Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trauma akustik merupakan hilangnya pendengaran yang umumnya dikarenakan


pengaruh paparan/eksposur tunggal atau beberapa eksposur dari kebisingan dengan
intensitas yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat, seperti ledakan. Suara yang
sangat keras seperti ledakan meriam dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan sel
sensoris saraf pendengaran, akibat terasa mendadak dan dramatis, jadi tenaga kerja dapat
mengetahui penyebabnya. Temporary treshold shiff (ketulian sementara), bila tenaga kerja
memasuki ruang yang sangat bising. Pendengarannya akan berkurang. Berkurangnya
pendengaran ini tidak berlangsung terus-menerus dan akan kembali lagi seperti biasa
setelah beberapa lama. Waktu kembalinya pendengaran bisa terjadi beberapa menit
sampai beberapa jam bahkan hari tergantung dari tingginya intensitas semula dibutuhkan
waktu 3 x 24 jam s/d 7 x 24 jam.
Trauma tekanan atau Barotrauma adalah kerusakan jaringan yang terjadi akibat
kegagalan untuk menyamakan tekanan udara antara ruang berudara pada tubuh (seperti
telinga tengah) dan tekanan pada lingkungan sewaktu melakukan perjalanan dengan
pesawat terbang atau pada saat menyelam. Barotrauma dapat terjadi pada telinga, wajah
(sinus), dan paru, dalam hal ini bagian tubuh yang memiliki udara didalamnya.
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan
benda-benda panas baik kontak secara langsung maupun tidak langsung. Luka bakar yaitu
luka yang disebabkan oleh suatu tinggi, dan disebabkan banyak faktor, yaitu fisik seperti
api, air panas, listrik seperti kabel listrik yang mengelupas, petir atau bahan kimia seperti
asam atau basa kuat. Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan meiliki
peran homeostasis. Kulit merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit
beratnya sekitar 16% berat tubuh, pada dewasa sekitar 2,7-3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5-
1,9 m2. Tebal kulit bervariasi mulai 0,5 mm hingga 4 mm tergantung letak, umur, dan
jenis kelamin.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Akustik


2.1.1 Latar Belakang

Trauma Akustik merupakan gangguan pendengaran yang terjadi akibat pajanan


bising dengan intensitas tinggi dan berlangung mendadak. Biasanya akan diikuti oleh gejala
tinitus. Gangguan pendengaran akibat bising dapat terjadi secara mendadak atau perlahan,
dalam waktu hitungan 2 bulan sampai tahun. Pada kasus-kasus tertentu, gangguan
pendengaran akibat bising mulai berlangsung antara 6 sampai 10 tahun lamanya setelah
terpajan bunyian yang keras.

Trauma telinga dapat dibedakan atas dua bentuk. Pertama adalah energi akustik dan
yang kedua adalah energi mekanis. Pada cedera yang mengakibatkan trauma mekanis
terhadap tulang temporal, dapat terjadi fraktur tulang tersebut yang kemudian
mengakibatkan gangguan pendengaran. Trauma akustik misalnya trauma ledakan dapat
menimbulkan gelombang kontusi yang mengakibatkan lebih banyak kerusakan pada telinga
tengah dibandingkan telinga dalam, namun dapat terjadi ketulian sensori neuro nada tinggi
pada jenis cedera ini.

Diagnosis trauma akustik ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemerikaan fisik,


dan pemeriksaan audiologi yang dilakukan. Interpretasi hasil audiologi dapat bersifat murni
sensori neuoro atau campuran. Penderita dengan trauma akustik tatalaksananya lebih
bersifat simtomatik dan suportif sehingga pada dasarnya pencegahan lebih utama.
2.1.2 Definisi Trauma Akustik

Trauma akustik adalah kerusakan sistem pendengaran akibat paparan energi akustik
yang kuat dan mendadak seperti pada ledakan hebat, dentuman atau tembakkan senjata api
baik terjadi sekali atau beberapa kali yang mengenai satu atau kedua telinga. Trauma
akustik terjadi sebagai akibat pajanan terhadap bising dengan intensitas tinggi (puncak
bising dapat mendekati 160 dB) dan berlangsung mendadak. Gejala yang menyertai
seperti tinitus (telinga berdenging), vertigo dan perubahan tingkat pendengaran.

3
Pada pemeriksaan sering tampak perforasi membran timpani spontan, bahkan
terjadi kerusakan artikulasi dari tulang-tulang pendengaran, sehingga dapat menyebabkan
tuli sementara. Bila bising ini berlangsung lama dan berulang dapat menyebabkan
kehilangan pendengaran yang bersifat permanen.
2.1.3. Jenis Gangguan Akibat Bising

Menurut asal sumber, kebisingan dapat dibagi menjadi 3 macam:


● Kebisingan Impulsif : kebisingan yang datangnya tidak secara terus menerus,
akan tetapi sepotong-sepotong. Contohnya kebisingan yang datang dari suara
palu yang dipukulkan, kebisingan yang datang dari mesin pemasang tiang
pancang.
● Kebisingan Kontinyu : kebisingan yang datang secara terus menerus dalam
waktu yang cukup lama. Contohnya kebisingan yang datang dari suara mesin
yang dihidupkan.
● Kebisingan semi kontinyu atau intermittent : kebisingan kontinyu yang
hanya sekejap, kemudian hilang dan mungkin akan datang lagi. Contohnya
suara mobil atau pesawat terbang yang sedang lewat.
2.1.4. Epidemiologi
Dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, angka kejadian gangguan pendengaran
akibat bising ini lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan,
dengan rasio 9,5 : 1. Usia rata-rata terjadinya gangguan ini berkisar pada usia
produktif yaitu antara usia 20-50 tahun. Pada laporan kasus ini, semua penderita
adalah laki-laki dan berusia antara 30-55 tahun.
2.1.5. Etiologi
Penyebab dari trauma akustik ialah suatu bising dengan intensitas tinggi dan
biasanya bersifat impulsif seperti bunyi letusan senjata api. Stimulus bising transien itu
umumnya berlangsung kurang dari 0,2 detik. Ada 2 tipe bising transien yaitu bising
impulsif dan bising impak. Bising impulsif berasal dari pelepasan energi yang
mendadak, misalnya ledakan atau tembakan senjata api. Bising ini memiliki puncak
energi 2 hingga 3 kHz, merupakan pajanan yang sangat berbahaya bagi pendengaran
manusia.
Bising impak disebabkan oleh tumbukan dua benda atau biasanya logam
dengan logam dan umum pada industri. Bising ini memiliki puncak yang tinggi dan
sering reverberasi. Bising impak yang intens bisa menyebabkan trauma akustik, namun

4
dibanding dengan bising impulsif tipe ini lebih jarang mencapai tahap kritis.
Keadaan dimana bising kontinyu menyebabkan trauma akustik masih belum
jelas. Telepon tanpa kabel generasi awal berdering melalui earpiece, jika pada saat
menjawab telepon seseorang gagal mengubah fungsi dering ke fungsi bicara secara
manual, telepon akan berdering langsung ke telinga dengan frekuensi 750-800 Hz pada
140 dB SPL.
Timpanoplasti dengan rekonstruksi rangkaian osikular dapat membutuhkan
pengeboran yang dalam pada tulang temporal. Pengeboran ini dapat menyebabkan
gangguan pendengaran melalui mekanisme trauma akustik. Dalam literatur disebutkan
beberapa faktor predisposisi bagi trauma akustik yaitu kerentanan individual terhadap
bising, presbikusis, obat-obatan ototoksik, dan vibrasi.

2.1.6. Patofisiologi

Suara yang keras menyebabkan getaran yang berlebihan pada membran timpani
yang kemudian dilanjutkan melalui melalui tulang-tulang pendengaran ke perilimfe dan
endolimfe. Selanjutnya menggetarkan membran basilaris lebih kuat dari keadaan normal,
hal ini menyebabkan sentuhan sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam pada
membran tektoria yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan atrofi sel-sel rambut
tersebut. Adaptasi merupakan fenomena yang segera terjadi ketika bunyi sampai ke
telinga dan meninggikan ambang dengar. Bila bunyi berlanjut, maka terjadi kelelahan
auditorik dan terjadi penurunan ambang dengar temporer yang akan menghilang setelah
16 jam.
Pada kerusakan sedang karena paparan suara level tinggi atau paparan level
intermediet kronik dapat menyebabkan perubahan patofisiologi pada sel rambut dan
barier labirin darah dapat menyebabkan kurangnya pendengaran. Kurang pendengaran ini
merupakan fenomena fisiologi dan disebut sebagai perubahan ambang dengar temporer.
Diduga terjadi di sel rambut korti dan mungkin berhubungan dengan perubahan metabolik
di sel rambut, perubahan kimia di dalam cairan telinga dalam atau perubahan vaskuler di
telinga dalam. Pemaparan bising dengan intensitas yang berlebihan akan tercapai suatu
tingkat ketulian yang tidak dapat kembali lagi ke tingkat pendengaran semula.
Mekanisme dasar terjadinya tuli karena trauma akustik, adalah :
1. Proses Mekanik
a. Pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras, menyebabkan robeknya

5
membrana Reissner dan terjadinya pencampuran cairan perilimfe dan endolimfe,
sehingga menghasilkan kerusakan sel-sel rambut.
b. Pergerakan membrana basiler yang begitu keras, menyebabkan rusaknya organ
korti sehingga terjadi pencampuran cairan perilimfe dan endolimfe, akhirnya terjadi
kerusakan sel-sel rambut.
c. Pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras, dapat langsung menyebabkan
rusaknya sel-sel rambut, dengan ataupun tanpa melalui rusaknya organa korti dan
membrana basiler.
2. Proses Metabolic
a. Vasikulasi dan vakuolisasi pada retikulum endoplasma sel-sel rambut dan
pembengkakan mitokondria yang akan mempercepatnya rusaknya membrana sel
dan hilangnya sel-sel rambut.
b. Hilangnya sel-sel rambut mungkin terjadi karena kelelehan metabolisme, sebagai
akbiat dari gangguan sistem enzim yang memproduksi energi, biosintesis protein
dan transport ion.
c. Terjadi cedera pada vaskularisasi stria, menyebabkan gangguan tingkat
konsentrasi Na, K, dan ATP.
d. Sel rambut luar lebih terstimulasi oleh bising, sehingga lebih banyak
membutuhkan energi dan mungkin akan lebih peka untuk terjadinya cedera atau
iskemi.
e. Kemungkinan lain adalah interaksi sinergistik antara bising dengan zat perusak
yang sudah ada dalam telinga itu sendiri.
2.1.7. Gejala Klinis dan Diagnosis
Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah terjadinya kurang
pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak. Tinitus akan menjadi
lebih keras sensasinya bila terpapar bising dengan intensitas yang lebih besar. Tinitus
lebih mengganggu bila berada di tempat yang sepi atau saat penderita akan tidur
sehingga menyebabkan sulit konsentrasi dan sukar tidur. Pasien akan mengalami
penurunan fungsi pendengaran sehingga sulit bercakap-cakap walaupun berada di
ruangan yang sunyi. Pendengaran yang terganggu biasanya mudah marah, pusing, mual
dan mudah lelah. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara dan peningkatan
ambang dengar menetap. Kekurangan pendengaran dibagi atas: (1) Konduktif,
disebabkan adanya gangguan hantaran dari saluran telinga, rongga tympani dan tulang-

6
tulang pendengaran; (2) Senso-neural, disebabkan kerusakan di telinga dalam seperti
organ corti, nervus cochlearis, N VIII sampai ke otak; (3) Campuran (mixed), tuli
campuran dari kedua unsur konduktif dan sensoneural.
Diagnosis TA dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan audiometri nada
murni dengan gambaran khas yakni tuli sensorineural berupa takik di frekuensi antara 2–
6 KHz, sedangkan kerusakan awal sel-sel rambut koklea yang merupakan risiko
terjadinya TA dapat dinilai menggunakan alat emisi otoakustik. Pemeriksaan emisi
otoakustik adalah suatu prosedur yang cepat, noninvasif, sensitif dan objektif untuk
menyingkirkan atau memastikan gangguan fungsi sel- sel rambut luar koklea. Batas
normal/pass pada alat emisi otoakustik (DPOAEs), yakni apabila signal to noise ratio
(SNR) lebih dari 6 pada tiap frekuensi, dan abnormal/refer apabila SNR kurang dari 6
pada tiap frekuensi.
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus trauma akustik ialah
pemeriksaan pendengaran (audiologi). Pemeriksaan audiologi digolongkan menjadi dua
yaitu audiologi dasar dan audiologi khusus. Hasil dari pemeriksaan audiologi biasanya
menunjukkan adanya ketulian yang bersifat sensorineural. Hal ini sesuai dengan sifat
dari sel rambut luar organ corti yang sangat sensitif terhadap tuli akibat bising. Namun
pada kasus trauma akustik dapat ditemukan gangguan konduktif atau campuran karena
dapat timbul kerusakan di telinga tengah (perforasi membran timpani, kerusakan
rangkaian osikuler).
Audiologi dasar yang sering dilakukan ialah tes penala dan audiometri nada murni
- Tes Penala
pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif dan memiliki banyak macam. Untuk
mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes rinne, tes weber dan tes
schwabach secara bersamaan. Pada umumnya digunakan 3 macam penala, namun
jika akan memakai 1 penala saja, digunakan 512 Hz.
- Audiogram
Interpretasi audiogram harus mencakup sisi telinga yang sakit, jenis ketulian dan
derajat ketulian.
Derajat ketulian menurut ISO :
1. 0-25 dB : Normal
2. 26-40 dB : Tuli Ringan
3. 41-60 dB : Tuli Sedang

7
4. 61-90 dB : Tuli Berat
5. >90 dB : Tuli sangat Berat
Walaupun dari audiogram nada murni dapat ditarik kesimpulan mengenai
kemampuan mendengar dan memamhami pembicaraan namun penilaian itu dapat salah
karena pemeriksaan tersebut bukan pengukur langsung dari kecakapan tersebut. Untuk
itu dapat dilakukan pemeriksaan audiologi khusus yaitu audiometri tutur (speech
audiometri). Dalam kaitannya dengan trauma akustik, pemeriksaan ini turut berguna
dalam penilaian untuk penggunaan Alat Bantu Dengar (ABD).
2.1.9. Terapi
Tatalaksana pada trauma akustik terbagi menjadi 2 yaitu pada jenis TTS dan
PTS. Pada TTS dilakukan penatalaksanaan simtomatik dan suportif. Jika terdapat tinitus
dan vertigo dapat diberikan analgetik dan steroid juga dapat diberikan bila tidak terdapat
kontraindikasi. Bila terdapat perforasi membran timfani tidak perlu dilakukan tindakkan
operatif karena biasanya bersifat steril dan tepi luka merupakan jaringan sehat serta
vaskularisasinya baik sehingga diharapkan menutup dengan sendirinya. Profilaksis dapat
diberikan antibiotik yang relevan. Pada TTS fungsi pendengaran akan pulih dengan
sendirinya dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah pajanan terhadap
bising dihentikan. Selain itu, perlu dilakukan pemutusan kontak antara penderita dan
sumber pajanan guna mencegah progresivitas menjadi kelainan PTS.
Pada PTS gangguan pendengaran yang mengganggu komunikasi dapat dicoba
dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Jika dengan hearing aid masih
dirasakan sulit berkomunikasi dapat dilakukan psikoterapi agar dapat menerima
keadaannya. Latihan pendengaran (auditory training) bertujuan agar penderita dapat
menggunakan sisa pendengaranya dengan alat bantu dengar secara efisien dibantu
dengan membaca gerakkan bibir (lip reading), mimik dan gerakkan anggota badan serta
bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Bila penderita mendengar suaranya sendiri
sangat lemah maka dapat dilakukan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume
dan tinggi rendah dalam percakapan. Pada penderita yang mengalami gangguan
pendengaran total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.

2.1.10. Pencegahan

Pekerja di industri umum yang telah terpapar tingkat kebisingan di atas 85 dB


diwajibkan oleh Occupational Safety and Health Administration (OSHA) untuk

8
mengikuti program konservasi pendengaran (hearing conservation program). Hearing
conservation program (HCP) bertujuan untuk mengurangi resiko akan terjadinya dan
perburukan NIHL. HCP memiliki prosedur yaitu: (1) Pengukuran kebisingan
(monitoring) secara berkala, (2) pengendalian kebisingan, (3) pendidikan pekerja, dan
(4) pencatatan dan evaluasi.
Hal yang mendasari pengukuran kebisingan adalah dengan melakukan
identifikasi sumber bising seperti menilai intensitas bising dan frekuensinya. Tujuannya
untuk menilai keadaan maksimum, rata- rata, minimum, fluktuasi jenis intermiten dan
steadiness bising. Untuk pengukuran bising dipakai alat Sound Level Meter dan Octave
Band Analyzer.5,6 Frekuensi yang sering menyebabkan kerusakan pada organ corti di
koklea adalah bunyi dengan frekuensi 3000 Hz sampai dengan 8000 Hz. Gejala timbul
pertama kali pada frekuensi 4000 Hz. Hearing loss biasanya tidak disadari pada
percakapan dengan frekuensi 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan 3000 Hz. Apabila bising
dengan intensitas tinggi terus berlangsung dalam waktu yang cukup lama akan
mengakibatkan ketulian. Setelah mencari sumber bising harus mencatat jangka waktu
terkena bising. Makin tinggi intensitas bising, jangka waktu terpajan yang diizinkan
menjadi semakin pendek. Hal ini sudah ditetapkan dalam keputusan Menteri Tenaga
Kerja Republik Indonesia no. KEP51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas faktor
fisika di tempat kerja.
Pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan cara pengurangan jumlah
bising di sumber bising seperti pengurangan bising di tahap perencanaan mesin dan
bangunan (engineering control program), pemasangan peredam, penyekat mesin dan
bahan- bahan penyerap suara. Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya
dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising ataupun menggunakan ear protector seperti
penggunaan ear plug/mold yaitu suatu alat yang dimasukkan ke dalam telinga, alat ini
dapat meredam suara bising sebesar 30-40 dB. Ear muff/valve dapat menutup sendiri
bila ada suara yang keras dan membuka sendiri bila suara kurang keras. Alat lain yang
dapat digunakan adalah helmet yaitu suatu penutup kepala yang melindungi kepala
sekaligus sebagai pelindung telinga. Pengendalian kebisingan juga dapat dilakukan
dengan perawatan mesin yang menimbukan kebisingan dan membuat peredam atau
sekat untuk menghindari terjadinya kebisingan yang lebih diluar dari ruangan mesin.
Namun, penggunaan penyumbat telinga hanya efektif jika pengguna telah mengerti dan
menggunakannya dengan benar; tanpa penggunaan yang tepat, perlindungan telinga
tidak akan berfungsi secara maksimal. Perlindungan telinga aktif yaitu alat bantu

9
pendengaran lewat elektronik, electronic pass through hearing protection devices
(EPHP) secara elektronik menyaring suara dengan frekuensi tertentu.

10
2.2 Trauma Tekanan
2.2.1 Definisi Trauma Tekanan

Barotrauma adalah kerusakan jaringan akibat perubahan tekanan barometrik yang


terjadi pada saat menyelam atau saat terbang. Barotrauma merupakan segala sesuatu yang
diakibatkan oleh tekanan kuat yang tiba-tiba dalam ruangan yang berisi udara pada tulang
temporal, yang diakibatkan oleh kegagalan tuba eustachius untuk menyamakan tekanan
dari bagian telinga tengah dengan adekuat dan terjadi paling sering selama turun dari
ketinggian atau naik dari bawah air saat menyelam.

Hukum boyle menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada tekanan
lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan) suatu volume gas dalam
rang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat
rusak karena ekspansi alau kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang
berisi gas dalam tubuh (telinga tengah, paru-paru) mejadi ruang tertutup dengan menjadi
buntunya jaras-jaras ventilasi normal.
2.2.2 Klasifikasi Trauma Tekanan

a. Saat menyelam

Saat seseorang menyelam, ada beberapa tekanan yang berpengaruh yaitu tekanan
atmosfer dan tekanan hidrostatik. Tekanan atmosfer yaitu tekanan yang ada di atas air.
Tekanan hidrostatik yaitu tekanan yang dihasilkan oleh air yang berada di atas penyelam.
Barotrauma dapat terjadi baik pada saat penyelam turun ataupun naik.

Diver's depth gauges digunakan hanya untuk mengetahui tekanan hidrostatik (kedalaman
air) dan berada pada angka nol pada permukaan laut. Ini tidak dapat mengetahui I
atmosfer (1 ATA) diatasnya. Jadi, gauge pressure selalu I atmosfer lebih rendah dari
tekanan yang sebenarnya dan tekanan absolut.

Tekanan atmosfer

Tekanan atmosfer yang ada di laut yaitu I atmosfer atau I bar. I Atmosfer diperkirakan

11
mendekati dengan 10 meter kedalaman laut, 33 kaki kedalaman air laut, 34 kaki
kedalaman air segar, I kg/cm', 14,7 Ibs/in2 psi, 1 bar, 101,3 kilopascals, 760 mmHg.

Tekanan Absolut

Tekanan absolut merupakan tekanan total yang dialami seorang pengelam ketika berada
di kedalaman laut yang merupakan jumlah dari tekanan atmosfer yang berada di
permukaan air ditambah tekanan yang dihasilkan oleh massa air di atas penyelam
(tekanan hidrostatik). Tekanan total yang dialami penyelam disebut tekanan absolut.
Tekanan ini menggambarkan keadaan atmosfer dan dissebur sebagai absolut atmosfer
atau ATA.

Tekanan Gauge

Seperti yang telah dijelaskan, tekanan hidrostatik pada penyelam secara umum diukur
dengan suatu tekanan atau depth gauge. Seperti alat ukur yang telah dijelaskan tekanan
pada permukaan laut dan mengabaikan tekanan atmosfer (I ATA). Tekanan gauge dapat
diubah menjadi tekanan absolute dengan menambahkan 1 tekanan atmosfer.

Tekanan Parsial

Pada campuran gas, proporsi tekanan total yang dimiliki oich masing-masing gas disebut
sebagai tekanan parsial (bagian atas tekanan). Tekanan parsial yang dimiliki oleh masing-
masing gas scanding dengan persentase campuran. Setiap gas memiliki proporsi yang
sama dengan tekanan total campuran, seperti proporsinya dalam komposisi campuran.
Misalnya, udara pada 1 ATA mengandung oksigen 21%, maka tekanan parsial oksigen
adalah 0.21 ATA dan udara pada 1 ATA mengandung nitrogen 78%, maka tekanan
parsial nitrogen adalah 0,78 ATA. Barotrauma pada saat menyelam dapat terjadi pada saat
turun ke dalam air yang disebut sebagai squeeze, sedangkan barotrauma pada saat naik ke
permukaan air secara cepat disebut reverse squeeze atau overpressure.

b. Saat penerbangan

Seseorang dalam suatu penerbangan akan mengalami perubahan ketinggian yang


mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan udara sekitar. Tekanan udara akan menurun
pada saat lepas landas (naik/ascend) dan meninggi saat pendaratan (turn/descend).
Tekanan lingkungan yang menurun, menyebabkan udara dalam telinga tengah
mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba auditiva. Jika perbedaan tekanan
antara rongga telinga tengah dan lingkungan teralu besar, maka tuba auditiva akan

12
menciut. Untuk memenuhi regulasi tekanan yang adekuat, terjadi perbedaan tekanan
telinga tengah dengan tekanan atmosfir yang besar selama lepas landas dan mendarat,
menyebabkan ekstensi maksimal membran tympani. Keadaan ini dapat mengakibatkan
pendarahan. Pada ekstensi submaksimal, akan timbul perasaan penuh dalam telinga dan
pada ekstensi reaksimal berubah menjadi nyeri.

Berdasarkan leak anatomisnya, barotrauma dapat dibagi menjadi:

a. Barotrauma Telinga

 Barotrauma telinga luar

 Barotraumas telinga tengah

 Barotraumas telinga dalam

b. Barotrauma Sinus Paranasalis

c. Barotrauma Pulmonal

d. Barotrauma Odontalgia

Trauma tekanan (barotrauma) merupakan trauma akibat perubahan tekanan pada medium
yang ada di sekitar tubuh manusia dapat menimbulkan kelainan atau gangguan yang
sering disebut disbarisme yang terdiri atas 2 macam, yaitu:

a. Hiperbarik:

Sindroma ini disebabkan oleh tekanan tinggi, antara lain:

- Turun dari ketinggian secara mendadak (saat pesawat mendarat atau turun
gunung)

- Berada di kedalaman air: pada penyelam bebas, scuba diving (menyelam dengan
tangki oksigen), snorkling (menyelam dengan tube di mulut) penyelam dengan
pakaian khusus.

Gejala yang ditimbulkan oleh perubahan tekanan tersebut dapat berupa:

- Barotraumas pulmoner: pneumotoraks, emboli udara atau emfisema interstitialis.

- Barotalgia: rasa nyeri, membran tympani pecah, perdarahan, vertigo, dizziness.

- Barodontalgia: pengumpulan gas yang menyebabkan rasa nyeri atau bahkan


meletus.

13
- Narkosis nitrogen: amnesia, disorientasi.

b. Hipobarik

Sindroma ini disebabkan oleh perubahan tekanan rendah, antara lain:

- Naik tempat tinggi secara mendadak saat pesawat mengudara atau saat
pesawat meluncur ke ruang angkasa.

- Berada di ruangan bertekanan rendah, misalnya dalam decompression


chamber.
2.2.3 Patofisiologi Trauma Tekanan

Hukum Boyle menyatakan bahwa terdapat hubungan antara volume gas dalam ruangan
tertutup dengan tekanan lingkungan sekitar. Penurunan atau peningkatan pada tekanan
lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan) suatu volume dalam
ruangan tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang lentur, maka struktur tersebut
dapat rusak karena ekspansi atau kompresi. Barotrauma dapat timbul akibat adanya
perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar struktur tubuh yang terkait. Barotrauma yang
terjadi pada saat penurunan disebut squeeze. Syarat untuk terjadinya squeeze adalah:

 Adanya ruangan yang berisi air

 Ruangan tersebut memiliki dinding yang kuat

 Ruang tersebut tertutup

 Ruangan tersebut memiliki membran dengan suplai darah dari arteri msupun vena
yang memasuki ruangan dari luar

 Adanya perubahan tekanan pada lingkungan sekitar secara tiba – tiba. Barotrauma
yang terjadi pada saat penyelam naik dari kedalaman secara cepat disehut reverse
squeeze atau overpressure. Terjadi usaha tubuh untuk mengeluarkan isi dari
ruangan untuk menyesuaikan tekanan.
2.2.4 Gejala Klinis

Gejala klinis pada barotrauma bergantung pada daerah yang mengalami gangguan, yaitu
sebagai berikut:

1. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Luar

Barotrauma pada telinga luar dapat terjadi bila telinga bagian luar mengalami

14
obstruksi, sehingga volume gas tertutup yang ada akan dikompresi atau dikurangi selama
proses turun ke dalam air. Hal ini dapat terjadi pada pemakaian tudung yang ketat, wax
pada liang telinga, pertumbuhan tulang atau eksostosis atau menggunakan penutup telinga.
Biasanya obstruksi pada saluran telinga bagian luar ini akan menyebabkan penonjolan
membran timpani disertai perdarahan, swelling dan hematom pada kulit yang melapisi
saluran telinga bagian luar. Kondisi seperti ini dapat ditemukan pada saat menyelam
dengan kedalaman sedikitnya 2 meter.

2. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Tengah

Barotrauma pada telinga tengah merupakan barotrauma yang paling umum.


Membran Timpani merupakan pembatas antara saluran telinga luar dan ruang telinga
tengah. Pada saat penyelam turun, tekanan air meningkat diluar gendang telinga, untuk
menyeimbangkan tekanan ini, maka tekanan udara harus mencapai bagian dalam dari
gendang telinga, melalui tuba eustachi. Ketika tabung eustachi ditutupi oleh mukosa,
maka telinga tengah memenuhi empat syarat terjadinya barotrauma (adanya gas dalam
rongga, dinding yang kaku, rang tertutup, penetrasi pembuluh darah).

Jika seorang penyelam terus turun pada kedalaman, maka akan terjadi ketidak
seimbangan tekanan. Jika terjadi peningkatan tekanan maka gendang telinga akan
terdorong ke dalam, awalnya akan terjadi penekanan gas yang berada pada telinga tengah,
sehingga pada batasan tertentu terjadi tekanan pada telinga tengah lebih rendah dari
tekanan air diluar, menciptakan vakum relative dalam rang telinga tengah.

Tekanan negatif ini menyebabkan pembuluh darah pada gendang telinga dan
iapisan pertama telinga tengah akan terjadi kebocoran dan akhirnya dapat pecah. Jika terus
menurun, selain pecahnya gendang telinga yang menyebabkan udara atau air dapat masuk
kedalam telinga tengah untuk menyamakan tekanan, dapat pula terjadi pecahnya
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan ke dalam telinga tengah untuk
menyamakan tekanan, dan pendarahan merupakan hal sering terjadi.

Gejala yang dapat ditemukan jika terjadi tekanan pada telinga tengah yaitu nyeri
akibat terjadi peregangan pada gendang telinga. Rasa sakit sering dirasakan sebelum
pecahnya gendang telinga. Gejala tersebut dapat sedikit berkurang dengan berhenti untuk
menyelam yang lebih dalam dan segera naik beberapa meter secara perlahan.

