Anda di halaman 1dari 34

EXPERT INTERVIEW

KNOWLEDGE OF CREATIVE BUSINESS

“Elizabeth”

Oleh:
Kelompok 2
Edgar Wijaya 13111910217
Giovanny 13111910265
Viona Karen 13111910144
William Winston Prasetya 13111910373

BUSINESS 6H
UNIVERSITAS PRASETIYA MULYA
TANGERANG SELATAN
2022
DAFTAR ISI
BAB I 3

PENDAHULUAN 3
1.1 Subsektor Outlook Global dan Indonesia 3
1.2 Company Profile 3
1.3 Respondent Profile 4
1.4 Company Workflow 4

BAB II 7

INDUSTRY OVERVIEW 7
2.1 Value Chain Porter’s Value Chain Analysis 7
2.1.1 Creation 7
2.1.2 Production 7
2.1.3 Commercialization 8
2.1.4 Distribution 8
2.2 Business Value Proposition Diagram 9
2.3 Business Model Canvas 10

BAB III 11

PEMBAHASAN 11
3.1 Hasil Interview Pelaku Bisnis 11
3.2 Jurnal Referensi 13
3.2.1 Proses Penciptaan Kreatif dalam Industri Fashion 13
3.2.2 Pentingnya Human Capital dalam Industri Fashion 14
3.2.3 Prospek Industri Fashion 15
3.3 Artikel Pendukung 16
3.3.1 Adaptasi dan Improvisasi terhadap Keinginan Konsumen dan Situasi 16
3.3.2 Kreativitas dan Inovasi seputar Industri Kreatif 17
3.3.3 Potensi Industri Fashion melalui Kolaborasi 17

BAB IV 19

PENUTUP 19
4.1 Kesimpulan 19
4.2 Pembelajaran 19

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23

TRANSKRIP 24

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Subsektor Outlook Global dan Indonesia

Perkembangan subsektor ekonomi kreatif di Indonesia berlaju dengan pesat, dan kini ada badan
naungan untuk industri kreatif yaitu Badan Ekonomi Kreatif (Barekraf). Menurut Kemenparekraf
(Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), terdapat 17 subsektor ekonomi kreatif di Indonesia, yaitu
Pengembangan permainan, arsitektur, desain interior, musik, seni rupa, desain produk, fashion, kuliner,
film, animasi dan video, fotografi, desain komunikasi visual, televisi dan radio, kriya, periklanan, seni
pertunjukan, penerbitan, dan aplikasi.

Setelah pandemi COVID-19 menyerang perekonomian dunia, kinerja industri fashion secara
global pun juga menurun. Dilansir dari mckinsey.com, industri fashion mengalami penurunan
pendapatan sebesar 20 persen pada 2019-2020. Menurut globenewswire.com, pasar global fast fashion
diperkirakan akan turun dari $35,8 miliar pada 2019 dan menjadi $31,4 miliar pada 2020 dengan
terjadinya penurunan compound annual growth rate (CAGR) sebesar 12,32%. Penurunan ini terutama
disebabkan oleh perlambatan ekonomi di seluruh negara karena wabah COVID-19. Pasar kemudian
diperkirakan akan pulih dan mencapai $38,21 miliar pada tahun 2023 dengan CAGR 6,7%.

Kelompok kami akan membahas subsektor ekonomi kreatif fashion di Indonesia. Subsektor
fashion di Indonesia masih berusaha bersaing dengan brand impor, tetapi brand lokal kini
pertumbuhannya semakin membaik. Masyarakat pun antusias akan produk inovasi fashion buatan
Indonesia. Dilansir dari kemenperin.go.id, “Industri pakaian jadi segmen besar dan sedang mencatatkan
pertumbuhan produksi paling tinggi di antara sektor lainnya sepanjang kuartal I/2019. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), pada 3 bulan pertama tahun ini produksi industri pakaian jadi tumbuh
sebesar 29,19% secara tahunan. Sementara, secara q-t-q sektor ini tumbuh sebesar 8,79%, kedua
tertinggi setelah industri furnitur.”.

Tetapi dikarenakan pandemi COVID-19 di Indonesia, subsektor tersebut mengalami penurunan.


Dilansir dari suara.com, “Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah menyampaikan, akibat
pandemi Covid-19, penjualan fesyen Indonesia mengalami penurunan sekitar 70 persen. Hal ini
berdampak pada kehidupan seluruh pengusaha dan pekerja fesyen di Indonesia.”. Banyak pemain di
industri fashion pun terpukul dengan situasi tersebut dan memutar otak untuk tetap bertahan. Tetapi
dengan memulihnya perekonomian setelah pandemi, maka pendapatan industri ekonomi kreatif,
termasuk subsektor fashion, bisa meningkat. Menurut statista.com, pendapatan di segmen fashion
Indonesia diproyeksikan dapat mencapai US$9.300 juta pada tahun 2022.

1.2 Company Profile

Elizabeth adalah sebuah local brand Indonesia dengan nama PT Elizabeth Hanjaya yang sudah
berkecimpung lama di dalam industri fashion sejak tahun 1963. Nama “Elizabeth” diambil dari
pendirinya yang mengawali usaha dari bisnis rumah tangga, bernama Handoko Subali dan Elizabeth

3
Halim yang menjual tas hasil produksi sendiri dengan modal awal Rp10,000. Saat ini, Elizabeth sudah
memproduksi berbagai lini fashion, mulai dari tas wanita, tas kerja, tas pria, koper, baju wanita, hingga ke
aksesoris wanita dan pria berupa jam tangan, gelang, anting, dan kacamata. Penghargaan yang sudah
diraih oleh Elizabeth juga banyak sekali, diantaranya 21 Kartini Indonesia, Upakarti, Top Brand, dan
baru-baru ini memenangkan Indonesia Living Legend Award Companies 2019, sebuah penghargaan yang
didedikasikan untuk perusahaan asli dari Indonesia yang sudah menjalankan usahanya selama lebih dari
50 tahun, yang dalam perjalanan usahanya senantiasa melakukan inovasi dalam bidang fashion di
Indonesia. Hingga saat ini, Elizabeth sudah memiliki 90 toko yang tersebar di seluruh Indonesia.

1.3 Respondent Profile

Narasumber kami adalah Kak Cynthia Firstiana, beliau merupakan


merupakan fashion designer yang bekerja di Elizabeth sejak tahun
2019, tepatnya di divisi sample pada sektor baju. Pekerjaan dari Kak
Cynthia adalah seputar membuat forecasting setiap musimnya
dalam kurun waktu 3 hingga 6 bulan sekali, hal ini dilakukan untuk
mengetahui tren apa yang sedang terjadi di industri fashion. Selain
itu, divisi sample juga rutin melakukan kegiatan voting setiap dua
sampai tiga minggu sekali untuk memilih koleksi selanjutnya yang
akan dikeluarkan. Divisi sample memiliki anggota sebanyak 9 hingga
12 orang.

1.4 Company Workflow

Kak Cynthia menjabarkan proses workflow dari proses RnD hingga proses penjualan dan promosi
produk kepada customer Elizabeth. Pertama dimulai dari tahap pengembangan desain produk yang ingin
diproduksi. Awalnya divisi sample akan membuat sampling produk, yang hasilnya bisa sekitar 5-12 baju
per-harinya. Tetapi dikarenakan ada tahap revisi dan sebagainya untuk menyempurnakan desain produk,

4
maka sebulan hanya bisa menghasilkan 60-80 desain baju. Setelah sampling, sourcing kain dilakukan
dalam waktu sekitar satu minggu. Elizabeth mempunyai toko langganan supplier kain, tetapi jika toko
tersebut tidak bisa mencukupi kebutuhan produksi, maka mereka akan mencari ke supplier lain. Hal
tersebut biasa yang membuat proses sourcing kain menjadi lebih lama. Kain yang dibeli akan melalui
tahap QC terlebih dahulu. Jika ada yang cacat melebihi dari 5%, maka kain akan dikembalikan.

Lanjut ke tahap produksi, proses tersebut dilakukan oleh 85% pihak internal (di pabrik Elizabeth)
dan 15% outsource dari vendor lain. Hal tersebut dikarenakan beberapa produk terkadang terlalu mahal
untuk dikerjakan sendiri. Sekali produksi bisa mencapai 180-240 pieces produk per desainnya. Setelah
produk selesai diproduksi, maka produk akan melalui proses QC lagi dan terakhir akan masuk ke gudang.
Dari gudang, akan dikirimkan ke toko Elizabeth di berbagai cabang untuk dipasarkan. Jadi total proses
sampling hingga produksi bisa memakan sekitar 1-1,5 bulan sebelum dipasarkan ke customer.

Untuk memasarkan produk agar mendapatkan exposure, maka team marketing mempunyai
tugas untuk membuat konsep dan melakukan photoshoot produk yang sudah jadi. Setelah mendapatkan
foto-foto katalog produk, foto-foto tersebut diunggah di website dan sosial media Elizabeth. Selanjutnya
pihak marketing akan mempromosikan secara online dan offline.

Customer journey dimulai ketika customer melihat konten produk Elizabeth di


toko/website/sosial media. Jika customer tertarik dengan produk yang mereka lihat, maka mereka akan
memutuskan untuk melakukan pemesanan dan pembayaran. Setelah membeli, customer memakai dan
merasakan kualitas dari produk Elizabeth. Jika mereka kurang puas atas produk yang mereka beli, maka
mereka bisa memberikan feedback melalui email customer service Elizabeth yang tertera di website.
Feedback yang diterima bisa menjadi bahan pelajaran untuk improvement produk Elizabeth selanjutnya.

