Anda di halaman 1dari 19

Pancasila dalam Arus Sejarah Bangsa Indonesia

1. Pancasila Pada masa Kerajaan

Pancasila sebagai dasar negara RI sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI,
nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa
Indonesia mendirikan negara RI. Nilai-nilai tersebut berupa adat-istiadat, kebudayaan serta
nilai-nilai relegius. Nilai-nilai tersebut telah melekat dan teramalkan oleh masyarakat ketika itu
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itulah maka Kausa Materialis dari Pancasila itu pada
dasarnya adalah Bangsa Indonesia itu sendiri.

Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang, yaitu sejak zaman batu, serta sejak timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV dan
ke V. Dan dasar- dasar kebangsaan Indonesia telah mulai tampak pada abad ke VII, yaitu ketika
timbulnya kerajaan Sriwijaya di Palembang di bawah Wangsa Syailendera, dan kerajaan
Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur, serta kerajaan-kerajaan lainnya.

2. Zaman Penjajahan.

Belanda yang masuk Indonesia sejak abad ke XVI dengan VOC nya (Kompeni) telah
melakukan paksaan-paksaan, sehingga banyak mendapatkan perlawanan dari rakyat nusantara
ketika itu. Bahkan sejak abad ke XVII Belanda makin meningkatkan kekua- saannya di seluruh
Indonesia. Dengan kondisi yang demikian maka perlawanan rakyatpun terjadi diberbagai
wilayah nusantara, Sehingga pada tahun 1830-1870, bangsa Belanda makin meningkatkan
jajahannya dengan menerapkan sistem monopoli melalui Tanam paksa, serta mewajibkan
terhadap rakyat yang tak berdosa, sehingga penderitaan rakyat makin menjadi-jadi.

3. Kebangkitan Nasional.

penjajahan oleh bangsa asing tersebut, “Menimbulkan rasa nasionalisme, dan menyadarkan
kepada rakyat Nusantara ketika itu, bahwa perlawanan yang dilakukan secara sendiri-sendiri
tidaklah akan efektif, sehingga perlu dibina rasa pesatuan dan persatuan bersama dalam
melawan penjajah”. Hal tersebut sesuai dengan salah satu dari sila dalam Pancasila. Dan
dengan kondisi demikian menyebabkan pendudukan bangsa Belanda berakhir, tepatnya pada
tanggal 10 maret 1940.

Pada abad ke XX dengan tumbuhnya kesadaran akan kekuatan dan kemampuan diri,
terutama di wilayah dunia bagian Timur, maka di Indonesia pada tahun 1908, atau tepatnya
pada tanggal 20 mei 1908, telah lahir suatu Gerakan Kebangkitan Nasional yang

dipelopori oleh dr Wahidin Sudirohusudo dengan Budi Utomonya. Gerakan ini adalah
merupakan awal pergerakan Nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang merdeka yang
berkuasa.

Dengan beridirinya Budi Utomo pada Tanggal 20 Mei 1908 tersebut akhirnya lahir pula
berbagai pergerakan nasional lainnya, seperti:

 Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1909, yang kemudian berubah menjadi Gerakan
Politik dengan merubah nama menjadi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1911, yang dipimpin
oleh H.O.S Cokroaminoto..

 Indische Partij pada tahun 1913, dipimpin oleh oleh tiga serangkai, yaitu : Douwes Dekker,
Cipto Mangunkosomo, Ki Hajar Dewantara.

 Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927 yang dipelopori oleh Ir. Soekarno,
Ciptomangunkusomo, Sartono, beserta tokoh-tokoh lainnya.

 Para pemuda memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang isinya
adalah satu Bahasa satu Bangsa dan satu Tanah air Indonesia.

 Pada tahun 1931 PNI dibubarkan oleh pengikutnya, kemudian diganti dengan Partai
Indonesia atau Pertindo.

 Pada tahun 1933, berdiri Pendidikan Nasional Indonesia oleh golongan demokrat yang
antara lain Moh. Hatta, St. Syahrir, dengan semboyan “Kemerdekaan Indonesia harus
dicapai dengan kekuatan sendiri”.

4. Perumusan Pancasila Pada Masa Penjajahan jepang


1. Periode Pengusulan dan Perumusan Pancasila

Fasis Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda dan tipu muslihat dengan mengatakan
bahwa Jepang adalah Peminpin Asia, Jepang saudara Tua Indonesia, dan lain-lain. Yang
tujuannya tidak lain untuk memperoleh simpati dari rakyat Indonesia ketika itu. Namun ketika
Jepang berperang melawan negara Sekutu Barat yang terdiri dari Amerika, Inggris, Rusia,
Perancis, dan Belanda, nampak Jepang semakin terdesak. Kemudian sebagai usaha.untuk
mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia ketika itu, maka pemerintah Jepang seolah
bermurah hati kepada rakyat Indonesia, yaitu dengan mem- berikan janji untuk memerdekaan
bangsa Indonesia di kemudian hari.

seminggu sebelum bangsa Jepang menyerah. Atas dasar maklumat Pembesar Tertinggi Sipil dari
Pemerintah Melitir Jepang di seleuruh Jawa dan Madura (Maklumat Gunseikan), bangsa
Indonesia diperkenankan untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Bahkan mereka
menganjurkan agar bangsa Indonesia harus berani mendirikan negara Indonesia merdeka di
hadapan negara-negara yang menjadi musuh Jepang, serta kaki tangan Nica (Netherlands
indie Civil Administraion), yang ingin kembali untuk menjajah bangsa Indonesia.

Kemudian untuk maksud tersebut, serta agar memperoleh simpati dan dukungan dari bangsa
Indonesia, maka pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah suatu “Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI) yang selanjutnya disebut “Badan
Penyelidik “ atau Dokuritsu Junbi Choosakai (Jepang). Bangsa Indonesia memanfaatkan Kesempatan
tersebut untuk Mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Badan tersebut kemudian dilantik pada
tanggal 28 Mei 1945, dengan nama-nama para Ketua, dan Wakil Ketua serta para anggotanya
sebagai berikut:

a. Ketua : Dr. K.R.T.Radjiman Wediodiningrat.

b. Ketua Muda : Raden Padji Soeroso, merangkap Kepala kantor/ Kepala


sekretariat.

c. Ketua Muda : Itjibangase, warga negara Jepang, sebagai anggota


Kehormatan (tidak aktif).
A. Masa Sidang BPUPKI

BPUPKI dilantik (28 Mei 1945), dengan tugas pokoknya adalah melakukan penyelidikan
terhadap usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Untuk tujuan tersebut maka
dibentuklah beberapa Panitia Kerja berikut:

1. Panitia Perumusan, dengan beranggotakan sebanyak 9 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno.
Tugasnya adalah merumuskan naskah rancangan pembukaan UUD 1945.

2. Panitia Perancang UUD, yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Selanjutnya dari kepanitiaan ini
dibentuk Pania Kecil yang diketuai oleh Prof.Dr. Mr. Soepomo.

3. Panitia Ekonomi dan Keuangan, yang diketuai oleh Drs. Mohannad Hatta.

4. Panitia Pembela Tanah air, yang diketuai oleh AbiKosno Cikrosuyoto.

Dalam pelaksanaan tugasnya BPUPKI telah melaksanakan dua kali persidangan, yaitu:
1. Masa persidangan pertama, dilaksanakan mulai tanggal 29 Mei 1945 sampai
dengan 1 Juni 1945, (4 hari). Dengan substansi dan inti pembahasan dalam
persidangan dititikberatkan pada pembahasan tentang landasan filosofi,
yakni dasar negara Indonesia.

