Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

HEAD INJURY

DISUSUN

OLEH:

MIRA MIRANDA
NIM: 17010050

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HEAD INJURY
1. Pengertian
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan,
serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2019).
Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada
kepala yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yang
kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2015).
Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury
Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2019).  
2. Etiologi
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2016),
yaitu :
a.       Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil
b.      Jatuh
c.       Kecelakaan saat olahraga
d.      Anak dengan ketergantungan
e.       Cedera akibat kekerasan
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2015), etiologi dari trauma
kepala terdiri dari :
a.       Benda tajam
b.      Benda tumpul
c.       Peluru
d.      Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2016), etiologi dari cedera kepala
yaitu  :
a.       Olah raga
b.      Jatuh
c.       Kecelakaan kenderaan bermotor.
3. Patofisiologi
Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung
terhadap jaringan otak, tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang
membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari gerakan otak itu sendiri dalam
rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya membentur suatu
objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang
berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian
dalam tengorak tepat di bawah titik bentur kemudian berbalik arah membentur
sisi yang berlawanan dengan titik bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat
terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi sebaliknya (contra coup).

Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan


jaringan otak tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan
terhadap jaringan otak dan pembuluh darah.

Respon awal otak yang mengalami cedra adalah ”swelling”. Memar pada
otak  menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah
tersebut, menyebabkan penumpukan darah dan menimbulkan penekanan
terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak terdapat ruang lebih dalam
tengkorak kepala maka ‘swelling’ dan daerah otak yang cedera akan
meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak.
Peningkatan kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai
berkembang setelah 24 jam hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan
perfusi otak merupakan tindakan  penyelamatan hidup.

Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level


normal CO2 adalah 35-40 mmHg. Peningkatan kadar
CO2 (HIPOVENTILASI) menyebabkan vasodilatasi dan bengkak otak,
sedangkan penurunan kadar CO2 (HIPERVENTILASI) menyebabkan
vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan bahwa
dengan menurunkan kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala
akan mengurangi bengkak otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akhir-
akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya memberikan peranan kecil
terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan aliran
darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral.
Otak yang mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.

Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan


mempertahankan ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali
permenit dan aliran oksigen yang memadai merupakan hal yang sangat
penting. Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala sudah tidak
direkomendasikan.

Akibat dari trauma/ cedera kepala akan mengakibatkan fragmentasi


jaringan dan kontusio atau akan mengakibatkan cedera jaringan otak  sehingga
menyebabkan sawar darah otak (SDO) rusak yang dapat menyebabkan
vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan
peningkatan TIK ( Tekanan Intra Kranial ), yang pada gilirannya akan
menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis ( penurunan
PH dan peningkatan  PCO2) dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut.
Siklus ini akan berlanjut hingga terjadi kematian sel dan edema.
5.      Manifestasi Klinis
Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala
adalah :
a.       Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih
b.      Kebingungan
c.       Iritabel (perubahan fungsi)
d.      Pucat
e.       Mual dan muntah
f.        Pusing kepala
g.       Terdapat hematoma
h.       Kecemasan
i.         Sukar untuk dibangunkan
j.        Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan
telinga (otorhoe ) bila fraktur tulang temporal.
Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu :
a.       Sistem pernafasan
1.      Chyne stokes
2.      Hiperventilasi
3.      Apnea
4.      Edema paru
b.      Sistem kardiovaskuler
1.      Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel
a.       Disritmia
b.      Fibrilasi
c.       Takikardia
2.      Terjadi kontraktilitas ventrikel
3.      Curah jantung menurun
4.      Meningkatkan tahanan ventrikel kiri
c.       Sistem metabolisme
1.      Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
2.      Stress fisiologis
d.      Sistem gastrointestinal (GI)
1.      Peningkatan asam lambung
2.      Perdarahan lambung
3.      Katekolamin meningkat
Menurut Smeltzer & Bare (2016), manifestasi klinis dari cedera kepala
adalah :
1.      Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
2.      Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat
dibawah konjungtiva
3.      Memar otak
4.      Battle diatas mastoid
5.      Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga
(ottorea) dan (rinorhoe) dari hidung
6.      Laserasi
7.      Kontusi otak
Sedangkan menurut Hoffman (2016), dalam Widyaningrum (2008),
manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :
1.      Tanda dan gejala fisik :
a.       Nyeri kepala
b.      Nausea
2.      Tanda dan gejala kognitif
a.       Gangguan memori
b.      Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3.      Tanda dan gejala emosional/kepribadian
a.       Kecemasan
b.      Iritabilitas
4.      Gambaran klinis secara umum :
a.       Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran
b.      Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
c.       Respon pupil mungkin lenyap
d.      Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan
tekanan intrakranial
e.       Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK
f.        Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
dapat timbul segera atau secara lambat
6.      Komplikasi
Menurut Engram, B (2018), komplikasi dari cedera kepala adalah :
a.      Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
b.      Perdarahan
c.      Kejang
d.     Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak
beresiko terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung
(rinorea) dan dari telinga (otorea)
e.      Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
7.      Pemeriksaan penunjang
a.     CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan
perubahan jaringan otak
b.     MRI (magnetig resonan imagin)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
c.       Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma .
d.      X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
e.       CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
f.        Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial (TIK)
g.      Scree toxicologi
Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran
h.       AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (Mufti, 2009).
Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada
cedera kepala yaitu terdiri dari :
a.      Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning)
b.      MRI (Magnetig Resonan Imagin)
c.       Sinar X
d.      BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
e.     PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan
metabolisme pada otak
f.        Fungsi lumbal, CSS
g.       GDA (gas darah arteri)
h.      Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif
untuk mengatasi kejang
8.      Penatalaksanaan
Menurut Abdale (2017), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat
diberikan :

a.       Dexamethason/kalmethason
Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.
b.      Therapy hiperventilasi
Untuk mengurangi vasodilatasi
c.       Pemberian analgetika
d.      Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%
e.       Antibiotika yang mengandung Barrier darah otak (penisilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole
f.        Pada pasien trauma ringan bila mual muntah tidak dapat diberikan apapun
kecuali hanya cairan infus dekstrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
g.       Pembedahan
h.       Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan,
dektosa 5% 8 jam pertama, ringer dekstrose 8 jam kedua dan dektrose 5%
8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya apabila kesadaran rendah, makanan
diberikan melalui nasogastrictube (2500-3000TKTP)
9.      Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar,
terutama pada pasien dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan
meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien
dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10
%.
Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera
kepala, sering kali bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer, A,
dkk, 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Basford, L & Slevin, O. (2016) Teori Dan Praktik Keperawatan Pendekatan    Integral
Pada Asuhan Pasien. Jakarta : EGC
Carpenito,  LJ. (2018). Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis. Edisi 6.
Jakarta : EGC
Chandra, B. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : EGC
Doenges, ME. (2019). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC
Effendy, N. (2018). Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2 Jakarta :
EGC
Engram, B. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Jakarta :
EGC
Gaffar, LOJ. (2019). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai