Mekanisme pendengaran, selain sensitif terhadap stimulus suara, juga rentan terhadap kerusakan.
Banyak tempat kerja yang berbahaya bagi kesehatan pendengaran karena paparan (1) bising, (2)
trauma fisik, dan/ atau, (3) bahan beracun. Masing-masing elemen ini terbagi dalam sub bab
terpisah dalam bahasan ini. Sebagian besar bahasan difokuskan pada kerusakan akibat bising karena
jauh lebih banyak ditemukan dari jenis-jenis kerusakan pendengaran yang lain. Bagian akhir dalam
bab ini akan membahas beberapa aspek medikolegal dari gangguan pendengaran okupasional.
Latar Belakang
Kebisingan dapat didefinisikan sebagai suara keras yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, atau
berlebihan yang dialami oleh seseorang. Efek kronis dari paparan bising bervariasi dengan
karakteristik suara: kerusakan berhubungan dengan intensitas, durasi paparan, dan pola paparan
(paparan kontinyu lebih merusak dibandingkan paparan yang putus-putus pada durasi dan intensitas
yang sama). Paparan harian oleh bising yang berbahaya dalam waktu bertahun-tahun menghasilkan
kerusakan dengan karakteristik sensitivitas frekuensi dalam rentang 4-6kHz (Derajat kebisingan –
lihat Gambar 58-1).
Bentuk gangguan pendengaran okupasional yang kurang umum tetapi berpotensi merusak lebih
parah disebabkan oleh trauma akustik, dimana impuls bising dengan intensitas tinggi (misalnya
ledakan) secara fisik mengganggu beberapa atau seluruh bagian telinga yang menyebabkan
gangguan pendengaran segera dan tidak dapat kembali. Sebuah ledakan biasanya diikuti kekuatan >
140 dB pada skala A (dBA), dan meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas. Kerusakan
dari alat peledak dengan improvisasi (Improvised Explosive Device/ IED) yang digunakan dalam
konflik militer saat ini seringkali sangat hebat dikarenakan tertahannya energi ledakan ketika
meledak di dalam kendaraan lapis baja. Trauma IED di militer sering dikaitkan dengan cedera otak
juga.
Otot stapedius berkontraksi secara refleks (refleks akustik) sebagai respons terhadap bising > 90
dB. Meskipun refleks akustik meredam transmisi suara, tetapi refleks ini paling efektif untuk
meredam bising pada frekuensi rendah. Waktu yang diperlukan antara paparan kebisingan terhadap
mulainya refleks adalah 25-150 ms yang membuatnya kurang efektif terhadap bising yang impulsif
dibandingkan dengan bising yang kontinyu. Orang tanpa refleks stapedius (sekitar 1-2% dari
populasi) lebih rentan terhadap kerusakan akibat bising dibandingkan dengan mereka yang
memiliki refleks tersebut. Terdapat beberapa cara untuk memanfaatkan refleks akustik dalam
perencanaan pengurangan GPAB. Salah satu contoh yang dapat dilakukan untuk memicu refleks
tersebut yaitu dengan memberikan suara latar belakang selama pencitraan resonansi magnetik
sebagai upaya untuk mengurangi paparan kebisingan dari proses pengisian energi pada magnet.
Patologi
GPAB dianggap sebagai hasil dari penipisan secara metabolik dari epitel sensorik koklea terutama
sel rambut luar dan neuron terkait. Kerusakan dimulai pertama kali pada kisaran 4-6 kHz di koklea
bergantung pada karakteristik resonansi kanalis akustikus ketimbang pada frekuensi kebisingan.
GPAB memiliki dua aspek: pergeseran ambang sementara (Temporary Treshold Shift/ TTS) dan
pergeseran ambang permanen (Permanent Treshold Shift/ PTS). TTS biasanya dialami setelah
paparan jangka pendek yang intens (seperti konser musik rock) dimana gangguan pendengaran akan
pulih dalam waktu beberapa hari. Paparan TTS berulang lama kelamaan dapat menyebabkan PTS.