2.Masa persidangan kedua, berlangsung mulai tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 16 Juli
1945 (7 hari). Dengan substansi dan inti pembahasan dalam masa persidangan ini
dititikberatkan pada pembahasan UUD negara Indonesia

a) Masa persidangan pertama,

Pada sidang pertama tanggal 29 Mei 1945, Ketua BPUPKI meminta kepada anggota
peserta sidang untuk memberikan masukan-masukan diseputar Dasar Negara Indonesia
ketika sudah merdeka, (Philosho- fische grondslag). Dan Tokoh pertama yang tampil untuk
menyam- paikan konsep dasar negara pada sidang pertama ini adalah Mr. Mohammad
Yamin. Dalam pidatonya beliau telah menyampaikan rumusan yang terdiri ata lima dasar,
yaitu:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Peri Kesejahteraan.

Namun usulan tersebut mengalami perubahan disaat beliau menyampaikannya secara


tertulis, sebagaimana berikut ini:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kebangsaan Persatuan Indonesia

3. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan


perwakilan.

5. Keadlan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berikutnya pada sidang hari kedua (tanggal 30 Mei 1945) tokoh yang tampil adalah Ki
Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Wahid Hasyim (dua orang Tokoh muslim), mereka mengusulkan
agar yang menjadi dasar negara Indonesia adalah ajaran Islam, namun mereka tidak
menyampaikan sesuatu rumusan sebagai tindak lanjutnya.

Kemudian pada sidang hari ketiga (tanggal 31 Mei 1945), tokoh yang tampil sebagai
pembicara utama adalah Prof. Mr. Soepomo. Beliau mengemukakan lima Dasar negara
Indonesia adalah:

1) Persatuan.

2) Kekeluargaan

3) Keseimbangan lahir dan bathin

4) Musyawarah

5) Keadilan rakyat.

Pada hari terakhir masa persidangan pertama (tanggal 1 Juni 1945) tokoh yang tampil
menyampaikan rumusan dasar negara Indonesia adalah Ir. Soekarno (Bung Karno). Beliau
mengusulkan rumusan dasar negara tersebut diberi nama Pancasila, yang berisikan sila-sila
sebagai berikut:

1) Kebangsaan – Nasionalisme

2) Perikemanusiaan – Internasionalisme

3) Mufakat – Democratie

4) Keadilan Sosial

5) Ketuhanan Yang Maha Esa.

Lebih lanjut Bung Karno mengatakan, bahwa ke lima sila itu bisa diperas hingga
menjadi Tri Sila, yang terdiri dari:

1) Socio – Nasionalisme

2) Socio – Democratie

3) Ke – Tuhanan.

Kemudian apabila Tri sila tersebut diperas lagi maka ia menjadi Eka sila, yaitu “Gotong
royong”.

Selanjutnya berhubung semua usul yang diajukan dalam masa persidangan pertama masih
berupa usulan yang bersifat pribadi atau individual, serta dalam pembahasannya belum
mencapai pada suatu kesimpulan atau kesepakatan, maka oleh Ketua BPUPKI diminta agar
semua usulan tersebut diajukan kembali secara tertulis, dan paling lambat tanggal 20 Juni 1945
sudah diserahkan ke BPUPKI. Dan untuk menindak lanjuti masalah tersebut maka dibentuklah
sebuah kepanitiaan yang diberi nama “Panitia Kecil”, yang beranggotakan 8 orang (Panitia 8),
dengan tugas utamanya adalah menampung semua rumusan dan usul-usul yang telah
disampaikan pada masa persida- ngan pertama, untuk diteliti dan dipelajari. Dan mana kala
telah selesai diserahkan kembali kepada Ketua BPUPKI melalui Sekretariat.