Sehingga company workflow dari Elizabeth adalah :

5
1. Divisi sample akan membuat sampling produk
2. Sourcing kain di supplier untuk produksi
3. Kain akan melalui tahap QC untuk memastikan tidak ada kain yang cacat lebih dari 5%, dan lebih
akan dikembalikan ke supplier
4. Melakukan produksi produk
5. Melakukan proses QC terhadap produk setelah produksi dan revisi jika ada yang defect
6. Mengantar produk ke gudang
7. Mengantar produk ke toko Elizabeth di berbagai cabang untuk dipasarkan
8. Melakukan promosi secara online dan offline
9. Customer melihat konten produk Elizabeth atau datang ke toko langsung untuk melihat
10. Customer memesan dan membayar produk
11. Customer menerima produk
12. Feedback dari customer yang dapat menjadi bahan improvement pada tahap sampling di
kemudian hari

6
BAB II

INDUSTRY OVERVIEW

2.1 Value Chain Porter’s Value Chain Analysis

2.1.1 Creation

Dalam pembuatan produk dari Elizabeth, mereka selalu melakukan R&D terlebih dulu dan juga
melakukan sampling untuk melihat wujud nyata nya sebelum pengambilan keputusan untuk dipasarkan
atau tidak. Hasil Sampling yang dapat diproduksi ada di sekitar 5-12 baju per hari, namun terkadang
banyak revisi dan lain-lain, ada sekitar 60-80 sampling dalam 1 bulan yang benar-benar terealisasikan. Di
awal setiap musim (setiap 3-6 bulan) ada yang dinamakan forecasting dimana metode ini digunakan
untuk mengetahui trend yang terjadi. Trend tersebut meliputi trend warna, baju, bahan, dan lain-lain.
Setelah melakukan forecasting, divisi sampling langsung membuat sampel tersebut dan setiap 2-3
minggu sekali ada 1 kegiatan untuk melakukan voting internal dengan tujuan untuk mengambil
keputusan apakah produk kreasi tersebut patut untuk diproduksi dan diperjualbelikan masuk ke dalam
pasar atau tidak. Dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan pihak eksternal untuk mencoba
pakaian tersebut, hanya internal saja seperti purchasing manager, sales, keuangan dan semua
stakeholder berhubungan pembuatan produk tersebut

2.1.2 Production

Step yang dilakukan secara urutannya adalah drawing (trial & error), menggunakan kain sampel,
membuat pola baru, dijahit menjadi baju, setelah menjadi baju, dikenakan di badan. Setelah dikenakan
di badan, dilakukanlah R&D dan koreksi untuk mengoptimalisasi kenyamanan dan model, setelah model
sudah settle, mulai membeli kain roll yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan, mulai produksi internal
(cutting, produksi jahit, dan lain-lain), lalu di packing rapi dan dimasukan ke gudang. Pada akhirnya

7
logistik memilah produk-produk yang sudah jadi untuk dikirimkan ke cabang-cabang Elizabeth. Tidak
semua produk ciptaan Elizabeth diproduksi secara internal, sekitar 85% produksi internal dan sisanya
outsourcing dikarenakan ada beberapa produk ciptaan yang lebih murah untuk dibuat ketika outsourcing
dari pihak lain.

2.1.3 Commercialization

Pemasaran yang dilakukan oleh Elizabeth adalah memiliki website sendiri sehingga para
customer dapat memesan barang secara langsung. Platform online lainnya adalah menggunakan
Whatsapp, Facebook Messenger, Shopee (meliputi 3300 produk; 497,700 pengikut; dan penilaian
rata-rata 4.9 untuk semua produknya), dan Tokopedia. Cara pemasaran lainnya adalah dengan cara
melakukan kolaborasi dengan Mandjha merek fashion yang diciptakan oleh Ivan Gunawan. Dengan
melakukan kolaborasi ini membuat penambahan brand awareness dan juga meningkatkan value dari
produk Elizabeth sendiri sehingga masyarakat luas dapat melihat bahwa produk yang diproduksi oleh
Elizabeth memiliki kualitas.

2.1.4 Distribution

Untuk distribusi produk, penjualan Elizabeth sebagian besar berada di e-commerce yaitu
Shopee, Website, Whatsapp, dan Facebook Messenger dan di toko-toko offline sejumlah sekitar 90
cabang toko Elizabeth. Untuk penyebaran di cabang-cabang Elizabeth, mereka menggunakan logistik
untuk menyebarkan ke 90 cabang tersebut. Kembali lagi dengan E-commerce, tentunya Elizabeth selalu
memantau jika adanya complaint sehingga pesanan dapat memuaskan pelanggan dan juga sebagai
bahan evaluasi. Lain dari hal itu, dalam distribusi juga Elizabeth selalu mengutamakan kesesuaian
pesanan dari customer dan kecepatan pengiriman bagi customer.

8
2.2 Business Value Proposition Diagram

9
2.3 Business Model Canvas

10
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hasil Interview Pelaku Bisnis

Elizabeth merupakan brand lokal Indonesia yang bergerak di industri fashion sejak tahun 1963.
Saat ini Elizabeth telah memproduksi tas wanita, tas kerja wanita, tas pria, koper serta dompet. Selain
itu, Elizabeth juga menyediakan aksesoris untuk wanita berupa jam tangan, kalung, gelang, anting dan
kacamata; serta jam tangan dan kacamata untuk pria. Hingga saat ini, Elizabeth telah berkembang pesat
sebagai penjual tas terbaik dan memiliki 90 toko yang tersebar di seluruh Indonesia.

Narasumber dari Interview kami adalah Cynthia Firstiana yang merupakan designer di Elizabeth
yang bekerja secara langsung dengan top management dan mengerti segala proses supply chain dan
produksi mulai dari bahan baku hingga dipasarkan ke customer. Divisi kak Cynthia sendiri adalah divisi
samples yang isinya sekitar 9 orang sampai 12 orang dan jumlahnya dapat berubah waktu high peak,
lebaran dan sebagainya. Untuk total karyawan di Elizabeth sendiri di pabrik sendiri ada kurang lebih 900
orang. Pekerjaan kak Cynthia sehari-hari adalah sample making, di awal setiap musim diadakan
forecasting setiap 3-6 bulan untuk mengetahui trend apa yang terjadi seperti trend warna, baju, bahan
dan lain-lain. Tapi untuk sehari-hari kak Cynthia membuat samples dan 2-3 minggu sekali ada kegiatan
untuk voting koleksi selanjutnya.

Pada tahun 2021, Elizabeth menggandeng influencer dan beberapa EO di Bandung untuk event
fashion show secara online. Fashion show ini masih mengikuti prokes dan diadakan tanpa crowd sebelum
lebaran untuk menaikkan value dan hal ini berdampak ke sales dan brand awareness. Elizabeth juga
mempublish di Instagram dan mengiklankan ke radio dan youtube untuk announce jika Elizabeth akan
ada event fashion show kolaborasi dengan Ivan Gunawan. Tapi karena sales sedang terhempas selama
pandemi, salesnya tidak naik secara signifikan. Namun karena tahun kemarin sudah menaikkan brand
awareness, efeknya baru terasa nya sekarang.

Untuk proses R&D, Elizabeth melakukan sourcing kain sekitar 1 minggu untuk berhubungan
dengan supplier dan membahas apakah supplier bisa mensupply kuantitas sebanyak yang dibutuhkan,
karena Elizabeth memproduksi memproduksi baju dalam jumlah besar, sekali produksi jumlahnya
mencapai 240 pcs, paling sedikit 180 pcs. Kedua, setelah melakukan survei kain, Elizabeth akan
melakukan proses Quality Control, kain tidak boleh cacat di atas 5%, kalau cacat di atas itu, Elizabeth
akan mengembalikan kainnya. Elizabeth telah memiliki supplier khusus, seperti untuk keperluan benang,
kancing, karet, sparepart mesin, Elizabeth telah memiliki supplier sendiri. Untuk proses produksi 85%
internal, 15% outsource, karena ada beberapa baju yang terlalu mahal untuk diproduksi sendiri, jadi
masih lebih baik jika produksi dilakukan secara outsource untuk tipe ini. Untuk prosesnya, dari sample
turun ke produksi, membeli kain, memotong kain, produksi, proses Quality Control, baru masuk ke
gudang, dan didistribusikan ke cabang yang jumlahnya sekitar 60 cabang toko.

11
Untuk kompetitor, paling dekat adalah This is April, karena produknya sama-sama ready to wear
dan versatile ya bisa digunakan untuk kerja atau ataupun pergi. This is April ini adalah saingan Elizabeth
paling berat, karena harganya tidak terlalu mahal, dan masih cocok untuk remaja. Yang kedua adalah My
Outfit, toko ini menjual baju-baju casual untuk workwear dengan harga yang lumayan miring di Bandung.
Yang ketiga adalah online shop, bukan online shop yang bermerek di Shopee dan Tokopedia namun harga
nya sangat menggiurkan. Karena price point mereka jauh lebih rendah dari Elizabeth. Selain itu ada
Mayoutfit yang menjual baju modis dan baju muslim gamis dengan harga yang sangat miring.

Elizabeth suka mengadopsi culture Indonesia, baju-baju Elizabeth masih adopting batik print,
memiliki section batik dan tas dengan motif yang bermacam-macam, tapi kalo untuk tas ga mungkin kan
kita pasang pasang kain batik, jadi solusinya kita laser tasnya sehingga menghasilkan motif batik, atau
kita bordir. Untuk ekspor, Elizabeth belum pernah melakukan karena fokus market Elizabeth masih di
Indonesia. Dari segi trend, kadang Elizabeth mengikuti trend, namun risikonya jika trendnya terlalu awal
dan di Indonesia belum booming, makan barang menjadi kurang laku. Tapi ini bisa diatasi, kadang hanya
perlu menunggu barang ini masuk trendnya, maka barang itu akan laku dengan sendirinya. Contohnya
tahun ini, di toko-toko fast fashion seperti H&M, Zara, dsb mengeluarkan suatu warna ini yang susah
keluar, namun Elizabeth pernah membuat warna tersebut di 2018 dan itu belum laku Namun, sekarang
dijual cukup laku. Tapi ini salah satu resiko, kalo terlalu mengikuti trend, akan ada resiko akan menjadi
barang tidak laku, akhirnya didiskon, namun tiba-tiba ada waktu dimana barang ini laku dan habis,
kadang agak sulit untuk mengikuti trend pasar indonesia yang beragam ini.

