Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma
kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius
diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik
sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Lebih dari setengah dari semua pasien
dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian
tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala
biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.
Sekitar 10% pasien dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke
Instalasi Gawat Darurat akibat kecelakaan lalu lintas selalu menderita cedera
servikal, baik cedera pada tulang servikal, jaringan penunjang, maupun cedera
pada cervical spine. Trauma servikal sering terjadi pada pasien dengan
riwayat kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi, trauma pada
wajah dan kepala, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma
multiple (Grundy, 2002; Weishaupt N., 2010).
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006).
Spinal cord injury( SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan
pada spinal cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya
fungsi motorik maupun sensoris. Di Amerika sekitar 8000 kasus spinal cord
injury (SCI) didiagnosis setiap tahunnya, dan lebih dari 80 % adalah laki –
laki berusia sekitar 16 sampai 30 tahun. Trauma ini disebabkan oleh
kecelakaan lalulintas 36 %, karena kekerasan 28,9 %, dan jatuh dari
ketinggian 21,2 %, jumlah paraplegi lebih banyak dari pada tetraplegi dan

1
sekitar 450.000 penduduk di Amerika hidup dengan SCI (The National Spinal
Cord Injury, 2001).
Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI, tergantung
pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan
mendapat perawatan medis setelah trauma.Pada kasus trauma yang berat,
kesembuhan tergantung pada luasnya derajat kerusakan, prognosis akan
semakin baik bila pasien mampu melakukan gerakan yang disadari atau dapat
merasakan sensasi dalam waktu yang singkat.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang kami angkat dalam makalah ini adalah bagaimana asuhan
keperawatan pada trauma kepala dan trauma tulang belakang.

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan umum :
a. Untuk mengetahui gambaran konsep asuhan keperawatan trauma kepala dan
trauma tulang belakang.
2. Tujuan khusus :
a. Untuk mengetahui dan memahami tentang trauma kepala dantrauma tulang
belakang, proses penyakit dan penatalaksanaan yang diberikan.
b. Untuk mengetahui memahami mengenai asuhan keperawatan trauma kepala
dan trauma tulang belakang.
c. Mampu menerapkan proses asuhan keperawatan pada kasus dengan trauma tulang
belakang
BAB II TINJAUAN

PUSTAKA

A. Konsep Trauma Kepala


1. Pengertian
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan
perlambatan (decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan interstisial
dalam substansi otak tanpa di ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif
Muttaqin, 2008)

Gambar 1.1 : trauma tulang kepala

2. Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1) Minor
a. SKG 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2) Sedang
a. SKG 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3) Berat
a. SKG 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

3. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala.
f. Kecelakaan industri.

4. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera
percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder
meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

5. Manifestasi Klinis
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebungungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
6. Pathway
Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak
vaskuler jaringan tulang (kontusio, laserasi)

Gangguan suplai darah -Perubahan outoregulasi


Resiko Nyeri -Odem cerebral
7. infeksi
-Perdarahan Iskemia
-Hematoma
8. Kejang
Perubahan
Hipoksia
perfusi jaringan

Perubahan sirkulasi CSS Gangg. fungsi otak 1. Bersihan


Gangg. Neurologis jln. nafas
fokal 2. Obstruksi
jln. nafas
9.
Peningkatan TIK 3. Dispnea
Mual – muntah
4. Henti nafas
Papilodema
Defisit Neurologis 5. Perub. Pola
Pandangan kabur
nafas
Penurunan fungsi
pendengaran
10. medialis lobus
Girus Nyeri kepala
temporalis
11. tergeser Gangg. persepsi Resiko tidak
sensori efektifnya jln. nafas
Resiko kurangnya
Herniasi volume cairan
12. unkus
Tonsil cerebelum tergeser Kompresi medula oblongata
13.
Mesesenfalon tertekan Resiko injuri
Resiko gangg.
integritas kulit
Immobilisasi
Gangg. kesadaran Kurangnya
Cemas perawatan diri

Sumber : WOC Trauma kepala 6


7. Komplikasi
Komplikasi lain secara traumatic :
a. Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
b. Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis,
ventikulitis, abses otak)
c. Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
Komplikasi lain:
a. Hemorrhagie
b. Infeksi
c. Edema
d. Herniasi
e. Kegagalan nafas

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
b. Rotgen Foto
c. CT Scan
d. MRI
9. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma
kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.