Berikutnya setelah semua rumusan dan usul-usul tertampung dan diteliti, akhirnya dihasilkan
pokok-pokok permasalahan yang meliputi 9 pokok masalah sebagai berikut:

1. Permintaan agar Indonesia merdeka dengan selekas-lekasnya.

2. Tentang masalah Dasar Negara

3. Masalah Unifikasi dan Federasi


4. Bentuk Pemerintahan dan Kepala Negara

5. Tentang warga negara

6. Masalah pemerintah di daerah

7. Masalah agama dan hubungannya dengan negara

8. Masalah perbedaan, dan

9. Masalah keuangan.

Berikutnya seiring dengan berakhirnya masa persidangan pertama, sambil menunggu


masa persidangan BPUPKI tahap kedua, panitia 8 yang baru dibentuk melakukan pertemuan
pada tanggal 22 Juni 1945 dengan para anggota BPUPKI, yang ketika itu dihadiri oleh 38
anggota. Namun demikian Bung Karno menegaskan bahwa perte- muan itu adalah sebagai
“Rapat pertemuan antara Panitia Kecil dengan para anggota Dokutsu Junbi Choosakai”.

Ada beberapa pokok masalah yang dibicarakan dalam rapat gabungan tersebut, yaitu:

1. Penetapan bentuk negara dan Penyusunan Hukum Negara;

2. Permintaan kepada pemerintah Jepang untuk selekas-lekasnya mengesahkan Hukum


Dasar.

3. Meminta kepada pemerintah Jepang diadakan Badan Persiapan selekas mungkin yang
tugasnya menyelenggarakan negara Indo- nesia merdeka di atas hukum dasar yang
telah disusun.

4. Tentang pembentukan tentara kebangsaan dan tentang keuangan.

Di samping itu dalam rapat gabungan tersebut juga berhasil membentuk Panitia kecil
lainnya, yang dikenal dengan nama “Panitia 9” yang beranggotakan sebanyak 9 orang,

Akhirnya dalam tugasnya Panitia 9 ini berhasil memperoleh modus/jalan yang berkaitan
dengan Dasar negara yang dibentuk dalam suatu “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”, yang
kemudian oleh Mr. Moh Yamin disebut dengan “Piagam Jakarta, (Jakarta Charter)”. Atau
menurut Soekiman disebut dengan “Gentleman Agreement” (Perjanjian Luhur). Yang di
dalamnya dimuat perumusan Dasar Negara yang terdiri atas lima macam atau lima sila, yaitu:

1. Ke- Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-


perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Jakarta atau Gentleman Agreement ini kemudian diserahkan kepada Panitia 8
untuk selanjutnya dilaporkan dalam sidang pleno BPUPKI yang akan dilaksanakan pada masa
persidangan kedua yang berlangsung pada tanggal 10 – 16 Juli 1945.

b) Masa Persidangan kedua:

Pada masa persidangan kedua ini pembahasan dipusatkan pada Rancangan Undang-
Undang Dasar beserta pembukannya. Panitia perancang UUD yang diketuai oleh Ir. Soekarno
menyetujui bahwa Pembukaan UUD diambil dari Piagam jakarta. Kemudian untuk
merumuskan UUD, Panitia perancang membentuk lagi panitia kecil yang diketuai oleh Prof. Dr.
Hussein. Akhirnya pada tanggal 14 juli 1945 Ir Soekarno melaporkan hasil kerja sama Panitia
Perancang UUD kepada sidang, yang menyatakan hal-hal berikut;

1. Pernyataan Indonesia merdeka;

2. Pembukaan Undang-Undang Dasar; dan

3. Undang-Undang Dasar (Batang Tubuhnya).

Akhirnya sidang BPUPKI menerima hasil kerja panitia itu. selanjutnya setelah berhasil
menyelesaikan tugasnya, kemudian BPUPKI dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945. Kemudian
sebagai gantinya dibentuklah Panitia yang sesuai dengan tuntutan keadaan saat itu, yaitu:
“Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (PPKI).