Untuk barang yang tidak laku, Elizabeth akan tetap menjual karena ada cyclenya sekitar 3 tahun,
setelah barang itu tidak laku atau tidak bergerak sama sekali, misalnya 2 minggu ternyata tidak ada sales
sama sekali, Elizabeth masih ada solusi, yang pertama adalah dipotong harganya sedikit, yang kedua
barangnya akan dimasukkan ke toko khusus untuk barang yang kurang laku dan dijual tidak dengan harga
full, harga nya miring.

Untuk entrepreneur point, Kak Cynthia kebetulan bekerja dengan salah satu cucu owner secara
langsung, dari yang dia lihat atasannya sekolah fashion dan bisnis, sekolah di US mengambil fashion dan
bisnis. Awalnya memang agak sulit beradaptasi karena mindsetnya agak berbeda, dia ingin menerapkan
trend yang berlaku di luar untuk Elizabeth. Namun, sekarang bisa adapt lebih baik. Kalau dilihat
kemampuan yang harus dimiliki adalah adaptability atau adaptasi dan yang kedua itu knowledge,
pengetahuannya terhadap trend pasar itu penting dan yang ketiga ada koneksi, karena beliau juga
memegang bagian tas dan sepatu, koneksi dengan supplier, koneksi dengan pekerja, dan pengrajin
sepatu.

Kalau untuk masa depan industri fashion sebenarnya masih sangat luas, ada berbagai area belum
dijangkau, contohnya maternity clothing atau baju ibu hamil, baju anak, baju pesta, itu masih sangat
luas. Namun saat ini Elizabeth masih fokus kejadi ke customer yang berulang dimana Elizabeth sudah
tahu buying pattern mereka. Price point Elizabeth saat ini harga mulai dari 150k sampai 350k, itu
menjangkau sebagian besar masyarakat Indonesia. Tapi untuk tantangannya sendiri, customer yang
sudah berulang akan kaget jika tiba-tiba kita Elizabeth membuat baju dengan price point 3x lipat atau 4x

12
lipat dari yang biasa. Elizabeth sudah pernah mencoba membuat baju di harga 1 juta sampai 2 juta, dan
ternyata memang susah untuk terjual.

Elizabeth sudah pernah trial and error untuk masuk ke pasar dengan segmentasi yang lebih
tinggi, namun memang tidak mudah untuk berpindah pasar dan untuk price point memang tidak bisa
dinaikkan langsung 3x lipat, hanya bisa naik sedikit-sedikit dan bertahap. Untuk kondisi pandemi,
awalnya Elizabeth cukup terpukul, namun di tahun 2020 Elizabeth mulai gencar untuk jualan online,
online shopping. Elizabeth memperbaiki website agar konsumen lebih nyaman dan ternyata berhasil
karena sekarang konsumen bisa bolak balik halaman berkali-kali dan durasi mereka tinggal di web kita itu
juga lebih lama juga. Dari segi e-commerce juga meningkat, Elizabeth juga membuka di online shop dan
marketplace tertentu yang ternyata lumayan laku dan membantu sales.

Dampak pandemi di industri fashion langsung terasa karena semua pembelian pasti turun, daya
beli turun terutama baju-baju untuk kerja dan Elizabeth sempat shutdown selama 3 bulan dimana 1
bulan semua pabrik dan cabang tutup total karena mengikuti peraturan pemerintah dan wfh selama 3
bulan. Saat itu Elizabeth tidak produksi sama sekali dan langsung terasa di penghasilan dan pendapatan
tahunan. Di awal pandemi Elizabeth sudah forecast tren, namun semua itu langsung shift ke tren baju
tidur, jadi produksi Elizabeth harus sangat cepat untuk mendapatkan time frame trend ini.

Urutan produksi yang pertama adalah membuat drawingsnya, perusahaan perlu trial and error
dulu,beli kain sample, membuat pola dan mencoba bajunya sendiri dan research development hingga
benar-benar nyaman. Setelah itu baru bisa beli kain dalam bentuk roll. Setelah itu perlu membuat
barcode atau SKU, barcode ini untuk memberi harga, tanggal, warna, dan size. Di pabrik ada satu bagian
khusus menjahit baju yang isinya 80-90 orang dan 1 divisi lagi divisi cutting. Pertama, baju dicutting dulu,
lalu dikirim ke divisi produksi untuk dijahit, dikancing, dan disetrika dan masuk ke gudang kita. Lalu divisi
sales retail operations akan membagi baju ini mau ke cabang mana sesuai hasil forecast. Untuk memilih
model yang mau dibuat, Elizabeth punya tim internal yang akan voting bersama-sama apakah baju akan
dilanjutkan produksi atau tidak.

3.2 Jurnal Referensi

3.2.1 Proses Penciptaan Kreatif dalam Industri Fashion

Tantangan terbesar tetap bagaimana visi yang dominan dapat menyatukan pengetahuan
(termasuk semua jenis pemilik pengetahuan/orang yang berpengetahuan) dan mencapai keseluruhan
yang terintegrasi (Regeer & Bunders, 2003). Perusahaan internasional yang produk fashion retail, seperti
Amazon, eBay dan Walmart, semakin 'menggunakan analitik data besar untuk secara efektif mengelola
sejumlah besar pengetahuan yang tersedia, berkomunikasi secara teratur dengan pelanggan mereka dan
bahkan meningkatkan operasi mereka' (Davenport, 2012). Dengan demikian, perspektif tentang integrasi
pengetahuan - di mana asumsi utamanya adalah bahwa pengetahuan diperoleh dan makna diberikan
kepadanya melalui peningkatan 'partisipasi sosial' anggota organisasi - memegang dan mendukung
sinonim untuk seluruh proses sebagai penciptaan bersama pengetahuan. Dapat diamati bahwa

13
pengetahuan pada dasarnya adalah 'diciptakan secara sosial' di dalam organisasi - terutama oleh para
anggotanya (misalnya, manajer ritel dan staf peserta pelatihan) dan pemangku kepentingan lainnya
(misalnya, pelanggan). Proses penciptaan pengetahuan akan dikatalisasi oleh faktor-faktor pendorong
seperti niat, otonomi dan fluktuasi. Pada akhirnya, seluruh proses akan mengarah pada kemungkinan
bantuan dalam pengambilan keputusan berbasis bukti. Bentuk pengambilan keputusan di atas pada
hakikatnya memungkinkan pengambilan keputusan yang efisien dan efektif. Keputusan ini cenderung
menghasilkan nilai bagi bisnis (Rehman, Chang, Batool, & Wah, 2016).

Pada saat yang sama, selama seluruh proses organisasi dari penciptaan bersama pengetahuan,
elemen pengetahuan organisasi yang relevan akan ditentukan oleh pengetahuan individu dan
pengetahuan kelompok, sedangkan pengetahuan pribadi akan ditentukan oleh pengetahuan eksplisit
dan pengetahuan tacit. Dalam konteks ini, pengetahuan akan mengacu pada pengetahuan pelanggan
[karena sifat sampel yang dipilih]. Telah dikemukakan bahwa tidak ada organisasi yang dapat berdiri
sendiri dan mereka akan berinteraksi secara teratur dengan lingkungan mereka (yang dengan sendirinya
berubah secara dinamis), sehingga menyebarkan data, informasi, dan pengetahuan dengan berbagai
cara, membangun organisasi dengan cara itu serta membantu anggota organisasi. memahami organisasi
mereka dan persyaratan mereka (Nonaka, 1994). Dengan demikian, organisasi ritel dapat mengandalkan
pengambilan keputusan berbasis bukti yang efisien dan efektif untuk menghasilkan nilai bisnis melalui
pengetahuan yang diciptakan bersama dalam organisasi – yang membawa potensi pengetahuan
organisasi yang relevan (di tingkat individu dan kelompok) seperti yang diekstraksi dari data besar dan
pengetahuan pribadi karyawan (baik eksplisit maupun tacit). Pengambilan keputusan berbasis bukti
dapat menjadi kompetensi inti bagi organisasi. Untuk menuai manfaat, organisasi akan melakukan
berbagai upaya untuk maju ke arah berwawasan ke depan.

Pada akhirnya, organisasi akan mendapatkan keuntungan dari rangkaian produk-produk dalam
permintaan yang hemat biaya dan segar secara teratur dan ini pada gilirannya akan menguntungkan
pelanggan (orang) pada umumnya. Dalam istilah praktis, ritel sebagai industri akan dapat membangun
model proses bisnis yang diperbarui yang mengandalkan pengambilan keputusan berbasis bukti sebagai
output dari pengetahuan yang diciptakan bersama. Akhirnya, keputusan yang sepadan dengan bukti dari
fragmen data besar akan memberikan banyak dukungan untuk berbagai fungsi bisnis di seluruh
organisasi.

3.2.2 Pentingnya Human Capital dalam Industri Fashion

Dampak total modal manusia tergantung pada besaran relatif dari pengaruh langsungnya
terhadap pertumbuhan dan pengaruh tidak langsung pada kecepatan konvergensi dari tingkat
pendapatan yang awalnya rendah. Kami menemukan efek positif yang kuat dari modal manusia pada
pertumbuhan berikutnya, yang konsisten dengan teori modal manusia dan bukti empiris yang dilaporkan
dalam literatur sebelumnya, misalnya, Nelson dan Phelps (1966), Benhabib dan Spiegel (1994), dan
Gennaioli, La Porta, Lopez-de-Silanes, dan Shleifer (2013). Namun, efek modal manusia hanya
mengambil bentuk fungsional sederhana yang ditentukan dalam model konvergensi neoklasik kanonik
ketika rata-rata tahun pendidikan digunakan. Kami menemukan bahwa pendidikan rata-rata memiliki

14
efek paling kuat pada konvergensi pada tahap awal pembangunan, sementara sumber daya manusia
yang terampil menunjukkan efek terbesar pada tahap perkembangan yang lebih maju.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, teori pertumbuhan ekonomi neoklasik mengasumsikan
pengembalian marjinal yang semakin berkurang terhadap modal (Solow, 1956), yang menyiratkan bahwa
negara-negara miskin akan tumbuh lebih cepat daripada negara-negara kaya, bahwa modal akan
mengalir dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin, dan pendapatan per kapita akan menyatu. ke
tingkat yang sama (Barro, 1991) dan ditambah dengan pengenalan peran penting modal manusia oleh
para pionir teori pertumbuhan generasi kedua, yang sebagian daftarnya mencakup Romer (1986), Lucas
Jr (1988) dan Prescott (1998). Pentingnya modal manusia untuk pertumbuhan ekonomi diremehkan
dalam literatur sebelumnya (Lucas Jr., 2015) dan konvergensi menuju kesepakatan luas telah terbukti
sulit dipahami. Meskipun kepentingan teoritis dan empiris modal manusia untuk pertumbuhan ekonomi
sekarang diterima secara luas (Barro, 2015; Barro & Sala-i-Martin, 1992; Mankiw et al., 1992), yang lain
meragukan pentingnya hal itu (Bils & Klenow, 2000; Pritchett, 2001). Secara khusus, perannya dalam
menentukan kecepatan relatif di mana negara-negara miskin bertemu dengan rekan-rekan mereka yang
lebih kaya tidak sepenuhnya dipahami (Krueger & Lindahl, 2001; Li & Wang, 2018).