Beberapa penelitian awal dari TTS diarahkan untuk mementukan apakah TTS dapat memprediksi
seseorang untuk mengalami PTS di kemudia hari atau tidak (yang kemudian didapatkan jawabannya
tidak) dan mekanismenya. Pujol dan Puel menjelaskan perubahan dari saraf ganglia spiral pada
sinaps neuron secara fisik akan keluar dari sel rambut dalam dan kemudian kembali menempel
dalam beberapa hari. Proses ini bertepatan dengan waktu jalannya TTS dan diduga diakibatkan oleh
toksisitas glutamat akibat overstimulasi.
Pada PTS klasik, perubahan tidak dapat kembali seperti semula termasuk hilangnya sel rambut luar,
degenerasi serabut saraf koklea, dan terbentuknya parut (daerah mati) pada organ korti.
Bagaimanapun, Kujawa dan Liberman telah membuktikan bahwa degenerasi neural akibat bising
yang ireversibel dapat terjadi pada ketidakadaan perubahan ambang pendengaran, dan lebih lanjut
lagi tanpa kehilangan sel rambut luar pada beberapa kasus.
Berbeda denga GPAB, trauma akustik menyebabkan kerusakan fisik segera pada telinga sebanding
dengan intensitas tekanannya. Suara impulsif berintensitas tinggi secara fisik dapat merusak
membran timpani, ossikel, membran telinga bagian dalam dan organ korti. Ruptur membran
timpani dapat menyerap sebagian energi yang seharusnya dapat diteruskan ke telinga bagian dalam.
Jenis ledakan ledakan ini semakin sering terjadi pada korban perang akibat IED yang banyak
digunakan pada konflik perang di Timur Tengah saat ini. Terdapat bukti dari penelitian
menggunakan hewan bahwa kerusakan tersebut menginisiasi kematian sel secara apoptosis dan
pelindung telinga (otoprotectant) secara teoritis dapat membatasi kerusakan. Studi pada manusia
untuk mengevaluasi kemungkinan ini sedang dilakukan.
Pertimbagan Diagnostik
Pasien dengan GPAB seringkali mengeluhkan penurunan pendengaran secara bertahap, khususnya
dalam pembicaraan yang bersaing dengan kebisingan latar belakang, dan hampir semua mengatakan
disertai adanya tinitus. Kebisingan latar belakang mengambil porsi yang lebih besar dari spektrum
pendengaran dan lebih lanjut menimbulkan masalah dalam pemahaman bicara. Karena pasien
dengan GPAB memiliki gangguan frekuensi tinggi, mereka mengalami penurunan dalam suara
ucapan frekuensi tinggi (terutama konsonan) Gambar 58-1 dan saat mendengarkan orang dengan
suara yang sangat bernada tinggi (misalnya wanita dan anak-anak).
GPAB seringkali disertai dengan tinitus. Kebanyakan pasien menjelaskan suara nada frekuensi
tinggi (seperti berdering), tetapi terkadang dalam nada rendah (seperti berdengung, bertiup, atau
mendesis). Seringkali, frekuensi tinitus sesuai dengan frekuensi gangguan pendengaran yang
terlihat pada audiogram dan kira-kira 5 dB di atas ambang batas dalam kenyaringan. Tinitus dengan
tanpa elevasi ambang batas sekitar 3-6 kHz pada audiogram tidak mungkin terkait dengan paparan
kebisingan.
Atribut klinis dari GPAN okupasional telah dirangkum dalam kebijakan berdasarkan bukti yang
dinyatakan oleh American College of Occupational and Environmental Medicine (2002) sebagai
berikut.
1. Selalu sensorineural yang mempengaruhi sel rambut telinga bagian dalam.
2. Karena paparan pada umumnya simteris, maka gangguan pendengaran biasanta bilateral.
3. Biasanya, tanda pertama gangguan pendengaran akibat bising adalah “takik (notch)” dalam
audiogram pada 3000, 4000, atau 6000 Hz, dengan perbaikan pada 8000 Hz. Lokasi pasti
dari takik bergantung pada beberapa faktor termasuk frekuensi dari kebisingan yang
merusak dan panjang dari liang telinga. Oleh karena itu, pada gangguan pendengaran akibat
bising awal, rata-rata ambang batas pada 500, 1000, dan 2000 Hz lebih baik daripada rata-
rata pada 3000, 4000, dan 6000 Hz, dan pada tingkat pendengaran 8000 Hz biasanya lebih
baik dari bagian terdalam “takik” tersebut. “Takik” ini berlawanan dengan gangguan
pendengaran terkait usia yang selalu menghasilkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi
tetapi dengan pola menurun tanpa perbaikan pada 8000 Hz.