7
B. Konsep Trauma Tulang Belakang

1. Pengertian
Cedera medula spinalis (CMS) atau spinal cord injury (SCI ) ditandai
dengan adanya tetralegia atau paraplegia, parsial atau komplit, dan tingkatan
atau level tergantung area terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau
quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di segmen
servikal medulla spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan fungsi
sensorik dan motorik di segmen thorakal, lumbal dan sakrum ( Kirshblum &
Benevento, 2009).
Cedera Medula Spinalis adalah cedera yang mengenai Medula Spinalis
baik itu bagian servikalis, torakalis, lumbal maupun sakral akibat dari suatu
trauma yang mengenai tulang belakang. (Arif Muttaqin,2008).
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher
sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7
buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah
tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua
korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan
(aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam
susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila
terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf
tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).

Gambar 1.2 : trauma tulang belakang.


2. Etiologi
Cedera tulang belakang terjadi sebagai akibat :
1. Jatuh dari ketinggian, misal pohon kelapa, kecelakaan ditempat kerja.
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Kecelakaan olah raga Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi,
kompresi atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak
terjadi karena terlindung oleh struktur torak.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi, sedangkan kerusakan sumsum tulang belakang dapat berupa memar,
kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada sumsum tulang
belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan
hipotensi, udem, atau kompresi. Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum
tulang belakang merupakan kerusakan yang permanent karena tidak akan
terjadi regenerasi dari jaringan saraf.

3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinik bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang manifestasinya : hilangnya fungsi motorik
maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan di sertai syok spinal. Syok
spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena
hilangnya rangsang dari pusat. Ditandai dengan :
1. Kelumpuhan flasid
2. Arefleksi
3. Hilangnya prespirasi
4. Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih
5. Priapismus
4. Patofisiologi
Cedera medula spinalis kebanyakan terjadi sebagai akibat cedera pada
vertebra. Medula spinalis yang mengalami cedera biasanya berhubungan
dengan akselerasi, deselerasi, atau kelainan yang diakibatkan oleh berbagai
tekanan yang mengenai tulang belakang. Tekanan cedera pada medula
spinalis mengalami kompresi, tertarik, atau merobek jaringan. Lokasi cedera
umumnya mengenai C1 dan C,, C4, C6, dan Til atau L,. Mekanisme
terjadinya cedera medula spinalis dapat dilihat pada Figur 3-3.
Fleksi-rotasi, dislokasi, dislokasi fraktur, umurnnya mengenai servikal
pada C5 dan C6. Jika mengenai spina torakolumbar, terjadi pada T12—L1.
Fraktur lumbal adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang belakang
bagian bawah. Bentuk cedera ini mengenai ligamen, fraktur vertebra,
kerusakan pernbuluh darah, dan mengakibatkan iskemia pada medula spinalis.
Hiperekstensi. Jenis cedera ini umumnya mengenai klien dengan usia
dewasa yang memiliki perubahan degeneratif vertebra, usia muda yang
mendapat kecelakaan lalu lintas saat mengendarai kendaraan, dan usia muda
yang mengalami cedera leher saat menyelam. Jenis cedera ini menyebabkan
medula spinalis bertentangan dengan ligamentum flava dan mengakibatkan
kontusio kolom dan dislokasi vertebrata. Transeksi lengkap dari medula
spinalis dapat mengikuti cedera hiperekstensi. Lesi lengkap dari medula
spinalis mengakibatkan kehilangan pergerakan volunter menurun pada daerah
lesi dan kehilangan fungsi refleks pada isolasi bagian medula spinalis.
Kompresi. Cedera kompresi sering disebabkan karena jatuh atau
melompat dari ketinggian, dengan posisi kaki atau bokong (duduk). Tekanan
mengakibatkan fraktur vertebra dan menekan medula spinalis. Diskus dan
fragmen tulang dapat masuk ke medula spinalis. Lumbal dan toraks vertebra
umumnya akan mengalami cedera serta menyebabkan edema dan perdarahan.
Edema pada medula spinalis mengakibatkan kehilangan fungsi sensasi.