Azariadis dan Drazen (1990) menemukan bahwa modal manusia adalah kondisi yang diperlukan
tetapi tidak cukup untuk pertumbuhan ekonomi, karena negara-negara yang tumbuh cepat cenderung
memiliki modal manusia yang tinggi, sementara beberapa negara dengan modal manusia yang tinggi
tidak tumbuh seperti negara-negara lain. cepat seperti yang diharapkan. Benhabib dan Spiegel (1994)
menunjukkan bahwa perubahan stok modal manusia tidak berdampak pada tingkat pertumbuhan PDB
per kapita, sedangkan tingkat rata-rata modal manusia berpengaruh. Mereka mengaitkan dampak modal
manusia pada teknologi (yaitu TFP) dengan komponen pertumbuhan endogen bersama dengan
komponen mengejar ketinggalan.

Faktor manusia sangat penting dalam desain garmen dan fashion, mempengaruhi desain produk
pada tahap dan tingkat yang berbeda. Pengguna dan desainer adalah dua kelompok berbeda yang
melihat produk fesyen dari dua sudut pandang yang berbeda dan dengan cara yang sangat khas:
pengalaman hidup yang berbeda, latar belakang budaya yang berbeda, estetika yang berbeda,
pemahaman dan apresiasi material yang berbeda, pemanfaatan yang berbeda, dll., hanyalah beberapa
alasan subjektif yang memaksimalkan persepsi berbeda dari proyek mode dan semua fase
perkembangannya yang berbeda.

3.2.3 Prospek Industri Fashion

Industri fashion mengalami ekspansi yang luar biasa dalam 2 dekade terakhir, terutama dengan
konsolidasi pendekatan mode cepat, yang menekankan pada modus operandi kewirausahaan akuisisi
dan pembuangan barang-barang mode yang diproduksi secara massal, homogen, dan standar (Fletcher,
2010). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 3 bulan pertama tahun 2019 produksi industri
pakaian jadi tumbuh sebesar 29,19% secara tahunan. Sementara, secara q-t-q sektor ini tumbuh sebesar
8,79%, kedua tertinggi setelah industri furniture.

15
Dalam industri fashion, Cachon (2020) membahas bagaimana komponen penting dari
kesuksesan model bisnis Inditex didasarkan pada penurunan harga terbatas yang didorong oleh sedikit
kelebihan persediaan. Mereka mampu mengambil konsep desain yang diinginkan dan memberikan
produk baru dalam hitungan minggu, bukan bulan. Selama tahun 2019, 54% pabrik tempat Inditex
memproduksi barangnya berada dalam jarak dekat (di negara-negara seperti Spanyol, Portugal, Maroko,
dan Turki) dengan 46% sisanya adalah jarak menengah dan jauh. Ini berarti biaya produksi yang relatif
tinggi tetapi lebih dari diimbangi oleh keuntungan dari mengadaptasi produksi dengan perubahan tren
setiap musim. Ini mengurangi jumlah sisa barang dagangan dari setiap kampanye. Petahana yang
mendigitalkan lebih awal dan cepat berpotensi dapat melakukannya dengan sangat baik. Tanpa skala
yang memadai, para digital native dipaksa untuk mengikuti strategi niche dan pemain lama dapat
menyerang semua niche bersama-sama (Bughin et al., 2018).

Secara manajemen keuangan, sumber daya manusia, dan pemodal sudah besar. Seorang
designer fokus pada koleksi busana yang akan dibuat. Mereka memiliki tim solid yang berisi para ahli
berkompeten sesuai divisi masing-masing. Owner brand atau designer konsentrasi sebagai creative
director sehingga penjualan perusahaan bisa melonjak delapan kali lipat dari sebelumnya. Di sisi lain ada
perkembangan menarik lainnya yakni trend forecasting atau memprediksi tren di masa yang akan datang
melalui riset berdasarkan analisis data fenomena faktual pada rentang waktu tertentu. Hal ini mencakup
perkembangan pola pikir, teknologi, gaya hidup, serta faktor-faktor lain.

3.3 Artikel Pendukung

3.3.1 Adaptasi dan Improvisasi terhadap Keinginan Konsumen dan Situasi

Menurut Angela Tanoesoedibjo selaku Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Wamenparekraf), terdapat tiga kunci yang menjadi faktor krusial agar para pelaku ekonomi di sektor
fashion dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 ini, yaitu melalui digitalisasi, inovasi, dan adaptasi.
Selain itu, diperlukan adanya riset terlebih dahulu terhadap perkembangan pasar dalam melakukan
adaptasi dan inovasi. Dalam menghadapi tantangan tersebut, Elizabeth tentunya selalu melakukan riset
dalam berbagai aspek terlebih dahulu sebelum meluncurkan koleksi baru agar dapat berinovasi dan
beradaptasi, dimana terdapat riset awal yaitu forecasting yang kegiatannya dinamakan “sample making”
terhadap tren yang terjadi mencakup bahan, warna, dan model setiap periode tertentu. Hal ini dilakukan
Elizabeth agar dapat selalu mengikuti dan tidak tertinggal dengan tren yang terjadi. Hal ini terlihat dari
Elizabeth yang selalu memperhatikan tren musiman yang terjadi, misalnya hari raya lebaran, imlek,
maupun natal. Proses riset dan pengembangan terhadap bahan juga memakan waktu yang tidak
sebentar, dimana selama 1,5 hingga 2 bulan, tim divisi sampling dari Elizabeth selalu berkoordinasi
dengan supplier terkait bahan yang akan mereka pesan dan juga melakukan quality control terhadap kain
yang dipesan. Selain itu, produk-produk dari Elizabeth juga sudah dicoba terlebih dahulu oleh internal
dari perusahaan dengan menggunakan sistem voting untuk menentukan model produk yang akan
diproduksi secara luas ke masyarakat.

Herman, 2021, beritasatu.com

16
3.3.2 Kreativitas dan Inovasi seputar Industri Kreatif

Terdapat tiga tantangan utama yang akan dihadapi oleh pelaku ekonomi kreatif nantinya, salah
satunya adalah semakin meningkatnya peran kreativitas dan inovasi dari manusia sebagai unsur pokok
serta menjadi salah satu pilar penting dalam menentukan keunggulan dan keberhasilan perekonomian
suatu bangsa. Pernyataan tersebut digambarkan dengan akurat oleh Guru Besar dari Sloan Management
School yang bernama Prof. Lester Carl Thurow, 20 tahun yang lalu. Menurut data dari Kementerian
Perdagangan pada tahun 2018, industri kreatif telah menyumbang sebesar 104,4 triliun Rupiah atau
rata-rata 4,75% terhadap PDB nasional. Kreativitas pun digadang-gadang akan berperan sebagai lahan
penghasil uang dan membuat pemerintah untuk segera menggalakkan kewirausahaan melalui industri
kreatif, para pelaku usaha yang bergerak dalam bidang ekonomi kreatif disebut creativepreneur. Untuk
mendukung tumbuhnya kreativitas pada setiap individual, pemerintah Indonesia sangat serius dalam
melakukan pergerakan terstruktur demi Indonesia maju, hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Bekraf
(Badan Ekonomi Kreatif), sebuah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden untuk mengkoordinasikan setiap kebijakan ekonomi kreatif dan memberikan bantuan kepada
start-up creativepreneur di Indonesia.

Deddy Sinaga, 2018, CNNIndonesia.com

3.3.3 Potensi Industri Fashion melalui Kolaborasi

Sandiaga Salahuddin Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) sangat
mengapresiasi dan mendukung penuh upaya kolaborasi untuk memajukan industri kreatif dan fashion,
dalam hal ini Bapak Sandiaga berkesempatan untuk menyaksikan kolaborasi “Melayu Merindu”, sebuah
kampanye yang melibatkan sembilan UMKM dan 12 pengrajin batik untuk menciptakan 12 karya fashion
untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada generasi milenial maupun mancanegara. Beliau
menambahkan, “inovasi perlu terus dilakukan untuk menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang positif
menuju era ekonomi baru. Industri fesyen terutama wastra nusantara perlu dikembangkan.”

Tidak sampai disitu, Sandiaga juga menegaskan bahwa dengan berkolaborasi untuk
mempromosikan wastra nusantara, maka diyakini akan potensi pasar yang baik tidak hanya untuk
konsumen lokal, namun juga dapat menjadi daya tarik bagi wisata. Wastra sendiri diambil dari Bahasa
Sansekerta yang berarti sehelai kain, kemudian wastra nusantara berarti segala jenis kain yang berasal
dari seluruh daerah di Indonesia, sehingga batik merupakan salah satu contoh dari wastra nusantara.