4. Paparan bising sendiri biasanya tidak menghasilkan gangguan lebih dari 75 dB pada
frekuensi tinggi. Namun, orang dengan dasar gangguan terkait usia dapat memiliki ambang
batas yang meningkat.
5. Tingkat gangguan pendengaran karena paparan kebisingan kronis paling banyak terjadi
selama 10-15 tahun pertama paparan, dan menurun saat ambang batas pendengaran
meningkat. Hal ini berbeda dengan gangguan terkait usia, yang semakin cepat dari waktu ke
waktu.
6. Studi menunjukkan bahwa telinga yang terpapar sebelumnya tidaklah lebih peka terhadap
paparan kebisingan waktu yang akan datang dan gangguan pendengaran akibat bising tidak
berkembang (melebihi dari apa yang diharapkan dari penambahan pergeseran ambang
terkait usia) setelah paparan kebisingan dihentikan.
7. Dalam memperoleh riwayat paparan kebisingan, klinisi harus mengingat bahwa risiko
GPAB dianggap meningkat secara signifikan pada paparan kronis di atas 85 dBA untuk
rata-rata waktu 8 jam (Time-weighted average/ TWA). Secara umum, paparan kebisingan
terus menerus selama bertahun-tahun lebih merusak daripada paparan yang terputus-putus
yang memungkinkan telinga memiliki jeda untuk beristirahat. Namun, paparan singkat pada
tingkat kebisingan yang sangat tinggi dalam pekerjaan seperti konstruksi atau pemadam
kebakaran dapat menyebabkan gangguan yang signifikan dan tidak ada pengukuran untuk
memperkirakan efek kesehatan dari kebisingan yang terputus-putus. Ketika riwayat paparan
kebisingan menunjukkan adanya penggunaan alat pelindung dengar, klinisi juga harus
mengingat bahwa pada kenyataannya efek yang diberikan oleh pelindung pendengaran bisa
sangat bervariasi antar individu.
“Takik 4000 Hz” (Gambar 58-1) diduga terjadi terutama sebagai akibat dari posisi dasar sanggurdi
(Stapes) selama frekuensi tinggi di ujung membran basilar dan frekuensi resonansi liang telinga,
yang memperkuat suara frekuensi tinggi. Frekuensi yang lebih rendah dan lebih tinggi menjadi
terpengaruh setelah bertahun-tahun paparan kebisingan dan penurunan WRS yang signifikan tidak
akan terjadi sampai terpengaruhnya frekuensi <3000 Hz (Gambar 58-1). Asimetris yang ringan bisa
terdapat pada audiogram, terutama bila sumber kebisingan disamarkan (misalnya tembakan
senapan, mengemudi dengan jendela terbuka). Biasanya, telinga kiri memiliki ambang batas yang
lebih rendah pada orang dengan tangan kanan dominan.
Pernyataan ACOEM mengharuskan pemeriksaan ulang karena bukti yang baru ditemukan menjadi
perhatian pada masalah perkembangan GPAB setelah paparan dihentikan. Apakah perkembangan
dipandang sebagai "kerusakan" atau "penuaan yang dipercepat" belum terselesaikan. Jelas bahwa
kerusakan kebisingan tidak kembali seperti semula dan efek kerusakan akan diperparah dari waktu
ke waktu. Lebih lanjut, pentingnya kerusakan neuron primer tidak dinyatakan dalam pernyataan ini.
_ Takik frekuensi tinggi terdapat di daerah 4-6 kHz pada satu atau kedua telinga
_ Riwayat bahaya paparan bahaya yang masuk akal
_ Tingkat kerusakan dari waktu ke waktu sesuai dengan pola GPAB
_ Menyingkirkan penyebab lain dari gangguan frekuensi tinggi
Faktor Predisposisi
A. Kerentanan
Tampaknya ada variabel toleransi terhadap tingkat kebisingan yang tinggi. Dasar genetika dari
variabilitas ini telah dipelajari pada model hewan dengan hasil yang bertentangan. Sementara
kemungkinan risikonya adalah interaksi antara kerentanan genetik dan durasi dan intensitas paparan
kebisingan, parameter risiko ini belum sepenuhnya dapat ditentukan.