10
5. Pathway
Trauma mengenai tulang belakang

Cedera kolumna vetebralis, cedera medula spinalis

Kerusakan jalur sipatetik Perdarahan mikroskopis Blok saraf parasimpatis


desending

Reaksi peradangan Kelumpuhan otot pernafasan


Kehilangan krontrol tonus Terputusnya
vasomotor persarafan simpatis ke jaringan saraf
medula Iskemia dan
jantung spinalis
Syok Edema Reaksi hipoksemia
spinal pembengkakan anaestetik

Reflek spinal Gangguan


Paralisis Penekanan
dan Ileus pola nafas
Respon saraf dan
paraplegi paralitik,
Aktivasi sistem nyeri pembuluh
gangguan
saraf simpatis hebat darah
fungsi Hipoventilasi
Hambatan dan akut rektum dan
mobilitas kandung
Kontriksi fisik Gagal nafas
Penurunan kemih
pembuluh darah perfusi
Nyeri
jaringan
Kematian
Kelemahan Gangguan
Resiko infark fisik umum eliminasi
pada miokard
urine
Disfungsi Koma
persepsi
spasial dan Penurunan
kehilangan tingkat
Penekanan Kemampuan batuk Defisit sensori kesadaran
jaringan setempat menurun, kurang perawatan diri
mobilitas fisik
trauma
Asupan Perubahan (cidera)
Dekubitus Resiko sensori
nutrisi tidak
ketidakbersihan motorik
adekuat
jalan nafas - Gangguan psikologis
-Perubahan proses
Resiko terhadap Koping individu keluarga
kerusakan integritas Ketidakseimbangan tidak efektif - Kecemasan klien dan
kulit nutrisi Resiko keluarga
ketidakpatuhan - Resiko penurunan
terhadap pelaksanaan ibadah
11 penatalaksanaan spiritual
6. Komplikasi
a. Neurogenik shock
b. Hipoksia
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic hipotensi
f. Ileus paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia bladder
k. Konstipasi (Fransisca B.Batticaca: 2008)

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang
(fraktur atau dislokasi)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

8. Penatalaksanaan Medis
Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang
masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain
yang menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural
lebih lanjut. Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki aliran
darah koral spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB
diikuti 5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Asuhan Keperawatan Trauma Kepala
1. Pengkajian
a. Identitas
1) Identitas klien : meliputi nama, tanggal lahir, alamat, pendidikan,
pekerjaan, umur, suku/bangsa.
2) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
3) Riwayat Penyakit Sebelumnya : Apakah pasien pernah menderita, Stroke,
Infeksi Otak, DM, Diare/muntah, Tumor Otak, Trauma kepala.

b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
Kesadaran GCS.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
4) Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
6) Pemeriksaan 6B :
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne
Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan
terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental, Perubahan dalam penglihatan, seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang,
foto fobia.
d. Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan
terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur
karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi
penurunan tonus otot.

2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral
dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola
nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi
pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
C. Intervensi Keperawatan
DX Tujuan Intervensi Rasional

1 Setelah dilakukan tindakan 1. Atur posisi nyaman dan latih 1. Posisi nyaman dan
keperawatan selama 2 X 24 nafas dalam nafas dalam dapat
jam klien mampu mengontrol membantu mengurangi
2. Latih teknik relaksasi dan
nyeri rasa nyeri
distraksi
kriteria hasil : 2. Teknik relaksasi dan
3. Observasi status nyeri (skala,
distraksi dapat digunakan
1) Melaporkan nyeri hilang lokasi,dan waktu)
untuk mengalihka
atau terkontrol
4. Berikan terapi obat analgetik perhatian terhadap nyeri
2) Mengikuti program sesuai order dokter
3. Mengetahui
pengobatan yang diberikan
5. Berikan penkes mengenai perkembangan klien dan
proses perjalanan nyeri sebagai bahan evaluasi
keefektifan intervensi
yang diberikan

4. Analgetik dapat
mengurangi atau bahkan
mengurangi nyeri

5.Menambah
pengetahuan klien

2 1. Perfusi jaringan serebral 1. Bila akan memiringkan , harus 1.Bedrestbertujuan


adekuat yang ditandai menghindari adanya tekukan mengurangi kerja tisik,
beban
dengan tidak ada pusing pada anggota badan, fleksi kerja jantung;
mengatasi
hebat, kesadaran tidak (harus bersamaan). keadaan high output, yang
menurun 2. Berikan pelembek tinja untuk disebabkan oleh
tiroksin,

16
2. Tidak terdapat tanda-tanda mencegah adanya valsava anemia, beri-beri,
dan
peningkatan tekanan maneuver. lainnya.
intrakranial. 3. Ciptakan lingkungan yang 2. memberikan
rasa
tenang, gunakan sentuhan nyaman dan
mencegah
therapeutic, hindari ketegangan.
percakapan yang emosional.
3. Membantu drainase
4. Pemberian obat-obatan untuk
vena untuk
mengurangi edema atau mengurangi
konges serebrovaskular.
tekanan intrakranial sesuai
program. 4. Mencegah resiko
5. Pemberian terapi cairan ketidakseimbangan cairan
intravena dan antisipasi
kelebihan cairan karena dapat
meningkatkan edema serebral.
6. Monitor intake dan out put.
3 1. Kebutuhan sehari-hari anak 1. Bantu dalam memenuhi 1. Memandikan klien
terpenuhi yang ditandai kebutuhan aktivitas, makan – merupakan, salah satu
dengan berat badan stabil cara memperkecil infeksi
minum,
atau tidak menunjukkan nosokomial.
penurunan berat badan mengenakan pakaian, BAK
2. Membersihkan mulut
dan BAB,membersihkan
2. tempat tidur bersih, tubuh dan gigi klien,
anak bersih tempat tidur, dan kebersihan perawat dapatmenemukan
perseorangan. berbagai kelainan seperti
3. tidak ada iritasi pada kulit, adanya gigi palsu, karies
buang air besar dan kecil Berikan makanan via
gigi, krusta, gusi berdarah,
dapat dibantu. parenteral bila ada indikasi. bau aseton sebagai ciri
2. Perawatan kateter bila khas penderita DM, serta
adanya tumor.
terpasang.
3. Kaji adanya konstipasi, bila 3. Kolonisasi bakteri pada
kulit segera dimulai
perlu pemakaian pelembek
setelah lahir, walaupun

17
tinja untuk memudahkan mikroorganisme tersebut
BAB. tidak patogen

4. Libatkan orang tua dalam


perawatan pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dan
demonstrasikan, seperti
bagaimana cara memandikan.
4 1. Tidak ditemukan tanda- 1. Kaji intake dan out put. 1. Kebiasaan makan
tanda kekurangan volume 2. Kaji tanda-tanda dehidrasi: klien akan memengaruhi
cairan atau dehidrasi yang keadaan nutrisinya.
turgor kulit, membran
ditandai dengan membran
mukosa lembab mukosa, dan ubun-ubun 2. Makanan yang telah
disediakan disesuaikan
atau mata cekung dan out put
2. Integritas kulit baik dengan kebutuhan klien.
urine.
3. Nilai elektrolit dalam batas 3. Pemberian makanan
3. Berikan cairan intra vena
normal. pada klien disesuaikan
sesuai program. dengan kebutuhan nutrisi
4. Kaji intake dan out put. dan diagnosis penyakit.

5 1. Pola nafas dan bersihan 1. KajiAirway, Breathing, 1. Hipoventilasi biasanya


jalan nafas efektif yang Circulasi. terjadi atau menyebabkan
ditandai dengan tidak ada
2. Kaji anak, apakah ada fraktur akumulasi/atelektasis
sesak atau kesukaran
bernafas cervical dan vertebra. Bila ada atau pneumonia
hindari memposisikan kepala (komplikasi yang sering
2. Jalan nafas bersih
ekstensi dan hati-hati dalam terjadi).
3. Pernafasan dalam batas
mengatur posisi bila ada
normal. 2. Menggambarkan akan
cedera vertebra.
terjadinya gagal napas
3. Pastikan jalan nafas tetap
yang memerlukan
terbuka dan kaji adanya sekret.
evaluasi dan intervensi
Bila ada sekret segera lakukan
medis dengan segera.
pengisapan lendir.