3. Periode Pengesahan Pancasila

Kemudian pada tanggal 7 Agustus 1945 Jenderal Terautji sekali lagi mengeluarkan
pernyataan bahwa pemerintah Jepang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu pada tanggal 9 Agustus 1945, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan
Radjiman Widijodiningrat diundang oleh Marsal Terautji, Panglima tertinggi Angkatan Perang
Jepang seluruh Asia Tenggara di Saigon/Vetnam, guna menerima petunjuk-petunjuk tentang
penyelenggaraan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Namun pada tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Herosima,
kemudian pada tanggal 9 Agustus 1945 di Nagasaki, yang menyebabkan pada tanggla 14
Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Tentara Sekutu. Dan akibat dari
menyerahnya Jepang kepada Sekutu tersebut menyebabkan seluruh janji-janji untuk
memerdekakan bangsa Indonesia menjadi tidak ada lagi. Walaupun demikian sebagian besar
rencana Jepang terhadap bangsa Indonesia dapat terlaksana dengan baik, kecuali rencana
terakhir berupa janji untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlaksana.
Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan
mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia
diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi politik dunia
Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara kelompok pemuda
dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas diri Soekarno dan M.
Hatta ke Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu "mengamankan"), tindakan
pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 16
Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk., 1975: 26).

Akhirnya dengan memanfaatkan kekosongan kekuasaan yang ada, sebasgai akibat


menyerahnya Jepang kepada Sekutu, maka Indone- sia mengambil putusan sendiri untuk
memproklamasikan Indonesia. Maka bertepatan pada hari Jum;at, tanggal 17 Agustus 1945,
di Pegangsaan Timur 56 Jakarta sekitar jam 10 WIB, Bung Karno dengan didampingi oleh Bung
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dengan teks Proklamasi Kemerdekaan.
Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah merupakan sumber hukum berdirinya negara
Republik Indonesia. Walaupun sebenarnya pada waktu dicetuskannya Proklamasi tersebut
Indonesia sudah memenuhi syarat sebagai suatu negara, dengan alasan:

1. Ada rakyatnya, yaitu bangsa Indonesia.


2. Ada daerahnya, yaitu tanah air Indonesia, yang dulu dinamakan Hindia Belanda.

3. Ada kedaulatannya, yaitu sejak diucapkannya Proklamasi Kemerdekaan tanggal


17 Agustus 1845.

4. Ada pemerintahannya, yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.


dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu
didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah
bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini digagas dan ditulis oleh dua tokoh
proklamator tersebut sehingga wajar jika mereka dinamakan Dwitunggal.

Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan pernyataan kemerdekaan
yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi nama Piagam Jakarta, akhirnya tidak
dibacakan pada 17 Agustus 1945 karena situasi politik yang berubah

18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, PPKI bersidang untuk
menentukan dan menegaskan posisi bangsa Indanesia dari semula bangsa terjajah menjadi
bangsa yang merdeka.
1. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD 1945) yang terdiri atas Pembukaan dan
Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam Jakarta dengan sejumlah
perubahan. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan
masyarakat Indanesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7
kata di belakang kata "Ketuhanan", yaitu "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya". Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara
sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap
menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah "Yang Maha Esa". Batang
Tubuh juga berasal dari rancangan BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula.

2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta

3. Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI ditambah tokoh-tokoh
masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik 29 Agustus 1945 dengan ketua Mr.
Kasman Singodimejo.
Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