B. Presbikusis
GPAB dan presbikusis sering muncul berdampingan dalam populasi yang menua. Meskipun
penelitian telah menunjukkan bahwa efek gabungannya aditif seiring berjalannya waktu,
nampaknya efeknya tidak selaras dan penelitian dengan model hewan menunjukkan bahwa
variabilitas genetik merupakan faktor penting dalam menentukan apakah penuaan membuat telinga
lebih atau kurang rentan terhadap kerusakan akibat bising.
C. Ototoksisitas
Pemaparan bersamaan kebisingan dan obat-obatan ototoksik dapat memiliki potensi menyebabkan
gangguan pendengaran. Efek ini telah ditunjukkan pada cisplatin dan aminoglikosida. Diuretik loop
dan salisilat, bagaimanapun, belum secara definitif menunjukkan berpotensi untuk menyebabkan
gangguan pendengaran akibat bising.
4. Getaran
Terdapat bukti baru-baru ini bahwa getaran dapat berinteraksi dengan kebisingan dalam
menyebabkan TTS dan PTS. Namun mekanisme efek ini belum dipahami dengan baik.
ACOEM Noise and Hearing Conservation Committee Evidence-Based Statement: Noise Induced
Hearing Loss. American College of Occupational and Environmental Medicine, 2002. (Lists
essential elements in NIHL; widely quoted.)
Kujawa SG, Liberman MC. Adding insult to injury: cochlear nerve degeneration after “temporary”
noise-induced hearing loss. J Neurosci . 2009;29:14077–14085. (Provides new insights into the
relation of hair cell and neuronal loss secondary to noise exposure.)
Pujol R, Puel JL. Excitotoxicity, synaptic repair, and functional recovery in the mammalian
cochlea: a review of recent findings. Ann NY Acad Sci . 1999;884:249–254. (Demonstrates
physiologic basis for TTS.)
Taylor W, Pearson JC, Kell R et al. A pilot study of hearing loss and social handicap in female jute
weavers. Proc R Soc Med . 1967;60:1117–1121. (Classic study of NIHL in Scottish women that
displays the rate of loss over time from constant occupational noise levels.)
Talaksana
Karena tidak ada perawatan medis atau pembedahan yang dapat membalikkan efek GPAB,
pencegahan adalah kunci. Pencegahan mungkin memerlukan pendekatan kolaboratif yang
melibatkan orang-orang dengan latar belakang teknik akustik, kesehatan industri, otolaringologi,
dan audiologi untuk memeriksa tingkat kebisingan di berbagai lingkungan kerja dan merancang
program edukasi dan pemantauan untuk perlindungan pendengaran pribadi. Setelah diagnosis
ditetapkan dengan pemeriksaan otologis dan pemberian tes audiometrik, klinisi harus menjelaskan
kepada pasien mengenai kemungkinan konsekuensi dari paparan kebisingan yang terus menerus.
Penggunaan alat bantu merupakan rekomendasi untuk orang yang mengalami kesulitan dalam
mendengar. Kebutuhan individu dan lingkungan mempengaruhi keputusan untuk memilih jenis
bantuan yang digunakan. Pada gangguan pendengaran bilateral, alat bantu bilateral biasanya
memberikan rehabilitasi yang lebih memuaskan, kecuali ada bukti disfungsi pendengaran sentral, di
mana bantuan unilateral seringkali memberikan hasil yang lebih baik. Kriteria yang masuk akal
untuk rujukan evaluasi alat bantu dengar adalah SRT yang lebih besar dari 25 dB atau WRS yang
kurang dari 80% pada tingkat presentasi 50 dB di atas ambang batas. Terdapat beberapa kasus
dimana alat bantu dengar dapat direkomendasikan untuk membantu pasien mendengar dalam
keadaan khusus, seperti ceramah/ kuliah umum atau dalam situasi kelompok. Pada pasien dengan
gangguan pendengaran frekuensi tinggi dan pendengaran frekuensi rendah yang relatif normal, alat
bantu dengar umumnya sangat membantu mereka yang memiliki gangguan signifikan pada 2000
Hz.
Alat bantu pendengaran dasar saat ini adalah perangkat digital yang dapat diprogram dengan
peredam dan cetakan telinga yang terbuka. Evaluasi alat bantu dengar dilakukan untuk memilih alat
yang sesuai dan masa percobaan, dengan pasien mengenakan alat bantu dalam berbagai keadaan.
Sejumlah alat bantu dengar tersedia (FM dan inframerah) untuk meningkatkan pemahaman dalam
situasi tertentu. Kelas rehabilitasi Aural yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan pasien
dalam memahami pembicaraan juga dapat menolong dan biasanya tersedia di daerah perkotaan.
Tidak ada obat untuk menyembuhkan tinitus yang terkait dengan GPAB walaupun banyak tindakan
amelioratif tersedia. Dengan tidak adanya cedera telinga bagian dalam, tinitus biasanya berkurang
seiring dengan berjalannya waktu. Derajat tinitus yang bervariasi sering terjadi pada saat diam dan
hening. Bagi beberapa pasien yang menganggap tinitus sangat mengganggu, menimpa tinitus
dengan musik atau suara yang menyenangkan lainnya seringkali membantu. Pada pasien dengan
gangguan pendengaran yang signifikan, alat bantu yang tepat sangatlah membantu. Alat bantu
dengar yang dimodifikasi (penghilang tinitus) yang dirancang untuk menghasilkan suara yang
menimpa tinitus pada umumnya kurang berhasil. Terapi latihan ulang tinnitus telah banyak tersedia
untuk membantu orang mengatasi masalah tinitus mereka. Rujukan psikiatri mungkin diperlukan
untuk mengelola depresi dan kecemasan terkait yang umum terjadi pada orang yang "terganggu"
oleh tinitus mereka sendiri.
Prognosis
Perjalanan GPAB menunjukkan perubahan terbesar dalam 10 tahun pertama paparan dengan
bertambahnya sedikit demi sedikit gangguan seiring berlanjutnya paparan. Sebaliknya, gangguan
pendengaran terkait usia memiliki perjalanan yang meningkat seiring berjalannya waktu. Efek
gabungan usia pada efek gangguan akibat kebisingan tetap menjadi masalah kontroversial dalam
evaluasi kompensasi. Pola gangguan pendengaran pada penenun rami Skotlandia (lihat Gambar 58-
3) adalah demonstrasi klasik GPAB dari waktu ke waktu.
Teori standarnya adalah GPAB tidak berkembang setelah paparan kebisingan yang berbahaya
dihentikan. Memburuknya pendengaran setelah, katakanlah, pensiun biasanya dikaitkan dengan
penuaan (presbikusis), walaupun kondisi lain dapat menyebabkan perubahan tersebut. Presbikusis
dapat ditambahkan GPAB saat pasien bertambah tua. Namun, efeknya tidak sama. Karena sel yang
rusak akibat suatu sebab (misalnya, kebisingan) tidak dapat kembali rusak (misalnya akibat
penuaan), ada sedikit perubahan seiring dengan waktu dalam frekuensi "takik" namun sedikit lebih
banyak kerusakan dengan waktu dalam frekuensi yang berdekatan, khususnya, 3 kHz . (Gates dan
Kujawa). Apakah kerugian tersebut harus dikaitkan dengan konsekuensi dari gangguan akibat
bising atau penuaan yang dipercepat saat ini masih diperdebatkan.
Pencegahan GPAB
GPAB dapat dicegah dengan mengurangi kebisingan pada sumber melalui teknik pengontrolan,
membatasi pemaparan oleh kontrol administratif, dan menerapkan praktik perlindungan
pendengaran yang efektif untuk paparan yang tidak dapat atau tidak mungkin dihindari. Kunci
untuk semua upaya pencegahan adalah edukasi. Pekerja yang terpapar oleh kebisingan di tempat
kerja yang berbahaya perlu memahami bahwa pendengaran hanya dapat dilindungi dan dipelihara
jika upaya untuk mengurangi semua paparan berbahaya, tidak hanya di tempat kerja, dilakukan.