Sella Panduarsa Gareta, 2022, antaranews.com

Dengan mengamati lini produk maupun strategi pemasaran yang dilakukan oleh Elizabeth,
tentunya dapat dikatakan bahwa Elizabeth sangat memperhatikan strategi kolaborasi maupun lini produk
yang berwarna nusantara. Hal ini terlihat dari Elizabeth yang pada tahun 2021 sempat melakukan
kolaborasi dengan beberapa influencer pada event fashion show di hari besar tertentu, salah satunya
lebaran. Salah satu influencer yang sempat berkolaborasi dengan Elizabeth adalah Ivan Gunawan, yang
melakukan kolaborasi antara tas dengan baju, tas disediakan dari pihak Elizabeth dan baju disediakan

17
dari pihak Ivan Gunawan. Kak Cynthia selaku narasumber kami mengaku bahwa Elizabeth lebih condong
kepada adaptasi culture Indonesia, walaupun Elizabeth memiliki gaya yang seasonal mengikuti tren,
namun Elizabeth sempat memproduksi baju dan tas yang memiliki nuansa motif batik, bahkan sempat
mengeluarkan edisi spesial untuk batik. Melalui strategi kolaborasi dan ciri khas yang menonjolkan kultur
Indonesia, maka dapat terlihat bahwa Elizabeth berada di jalur yang tepat dalam melakukan strategi
pemasarannya, belum lagi dengan berbagai lini produk dengan nuansa nusantara yang membawa
potensi pasar yang besar dan menjanjikan di industri fashion ini.

18
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah melakukan interview dan menganalisis teori yang ada, kelompok menyimpulkan bahwa
Elizabeth sangat mengutamakan kualitas produk mereka agar tetap terjaga di mata konsumen, hal ini
terlihat dari proses pertama kali pemilihan kain hingga proses produksi akhir. Elizabeth memiliki supplier
tertentu untuk setiap kain yang dipesan, dan proses pendekatan awal terhadap supplier untuk
mengetahui apakah supplier sanggup memenuhi permintaan Elizabeth juga memakan waktu yang tidak
sebentar (satu minggu), dimana setiap kain juga memiliki toleransi defect maksimal 5% dan jika melebihi
batas maka akan langsung dikembalikan. Elizabeth sangat memperhatikan proses R&D dari setiap
modelnya, dimana proses R&D setiap harinya dapat menghasilkan sekitar 5-12 baju, tetapi seringkali
akan ada revisi untuk setiap modelnya, sehingga setiap bulannya hanya menghasilkan 60-80 pcs.

Elizabeth juga memiliki SOP tersendiri dalam menangani produk-produk yang kurang laku dan
masih tersisa di gudang, dimana terkadang pastinya tidak semua koleksi atau model baju dapat sesuai
dengan preferensi para konsumen, sehingga menimbulkan kemungkinan adanya produk baju yang tidak
laku atau tidak sesuai rencana. Jika hal tersebut terjadi, maka biasanya produk tersebut akan tetap dijual
untuk jangka waktu tiga tahun kedepan, namun jika barang tidak laku sama sekali (tidak ada transaksi
pembelian dalam dua minggu), maka barang tersebut akan diberi tanda khusus. Barang dengan kondisi
tersebut akan melalui salah satu diantara dua proses, yaitu akan dijual dengan harga diskon atau “harga
miring”, atau akan dimasukkan ke toko khusus barang kurang laku milik Elizabeth.

Selain itu, Elizabeth juga selalu mengutamakan kepuasan konsumen, dimana terlebih dahulu
Elizabeth memiliki tim khusus yang akan memberikan data berisikan preferensi setiap customer setiap
bulannya, sekaligus melaporkan analisa sales setiap bulannya untuk mengetahui produk mana yang best
seller atau produk yang laku dengan cepat. Setelah itu, Elizabeth juga memiliki tim yang akan mencoba
produk terlebih dahulu sebelum diproduksi dalam jumlah besar, yaitu berisikan tim internal mencakup
manager, kepala sales retail operations, tim produksi, tim material, dan semua anggota tersebut akan
melakukan voting terhadap suatu produk yang dicoba, jika ternyata voting menunjukkan lebih banyak
yang tidak setuju, maka produk tidak akan dilanjutkan produksinya, namun jika yang suara setuju unggul
tipis, maka akan tetap diproduksi dengan catatan apa yang perlu dikembangkan lebih lagi agar bisa
diperbaiki kekurangannya.

4.2 Pembelajaran

Melalui pengkajian mendalam terhadap Elizabeth, kelompok sadar bahwa industri fashion
merupakan industri yang cukup kompetitif dan pelaku pasar pada industri tersebut tidaklah sedikit. Oleh
karena itu, agar dapat bertahan dan membangun bisnis yang berkelanjutan di industri fashion ini tentu
pertama-tama diperlukan pengetahuan yang cukup terkait bahan dasar utama dari setiap produk, yaitu
kain, dimana setiap kain pastinya memiliki karakteristik yang berbeda untuk setiap modelnya, sehingga

19
kain yang bagus akan menghasilkan kenyamanan maksimal untuk konsumen. Selanjutnya, diperlukan
juga keahlian untuk menganalisis tren pasar yang terjadi (knowledge), dimana Elizabeth memiliki tim
sendiri untuk menyediakan data terkait konsumen dan tren yang sedang diminati sehingga
koleksi-koleksi yang dihasilkan pun sebagian besar dapat tepat sasaran. Selain itu, diperlukan juga
kesadaran akan pesaing usaha, dalam hal ini, Elizabeth sadar betul bahwa mereka memiliki pesaing
usaha yang memiliki karakteristik hampir sama, yaitu tipe pakaian ready to wear yang memiliki harga
terjangkau oleh kelas menengah layaknya Elizabeth. Tidak hanya itu, kreativitas juga merupakan unsur
yang krusial dalam industri fashion, dimana penting bagi setiap pelakunya untuk dapat mengeksplorasi
seluas mungkin agar dapat memberikan sebuah solusi atas suatu masalah, dan kreativitas tidak melulu
harus menciptakan suatu pembaharuan, namun juga dapat meliputi melakukan perbaikan ke arah yang
lebih baik. Dalam hal ini, Elizabeth memiliki arah kreativitas ke kultur budaya Indonesia, dimana lini
produknya, yaitu tas dan baju, memiliki motif batik, namun permasalahannya terletak pada tas, yaitu tas
yang tidak memungkinkan untuk menggunakan kain, lain halnya dengan produk baju. Maka dari itu,
kreativitas disini sangat dibutuhkan, dimana tim Elizabeth mengatasi permasalahan tersebut dengan
menggunakan teknologi laser ataupun bordir pada tas, sehingga memungkinkan untuk mengeluarkan
koleksi tas dengan motif batik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Acharya, A., Singh, S. K., Pereira, V., & Singh, P. (2018). Big data, knowledge co-creation and decision
making in fashion industry. International Journal of Information Management, 42, 90–101.

Fashion - indonesia: Statista market forecast. Statista. (n.d.). Retrieved April 2, 2022, from
https://www.statista.com/outlook/dmo/ecommerce/fashion/indonesia

Fast fashion market analysis, size and Trends Global Forecast to 2022-2030. The Business Research
Company. (n.d.). Retrieved April 2, 2022, from
https://www.thebusinessresearchcompany.com/report/fast-fashion-global-market-report

Gareta, Sella Panduarsa. (2022). “Menparekraf Apresiasi Kolaborasi Majukan Industri Kreatif dan
Fesyen.”
https://www.antaranews.com/berita/2786209/menparekraf-apresiasi-kolaborasi-majukan-industri-kreat
if-dan-fesyen. Diakses pada 1 April 2022 pukul 18.01

Herman. (2021). “Bisnis Fashion Bisa Bertahan di Tengah Pandemi, Ini Kuncinya”.
https://www.beritasatu.com/ekonomi/765291/bisnis-fashion-bisa-bertahan-di-tengah-pandemi-ini-kunc
inya. Diakses pada 31 Maret 2022 pukul 17.40

Jin, B. E., & Shin, D. C. (2020). Changing the game to compete: Innovations in the fashion retail industry
from the disruptive business model. Business Horizons.

Kemenperin: Industri pakaian Jadi Catatkan pertumbuhan paling tinggi. Kementerian Perindustrian.
(n.d.). Retrieved April 2, 2022, from
https://kemenperin.go.id/artikel/20641/Industri-Pakaian-Jadi-Catatkan-Pertumbuhan-Paling-Tinggi

Langley, P., & Rieple, A. (2021). Incumbents’ capabilities to win in a digitised world: The case of the
fashion industry. Technological Forecasting and Social Change, 167, 120718.

McKinsey & Company. (2022, March 31). State of Fashion 2022: An uneven recovery and new frontiers.
McKinsey & Company. Retrieved April 2, 2022, from
https://www.mckinsey.com/industries/retail/our-insights/state-of-fashion

Montagna, G. (2015). Multi-dimensional Consumers: Fashion and Human Factors. Procedia


Manufacturing, 3, 6550–6556.

Research and Markets. (2020, June 9). Global Fast Fashion Market Report (2020 to 2030) - covid-19
growth and change. GlobeNewswire News Room. Retrieved April 2, 2022, from
https://www.globenewswire.com/news-release/2020/06/09/2045523/0/en/Global-Fast-Fashion-Market
-Report-2020-to-2030-COVID-19-Growth-and-Change.html

21
Sinaga, Deddy. (2018). “Anak Zaman Now dan Melejitnya Industri Kreatif.”
https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20180103112415-445-266334/anak-zaman-now-dan-melejitny
a-industri-kreatif. Diakses pada 1 April 2022 pukul 17.21

Zhang, X., & Wang, X. (2021). Measures of human capital and the mechanics of economic growth. China
Economic Review, 68, 101641.

22
LAMPIRAN

23
TRANSKRIP

Karen: Halo, oke jadi thank you udah mau dateng di interview kita yang pertama kita mau tanya tentang
profil dulu. Mungkin jenis pekerjaan dan jenis jabatan apa ya.

Kak Cynthia: Saya Cynthia, pekerjaan dan jabatan di PT. Elizabeth Hanjaya ini sebagai fashion designer
dari tahun 2019 akhir.

Karen: oh okeoke, jadi dari 2019 akhir ya. Kalo untuk timnya boleh tau gak kak seberapa besar tim yang
sekarang ditempatin.

Kak Cynthia: Divisi saya sendiri itu divisi samples sekitar 9 orang sampai 12 orang tergantung kebutuhan,
jadi misalnya waktu high peak, lebaran dan sebagainya kita bisa nambah orang.

Karen: terus kalo untuk total karyawan di Elizabeth ada berapa orang.
Kak Cyntia: Kalo di pabrik kurang lebih ada 900 orang lebih yang di bandung.

Karen: Kalo untuk bidangnya berarti masuk industri fashion ya?

Kak Cynthia: iya, betul.

Karen: Jadi untuk lebih spesifiknya jadi tas sama baju atau ada yang lain?

Kak Cynthia: Kita ada baju tas sama sepatu, itu 3 yang paling besar tapi kira juga ada aksesoris kayak
kacamata, hijab dan penunjangnya juga ada.

Karen: Kalo untuk deskripsi pekerjaannya, dan kesehariannya ngapain kira kira apa aja?

Kak Cynthia: Kalo sehari-hari kita berarti sample making ya jadi misalnya yang paling pertama itu pasti
setiap musim itu ada forecasting, setiap 3-6 bulan pasti ada forecasting untuk mengetahui trend apa
yang terjadi, trend warna, baju, bahan dan lain-lain. Tapi untuk sehari-hari kita bikin samples aja, jadi
tiap 2-3 minggu sekali kita ada 1 kegiatan untuk voting koleksi selanjutnya. Tapi ini khusus untuk baju aja
ya, kalo tas beda divisi.

Karen: berarti untuk baju forecasting sama liat tren, juga bikin sample ya.

Kak Cynthia: iya, kita ada bikin samples, kain, revisi.

Karen: Oke i see, kalo untuk tentang proses penciptaan nilai di perusahaan itu ada apa aja ya?

24
Kak Cynthia: Jadi kalo penciptaan nilai itu, kalo baju itu kita gandeng influencer, jadi kalo ada event
fashion show sebelum lebaran dan lain sebagainya, kemarin waktu 2021 kemarin kita ada gandeng
beberapa influencer untuk fashion show, kita ada fashion show internal gaada crowd nya karena kita
menuruti prokes. Fashion show nya digital, kita gandeng beberapa EO dan influencer di bandung untuk
menaikkan valuenya, 1 kita bisa custom untuk denim motif batik, dan itu 1 seri, jadi tas baju dan sepatu
1 seri. Kalo untuk tahun ini kemarin baru aja kita baru collab sama ivan gunawan jadi untuk tas aja,
karena baju nya dari Ivan gunawan, dan tasnya dari Elizabeth.

Karen: kalo untuk pernah yang berlangsung, kira kira ada ga effect dari collab ini yang mendampak ke
sales, brand awareness?

Kak Cynthia: oh ada, jadi kalo dampak ke sales dan brand awareness pasti ada. Karena kita juga publish di
instagram dan kita iklanin ke radio dan youtube untuk announcement “tanggal segini ada event ini” dan
segala macam jadi brand awareness pasti naik. Tapi kalo sales karena kita baru terhempas sama
pandemi, sales nya ga terlalu naik. Tapi tahun ini mulai naik lagi, mungkin karena tahun tahun kemarin
kita naikin brand awareness baru kerasa nya sekarang

Karen: ohh okei, kalo untuk Rnd nya produk, kira kira durasinya berapa lama?

Kak Cynthia: Kalo sampling sendiri durasinya per hari itu hasil jadi sekitar 5-12 baju, tapi karena ada revisi
dan sebagainya, kita sebulan bisa dapet 60-80 pcs aja buat bajunya.

Karen: itu untuk model bajunya yang sama atau berbeda?

Kak Cynthia: Berbeda

Karen: kalo untuk proses RnD nya perlu berapa lama?

Kak Cynthia: Kalo RnD dari awal kita sourcing kain itu sekitar 1 minggu untuk sourcing kain baru, jadi kita
harus berhubungan sama supplier ini kita tanya kalian bisa ga supply kuantitas sebanyak ini. Karena kalo
kita produksi itu sekali produksi 240 pcs, paling sedikit 180 pcs. Jadi misalnya kalau kita memilih kain
yang ada di toko disini kadang mereka yang ga sanggup sama kuantitas kita. Jadi itu yang itu bikin lama.
Kedua, setelah kita survei si kain ini kita akan beli ini ada proses namanya QC, jadi kain ini ga boleh cacat
diatas 5%, kalo di atas itu, kita bakal balikin. Ini juga kadang ada kendala disitu, jadi sekitar kurang lebih
1-1.5 bulan, untuk 60-80 pcs jadi baju ini baru bisa dipasarkan.

Karen: kalo untuk tau nya 5% itu dari berapa meter kerusakannya atau ada penilaian lain?

Kak Cynthia: iya, jadi kita misal, kain ini 1 roll nya 50 meter, kalo dia rusak lebih 5% dari 50 meter,
misalnya ada cacat, tapi cacatnya cuman kecil dan berjarak, itu kita toleransi, tapi kalo misalnya
memanjang, itu kita balikin

25
William: Oke mungkin aku lanjut lagi ya ci, mungkin boleh diceritain proses pembuatan dari supplier
mungkin sampe sales, rantainya seperti apa.

Kak Cynthia: Oke, kalo dari divisi saya sendiri itu sebenarnya, kita udah punya supplier khusus, keperluan
benang, kancing, karet, sparepart mesin, kita punya supplier sendiri, jadi itu sudah pasti dari mereka,
karena kita ga bisa bikin. Kalo kain itu kita beli, kadang beli custom, kadang beli jadi dan lebih banyak kita
beli 1 kotak karena itu lebih gampang kal misalnya ada rusak atau rusak dlll. Terus kalo untuk produksi
85% internal, 15% outsource, karena kita ga sanggup. Bukan ga sanggup sih, tapi ada beberapa baju
kadang terlalu mahal kalo kita kerjain sendiri. Dari sample turun ke produksi, kita beli kain, kita potong,
kita produksi, kita QC lagi, baru masuk ke gudang, masuk ke cabang kita, kalo ga salah ada 60 cabang
toko yang bisa jual pake baju.

William: terus kira-kira boleh diceritain ga pesaing dari PT. Elizabeth paling deketnya, yang maksudnya
yang paling terasa dan dekat dengan perusahan cici, disebutin siapa dan kenapa.

Kak Cynthia: paling dekat itu yang nyata ada Toko Real nya itu This is April, kita kan sama sama ready to
wear, kita versatile ya bisa dipakai kerja atau main. Nah this is april juga saingan kita paling berat, karena
harga nya dia ga terlalu mahal, dan untuk remaja sangat masuk ya. Karena kita buka kan toko sendiri,
kalo This is April ini, kebanyakan di mall, jadi lumayan terasa. Yang kedua adalah My Outfit, jadi dia jual
baju-baju casual untuk workwear, dan harganya lumayan miring di bandung. Yang ketiga itu adalah
online shop, bukan online shop yang bermerek ya di Shopee dan Tokopedia, dia kadang harga nya sangat
menggiurkan. Karena price point kita, bukannya mahal, cuman emang banyak yang lebih murah di toko
online ini. Buat yang Myoutfit, di bandung, dia jualan baju modis dan baju muslim gamis dengan harga
miring banget.

William: oke oke, mau tanya lagi juga ni ci, boleh ceritain ga bagaimana proses kreativitas di dalam
perusahaan cici sendiri bagaimana, karena setiap perusahaan memiliki proses kreativitas yang
berbeda-beda, mungkin ini lebih ke arah culture nya gitu.

Kak Cynthia: Kalo culture, kita suka adapt culture Indonesia, jadi baju baju kita masih adopting batik, di
prints, misalnya kita di baju ada section batik, kita tas sendiri ada batik, emang motif motif batik
macem-macem, tapi kalo untuk tas ga mungkin kan kita pasang pasang kain batik, jadi solusinya kita
laser tasnya sehingga menghasilkan motif batik, atau kita bordir.

William: berarti inspirasinya lebih ke batik batik gitu ya?

Kak Cynthia: jadi kalo batik sendiri itu sendiri seasonal ya, jadi beberapa bulan kita ada keluarin special
edition untuk batik, tapi biasanya style itu ikut trend, misalnya season ini kita ada trend lebih ke korean
style, tapi ga sepenuhnya, kita tetap harus nyocokin sama target market kita.

William: oh iya iya, kan PT. Elizabeth ini udah punya 90 cabang, yang jual baju 60 cabang, terus ini PT.
Elizabeth ini pernah mengekspor produk produk keluar ga ci.

26
Kak Cynthia: kalo untuk ekspor, selama saya kerja disini, ekspor belum pernah, gatau ya mungkin
sebelumnya pernah, cuman seperti nya sih belum pernah ya.

William: kalau boleh tau alasannya apa ya atau memang fokus target market Indonesia aja.

Kak Cynthia: iya, fokus market kita Indonesia, kalo misalnya Ekspor berarti memasuki pasar baru, ada
keinginan untuk ekspor, cuman kita ga tau mau mulai kapan dan mulai dari mana.

William: Oke, mungkin boleh lanjut lagi.

Edgar: oke mungkin untuk selanjutnya, kira-kira resiko apa saja yang dihadapi oleh Elizabeth dalam
menjalankan bisnis di industri ini

Kak Cynthia: Resiko yang saya hadapi, pasti ada ditarget market kita pasti ada orang orang yang tercakup,
jadi waktu kita keluarin 1 model/koleksi, pasti mereka bilang “kenapa koleksi/model nya seperti ini?”
tidak sesuai sama yang bayangin, kalo misalnya kita buat barang itu ga semua orang itu bisa menilai. kalo
dari segi trend, kadang kita ikut trend, karena kita trend nya terlalu awal jadi di Indonesia belom
booming, jadi barang ini kurang laku. Tapi ini bisa diatasin, kalo misalnya barang ini udah masuk
trendnya, itu akan laku dengan sendiri nya. Kayak tahun ini, di toko-toko kayak fast fashion kayak H&M,
Zara, dsb yang notabene fast fashion banget, mereka mengeluarkan suatu warna ini yang susah keluar,
itu bener bener yang warna yang bikin kaget, karena kita beli di 2018, itu belum laku, tapi dijual sekarang
laku, ini salah satu resiko, kalo kita ikut trend banget, akan ada resiko akan menjadi barang ga laku,
akhirnya didiskon, tapi tiba tiba ada waktu barang ini laku dan habis, kadang agak susah ngikutin trend
pasar indonesia yang beragam ini.

