Anda di halaman 1dari 2

GAYA BAHASA DALAM PUISI BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO

KARYA WS. RENDRA

Alga maulana

Puisi tersebut mengisahkan tentang pelaku perampokan yang dilakukan oleh Atmo Karpo. Ia (Atmo Karpo)
sedang diburu oleh warga pada malam hari dibawah sinar bulan, dengan menunggangi seekor kuda dan sebilah
pedang ditangan ia berlari masuk hutan. Hutan di kepung oleh warga, Atmo Karpo terpojok. Ia menyalahi bulan atas
nasibnya, karna bulan bersinar terlalu terang malam itu. Terjadilah tragedi pertumpahan darah dan satu persatu para
pengejar tersebut mulai tumbang ditangan Atmo Karpo. Dengan sombongnya ia berkata bahwa mereka bukanlah
tandingannya, tombak-tombak yang mereka gunakan tak berpengaruh padanya. Lawan yang dicari Atmo Karpo
adalah seseorang yang bernama Joko Pandan yang tak lain adalah anaknya sendiri, karena ia merasa memiliki beban
dosa pada anaknya dan anaknya lah yang bisa menghapus dosa-dosa tersebut. Dengan tubuh penuh luka akibat anak
panah, Atmo Karpo tetap tegak berdiri. Tak lama Joko Pandan datang dengan kuda hitamnya, merekapun bertarung.
Mereka berdua sama kuatnya, namun diakhir pertarungan Atmo Karpo rubuh lalu mati. Warga bersorak sorai,
mereka bergembira atas kematian Atmo Karpo. Joko Pandan berdiri tegak, menjilat sisa darah pada pedangnya, ia
telah membunuh bapanya.

Gaya bahasa yang terdapat pada puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS. Rendra ini, ada pada
bait pertama larik ke-1 dan ke-2, ‘Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi / Bulan berkhianat gosok-
gosokan tubuhnya di pucuk-pucuk para’. Hal tersebut merupakan kiasan yang melekat sifat-sifat insani pada barang
atau benda yang tidak bernyawa ataupun ide abstrak yang berupa personifikasi.

Penyebutan kelompok atau keseluruhan situasi terdapat pada bait kedua larik ke-1, yang berupa majas
sinekdok (totum pro parte), ‘Segenap warga desa mengepung hutan itu’. Berarti ada banyak orang atau warga yang
mengepung hutan tempat Atmo Karpo berada. Tetapi, pada larik ke-3 nya terdapat kata ‘bulan betina’, yang seolah-
olah seperti makhluk hidup, kiasan seperti ini disebut majas personifikasi.

Pada bait keempat larik ke-1 dan ke-2 terdapat kata kiasan seperti ‘Nyawamu barang pasar, / Tombakmu
pucuk daun’, kalimat tersebut menggunakan majas metafora atau gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara
implisit. Kalimat ‘Nyawamu barang pasar’ yang berarti nyawa orang-orang yang mengepung tidak bernilai atau
murah. Dan juga kalimat ‘Tombakmu pucuk daun’ yang berarti tombak-tombak yang dilayangkan oleh pengejar
tersebut tidak berguna atau tidak cukup untuk membunuh Atmo Karpo.

Majas metafora juga terdapat pada bait ketujuh larik ke-1 yakni, ‘Bedah perutnya tapi masih setan ia’.
Maksudnya, walaupun tubuh Atmo Karpo penuh luka dan perutnya penuh dengan sayat, tapi ia masih kuat melawan
seperti bukan manusia melainkan setan.

Ada pula majas klimaks atau gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin
meningkat penekanannya dari gagasan sebelumnya. Klimaks terdapat pada bait kesembilan larik ke-4 dan ke-5,
‘Pada langkah pertama keduanya sama baja. / Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo’. Kedua larik tersebut
memiliki kandungan arti yang meningkat. Artinya, pertarungan berlangsung seimbang, namun pada akhirnya Atmo
Karpo mati.

Kemudian pada bait kesepuluh larik ke-1 memiliki majas metafora atau gaya bahasa yang membandingkan
suatu hal dengan hal lain yang memiliki sifat yang sama atau hampir sama. Seperti pada kalimat ‘Malam bagai
kedok hutan bopeng oleh luka’. Yang berarti malam menjadi saksi atas tragedi berdarah di hutan itu. Kemudian pada
larik ke-2 nya terdapat majas personifikasi, yakni pada kata ‘Pesta bulan’. Maksud dari kata tersebut ialah malam
yang membahagiakan serupa pesta, orang-orang bersorak sorai merayakan terbununnya Atmo Karpo.

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan segala pikiran melalui bahasa-bahasa yang khas. Penyair
pastinya memiliki gaya bahasa yang berbeda-beda. Setiap sajak atau puisi pastinya mempunyai gaya bahasa ataupun
kiasan-kiasan untuk memperindah karya sastra yang dibuat. Puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo karya WS.
Rendra ini juga memiliki beberapa gaya bahasa seperti yang sudah dijelaskan diatas. Sebab, gaya bahasa identik
dengan gaya khas seorang penyair itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai