Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

SECTION CAESAREA

DISUSUN OLEH :

NAMA : Rahban Lohy


NPM : 1420118045
KELOMPOK : VII
RUANGAN : Mawar

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)

MALUKU HUSADA

KAIRATU

2021
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA BERAT (CKB)

A. Tinjauan Teoritis Khasus


1. Diagnosis Medis
a. Defenisi
Cedera kepala atau trauma kapitisadalah suatu gangguan
trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi
otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho,
2017).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury
baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi
dan Yuliani, 2017).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2019), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Berdasarkan defenisi cedera
kepala diatas maka penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma
benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan
pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa
pendarahan.
b. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala
meliputi trauma olehbenda/ serpihan tulang yang menembus
jaringan otak, efek dari kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan
efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak,
selain itu dapat disebabkan oleh Keceakaan, Jatuh, Trauma akibat
persalinan (NINDS,2018).yaitu:
a. Trauma Primer
b. Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselarasi dan deselerasi).
c. Trauma Sekunder
d. hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi
siskemik.
Menurut Nurarif & kusuma 2016, penyebab Trauma kepala yaitu:
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu
merobek otak, misalnya tertembak peluru / benda tajam.
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan.
c. Trauma akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh
pukulan maupun bukan dari pukulan.
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industry
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian
c. Manifestasi klinis
Secara umum gejala klinis yang muncul pada trauma kepala
adalah hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih,
kebingungan, iritabel, pucat mual dan muntah, pusing kepala,
terdapat hematoma, kecemasan, sukar untuk dibangunkan. Bila
fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
Gejala klinis trauma kepala adalah sebagai berikut:
1) Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara
berjalan tidak tegap, kehilangan tonus otot.
2) Perubahan tekanan darah (hipertensi) atau normal,
perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang
diselingi dengan bradikardia disritmia).
3) Perubahan tingkah laku atau kepribadian.
4) Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
5) Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk,
disfagia)
6) Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memori). Perubahan pupil, deviasi pada mata,
ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan
seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah
tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang,
sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan
sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi
tubuh.
7) Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
8) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
9) Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi,
abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari
telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi
tubuh.
10) Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara
berulang – ulang.
11) Merasa lema2h, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
12) Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi, dan impulsif.
13) Mual, muntah, mengalami perubahan selera makan.
14) Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan
dalam penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan
pengecapan dan penciuman.
15) Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
16) Trauma (laserasi, abrasi) baru
17) Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada
hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering
dengan membesarnya hematoma atau edema intestisium.
18) Respon pupil mungkin lenyap atau progresif memburuk.
19) Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada
berbicara dan gerakan motorik timbul dengan segera atau
se*cara lambat.
d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
 Foto polos kepala
Pemeriksaan ini untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya
perdarahan intracranial.
 CT-Scan kepala
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis
kepala, dan merupakan alat yang paling baik untuk mengetahui,
menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan intracranial.
 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Kepala Pemeriksaan ini untuk menemukan perdarahan subdural
kronik yang tidak tampak pada CT-Scan kepala.
 Angiografi
 Arteriografi
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya efek massa, letak, dan
luas hematoma tetapi tidak dapat menunjukkan penyebab hematoma
dan kelainan otak yang terjadi
 Analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah penting untuk menilai keadaan fungsi
paru-paru. Pemeriksaan dapat dilakukan melalui pengambilan darah
astrup dari arteri radialis, brakhialis, atau femoralis.
 Intra Cranial Pressure (ICP)
Sikap deserbrasi merupakan suatu keadaan yang terjadi saat suatu
lesi otak akibat peningkatan ICP menganggu sinyal dari struktur
yang lebih tinggi ke pons dan medulla oblongata dank e struktur di
bawahnya.
Sikap dekortikasi merupakan bentuk lain dari respon motorik
abnormal dengan cedera otak yang menunjukkan adanya lesi pada
korteks bagian atas dengan cedera yang lebih ringan pada satu atau
dua henister otak.
9 digunakan dalam penilaian kesadaran penderita dan reaksinya
terhadap rangsangan.
e. Komplikasi
1) Peningkatan TIK
Lebih dari separuh kematian karena trauma kepala disebabkan oleh
hipertensi intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
dihubungkan dengan penurunan tekanan perfusi dan aliran darah
serebral (CBF) dibawah tingkat kritis (60 mmHg) yang berakibat
kerusakan otak iskemik. Pengendalian TIK yang berhasil mampu
meningkatkan outcome yang signifikan. Telah dikembangkan
pemantauan TIK tapi belum ditemukan metode yang lebih akurat dan
non invasive. Pemantauan TIK yang berkesinambungan bisa
menunjukkan indikasi yang tepat untuk mulai terapi dan
mengefektifkan terapi, serta menentukan prognosis.
2) Iskemia
Iskemia adalah simtoma berkurangnya aliran darah yang dapat
menyebabkan perubahan fungsional pada sel normal. Otak
merupakan jaringan yang paling peka terhadap iskemia hingga
episode iskemik yang sangat singkat pada neuron akan menginduksi
serangkaian lintasan metabolisme yang berakhir dengan apoptosis.
Iskemia otak diklasifikasikan menjadi dua subtipe yaitu iskemia
global dan fokal. Pada iskemia global, setidaknya dua, atau empat
pembuluh cervical mengalami gangguan sirkulasi darah yang segera
pulih beberapa saat kemudian. Pada iskemia fokal, sirkulasi darah
pada pembuluh nadi otak tengah umumnya terhambat oleh gumpalan
trombus sehingga memungkinkan terjadi reperfusi. Simtoma
terhambatnya sirkulasi darah oleh gumpalan trombus disebut
vascular occlusion.
a. Perdarahan otak
1) Epidural hematom
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan
duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri
meningeal media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini
tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat
terjadi dalam beberapa jam sampai 1 – 2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu dilobus temporalis dan parietalis.
Tanda dan gejala: penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala,
muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan
cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi, peningkatan
suhu.
2) Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2
hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri,
berfikir lambat, kejang dan edema pupil.
3) Perdarahan intraserebral
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah
arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegi kontralateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-
tanda vital.
4) Perdarahan subarachnoid:
Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera
kepala yang hebat.
Tanda dan gejala: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese,
dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kuduk. (Smeltzer, 2017; Tucker,
2019)
b. Kejang pasca trauma.
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %,
terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat
9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma
penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi
kranium, kontusio serebri, GCS <10.
c. Hidrosefalus
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan
dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi
pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan
terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala
klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil
udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.
f. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium
awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi
labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-
obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain
dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik,
buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
g. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera
kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan
15% pada tahun pertama.
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual,
mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.
Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori.
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
j. Patofisiologi
Pada cedera kepala di mana kepala mengalami benturan yang
kuat dan cepat akan menimbulkan pergerakan dan penekanan pada
otak dan jaringan sekitarnya secara mendadak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Derajat kerusakan yang disebabkan
tergantung pada kekuatan yang menimpanya. Makin besar kekuatan,
makin parah kerusakaannya. Ada dua macam kekuatan yang
dikerahkan melalui dua jalan, yang mengakibatkan dua efek yang
berbeda. Pertama, cedera setempat, yang disebabkan oleh benda
tajam dengan kecepatan rendah dan tenaga kecil. Kerusakan fungsi
neurologis terjadi di dalam tempat yang terbatas dan disebabkan oleh
benda atau fragmen-fragmen tulang yang menembus dura pada
tempat serangan. Kedua, cedera menyeluruh, yang lebih lazim
ditemukan pada cedera tumpul kepala dan setelah kecelakaan mobil.
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diserap oleh lapisan-
lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala, dan tengkorak, tetapi
pada cedera hebat , penyerapan ini tidak cukup untuk melindungi
otak. Sisa energi diteruskan ke otak pada waktu energi ini melewati
jaringan otak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang
jalan yang dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan.
Risiko utama yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap
cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer
& Bare, 2019).
yang terjadi pada waktu benturan dapat menimbulkan lesi, robekan
atau memar pada permukaan otak, dengan adanya lesi, robekan,
memar tersebut akan mengakibatkan gejala defisit neurologis yang
tanda-tandanya adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek
Babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali
biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik.
Pada cedera kepala dapat juga menimbulkan edema otak, dimana hal
ini terjadi karena pada dinding kapiler mengalami kerusakan,
ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Sehingga ca*iran akan
keluar dari pembuluh darah dan masuk ke jaringan otak karena
adanya perbedaan tekanan antara tekanan intravaskuler dengan
tekanan interstisial. Akibat dari adanya edema, maka pembuluh
darah otak akan mengalami penekanan yang berakibat aliran darah
ke otak berkurang, sehingga akan hipoksia dan menimbulkan
iskemia. Akibat lain dari adanya perdarahan otak dan edema serebri
yang paling berbahaya adalah terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial yang timbul karena adanya proses desak ruang sebagai
akibat dari banyaknya cairan yang bertumpuk di dalam otak.
Peningkatan intra kranial yang terus berlanjut hingga terjadi
kematian sel dan edema yang bertambah secara progresif, akan
menyebabkan koma dengan TIK yang terjadi karena kedua hemisfer
otak atau batang otak sudah tidak berfungsi (Price & Wilson, 2016).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus
pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek
kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari
beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah
dilepaskannya secara berlebihan glutamine, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, efek kerusakan akibat radikal bebas, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau
sel-sel fungsional dalam otak, bergantung pada menit ke menit pada
suplai nutrient yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti.
Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak (Price & Wilson, 2016). 
g. Penatalaksanaan Khasus
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada
kemungkinan terjadi penyer*apan darah yang rusak diikuti oleh
terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya
gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi
untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil
keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs).
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy,
twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak
diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole
craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang
minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca
kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika
pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan
perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu
untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan
membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif
dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini
sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah
mulai berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,
pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral
hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh
herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa
extra aksial.
Indikasi Operasi
 Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
 Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
 Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi
emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Untuk pengobatan secara umum dari cedera kepala menurut Price
& Wilson (2016), disebutkan bahwa tindakan untuk mengurangi
ICP adalah dengan menginduksi drainase ICP melalui
ventrikulostomi, analgesia (asam mefenamat, pentalin), dan obat
sedasi. Perlu juga diberikan obat diuretic manitol diberikan secara
bolus dosis 0,25-1 gram/kgBB. Dan juga pemberian obat
kortikosteroid.
2. Teoritis Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur 38 larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin
lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien. Suatu
keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3
observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi
mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan
nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
b. Pengkajiansekunder
1) Identitas :
nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga,
agama.
2) Riwayat kesehatan:
waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
3) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi
dan impulsif.
6) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
7) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilanganpendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
10) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
11) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12) Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria

2. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d obtruksi jalan nafas
2) Ketidakefektifan pola nafas b/d gangguan neurologis
3) Ketidakefektian perfusi jaringan serebral b/d trauma
3. Intervensi/Rencana Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d obtruksi jalan nafas
Tujuan          : pernafasan normal
Kriteria Hasil : Tidak ada suara nafas tambahan
Tabel 1.1 Intervensi untuk diagnosa I
INTERVENSI RASIONAL

MANDIRI
1.     Monitor status pernafasan dan . Mengkaji adanya kecenderungan
oksigenisasi. pada tingkat kesadaran dan potensial
2.      Buka jalan nafas dengan teknik peningkatan tekanan intra kranial dan
chin lift atau jaw thrus. bermanfaat dalam menentukan lokasi,
3.     Identifikasi kebutuhan aktual/ perluasan dan perkembangan kerusakan
potensial untuk memasukkan alat sistem saraf pusat.
membuka jalan nafas. 
4.     Masukkan alat nasopharingeal  . Menentukan tingkat kesadaran.
airway (NPA) atau oropharingeal
airway (OPA). . Mengukur kesadaran secara
5.   5. Posisikan klien untuk keseluruhan dan kemampuan untuk
memaksimalkan ventilasi . berespon pada rangsangan eksterna
6. lakukan penyedotan melalui4.     . Untuk mengetahui status tekanan
endotrakea dan nasotrakea. darah dan adanya disritmia.
7.  Auskultasi suara nafas, catat area    . Ungkapan keluarga yang
yang ventilasinya menurun atau tidak menyenangkan klien tampak efek
ada dan adnaya suara tambahan. relaksasi pada beberapa klien koma
yang menurunkan tekanan intra kranial.
88 .
KOLABORASI . Pembatasan cairan diperlukan
1.    a) Ceftriaxone untuk menurunkan oedema cerebral:
b) Omeprazole meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler,
C) Paracetamol tekanan darah dan tekanan intra kranial.
d) Ringer Fundin
e) Dobutamin
2) Ketidakefektifan pola nafas b/d gangguan neurologis
Tujuan           : pernafasan normal
Kriteri hasil : Tidak ada suara nafas tambahan
Tabel 1.2 Intervensi untuk diagnosa II
INTERVENSI RASIONAL
MANDIRI
1 1. Monitor status pernafasan dan1.    . Memberikan informasi tentang
oksigenisasi. kebutuhan diet.
2. Buka jalan nafas dengan2.    . Menurunkan kebutuhan metabolik
teknik chin lift atau jaw thrust. untuk mencegah penurunan kalori dan
3.      3. Identifikasi kebutuhan aktual/ simpanan energi.
potensial untuk memasukkan alat3.    . Menenangkan peristaltik dan
membuka jalan nafas. meningkatkan energi untuk makan.
4. Masukkan alat nasopharingeal4.    . Mencegah serangan akut/eksaserbasi
airway (NPA) atau oropharingeal5.    . Menurunkan kebutuhan metabolik
airway (OPA) untuk mencegah penurunan kalori dan
5.     Posisikan klien untuk simpanan energi.
memaksimalkan ventilasi. 6.    . Mulut yang bersih dapat
     6. auskultasi suara nafas, catat area meningkatkan selera makan.
yang ventilasinya menurun atau tidak7.    . Lingkungan yang menyenangkan
ada dan adnaya suara tambahan. menurunkan stress lebih kondusif untuk
j) Dobutamin makan.

KOLABORASI
1.      f) Ceftriaxone . Posisikan untuk meringankan sesak
g) Omeprazole napas
h) Paracetamol .
i) Ringe Fundin Edukasi keluarga klien tentang keadaan
klien.

2.
3) Ketidakefektian perfusi jaringan serebral b/d trauma
Tujuan    : Kesadaran normal
Kriteria Hasil : tidak ada masalah
Tabel 1.3 Intervensi untuk diagnosa III
INTERVENSI RASIONAL

MANDIRI
1 1. Monitor status neorologis 1.     Mengkaji adanya kecenderungan pada
2. Monitor intake dan oupu tingkat kesadaran dan potensial
3. Moniotr tekanan aliran darah ke peningkatan tekanan intra kranial dan
otak bermanfaat dalam menentukan lokasi,
4. Monitor tingkat CO2 dan perluasan dan perkembangan kerusakan
pertahankan dalam parameter yang sistem saraf pusat.
ditentukan 2.     Menentukan tingkat kesadaran.
5. Periksa klien terkait adanya tanda3.     Mengukur kesadaran secara
kaku kuduk keseluruhan dan kemampuan untuk
2.   6. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk berespon pada rangsangan eksternal.
mengoptimalkan perfusi jaringan4.     Untuk mengetahui status tekanan
serebral. darah dan adanya disritmia.
5.     Ungkapan keluarga yang
5.   7. Berikan informasi kepada keluarga/ menyenangkan klien tampak efek
orang penting lainnya relaksasi pada beberapa klien koma
8. Beritahudokteruntukpeningkatan yang menurunkan tekanan intra kranial.
TIK yang tidak bereaksi sesuai Pembatasan cairan diperlukan untuk
peraturan perawatan. menurunkan oedema cerebral:
7.   9. Kolaborasi dengan tim dokter dalam meminimalkan fluktuasi aliran
pemberian obat vaskuler, tekanan darah dan tekanan
intra kranial.
K KOLABORASI
1.      Kolaborasi dengan tim dokter dalam
pemberian obat
a) Ceftriaxone
b) Omperazole
c) Paracetamol
d) Ringe Fundin
e) Dobutamin
DAFTAR PUSTAKA

Arifin & Zafrullah. (2019). Perbandingan Kadar Potasium Darah Penderita


Cedera Kepala Sedang dan Cedera Kepala Berat di Ruang Emergensi Bedah
diRS. dr. Hasan Sadikin Bandung. http:// pustaka.unpad.ac.id/archives/26259/.
Baheram, L. (2018). Cedera kepala pada pejalan kaki dalam kecelakaan lalu lintas
yang fatal. Majalah KedokterBandung. 26(2): 52-54. Bisri, T. (2016). Dasar-dasar
Neuro Anestesi. Bandung :Saga Olahcitra. Data Instalasi Rekam Medik RSUP M.
Djamil. Padang : 2016. Unpublished. DepKes, RI. (2016). Riset Kesehatan Dasar.
http//www.depkes.go.id/resources/ download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf, Diakses tanggal 10 desember 2014. Elizabeth J. C. (2019). Buku
Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media Hernanta, I. (2019). Ilmu
Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-MEDIKA. Hoffman,
J.M., Lucas, S., Dikmen, S., et al., (2017). Natural History of Headache after
Traumatic Brain Injury. Journal of Neurotrauma, XXVIII, 1719-1725. Irawan, H.,
Setiawan, F., Dewi., Dewanto, G. (2020). Perbandingan Glasgow Coma Scale dan
Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien Trauma Kepala di
Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran Indonesia. Available from
http://indonesia.digitaljournals.org/ index.php/idnmed/article/download/.../745.
Krisanty, P., et al. (2018)Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama,
Jakarta : Trans Info Media. Miranda., et al. (2016). Gambaran Ct Scan Kepala
Pada Penderita Cedera Kepala Ringan Di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode 2016 – 2019. Diakses tanggal 24 November 2016

Anda mungkin juga menyukai