Jika penyelaman ke bawah terus berlanjut, meskipun ada rasa sakit, tetap dapat
terjadi pecahnya gendang telinga. Ketika pecah terjadi, nyeri akan berkurang dengan

15
cepat. Kecuali penyelam memakai pakaian diving dengan topi keras, rongga telinga
tengah dapat terkena air ketika pecahnya gendang telinga tersebut. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya infeksi telinga tengah, dan disarankan agar tidak menyelam
sampai kerusakan yang terjadi sembuh. Pada saat membran timpani pecah, penyelam
dapat tiba-tiba mengalami vertigo. Hal tersebut dapat menyebabkan disorientasi, mual dan
muntah. Vertigo ini terjadi akibat adanya gangguan dari males, inkus dan stapes, atau
dengan air dingin yang merangsang mekanisme keseimbangan telinga bagian dalam.
Barotrauma pada telinga tengah terjadi tidak harus disertai dengan pecahnya membran
timpani.

3. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Dalam

Terjadi bila pada saat penyelam naik ke permukaan dengan cepat sehingga tekanan
pada membran timpani diteruskan pada oval dan round window sehingga meningkatkan
tekanan telinga dalam. Ruptur oval dan round window dapat terjadi dan mengakibatkan
gangguan telingah dalam sehingga gejala yang ditemukan adalah gangguan keseimbangan
dan pendengaran seperti vertigo persisten dan kehilangan pendengaran.

Gejala klinis yang biasa terjadi pada barotrauma pada telinga dalam yaitu adanya
tinnitus, berkurangnya ketajaman pendengaran, adanya vertigo, disakusis, mual dan
muntah

4. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Sinus Paranasalis

Barotrauma pada sinus terjadi bila pasase yang menghubungkan sinus dan ruangan
lainnya tertutup karena mukosa maupun jaringan. Gejala yang ditemukan adalah adanya
nyeri pada sinus yang terkena dan pendarahan dari hidung yang berasal dari sinus yang
terkena.

5. Barotrauma Odontalgia

Barodontalgia terjadi bila terdapat udara yang dibentuk olch pembusukan berada
pada sambungan yang kurang baik sehingga udara tersebut terperangkap. Gejala klinis
yang terjadi adalah keretakan gigi maupun lepasnya tambalan gigi.

6. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Pulmonal

Barotrauma pada paru teriadi saat tidak adanya udara yang dapat masuk ke dalam
paru untuk menyesuaikan tekanan dengan lingkungan, seperti pada penyelaman dengan
menahan napas. Darah dan cairan tubuh akan mengalir ke paru untuk meningkatkan

16
tekanan sehingga membentuk pembengkakan. Gejala klinis yang terjadi biasanya fatal dan
berupa kompresi dinding dada.

7. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Wajah dan Tubuh

Terjadi saat penggunaan masker wajah SCUBA, masker wajah lain yang
menyebabkan pengeluaran udara melalui hidung, maupun pada exposure suit yang
mengakibatkan udara terperangkap. Pada barotrauma wajah, daerah yang mengalami
gangguan terberat adalah mata dan kantong mata. Pada barotrauma tubuh, udara yang
terperangkap pada pakaian akan menyebabkan rasa tidak nyaman dan pendarahan pada
daerah tersebut.

Barotrauma yang terjadi pada saat penyelam naik dari kedalaman secara cepat disebut
reverse squeeze atau overpressure. Terjadi usaha tubuh untuk mengeluarkan isi dari
ruangan untuk menyesuaikan tekanan. Overpressure memiliki beberapa gejala yang
berbeda dengan squeeze yaitu:

- Barotrauma saat naik (Overpressure) Telinga Tengah

Pada overpressure telinga tengah, peregangan dan ruptur membran timpani dapat terjadi
dan mengakibatkan nyeri yang sama dengan squeeze. Sebagai tambahan, dapat terjadi
facial baroparesis dimana peningkatan tekanan mengakibatkan kurangnya suplai darah
pada nervus facialis karena tekanan pada telinga tengah diteruskan ke os temporalis.
Dibutuhkan overpressure selama 10 sampai 30 menit untuk gejala dapat terjadi, dan fungsi
nervus facialis kembali ke normal setelah 5 - 10 menit setelah penurunan overpressure.

- Barotrauma saat naik (Overpressure) Sinus Paranasalis

Gejala pada overpressure sinus sama dengan squeeze pada sinus.

- Overpressure Pulmonal

Disebabkan karena ekspansi dari gas yang masuk ke paru - paru saat menyelam. Ekspansi
in bila melebihi kapasitas pengembangan paru akan dipaksakan untuk masuk ke dalam
jaringan sekitar dan pembuluh darah sehingga menimbulkan emboli. Gejala yang
ditimbulkan bergantung pada daerah emboli. Gas pada jaringan sekitar paru akan
menimbulkan emfisema mediastinum dan subkutis, bahkan pneumothoraks.

17
2.2.5 Aspek Forensik dan Medikolegal pada Barotrauma

1. Pemeriksaan Post Mortem

Dengan mengetahui riwayat saat penyelaman dapat membantu untuk


menyimpulkan penyebab kematian pada kasus barotrauma. Informasi dapat diperoleh dari
berbagai macam sumber diantaranya:

Polisi dan Saksi

1) Laporan kepolisian

2) Kesaksian dari penyelam yang lain

3) Karakieristik lokasi penyelaman, lamanya, cuaca dan kondisi lain saat kejadian.

4) Kapan penyelaman mulai menemui masalah?, selama penurunan, saat di bagian


bawah laut, selama naik pada saat menyelam.

5) Apakah penyelam terlalu cepat naik saat menyelam juga perlu dipertanyakan.

Riwayat menyelam korban

1) Frekuensi dan pengalaman menyelam korban

2) Sertifikasi menyelam

3) Riwayat penyakit penyelam, misalnya adanya riwayat penyakit iskemik jantung,


asthma, diabetes, dan epilepsy.

Peralatan Pemeriksaan

1) Berapa banyak udara yang tersisa di dalam tangki? Komposisi? (terutama dalam
teknis diving)

2) Keberadaan karbon monoksida?

3) Regulator / tangki / SM termasuk pengujian dalam kondisi yang relevan.

4) Dive computer log down loaded (ini adalah bukti terbaik dari kecepatan pada saat
naik)

5) Apakah penyelam menggunakan beban terlalu banyak pada sabuk berat badan.

Autopsi (sebaiknya oleh ahli patologi dengan pengalaman menyelam kematian)

1) CT scan tubuh harus dilakukan dalam waktu 8 jam kematian

18
2) Temuan otopsi termasuk deskripsi situs dan perkiraan volume gas

3) Histologi organ yang relevan khususnya paru-paru, jantung dan otak

2. Pemeriksaan radiologi untuk gas sebagai bagian dari pemeriksaan pos mortem

Peran pemeriksaan CT scan tubuh adalah kontroversial karena tingginya kejadian


pasca-mortem artefak gas, sebagian besar post-mortem "setelah penyerangan dengan gas
beracun". Akumulasi gas penting dapat ditunjukkan dengan kista paru, pneumothoraks,
emfisema mediastinum dan gas intravaskuler (PBT / CAGE).

Pencitraan harus dilakukan dalam waktu 8 jam dari kematian. Pencitraan yang
dilakukan setelah 8 jam sedikit atau tidak ada nilainya. CT Scan merupakan pemeriksaan
yang sensitif untuk mendeteksi jumlah gas yang kecil pada tubuh Pemeriksaan perlu
dilakukan dalam waktu 8 jam setelah kematian. CT Scan akan menunjukkan gas pada
arteri serebral dan pada ventrikel kiri dan kanan dari jantung.

Jumlan gas yang kecil pada hati biasanya merupakan hail dekomposisi. Gas pada
vena, sendi, dan jaringa lunak menunjukkan antara pelepasan gas setelah kematian atau
dekomposisi.

X-ray tegak pada dada dan abdomen dapat digunakan jika CT Scan tidak
tersedia.Pemeriksaan ini akan menunjukkan jumlah gas yang relatif besar pada ventrikel
kanan (air fluid level pada ventrikel kanan atau trunks pulmonalis), aorta, dan vena pada
leher. X-ray pada kepala akan menunjukkan adanya gas pada pembuluh darah cervikal,
sedangkan x-ray pada ekstremitas akan menunjukkan gas pada vena, sendi, dan jaringan
lunak yang menunjukkan dekomposisi atau pelepasan gas setelah kematian.

Pada barotrauma pulmonal dan emboli gas arteri serebralis, ditemukan gas pada
arteri serebral dan ventrikel kiri pada jantung. Telah disugestikan bahwa pada emboli gas
arteri serebralis, emboli gas akan melewati kapiler dan vena dan terperangkap pada vena
pulmonalis atau ventrikel kanan. Jumlah gas yang besar juga dapat ditemukan pada
ventrikel kana pada pelepasan gas setelah kematian, dekomposisi, dan resusitasi.

CT atau MRI dapat berguna pada pendeteksian gelembung karena dekompresi pada
medulla spinalis. Walaupun begitu, adanya gas pada intravaskuler merupakan hal yang
umum pada autopsi penyelam dan tidak spesifik pada barotrauma dan emboli gas arteri
serebral. Pada pemeriksaan 13 kasus kematian penyelam, gas intravaskuler ditemukan
pada 12 dari 13 kasus, sedangkan 4 kasus memiliki riwayat yang kuat untuk adanya

19
emboli gas arteri serebralis, dan 3 memiliki riwayat yang mungkin menderita emboli gas
arteri serebralis.

Gas intravaskuler juga danat disebabkan karena:

1) Dekomposisi

Bakteri pada tubuh memproduksi gas setelah kematian. Ini dapat ditemukan pada vena
porta atau vena hepatika pada 12 jam setelah kematian. Jika mayat tidak dimasukkan
dalam pendingin, tubuh akan memeperlihatkan gas yang ekstensif pada intravaskuler dan
jaringa lunak pada 36 jam setelah kematian. Hidrogen dan methane pada gas yang
ditemukan mengindikasikan dekomposisi.

2) Resusitasi

Mengikuti resusitasi dengan tuba endotrakeal dan ventilasi tekanan positif, ditemukan
jumlah gas yang signifikan pada jantung yang terdeteksi pada x-ray dada pada 5 dari 13
kasus kematian pada bukan penyelam.