18
4. Kaji status pernafasan 3.Berikan oksigen
kedalamannya, usaha dalam dengan cara yang tepat
bernafas. seperti dengan kanul
5. Pemberian oksigen sesuai oksigen, masker,intubasi
program.

D. Evaluasi
Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan
trauma tulang belakang diharapkan sebagai berikut :
1. Rasa nyeri berkurang
2. Pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
3. Tidak ada dekubitus
4. Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan atau
dehidrasi
5. Jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau
kesukaran bernafas

B. Asuhan Keperawatan Trauma Tulang Belakang


1. Pengkajian
a. Identitas klien : meliputi nama, tanggal lahir, alamat, pendidikan,
pekerjaan, umur, suku/bangsa.
b. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah pasien pernah menderita :Stroke, Infeksi Otak, DM, Diare/muntah,
Tumor Otak, Trauma kepala.

19
2. Pemeriksaan Fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
a. Kesadaran GCS.
b. Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
c. Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
4) Sistem pencernaan
a. Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan?
b. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
c. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
6) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia
atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.

3. Pola Aktivitas
a. Aktivitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok
spinal
b. Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
hipotensi, bradikardia, ekstremitas dingin atau pucat

20
c. Eliminasi : inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
peristaltic usus hilang
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut, cemas,
gelisah dan menarik diri
e. Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltic usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat tergantung dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, ptosis
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat di atas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada darah trauma
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan : suhu yang naik turun.

4. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri akut b/d cedera psikis, alat traksi
2. Resiko Tinggi pola napas tidak efektif b/d kerusakan persarafan dari
diagfragma, kehilangan komplit atau campuran dari fungsi otot
interkostal.
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler ditandai
dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan,
paralisis,atropi.
4. Resiko tinggi trauma b/d kelemahan temporer/ketidakstabilan kolumna
spinalis.
5. Ketidakefektifanperfusi jaringan serebral yang berhubungan
dengan peningkatan intracranial.
5. Rencana Keperawatan
DX INTERVENSI

Tujuan Tindakan Rasional

1 Setelah dilakukan tindakan 1.Atur posisi nyaman dan latih 1. Posisi nyaman dan nafas
keperawatan selama 2 X 24 nafas dalam dalam dapat membantu
jam klien mampu mengontrol mengurangi rasa nyeri
2. Latih teknik relaksasi dan
nyeri
distraksi 2. Teknik relaksasi dan
kriteria hasil : distraksi dapat digunakan
3. Observasi status nyeri (skala,
untuk mengalihka perhatian
1) Melaporkan nyeri hilang lokasi,dan waktu)
terhadap nyeri
atau terkontrol
4. Berikan terapi obat analgetik
2) Mengikuti program sesuai order dokter 3. Mengetahui
perkembangan klien dan
pengobatan yang diberikan
5. Berikan penkes mengenai sebagai bahan evaluasi
3) Menunjukan penggunaan proses perjalanan nyeri keefektifan intervensi yang
teknik relaksasi diberikan