5. Pancasila di Era Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi

1. Pancasila Masa Orde Lama.

Pamor Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah bangsa yang pernah dikeramatkan
dengan sebutan azimat revolusi bangsa, pudar untuk pertama kalinya pada akhir dua dasa
warsa setelah proklamasi kemerdekaan. Meredupnya sinar api Pancasila sebagai tuntunan
hidup berbangsa dan bernegara bagi jutaan orang, diawali oleh kehendak seorang kepala
pemerintahan yang terlalu gandrung kepada persatuan dan kesatuan. Kegandrungan tersebut
diwujudkan dalam bentuk membangun kekuasaan yang terpusat, agar dapat menjadi
pemimpin bangsa yang dapat menyelesaikan sebuah revolusi perjuangan melawan penjajah
(nekolim, neo-kolonialisme) serta ikut menata dunia agar bebas dari penghisapan bangsa atas
bangsa dan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de nation par nation,
exploitation de l‟homme par l‟homme). Namun sayangnya kehendak luhur tersebut dilakukan
dengan menabrak dan mengingkari seluruh nilai-nilai dasar Pancasila. Selama kurun waktu
berkuasanya pemerintahan orde lama, secara perlahan tetapi pasti virtue (keutamaan) nilai-
nilai luhur Pancasila seakan–akan lumat oleh sebuah proses akumulasi kekuasaan yang sangat
agresif tanpa mengindahkan cita-cita luhur yang dijadikan alasan untuk membangun
kekuasaan itu sendiri.

Dengan semangat dan alasan melaksanakan amanat revolusi 1945 itu pulalah nilai-nilai luhur,
konstitusi, norma dan aturan dapat ditabrak kalau tidak sesuai dengan jalannya revolusi.
Sedemikian membaranya semangat berevolusi waktu itu, sehingga andai kata revolusi
memerlukan korban, apapun harus diberikan. Hal itu sesuai dengan ungkapan yang seringkali
diucapkan oleh Pemimpin Besar Revolusi bahwa pengorbanan adalah sesuatu yang dianggap
sebagai konsekwensi logis dari hakekat revolusi, karena demi sebuah perjuangan yang
revolusioner kadang- kadang revolusi bahkan harus tega memakan anaknya sendiri. Dalam
gegap gempitanya atmosfir revolusioner, Pancasila sebagai falsafah bangsa serta UUD‟45
sebagai konstitusi negara, akhirnya tidak berdaya dan harus tunduk kepada hukum revolusi.
Konsekwensinya, mereka hanya dijadikan sekedar sebuah alat revolusi. Retorika yang selalu
dikumandangkan bahwa revolusi adalah menjebol dan membangun, dilakukan secara
pincang. Pada kenyataannya selama kurun waktu itu, kekuasaan yang sentralistik lebih banyak
menjebolnya dari pada melaksanakan pembangunan.

Akibatnya, nilai-nilai luhur dalam Pancasila tinggal menjadi kata- kata bagus yang secara
retorik digunakan oleh penguasa untuk membuai dan meninabobokan rakyat supaya lupa
penderitaan baik karena dilanda kelaparan maupun kemiskinan. Agar revolusi berhasil
mencapai tujuannya, maka seluruh kekuatan harus dipersatukan, sehingga presiden
mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menghancurkan apa yang disebut sebagai “musuh-
musuh revolusi”.

2. Pancasila Masa Orde Baru.

Salah satu upaya dalam tataran politik misalnya adalah menciptakan sistem politik yang
menegarakan semua organisasi sosial dan politik dengan tujuan agar tercapai stabilitas politik.
Politik yang stabil dibutuhkan untuk membangun perekonomian yang kacau akibat
ketidakstabilan politik masa lalu. Upaya tersebut diawali oleh pemerintah Orde Baru dengan
menata struktur politik berdasarkan UUD‟45 dan mencoba membuat garis pemisah yang jelas
antara apa yang disebut supra-struktur politik (kehidupan politik pada tataran negara) dan
infra- struktur politik (kehidupan politik pada tataran masyarakat). Dalam dimensi supra-
struktur politik, lembaga-lembaga negara secara formal- struktural ditata sehingga hubungan
dan kewenangan menjadi lebih jelas dibanding dengan struktur kelembagaan kekuasaan pada
masa Orde Lama.

Sementara itu, dalam perspektif politik kemasyarakatan pemerintah Orde Baru melakukan
restrukturisasi kehidupan kepartaian, dengan terlebih dahulu mendirikan organisasi kekaryaan
dengan nama Golongan Karya (Golkar) yang merupakan gabungan dari berbagai macam
organisasi masyarakat. Organisasi kekaryaan tersebut ikut pemilihan umum dan memperoleh
kemenangan lebih dari 60% dari popular vote. Kemenangan tersebut di samping karena Golkar
dijagokan oleh pemerintah, masyarakatpun sudah jenuh dengan permainan politik para elit
yang dirasakan tidak pernah mengerti kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pada tahun-tahun
berikutnya, pemilu lebih merupakan seremoni dan pesta politik elit dari pada kompetisi politik.
Pemilu yang berlangsung secara rutin dan diatur serta diselenggarakan oleh negara memihak
kepentingan penguasa, sehingga sebagaimana diketahui partai yang berkuasa selalu
memperoleh kemenangan sekitar 60 persen dari jumlah pemilih dalam setiap pemilihan umum.

Penanaman nilai-nilai Pancasila dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis. Akibatnya,


bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi kemunafikan
yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-
nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila
yang berisi nilai-nilai luhur bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai
makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD „45 yang dilakukan melalui metode
indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, semakin
mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila.

Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal.
Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang disebut
penataran P4 atau PMP ( Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru
mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal
itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Mereka
yang setiap hari berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan
UUD‟45, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa
yang mereka katakan.

Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta
meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa
aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para
pemimpin.
Retorika persatuan kesatuan menyebabkan bangsa Indonesia yang sangat plural diseragamkan.
Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik pembangunan yang unilateral. Seluruh
tatanan diatur oleh negara, sementara itu rakyat tinggal menerima apa adanya.

3. Pancasila Masa Reformasi .

Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah pemerintahan
sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir 1990-an runtuh oleh
kekuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk membenahi
dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan
falsafah negara benar-benar diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sementara
itu UUD‟45 sebagai penjabaran Pancasila dan sekaligus merupakan kontrak sosial di antara
sesama warga negara untuk mengatur kehidupan bernegara mengalami perubahan agar sesuai
dengan tuntutan dan perubahan zaman. Karena itu pula orde yang oleh sementara kalangan
disebut sebagai Orde Reformasi melakukan aneka perubahan mendasar guna membangun tata
pemerintahan baru.

Namun upaya untuk menyalakan pamor Pancasila setelah ideologi tersebut di mata rakyat tidak
lebih dari rangkaian kata-kata bagus tanpa makna karena implementasinya diselewengkan oleh
pemimpin selama lebih kurang setengah abad- tidak mudah dilakukan. Bahkan, ada kesan
bahwa sejalan dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang selalu gembar-gembor
mengumandangkan Pancasila, masyarakat terutama elit politiknya terkesan sungkan meskipun
hanya sekedar menyebut Pancasila.

Hal itu juga menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara tidak hanya
pamornya telah meredup, melainkan sudah mengalami degradasi kredibilitas yang luar biasa
sehingga bangsa Indonesia memasuki babak baru pasca jatuhnya pemerintahan otoritarian
laiknya sebuah bangsa yang tanpa roh, cita-cita maupun orentasi ideologis yang dapat
mengarahkan perubahan yang terjadi. Mungkin karena hidup bangsa yang kosong dari falsafah
itulah yang menyebabkan berkembangnya „ideologi‟ pragmatisme yang kering dengan empati,
menipisnya rasa solidaritas terhadap sesama, elit politik yang mabuk kuasa, “aji mumpung”,
dan lain-lain sikap yang manifestasinya adalah menghalalkan segala cara untuk mewujudkan
kepentingan yang dianggap berguna untuk diri sendiri atau kelompoknya.
Daftar Pustaka

Ahmad Intan, 2016. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat
Jendral Pemblajaran dan Kemahasiswan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi: Jakarta

Sulaiman Asep,2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.Bandung: CV Arfino


Raya: Bandung

Kaderi Alwi, 2015. Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi. Aswaja


Persindo:Banjarmasin

Rakhmat Muhammad, 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. CV Warta


Bagja:Bandung

Anda mungkin juga menyukai