3) Pelepasan gas setelah kematian atau dekompresi post mortem

Pada penyelaman yang dalam, jaringan menserap nitrogen. Jika penelam naik ke
permukaan dengan cepat dan meninggal, atau jika penyelam meninggal pada dasar dan
dibawa dengan cepat ke permukaan, gelembung nitrogen akan terbentuk pada jaringan dan
pembuluh darah. Proses in akan memproduksi gas intravaskuler dan jaringan lunak, dan
secara tori dapat diberdakan dengan emboli gas arteri serebralis dengan adanya gas pada
tot dan sendi. Pada prakteknya, sulit untuk mengidentifikasi emboli gas arteri serebralis
jika pada pasien juga ditemukan adanya dekompresi setelah kematian

Percobaan eksperimental oleh Cole et al menggunakan domba mendemonstrasikan


bahwa penyelaman selama 45 menit pada kedalaman 18 meter dapat memproduksi gas
yang besar pada CT scan karena pelepasan gas post mortem pada 8 sampai 24 jam.
Kesimpulan mereka adalah "adanya gas pada sistem vaskuler pada kadaver manusia
setelah kematian yang berkaitan dengan penyelaman merupakan hal yang diespektasikan
dan tidak harus berkaitan dengan emboli gas yang mengikuti barotrauma pulmonal seperti
yang sebelumnya dikatakan".

Diagnosis emboli gas arteri serebral hanya dapat dibuat bila adanya riwayat naik ke
permukaan air secara cepal dan kehilangan kesadaran setelah sampai ke permukaan.

Pemeriksaan Luar
20
Adanya busa pada disckitar hidung atau mulut (cairan edema pulmonal) sering terlihat
pada kasus tenggelam. Hal ini cepat hilang schingga pemeriksaan cepat pada tubuh harus
dilakukan. Tanda - tanda kompresi pada hidung dan atau mulut dan pendarahan kecil pada
konjungtiva biasanya mengindikasikan squeeze masker yang menandakan penyelarasan
tekanan yang kurang saat turn pada kedalaman.

Pemeriksaan membran timpani dengan otoskopi dapat memperlihatkan perforasi


(biasanya pada penurunan). Gigitan pada bibir atau lidah dapat mengindikasikan fitting
(periksa juga mouthpiece). Perdarahan, abrasi, dan lebam pada wajah dan ekstremitas
menunjukkan perlukaan yang terjadi sebelum sirkulasi berhenti. Ini dapat terjadi karena
trauma oleh batu, atau gigitan binatang. Kerusakan setelah kematian oleh lingkungan
dapat dideteksi dengan tidak adanya perdarahan pada jaringan lunak sekitarnya.

Pemotongan Inisial

Rekomendasi dahulu adalah diseksi pada kranium dan dada di dalam air, untuk
mendeteksi adanya gas pada kepala dan dada. Tetapi proses ini sulit dan memerlukan
perlengkapan yang terspesialisasi, dan memiliki hasil yang dubia sehingga pemeriksaan
radiologi lebih digunakan daripada diseksi dalam air. Pembukaan Primer pada dada yang
terelevasi dan aspirasi jantung ini dilakukan setelah dokumentasi gas melalui CT atau x-
ray. Penahan leher ditempatkan dibawah bahu sehingga dada terelevasi sehingga gas akan
tertumpuk pada traktus outflow dari ventrikel kanan dan aorta proksimalis. Kulit leher dan
dada direfleksi dengan hati-hati dengan menghindari pemotongan pembuluh darah leher.
Sternum dikeluarkan dengan memotong kartolago kosta dengan scalpel dan saccus
perikardialis dibuka dengan gunting. Keempat ruangan pada jantung kemudian diaspirasi
dengan penempatan jarum suntik pada bagian teratas jantung dan volume gas pada tia
rangan jantung diukur. Gas ini kemudian dibandingkan dengan hasil CT dan x-ray.

Kepala dan Leher

Jika dada dibuka sebelum kepala, arteri karotis harus diikat pada dasar leher.
Kepala kemudian dibuka dan adanya gas pada arteri serebralis dicatat. Membran timpani
harus diperiksa untuk melihat adanya perforasi menggunakan ostoskopi. Jika terdapat
kerusakan membran timpani atau ada bukti lain gangguan pada telinga tengah atau dalam,
telinga tengah dan dalam harus diperiksa dan idealnya dikeluarkan, untuk kemudian
diperiksa dan dilihat kerusakannya. Pemeriksaan nuropati pada otak dianjurkan untuk
dilakukan. Pada beberapa kasus emboli gas arteri serebralis, terdapat perdarahan

21
perivaskuler pada batang otak dan dasar ventrikel keempat, walaupun signifikansi tidak
tetap. Waktu minimum untuk fiksasi formalin pada otak untuk pemeriksaan
neuropatologis yang optimal adalah sekitar 48 jam immersi pada 20% formalin. Jika
pemeriksaan neuropatologi pada otak tidak dapat dilakukan, pemeriksaan pada otak yang
segar harus dilakukan dengan sistematis dan hati-hati. Jika resusitasi awalnya berhasil dan
penyelam bertahan hidup untuk sementara waktu sebelum kematian, perubahan patologis
pada oak dan medulla spinalis lebih dapat terjadi.

Dada dan Abdomen

Penemuan gas pada jantung, vena kava inferior, dan vena porta telah dideskripsikan di
atas. Paru-paru yang overexpanded yang menutupi jantung dan menunjukkan immersi dari
kosta dapat ditemukan pada tenggelam dan kondisis dimana adanya pemerangkapan udara
perifer seperti asma dan aspirasi dalam pada muntah; hal ini juga dapat merupakan
karakteristik dari resusitasi. Adanya air pada abdomen dan edema pada paru dan trakea
menandakan adanya tenggelam. Paru dapat dinflasi dengan udara di dalam air untuk
menemukan kebocoran paru yang menunjukkan adanya barotrauma pulmonal.

Jantung harus diperiksa dengan teliti untuk mendeteksi aterosklerosis koroner dan
kelainan jantung lainnya yang dapat menyebabkan kematian tiba-tiba., Foramen ovale
pada jantung harus periksa patensinya karena hal ini dapat menyebabkan teiadinva emboli
gas paradoksis.

Sistem Muskulo-Skeletal

Dulunya pemeriksaan kepala femur untuk nekrosis avaskuler dilakukan pada penyelam
komersial dan karir, tetapi hal ini sekarang jarang diperiksa dan hanya diperiksa bila ada
kelainan radiologis.

Histologis

Pemeriksaan histologis yang komprehensif pada semua organ harus dilakukan. Penyelam
yang tetap hidup beberapa jam sebelum kematian dapat menunjukkan patologis pada
jantung dan sistem saraf pusat seperti infak kecil pada otot jantung dan medulla spinalis.
2.3 Trauma Thermik
2.3.1 Definisi Trauma Thermik
Trauma thermik adalah kerusakan kulit (dapat disertai kerusakan jaringan dibawahnya)
yang disebablkan oleh perubahan suhu. Trauma termis dapat berupa luka bakar
(combustio), karna bahan kimia (cedera kimia), karena aliran listrik (electric trauma),
22
karena dingin (sengatan dingin dan frostnip). Trauma thermik yang terjadi baik suhu tinggi
maupun suhu rendah dapat menyebabkan kematian.
Adapun klasifikasi dari trauma termis adalah :
1. Heat Burn (Luka Bakar)
2. Cold Trauma (Trauma Dingin)

2.3.2 HEAT BURN (Luka Bakar)


A. Hipertermis

Pada jaman modern ini banyak fasilitas yang tercipta yang berhubungan dengan
panas, tetapi selain kegunaannya pada manusia tidak jarang pula terjadi efek samping
negatif sehingga terjadi korban yang meninggal akibat luka bakar oleh panas. Kematian
karena luka bakar biasanya terjadi kecelakaan dapat mengenai semua golongan umur,
tetapi lebih sering pada orang tua dan anak-anak. Kematian karena luka bakar dapat terjadi
juga pada kasus-kasus pembunuhan dan bahkan pada kasus bunuh diri.
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti
api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi. Luka ini dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Cedera lain yang termasuk luka bakar adalah sambaran petir, sengatan listrik,
sinar x dan bahan korosif. Kerusakan kulit yang terjadi tergantung pada tinggi suhu dan
lama kontak, suhu minimal untuk dapat menghasilkan luka bakar adalah sekitar 44 oC
dengan kontak sekurang-kurangnya 5-6 jam. Suhu 65oC dengan kontak selama 2 detik
sudah cukup menghasilkan luka bakar. Kontak kulit dengan uap air panas selama detik
mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1 mm dapat mencapai suhu 47 oC, air panas yang
mempunyai suhu 60oC yang kontak dengan kulit dalam waktu 10 detik akan menyebabkan
partial thickness skin loss dan diatas 70oC akan menyebabkan full thickness skin loss.
Temperatur air yang digunakan untuk mandi adalah berkisar 36 oC – 42oC. Pelebaran
kapiler dibawah kulit mulai terjadi pada saat suhu mencapai 35 oC selama 120 detik, vesikel
terjadi pada suhu 53oC – 57oC selama kontak 30-120 detik.
2.3.3 Patofisiologi Trauma Hipertermis
Luka bakar disebabkan oleh peralihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh dan
panas dapat dipindahkan melalui hantaran atau radiasi elektromagnetik. Ada beberapa hal
yang meyebabkan luka bakar meliputi: termal, kimia, dan juga radiasi, luka bakar pun
menghasilkan respon bermacam respon meliputi: respon pada kulit, respon sistemik,
kardiovaskular, efek pada cairan elektrolit dan volume darah, pulmoner, dan respon
sistemik lainnya.

23
i. Respon pada kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar
tergantung pada luas dan ukuran luka bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller
burns), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada arca yang mengalami injuri.
Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas misalnya 25 % dari total permukaan tubuh
(TBSA : total body surface area) atau Icbih besar, maka respon tubuh terhadap injuri
dapat bersifat sistemik dan sesuai dengan luasnya injuri.
ii. Respon sistemik
Perubahan patofisiologik yang disebabkan oleh luka bakar yang berat selama awal
periode syok luka bakar mencakup hipoperfusi jaringan dan hipofungsi organ yang
terjadi sekunder akibat penurunan curah jantung dengan dukuti oleh fase hiperdinamik
serta hipermetabolik. Insidensi, intensitas dan durasi perubahan patofisiologik pada luka
bakar sebanding dengan luasnya luka bakar yang terlihat pada seberapa las permukaan
tubuh yang terkena. Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar yang berat adalah
ketidakstabilan hemodinamik akibat hilangnya integritas kapiler dan kemudian
terjadinya perpindahan cairan, atrium, serta protein dari rang intravascular kedalam
ruanginterstisial.
iii. Respon kardiovaskular
Segera setelah luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin,
serotonin, leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalmi injuri.
Substansi-substansi ini menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler darah merah
dihancurkan dan sebagian yang lainnya mengalami kerusakan sehingga terjadi anemia.
Walaupun demikian, nilai hemotokrit dapat meninggi akibat kehilangan plasma.
iv. Respon pulmoner
Pada klien yang mengalami luka bakar biasanya disertai dengan kerusakan
pulmoner, yang ditandai dengan cedera inhalasi, berikut adalah klasifikasinya: cedera
saluran napas atas, cedera inhalasi dibawah glotis, yang mencakup keracunan karbon
monoksida dan defek restriktif Cedera saluran napas atas terjadi akibat panas langsung
atau edema, bentuknya obstruksi-mekanis saluran atas yang menyerang faring dan
laring. Cedera inhalasi dibawah glottis terjadi akibat menghirup produk pembakaran
yang tidak sempurna atau gas berbahaya, cedera ini menyebablan hilanynya fungsi silia,
hipersekresi, edema mukosa yang berat, dan kemungkinan bronkospasme. Keracunan
karbon monoksida akan mengakibatkan sescorang tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen yang adekuat kepada jaringan, hal ini karena afinitas hemoglobin terhadap

24
karbon monoksida 200 kali lebih bear daripada afinitasnya terhadap oksigen. Sedangkan
defek restriktif terjadi kalau timbul edema dibawah luka bakar full thickness yang
melingkar pada Icher dan toraks.
v. Respon imun
Fungi sistem imunemengalami depresi. Depresi pada aktivitas lymphocyte, suatu.
penurunan dalam produksi immunoglobulin, supresi aktivitas complement dan
perubahan/(gangguan pada fungsi neutropil dan macrophage dapat terjadi pada klien
yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan in meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
vi. Respon sistemik lainnya
Fungi renal dapat berubah sebagai akibat dari berkurangnya volume darah,
destruksi sel- sel darah merah pada lokasi cedera akan menghasilkan hemoglobin bebas
dalam urin. Jika terjadi kerusakan di tot (akibat luka bakar listrik), mioglobin akan
dilepaskan dari sel-sel tot dan diekskresikan melalui ginjal, bila aliran darah yang
melewati tubulus renal tidak culiup maka hemoglobin dan mioglobin akan
menyumbatnya sehingga timbul komplikasi nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.
Pertahanan imunologik tubuh sangat berubah akibat luka bakar, kehilangan integritas
kulit diperparah lagi dengan pelepasan faktor-faktor inflamasi yang abnormal, hal ini
membuat seseorang any menderita luka bakar berisiko tinggi mengalami sepsis. Selain
itu, hilangmya kulit juga menyebabkan ketidakmampuan tubuhn utuk mengatur suhu,
sehingga seorang yang menderita luka bakar dapat memperlihatkan suhu tubuh yang
rendah dalam beberapa jam pertama pasca-luka bakar, namun kemudian akan
mengalami hipertermia sekalipun tidak disertai infeksi karena hipermetabolisme
menyetel kembali suhu tubuh inti. Ada dua komplikasi gastrointestinal yang potensial
yaitu: ileus paralitik (tidak adanya peristalsis usu) dan ulkus curling, berkurangnya
peristalsis dan bising usus merupakan manifestasi ileus paralitik yang terjadi akibat luka
bakar.
2.3.4 Klasifikasi Trauma Hipertermis
Secara umum, luka bakar dapat terdapat 3 macam, yaitu:
Luka bakar thermis
Luka bakar kimia
Luka bakar listrik

Berdasarkan penyebabnya, luka bakar secara kasar terbagi menjadi:

25
a. Thermal Burn
Luka bakar suhu tinggi akibat gas, cairan, bahan padat. Luka bakar termal burn
biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di
tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya
9logam panas, dan lain-lain).
b. Flame Burn
Terjadi bila kulit mengalami kontak lansung dengan api
i. Keparahan tergantung lamanya waktu kulit terpajan dengan api
ii. Bentuk lain dari flame burns adalah flash burns
iii. Disebabkan oleh ledakan yang berasal dari gas, atau berupa partikel-partikel halus
suatu benda panas.
iv. Menyebabkan luka bakar derajat dua dan tiga pada seluruh daerah kulit yang
terkena, termasuk rambut.
c. Chemical Burn
Luka bahan kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupun bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga.
d. Contact Burn
Terjadi bila kulit mengalami kontak langsung dengan objek yang panas, misalnya
besi panas, setrika, dan lain-lain. Jenis luka bakar ini, dapat memberikan mengenai
bentuk benda panas yang menyebabkan luka bakar tersebut.
e. Electrical Burn
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan.
Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling
rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga
menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari
lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun grown.

f. Radiasi Injury
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif. Tipe
injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik
dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama
juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

26
2.3.5 Luka Bakar Berdasarkan Kedalaman
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu yang menyebabkan cedera,
lamanya paparan dan ketebalan kulit. Berdasarkan dalamnya jaringan yang rusak akibat
luka bakar tersebut, luka bakar dapat diklasifikasikan menjadi derajat I, II, III dan IV. Pada
luka bakar derajat 1 (superficial burn), kerusakan hanya terjadi di permukaan kulit. Kulit
akan tampak kemerahan, tidak ada bulla, sedikit oedem dan nyeri, dan tidak akan
menimbulkan jaringan parut setelah sembuh. Luka bakar derajat 2 (partial thickness burn)
mengenai sebagian dari ketebalan kulit yang melibatkan semua epidermis dan sebagian
dermis. Pada kulit akan ada bulla, sedikit oedem, dan nyeri berat. Pada luka bakar derajat 3
(full thickness burn), kerusakan terjadi pada semua lapisan kulit dan ada nekrosis. Lesi
tampak putih dan kulit kehilangan sensasi rasa, dan akan menimbulkan jaringan parut
setelah luka sembuh. Luka bakar derajat 4 disebut charring injury. Pada luka bakar ini kulit
tampak hitam seperti arang karena terbakarnya jaringan. Terjadi kerusakan seluruh kulit
dan jaringan subkutan begitu juga pada tulang akan gosong.

Gambar 1. Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Kedalamaannya

2.3.6 Luka Bakar Berdasarkan Luas


Penilaian luasnya luka bakar memilki peranan yang sangat penting dalam
menentukan luasnya luka bakar yang terjadi yang berpengaruh terhadap banyaknya
terapi cairan yang diberikan. Luas luka bakar ditentukan berdasarkan total body surface
area (TBSA). Metode yang seringkali dipakai untuk menentukan luas luka bakar adalah
mengacu pada rule of nine untuk dewasa. Sedangkan pada anak digunakan lund browder

27
chart. Perhitungan luas luka bakar berdasarkan “Rule Of Nine” oleh Polaski dan
Tennison dari WALLACE adalah sebagai berikut:3,4
1. Kepala dan leher : 9%
2. Ekstremitas atas : 2 x 9% (kiri dan kanan)
3. Paha dan betis-kaki : 4 x 9% (kiri dan kanan)
4. Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%
5. Perineum dan genitalia : 1%

Gambar 2.Penilaian Luas Luka Bakar.


Selain dari kedua metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu
mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau persentasi
luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan mewakili 1 % dari
permukaan tubuh yang mengalami luka bakar.
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association ialah:
1. Luka bakar ringan
a. Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 2%
28
2. Luka bakar sedang
a. Luka bakar derajat II 15% – 25% pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 10% – 20% pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III < 10%
3. Luka bakar berat
a. Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
b. Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
c. Luka bakar derajat III 10% atau lebih
d. Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia/perineum
e. Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain

2.3.7 Penyebab Kematian Akibat Luka Bakar (Manner of Death) 


Kematian akibat luka bakar dapat bersifat segera (immediate) atau tertunda
(delayed). Kematian segera artinya kematian yang langsung terjadi akibat paparan panas
mengenai tubuh, misalnya tubuh yang terbakar atau terkena cedera inhalasi. Sedangkan
kematian yang tertunda adalah kematian yang terjadi dalam 1 atau 4 hari akibat syok,
kehilangan cairan berlebih, lower nephron nephrosis, pulmonary edema, pneumonia, atau
akibat infeksi dan kegagalan respirasi akut lainnya.
a. Keracunan Zat Karbon Monoksida
Kebanyakan kematian pada luka bakar biasanya terjadi pada kebakaran yang hebat yang
terjadi pada gedung-gedung atau rumah-rumah bila dibandingkan dengan kebakaran
yang terjadi pada kecelakaan pesawat terbang atau mobil. Pada kasus-kasus kebakaran
yang terjadi secara bertahap maka CO poisoning dan smoke inhalation lebih sering
bertanggung jawab dalam penyebab kematian korban dibanding dengan luka bakar itu
sendiri. CO poisoning merupakan aspek yang penting dari penyebab kematian pada luka
bakar, biasanya korban menjadi tidak sadar dan meninggal sebelum api membakarnya,
ini dapat menjawab pertanyaan mengapa korban tidak melarikan diri pada waktu terjadi
kebakaran. Sehingga dalam menentukan penyebab dari kematian, maka luas dan derajat
luka bakar serta saturasi darah yang mengandung CO harus dinilai secara hati–hati. Gas
CO ini dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna misalnya kayu yang terbakar,
kertas, kain katun, batu bara yang terbakar akan menghasilkan gas CO. CO dalam darah
merupakan indikator yang paling berharga yang dapat menunjukkan bahwa korban
masih hidup pada waktu terjadi kebakaran. Oleh karena gas ini hanya dapat masuk
melalui absorbsi pada paru-paru. Pada perokok dapat dijumpai saturasi CO dalam darah

29
hanya lebih dari 5%, dan ini dapat menunjukan bahwa korban masih bernafas pada
waktu terjadinya kabakaran, demikian juga pada korban atherosclerosis coroner yang
berat dapat meninggal dengan kadar COHB yang lebih rendah dari pada individu yang
sehat. Bila CO merupakan penyebab mati yang utama maka saturasi dalam darah paling
sedikitnya dibutuhkan 40% COHB, kecuali pada orang tua, anak-anak dan debilitas
dimana pernah dilaporkan mati dengan kadar 25 %. Sebenarnya kadar COHB pada
korban yang sekarat selama kebakaran, sering tidak cukup tinggi untuk menyebabkan
kematian. Banyak kasus-kasus fatal menunjukan saturasi 50- 60 %, walaupun kadarnya
secara umum kurang dari kadar yang terdapat dalam darah pada keracunan CO murni,
seperti pembunuhan dengan gas mobil atau industrial exposure, dimana konsentrasinya
dapat mencapai 80 %. Selain itu adanya gas-gas toksik dan pengurangan oksigen dalam
atmosfer dapat menyebabkan kematian dengan kadar CO yang rendah.
b. Menghirup asap pembakaran (Smoke Inhalation)
Pada banyak kasus kematian, dimana cedera panas pada badan tidak sesuai dengan
penyebab kematian maka dikatakan penyebab kematian adalah smoke inhalation. Asap
yang berasal dari kebakaran terutama alat-alat rumah tangga seperti furniture, cat , kayu,
pernis, karpet dan komponen-komponen yang secara struktural terdiri polystyrene,
polyurethane, polyvinyl dan material-material plastik lainnya dikatakan merupakan gas
yang sangat toksik bila dihisap dan potensial dalam menyebabkan kematian.
c. Trauma Mekanik
Kematian oleh karena trauma mekanik biasanya disebabkan karena runtuhnya bangunan
disekitar korban, atau merupakan bukti bahwa korban mencoba untuk melarikan diri
seperti memecahkan kaca jendela dengan tangan. Luka-luka ini harus dicari pada waktu
melakukan pemeriksaan luar jenasah untuk memastikan apakah luka-luka tersebut
signifikan dalam menyebabkan kematian. Trauma tumpul yang mematikan tanpa
keterangan antemortem sebaiknya harus dicurigai sebagai suatu pembunuhan.
d. Anoksia dan hipoksia
Kekurangan oksigen dengan akibat hipoksia dan anoksia sangat jarang sebagai penyebab
kematian. Bila oksigen masih cukup untuk menyalakan api maka masih cukup untuk
mempertahankan kehidupan. Sebagai contoh tikus dan lilin yang diletakkan dalam
tabung yang terbatas kadar oksigennya ternyata walaupun lilin padam lebih dahulu tikus
masih aktif berlari disekitarnya. Radikal bebeas dapat diajukan sebagai salah satu
kemungkinan dari penyebab kematian, oleh karena radikal bebas ini dapat menyebabkan
surfaktan menjadi inaktif, jadi mencegah pertukaran oksigen dari alveoli masuk kedalam

30
darah.
e. Luka bakar itu sendiri
Secara umum dapat dikatakan bahwa luka bakar seluas 30 – 50 % dapat menyebabkan
kematian. Pada orang tua dapat meninggal dengan presentasi yang jauh lebih rendah dari
ini, sedangkan pada anak-anak biasanya lebih resisten. Selain oleh derajat dan luas luka
bakar prognosis juga dipengaruhi oleh lokasi daerah yang terbakar, keadaan kesehatan
korban pada waktu terbakar. Luka bakar pada daerah perineum, ketiak, leher, dan tangan
dikatakan sulit dalam perawatannya, oleh karena mudah mengalami kontraktur.
f. Paparan panas yang berlebih
Environmental hypertermia dapat menjadi sangat fatal dan bisa menyebabkan kematian.
Bila tubuh terpapar gas panas, air panas atau ledakan panas dapat menyebabkan syok
yang disertai kolaps kardiovaskuler yang mematikan.
2.3.8 Keadaan Umum yang Ditemukan pada Mayat dengan Luka Bakar
Pada kebakaran yang hebat, apakah di dalam gedung atau yang terjadi pada kecelakaan
mobil yang terbakar, sering terlihat bahwa keadaan tubuh korban yang terbakar sering tidak
mencerminkan kondisi saat matinya. Berikut keadaan umum yang ditemukan pada mayat
dengan luka bakar.
a. Skin split
Kontraksi dari jaringan ikat yang terbakar menyebabkan terbelahnya kulit dari epidermis
dan korium yang sering menyebabkan artefak yang menyerupai luka sayat dan sering
disalah artikan sebagai kekerasan tajam. Artefak postmortem ini dapat mudah dibedakan
dengan kekerasan tajam antemortem oleh karena tidak adanya perdarahan dan lokasinya
yang bervariasi disembarang tempat. Kadang-kadang dapat terlihat pembuluh darah
yang intak yang menyilang pada kulit yang terbelah.
b. Abdominal wall destruction
Kebakaran parsial dari dinding abdomen bagian depan akan menyebabkan keluarnya
sebagian dari jaringan usus melalui defek yang terjadi ini. Biasanya ini terjadi tanpa
perdarahan, apakah perdarahan yang terletak diluar atau didalam rongga abdomen.

c. Skull fractures
Bila kepala terpapar cukup lama dengan panas dapat menyebabkan pembentukan uap
didalam rongga kepala yang lama kelamaan akan mengakibatkan kenaikan tekanan
intrakranial yang dapat menyebabkan terpisahnya sutura-sutura dari tulang tengkorak.
Pada luka bakar yang hebat dan kepala sudah menjadi arang atau hangus terbakar dapat

31
terlihat artefak fraktur tulang tengkorak yang berupa fraktur linear. Disini tidak penah
diikuti oleh kontusio serebri, subdural atau subarachnoid.
d. Pseudo epidural hemorrhage
Keadaan umum yang biasanya terdapat pada korban yang hangus terbakar dan kepala
yang sudah menjadi arang adalah pseudo epidural hemorrhage atau epidural hematom
postmortem. Untuk membedakan dengan epidural hematom antemortem tidak sulit oleh
karena pseudo epidural hematom biasanya berwarna coklat, mempunyai bentukan
seperti honey comb appearance, rapuh tipis dan secara tipikal terletak pada daerah
frontal, parietal, temporal dan beberapa kasus dapat meluas sampai ke oksipital. 
e. Non-cranial fractures
Artefak berupa fraktur pada tulang-tulang ekstremitas juga sering ditemukan pada
korban yang mengalami karbonisasi oleh karena tereksposure terlalu lama dengan api
dan asap. Tulang–tulang yangterbakar mempunyai warna abu-abu keputihan dan sering
menunjukan fraktur kortikal pada permukaannya. Tulang ini biasanya hancur bila
dipegang sehingga memudahkan trauma postmortem pada waktu transportasi ke kamar
mayat atau selama usaha memadamkan api. Mayat sering dibawa tanpa tangan dan kaki,
dan mereka sudah tidak dikenali lagi di TKP karena sudah mengalami fragmentasi.
f. Pugilistic Posture
Pada mayat yang hangus terbakar, tubuh akan mengambil posisi “pugilistic”. Koagulasi
dari otot-otot oleh karena panas akan menyebabkan kontraksi serabut otot otot fleksor
dan mengakibatkan ekstremitas atas mengambil sikap seperti posisi seorang boxer
dengan tangan terangkat didepannya, paha dan lutut yang juga fleksi sebagian atau
seluruhnya. Posisi “pugilistic” ini tidak berhubungan apakah individu itu terbakar pada
waktu hidup atau sesudah kematian. “pugilistic” attitude atau heat rigor ini akan hilang
bersama dengan timbulnya pembusukan.
2.3.9 COLD TRAUMA (Trauma Dingin)
Trauma dingin jarang terjadi, biasanya pada negara dingin. Banyak terjadi pada
tentara yang bertempur pada Perang Dunia II. Lokalisasi terutama pada tangan, kaki,
hidung, telinga, pipi. Hawa dingin yang basah lebih berbahaya daripada yang kering
(Budiyanto, W, S, 2018)
B. Hypothermis
Terlalu lama kedinginan, khususnya dalam cuaca berangin dan hujan, dapat
menyebabkan mekanisme pemanasan tubuh terganggu sehingga menyebabkan penyakit
kronis. Hipotermia terjadi ketika suhu tubuh seseorang turn di bawah 35 ° C (95 ° F). Suhu

32
tubuh normal adalah sekitar 37 ° C (98,6 ° F). Hipotermia dapat dengan cepat dan dapat
mengancam jiwa schingga harus diperlakukan sebagai darurat medis. Kondisi hipotermia
biasanya disebabkan ole berada di lingkungan yang dingin dan dapat dipicu ole kombinasi
dari hal -hal yang terjadi dilingkungan tersebut dalam kondisi dingin untuk waktu yang
lama. Orang yang sangat berisiko adalah mereka yang sudah lanjut usia atau sakit dan tidak
dapat bergerak dengan mudah untuk menghasilkan panas. Bayi juga lebih rentan untuk
terkena hipotermia karena kemampuan tubuh mereka 'untuk mengatur suhu mereka belum
sepenuhnya dikembangkan. Orang-orang yang menghabiskan banyak waktu di luar dalam
kondisi cuaca dingin, seperti pendaki dan pemain ski, juga pada merupakan taktor risiko
terkena hipotermia.
Cara kematian:
1. Kecelakaan
2. Pembunuhan (infanticide)