4. Analgetik dapat
mengurangi atau bahkan
mengurangi nyeri

5. Menambah pengetahuan
klien

22
2 1. Pola nafas dan bersihan 1. Kaji Airway, Breathing, 1. Hipoventilasi biasanya
jalan nafas efektif yang Circulasi. terjadi atau menyebabkan
ditandai dengan tidak ada
2. Kaji anak, apakah ada fraktur akumulasi/atelektasis atau
sesak atau kesukaran
bernafas cervical dan vertebra. Bila ada pneumonia (komplikasi
hindari memposisikan kepala yang sering terjadi).
2. Jalan nafas bersih
ekstensi dan hati-hati dalam
3. Pernafasan dalam batas 2. Menggambarkan akan
mengatur posisi bila ada
normal. terjadinya gagal napas yang
cedera vertebra.
memerlukan evaluasi dan
3. Pastikan jalan nafas tetap
intervensi medis dengan
terbuka dan kaji adanya
segera.
sekret. Bila ada sekret segera
lakukan pengisapan lendir. 3.Berikan oksigen dengan
4. Kaji status pernafasan cara yang tepat seperti
kedalamannya, usaha dalam dengan kanul oksigen,
bernafas. masker,intubasi
5. Pemberian oksigen sesuai
4.Metode yang akan dipilih
program.
tergantung dari lokasi
trauma, keadaan insufisiensi
pernapasan, dan banyaknya
fungsi otot pernapasan yang
sembuh setelah fase syok
spinal.
3 Mempertahankan kesejajaran 1. Pertahankan tirah baring dan 1. Menjaga kestabilan dari
yang tepat dari spinal tanpa alat-alat imobilisasi seperti kolumna vertebra dan
cedera medulla spinalis lanjut traksi, halo brace, kolar leher, membantu proses
bantal pasir dll. penyembuhan.
2. Tinggikan bagian atas dari
2. Membuat keseimbangan
kerangka traksi atau tempat

23
tidur jika diperlukan. untuk mempertahankan
3. Ganti posisi, gunakan alat posisi pasien dan
Bantu untuk miring dan tarikan traksi.
menahanseperti alat pemutar,
3. Mempertahankan posisis
selimut terrgulung, bantal dsb.
kolumna spinalis yang
4. Siapkan pasien untuk tindakan
tepat sehingga dapat
operasi, seperti laminektomi
mengurangi resiko
spinal atau fusi spinal jika
trauma.
diperlukan.
4. Operasi mungkin
dibutuhkan pada
kompresi spinal atau
adanya pemindahan
fragmen – framen tulang
yang fraktur

4 Selamaperawatan gangguan 1. Kaji secara teratur fungsi 1. Berguna untuk


mobilisasi bisa diminimalisasi motorik. membatasi dan
sampai cedera diatasi dengan mengurangi nyeri yang
2. Instruksikan pasien untuk
pembedahan. berhubungan dengan
memanggil bila minta
spastisitas.
Kriteria hasil : pertolongan.
2. Gangguan sirkulasi dan
tidak ada kontrakstur, 3. Lakukan log rolling. : hilangnya sensai resiko
kekuatanototmeningkat. tinggi kerusakan
4. Pertahankan sendi 90 derajad
integritas kulit.
terhadap papan kaki.
3. Mengetahui adanya
5. Ukur tekanan darah sebelum hipotensi ortostatik
dan sesudah log rolling. 4. Mencegah footdrop
5. Membantu rom secara

24
6. Inspeksi kulit setiap hari. pasif

7. Berikan relaksan otot sesuai


pesanan seperti diazepam.

5 Setelah dilakukan tindakan 1. Inspeksi seluruh lapisan kulit 6. Mengetahui adanya


keperawatan diharapkan klien 2. Lakukan perubahan posisi tanda-tanda infeksi
tidak terjadi gangguan integrits sesuai indikasi dan perbaikan luka
kulit selama perawatan 3. Bersihkan dan keringkan kulit 7. Mencegah terjadinya
Kriteria hasil : 4. Jaga alas tidur agar tetap dekubitus
Tidak ada dekubitus kering 8. Membantu agar kuit
Kulit kering 5. Berikan terapi kinetic sesuai tetap kering
kebutuhan 9. Mengurangi
terjadinya dekubitus
pada kulit

6. Evaluasi
Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan
trauma tulang belakang diharapkan sebagai berikut :
1. Rasa nyeri berkurang
2. Pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
3. Intake dan output seimbang dan nafas normal

25
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa trauma
spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal
collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak,
dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma
berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan
sebagainya yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih
tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan beberapa
hal diantaranya :
1. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
trauma kepala dan trauma tulang belakang
2. Mahasiswa dapat mengaplikasikan teori yang ada dalam paraktik
keperawatan pada pasien dengan trauma kepala dan trauma tulang
belakang.
3. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan pada
klien dengan trauma kepala dan trauma tulang belakang dengan baik
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta : Salemba Medika

Brunner & Suddarth, 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 vol 3.
Jakarta : EGC

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. alih bahasa : I Made
Kariasa, Ni Made Sumarwati, Edisi : 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai