sebaik- baiknya.
Dalam prinsip keseimbangan kehidupan ekonomi, Al-Qur’an mencela orang yang sibuk
memupuk harta hingga melupakan kematian. Seperti dalam surat Al-Humazah ayat 1-4;
“Kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung- hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, sekali-
kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah
(neraka).”
Islam mewajibkan zakat (Q.S. Adz-Dzariyat: 19), memerintahkan shadaqah (Q.S. Al-
Baqarah: 264), menyuruh infaq (Q.S. Al-Baqarah: 195), melarang praktek riba atau bunga (Q.S.
Al-Baqarah: 275-276 dan 278), serta membolehkan jual beli (Q.S. Ar-Rahman: 9). Sila kelima
dalam Pancasila sangat menjunjung tinggi keadilan, semangat yang selalu digaungkan al-Quran
dalam berbagai ayat-ayatnya. Dalam al-Quran, menjunjung tinggi keadilan merupakan bentuk
amal yang dekat dengan ketakwaan. Ayat-ayat yang berbicara mengenai keadilan dapat dilihat
pada QS. An-Nisa: 58, 135, al-Maidah: 8, al-An’am: 152-153, al-A’raf: 29, Hud: 84-86 dan lain-
lain. Begitupun isi yang terkandung dalam UUD 1945 yang bersemangat anti-penindasan dan
penjajahan. Dengan dasar teologis terhadap Pancasila dan UUD 1945 melalui semangatnya yang
sangat qur’ani, jelaslah bahwa tidak tepat jika kedua dasar sistem kenegaraan kita ini dianggap
sebagai tidak Islami.
Seperti yang ditegaskan imam al-Ghazali, yang islami itu bukan sekedar yang ma nataqa
an-nash (apa yang ada dalam al-Quran dan Sunnah) tapi lebih dari itu, yakni, yang ma wafaqa
as-syar’a (yang sesuai dengan semangat syariat). Pandangan ini cukup untuk membantah
keyakinan bahwa semua hukum buatan manusia itu produk kekufuran.
Dalam sejarah Islam, kita juga mengenal piagam madinah. Masyarakat di bawah
pimpinan Nabi Muhammad di Madinah dapat disebut sebagai Negara, beliau sebagai kepala
negara, dengan undang-undangnya berupa Piagam Madinah. Mengenai Piagam Madinah ini,
para ahli memberi nama yang berbeda-beda dan berarti berimplikasi pada fungsi dan kedudukan
yang berbeda pula.
Pertama, shahiffah (Piagam Madinah) disebut Perjanjian (treaty), karena Nabi membuat
perjanjian persahabatan antara Muhajirin dan Ansar sebagai komunitas Islam di satu pihak dan
antara kaum muslimin dan kaum Yahudi serta sekutu-sekutu mereka di pihak lain, agar mereka
terhindar dari pertentangan suku serta bersama-sama mempertahankan keamanan Kota Madinah
dari serangan musuh, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai sebagai inti dari
persahabatan. Kedua, disebut piagam (charter), karena isinya mengakui hak-hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat dan kehendak umum warga Madinah
supaya keadilan terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban
kemasyarakatan semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan semua
warga dan prinsip-prinsipnya untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak
baik. Ketiga, disebut konstitusi/undang-undang (constitution), karena di dalamnya terdapat
prinsip-prinsip untuk mengatuir kepentingan umum dan dasar-dasar sosial politik yang bekerja
untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintah sebagai wadah persatuan penduduk
Madinah yang majemuk tersebut.
Disebut apapun Piagam Madinah itu, ia dapat mencakup semua pengertian ketiga istilah
tersebut. Sebab ia adalah dokumen perjanjian persahabatan antar kaum Muhajirin-Ansor-Yahudi
dan sekutunya bersama Nabi yang menjamin hak-hak mereka, menetapkan kewajiban-kewajiban
mereka dan memuat prinsiprinsip pemerintah yang bersifat fundamental yang sifatnya mengikat
untuk mengatur pemerintahan di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Naskah Piagam atau
Perjanjian tertulis yang disebut sebagai Shahifat terdiri dari 48 pasal yang isinya menekankan
pada persatuan yang erat di kalangan kaum muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan
beragama bagi semua golongan, menekankan kerja sama dan persamaan hak dan kewajiban
semua golongan dalam kehidupan sosial politik, untuk mewujudkan pertahanan dan perdamaian,
dan menetapkan wewenang bagi nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan
pendapat dan perselisihan yang timbul di antara mereka.
Piagam Madinah yang berisi sepuluh (10) bab tersebut secara lebih rinci mencakup:
Muqadimah; Bab I: Pembentukan Ummat: berisi satu pasal, Bab II: Hak Asasi Manusia: berisi 9
pasal, Bab III: Persatuan Seagama: berisi 5 pasal, Bab IV: Persatuan Segenap Warganegara:
berisi 9 pasal, Bab V: Golongan Minoritas: berisi 12 pasal, Bab VI: Tugas Warganegara: berisi 3
pasal, Bab VII: Melindungi Negara: berisi 3 pasal, Bab VIII: Pemimpin Negara: berisi 3 pasal,
Bab IX: Politik Perdamaian: berisi 2 pasal, dan Bab X: Penutup: berisi satu pasal.
Pokok atau prinsip-prinsip yang terdapat dalam konstitusi Madinah, para ahli berbeda-
beda dalam membuat rumusannya. Muhammad Kholid merumuskan 8 prinsip. 1) Kaum
Muhajirin dan Anshar serta siapa saja yang ikut berjuang bersama mereka adalah umat yang
satu, 2) orang-orang mukmin harus bersatu mengahadapi orang bersalah dan mendurhaka
walaupun itu anaknya sendiri. 3) jaminan Tuhan hanya satu dan sama untuk semua melindungi
orang-orang kecil. 4) orang-orang mukmin harus saling membela diantara mereka dan membela
golongan lain, dan siapa saja kaum Yahudi yang mengikuti mereka berhak memperoleh
pembelaan dan bantuan seperti yang diperoleh orang muslim. 5) perdamaian orang muslim itu
adalah satu.6) bila terjadi persengketaan di antara rakyat yang beriman, maka penyelesaiannya
dikembalikan kepada hukum Tuhan dan kepada Muhammad sebagai kepala Negara. 7) kaum
Yahudi adalah umat yang satu bersama kaum muslimin. Mereka bebas memeluk agama mereka.
8) sesungguhnya tetangga adalah seperti diri kita sendiri, tidak boleh dilanggar haknya dan tidak
boleh berbuat kesalahan kepadanyan.
Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya “Membentuk Negara Islam” merumuskan Piagam
Madinah ke dalam 10 pokok dasar, yaitu 1) Menyatakan berdirinya Negara baru (Negara Islam)
dengan warga (umat yang satu) yang terdiri dari orang-orang Muhajirin, Ansar, penduduk asli
lainnya dan Yahudi. 2) mengakui hak-hak asasi mereka dan menjamin keamanan dan
perlindungan dari segala pembunuhan dan kejahatan. 3) menghidupkan semangat kesetiaan dan
persatuan di kalangan kaum agama (Islam). 4) mengatur masyarakat yang bersikap toleran di
setiap warga Negara yang beragam agama dan suku bangsanya. 5) mempertahankan hak-hak
kaum minoritas, yaitu kaum Yahudi yang menjadi warga Negara. 6) menetapkan tugas setiap
warga Negara terhadap negaranya, baik mengenai ketaatan dan kesetiaan maupunnya maupun
mengenai soal keuangan. 7) mengumumkan daerah Negara dengan kota Madinah menjadi ibu
kotanya. 8) menetapkan Nabi Muhammad sebagai kepala Negara yang memegang pimpinan dan
menyelesaikan segala soal. 9) menyatakan politik perdamaian terhadap segala orang dan segala
Negara. 10) menetapkan sanksi-sanksi bagi orang-orang yang tidak setia kepada Piagam
Madinah, serta akhirnya memohonkan taufik dan perlindungan dari tuhan terhadap Negara baru
itu.
Kalau dicermati, maka Piagam/Konstitusi Madinah tersebut merupakan contoh teladan
dalam sejarah kemanusiaan untuk membangun masyarakat yang beragam. Selebihnya hal ini
tidak hanya dalam gagasan sebagaimana tertuang dalam Piagam Madinah, tetapi juga dalam
praktek Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Bahkan ide-ide dalam ketetapan-
ketetapannya mempunyai relevansi kuat dengan perkembangan dan keinginan masyarakat
internasional dewasa ini, dan sejalan dengan pandangan hidup modern berbagai negara di dunia
yang berpaham humanis, pluralisme dan multikulturalisme.
Jadi, jika dewasa ini banyak bermunculan kelompok radikalisme maupun kasus terorisme
yang dilekatkan dengan Islam, maka itu merupakan kekeliruan yang sangat fatal. Karena Islam
merupakan agama toleransi, dan menjunjung tinggi perdamaian. Sederhananya, nilai-nilai
Pancasila selaras dengan nafas keIslaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Zainal, Membentuk Negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1956.
Abidin Zainal, Piagam Nabi Muhammad SAW. Konstitusi Negara Yang Pertama di Dunia
Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Ali, A. Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Penerbit Mizan. 1991.
Fahruddin, M. Mukhlis, Muatan Nilai dan Prinsip Piagam Madinah dan Pancasila: Analisa
Perbandingan. Ulul Albab. Volume 12. No.1. Tahun 2011.
Khotimah Husnul, Penerapan Pancasila Perspektif Islam. Tahdzib Akhlaq. No. VI/2/2020.
Latif Yudi, Negara Paripurna. Jakarta: Gramedia. 2011.
Pulungan Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan
al Quran. Jakarta: Rajawali Pers. 1996.
Su’ud Abu, Islamologi; Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003.
Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah; Menggali Potensi Diri. Jakarta: Gema Insani. 2000.