Edgar: hmm, kalo boleh tau barang yang ga laku ini biasanya diapain ya ci?

Kak Cynthia: Kita jual tetep, karena kita cycle nya sekitar 3 tahun, setelah barang ini ga laku atau ga
bergerak sama sekali, misalnya 2 minggu ternyata gaada sales sama sekali, itu kita mulai tandain “oh
barang ini kurang jalan, barang itu kurang jalan” tapi kalo misalnya dia bener bener ga laku, misalnya kita
buat awal 200 , ternyata diakhir tahun cuman kejual 20 pcs, jadi kita masih ada solusi, yang pertama
adalah kita akan potong harga nya sedikit, yang kedua kita masukin ke toko yang barang barangnya
khusus untuk kurang laku. Dan jual nya ga harga full, harga nya miring

Edgar: lalu kalo ngomongin tentang trend ci, kayak misalnya Chinese new year sama christmas, itu
Elizabeth ngikutin.

Kak Cynthia: kita sempet pernah ikutin sebelum pandemi, itu kita sempet bikin chinese new year trend,
tapi ga sampe mendetail, cuman bikin nya kaos yang gambar nya chinese zodiac gitu, kayak ayam,
monkey gitu, tapi untuk christmas kita hanya ikut trend warnanya aja jadi dari desember ke februari itu

27
warna merah itu untuk ikut trend karena valentine sama chinese new year kan dan deket, jadi kita
sekaliaan.

Edgar: untuk pertanyaan selanjutnya, apakah cici mengerti bahwa PT Elizabeth ini sub sektor industri
kreatif?

Kak Cynthia: kalo subsektor itu pasti fashion, dan dia mencakup tas sepatu baju, aksesoris yang
mendukung, jadi pasti kita masuk ke industri fashion,

Edgar: untuk pertanyaan selanjutnya lagi, entrepreneurial capital yang dibutuhkan dari social nya,
humannya untuk memulai bisnis sub sektor fashion.

Kak Cynthia: kalo dari entrepreneur point, saya kan bekerja kebetulan dengan salah satu cucu owner
langsung dari perusahaan ini. Jadi kalo saya liat atasannya dia sekolah fashion dan bisnis, waktu dia
sekolah di US dia ambil fashion dan bisnis.waktu balik kesini 6 bulan sebelum saya kerja disini dia juga
baru masuk ke pabrik, dan memang sekarang adapt dengan trend Indonesia. Awal nya memang agak
susah beradaptasi karena kan kita mindset nya agak beda, dia ingin menerapkan trend yang berlaku di
luar untuk Elizabeth, sekarang bisa adapt lebih baik, jadi kalo diliat kemampuan yang harus dimiliki itu
adalah adaptability atau adaptasi dan yang kedua itu knowledge, pengetahuannya terhadap trend pasar
itu pasti penting dan yang ketiga ada koneksi, karena beliau juga pegang bagian tas dan sepatu, koneksi
dengan supplier, koneksi dengan pekerja kita, pengrajin sepatu kita itu penting.
Edgar: kalo boleh tau dia di sekolah fashion apa?

Kak Cynthia: waduh, kalo untuk sekolah saya kurang tau.

Edgar: di bagian adaptability, berarti sempet ya mengeluarkan style yang berbau luar negeri?

Kak Cynthia: iya, dan sempat kita tarik lagi untuk diperbaiki, tapi ga banyak memang, misalnya kita
keluarin baju asimetri yang bener bener miring, memang kalo diliat itu bagus, cuman kalo orang
Indonesia yang liat itu mereka ngomong “kenapa baju nya ga simetris, kenapa baju nya 1 bagiannya
pendek” karena itu dulu pernah ngetrend dan pernah banyak yang pake, tapi kurang masuk di Indonesia,
jadi kita tarik, benerin dan kita potong biar jadi simetris.

Edgar: Oke berarti kita lanjut lagi ke pertanyaan berikutnya, gimana pandangan cici mengenai masa
depan industri fashion dan apa saja yang menjadi peluang atau tantangan kedepannya di industri ini?

Kak Cynthia: Kalau untuk industri fashion ini sebenernya kita masih sangat luas, yang berbagai area itu
belum kita jangkau, misal ni maternity clothing atau baju ibu hamil, baju anak, baju pesta, itu sebenernya
masih sangat luas termasuk sepatu-sepatu pesta, yang bling bling dan lain sebagainya karena saat ini
memang fokus kita itu ke target market ya, jadi ke customer kita yang berulang ini kita udah tahu pattern
mereka ini cari apa, suka apa, warnanya, dan lain sebagainya itu kita sudah bisa mempelajari buyer
pattern mereka itu kayak apa. Tapi kalau untuk peluang pasti masih ada, misal price point kita itu untuk

28
saat ini harga mulai dari 150k sampai 350k yang paling mahal, itu menjangkau sebagian besar
masyarakat Indonesia ya, jadi kelasnya masih kelas menengah dan itu saja sebenarnya masih bisa kita
kembangkan dari segi price point, segi tipe yang kita produksi itu sebenarnya kita masih bisa tambah.
Misal untuk gamis, itu kan pasti ada tingkatnya, yang ready to wear, atau yang fancy, yang untuk party itu
sebenarnya masih ada tingkatannya, dan itu masuk ke peluang ya, jadi masih ada market yang masih bisa
kita jangkau. Tapi untuk tantangannya sendiri pasti kalau dari customer yang sudah berulang ini pasti
mereka akan kaget kalau tiba-tiba kita kasih baju dengan price point 3x lipat atau 4x lipat dari yang biasa
mereka beli pasti mereka akan shock, karena sudah pernah kita coba dan itu di event fashion show kita,
kita bikin baju di harga 1 juta sampai 2 juta. Dan ternyata memang susah untuk terjual, karena customer
kita ini sudah biasa di price point yang nyaman.

Edgar: Oke, tadi itu berarti ada di tingkat ready to wear, party, sama ada apa lagi ya cik?

Kak Cynthia: itu ready to wear, semi formal, sama party wear.

Edgar: Itu bedanya di mana ya cik kalau boleh tahu? Simplenya aja sih

Kak Cynthia: Jadi ready to wear itu yang bisa dipake sehari hari, misalnya dipake ke kantor, bisa dipake
main, kalau semiformal itu bisa dipake untuk acara yang semiformal, misal kayak engagement, tapi
sebagai tamu ya, misal tamu wedding, atau event-event kayak birthday party yang lumayan fancy yang
memang mengharuskan dia untuk dressed well. Sebenarnya kita ada ready to wear yang bisa dipakai
untuk ke event tertentu tapi ga semuanya, kalau untuk yang party itu memang buat event dia yang pakai,
untuk misal acara tunangan dia sendiri atau ulang tahun dia sendiri itu party.

Edgar: Oke, kalau gitu terima kasih ci untuk jawabannya, lanjut ke rekan saya.

Giovanny: Tadi kan cici sudah bilang tentang peluang dan tantangan kedepannya di industri fashion ini,
kira-kira Elizabeth ada rencana ga ke depannya untuk menghadapi masa depan industri fashion?

Kak Cynthia: Kalau rencana pasti ada ya karena kita sudah pernah trial and error untuk masuk ke pasar
yang lebih tinggi, cuman memang harus mungkin lebih banyak trial dan error lagi karena emang ga
gampang untuk berpindah pasar itu ga mudah, jadi kalau dari saya sendiri lihat ada peluang untuk masuk
ke pasar yang lebih tinggi karena kita udah mulai untuk sourcing kain itu kita mulai import, jadi kalau di
Indo kita gabisa dapet kain-kain yang kita import saat ini, dan untuk price point memang gabisa dinaikin
langsung jeglek 3x lipat itu gabakal laku, kalau price point kita hanya bisa naik sedikit-sedikit, jadi
bertahap, misal tiap tahun kita naik 10% atau 20% itu masih bisa, tapi kalau misal tiba-tiba kita ubah
pasar 180 derajat itu gaakan berhasil.

Giovanny: Ohh, untuk pasar yang lebih tinggi itu maksudnya yang lebih luas?

29
Kak Cynthia: Oh sorry salah, bukan pasar yang lebih tinggi ya, tapi untuk konsumen yang pasarnya
menengah ke atas, jadi price point kita kan sekarang 150-300k, yang pernah kita coba jual itu 3x price
point kita sekarang dan itu memang susah

Giovanny: Tapi untuk kategori produknya itu rencana kedepannya ada yang mau dilaunch ga? Atau kayak
dikembangkan?

Kak Cynthia: Sebenernya ada, tapi karena belum launching jadi saya belum bisa bilang.

Giovanny: Ohh, tapi ada rencana untuk launch produk baru ya?

Kak Cynthia: Ada, kalau produk baru pasti ada. Jadi ada special collection untuk lebaran, kita udah mulai
advertising tapi belum mulai dibuka karena kita belum masuk ke bulan puasa ya saat ini, jadi belum
kelihatan. Tapi kalau produk, misal ada event nih event lebaran, karena customer kita sebagian besar
muslim, jadi saat ini kita ada satu special edition untuk menyambut lebaran dan memang sedikit lebih
mahal dari harga kita biasanya.

Giovanny: Terus pertanyaan selanjutnya, gimana sih Elizabeth ini bertahan dan berinovasi selama masa
pandemi ini?