Ada 2 jenis jejas akibat suhu dingin:


1. Jejas dingin local

Jejas lokal yang diakibatkan oleh suhu dingin tergantung pada temperatur, laju
pendinginan, lama pemaparan. Terdapat dua keadaan yang khusus, yaitu:
a. Kaki terendam (trench foot)

33
trench foot mulai dikenal saat terjadi perang dunia pertama. Keadaan ini sebagai
akibat dari pemaparan kaki secara jangka panjang dengan air dan lumpur pada suhu
yang dingin namun tidak membeku. Perubahan dapat juga terjadi pada bagian lain

dari tubuh kita. Respon awal jaringan terhadap air dingin adalah vasokontriksi.
Vasokonstriksi yang berkepanjangan akan mengakibatkan kerusakan iskemik pada
otot dan saraf. Setelah beberapa jam kaki terendam, maka terjadi paralisis vasomotor,
yang mengakibatkan dilatasi yang menetap dan kerusakan terhadap miikrosirkulasi.
Jaringan yang bersangkutan akan membengkak (edema) dan membiru sehingga tidak
jarang dapat terjadi blister. Pada akhirnya dapat terjadi trombosis biasanya setelah
beberapa hari terendam air, dan terjadi gangrene (Parinduri, 2020)

b. Frosbite
Frosbite terjadi lebih cepat daripada trench foot, dan terjadi pada bagian tubuh yang
terpapar dengan temperatur beku. Kejadian ini bukan merupakan hal yang tidak
lazim pada negara yang mempunyai empat suhu udara. Bilamana seseorang
terperangkap pada udara dingin yang membeku (misalnya dalam badai salju) tanpa
persiapan, maka kecelakaan tersebut dapat terjadi. Vasokonstriksi, vasodilatasi dan
oklusi pembuluh darah oleh sel darah yang teraglutinasi dan thrombi, akan
mengakibatkan nekrosis iskemia pada jaringan yang terpapar hanya dalam beberapa
jam saja (Parinduri, 2020).

34
Frosbite terbagi dalam tiga tahap:

1. Frostnip (Tahap pertama)


Frostnip adalah bentuk ringan radang dingin di mana kulit berubah warna menjadi
merah dan terasa sangat dingin. Paparan dingin yang terus menerus akan
menyebabkan mati rasa di daerah kulit yang terkena. Ketika menghangatkan kulit,
mungkin akan terasa nyeri dan kesemutan. Frostnip tidak secara permanen merusak
kulit.
2. Superficial frosbite (Tahap Kedua)
Tahap kedua yang muncul setelah kulit memerah adalah kulit berubah menjadi
putih atau sangat pucat. Kulit bisa tetap terasa lembut, tetapi kristal-kristal es
terbentuk di jaringan. Kulit mungkin mulai merasa seolah-olah hangat. Jika
perawatan baru diberikan pada tahap ini, permukaan kulit akan tampak berbintik-
bintik biru atau ungu ketika mendapat pemanasan atau dicairkan. Ketika
pemanasan, mungkin timbul rasa tersengat, terbakar dan pembengkakan. 24 sampai
48 jam setelah dihangatkan, biasanya kulit akan melepuh dan berisi cairan.
3. Deep frosbite (Tahap Ketiga)

35
Tahap ketiga ketika radang dingin berlangsung, pengaruhnya sampai ke lapisan
kulit hingga jaringan yang terletak di bawahnya. Pada tahap ini akan terjadi mati
rasa yang menipu di mana tubuh kehilangan semua sensasi dingin, rasa sakit atau
ketidaknyamanan. Sendi atau otot mungkin tidak lagi bekerja. Pelepuhan besar
dapat terjadi 24 sampai 48 jam setelah penghangatan. Setelah itu, daerah tubuh yang
terkena akan berubah hitam dan keras, menunjukkan jaringan yang telah mati
(Parinduri, 2020).

2. Jejas dingin menyeluruh (hipotermi) :


A. Mekanisme terjadinya jejas
Hipotermia generalisata terjadi bilamana seluruh tubuh terpapar dengan
suhu yang rendah.hal ini sering terjadi pada penderita usia lanjut (lansia) di musim
dingin, terutama pada gelandangan. Pemaparan terhadap suhu dingin akan
mengakibatkan generalized vasocontriction pada kulit, hal ini terjadi sebagai
respons refleks untuk mengkonservasi panas tubuh. Vasokonstriksi organ- organ
dalam terjadi hanya bilamana temperatur “core” menurun. Setelah beberapa waktu
pemaparan, refleks vasokonstriksi pembuluh darah kulit gagal, sehingga terjadi
vasodilatasi yang luas. Vasodilatasi yang menyeluruh ini mengakibatkan penurunan
temperatur “core”, sehingga terjadi pengumpulan darah (pooling) pada pembuluh
darah perifer. Keadaan ini pada gilirannya akan mengakibatkan volume plasma
efektif menurun, dan terjadi kegagalan sirkulasi (Budiyanto, W, S, 2018)

36
B. Gambaran klinis

Perubahan klinis yang terjadi tergantung pada temperatur dan lamanya


pemaparan terhadap suhu rendah. Bila penurunan temperatur secara cepat dan
mendadak, maka dapat mengakibatkan kematian. Kematian pada kasus demikian
disebabkan oleh kegagalan metabolisme selluler sebagai konsekuensi turunnya
temperatur “core” (Abbott, A, A, 2016).

C. Pemanfaatan terapi hipotermia


Penurunan tingkat metabolism seluler/jaringan sebagai akibat dari hipotermi
dapat dimanfaatkan untuk pembedahan di bidang kardiovaskuler dan operasi otak.
Sirkulasi pada organ tersebut dapat dihentikan beberapa menit pada suhu
hipotermia, sehingga dapat dilakukan pembedahan sederhana seperti operasi
aneurisma, valvotomi mitral, penggunaan lemari pendingin juga penting untuk
blood bank (4oC dapat mengawetkandarah sampai beberapa minggu).
D. Pemeriksaan
 Reaksi Lokal : Kulit pucat (vasokontriksi) → kemerahan (vasodilatasi oleh
karena vasomotorcenter)
 Merah kehitaman, bengkak (skin blister) → ganggren superficial
yang irreversible.
 Reaksi Umum
- Kulit pucat, menggigil, cutis anserine
- Kepucatan bercampur warna sianosis (oleh karena organ dalam keadaan
kongesti sehingga darah dipaksa masuk kembali ke pembuluh perifer)
- Lethargy → coma → death (bila lama)
 Otopsi
Jantung berisi darah merah cerah.Organ dalam kongesti hebat. Lebam Bright
Red (merah cerah bercampur bercak merah gelap). Cairan tubuh menjadi es
(bila lama baru ditemukan) (Budiyanto, W, S, 2018).

BAB III
37
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Luka pada Ilmu kedokteran forensik merupakan salah satu bagian penting. Dari
deskripsi luka kita sebagai dokter juga dapat membantu pihak hukum untuk menentukan
kualifikasi luka sesuai dengan KUHP Bab XX Pasal 351 dan 352 serta pasal 90, dimana pada
tindak pidana dapat menentukan hukuman yang diberikan kepada pelaku kekerasan dengan
melihat deskripsi luka yang kita buat. Oleh karena itu kita diharapkan banyak menemukan
kasus kekerasan yang menyebabkan luka baik pada korban hidup maupun korban mati, bisa
mendeskripsikan luka sebaik-baiknya dalam Visum et Repertum.

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk


mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran karena
trauma akustik diakibat paparan energi akustik yang kuat dan mendadak. Gangguan
pendengaran terbagi menjadi 3 jenis yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran. Menurut
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada gangguan pendengaran konduktif
terdapat masalah di dalam telinga luar atau tengah, sedangkan pada gangguan pendengaran
sensorineural terdapat masalah di telinga bagian dalam dan saraf pendengaran.

Barotrauma adalah kerusakan jaringan akibat perubahan tekanan barometrik yang


terjadi pada saat menyelam atau saat terbang. Barotrauma merupakan segala sesuatu yang
diakibatkan oleh tekanan kuat yang tiba-tiba dalam ruangan yang berisi udara pada tulang
temporal, yang diakibatkan oleh kegagalan tuba eustachius untuk menyamakan tekanan dari
bagian telinga tengah dengan adekuat dan terjadi paling sering selama turun dari ketinggian
atau naik dari bawah air saat menyelam.

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti kobaran api di tubuh (Flame), jilatan api ke tubuh (Flash), terkena air
panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-
bahan kimia, serta sengatan matahari (Sunburn). Luka bakar banyak disebabkan karena suatu
hal, diantaranya adalah luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn) : Gas, cairan, bahan padat,
luka bakar bahan kimia (Chemical Burn), luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn) dan
luka bakar radiasi (Radiasi Injury).

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbott, Allegran, Aveeno, et al. Darm Net NZ. Thermal burns.


http://www.dermnetnz.org/reaction/thermal-burns.html. Diakses pada tanggal 16
februari 2016.
2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. 2018. Traumatologi Forensik. Dalam:
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p52-53.
3. Nirmalasari N. Forensik Bicara Tentang Luka (Traumatologi). Nirmalasari N, editor.
Banjarmasin: Lambung Mangkurat University Press; 2020.
4. Parinduri AG. Buku Ajar Kedokteran Forensik & Medikolegal. Asmadi E, editor.
Medan: UMSU PRESS; 2020.
5. Salawati L, Abbas I. Dampak Kebisingan pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi. J Kesehat
Cehadum. 2019;1(80):2.
6. Sigit Sasongko. Pengaruh Glutation Peroksidase Mimetik Peroral Serta Nilai Emisi
Otoakustik Pada Prajurit Dengan Risiko Trauma Akustik Akibat Ledakan Meriam
Howitzer 105. Indones J Appl Sci. 2015;5(1):18–31.
7. Soleha TU, Wulandari P. Gangguan Pendengaran et causa ledakan gas pada pria usia 33
tahun. Majority. 2017;6(2):103–107.

39

Anda mungkin juga menyukai