Kak Cynthia: Sebenernya kita juga cukup terpukul ya sama pandemi terutama di awal, tapi kalau untuk
inovasi tahun 2020 itu kita mulai gencar untuk jualan online, online shopping, jadi website kita itu kita
perbaiki, kita rombak agar konsumen kita itu lebih nyaman buat buka website, dan ternyata berhasil
karena sebelumnya misal kita lihat konsumen ini buka website cuma buka, skip 1 halaman 2 halaman
tutup lagi, tapi sekarang mereka itu bisa bolak balik halaman itu berkali-kali dan lama mereka tinggal di
web kita itu juga lebih lama juga, jadi itu dari segi e-commerce kita meningkat, kita juga buka di online
shop dan marketplace tertentu yang ternyata lumayan jalan karena itu sebenernya membantu sales,
kadang orang itu tidak punya waktu ke toko, atau kalau ke toko pun kadang keburu-buru atau gimana
atau kalau orang sedang puasa kan mereka gamau ya beraktivitas berat, jadi mereka akan lari ke online
shop, atau website kita, atau marketplace yang lain, gitu.

Giovanny: Menurut cici, dampak apa saja yang terjadi karena industri covid ke perusahaan maupun ke
industri fashion? Perusahaan mungkin tadi sudah dijawab ya, industri fashion?

Kak Cynthia: Kalau industri fashion langsung keliatan ya, jadi yang pertama dampak itu semua pembelian
pasti turun, daya beli turun, pembelian turun terutama baju-baju yang buat kerja, buat main itu pasti
turun karena kita sempet shutdown selama 3 bulan, jadi 1 bulan semua pabrik dan semua cabang kita
tutup totol karena kita ngikutin peraturan pemerintah yang waktu itu kita semua harus tutup, dan kita
wfh selama 3 bulan itu bener-bener dari rumah, dan karena dari rumah jadi kita gaada produksi sama
sekali, ini sebenernya bener-bener berdamage ya jadi ke tingkat produktivitas kita itu langsung turun
setelah pandemi, karena setelah wfh 3 bulan kita masuk itu gabisa langsung full, jadi 25%, baru naik ke
50% itu selama tahun 2020, 2021 itu kita baru mulai masuk full, jadi pasti langsung pasti langsung kerasa

30
ke penghasilan, pendapatan tahunan kita langsung kerasa, ke sales kita langsung kerasa karena
bener-bener gaada sales selama 1 bulan, dan waktu di awal pandemi itu padahal kita kan udah forecast
ya oh tahun ini trennya gini, ternyata semua itu langsung shift ke tren baju tidur, pasti inget kan waktu
baju tidur dipake jalan-jalan, baju tidur dipake buat tiktokan, videoan, dan lain sebagainya. Itu kita kaget
karena kita tadinya ga baju tidur, tiba-tiba itu ngetren, jadi kita bener-bener kejar-kejaran sama waktu
buat dapet tren ini, dapet di time framenya, gitu.

Giovanny: Terus selanjutnya, sekarang kan perkembangan teknologi lagi gencar-gencaranya nih kayak
misalnya blockchain, metaverse, dan lain-lain, kira-kira menurut cici adalah pengaruh ke industri fashion?

Kak Cynthia: Sebenernya kalau blockchain, metaverse itu termasuk kayak NFT gitu ya? Kayak opensea
market? Itu sebenernya kalau ke industri fashion kita ga terlalu kerasa, karena jenisnya kayak crypto ya
jadi lebih ke sektor ekonomi, kalau industri fashion kita belum terlalu kerasa untuk blockchain dan
metaverse, sementara ini kita baru adaptnya kayak ke social media yang lebih advance, jadi misal kayak
sempat terjadi itu kalau so far ya saya belum lihat any fashion brand yang besar itu masuk ke blockchain
atau metaverse, kalau ga salah. Cuman mereka memang sudah mulai masuk ke fashion show yang pakai
VR, fashion show pake VR itu sudah terjadi. Itu masuk ke metaverse ga?

Karen: Iya, kayak kalau ga salah Nike sempet buka store di metaverse juga ya?

Kak Cynthia: Jadi memang yang brand besar yang sudah global gitu mereka bisa bikin metaverse, tapi
kalau untuk kita sendiri kayaknya belum bisa, karena customer kita sendiri itu ga equip untuk masuk ke
metaverse itu.

William: Aku mau nanya lagi ci ini yang terakhir, pengen nanya aja sih gimana caranya cici di
perusahaannya cici itu ngedevelop suatu produk, itu dari awal sampe akhirnya itu boleh dikasitau ga
stepnya kayak gimana? Mungkin dari awalnya kita lihat trend dulu, terus bikinnya gimana, terus rnd, jadi
kayak proses untuk membuat suatu karya itu tu yaitu baju ataupun produk–produk yang di
perusahaannya cici gimana membuat produk mulai dari kasarnya sampai jadi barangnya bisa diceritain
ga sistematisnya?

Kak Cynthia: Jadi yang pertama bikin itu drawingsnya, jadi kita mau bikin baju apa, misalnya kayak waktu
itu trennya baju tidur itu kita sama sekali belum pernah bikin dan belum pernah jual, itu kita trial and
error dulu, yang pertama kita beli kainnya, kain sample, terus kita buat pola dulu, abis bikin pola kan
pasti kita bikin sample, abis jadi baju kita cobain ke badan kita sendiri, jadi kita cobain ke beberapa tipe
badan, bener-bener kita cobain biar enak, terus abis itu kita ada research development lagi, misal
bahunya gaenak, kenapa bagian lengan gaenak, kenapa bagian celana gaenak, itu kita ubah lagi sampe
semuanya nyaman dipake dan bagus dilihat. Setelah itu kita baru bisa beli kain in bulk, jadi kain itu dalam
bentuk roll kita beli sesuai jumlah yang kita mau, jadi bagian saya termasuk menghitung kebutuhan kain
yang kita perlu, jenisnya, harganya, dan pasti ada risiko 5% cacat ini, jadi kalau beli kain pasti dilebihin
5%. Habis itu, kita bikin barcode atau SKU, barcode ini buat kita kasih harga, kasih tanggal, kasih warna,
kasih size itu semua ada disitu, baru kita turun untuk produksi. Produksi ini kita internal, 85% kita

31
internal, jadi di salah satu gedung di pabrik kita itu ada satu bagian khusus jahit baju yang isinya 80-90
orang buat jahit baju, ada 1 divisi lagi divisi cutting, jadi dia memang khusus untuk cutting. Dia cutting
dulu, habis itu kirim ke divisi produksi untuk dijahit, dikancing, dan disetrika sampai packing selesai itu
semua di gedung itu. Setelah itu dia masuk ke gudang kita, habis itu akan ada sales retail operations kita
yang akan bagi si baju ini mau kemana, jadi cabang A dapet berapa, cabang B dapet berapa, dia yang
akan bagi. Habis itu masuk gudang logistik untuk dipilah dan dikirim ke toko yang kita sudah alokasiin,
gitu.

William: Jadi disini itu kan cici tadi bilang drawing terus disample dulu pola baru itu, jadi waktu produksi
ini sebelum produksi massal itu apakah ditestimoni dulu terhadap orang-orang terpercaya tapi diluar
daripada perusahaan?

Kak Cynthia: Oh engga, kita punya tim internal buat itu, jadi salah satunya manager kita, terus atasan
saya, terus kepala sales retail operations saya terus anggotanya 1, terus bagian produksi sama bagian
material kita itu akan voting bersama-sama sama bagian outsourcing akan meeting bareng-bareng terus
misal saya bikin 1 model, ternyata dari 7 orang ini yang ga setuju ada 5, berarti barang itu gaakan masuk
ke market kita, jadi kita akan cancel. Tapi kalau dari 7 orang ini yang setuju 4, kita akan tetep bikin
dengan mempertimbangkan kenapa kamu gasuka, kita bisa perbaiki, gitu.

William: Jadi pembahasannya itu antara cocok gacocok atau suka ga sukanya itu berarti internal saja ya?
Jadi gaada menurut luar bagus atau engga ya? Itu kalau boleh tahu kenapa tuh ci? Kenapa ga
menggunakan metode itu kenapa lebih ke internal saja?

Kak Cynthia: Karena sebenarnya kalau kita testimoniin ke orang, kita udah ada cukup data dan kita bisa
lihat dari data ini itu sebenarnya kayak apa sih yang customer mau, divisi saya itu dapet laporan tiap
bulan jadi memang ada satu bagian sendiri yang dia akan analisa sales setiap bulannya untuk dilihat baju
apa aja yang best seller, baju apa aja yang terjual dengan pesat, dengan cepat, gitu.

William: Berarti dari awal sudah punya data ya, jadi ga ditestimoni tapi langsung dibuat secara massal
terus diproduksi, terus baru mulai dilihat ya penjualannya dari bulan ini terus baru direkap rekap lagi ya
cik

Kak Cynthia: Iya, emang di awal kita ada stumbling, jadi stumbling itu dalam arti karena dulu market kita
sebelum pandemi ini besar, dan penjualannya tiap bulan tinggi, dan kita masih ambil barang dari luar,
jadi kita bingung, sebenarnya customer kita ini age berapa, tapi setelah kita clear, si barang yang tadinya
banyak banget ini kita sedikit-sedikit sortir, jadi mulai kelihatan sekarang pattern konsumen kita itu
gimana, mereka suka barang apa, mereka suka warna apa itu sudah mulai keliatan.

Berarti itu data long term ya? Itu berguna banget ya buat ke depannya bakal bikin apa ya?

32
Kak Cynthia: Iya, jadi kita bakal terus ambil data dari situ, jadi misal ada 1 model atasan nih, model ini
ternyata laku banget, kita akan coba repeat 1 kali, kalau model ini masih habis berarti ini akan jadi satu
koleksi kita yang basic, basic collection, jadi pasti di toko kita akan ada baju itu.

William: Oke sip, mungkin dari aku itu aja sih, dari yang lain ada yang nanya lagi gak?

Karen: Dari aku aman sih

William: Oke mungkin aku balikin ke Viona Karen lagi ya

Karen: Oke mungkin sudah ya, sudah cukup banyak sih infonya thank you banget ya cik sudah luangin
waktu buat interview sama kita.

33

Anda mungkin juga menyukai